• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tri Harso Karyono Pengajar Arsitektur Arsitek, Peneliti Kenyamanan Termal dan Bangunan Hemat Energi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tri Harso Karyono Pengajar Arsitektur Arsitek, Peneliti Kenyamanan Termal dan Bangunan Hemat Energi"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEKUENSI PERUBAHAN IKLIM DAN LINGKUNGAN TERHADAP

STRATEGI PERANCANGAN KOTA DI INDONESIA

(THE IMPACT OF CLIMATIC AND ENVIRONMENTAL CHANGES TO THE URBAN DESIGN STRATEGIES IN INDONESIA)

Tri Harso Karyono Pengajar Arsitektur

Arsitek, Peneliti Kenyamanan Termal dan Bangunan Hemat Energi E-mail: t_karyono@yahoo.com

Paper disampaikan dalam Seminar Perubahan Iklim dan Lingkungan di Indonesia, diselengarakan oleh Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, LAPAN, Bandung. 9 Nopember 2006

INTISARI

Perubahan iklim global membawa dampak terhadap semua sendi kehidupan manusia. Perubahan iklim secara langsung atau tidak langsung merubah lingkungan fisik manusia di mana mereka tinggal dan melakukan kegiatan kesehariannya. Perubahan iklim global memberikan dampak terhadap perubahan parameter iklim (suhu udara, suhu radiasi, kelembaban, kecepatan angin) kota, kawasan di sekitar bangunan, serta parameter iklim di dalam bangunan itu sendiri. Dalam pencapaian kenyamanan fisik manusia, suhu udara luar yang tinggi perlu diselesaikan dengan rancangan bangunan dan kota yang berbeda dibanding ketika suhu udara luar rendah. Demikian pula sebaliknya. Beberapa strategi perancangan lama yang berdasarkan pada pertimbangan parameter iklim lama perlu kiranya untuk segera dimodifikasi. Perubahan iklim dunia yang sebagian besar ditimbulkan oleh perubahan aktifitas manusia memerlukan antisipasi arsitek dalam membuat startegi perancangan yang lebih sesuai bagi pola aktifitas baru yang harus diwadahi. Suhu udara yang meningkat harus diantisipasi dengan strategi yang berbeda dalam merancang kota dan bangunan. Dengan suhu udara lingkungan rendah, arsitek berusaha untuk membatasi jumlah aliran udara yang masuk ke dalam bangunan, agar pengguna bangunan tidak merasa kedinginan. Sementara itu, dengan adanya peningkatan suhu udara lingkungan, arsitek harus mampu membuat bukaan-bukaan yang lebih besar agar aliran udara luar dapat masuk ke dalam bangunan dan membarikan efek dingin bagi orang yang ber ada di dalamnya. Suhu yang cukup tinggi akan menyulitkan arsitek untuk merancang secara alami, dan akhirnya harus menggunakan pengudaraan mekanis (AC). Penggunaan AC sangat tidak menguntungkan dikaitkan dengan penipisan cadangan minyak dalam negri. Paper ini memberikan gambaran bagaimana perubahan aktifits manusia turut menyumbang dalam perubahan iklim dunia, serta membahas bagaimana strategi rancangan kota perlu dirubah agar kebutuhan kenyamanan fisik manusia tetap tercapai, dan permasalahan pemanasan bumi dapat diminimalkan.

Kata kunci: energi, heat urban island, karbon dioksida, kenaikan suhu, rancangan kota, pemanasan bumi

I. PENDAHULUAN

Pada awal kehidupannya, ketergantungan manusia terhadap sumber daya energi masih sangat rendah. Manusia tidak banyak memasak bahan makanan, tidak memproduksi sesuatu yang

(2)

memerlukan sumber energi di luar sumber energi alam – matahari. Kehidupan cenderung sederhana, demikian pula bentuk dan ragam aktifitas manusia. Ketika hehidupan mulai berkembang dan api mulai ditemukan, manusia mulai memasak bahan makanannya sebelum dimakan. Penggunaan sumber energi (panas) dari bahan tumbuhan (ranting, kayu, daun) mengawali ketergantungan manusia terhadap sumber daya energi, di luar energi (tenaga) manusia sendiri. Kemudian aktifitas berkembang dan ilmu pengetahuan berkembang, Kebutuhan sumber energi non matahari dan non tumbuhan muncul. Alternatif sumber energi pun semakin banyak dan beragam.Hingga pada akhirnya manusia sampai pada kehidupan modern, di mana penggunaan sumber energi dari bahan bakar minyak hinga nuklir tidak terelakkan lagi.

Di awali dengan penemuan mesin uap yang lebih efektif oleh James Watt pada tahun 1769, yang kemudian memicu terjadinya Revolusi Industri. Perkembangan industri dunia tidak pernah surut sejak saat itu. Perubahan energi panas menjadi energi mekanik (gerak) dipermudah dengan penemuan turbin uap oleh Charles Parson tahun 1884[1]. Hal ini semakin memicu laju perkembangan industri dan teknologi lebih pesat lagi. Penemuan listrik sebagai energi yang mampu menggantikan hampir semua jenis energi sebelumnya mengawali babak baru kehidupan manusia modern yang sangat konsumtif terhadap penggunaan energi.

Disadari atau tidak, peningkatan keragaman aktifitas manusia serta peningkatan tuntutan kualitas hidup manusia mendorong penggunaan teknologi yang konsumtif terhadap penggunaan sumber energi tidak terbarukan seperti halnya minyak bumi. Penggunaan minyak bumi sebagai sumber energi listrik maupun energi mekanik saat ini sulit dilepaskan dari kehidupan manusia sehari-hari. Pembakaran minyak secara kontinyu dalam jumlah yang semakin besar di satu sisi menyebabkan penipisan cadangan sumber daya energi yang tidak terbarukan ini, sementara di sisi lain menghasilkan polutan CO2 yang diduga keras menyebabkan terjadinya pemanasan bumi (global warming).

Pemanasan bumi mengakibatkan kenaikan suhu rata-rata di permukaan bumi. Hal ini menimbulkan masalah terhadap pemenuhan kebutuhan kenyaman termal manusia, terutama yang tinggal di kawasan tropis seperti Indonesia. Semua manusia di muka bumi, tanpa kecuali, memerlukan suhu nyaman agar dapat melangsungkan aktifitasnya dengan baik. Tanpa suhu nyaman manusia tidak dapat bekerja secara optimal.

Arsitek, sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap pengukiran kulit bumi, dan bertanggung jawab terhadap penyediaan lingkungan buatan yang nyaman, harus mampu

(3)

mangantisipasi kenaikan suhu udara luar rata-rata dan menyediakan tempat tinggal yang layak serta nyaman bagi manusia. Bagaimana kenaikan suhu luar rata-rata dapat diantisipasi dan dimodifikasi melalui rancangan bangunan yang tepat sehingga manghasilkan suhu di dalam bangunan yang nyaman – sesuai dengan kebutuhan manusia - tanpa harus menguras sumber energi tidak terbarukan. Bagaimana rancangan kota mampu mengantisipasi kenaikan suhu udara luar rata-rata sehingga suhu udara kota masih tetap berada dalam batas-batas yang dapat ditolerir oleh kemampuan fisik manusia.

II. PERUBAHAN IKLIM 2.1. Perubahan Iklim Global

Gambar 1 memperlihatkan prediksi dampak dari pemanasan global yang akan mengakibatkan cairnya es di kutub dan diperkirakan sejumlah tempat di dunia terutama kawasan pantai akan terendam air laut. Kenaikan permukaan air laut diperkirakan mencapai 100m [2].

Gambar 1. Beberapa bagian bagian muka bumi (warna merah/gelap) akan tenggelam saat es di kutub mencair akibat pemanasan bumi. (Laurence Williams, An End to Global Warming, 2002)[2]

Gambar 2. Kenaikan konsentrasi CO2 di Laboratorium Cuaca

(4)

2.2. Terjadinya Pemanasan Global

Sekitar tahun 1820, akhli matematika Perancis, Baron Jean Baptiste Fourier, mencetuskan teori bahwa atmosfir bumi yang terbentuk dari berbagai kompisisi gas: karbon dioksida (CO2), uap air dan methane berperilaku semacam kaca transparan yang menyelimuti bumi [3] Selimut transparan ini berfungsi sebagaimana sebuah rumah kaca yang memungkinkan panas serta cahaya matahari menembus permukaan bumi. Sebagai rumah kaca, selimut ini tidak membiarkan seluruh panas yang diterima bumi dikembalikan ke angkasa luar. Dengan selimut transparan ini, sejumlah panas yang ideal bagi kelangsungan hidup makhluk bumi dan tumbuhan, diperangkap di bawah lapisan atmosfir. Keberadaan CO2 beserta gas-gas lainnya diperlukan bumi untuk menjaga kestabilan ekosistem atmosfirnya.

Seandainya gas-gas pembentuk atmosfir bumi yang berperan seperti selimut ini tidak ada, maka seluruh panas matahari dilepas kembali ke angkasa luar mengakibatkan bumi beku. Fenomena ini terjadi pada planet Mars. Konsentrasi CO2 atmosfir planet ini sangat rendah sehingga sebagian besar panas matahari kembali ke angkasa luar, mengakibatkan suhu udara Mars sangat rendah dan tidak memungkinkan suatu kehidupan berlangsung. Sementara itu yang terjadi pada planet Venus adalah sebaliknya, di mana konsentrasi CO2 yang tinggi membuat suhu udara Venus tinggi.

Sejak muncul Revolusi Industri abad 18 hingga kehidupan modern saat ini, penggunaan bahan bakar minyak bagi keperluan kehidupan dan peradaban manusia melonjak demikian

(5)

cepatnya. Bahan bakar minyak, batu bara dan gas yang digunakan manusia dan mengemisikan CO2 ke atmosfir dalam jumlah besar dan dalam satuan waktu tertentu mengakibatkan penebalan selimut bumi tersebut. Bukan hanya itu, berkurangnya vegetasi per satuan luas tertentu akibat pembangunan kota baru atau pemekaran kota mengurangi penyerapan CO2 mengakibatkan kenaikan konsentrasi gas tersebut di atmosfir bumi. Situasi ini memunculkan fenomena pemanasan bumi, global warming. Terjadi peningkatan suhu udara rata-rata pada permukaan bumi yang diperkirakan dapat mengganggu kestabilan ekosistem bumi serta kestabilan kehidupan makhluk hidup di muka bumi.

Woodwell [4], akhli biologi dan lingkungan, menyangkal teori bahwa CO2 hasil pembakaran minyak bumi merupakan faktor utama pemanasan bumi. Perusakan hutan tropis merupakan faktor penting yang menyebabkan terjadinya pemanasan bumi. Berkurangnya jumlah area hutan tropis mengurangi kemampuan penyerapan CO2 di udara. Kemampuan vegetasi menyerap CO2 di udara dibuktikan Charles Keeling di Lembaga Penelitian di Hawaii, bahwa konsentrasi CO2 di wilayah beriklim empat musim mencapai titik maksimum pada akhir musim dingin di mana pohon kehilangan seluruh daunnya, serta mencapai titik minimum pada akhir musim panas, ketika pohon memiliki kelebatan daun maksimum sehingga kemampuan menyerap CO2 juga maksimum.

Variasi tahunan perubahan konsentrasi CO2 di udara tidak terjadi pada kawasan tropis, karena vegetasi kawasan ini tidak mengalami proses perontokan daun sepanjang tahun seperti terjadi pada musim dingin di wilayah sub tropis [4].

2.3. Konsekuensi Perubahan Iklim terhadap Rancangan Arsitektur dan Kota

Dalam kaitannya dengan arsitektur, perubahan iklim yang paling berpengaruh terhadap kenyamanan manusia adalah perubahan temperatur udara. Perubahan suhu udara luar yang cenderung meningkat menimbulkan ketidaknyamanan termal bagi mereka yang berdiam di kawasan tropis. Tuntutan suhu nyaman yang lebih rendah dari suhu udara luar rata-rata semakin bertambah perbedaannya. Diperlukan peralatan mekanis (AC) untuk menurunkan suhu luar yang tinggi agar suhu udara di dalam bangunan mencapai tingkat kenyamanan yang diharapkan pengguna bangunan. Melalui rancangan kota arsitek harus mampu menurunkan suhu kota sedemikian rupa sehingga bangunan dapat dibuat dingin secara alamiah tanpa harus mengandalkan peralatan mekanis tersebut.

(6)

III. STRATEGI PERANCANGAN ARSITEKTUR KOTA DI INDONESIA

Pancaran radiasi panas matahari ke permukaan bumi memberikan implikasi yang berbeda tergantung dari material di permukaan bumi. Material keras menyerap panas lebih cepat dan pada saatnya diradiasikan kembali dengan lebih cepat. Warna permukaan menentukan jumlah penyerapan panas, warna gelap lebih banyak menyerap panas sementara warna terang lebih banyak memantulkan panas radiasi tersebut.

Permukaan tanah di kawasan kota umumnya tertutup oleh genting, beton, aspal dan material keras lain. Perkerasan ini dapat berupa atap bangunan, dinding bangunan, parkir atau jalan di kawasan kota. Radiasi matahari yang jatuh pada kawasan itu sebagian besar diserap dan kemudian dilepaskan kembali ke udara di sekitarnya. Karena sebagian besar area kota tertutup material keras, suhu udara kota menjadi lebih tinggi dibanding kawasan rural di sekelilingnya. Fenomena ini disebut heat urban island, di mana area fisik kota seolah menjadi sebuah pulau yang memancarkan panas di tengah hamparan kehijauan kawasan ruraltri [5]. Bagaimana agar fenomena ini berkurang, dalam arti suhu udara kota tidak jauh berbeda dengan suhu udara kawasan rural atau desa sekitarnya?

Selain fenomena penebalan CO2 pada lapisan atmosfir bumi, heat urban island merupakan fenomena penting yang dicurigai menjadi penyebab terjadinya pemanasan bumi. Besarnya perubahan fisik kawasan desa (rural) menjadi kawasan kota, pemekaran dimensi kota-kota yang sudah ada, secara simultan mengakibatkan kenaikan suhu kawasan, baik lokal maupun regional. Untuk itu strategi terhadap perancangan kota yang akan datang harus dilandasi oleh permasalahan di atas. Bagaimana merancang kota yang dapat meminimalkan pelepasan gas CO2 serta meminimalkan efek heat urban island. Untuk itu perlu ditengok kembali kondisi eksisting rancangan kota di Indonesia saat ini, untuk kemudian disusun usulan strategi rancangan baru yang memperhatikan dua aspek penyebab terjadinya pemanasan bumi atau pemanasan lokal/regional: emisi CO2 dan fenomena heat urban island.

3.1. Kepadatan bangunan

Saat ini dapat dijumpai bahwa kepadatan rata-rata bangunan di dalam kota tinggi, artinya jumlah bangunan per satuan luas tertentu di kawasan kota tinggi. Bangunan cenderung saling berdekatan atau bahkan menempel satu dengan lainnya (terutama di kawasan perumahan). Hal ini

(7)

tidak menguntungkan bagi strategi penurunan suhu udara kawasan. Selain tingkat radiasi panas yang dipancarkan material bangunan (genting, dinding) dan material penutup muka tanah (jalan aspal, beton, perkerasan lain) cenderung memanaskan udara lingkungan dan pada akhirnya kota, aliran udara juga terhalang oleh deretan bangunan tanpa celah. Kecepatan angin kawasan kota menjadi rendah, padahal kecepatan angin yang cukup tinggi diperlukan untuk memberikan efek ‘dingin’ bagi manusia [6].

3.2. Vegetasi Kota

Proses perubahan fisik dari wilayah desa menjadi kota mengurangi jumlah vegetasi per satuan luas tertentu dari wilayah tersebut. Berkurangnya vegetasi mengurangi penyerapan energi matahari bagi proses fotosintesa, mengakibatkan suhu udara kota naik. Berkurangnya vegetasi mengurangi penyerapan emisi asap kendaran dalam bentuk gas CO2, mengakibatkan peningkatan konsentrasi CO2 di udara. Kota-kota semacam Jakarta, Bandung, Bogor, dan Surabaya, merupakan beberapa contoh kota di Indonesia yang memiliki tingkat polusi udara tinggi. Hal ini secara umum ditandai oleh banyaknya pengguna jalan, di antaranya pengendara kendaraan bermotor roda dua yang menggunakan kain penutup hidung untuk mengantisipasi polusi kota [7].

Fungsi vegetasi kota adalah untuk mengurangi pencemaran dan pemanasan udara kota. Dalam proses fotosintesis [8]: 6CO2 + 6H2O + katalis (5 kWh/kg radiasi matahari + khlorofil) = C6H12O6 + 6O2 terlihat bagaimana CO2 diikat air dengan bantuan radiasi matahari dan khlorofil sebagai katalis. Sementara O2 dihasilkan sebagai produk ikutan yang bermanfat bagi kelangsungan hidup manusia. Energi matahari yang digunakan dalam jumlah tertentu dalam proses fotosintesis tersebut, mengurangi sebagian panas matahari yang jatuh ke permukaan bumi. Dengan demikian tumbuhan bermanfaat menurunkan suhu udara di sekitarnya. Di sisi lain, dalam proses fotosintesis tersebut diserap pula sejumlah gas CO2, yang berarti tumbuhan akan mereduksi sejumlah CO2 sebagai polutan udara kota.

Studi yang dilakukan oleh peneliti Norwegia memperlihatkan bahwa dalam satu musim pertumbuhan, pohon dengan diameter 14 m dengan luas permukaan daun sekitar 1.600 m2 menyerap sejumlah CO2 dan SO2 di udara untuk menghasilkan sejumlah O2 yang cukup bagi keperluan bernafas satu orang dalam satu tahun. Pohon yang sama akan memfilter satu ton debu per tahun [9].

(8)

Vegetasi juga berfungsi untuk menyerap polutan udara dalam bentuk NOx. Penelitian Nanny Kusminingrum dari Puslitbang PU terhadap kemampuan tumbuhan dalam mengurangi tingkat polusi (NOx) memperlihatkan kemampuan tumbuhan dalam menyerap NOx [10]. Dari penelitian tersebut diperlihatkan bahwa jenis tumbuhan yang sering ditanam pada taman kota dan jalur hijau kota seperti Angsana, Mahoni, Kenari, Salam, Bugenfil, Nusa Indah, Kembang Sepatu, dan lainnya, mampu mengurangi NOx rata-rata di atas 50%.

Bahan keras yang digunakan sebagai pelapis permukaan tanah (aspal, beton dan lainnya) akan banyak menyerap panas, namun kemudian panas tersebut akan dipancarkan kembali ke udara di atasnya, yang mengakibatkan pemanasan udara di sekitarnya. Dengan memperhatikan fenomena ini, konsep kota di Indonesia harus mengarah pada penghijauan kota secara merata dan menyeluruh, dengan kata lain kota tropis perlu ‘dihutankan’ agar suhu udara kota tersebut dapat dijaga tidak terlalu tinggi di luar batas ambang suhu nyaman manusia penghuninya [11].

Penelitian Parker [12] dan Akbari [13] di AS memperlihatkan penanaman pohon lindung di sekitar rumah tinggal akan menurunkan suhu udara sekitar 3oC, sehingga penggunaan energi listrik pada rumah tinggal yang ber - AC berkurang hingga sekitar 30%, karena secara teori penurunan suhu sekitar 1oC setara dengan pengurangan energi sekitar 10%. Dapat disimpulkan penurunan suhu udara hingga 3oC dapat dicapai jika ruang terbuka sekitar bangunan ditanami pohon pelindung, dengan pengertian halaman, jalan masuk kendaraan serta halaman parkir terlindung dari radiasi matahari.

3.3. Perubahan Sistem dan Moda Transportasi Kota

Untuk mengurangi emisi CO2 di kota, perlu adanya perubahan sistem dan jenis moda transportasi kota. Sistem transportasi kota di Indonesia yang saat ini sangat mengandalkan kendaraan bermotor, terutama kendaraan pribadi, perlu segera dirubah. Penggunaan mobil pribadi harus dirubah ke sistem tranportasi massal. Ruas jalan-jalan utama hanya dapat digunakan untuk jalur transportasi umum (massal). Jumlah kendaraan umum (bis, monorail, kereta bawah tanah) diperbanyak dan diharapkan mampu mengangkut warga yang membutuhkan secara cepat.

Studi yang dihimpun Steadman (1975) memperlihatkan bahwa bahan bakar yang digunakan oleh satu orang per 100 km perjalanan pada mobil yang diisi oleh satu orang adalah sebesar 30 kali lipat dibanding bus tingkat (double decker) bersisi 70 orang. Untuk mobil pribadi yang diisi 4 orang, jumlah bahan bakar yang digunakan per kepala adalah 5 kali lipat dibandingkan bus

(9)

tingkat [9]. Dari data di atas, dapat dilihat bahwa penggunaan mobil pribadi menguras lebih banyak bahan bakar jauh dibanding transportasi umum. Penggunaan bahan bakar minyak untuk hampir semua jenis kendaraan bermotor saat ini secara langsung terkait dengan jumlah emisi CO2 di udara.

Sementara itu, jalur-jalur jalan kota-kota besar di Indonesia perlu untuk dimodifikasi ulang. Jalur khusus sepeda perlu disediakan secara memadai, nyaman dan terbebas dari kendaraan bermotor. Penggunaan sepeda untuk jarak tempuh tertentu selain menghemat bahan bakar minyak juga tidak mengemisi CO2 [14].

3.4. Penataan Massa Bangunan

Salah satu cara untuk mengurangi ‘ketidaknyamanan termis’ pada kawasan beriklim tropis adalah mengoptimalkan terjadinya aliran udara di sekitar dan di dalam bangunan. Pergerakan udara atau angin akan terjadi bilamana terdapat ruang terbuka yang menerus yang tidak menghalangi laju aliran udara tersebut. Ruang terbuka yang menerus hanya mungkin tersedia apabila penempatan bangunan tidak terlalu rapat, dalam arti masih ada ruang di antara bangunan yang tidak terbangun. Dalam konsep penataan massa bangunan pada kota tropis di Indonesia, ruang terbuka atau ruang ‘antara’ di antara bangunan memegang arti penting bagi terjadinya aliran udara atau angin di sekitar bangunan. Hal ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh bangunan untuk menciptakan ventilasi silang sehingga efek dingin dalam bangunan dapat dicapai (pada bangunan yang tidak berpengkondisi udara) [15].

3.5. Dimensi Kota

Bagi perancangan kota di Indonesia perlu dipertimbangkan mengenai ‘dimensi kota’. Dough Kelbaugh dan Peter Calthorpe menawarkan apa yang disebut dengan ‘kantung-kantung pedestrian’ (pedestrian pockets). Dalam setiap kantung pedestrian, dengan luas sekitar 40 hektar, dapat ditampung sejumlah 5000 orang penduduk serta pekerja sejumlah 3000 orang. Kepadatan penduduk rata-rata pada setiap kantung adalah 1 orang per 80 m2 [16].

Kantung-kantung pedestrian ini memiliki stasiun kereta (atau tram, monorail, dsb) yang dihubungkan satu dengan lainnya menuju pusat kota yang sudah ada. Dalam setiap kantung pedestrian tersedia fasilitas perumahan/pemukiman, pertokoan, fasilitas penunjang kebutuhan sehari-hari (kantor pos, bank, sekolah, poliklinik, dsb.), serta perkantoran. Warga kota dapat

(10)

menempuh tempat di manapun dalam kantung tersebut dengan berjalan kaki. Konsep kota ini memberikan kemungkinan besar bagi warga untuk menggunakan kendaraan tidak bermotor, seperti sepeda. Dengan demikian warga di kota tersebut dapat menikmati waktu tempuh lebih pendek dan tanpa harus menimbulkan polusi udara karena transportasi.

Pengembangan lain dalam konsep tersebut adalah pertimbangan terhadap problematik yang ditimbulkan iklim tropis basah di Indonesia, yakni hujan dan terik matahari. Untuk itu setiap jalur-jalur pedestrian atau sepeda perlu dipecahkan agar gangguan iklim tersebut dapat dihindari, misalnya memberikan koridor beratap pada jalur-jalur tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

1. Grisewood & Dempsey (1993), Factbook of Science, Rainbow Books, London

2. Roaf, Sue, Crichton, David, Nicol, Fergus (2005), Adapting Buildings and Cities for Climate Change A 21st Century Survival Guide, Architectural Press & Elsevier, Oxford, UK 3. Smyth, A and Wheater, C (1990), Here's Health The Green Guide, Argus Book, England. 4. Woodwell, GM (1978), The Carbon Dioxide Question, in Energy and Environment, WH

Freeman and Co, USA

5. Karyono, Tri Harso (1995), Shaping the City through Energy Conseravation: A Case Study of Jakarta, Indonesia, in Development through Conseravtion: Towards Shaping World Cities, International Workshop on Urban Regeneration, edited by Charles Cockburn and Ramalaksmi V. Isaiah, Proccedings of the Workshop, University of York, UK.

6. Karyono, Tri Harso (2001), Pertimbangan Iklim pada Rancangan Kota Tropis, Majalah Konstruksi, Januari-Februari, hal. 13.

7. Karyono, Tri Harso (1996), Green city leads to cool buildings, The Jakarta Post, 14 February 1996, Jakarta, Indonesia.

8. Szokolay, SV (1976), Solar Energy and Building, Architectural Press, London, UK 9. Vale, B dan Vale, R (1991), Green Architecture, Thames and Hudson, London

10. Kompas (1997), Tumbuhan Terbukti mampu Mereduksi Polusi, PT Gramedia, Jakarta 17 Mei, hal.12.

11. Karyono, Tri Harso (1996), Penghijauan Kota sebagai Usaha Penurunan Suhu Kota, Majalah Konstruksi, Mei.

12. Parker, J. (1981), Uses of landscaping for energy conservation, Florida International University and the Governor's Energy Office of Florida.

13. Akbari, H. et al. (1990), Summer Heat Island, Urban Trees and White Surfaces, ASHARE Transactions, pp.1381-1388.

14. Karyono, Tri Harso (2001), Revolusi Transportasi Kota, Harian SinarHarapan, 28 September 15. Karyono, Tri Harso (2002), Sustainability of the Built Environment in the Humid Tropics of Indonesia, An Overview, proceedings International Conference on Building Research and the Sustainability of the Built Environment, Jakarta, 14-16 Oktober 2002, edited by Tri H. Karyono, Fergus Nicol, Susan Roaf.

16. Karyono, Tri Harso (2000), Konsep Kantung Pedestrian Kota Tropis, Harian Kompas, 6 Desember

Gambar

Gambar  1  memperlihatkan  prediksi  dampak  dari  pemanasan  global  yang  akan  mengakibatkan cairnya es di kutub dan diperkirakan sejumlah tempat di dunia terutama kawasan  pantai akan terendam air laut
Gambar 3. Proses terjadinya pemanasan bumi [1]

Referensi

Dokumen terkait

Hartono (2014:586) menambahkan bentuk efisiensi pasar menjadi efisiensi pasar berdasarkan keputusan, dimana pasar dikatakan efisien apabila harga sekuritas dalam

Berdasarkan data-data yang ada, dilakukan analisa dan perhitungan besar arus gangguan terhadap relai proteksi agar relai arus lebih bekerja dan dapat mentripkan

Uraian materi I ini membahas tentang tinjauan ulang materi yang pernah di bahas pada modul sebelumnya. Materi pertama adalah membahas tipe data dasar pada Turbo Pascal.

Kemampuan untuk mengonstruksi grafik untuk menampilkan sekumpulan data berdasarkan hubungan dua variabel dari hasil tes performa di laboratorium 80% mampu mengerjakan

Pada tahun 2009 ini Kebun Raya “Eka Karya” Bali menggandeng kembali Universitas Udayana, beserta Penggalang Taksonomi Tumbuhan Indonesia dan Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bali

Data rendemen tebu memiliki ragam yang berbeda-beda tiap waktu tanam atau tidak homogen sehingga terindikasi ada perlakuan yang memberikan pengaruh berbeda. Berbeda dengan

Anco pada masyarakat Wonokerto memiliki makna alat untuk menangkap ikan yang terbuat dari jaring berbentuk persegi yang berukuran 150-300 cm 2 dan keempat sudut

Bila pada gambaran foto polos abdomen (BNO/3 posisi) ditemukan udara pada rongga peritoneum atau subdiafragma kanan, maka hal ini merupakan nilai yang cukup menentukan