• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Kepolisian 1. Kepolisian a. Pengertian - Adhi Priyanto BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Kepolisian 1. Kepolisian a. Pengertian - Adhi Priyanto BAB II"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

A. Tinjauan Umum Kepolisian 1. Kepolisian

a. Pengertian

Menurut Erma Yulihastin dalam bukunya berjudul: “Bekerja Sebagai Polisi”, kata “polisi” dapat merujuk kepada tiga hal, yaitu orang, institusi (lembaga), atau fungsi. Kata polisi yang merujuk kepada “orang”

pengertiannya adalah anggota badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum. Kata polisi yang bermakna institusi, biasa disebut dengan kepolisian, contohnya Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Polri, dan Kepolisian Daerah atau Polda. Sedangkan arti polisi sebagai fungsi atau sebagai “kata kerja”, berasal dari bahasa inggris “to police”,

yaitu pekerjaan mengamati, memantau, mengawasi segala sesuatu untuk menangkap gejala yang terjadi (Erma Yulihastin, 2008: 3).

Sedangkan pengertian kepolisian menurut Van Vollenhoven dalam bukunya berjudul “Politie Overzee” mengatakan bahwa pengertian politie

(2)

sebagai organ dan fungsi, yakni sebagai organ pemerintah dengan tugas mengawasi, jika perlu menggunakan paksaan supaya yang diperintah menjalankan dan tidak melakukan larangan perintah (Pudi Rahardi, 2014: 2). Selanjutnya sejalan dengan pemikiran Van Vollenhoven, dikatakan oleh Sadjijono. Dalam buku karyanya berjudul “Etika Profesi Hukum Suatu Telaah Filosofis Terhadap Konsep dan Implementasi Kode Etik Profesi Polri”, menjelaskan bahwa, selama ini polisi dipahami sebagai suatu organ,

lembaga atau institusi. Dengan demikian istilah kepolisian dimaknai sebagai organ beserta fungsinya (Sadjijono, 2008: 20).

Menurut G. W. Bawengan, dalam buku karyanya berjudul “Pengantar Psikologi Kriminal”, memaknai kepolisian sebagai fungsi.

Kepolisian sebagai fungsi, menunjuk pada tugas dan wewenang yang diberikan oleh undang-undang, yaitu fungsi preventif dan fungsi represif. Fungsi preventif yaitu berupa tindakan-tindakan kepolisian yang dilakukan dengan maksud untuk mencegah agar tidak terjadi suatu kejahatan. Fungsi represif yaitu tindakan-tindakan seperti mengadili, menjatuhkan hukuman terhadap tertuduh (G. W. Bawengan, 1991: 187).

Menurut Pudi Rahardi, dalam buku karyanya berjudul “Kemandirian Profesionalisme dan Reformasi Polri”, bahwa kepolisian dimaknai pula

(3)

yang oleh undang-undang diberi tugas dan wewenang serta tanggung jawab untuk menyelenggarakan kepolisian (Pudi Rahardi, 2014: 2- 3).

Pendapat lain dikemukakan oleh Kamisa. Menurut Kamisa dalam kamus bahasa Indonesia yang berhasil disusunnya, mengartikan kata polisi adalah badan yang dibentuk pemerintah sebagai pemelihara keamanan dalam negeri (Kamisa, 1997: 422).

Pengertian kepolisian terdapat pula dalam Undang-undang R.I. Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pada Pasal 1 ayat (1) dikatakan bahwa: “Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan” (UU R.I. No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian). b. Tugas

Tugas pokok kepolisian merupakan tugas-tugas yang harus dikerjakan atau dijalankan oleh lembaga kepolisian. Dengan demikian tugas lembaga yang dijalankan oleh anggota kepolisian dapat dimaknai sebagai bentuk atau jenis dari pekerjaan khusus, yakni khusus dalam bidang pengayoman, dan bidang pelayanan (Sadjijono, 2008: 35).

Adapun tugas pokok kepolisian dalam Pasal 13 Undang-undang R.I Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Untuk tercapainya tujuan negara yang aman tentram dan damai, kepolisian melaksanakan tugas pokok, yaitu: a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.

(4)

c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat (UU R.I. No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian).

Dalam Pasal 14 Undang-undang R.I. Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, disebutkan mengenai tugas yang harus dilaksanakan oleh Polri. Adapun bunyi pasal tersebut, sebagai berikut:

Pasal 14:

(1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas:

a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan. b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan,

ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan.

c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan.

d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional.

e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.

f. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.

g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.

h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian.

i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang.

k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian.

(5)

(2) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Terkait pelaksanaan tugas Polri sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-undang R.I. Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, Polri memiliki kewenangan khusus di bidang proses pidana. Kewenangan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Undang-undang

R.I. Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, yang berbunyi: Pasal 16:

(1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk:

a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.

b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan.

c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan.

d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.

f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.

g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.

h. Mengadakan penghentian penyidikan.

i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.

j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana.

c. Peran

(6)

Polisi bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas). Di samping itu, polisi juga berperan sebagai aparat penegak hukum. Polisi merupakan bagian dari criminal justice system bersama aparat penegak hukum lain, yaitu kejaksaan dan pengadilan (Pudi Rahardi, 2014: viii).

Adapun peran polisi menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dikatakan bahwa: “Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri” (UU R.I. No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian).

d. Fungsi

(7)

yang sebelumnya didahului oleh tindakan penyelidikan oleh penyelidik (Pudi Rahardi, 2014: 25).

e. Daerah Hukum Kepolisian

Setiap kepolisian memiliki tugas. Dalam pelaksanaan tugas pokok Polri, kepolisian melaksanakan tugas di daerah hukumnya masing-masing. Adapun daerah hukum kepolisian dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2007 tentang Daerah Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia, antara lain:

1. Daerah hukum Kepolisian Markas Besar (Mabes), untuk wilayah Negara Republik Indonesia.

2. Daerah hukum Kepolisian Daerah (Polda), untuk wilayah propinsi. 3. Daerah hukum Kepolisian Resort (Polres), untuk wilayah

kabupaten/kota.

4. Daerah hukum Kepolisian Sektor (Polsek), untuk wilayah kecamatan. f. Visi dan Misi

Kepolisian mempunyai visi dan misi. Adapun visi dan misi profesi kepolisian, sebagaimana dikemukakan oleh mantan Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri) (Jenderal Polisi Sutanto), yakni:

Visi: Alat negara penegak hukum dan sebagai pemeliharaan keamanan dalam negeri yang profesional, dekat dengan masyarakat, bertanggung jawab, dan mempunyai komitmen terhadap masyarakat.

(8)

1. Menegakkan hukum secara adil, bersih, dan menghormati HAM.

2. Memelihara keamanan dalam negeri dengan memperhatikan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyrakat.

2. Melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat.

3. Mendorong meningkatnya kesadaran dan keputusan hukum masyarakat (Sadjijono, 2008: 51).

2. Kepolisian Resort (Polres) a. Pengertian

Dalam Bab I Ketentuan Umum, dalam Pasal 1 angka 5 Peraturan Kepala Kepolisian R.I. Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek, terdapat penjelasan mengenai pengertian Kepolisian Resort (Polres). Dalam pasal tersebut mengatakan: “Kepolisian Resort yang selanjutnya disingkat Polres adalah

pelaksana tugas dan wewenang Polri di wilayah kabupaten/kota yang berada di bawah Kapolda” (Perkap No.23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek).

(9)

daerah hukum masing-masing” (Perkap No.23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek).

Polres terdiri dari 4 (empat) tipe. Dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian R.I. Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek, menyebutkan bahwa Polres terdiri dari:

a. Tipe Kepolisian Resort Metropolitan (Polresmetro). b. Tipe Kepolisian Resort Kota Besar (Polrestabes). c. Tipe Kepolisian Resort Kota (Polresta).

d. Tipe Kepolisian Resort (Polres). b. Tugas

(10)

c. Fungsi

Setiap organisasi pasti memiliki fungsi, begitu juga dengan Polres. Adapun susunan organisasi Polres sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 6 Peraturan Kepala Kepolisian R.I. Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek, berbunyi:

Pasal 6:

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Pasal 5, Polres menyelenggarakan fungsi:

a. Pemberian pelayanan kepolisian kepada masyarakat, dalam bentuk penerimaan dan penanganan laporan/pengaduan, pemberian bantuan dan pertolongan termasuk pengamanan kegiatan masyarakat dan instansi pemerintah, dan pelayanan surat izin/keterangan, serta pelayanan pengaduan atas.

b. Pelaksanaan fungsi intelijen dalam bidang keamanan guna terselenggaranya deteksi dini (early detection) dan peringatan dini (early warning).

c. Penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, fungsi identifikasi dan fungsi laboratorium forensik lapangan dalam rangka penegakan hukum, serta pembinaan, koordinasi, dan pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).

d. Pembinaan masyarakat, yang meliputi pemberdayaan masyarakat melalui perpolisian masyarakat, pembinaan dan pengembangan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa dalam rangka peningkatan kesadaran dan ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan, terjalinnya hubungan antara Polri dengan masyarakat, koordinasi dan pengawasan kepolisian khusus.

e. Pelaksanaan fungsi Sabhara, meliputi kegiatan pengaturan, penjagaan pengawalan, patroli (Turjawali) serta pengamanan kegiatan masyarakat dan pemerintah, termasuk penindakan tindak pidana ringan (Tipiring), pengamanan unjuk rasa dan pengendalian massa, serta pengamanan objek fital, pariwisata dan Very Important Person (VIP).

(11)

g. Pelaksanaan fungsi kepolisian perairan, meliputi kegiatan patroli perairan, penanganan pertama terhadap tidak pidana perairan, pencairan dan penyelamatan kecelakaan di wilayah perairan, pembinaan masyarakat perairan dalam rangka pencegahan kejahatan, dan pemeliharaan keamanan di wilayah perairan.

h. Pelaksanaan fungsi-fungsi lain, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

d. Susunan Organisasi

Pada bab II bagian kedua, dalam Pasal 7 Peraturan Kepala Kepolisian R.I. Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek terdapat penjelasan mengenai susunan organisasi Polres. Terdapat 5 (lima) unsur di dalam susunan organisasi Polres. Adapun susunan organisasi Polres yang dimaksud dalam pasal tersebut, antara lain: Pasal 7:

Susunan organisasi Polres terdiri dari: a. Unsur Pimpinan.

b. Unsur Pengawas dan Pembantu Pimpinan. c. Unsur Pelaksana Tugas Pokok.

d. Unsur Pendukung.

e. Unsur Pelaksana Tugas Kewilayahan.

Polres mempunyai pimpinan. Dalam Pasal 8 Peraturan Kepala Kepolisian R.I. Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Kepolisian Resort dan Kepolisian Sektor dijelaskan mengenai unsur pimpinan Polres. Adapun bunyi pasal tersebut, adalah sebagai berikut:

Pasal 8:

(12)

b. Wakil Kapolres (Wakapolres).

Untuk terlaksananya tugas kepolisian dan tercapainya tujuan kepolisian (Polres), dibutuhkan peran pengawas dan pembantu pimpinan. Adapun penjelasan mengenai kedua hal tersebut terdapat dalam Pasal 9 Peraturan Kepala Kepolisian R.I. Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek, yang berbunyi: Pasal 9:

Unsur pengawas dan pembantu pimpinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b, terdiri dari:

a. Bagian Operasional (Bagops). b. Bagian Perencanaan (Bagren). c. Bagian Sumber daya (Bagsumda). d. Seksi Pengawas (Siwas).

e. Seksi Profesi dan Pengamanan (Sipropam). f. Seksi Keuangan (Sikeu).

g. Seksi Umum (Sium).

Polres mempunyai tugas. Terkait dengan tugas dan untuk terselenggaranya tugas Polres tersebut, maka perlu peran unsur pelaksana tugas pokok. Adapun unsur pelaksana tugas pokok (Polres) dalam Pasal 10 Peraturan Kepala Kepolisian R.I. Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek, antara lain: Pasal 10:

Unsur pelaksana tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c, terdiri dari:

(13)

g. Satuan Lalu Lintas (Sat Lantas).

h. Satuan Pengamanan Objek Vital (Sat Pam Obvit). i. Satuan Polisi Perairan (Sat Pol air).

h. Satuan Perawatan Tahanan dan Barang Bukti (Sat Tahti).

Untuk terselenggaranya fungsi Polri (Polres) berkenaan dengan bidang teknologi informasi, dibutuhkan peran unsur pendukung dalam bidang tersebut. Dalam Pasal 11 Peraturan Kepala Kepolisian R.I. Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek, unsur pendukung Polres, yaitu Seksi Teknologi dan Informasi Kepolisian (Sitipol). Dalam Pasal 1 angka 24 Peraturan Kepala Kepolisian R.I. Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek dikatakan bahwa, Sitipol adalah unsur pendukung di bidang pelayanan teknologi dan informasi Polri pada tingkat Polres yang berada di bawah Kapolres.

(14)

Kapolres (Perkap No.23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek).

3. Satuan Reserse Kriminal (Sat Reskrim) a. Pengertian

Dalam Bab I Ketentuan Umum, dalam Pasal 1 angka 16 Peraturan Kepala Kepolisian R.I. Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek, terdapat penjelasan mengenai pengertian Satuan Reserse Kriminal (Sat Reskrim). Dalam pasal tersebut dikatakan: “Satuan Reserse Kriminal yang selanjutnya disingkat Sat Reskrim adalah unsur pelaksana tugas pokok fungsi reserse kriminal pada tingkat Kepolisian Resort (Polres) yang berada di bawah Kepala Kepolisian Resort (Kapolres)” (Perkap No.23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek).

b. Tugas

Dalam Bab II tentang Organisasi Polres, pada bagian kelima Pasal 43 Peraturan Kapolri Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek dijelaskan tentang unsur pelaksana tugas pokok Satuan Reserse Kriminal (Sat Reskrim). Dalam Pasal tersebut, berbunyi:

(1) Sat Reskrim sebagaimana dimaksud Pasal 10 huruf c merupakan unsur pelaksana tugas pokok yang berada di bawah Kapolres.

(15)

laboratorium forensik lapangan serta pembinaan, koordinasi dan pengawasan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS).

c. Fungsi

Fungsi Sat Reskrim terdapat dalam Pasal 43 ayat (3) Peraturan Kepala Kepolisian R.I. Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek. Adapun fungsi Sat Reskrim dalam pasal tersebut, berbunyi:

Pasal 43 ayat (3):

(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada Pasal 43 ayat (2), Sat Reskrim menyelenggarakan fungsi

a. Pembinaan teknis terhadap administrasi penyelidikan dan penyidikan, serta identifikasi dan laboratorium forensik lapangan. b. Pelayanan dan perlindungan khusus kepada remaja, anak, dan

wanita baik sebagai pelaku maupun korban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

c. Pengidentifikasian untuk kepentingan penyidik dan pelayanan umum.

d. Penganalisisan kasus beserta penanganannya, serta mengkaji efektifitas pelaksanaan tugas Sat Reskrim.

e. Pelaksanaan pengawasan penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh penyidik pada Unit Reskrim Polsek dan Sat Reskrim Polres. f. Pembinaan, koordinasi dan pengawasan penyidik pegawai negeri

sipil (PPNS) baik di bidang operasional maupun administrasi penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

g. Penyelidikan dan penyidikan tindak pidana umum dan khusus, antara lain tindak pidana ekonomi, korupsi, dan tindak pidana tertentu di daerah hukum Polres.

d. Susunan Organisasi

(16)

pelaksanaan tugas dan untuk terselenggaranya fungsi reserse kriminal, juga terdapat seorang pimpinan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 44 Peraturan Kepala Kepolisian R.I. Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek. Dalam pasal tersebut berbunyi: “Sat Reskrim dipimpin oleh seorang Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) yang bertanggungjawab kepada Kepala Kepolisian Resort (Kapolres) dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari di bawah kendali Wakil Kepala Kepolisian Resort (Waka Polres)” (Perkap

No.23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek).

(17)

Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh Wakil Kepala Satuan Reserse Kriminal (Wakasat Reskrim).

Satuan Reserse Kriminal (Sat Reskrim) mempunyai beberapa organ. Organ-organ tersebut masing-masing mempunyai tugas tersendiri dalam rangka terlaksananya tugas Satuan Reserse Kriminal (Sat Reskrim) sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek. Adapun organ/unsur Sat Reskrim dijelaskan dalam Pasal 46 Peraturan Kepala Kepolisian R.I. Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek, yang berbunyi:

Pasal 46:

Sat Reskrim dalam melaksanakan tugas dibantu oleh:

a. Urusan Pembinaan Operasional (Urbinopsnal), yang bertugas melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap administrasi serta pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan, menganalisis penanganan kasus dan mengevaluasi efektivitas pelaksanaan tugas Sat Reskrim. b. Urusan Administrasi dan Ketatausahaan (Urmintu), yang bertugas

menyelenggarakan kegiatan administrasi dan ketatausahaan.

c. Urusan Identifikasi (Urident), yang bertugas melakukan identifikasi dan laboratorium forensik lapangan, dan pengidentifikasian untuk kepentingan penyidikan dan pelayanan umum.

(18)

B. Kepolisian Sebagai Aparat Penegak Hukum 1. Sebagai Penyelidik

Menurut Pasal 1 angka 4 KUHAP yang disebut penyelidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini (KUHAP) untuk melakukan penyelidikan. Dalam Pasal 4 KUHAP, penyelidik adalah setiap pejabat polisi Negara Republik Indonesia.

Dengan demikian, dalam Pasal 1 angka 5 KUHAP, yang dimaksud penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat/tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Kewenangan penyelidik dirumuskan dalam Pasal 5 KUHAP, antara lain: (1) Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 KUHAP:

a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang:

1. Menerima laporan/pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana.

2. Mencari keterangan dan barang bukti.

3. Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.

4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. b. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:

1. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan.

2. Pemeriksaan dan penyitaan surat.

3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.

4. Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik.

(19)

2. Sebagai Penyidik

Polisi adalah penyidik dan berwenang melakukan penyidikan tindak pidana yang sebelumnya didahului oleh tindakan penyelidikan oleh penyelidik. Tindak pidana yang dimaksudkan adalah pelanggaran dan kejahatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun yang tersebar di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) (Pudi Rahardi, 2014: 25).

Menurut Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, fungsi kepolisian dalam sistem peradilan pidana sangat penting. Sebab ia menjadi garda terdepan dalam penegakkan hukum pidana. Dalam hukum acara pidana fungsi kepolisian yang sangat mendasar adalah fungsi penyidikan (Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, 2014: 53).

Secara singkat tugas penyidik adalah melakukan penyidikan. Kegiatan penyidikan merupakan tindak lanjut penyelidikan, yang tidak terlalu banyak telah menemukan konstruksi peristiwa pidana yang terjadi (Bambang Waluyo, 2008: 44).

(20)

Menurut Pasal 1 angka 1 KUHAP yang disebut penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Adapun yang dimaksud penyidik dalam Pasal 6 KUHAP, adalah sebagai berikut: (1) Penyidik adalah:

a. Pejabat polisi Negara Republik Indonesia.

b. Pejabat PNS tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

(2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah (UU No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP).

Kewenangan penyidik tercantum dalam Pasal 7 KUHAP. Dalam pasal tersebut berbunyi:

(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang:

a. Menerima laporan/pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana.

b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian.

c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memerikasa tanda pengenal diri tersangka.

d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledehan, dan penyitaan. e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.

f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.

g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.

h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.

i. Mengadakan penghentian penyidikan.

j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. (2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai

wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a.

(21)

Dengan demikian, dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP dijelaskan mengenai pengertian penyidikan. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

C. Tinjauan Umum Judi 1. Pengertian Judi

Perjudian merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat. Penyakit masyarakat menurut para ahli ilmu penyakit (patolog) disebut sebagai patologi sosial (Kartini Kartono, 2011: 57).

Penyakit masyarakat adalah segala bentuk tingkah laku yang dianggap tidak sesuai, melanggar norma-norma umum, adat-istiadat, hukum formal, atau tidak bisa diintegrasikan dalam pola tingkah laku umum. Disebut sebagai penyakit masyarakat karena gejala sosialnya yang terjadi di tengah masyarakat itu meletus menjadi “penyakit” (Kartini Kartono, 1986: 4).

Menurut R. Soesilo (1991: 222) yang dikutip oleh Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi dalam bukunya yang berjudul: “Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana” menjelaskan bahwa, permainan judi dalam bahasa asingnya

(22)

saja, dan juga kalau pengharapan itu jadi bertambah besar karena kepintaran dan kebiasaan pemain (Ismu Gunadi, dan Jonaedi Efendi, 2014: 202).

Adapun pendapat menurut Kamisa mengenai judi. Dalam Kamus Bahasa Indonesia yang disusunnya, secara singkat dijelaskan bahwa, judi adalah permainan yang memperebutkan uang (Kamisa, 1997: 263).

Pendapat berbeda dikemukakan oleh Kartini Kartono. Ia mengemukakan bahwa, judi atau perjudian adalah pertaruhan dengan sengaja yaitu memperebutkan satu nilai atau sesuatu yang dianggap bernilai dengan menyadari adanya risiko dan harapan-harapan tertentu pada peristiwa-peristiwa permainan, pertandingan, perlombaan dan kejadian-kejadian yang tidak/belum pasti hasilnya (Kartini Kartono, 2011: 58).

Dilihat dari sudut pandang agama Islam, judi dikenali sebagai Al-Maisir dan Al-Qimar, yaitu permainan yang mengandung unsur taruhan dan orang yang menang dalam permainan itu berhak mendapat taruhan tersebut. Kesemuanya itu diharamkan dalam Islam. Hal tersebut sesuai Firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah:219, dalam surat tersebut Allah berfirman: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi, katakanlah bahwa pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya” (http://cahkudus.tk/2011/11/judi-atau-perjudian.html?m=1).

(23)

bergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya.

Dali Mutiara, dalam tafsiran KUHP, seperti yang dikutip oleh Kartini Kartono dalam bukunya yang berjudul: “Patologi Sosial Jilid 1” menafsirkan

bahwa, permainan judi harus diartikan dalam arti yang luas, juga termasuk segala pertaruhan tentang kalah menangnya suatu pacuan kuda atau pertandingan lain, atau segala pertaruhan dalam perlombaan-perlombaan yang diadakan antara dua orang yang tidak ikut sendiri dalam perlombaan-perlombaan itu. Misalnya: totalisator, dan lain-lain (Kartini Kartono, 2011: 58).

Menurut Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, yang mengutip dari buku karya Wiryono Prodjodikoro (1986: 128) menyatakan bahwa, dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat dua pasal yang merumuskan tentang perjudian. Dua pasal yang dimaksud yaitu Pasal 303 dalam Titel XIV Buku II tentang Kejahatan Melanggar Kesopanan, dan Pasal 542 dalam Titel VI Buku III tentang Pelanggaran Mengenai Kesopanan (Ismu Gunadi, dan Jonaedi Efendi, 2014: 202).

(24)

KUHP menjadi Pasal 303 bis atau dengan kata lain Pasal 542 KUHP ditiadakan (penjelasan UU No.7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian).

Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 menyatakan, semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan. Undang-undang tersebut juga menegaskan mengenai perubahan ancaman hukuman yang terdapat dalam pasal-pasal yang mengatur perihal perjudian dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yakni Pasal 303 ayat (1) KUHP, Pasal 542 ayat (1) dan ayat (2) KUHP (sekarang menjadi Pasal 303 bis). Perubahan ancaman hukumannya menjadi diperberat. Berikut ini adalah perubahan yang dimaksud:

Pasal 1:

Menyatakan semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan. Pasal 2:

(1) Merubah ancaman hukuman dalam Pasal 303 ayat (1) KUHP, dari hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya sembilan puluh ribu rupiah menjadi hukuman penjara selama-lamanya sepuluh tahun atau denda sebanyak-banyaknya dua puluh lima juta rupiah.

(2) Merubah ancaman hukuman dalam Pasal 542 ayat (1) KUHP, dari hukuman kurungan selama-lamanya satu bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah menjadi hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya sepuluh juta rupiah.

(3) Merubah ancaman hukuman dalam Pasal 542 ayat (2) KUHP, dari hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah menjadi hukuman penjara selama-lamanya enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya lima belas juta rupiah.

(4) Merubah sebutan Pasal 542 menjadi Pasal 303 bis.

(25)

sistematis dalam KUHP. Tentang kejahatan diatur di dalam buku kedua KUHP, terdiri dari 31 bab dan 384 pasal, yaitu Pasal 104 sampai dengan Pasal 488, dan kejahatan yang diatur di dalam pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut: 1. Kejahatan terhadap keamanan negara, terdiri dari 25 pasal yaitu dari Pasal

104 sampai Pasal 129.

2. Kejahatan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden, terdiri dari 9 pasal yaitu dari Pasal 130 sampai Pasal 139.

3. Kejahatan terhadap negara sahabat dan terhadap kepala negara sahabat serta wakilnya, terdiri dari 6 pasal yaitu, dari Pasal 139 sampai Pasal 145.

4. Kejahatan terhadap melakukan kewajiban dan hak kenegaraan, terdiri dari 7 pasal, yaitu Pasal 146 sampai Pasal 153.

5. Kejahatan terhadap ketertiban umum, terdiri dari 27 pasal, yaitu Pasal 154 sampai Pasal 181.

6. Perkelahian tanding, terdiri dari 4 pasal, yaitu Pasal 182 sampai sampai Pasal 186.

7. Kejahatan yang membahayakan keamanan umum bagi orang atau barang, terdiri dari 19 pasal (Mardani, 2008: 63).

(26)

kejahatan bukan hanya yang dilarang oleh hukum pidana tetapi juga tingkah laku yang oleh masyarakat dianggap merugikan walaupun tidak diatur dalam hukum pidana (B. Simandjuntak, 1981: 72- 73).

Menurut W.A. Bonger kejahatan adalah perbuatan yang sangat anti sosial yang memperoleh tentangan dengan sadar dari negara berupa pemberian penderitaan (hukuman atau tindakan). Kejahatan hanyalah perbuatan yang melanggar pasal hukum pidana saja (W.A. Bonger, 1995: 23).

Dari suatu sudut pandang yang agak berbeda, Richard Quinney menyatakan bahwa kejahatan adalah suatu rumusan tentang perilaku manusia yang diciptakan oleh yang berwenang dalam suatu masyarakat yang secara politis terorganisasi. Kejahatan merupakan suatu hasil rumusan perilaku yang diberikan terhadap sejumlah orang oleh orang-orang lain, dengan begitu kejahatan adalah sesuatu yang diciptakan (Soerjono Soekanto, dkk, 1981: 49).

Pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang mengatur larangan judi salah satunya adalah Pasal 303 ayat (1) KUHP. Ancaman hukuman dalam pasal tersebut yang berlaku saat ini, setelah adanya perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, yakni: Pasal 303:

(1) Pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau pidana denda paling banyak dua puluh lima juta rupiah, barang siapa tanpa mendapat izin:

(27)

2. Dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan kepada khalayak umum untuk bermain judi atau dengan sengaja turut serta dengan perusahaan untuk itu, dengan tidak peduli apakah untuk menggunakan kesempatan adanya sesuatu syarat atau dipenuhinya sesuatu tata cara.

3. Menjadikan turut serta pada permainan judi sebagai penjudi.

(2) kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencahariannya, maka dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian itu.

Dalam pasal lain, yakni Pasal 303 bis KUHP. Pasal tersebut berbunyi: Pasal 303 bis:

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sepuluh juta rupiah:

1. Barang siapa menggunakan kesempatan main judi, yang diadakan dengan melanggar ketentuan Pasal 303.

2. Barang siapa ikut serta main judi di jalan umum atau di pinggir jalan umum atau di tempat yang dapat dikunjungi umum, kecuali kalau ada izin dari penguasa yang berwenang yang telah memberi izin untuk mengadakan perjudian itu.

(2) Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat dua tahun sejak ada pemidanaan yang menjadi tetap karena salah satu dari pelanggaran ini, dapat dikenakan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak lima bellas juta rupiah.

2. Unsur-unsur Judi

Ada 3 (tiga) unsur agar suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai judi. Unsur-unsur yang dimaksud, antara lain:

a. Permainan/perlombaan

(28)

b. Untung-untungan

Untuk memenangkan permainan/perlombaan, lebih banyak digantungkan kepada unsur spekulatif atau kepintaran pemain yang sudah terbiasa/terlatih. c. Ada taruhan

Dalam permainan/perlombaan ada taruhan yang dipasang oleh para pihak (pemain atau bandar), baik dalam bentuk uang ataupun harta benda lainnya. Unsur ini merupakan unsur yang paling utama untuk menentukan apakah sebuah perbuatan dapat disebut sebagai judi atau bukan

(http://arhiefstyle87.wordpress.com/2008/04/10/judi-pengertian-dan-jenis2ny a/?_e_pi_=7%2CPAGE_ID10%2C8846 319632). 3. Bentuk dan Jenis Perjudian

Bentuk dan jenis perjudian disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian. Bentuk dan jenis yang dimaksud dalam pasal tersebut, antara lain:

1. Perjudian di Kasino, antara lain: roulette, blackjack, baccarat, creps, keno, tombola, super ping-pong, lotto fair, satan, paykyu, slot machine (jackpot), ji

si kie, big six wheel, chuc a luck, lempar paser/bulu ayam pada sasaran atau papan yang berputar, pachinko, poker, twenty one, hwa-hwe, kiu-kiu.

(29)

bola, adu ayam, adu sapi, adu kerbau, adu domba/kambing, pacu kuda, karapan sapi, pacu anjing, hailai, mayong/ macak, erek-erek.

3. Perjudian yang dikaitkan dengan alasan-alasan lain, antara lain perjudian yang dikaitkan dengan kebiasaan, seperti: adu ayam, adu sapi adu kerbau pacu kuda, karapan sapi, adu domba/kambing.

D. Tinjauan Umum Judi Toto Gelap (Togel) 1. Pengertian Judi Toto Gelap (Togel)

Secara etimologi, togel berasal dari bahasa Indonesia. Togel merupakan singkatan dari kata “toto” dan “gelap”. “Toto” berarti pertaruhan dan “gelap”

berarti tertutup. Dari kedua kata tersebut, bila digabungkan menghasilkan kata “toto gelap” yang disingkat menjadi togel. Sehingga arti togel adalah pertaruhan

(judi) yang dilakukan secara tertutup atau dilakukan secara sembunyi-sembunyi

(http://ensiklopedia.mywapblog.com/togel.xhtml).

(30)

yang meresahkan masyarakat dan biasanya berkaitan dengan perilaku kriminal lainnya (http://ensiklopedia.mywapblog.com/togel.xhtml).

Demikian definisi togel dari beberapa pendapat. Jadi, dari definisi secara etimologi dan beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa toto gelap atau togel adalah permainan judi dengan cara mengundi angka yang pemenangnya memiliki angka yang keluar sama dengan angka yang dibeli, baik secara online maupun offline (http://ensiklopedia.mywapblog.com/togel. xhtml). 2. Aturan Umum Bermain Judi Toto Gelap (Togel)

Satu kupon togel minimal berharga Rp.1000,00 (seribu rupiah) dan berlaku kelipatannya. Setiap kupon hanya bisa diisi dengan 1 bilangan, mulai dari 2 angka (2D/deret), 3 angka (3D/deret), atau 4 angka (4D/deret). Jika tebakan benar, maka pemain mendapat hadiah dengan ketentuan sesuai jumlah angka tebakan yang dipasang sebagai berikut:

Tabel 1

Kalkulasi Kupon Judi Toto Gelap (Togel)

No. Harga Kupon Perolehan Hadiah

2D 3D 4D

1. 2. 3. 4. Rp 1000,00 Rp 2000,00 Rp 3000,00 Dst Rp 60.000,00 Rp 120.000,00 Rp 180.000,00 Dst Rp 300.000,00 Rp 600.000,00 Rp 900.000,00 Dst Rp 2.500.000,00 Rp 5.000.000,00 Rp 7.500.000,00 Dst Sumber: http://doctorgamble.xtgem.com/tentang%20togel.

Misalnya: keluar nomor 1234. Berarti pemenang untuk: 4D adalah 1234.

(31)

Bila pemain memasang/membeli 2D (2 angka) dengan harga kupon Rp 1000,00, maka, bila pemain menang akan mendapatkan uang sebesar Rp 60.000,00, yang diperoleh dari: harga kupon x 60. Sehingga uang yang diperoleh adalah Rp 1.000,00 x 60 = Rp 60.000,00, dan berlaku kelipatannya. Maksud berlaku kelipatannya yaitu bila harga kupon Rp 2000,00 berarti Rp 2000,00 x 60 = Rp 120.000,00, dan seterusnya.

Bila pemain memasang/membeli 3D (3 angka) dengan harga kupon Rp 1000,00, maka, bila pemain menang akan mendapatkan uang sebesar Rp 300.000,00, yang diperoleh dari: harga kupon x 300. Sehingga uang yang diperoleh adalah Rp 1.000,00 x 300 = Rp 300.000,00, dan berlaku kelipatannya. Maksud berlaku kelipatannya yaitu bila harga kupon Rp 2000,00 berarti Rp 2000,00 x 300 = Rp 600.000,00, dan seterusnya.

Bila pemain memasang/membeli 4D (4 angka) dengan harga kupon Rp 1000,00, maka, bila pemain menang akan mendapatkan uang sebesar Rp 2.500.000,00, yang diperoleh dari: harga kupon x 2.500. Sehingga uang yang diperoleh adalah Rp 1.000,00 x 2.500 = Rp 2.500.000,00, dan berlaku kelipatannya. Maksud berlaku kelipatannya yaitu bila harga kupon Rp 2000,00 berarti Rp 2000,00 x 2.500 = Rp 5.000.000,00, dan seterusnya.

3. Pasaran dan Jenis Judi Toto Gelap di Media Online

(32)

pasaran Singapura dan Hongkong. Pasaran judi togel lainnya, seperti: Sydney, Romania, South Korea dan lain-lain (http://www.pasarantogel.com/page/berita).

Judi togel dapat pula dimainkan melalui media online (internet). Di media online terdapat berbagai macam situs judi togel, seperti: sakura4D.com, toko4D.com, dan lain-lain. Dalam situs tersebut terdapat banyak sekali jenis permain, mulai dari: 4D,3D dan 2D, 2D posisi, colok bebas, colok bebas 2D/macau, paket colok 4D, colok naga, colok jitu, tengah/tepi dan lain-lain (http://mastersgp.net/info-togelmania/jenis-permainan-togel).

Gambar

Tabel 1 Kalkulasi Kupon Judi Toto Gelap (Togel)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi komposisi pati dalam beras analog ubi ungu, maka kandungan amilosa meningkat, tekstur beras semakin keras dan tidak

Mengenal Lebih Dekat Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia... Beban ganda adalah beban kerja yang lebih panjang dan lebih banyak daripada jenis kelamin yang lain. 19 Beban ganda

Tindakan keperawatan yang diberikan mengidentifikasi faktor penyebab nyeri, menginstruksikan kepada klien untuk mencatat karakteristik dari nyeri tersebut,

segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum, manusia atau badan hukum, dan yang dapat menjadi pokok (obyek) suatu hubungan hukum (dapat disebut.. hak), kerena suatu dapat

Kemudian, setelah diketahui berbagai kekurangan yang terjadi di Isna Istiana, 2013 Penerapan Metode Hynoteaching Sugesti Bangun Dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Menceritakan

Pereaksi senyawa sulfonamida, Tabung reaksi, pipet tetes, rak tabung, objek glass, cover glass, mikroskop, lampu spiritus, ring sublimasi.. Reaksi Roux:

Kedua, Jaminan yang tidak sebanding yang diberikan oleh debitur kepada kreditur mengakibatkan wanprestasi dilakukan oleh pihak debitur yang tidak dipenuhinya isi

Karakteristik substrat maupun sedimennya pada Kawasan Pantai Ujong Pancu sendiri memiliki karateristik sedimen yang didominasi oleh pasir halus dimana pada