A. Latar Belakang
Narkotika yang pada awal mula penggunaannya bertujuan untuk memenuhi perkembangan ilmu pengetahuan dan pelayanan kesehatan, kini keberadaannya menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup masyarakat karena disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Beragam kejahatan seringkali terjadi sebagai dampak dari penyalahgunaan narkotika. Penyalahgunaan narkotikamenjadi ancaman yang serius dan mendapatkan perhatian sebagai tindak pidana yang harus segara diberantas mengingat dampak yang ditimbulkan sangatlah berbahaya.
Peredaran narkotika di Indonesia dilihat dari aspek yuridis, adalah sah keberadaannya. Secara yuridis hanya melarang terhadap penggunaan narkotika diluar tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan pelayanan kesehatan, namun dalam kenyataan pemakaiannya sering disalahgunakan. Penggunaan narkotika bukan lagi untuk kepentingan kesehatan, namun dijadikan sebagai objek bisnis dan berdampak pada kegiatan merusak mental, baik fisik maupun psikis generasi muda.1
Peredaran gelap narkotika sebagai awal terjadinya penyalahgunaan narkotika sudah lama terjadi di Indonesia. Bahkan sejak masa penjajahan, peredaran gelap narkotika yang masih berwujud tanaman sudah masuk di
1 Siswanto Sunarso, 2005, Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologi Hukum, Raja
Indonesia. Sejak dahulu Indonesia menjadi pasar bagi lalu lintas peredaran besar narkotika yang melibatkan beberapa negara sebagai pemasok narkotika. Penyalahgunaan narkotika meningkat cepat menyebar di kalangan masyarakat Indonesia, namun pemberantasannya masih belum terlaksana secara optimal. Menurut laporan dari International Narcotics Control Strategy Report (INCSR), upaya Indonesia dalam memberantas peredaran gelap narkotika dianggap masih belum memadai. Indikasinya adalah adanya kenaikan angka penyalahgunaan narkotika di dalam negeri, serta terjadinya lalu lintas perdagangan gelap narkotika dari dan ke Indonesia yang melibatkan negara-negara lain seperti Thailand, Afghanistan, Nigeria, dan Singapura.2 Berdasarkan Laporan Akhir Survei
Nasional Perkembangan Penyalahgunaan Narkotika tahun anggaran 2014, jumlah penyalahguna narkotika di Indonesia diperkirakan sebanyak 3,8 juta sampai 4,1 juta orang yang pernah memakai narkotika dalam setahun terakhir (current users), pada kelompok usia 10-59 tahun di tahun 2014. Jadi, ada sekitar 1 dari 44 sampai 48 orang berusia 10-59 tahun yang masih atau pernah memakai narkotika pada tahun 2014. Angka tersebut terus meningkat dengan merujuk hasil penelitian yang dilakukan Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan Puslitkes Universitas Indonesia, dan diperkirakan jumlah pengguna narkotika mencapai 5,8 juta jiwa pada tahun 2015.3 Hasil survey tersebut telah menggambarkan bagaimana
mengkhawatirkannya penyalahgunaan narkotika pada tiap tahunnya yang cenderung semakin meningkat.
2 Soedjono Dirdjosisworo, 1986, Hukum Narkotika Indonesia, Alumni, Bandung, hlm.38. 3 Phadli, “Jumlah Pengguna Narkotika “, http: // www.kompasiana.com, diakses Jumat 18
Lalu lintas perdagangan gelap narkotika di Indonesia membawa dampak buruk bagi kemajuan bangsa. Salah satu dampak dari adanya perdagangan gelap narkotika adalah semakin banyaknya penyalahguna narkotika dari golongan remaja dan pelajar, baik sebagai pecandu, penyalahguna maupun sebagai pengedar narkotika. Peningkatan kejahatan peredaran gelap narkotika yang pada hakikatnya bersifat transnasional perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak. Menurut Romli Atmasasmitha yang dimaksud dengan transaksi transnasional ialah transaksi lintas batas yang melibatkan dua atau lebih negara.4
Dewasa ini kualitas pelaku kejahatan peredaran gelap narkotika semakin meningkat. Indikasinya dengan munculnya profesi baru dalam lingkaran peredaran gelap narkotika yaitu kurir narkotika sebagai penyedia jasa perantara dalam jual beli narkotika. Keberadaan kurir narkotika berfungsi sebagai pihak yang menjembatani peredaran gelap narkotika dari penjual atau bandar narkotika ke tangan konsumen. Peredaran gelap narkotika juga seringkali melibatkan pihak perempuan dan anak-anak sebagai pelaku kejahatan peredaran gelap narkotika. Sebagaian besar keterlibatan perempuan dalam peredaran gelap narkotika adalah sebagai kurir narkotika atau perantara dalam jual beli narkotika. Menurut harian Republika, sepanjang 2015 diperkirakan ada sekitar 100 wanita Indonesia terjerumus menjadi kurir narkotika.5 Hal itu menunjukkan bahwa peredaran gelap
narkotika sudah sangat mengkhawatirkan hingga sampai melibatkan peran perempuan dan anak-anak sebagai pelaku kejahatan peredaran narkotika.
4Romli Atmasasmitha, 1997, Tindak Pidana Narkotika Transnasional Dalam Sistem Hukum
Pidana Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm.1
5Dian, “Ratusan Wanita Indonesia Jadi Kurir Sabu”, Republika Online, http://
Semakin banyaknya kurir narkotika, tak lepas dari semakin meningkatnya permintaan dari konsumen akan narkotika itu sendiri. Semakin banyak penyalahguna narkotika secara tak langsung juga menambah keberadaan dari kurir narkotika, baik kurir tersebut juga positif sebagai penyalahguna narkotika atau hanya sebatas perantara untuk menjembatani peredaran gelap narkotika. Ancaman hukuman yang berat nyatanya tidak mengurangi jumlah keberadaan kurir narkotika. Sesuai Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, pada umumnya para kurir narkotika yang tertangkap tangan akan dikenai hukuman pidana paling ringan 5 (lima) tahun sampai 20 (dua puluh) tahun untuk narkotika golongan I, bahkan dapat dihukum mati jika berat narkotika yang dibawa dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram.6 Dalam lingkungan masyarakat, keberadaan orang yang berprofesi
sebagai kurir narkotika sangat sulit untuk diidentifikasi. Persoalannya, orang-orang tersebut biasanya menjadi kurir narkotika hanya sebatas pekerjaan sampingan.
Keberadaan kurir narkotika di tengah-tengah masyarakat sangat berbahaya, karena terkadang tidak hanya sebagai perantara dalam jual beli narkotika, namun tidak jarang kurir narkotika juga bertindak sebagai pihak yang menawarkan narkotika. Persoalan muncul ketika bandar narkotika memanfaatkan orang untuk menjalankan perbuatan jahatnya yaitu mengantarkan narkotika ke tangan konsumen tanpa sepengetahuan orang tersebut bahwa barang yang
6 Pasal 114 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Lembaran
dibawanya adalah narkotika. Apakah orang yang dimanfaatkan sebagai pengantar oleh bandar narkotika tersebut dapat dijatuhi pidana. Dalam beberapa kasus yang ditangani Migrant Care,7 cukup banyak warga negara Indonesia (WNI) yang
terancam dipidana karena dijebak sebagai kurir narkotika oleh orang lain, diantaranya kebanyakan warga negara Indonesia (WNI) yang terjebak menjadi kurir narkotika berada di Filipina, Tiongkok dan Malaysia.8
Berdasarkan keterangan Ditresnarkoba Polda DIY, Daerah Istimewa Yogyakarta terutama Sleman dan Kota Jogja sudah dipetakan menjadi daerah incaran para Bandar narkoba sebagai pasar peredararan gelap narkoba. Selain operasi, pengawasan dan penyelidikan akan terus dilakukan kepolisian untuk mempersempit peredaran narkoba tak terkecuali narkoba jenis baru.9
Permasalahan inilah yang menjadi dasar penulis membuat penelitian mengenai Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana bagi Perantara dalam Jual Beli Narkotika dalam lingkup wilayah Kota Jogja dan Sleman. Lantas bagaimana mengenali bentuk perantara dalam jual beli narkotika itu sendiri sebagai suatu profesi dalam lingkaran peredaran gelap narkotika. Lebih jauh lagi bagaimana bentuk pemidanaan bagi pelaku perantara dalam jual beli narkotika, maka perlu sebuah penelitian yang komprehensif untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut.
7
Migrant care adalah organisasi yang bertujuan memperkuat perlindungan yang diberikan lembaga-lembaga negara dalam hal hak-hak pekerja migran.
8 Antara, “Banyak WNI Terjebak Jadi kurir Narkoba seperti Mary Jane”, Okezone, http://
news.okezone.com, diakses pada hari Rabu 6 Mei 2015
9 Mediani Dyah Natalia, “ Sleman dan Jogja Tetap Diincar Bandar Narkotika”, Harian Jogja, http://www.harianjogja.com, diakses pada hari Kamis 7 Mei 2015
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan tentang tindak pidana perantara dalam jual beli narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika?
2. Bagaimana penjatuhan pidana terhadap perantara dalam jual beli narkotika berdasarkan pertimbangan hakim?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, penelitian ini memiliki tujuan untuk:
1. Tujuan Obyektif
Penelitian ini secara obyektif memiliki tujuan sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui pengaturan tentang tindak pidana perantara dalam jual beli narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
b. Untuk mengetahui penjatuhan pidana terhadap perantara dalam jual beli narkotika Berdasarkan pertimbangan hakim.
2. Tujuan Subyektif
Penelitian ini secara subyektif dilaksanakan dalam rangka penyusunan penulisan hukum sebagai syarat akademis penulis untuk
melengkapi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, menambah wawasan, serta pengetahuan dalam bidang hukum terutama hukum pidana berkaitan dengan Upaya Pemberantasan Penyalahgunaan Narkotika dan Peredaran Gelap Narkotika.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat berguna dan memberikan manfaat bagi para akademis, praktisi hukum, dalam rangka menerapkan, mengembangkan dan membentuk hukum khusunya yang berhubungan dengan upaya pemberantasan penyalahgunaan narkotika dan peredaran gelap narkotika.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pengamatan dan penelusuran yang penulis lakukan, terdapat beberapa karya tulis berupa skripsi yang berkaitan dengan pemidanaan bagi perantara dalam jual beli narkotika. Karya ilmiah yang penulis maksud adalah:
1. Skripsi yang dibuat oleh Sekar Asri Ramadhan, 05/185105/HK/16884, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dengan judul Pemidanaan
Terhadap Anak Pelaku Penyalahgunaan Narkotika Di Daerah Istimewa Yogyakarta.10 Adapun rumusan masalah yang diangkat adalah (1) Mengenai
pemidanaan terhadap anak pelaku penyalahgunaan narkotika di Daerah Istimewa Yogyakarta (2) Faktor-Faktor yang mempengaruhi penjatuhan sanksi pidana terhadap anak pelaku penyalahgunaan narkotika di Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan ditarik kesimpulan bahwa (1) Hakim di Pengadilan Negeri Daerah Istimewa Yogyakarta cenderung menjatuhkan sanksi pidana berupa pidana penjara dan denda terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika, (2) Hakim dalam menjatuhkan sanksi berdasarkan pada pasal-pasal yang menjadi dasar putusan, fakta-fakta, keadaan serta alat bukti yang terdapat dalam persidangan tetapi kurang mempertimbangkan hal-hal yang berhubungan dengan terdakwa seperti latar belakang, sebab anak melakukan tindak pidana, serta kualitas tindak pidana yang dilakukan.
2. Skripsi yang dibuat oleh Miranti Megawati Pertiwi 07/252451/HK/17570, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dengan judul Pemidanaan Terhadap Penyalahguna Narkotika Berdasarkan Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Surakarta).11 Adapun Rumusan Masalah yang diangkat adalah (1) Mengenai
pemidanaan terhadap penyalahguna narkotika di dalam praktek pengadilan
10Sekar Asri Ramadhan, 2005, “Pemidanaan Terhadap Anak Pelaku Penyalahgunaan Narkotika Di
Daerah Istimewa Yogyakarta”, Srkipsi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
11Miranti Megawati Pertiwi, 2007, “Pemidanaan Terhadap Anak Pelaku Penyalahgunaan
Narkotika Di Daerah Istimewa Yogyakarta”, Srkipsi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
(2) Dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Surakarta dalam menjatuhkan pidana terhadap penyalahguna narkotika. Berdasarkan hasil penelitian maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut: (1) Terdapat tiga bentuk pemidanaan terhadap penyalahguna narkotika di dalam praktek pengadilan, yaitu pidana penjara, rehabilitasi dan gabungan dari pidana penjara dengan rehabilitasi. Dalam praktek hakim lebih sering menjatuhkan pidana penjara daripada rehabilitasi (2) Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap penyalahguna narkotika adalah terhadap hal yang memberatkan dan meringankan, fakta-fakta yang terungkap di persidangan, kondisi terdakwa, taraf kecanduan narkoba, ada atau tidaknya keinginan dan usaha yang kuat untuk sembuh dari ketergantungan, akibat perbuatan terdakwa, serta tidak mencukupinya kemampuan terdakwa dalam menanggung biaya rehabilitasi (bila akan menjatuhkan sanksi rehabilitasi). 3. Skripsi yang dibuat oleh Ardillah Rahman, Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin Makassar, dengan judul Implementasi Penjatuhan Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Studi Kasus Tahun 2010 - 2012 di Kabupaten Wajo.12 Adapun rumusan masalah yang
diangkat yaitu: (1) Mengenai penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika berdasarkan Undang Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 (2) Pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan ditarik
12 Ardillah Rahman, 2013, “Implementasi Penjatuhan Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Penyalahgunaan Narkotika Studi Kasus Tahun 2010 - 2012 di Kabupaten Wajo”, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar.
kesimpulan (1) Hakim dalam memberikan putusan awalnya memisahkan kasus terdakwa sebagai pengedar atau pengguna. Setelah itu, hakim menganalisa pasal yang terbukti pada terdakwa. Selanjutnya barang bukti dan keterangan saksi sangat dipertimbangkan mengenai berat ringan putusan yang akan dijatuhkan. Jadi, cara hakim untuk menjatuhkan putusan terhadap terdakwa kasus narkotika sudah sangat adil dan sesuai dengan undang-undang. (2) Analisa hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap tindak pidana narkotika disesuaikan dengan barang bukti yang dihadirkan di persidangan, keterangan saksi, keterangan ahli dalam persidangan.
Penelitian penulis tidak sama dengan tiga penelitian tersebut, karena penelitian yang dilakukan oleh penulis secara khusus mengkaji tentang dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhhkan pidana bagi perantara dalam jual beli narkotika. Meskipun terdapat beberapa karya tulis yang mengkaji mengenai pemidanaan terhadap tindak pidana narkotika, namun penelitian ini memiliki objek penelitian yang berbeda dan lebih spesifik yaitu perihal dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana bagi perantara dalam jual beli narkotika dan bukan bagi penyalahguna narkotika pada umumnya. Setelah penulis melakukan penelusuran dan pengamatan, penelitian dengan objek yang sama belum pernah ditemukan di Universitas Gadjah Mada maupun di tempat lain. Adapun permasalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah 1) mengenai pengaturan tentang tindak pidana perantara dalam jual beli narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika 2) dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana bagi perantara dalam jual beli narkotika.