• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN SANKSI PIDANA MATI BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PENGEDAR NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM KOTA TANJUNG BALAI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENERAPAN SANKSI PIDANA MATI BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PENGEDAR NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM KOTA TANJUNG BALAI"

Copied!
194
0
0

Teks penuh

(1)

1

TESIS

OLEH

SUTAN SINOMBA PARLAUNGAN HARAHAP 177005140 / HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

2020

(2)

PENERAPAN SANKSI PIDANA MATI BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PENGEDAR NARKOTIKA DI

WILAYAH HUKUM KOTA TANJUNG BALAI

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH

SUTAN SINOMBA PARLAUNGAN HARAHAP 177005140 / HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

2020

(3)
(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 8 September 2020

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S.

Anggota : 1. Dr. M. Ekaputra, S.H., M.Hum 2. Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum 3. Dr. Edi Yunara, S.H., M.Hum 4. Dr. M. Hamdan, S.H., M.H.

(5)
(6)

ABSTRAK

Pemberian hukuman mati bagi kasus tindak pidana narkotika merupakan salah satu langkah yang dilakukan negara untuk mengeksekusi para pengedar narkoba yang dapat merusak generasi bangsa, dan dengan adanya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dapat menjerat pengedar atau bandar narkoba dengan memberikan hukuman paling berat yaitu hukuman mati. Permasalahan yang diangkat pada penelitian ini, yakni bagaimana pengaturan sanksi pidana, penerapan sanksi pidana berupa penjatuhan hukuman mati, dan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana berupa hukuman mati bagi pelaku tindak pidana pengedar narkotika khususnya di wilayah hukum Kota Tanjung Balai.

Untuk menemukan jawaban dari permasalahan tersebut maka penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif analitis, di mana penelitian hukum normatif ini menggunakan data sekunder sebagai data utama dengan munggunakan teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library reseacrh), serta analisis data menggunakan metode analisis data kualitatif.

Pengaturan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika dalam ketentuan hukum positif Indonesia di atur dalam dua ketentuan yaitu pertama di atur berdasarkan Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan ketentuan kedua berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Penerapan sanksi pidana berupa penjatuhan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana pengedar narkotika khususnya di wilayah hukum Kota Tanjung Balai menurut pendapat penulis pada dasarnya sudah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, namun terdapat satu Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai Nomor 241/Pid.Sus/2019/PN. Tjb yang memuat putusan pidana mati yang menurut hemat penulis putusan ini tidak tepat dan melawan batas maksimal sanksi pidana, sebab majelis hakim menggunakan ketentuan Pasal 112 Ayat (2) Jo Pasal 132 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dalam pemberian hukuman mati, padahal dalam ketentuan Pasal 112 Ayat (2) Jo Pasal 132 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika maksimum sanksi pidana yang dapat dijatuhkan adalah pidana penjara seumur hidup.

Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana berupa hukuman mati bagi pelaku tindak pidana pengedar narkotika khususnya di wilayah hukum Kota Tanjung Balai pada dasarnya dikarenakan alasan-alasan yaitu jumlah barang bukti narkotika sangat banyak, membahayakan jutaan masyarakat jika sampai narkotika tersebut berhasil di jual, diselundupkan, atau di impor, jaringan narkotika merupakan jaringan internasional, para terdakwa sudah terbiasa dan berpengalaman dalam menyelundupkan narkotika, perbuatan terdakwa merupakan perbuatan berulang dan pernah berhasil menyelundupkan narkotika ke dalam negeri, perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah yang sedang giat-giatnya dalam memberantas peredaran narkotika.

Kata Kunci: Pidana Mati, Pengedar, Narkotika, Kota Tanjung Balai.

(7)

ABSTRACT

The provision of the death penalty for narcotics crimes is one of the measures taken by the state to execute drug dealers that could damage generations of the nation, and with Law No. 35 of 2009 on Narcotics can ensnare dealers or drug dealers by giving the harshest punishment that is the death penalty. The issues raised in this study are how to set up criminal sanctions, the application of criminal sanctions in the form of the death penalty, and the consideration of judges in imposing criminal sanctions in the form of the death penalty for the perpetrators of narcotics dealer crimes, especially in the jurisdiction of Tanjung Balai City.

To find the answer to the problem, this study used a type of normative legal research that is descriptive analytical, in which this normative legal research uses secondary data as the primary data by using data collection techniques carried out by library reseacrh, as well as data analysis using qualitative data analysis methods.

The regulation of criminal sanctions against narcotics offenders in the provisions of Indonesia's positive law is set out in the first two provisions set out based on Article 10 of the Criminal Code and the second provision stipulated in Law No. 35 of 2009 on Narcotics. The application of criminal sanctions in the form of the death penalty for the perpetrators of narcotics dealer crimes, especially in the jurisdiction of Tanjung Balai City in the opinion of the author is basically in accordance with the provisions of Law No. 35 of 2009 on Narcotics, but there is a Verdict of Tanjung Balai District Court No. 241/Pid.Sus/2019/PN. Tjb which contains a death penalty verdict that according to the authors of this verdict is not appropriate and against the maximum limit of criminal sanctions, because the panel of judges uses the provisions of Article 112 Paragraph (2) Jo Article 132 Paragraph (1) of Law No. 35 of 2009 on Narcotics in the provisions of Article 112 Paragraph (2) Jo Article 132 Paragraph (1) law No. 35 of 2009 on narcotics the maximum criminal sanction that can be imposed is a life imprisonment. The judge's consideration in imposing criminal sanctions in the form of the death penalty for the perpetrators of narcotics dealers, especially in the jurisdiction of Tanjung Balai City is basically due to the reasons that the amount of evidence of narcotics is very large, endangering millions of people if until the narcotics are successfully sold, smuggled, or imported, the narcotics network is an international network, the defendants are accustomed and experienced in smuggling narcotics, the defendant's actions are repeated and have managed to smuggle narcotics into the country, the actions of the defendant do not support the government's program that is active in eradicating the circulation of narcotics.

Keywords: Death Penalty, Dealer, Narcotics, Tanjung Balai City.

(8)

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim

Alhamdulillah, Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis serta Nabi Muhammad SAW atas syafaatnya, penulis masih diberikan kesehatan dan kesempatan serta kemudahan dalam mengerjakan penelitian ini sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi Magister Hukum di Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Sumatera Utara.

Pada penulisan penelitian ini, penulis dengan ketulusan hati, mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada :

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S, sebagai Dosen Pembimbing I yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan tesis selama ini dari awal hingga tesis ini dapat diselesaikan.

4. Dr. M. Ekaputra, S.H., M.Hum, sebagai Dosen Pembimbing II yang memberikan kemudahan dan fokus dalam memilih metode penelitian, sehingga penelitian ini menjadi sangat bermanfaat bagi penulis.

5. Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum., sebagai Ketua Program Magister (S2) dan Doktor (S3) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai Dosen Pembimbing III yang telah memberikan dorongan, arahan, bimbingan dan motivasi kepada Penulis untuk secepatnya menyelesaikan studi di kampus.

6. Bapak Dr. Edi Yunara, S.H., M.Hum., sebagai Dosen Penguji I yang telah

memberikan masukan dan kritikan yang konstruktif kepada penulis agar

penelitian ini sempurna dan bermanfaat.

(9)

7. Bapak Alm. Dr. M. Hamdan, S.H., M.H., sebagai Dosen Penguji II yang telah memberikan arahan-arahan dan petunjuk-petunjuk serta motivasi kepada penulis untuk menyempurnakan penelitian yang penulis lakukan.

8. Para Dosen Program Studi Magister dan Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Sumatera Utara yang telah mendidik dan memberikan ilmunya selama penulis menjalani studi.

9. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ayahanda Alm. M. Idris Harahap dan Ibunda Erny yang telah mendukung dan selalu mendoakan penulis untuk menyelesaikan penelitian ini.

10. Tidak terlupakan kepada teman-teman yang telah membantu dan mendukung : Mahasiswa Pascasarjana stambuk 2017 yang sudah membantu selama studi dan penyelesaian penelitian ini dan pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu-persatu, penulis ucapkan terima kasih.

11. Terakhir ucapan terima kasih kepada Para Pegawai Sekretariat Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan selama ini kepada penulis selama menyelesaikan studi.

Akhir kata kiranya tulisan ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan, terutama dalam penerapan serta pengembangan ilmu hukum di Indonesia.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Medan, 15 September 2021 Penulis,

Sutan Sinomba Parlaungan Harahap

NIM. 177005140/HK

(10)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. DATA PRIBADI

Nama : Sutan Sinomba Parlaungan Harahap, S.H.

Tmpt / Tgl Lahir : Medan / 01/08/1983

Alamat : JL. Letda Sujono No. 107 Medan Pangkat / Gol : Jaksa Muda / (III/d)

Nip : 19830801 200212 1 003

Jabatan : Kepala Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara Instansi : Kejaksaan Agung R.I.

Agama : Islam

Nama Ayah : Alm. M. Idris Harahap Nama Ibu : Erny

Isteri : Sofya Handany Nasution

Anak : 1. Muhammad Bany Sinomba Harahap 2. Alif Sinomba Harahap

3. Akifa Naila Harahap Suku / Bangsa : Mandailing / Indonesia

E-Mail : sutansinombaparlaungan@gmail.com

II. RIWAYAT PENDIDIKAN

1. Pendidikan Dasar dan Menengah Umum

a. SD : Swasta Budisatrya di Medan (Tahun Lulus 1996) b. SMP : Swasta Budisatrya di Medan (Tahun Lulus 1999) c. SMA : SMU di UISU (Tahun Lulus 2002)

2. Pendidikan Tinggi

a. S1 : Sarjana Hukum Fakultas Ilmu Hukum Universitas

Medan Area di Medan (Tahun Lulus 2008)

(11)

III. RIWAYAT PEKERJAAN

1. Staf Tata Usaha di Kejaksaan Negeri Kisaran dari Tahun 2003 s.d. 2005;

2. Staf Tata Usaha di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara dari Tahun 2005 s.d.

2011;

3. Staf Tata Usaha Protokol dan Kemanaan Dalam, Bagian Tata Usaha di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara dari Tahun 2011 s.d 2015;

4. Jaksa Fungsional di Kejaksaan Negeri Stabat dari Tahun 2015 s.d. 2017;

5. Kepala Seksi Intelijen di Kejaksaan Negeri Padang Lawas Utara dari Tahun 2017 s.d. 2019;

6. Kepala Seksi Tindak Pidana Umum di Kejaksaan Negeri Tanjung Balai Asahan dari Tahun 2019 s.d. 2020;

7. Kepala Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara di Kejaksaan Negeri Binjai

Asahan dari Tahun 2020 s.d. Sekarang

(12)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Keaslian Penelitian ... 12

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi ... 12

1. Kerangka Teori... 12

2. Konsepsi ... 19

G. Metode Penelitian... 21

1. Jenis Dan Sifat Penelitian... 21

2. Metode Pendekatan ... 22

3. Sumber Bahan Hukum ... 23

4. Teknik Dan Alat Pengumpulan Data ... 24

5. Analisis Data ... 25

BAB II PENGATURAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA DALAM KETENTUAN HUKUM POSITIF INDONESIA A. Permasalahan Hukum Terkait Penyebaran Narkotika Di Indonesia 27 1. Pengertian Narkotika ... 27

2. Jenis-Jenis Narkotika ... 30

3. Efek Samping Penggunaan Narkotika ... 32

4. Tindak Pidana Narkotika... 39

B. Pengaturan Hukum Terkait Tindak Pidana Narkotika Di Indonesia 42 C. Jenis Sanksi Pidana Yang Dijatuhkan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika Dalam Ketentuan Hukum Positif Indonesia ... 47

1. Unsur-Unsur Perbuatan Pidana Yang Di Atur Di Dalam Undang-Undang Narkotika ... 47

2. Jenis Sanksi Pidana Yang Dijatuhkan Terhadap Pelaku Tindak

Pidana Narkotika ... 56

(13)

BAB III PENERAPAN SANKSI PIDANA BERUPA PENJATUHAN HUKUMAN MATI BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PENGEDAR NARKOTIKA KHUSUSNYA DI WILAYAH HUKUM KOTA TANJUNG BALAI

A. Penerapan Sanksi Penal Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika Di Indonesia ... 75 B. Penerapan Sanksi Pidana Berupa Penjatuhan Hukuman Mati Bagi

Pelaku Tindak Pidana Pengedar Narkotika Khususnya Di Wilayah Hukum Kota Tanjung Balai ... 86 C. Faktor-Faktor Yang Menjadi Kendala Dalam Pelaksanaan

Hukuman Mati Bagi Para Pelaku Tindak Pidana Narkotika Di Indonesia ... 93 BAB IV PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN SANKSI

PIDANA BERUPA HUKUMAN MATI BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PENGEDAR NARKOTIKA KHUSUSNYA DI WILAYAH HUKUM KOTA TANJUNG BALAI

A. Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika Di Wilayah Hukum Kota Tanjung Balai ... 101 1. Mekanisme Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Narkotika Di

Wilayah Hukum Kota Tanjung Balai ... 101 2. Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana

Narkotika Di Wilayah Hukum Kota Tanjung Balai ... 115 B. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Berupa

Hukuman Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Pengedar Narkotika Khususnya Di Wilayah Hukum Kota Tanjung Balai ... 126 1. Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai Nomor

352/Pid.Sus/2015/PN. Tjb ... 126 2. Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai Nomor

353/Pid.Sus/2015/PN. Tjb ... 130 3. Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai Nomor

354/Pid.Sus/2015/PN. Tjb ... 134 4. Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai Nomor

594/Pid.Sus/2015/PN. Tjb ... 137 5. Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai Nomor

241/Pid.Sus/2019/PN. Tjb ... 145 6. Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai Nomor

255/Pid.Sus/2019/PN. Tjb ... 150 C. Analisis Hukum Terhadap Pertimbangan Hakim Dalam

Menjatuhkan Sanksi Pidana Berupa Hukuman Mati Bagi Pelaku

Tindak Pidana Pengedar Narkotika Khususnya Di Wilayah Hukum

Kota Tanjung Balai ... 156

(14)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 170

B. Saran ... 173

DAFTAR PUSTAKA ... 175

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada era globalisasi ini masyarakat lambat laun berkembang, di mana perkembangan itu selalu diikuti proses penyesuaian diri yang kadang-kadang proses tersebut terjadi secara tidak seimbang yang berujung pada pelanggaran norma, dan dengan seringnya terjadi pelanggaran terhadap norma-norma tersebut maka kejahatan juga semakin bertambah, baik jenis maupun bentuk polanya yang semakin kompleks.

Masyarakat berusaha mengadakan pembaharuan-pembaharuan di segala bidang, namun kemajuan teknologi tidak selalu berdampak positif, bahkan ada kalanya berdampak negatif, maksudnya adalah dengan kemajuan teknologi juga ada peningkatan masalah kejahatan dengan menggunakan modus operandi yang canggih, dan hal tersebut merupakan tantangan bagi aparat penegak hukum untuk mampu menciptakan penanggulangannya, khususnya dalam kasus narkotika dan obat-obatan terlarang.

Perkembangan kejahatan yang saat ini sangat mengkhawatirkan adalah terkait

kejahatan narkotika di mana kejahatan narkotika ini merupakan kejahatan luar biasa

yang dapat melintasi batas negara. Penyalahgunaan narkotika merupakan perbuatan

yang bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan di mana penyalahgunaan

narkotika saat ini melingkupi semua lapisan masyarakat baik miskin, kaya, tua, muda,

dan bahkan anak-anak. Penyalahgunaan narkotika dari tahun ke tahun mengalami

peningkatan yang akhirnya merugikan kader-kader penerus bangsa dan

(16)

penyalahgunaan narkotika mendorong adanya peredaran gelap yang makin meluas dan berdimensi internasional, dan oleh karena itu diperlukan upaya pencegahan dan penanggulangan narkotika dan upaya pemberantasan peredaran gelap mengingat kemajuan perkembangan komunikasi, informasi dan transportasi dalam era globalisasi saat ini.

1

Penyebaran narkotika telah mencapai tingkat yang sangat memprihatinkan dan tidak terhitung lagi banyaknya upaya pemberantasan narkotika dan prekursor narkotika yang sudah dilakukan oleh pemerintah, namun disadari bahwa bukanlah suatu hal yang mudah untuk melakukan hal tersebut.

2

Peredaran narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindahtanganan, untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

3

Narkotika ibarat pedang bermata dua, di satu sisi sangat dibutuhkan dalam dunia medis dan ilmu pengetahuan, dan di pihak lain penyalahgunaannya sangat membahayakan masa depan generasi muda, ketentraman masyarakat dan mengancam eksistensi ketahanan nasional suatu bangsa, sehingga dibutuhkan aturan berupa

1 Lydia Harlina Marton, Membantu Pencandu Narkotika dan Keluarga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2006), hal. 1

2 Kata Pengantar Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

3 Pasal 35 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

(17)

hukum yang mengatur sehingga dapat menekan jumlah penyalahgunaan dan peredaran narkotika.

4

Dewasa ini, tindak pidana narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, tetapi telah melibatkan sindikat yang terorganisir secara rapi dan sangat rahasia baik nasional maupun internasional, bahkan tidak jarang melibatkan pejabat negara khususnya aparat penegak hukum itu sendiri. Fenomena tersebut harusnya menjadi perhatian serius bagi pemerintah dan masyarakat, karena narkotika telah banyak di konsumsi mulai dari usia yang masih anak-anak, sampai pada yang sudah dewasa.

Indonesia termasuk sebagai salah satu negara yang ditengarai sebagai tempat lintas narkotika, sehingga kejahatan narkotika bukan lagi kejahatan yang sifatnya lokal akan tetapi telah merebak sampai ke seluruh wilayah nusantara dan sering dijadikan sebagai daerah transit oleh para pelaku sebelum sampai ke tujuan (negara lain).

5

Pemerintah telah berupaya untuk mencegah dan memberantas peredaran gelap narkotika tersebut akan tetapi penyalahgunaannya tetap meningkat dan pada dasarnya narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu, namun jika terjadi penyalahgunaan seperti digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan maka dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi masyarakat.

6

4 Risman Trihoran, “Generasi Muda Hindari Narkoba”, Jurnal Online, (Cikarang Pusat: Suara Bekasi Online, 2019), di akses tanggal 22 November 2019

5 Christoforus Ristianto, "BNN Sebut Penyalahgunaan Dan Peredaran Narkotika Semakin Meningkat”, https://nasional.kompas.com/read/2019/06/26/11421691/bnn-sebut-penyalahgunaan- dan-peredaran-narkotika-semakin-meningkat, di akses tanggal 22 November 2019

6 Dadang Hawari, Penyalahgunaan Narkotika Dan Zat Adiktif, (Jakarta: BPFKUL, 1991), hal.

15

(18)

Lahirnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika merupakan upaya pemerintah dalam memberantas narkotika dan lahirnya undang- undang ini membawa nuansa baru, paradigma baru, dan harapan baru bagi banyak orang, sebab undang-undang ini memiliki perbedaan atau spesifikasi dalam penanganan kasus-kasus narkotika. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika juga semakin memaksimalkan peranan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam mencegah dan memberantas penyalahgunaan narkotika, sehingga dengan adanya undang-undang ini, diharapkan kinerja badan tersebut akan semakin lebih optimal karena Badan Narkotika Nasional (BNN) ini juga diberikan kewenangan untuk mengadakan penyelidikan dan penyidikan kasus-kasus narkotika.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika juga memuat ketentuan tentang pemberian hukuman berupa pidana mati bagi pelaku tindak pidana narkotika. Indonesia mengenal jenis hukuman berupa pidana mati di mana pidana mati merupakan salah satu bentuk hukuman yang paling berat dijalankan seorang terpidana dengan cara menghilangkan nyawanya dan biasanya hukuman ini berlaku untuk kasus pembunuhan berencana, terorisme, dan perdagangan obat-obatan terlarang. Pelaksanaan hukuman mati bagi terpidana narkotika diatur dalam Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika khususnya di dalam Pasal 113 Ayat (2) dan Pasal 114 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Penjatuhan hukuman mati jika ditinjau dari hukum positif bertentangan

dengan hak asasi manusia yang tertuang di dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39

(19)

Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, dan pelaksanaan hukuman mati saat ini masih merupakan dilema karena hak asasi manusia juga mengatur bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan penghidupannya dan hak asasi manusia harus dilindungi secara utuh demi tegaknya martabat manusia (human dignity).

7

Sejarah pemberian hukuman pidana mati telah ada sejak masa kerajaan di mana hukuman mati diberlakukan oleh para raja untuk menjamin terciptanya keamanan masyarakat yang berada di wilayahnya. Pada masa kerajaan ada berbagai cara pelaksanaan hukuman mati seperti dipancung, dibakar, dan diseret dengan kuda, lalu pada masa Presiden Soekarno, pidana mati tetap diatur di dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana dan dilanjutkan pada masa Presiden Soeharto.

Pemberian hukuman mati bagi kasus tindak pidana narkotika merupakan salah satu langkah yang dilakukan negara untuk mengeksekusi para pengedar narkoba yang dapat merusak generasi bangsa, dan dengan adanya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dapat menjerat pengedar atau bandar narkoba dengan memberikan hukuman paling berat yaitu hukuman mati.

Pelaksanaan hukuman mati untuk kejahatan terhadap narkotika di Indonesia

8

dimulai tahun 1995 dengan terpidana Chan Tian Chong (Indonesia), kemudian tahun 2004 dengan 3 (tiga) orang terpidana Ayodya Prasad Chaubey (India), Saelow Prasad (Thailand), dan Namsong Sirilak, Tahun 2008 dengan terpidana Samuel Iwuchukuwu

7 Masyhur Effendi, Taufan Sukmana Evandi, HAM Dalam Dimensi, Dinamika Yuridis, Sosial, Politik, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hal. 36

8 Kontras, “Praktik Hukuman Mati Di Indonesia, Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan, (Jakarta: Kontras, 2007), hal. 21-22

(20)

Okoye (Nigeria) dan Hansen Anthony Nwaliosa (Nigeria), Tahun 2013 dengan terpidana Ademi (Adams) Wilson Alias Abu (Malawi), Tahun 2015 dengan jumlah terpidana mati terbanyak untuk kejahatan narkotika yaitu berjumlah 14 (empat belas) orang terdiri dari Myuran Sukumaran (Australia),

9

Andrew Chan (Australia), Rodrigo Gularte (Brasil), Zainal Abidin (Indonesia), Okwudili Oyatanze (Nigeria), Sylvester Obiekwe Nwolise (Nigeria), Raheem Agbaje Salaami (Nigeria), Martin Anderson (Nigeria), Tran Bich Hanh (Vietnam),

10

Rani Andriani (Indonesia), Namaona Denis (Malawi), Daniel Enemuo (Nigeria), Marco Archer (Brasil), dan Ang Kiem Soei (Belanda), Tahun 2016 dengan 4 (empat) orang terpidana yaitu Michael Titus Igweh (Nigeria), Humphrey Jefferson Ejike (Nigeria), Seck Osmane (Senegal/Nigeria), dan Freddy Budiman (Indonesia).

11

Pengadilan Negeri Tanjung Balai juga telah beberapa kali memberikan putusan berupa pidana mati bagi pelaku tindak pidana narkotika, dan adapun beberapa putusan tersebut yaitu sebagai berikut:

7. Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai Nomor 352/Pid.Sus/2015/PN. Tjb 8. Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai Nomor 353/Pid.Sus/2015/PN. Tjb 9. Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai Nomor 354/Pid.Sus/2015/PN. Tjb 10. Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai Nomor 594/Pid.Sus/2015/PN. Tjb 11. Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai Nomor 241/Pid.Sus/2019/PN. Tjb 12. Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai Nomor 255/Pid.Sus/2019/PN. Tjb

9 CNN, “Bali Nine Executed”, (Jakarta: CNN, 2015), hal. 1

10 Karmini, Niniek, Indonesia Executes 6 Drug Convicts, Including 5 Foreigners, Yahoo News, Associated Press, di akses tanggal 22 November 2019

11 BBC, Indonesia Executes Four Drug Convicts On Nusakambangan", BBC, 28 Juli 2016, di akses tanggal 22 November 2019

(21)

Penerapan kebijakan hukum pidana mati bagi masing-masing pelaku tindak pidana narkotika khususnya di wilayah hukum Kota Tanjung balai telah di mulai dalam beberapa tahun belakangan ini, berikut ringkasan hasil dari proses peradilan yang diterima para terpidana:

1. Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai Nomor 352/Pid.Sus/2015/PN. Tjb yang menjatuhkan pidana kepada terdakwa Guntur Alias Ucok, Warga Negara Indonesia, dengan pidana mati, sebab terdakwa dalam hal ini membawa narkotika seberat 20 (dua puluh) kilogram dari wilayah perairan Sekincan Malaysia ke wilayah perairan Tanjung Balai Indonesia.

2. Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai Nomor 353/Pid.Sus/2015/PN. Tjb yang menjatuhkan pidana kepada terdakwa Halim Nasution Alias Alem, Warga Negara Indonesia, dengan pidana mati, sebab terdakwa dalam hal ini membawa narkotika seberat 20 (dua puluh) kilogram dari wilayah perairan Sekincan Malaysia ke wilayah perairan Tanjung Balai Indonesia.

3. Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai Nomor 354/Pid.Sus/2015/PN. Tjb yang menjatuhkan pidana kepada terdakwa Didit Prayetno Alias Wak Men, Warga Negara Indonesia, dengan pidana mati, sebab terdakwa dalam hal ini membawa narkotika seberat 20 (dua puluh) kilogram dari wilayah perairan Sekincan Malaysia ke wilayah perairan Tanjung Balai Indonesia.

4. Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai Nomor 594/Pid.Sus/2015/PN. Tjb

yang menjatuhkan pidana kepada terdakwa Efendi Salam Ginting Alias Pendisa

Ginting, Warga Negara Indonesia, dengan pidana mati, sebab terdakwa dalam hal

(22)

ini membawa 10 (sepuluh) bungkus plastik klip bening di dalam bungkus alumunium foil berisi kristal bening mengandung narkotika jenis sabu dengan total berat kotor keseluruhan seberat 10.293,96 (sepuluh ribu dua ratus sembilan puluh tiga koma sembilan puluh enam) gram, 4 (empat) bungkus plastik klip bening berisi 174 (seratus tujuh puluh empat) tablet mengandung narkotika jenis ekstasi dengan total berat kotor keseluruhan seberat 60,46 (enam puluh koma empat puluh enam) gram dari wilayah Malaysia ke wilayah Tanjung Balai Indonesia.

5. Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai Nomor 241/Pid.Sus/2019/PN. Tjb yang menjatuhkan pidana kepada terdakwa Suhardi Nasution Alias Hardi Alias Adi Bin Alm Abu Kosim, Warga Negara Indonesia, dengan pidana mati, sebab terdakwa dalam hal ini membawa 30 (tiga puluh) bungkus plastik teh china hijau yang didalamnya berisi kristal putih narkotika jenis sabu seberat 30.948 (tiga puluh ribu sembilan ratus empat puluh delapan) gram, dan 3 (tiga) bungkus plastik bening yang dilakban cokelat berisi tablet berlogo trump narkotika jenis ekstasi dengan jumlah 2.985 (dua ribu sembilan ratus delapan puluh lima) butir dari wilayah Malaysia ke wilayah Tanjung Balai Indonesia.

6. Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai Nomor 255/Pid.Sus/2019/PN. Tjb

yang menjatuhkan pidana kepada terdakwa Noorul Zaman Bin Mohd Amin,

Warga Negara Malaysia, dengan pidana mati, sebab terdakwa dalam hal ini

terdakwa membawa 1 (satu) bungkus plastik klip transparan berisi narkotika

jenis sabu dengan berat bersih 5,78 (lima koma tujuh delapan), 1 (satu) bungkus

(23)

bungkus plastik klip transparan berisi narkotika jenis sabu dengan berat bersih 10,28 (sepuluh koma dua delapan), 1 (satu) bungkus plastik klip transparan berisi narkotika jenis sabu dengan berat berat bersih 12,29 (dua belas koma dua sembilan) gram, 1 (satu) bungkus plastik klip transparan berisi narkotika jenis sabu dengan berat bersih 12,2 (dua belas koma dua) gram, 1 (satu) bungkus plastik transparan berisi narkotika jenis sabu yang dibalut dengan kondom warna putih bening dengan berat bersih 24,16 (dua puluh empat koma satu enam) gram dari wilayah Malaysia ke wilayah Tanjung Balai Indonesia.

Pada dasarnya penjatuhan hukuman mati jika ditinjau dari hukum positif bertentangan dengan hak asasi manusia yang tertuang di dalam Pasal 4 Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, dan pelaksanaan hukuman mati saat ini masih merupakan dilema karena hak asasi manusia juga mengatur bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan penghidupannya dan hak asasi manusia harus dilindungi secara utuh demi tegaknya martabat manusia (human dignity).

12

Berdasarkan hal tersebut maka perlu di teliti dan di bahas lebih lanjut terkait dasar apa yang menyebabkan hakim memberikan hukuman berupa pidana mati bagi pelaku tindak pidana narkotika, dan apakah penerapan kebijakan pidana mati itu dapat memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum di masyarakat. Berdasarkan latar belakang di atas maka penelitian ini di beri judul “Penerapan Sanksi Pidana

12 Masyhur Effendi, Taufan Sukmana Evandi, HAM Dalam Dimensi, Dinamika Yuridis, Sosial, Politik, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hal. 36

(24)

Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Pengedar Narkotika Di Wilayah Hukum Kota Tanjung Balai.”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang sebagaimana dikemukakan di atas, maka di buat beberapa perumusan masalah yang bekenaan dengan materi penelitian yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika dalam ketentuan hukum positif Indonesia?

2. Bagaimana penerapan sanksi pidana berupa penjatuhan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana pengedar narkotika khususnya di wilayah hukum Kota Tanjung Balai?

3. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana berupa hukuman mati bagi pelaku tindak pidana pengedar narkotika khususnya di wilayah hukum Kota Tanjung Balai?

C. Tujuan Penelitian

Tulisan ini dibuat untuk menjawab permasalahan yang menjadi objek penelitian, maka sesuai permasalahan di atas adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengkaji dan menganalisis mengenai pengaturan sanksi pidana terhadap

pelaku tindak pidana narkotika dalam ketentuan hukum positif Indonesia.

(25)

2. Untuk mengkaji dan menganalisis mengenai penerapan sanksi pidana berupa penjatuhan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana pengedar narkotika khususnya di wilayah hukum Kota Tanjung Balai.

3. Untuk mengkaji dan menganalisis mengenai pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana berupa hukuman mati bagi pelaku tindak pidana pengedar narkotika khususnya di wilayah hukum Kota Tanjung Balai.

D. Manfaat Penelitian

Kegunaan atau manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang penulis lakukan ini antara lain adalah sebagai berikut:

1. Secara teoretis penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat yaitu memberikan sumbangan pemikiran, manambah khasanah ilmu hukum serta memperkaya kajian hukum di bidang hukum pidana khususnya mengenai penjatuhan hukuman mati bagi para pelaku tindak pidana narkotika di wilayah hukum Kota Tanjung Balai.

2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan kepada:

a. Kalangan akademisi untuk menambah wawasan khususnya dalam bidang

hukum pidana yang menyangkut pada perkembangan penjatuhan hukuman

mati bagi para pelaku tindak pidana narkotika di wilayah hukum Kota

Tanjung Balai.

(26)

b. Masyarakat umum yang ingin mengetahui bagaimana penjatuhan hukuman mati bagi para pelaku tindak pidana narkotika di wilayah hukum Kota Tanjung Balai.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian yang berjudul “Penerapan Sanksi Pidana Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Pengedar Narkotika Di Wilayah Hukum Kota Tanjung Balai” merupakan hasil pemikiran sendiri. Penelitian ini menurut sepengetahuan, belum pernah ada yang membuat, kalaupun ada seperti beberapa judul penelitian yang diuraikan di bawah ini dapat diyakinkan bahwa substansi pembahasannya berbeda, dan dengan demikian keaslian penelitian ini selanjutnya dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya oleh penulis baik secara moral dan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 3. Kerangka Teori

Landasan teori adalah seperangkat definisi, konsep serta proposisi yang telah disusun rapi serta sistematis tentang variabel-variabel dalam sebuah penelitian.

Landasan teori ini akan menjadi dasar yang kuat dalam sebuah penelitian yang akan

dilakukan. Pembuatan landasan teori yang baik dan benar dalam sebuah penelitian

menjadi hal yang penting karena landasan teori ini menjadi sebuah pondasi serta

landasan dalam penelitian tersebut. Teori berguna untuk menerangkan atau

menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan satu teori harus

(27)

diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.

Landasan teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis, artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan di dalam kerangka teorititis relevan yang mampu menerangkan masalah tersebut. Upaya tersebut ditujukan untuk dapat menjawab atau menerangkan masalah yang telah dirumuskan.

13

Teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai suatu sektor tertentu dari sebuah disiplin keilmuan.

14

Kemudian mengenai teori dinyatakan juga bahwa:

“Landasan teori adalah merupakan suatu kerangka pemikiran dan butir-butir pendapat, teori, mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang dijadikan bahan pertimbangan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.

15

Bagi seorang peneliti, suatu teori atau kerangka teori mempunyai berbagai kegunaan, di mana kegunaan tersebut paling sedikit mencakup hal-hal yaitu sebagai berikut:

16

a. Teori tersebut berguna untuk mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak di selidiki atau diuji kebenarannya.

b. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi-definisi.

c. Teori biasanya merupakan ikhtisar dari hal-hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang hendak diteliti.

13 I Made Wirartha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi Dan Tesis, (Yogyakarta:

Andi, 2006), hal. 23

14 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, (Medan: Softmedia, 2012), hal. 30

15 Ibid., hal. 80

16 Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Ind Hill Co, 1990), hal. 67

(28)

d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan muncul lagi pada masa-masa mendatang.

e. Teori memberi petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan peneliti.

Teori ilmu hukum dapat diartikan sebagai ilmu atau disiplin hukum yang dalam perspektif interdisipliner dan eksternal secara kritis menganalisis berbagai aspek gejala hukum, baik tersendiri maupun dalam pengenjawantahan praktisnya, dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dari kegiatan yuridis dalam kenyataan masyarakat. Untuk mendukung beberapa masalah utama yang terumus dalam identifikasi masalah, maka dalam penelitian ini digunakan konsep negara hukum pidana sebagai teori utama (grand theory). Selanjutnya, guna memperkuat teori utama itu, digunakan teori-teori tentang kebijakan hukum pidana terkait penjatuhan hukuman mati bagi para pelaku tindak pidana narkotika sebagai teori madya (middle range theory) serta sistem pemidanaan sebagai teori aplikatif.

a. Teori Hukum Pidana

Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran dan kejahatan terhadap kepentingan umum di mana pelanggaran dan kejahatan tersebut diancam dengan hukuman yang merupakan penderitaan atau siksaaan bagi yang bersangkutan. Pelanggaran adalah perbuatan pidana yang ringan di mana ancaman hukumannya berupa denda atau kurungan.

17

Kejahatan adalah perbuatan pidana yang berat di mana ancaman hukumannya dapat berupa hukuman denda, hukuman penjara,

17 Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 60

(29)

hukuman mati, dan kadangkala masih ditambah dengan hukuman penyitaan barang- barang tertentu, pencabutan hak tertentu, serta pengumuman keputusan hakim.

18

Tindak pidana merupakan pengertian dasar hukum pidana (yuridis normatif) di mana kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah seperti yang terwujud in-abstracto dalam peraturan pidana. sedangkan kejahatan dalam arti kriminologis adalah perbuatan manusia yang menyalahi norma yang hidup dimasyarakat secara konkrit.

19

Istilah tindak pidana telah digunakan oleh masing-masing penerjemah atau yang menggunakan dan telah memberikan sandaran perumusan dari istilah strafbaar feit tersebut. Istilah het strabare feit sendiri telah diterjemahkan yaitu sebagai berikut:

1). Delik (delict) 2). Peristiwa pidana 3). Perbuatan pidana

4). Perbuatan yang dapat atau boleh dihukum 5). Hal yang diancam dengan hukum

6). Perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukum 7). Tindak pidana.

Beberapa pendapat ahli hukum pidana menjelaskan defenisi strafbaar feit sebagai berikut:

1). Simon menerangkan strafbaar feit adalah kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.

18 Ibid

19 Heni Siswanto, Hukum Pidana, (Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2005), hal. 35

(30)

2). Van Hamel merumuskan perbuatan pidana adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, yang bersifat melawan hukum, yang patut di pidana dan dilakukan kesalahan.

3). Moeljatno, perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu atura hukum, yang mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

20

4). Pompe, memberikan pengertian tindak pidana menjadi dua definisi, yaitu definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum, sedangkan definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian atau feit yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.

21

Berdasarkan beberapa pendapat ahli tersebut, dapat dibuatkan suatu kesimpulan mengenai tindak pidana, yaitu sebagai berikut:

1). Suatu perbuatan yang melawan hukum.

2). Orang yang dikenai sanksi harus mempunyai kesalahan (asas tiada pidana tanpa kesalahan) di mana kesalahan sendiri terdiri dari kesalahan yang disebabkan secara sengaja dan yang disebabkan secara sengaja dan yang disebabkan karena kelalaian.

3). Subjek atau pelaku baru dapat di pidana jika ia dapat bertanggung jawab dalam artian berfikiran waras.

Pada hakikatnya perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahir oleh karena perbuatan, yang mengandung kelakuan dan akibatnya yang ditimbulkan

20 Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hal. 54

21 Tri Andrisman, Hukum Pidana, Asas-Asas Dan Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia (Bandar Lampung: Universitas lampung, 2006), hal. 53-54

(31)

karenanya, perbuatan pidana adalah suatu kejadian dalam alam lahir. Adapun unsur- unsur tindak pidana yang dikemukakan oleh para pakar itu pun terdapat perbedaan pandangan, baik dari pandangan atau aliran monistis dan pandangan atau aliran dualistis. Menurut aliran monistis, apabila ada orang yang melakukan tindak pidana maka sudah dapat di pidana, sedangkan aliran dualistis dalam memberikan pengertian tindak pidana memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana, sehingga berpengaruh dalam merumuskan unsur-unsur tindak pidana.

Simon, yang merupakan seorang penganut aliran monistis dalam merumuskan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:

22

1). Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan).

2). Diancam dengan pidana.

3). Melawan hukum.

4). Dilakukan dengan kesalahan.

5). Orang yang mampu bertanggung jawab.

Moeljatno, yang merupakan seorang penganut aliran dualistis merumuskan unsur-unsur perbuatan pidana atau tindak pidana sebagai berikut:

23

1). Perbuatan (manusia).

2). Memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil, sebagai konskuensi adanya asas legalitas).

3). Bersifat melawan hukum (syarat materil, perbuatan harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan karena bertentangan dengan tata pergaulan di masyarakat.

4). Kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab tidak masuk sebagai unsur perbuatan pidana karena unsur perbuatan ini terletak pada orang yang berbuat.

22 Sudarto, Hukum Pidana I (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990), hal. 40

23 Heni Siswanto, Op.Cit., hal. 36

(32)

Perbuatan pidana adalah suatu aturan hukum yang dilarang dan diancam pidana di mana larangan ditujukan kepada perbuatan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu, dan oleh karena itu antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian memiliki hubungan erat satu sama lain yang tidak dapat dipisahkan.

b. Konsep Sistem Pemidanaan

Sistem pemidanaan dari sudut fungsional, dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk fungsionalisasi, operasionalisasi, konkretisasi pidana dan keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) yang mengatur bagaimana hukum pidana ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkrit, sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana. Dari sudut ini maka sistem pemidanaan identik dengan sistem penegakan hukum pidana yang terdiri dari subsistem hukum pidana materiil atau substantif, sub sistem hukum pidana formil dan sub sistem hukum pelaksanaan pidana, sedangkan dari sudut norma substantif (hanya dilihat dari norma-norma hukum pidana substantif).

Sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem aturan/norma

hukum pidana materiil untuk pemidanaan atau keseluruhan sistem aturan/norma

hukum pidana materiel untuk pemberian atau penjatuhan dan pelaksanaan pidana,

dengan pengertian demikian, maka keseluruhan peraturan perundang-undangan pada

hakikatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan, yang terdiri dari aturan

umum (general rules) dan aturan khusus (special rules). Selanjutnya jika di tinjau

dari tiga sisi masalah dasar dalam hukum pidana, yaitu pidana, perbuatan pidana, dan

(33)

pertanggungjawaban pidana, muatan hukum pidana yang perlu mendapat perhatian adalah mengenai pidana atau pemidanaan, perbuatan pidana, dan pertanggung jawaban pidana.

4. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian yang terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal khusus yang disebut defenisi operasional.

24

Pada penelitian ini disusun berberapa defenisi operasional dari konsep-konsep yang akan digunakan agar tidak terjadi perbedaan pengertian antara satu dengan yang lainnya yakni sebagai berikut:

a. Penerapan adalah perbuatan menerapkan, sedangkan menurut beberapa ahli, penerapan adalah suatu perbuatan mempraktekkan suatu teori, metode, dan hal lain untuk mencapai tujuan tertentu dan untuk suatu kepentingan yang diinginkan oleh suatu kelompok atau golongan yang telah terencana dan tersusun sebelumnya.

b. Sanksi pidana adalah konsekuensi logis dari suatu perbuatan pidana yang dilakukan di mana subjek hukum dapat dijatuhi pidana atas tindakan setiap pelaku pidana sesuai dengan situasi dan kondisinya. Sanksi pidana juga dapat diartikan suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana.

24 Samadi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 3

(34)

c. Hukum pidana adalah keseluruhan dari peraturan yang menentukan perbuatan- perbuatan apa yang dilarang dan termasuk ke dalam tindak pidana, serta menentukan hukuman atau sanksi apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya.

d. Pidana mati merupakan salah satu bentuk hukuman yang paling berat dijalankan seorang terpidana dengan cara menghilangkan nyawanya dan biasanya hukuman ini berlaku untuk kasus pembunuhan berencana, terorisme, dan perdagangan obat-obatan terlarang.

e. Tindak pidana merupakan terjemahan dari strafbaar feit yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan dengan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

f. Pengedar berasal dari kata dasar edar, dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009 Tentang Narkotika tidak ada definisi pengedar secara ekplisit di dalam

undang-undang tersebut, namun berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia,

pengedar adalah orang yang mengedarkan, yakni orang yang membawa

(menyampaikan) sesuatu dari orang yang satu kepada yang lainnya, sementara

arti peredaran narkotika itu sendiri meliputi setiap kegiatan atau serangkaian

kegiatan penyaluran atau penyerahan narkotika, baik dalam rangka perdagangan,

bukan perdagangan maupun pemindahtanganan, untuk kepentingan pelayanan

kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

(35)

g. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis yang dapat menyebabkan penurunan dan perubahan kesadraan, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangnya rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

h. Putusan hakim adalah keputusan yang diambil oleh hakim untuk memutuskan suatu perkara pidana yang terdapat dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian dalam pelaksanaannya diperlukan dan ditentukan alat-alatnya, jangka waktu, cara-cara yang dapat ditempuh apabila mendapat kesulitan dalam proses penelitian. Penelitian harus dilakukan secara metodelogis, sistematis, dan konsisten di mana metodelogis yang dimaksud berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan pada suatu sistem, dan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dengan suatu kerangka-kerangka pemikiran tertentu.

25

Berdasarkan perumusan masalah dalam menyusun penelitian ini, jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif di mana penelitian hukum normatif, yang juga disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen, karena lebih

25 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 42

(36)

banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada diperpustakaan.

26

Penelitian hukum normatif juga mengacu kepada aturan-aturan hukum, norma-norma hukum yang terdapat baik di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan maupun di dalam putusan pengadilan sedangkan penelitian hukum empiris merupakan penelitian hukum yang memakai sumber data primer, yang mana data yang diperoleh berasal dari eksperimen dan observasi.

Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis, di mana penelitian deskriftif analitis yakni suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Penelitian deskriptif analitis merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau tentang kecendrungan yang tengah berlangsung kemudian dianalisis dan dilakukan pengambilan kesimpulan atas permasalahan- permasalahan yang di teliti.

27

2. Metode Pendekatan

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang ditunjang dengan data sekunder dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan analitis, dan pendekatan kasus. Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu

26 Ediwarman, Monograf Metodologi Penelitian Hukum (Panduan Penelitian Tesis Dan Disertasi), Program Pascasarjana (Medan: Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, 2014), hal. 94

27 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hal. 35

(37)

hukum yang sedang ditangani.

28

Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi.

29

Pendekatan analisis adalah menganalisis pengertian hukum, asas hukum, kaedah hukum, sistem hukum, dan berbagai konsep yuridis yang berkaitan dengan permasalahan-permasalahan dalam penelitian.

30

Pendekatan kasus adalah (case approach) adalah mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum, terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus penelitian.

31

3. Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan-bahan hukum yang terdapat dalam penelitian ini diambil dari data-data sekunder, dan adapun data-data sekunder yang dimaksud adalah:

a. Bahan hukum primer yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dalam penelitian ini diantaranya Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai Nomor 352/Pid.Sus/2015/PN. Tjb, Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai Nomor 353/Pid.Sus/2015/PN. Tjb, Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai Nomor 354/Pid.Sus/2015/PN. Tjb, Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai Nomor 594/Pid.Sus/2015/PN. Tjb, Putusan Pengadilan Negeri

28 Jhonny Ibrahim, Teori Dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Cetakan Pertama, (Malang: Bayu Media, 2005), hal. 248

29 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 93

30 Jhonny Ibrahim, Op. Cit., hal. 257

31 Ibid., hal. 268

(38)

Tanjung Balai Nomor 241/Pid.Sus/2019/PN. Tjb, Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai Nomor 255/Pid.Sus/2019/PN. Tjb, dan peraturan-peraturan yang terkait dengan penelitian ini.

b. Bahan hukum sekunder yaitu semua dokumen yang merupakan bacaan yang relevan seperti buku-buku, seminar-seminar, jurnal hukum, majalah, koran karya tulis ilmiah dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan materi yang diteliti, selain data sekunder penelitian ini juga di dukung oleh data primer berupa penelitian lainnya yang berkaitan dengan penelitian yang akan di bahas dalam penelitian ini nantinya.

c. Bahan hukum tersier yaitu semua dokumen yang berisi tentang konsep-konsep dan keterangan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensklopedia dan sebagainya.

4. Teknik Dan Alat Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library

reseacrh). Studi kepustakaan (library reseacrh) adalah serangkaian usaha untuk

memperoleh data dengan jalan membaca, menelaah, mengklarifikasi,

mengidentifikasi, dan dilakukan pemahaman terhadap bahan-bahan hukum yang

berupa peraturan perundang-undangan serta buku-buku literatur yang ada

relevansinya dengan permasalahan penelitian, dan selain mengumpulkan data dengan

cara studi kepustakaan, penelitian ini juga didukung dengan teknik studi lapangan

(field research).

(39)

Untuk menjawab problematika penelitian dalam mencapai tujuan dan menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian, diperlukan data.

Untuk memperoleh data, seorang peneliti biasanya menggunakan instrumen mengumpulkan data. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan studi dokumen dan membuat pedoman wawancara serta melakukan wawancara mendalam (depth interview) kepada informan yaitu:

a. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Balai

b. Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Tanjung Balai 5. Analisis Data

Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam kategori- kategori atas dasar pengertian-pengertian dari sistem hukum tersebut.

32

Data yang telah dikumpulkan selanjutnya akan dianalisis dengan analisis data kualitatif, yaitu sebagai berikut:

a. Mengumpulkan bahan hukum, berupa inventarisasi peraturan perundang- undangan yang terkait dengan judul penelitian.

b. Memilah-milah bahan hukum yang sudah dikumpulkan dan selanjutnya melakukan sistematisasi bahan hukum sesuai dengan permasalahan yang dikaji di dalam penelitian yang terkait pemberian hukuman berupa pidana mati bagi pelaku tindak pidana narkotika.

c. Menganalisis bahan hukum dengan membaca dan menafsirkannya untuk menemukan kaiedah, asas dan konsep yang terkandung di dalam bahan hukum tersebut khususnya yang terkait dengan pemberian hukuman berupa pidana mati bagi pelaku tindak pidana narkotika.

32 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 225

(40)

d. Menemukan hubungan konsep, asas dan kaidah tersebut dengan menggunakan teori sebagai pisau analisis.

Penarikan kesimpulan untuk menjawab permasalahan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir deduktif di mana metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan hubungan-hubungan konsep, asas, kaidah yang terkait sehingga memperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penulisan yang dirumuskan.

33

33 Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rosda Karya, 2008), hal. 48

(41)

41

A. Permasalahan Hukum Terkait Penyebaran Narkotika Di Indonesia 1. Pengertian Narkotika

Narkotika atau yang sering disebut dengan drug adalah sejenis zat yang bisa menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakan dengan memasukkannya ke dalam tubuh.

34

Pengaruh tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan.

Secara bahasa narkotika berasal dari dari kata narke, yang berarti beku, lumpuh, dan dungu.

35

Narkotika adalah obat yang dapat menghilangkan rasa nyeri yang berasal dari daerah visceral dan dapat menimbulkan efek stupor atau efek bingung dalam keadaan masih sadar namun masih harus di gertak, serta juga dapat menimbulkan adiksi.

36

Definisi lain narkotika adalah terdiri dari zat sintesis dan semi sintesis yang terkenal adalah heroin yang terbuat dari morfhine yang tidak dipergunakan, tetapi banyak nampak dalam perdagangan-perdagangan gelap, selain juga terkenal istilah dihydo morfhine.

37

Pengertian lain narkotika yaitu merupakan zat atau obat yang

34 Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), hal. 3

35 Wison Nadack, Korban Ganja Dan Masalah Narkotika, (Bandung: Indonesia Publishing House, 1983), hal. 122

36 Wijaya A.W, Masalah Kenakan Remaja Dan Penyalahgunaan Narkotika, (Bandung:

Armico, 1985), hal. 145

37 Wison Nadack, Op. Cit., hal. 124

(42)

berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi, sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.

38

Soedjono menyatakan bahwa yang dimaksud dengan narkotika adalah sejenis zat, yang bila dipergunakan atau di masukkan dalam tubuh akan membawa pengaruh terhadap tubuh pemakai di mana pengaruh tersebut berupa menenangkan, merangsang, dan menimbulkan khayalan atau halusinasi.

39

Perkembangan didunia saat ini menunjukkan terjadinya kecenderungan perubahan yang kuat dalam memandang para penyalahguna narkotika yang tidak lagi dilihat sebagai pelaku tindak kriminal namun sebagai korban atau pasien yang harus diberi empati.

Hukum narkotika adalah aturan hukum yang mengatur tentang penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika, yang di dalam aturan tersebut memuat asas-asas, prinsip-prinsip, jenis-jenis narkotika, kebijakan penanggulangan tindak pidana narkotika, dan juga sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana narkotika. Kebijakan penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan obat- obatan atau narkotika merupakan kebijakan hukum positif yang pada hakikatnya bukanlah semata-mata pelaksanaan undang-undang yang dapat dilakukan secara yuridis normatif dan sistematik, dogmatik, sebab selain dengan pendekatan yuridis

38 Sudarsono, Prospek Pengembangan Obat Bahan Alami Bidang Kesehatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 4

39 Soedjono D, Segi Hukum Tentang Narkotika Di Indonesia, (Bandung: Karya Nusantara, 1977), hal. 5

(43)

normatif, kebijakan hukum pidana juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis, bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin ilmu lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya.

40

Reformulasi kebijakan sanksi khususnya bagi pengguna narkotika kedepan yaitu dengan menerapkan sansi tindakan perlu mempertimbangkan jenis atau bentuk dari sanksi tindakan yang tepat dan bermanfaat dalam rangka menyelamatkan pengguna narkotika khususnya bagi pecandu, yang mana dalam menentukan jenis sanksi tindakan tersebut perlu memperhatikan beberapa hal seperti konvensi negara- negara didunia mencerminkan paradigma baru untuk menghindari peradilan pidana.

(restorative justice) yang merupakan alternatif yang sering digunakan diberbagai belahan dunia untuk penanganan pelaku tindak pidana yang bermasalah dengan hukum karena menawarkan solusi yang komprehensif dan efektif.

41

Terpidana perkara narkotika baik pemasok, pedagang besar, pengecer, maupun pecandu atau pemakai pada dasarnya adalah merupakan korban penyalahgunaan tindak pidana narkotika yang melanggar peraturan pemerintah, dan para pelaku juga merupakan warga negara yang diharapkan dapat membangun negeri ini dari keterpurukan hampir di segala bidang, oleh harena itu bagaimanapun tingkat kesalahannya, para terpidana atau korban tersebut masih diharapkan dapat menyadari

40 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 22

41 DS. Dewi, Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal Dalam Penerapan Restorative Justice Di Pengadilan Anak Indonesia, (Depok: Indie Publishing, 2011), hal. 4

(44)

bahwa apa yang telah diputus oleh majelis hakim atas kesalahan mereka adalah merupakan suatu cara atau sarana agar mereka meninggalkan perbuatan tersebut setelah terpidana selesai menjalani masa hukuman pidananya di lembaga pemasyarakatan.

2. Jenis-Jenis Narkotika

Narkotika merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi, sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.

42

Jenis-jenis narkotika secara lengkap termuat di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 pada Bab III, Pasal 6 Ayat (1) yang menyebutkan bahwa narkotika digolongkan menjadi Narkotika Golongan I, Narkotika Golongan II, dan Narkotika Golongan III.

Pada lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tersebut, yang dimaksud dengan narkotika golongan I, antara lain sebagai berikut:

43

a. Papaver adalah tanaman papaver somniferum l, dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya.

b. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman papaver somniferum l yang hanya mengalami pengolahan sekadar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar morfinnya

c. Opium masak terdiri dari:

1). Candu, yakni hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan, khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok utuk pemadatan.

42 Sudarsono, Prospek Pengembangan Obat Bahan Alami Bidang Kesehatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 4

43 Anonim, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 74

Referensi

Dokumen terkait

Serta untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika oleh pegawai negeri sipil (Studi Putusan

Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan yang berjudul Hukuman Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Narkotika Dalam Kajian Hukum Pidana Islam (Studi Putusan

Apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana dan rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika.. Pembahasan dan

PELAKSANAAN TERHADAP PENJATUHAN SANKSI PIDANA MATI UNTUK PELAKU TINDAK

mati bagi pelaku tindak pidana korupsi adalah dalam penjatuhan putusan hakim itu apakah harus dijatuhkan pidana mati atau dijatuhkan sanksi pidana lain, karena hakim dalam

ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya yang.. lebih mengkhususkan lagi mengenai dasar pertimbangan hakim dalam. menjatuhkan pidana mati terhadap pelaku

Selain hukuman mati tidak pernah dikenakan kepada pelaku korupsi di Indonesia, tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan sanksi pidana mati dalam UU PTPK sangat terbatas

Tujuan skripsi ini adalah untuk mengetahui, memperoleh data, dan menganalisis mengenai apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana mati