HUKUMAN MATI BAGI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA DALAM KAJIAN HUKUM PIDANA ISLAM
(Studi Putusan N0. 145 PK/PID.SUS/2016)
SKRIPSI
OLEH:
KIKI DEWI LESTARI NIM: C73213086
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
JURUSAN HUKUM PUBLIK ISLAM PRODI HUKUM PIDANA ISLAM
ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan yang berjudul Hukuman Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Narkotika Dalam Kajian Hukum Pidana Islam (Studi Putusan N0. 145 Pk/Pid.Sus/2016). Penelitian ini bertujuan untuk menjawab Bagaimana dasar hukum hakim dalam putusan No. 145 PK/PID.SUS/2016 tentang hukuman mati bagi pelaku tindak pidana narkotika?, dan Bagaimana analisis hukum pidana Islam terhadap putusan No. 145 PK/PID.SUS/2016 tentang hukuman mati bagi pelaku tindak pidana narkotika?.
Pendekatan yang digunakan untuk menjawab permasalahan tersebut adalah pendekatan kualitatif. Teknik penggalian data yang peneliti lakukan yaitu Kepustakaan. Maka penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan buku yang terkait dengan permasalahan yang peneliti kaji. Data yang berhasil dikumpulkan selanjutnya disusun dan dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis dengan pola pikir deduktif.
Dari hasil penilitian ini dapat disimpulkan bahwa, Mahkamah Agung menolak Peninjauan Kembali yang diajukan oleh terpidana Fredi Budiman dan terpidana tetap dijatuhi hukuman mati. Terpidana Fredi Budiman terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 114 ayat (2) jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Dari hasil tersebut juga dapat disimpulkan bahwa, hukuman mati yang dijatuhkan terhadap terpidana narkotika sudah sesuai karena termasuk dalam
kategori hukuman jarimah ta’zir dan tidak ada ketentuan nas yang mengatur
secara eksplisit tentang hukuman bagi pelaku tindak pidana narkotika, sehingga dalam menjatuhkan hukuman diberikan sepenuhnya kepada Hakim atau dalam hal ini ulil amri. Dengan mempertimbangkan kemaslahatan umum.
.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM --- i
PERYATAAN KEASLIAN --- ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING --- iii
PENGESAHAN --- iv
ABSTRAK --- v
KATA PENGANTAR --- vi
DAFTAR ISI --- ix
DAFTAR TRANSLITERASI --- xiii
BAB I PENDAHULUAN --- 1
A. Latar Belakang Masalah --- 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah --- 10
C. Rumusan Masalah --- 12
D. Kajian Pustaka --- 12
E. Tujuan Penelitian--- 14
F. Kegunaan Hasil Penelitian --- 15
G. Definisi Operasional --- 15
H. Metode Penelitian --- 16
I. Sistematika Pembahasan --- 21
BAB II Tinjauan Umum Tentang Jarimah Ta’zir --- 23
B. Pengertian Jarimah Ta’zir --- 27
C. Dasar Hukum Disyariatkannya Ta’zir --- 30
D. Macam-macam Jarimah Ta’zir --- 32
E. Macam-macam Hukuman Ta’zir --- 34
BAB III HUKUMAN MATI BAGI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA PUTUSAN : No. 145 PK/PID.SUS/2016 --- 43
A. Deskripsi Kasus --- 43
B. Alasan-alasan Peninjauan Kembali --- 52
C. Alasan-alasan Penolakan Peninjauan Kembali --- 60
D. Isi Putusan: No. 145 PK/PID.SUS/2016 --- 65
BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP HUKUMAN MATI BAGI PELAKU TINDAK PIDANA --- 67
A. Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Putusan: No. 145 PK/PID.SUS/2016 Tentang Hukuman Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Narkotika --- 67
B. Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Pertimbangan Hukum Hakim Putusan: No. 145 PK/PID.SUS/2016 Tentang Hukuman Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Narkotika --- 70
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan --- 75
B. Saran --- 76
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan hukuman mati sebagai
hukuman yang dijalankan dengan membunuh orang yang tidak bersalah.
Umumnya eksekusi dilaksanakan dengan hukuman gantung atau tembak
mati. Sementara itu, di Amerika Serikat hukuman mati dilakukan dengan
kursi listrik, di Meksiko dengan kamar gas, sedangkan di Prancis-pada zaman
revolusi-hukuman mati dilakukan dengan alat yang disebut guillotine.1
Hukuman mati merupakan hukuman yang paling berat diantara
hukuman yang lainnya, di mana hukuman ini masih diberlakukan di
Indonesia, meskipun Belanda sendiri yang merupakan asal dari hukum pidana
Indonesia telah menghapuskan hukuman mati sejak tahun 1970 serta
negara-negara lainnya seperti: Jerman, Italia, Portugal, Austria, Swiss, Skandinavia
dsb, namun ada pula negara yang telah menghapuskan hukuman mati tetapi
kemudian mengadakan lagi seperti Rusia.2
1 Yon Artiono Arba’i, Aku Menolak Hukuman Mati: Telaah Atas Penerapan Pidana Mati, (Bogor: Grafika Mardi Yuana, 2012), 66.
2 Nelvitia Purba dan Sri Sulistyawati, Pelaksanaan Hukuman Mati: Perspektif Hak Asasi Manusia dan
2
Berdasarkan catatan sejarah, pidana mati telah berlaku sejak
berabad-abad silam. Bahkan pidana mati diterapkan dalam sanksi pidana adat. Pidana
mati di Indonesia, secara hukum, berlaku sejak diberlakukannya UU No. 1
Tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana. Sanksi ini ditegaskan lagi
dalam peraturan hukum pidana UU No. 73 Tahun 1958 tentang berlakunya
UU No. 1 Tahun 1946 untuk seluruh wilayah NKRI, yang merubah Wetboek
van Strafrecht voor Nederlandsch Indie menjadi Wetboek van Strafrecht
yang saat ini dikenal dengan sebutan KUHP.3
Di Indonesia, KUHP sampai saat ini masih mencantumkan hukuman
mati sebagai salah satu jenis pidana pokok di samping pidana penjara, pidana
kurungan, dan pidana denda. Pro-kontra pelaksanaan pidana mati di
Indonesia sudah berlangsung lama. Pasang-surutnya seirama dengan
perkembangan hukum di tanah air. Kaum abolisioner menentang hukuman
mati dengan alasan bertentangan dengan HAM, terutama hak untuk hidup.4
Dengan diberlakukannya hukuman mati di Indonesia pemerintah
berusaha memberikan perlindungan dan keadilan bagi seluruh warga
negaranya agar hak asasi manusia dapat terpenuhi secara adil. Pelaksanaan
hukuman mati di Indonesia bukan semata-mata bertujuan untuk mengurangi
atau menghilangkan sama sekali dari hak-hak asasi manusia. Namun di dalam
3Yon Artiono Arba’i, Aku Menolak Hukuman Mati: Telaah Atas Penerapan Pidana Mati…,121.
3
pelaksanaannya lebih kepada tanggung jawab negara melindungi warga
negaranya. Setiap tindakan yang diperbuat oleh warga negaranya, apabila
perbuatan itu melenceng dari undang-undang yang berlaku maka orang itu
akan menerima hukuman seperti yang tertera didalam undang-undang yang
berlaku.5
Tujuan pemberlakuan hukuman mati untuk memberikan efek jera bagi
pelaku kejahatan. Dari aspek kemanusiaan hukuman mati diperlukan guna
melindungi masyarakat dari perbuatan orang jahat. Tetapi kenyataan di
lapangan berbeda. Hukuman mati yang merupakan hukuman terberat bagi
pelaku tindak pidana narkotika belum mampu membuat efek jera. Hal ini
terlihat dari semakin banyaknya kasus narkotika di Indonesia.
Apabila dianalogikan dengan kejahatan narkoba yang membunuh
bukan hanya satu orang-orang satu orang-perorangan tapi membunuh ribuan
bahkan ratusan ribu manusia. Bahkan sebenarnya hukuman mati tersebut
masih kurang setimpal apabila dibandingkan dengan kerusakan yang
demikian dahsyat yang diakibatkan oleh kejahatan narkoba tersebut6
Di Indonesia salah satu bentuk kejahatan yang di hukum mati adalah
kejahatan narkotika. Istilah narkotika bukan lagi istilah asing bagi
5 Nelvitia Purba dan Sri Sulistyawati, Pelaksanaan Hukuman Mati: Perspektif Hak Asasi Manusia dan
Hukum Pidana di Indonesia…,157.
4
masyarakat mengingat begitu banyaknya berita baik dari media cetak
maupun elektronik yang memberitakan tentang penggunaan narkotika dan
bagaimana korban dari berbagai kalangan dan usia berjatuhan akibat
penggunaannya. Narkotika, menurut keterangan/penjelasan dari
Merriam-Webster adalah:
1. A drug (as opium or morphine) that in moderate doses dulls the sense,
relieves pain, and induces profound sleep but in excessive doses causes
stupor, coma, or convulsions;
Sebuah obat (seperti opium atau morfin) yang dalam dosis tertentu dapat
menumpulkan indra, mengurangi rasa sakit, dan mendorong tidur, tetapi
dalam dosis berlebihan menyebabkan pingsan, koma, atau kejang;
2. A drug (as marijuana or LSD) subject to restriction similar to that of
addictive narcotics whether physiologically addictive and narcotic or not;
3. Something that soothes, relieves, or lulls (untuk menenangkan)
Sementara menurut pasal 1 angka 1 undang-undang nomor 22 tahun
1997, pengertian narkotika adalah: zat atau obat yang berasal dari tanaman
atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
5
terlampir dalam undang-undang (UU No. 22 Tahun 1997) atau yang
kemudian ditetapkan dengan keputusan menteri kesehatan.7
Di Indonesia sendiri penyalahgunaan narkotika kebanyakan adalah
dari kalangan remaja. Saat remaja mereka memiliki kecenderung untuk ingin
tau terhadap sesuatu yang baru dan ingin mencobanya. Mereka juga memiliki
kebiasaan ikut-ikutan tren yang ada. Sungguh sangat memprihatinkan remaja
yang seharusnya menjadi generasi muda yang cerdas, kuat dan berprestasi
harus menjadi pecandu narkotika dan kehilangan impian serta masa depan.
Banyak juga korban dari penyalahgunaan narkotika yang berasal dari para
penegak hukum, pejabat, dan pelaku seni.
Kejahatan narkotika ini dampaknya sangat merugikan generasi
bangsa. Hal ini dapat dilihat data Studi Biaya Sosial dan Ekonomi akibat
penyalahgunaan narkotika tahun 2004 diketahui estimasi jumlah
penyalahgunaan narkotika sebesar 3,2 juta (1,5 % dari populasi penduduk)
dimana 79 % kategori pecandu dan 21 % kategori pemakai teratur, mayoritas
(75 %) adalah penyalahgunaan narkoba jenis ganja.
Jumlah biaya sosial dan ekonomi yang harus diestimasikan sebesar
572.000 orang dan angka kematian penyalahgunaan narkoba jenis ganja
sebanyak 15.000 orang per tahun. Tahun 2005 estimasi angka
7 AR. Sujono dan Bony Daniel, Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
6
penyalahgunaan setahun terakhir 1 % di rumah tangga dan 5 % di rumah kos.
Angka penyalahgunaan narkoba jauh lebih tinggi di rumah kos, (13 %) di
bandingkan di rumah tangga (2,4 %). Angka penyalahgunaan setahun
terakhir dan sebulan terakhir di rumah kos relative tinggi masing-masing 5,8
% dan 21 %. Diketahui pada rumah tangga biasa 12 % penyalahgunaan
IDU,S 11 % masih aktif menyuntik, dimana sebagian besar IDU, adalah
laki-laki.
Oleh karena itu dengan memperhatikan semakin banyaknya manusia
Indonesia terutama generasi penerus bangsa yang telah menjadi korban dari
pelaku kejahatan narkotika, karena kejahatan narkotika ini merupakan suatu
hal yang menakutkan dan sangat meresahkan orang tua yang mempunyai
anak-anak usia sekolah dan masih remaja. Para pelaku pengedar narkotika
pada dasarnya telah menghilangkan “Hak Untuk Hidup Daripada
Masyarakat” karena dengan tindakannya mengedarkan narkotika
mengakibatkan hilangnya kehidupan bagi korbannya dan kematian pasti di
depan matanya.
Para pelaku pengedar narkotika tersebut dengan perbuatannya
tersebut telah melakukan penyiksaan yang luar biasa kepada korban dari
pengedar narkotika tersebut, korban dari narkotika tersebut akan mengalami
7
narkotika yang pada gilirannya dapat menghilangkan hak kemerdekaan
berfikir, hak untuk menjalankan agama, dsb.
Dari peradaban-peradaban tua kita dengar pula, manusia suka
melakukan terobosan-terobosan agar kesedihan dan kesepiannya terlupakan.
Jalan pintasnya adalah mabuk-mabukan, atau mengisap zat yang memberikan
kenikmatan, atau menelan obat yang melegakan, walaupun hanya sesaat.8
Melihat dari pemaparan diatas, diharapkan agar semua kalangan
masyarakat turut serta di dalamnya. Hal ini bertujuan agar pemberantasannya
penyalahgunaan narkotika dapat dilakukan secara menyeluruh. Mulai dari
oknum-oknum sampai pada gembong narkobanya.
Dalam analoginya larangan mengonsumsi minuman keras (khamr)
yang memabukkan adalah sama dengan larangan mengonsumsi narkotika.
Karena keduanya zat memiliki efek sama yaitu dapat menyebabkan
hilangnya akal. Tidak hanya itu (khamr) dan narkotika juga dianggap sebagai
induk keburukan (ummul khabaits), di samping merusal akal, jiwa,
kesehatan, dan harta. Dari sejak semula, islam telah berusaha menjelaskan
kepada umat manusia, bahwa manfaatnya tidak seimbang dengan bahaya
yang ditimbulkan. Dalam surah al-Baqarah ayat 219 Allah berfirman:
8 Andi Hamzah dan Surachman, Kejahatan Narkotika dan Psikotropika, (Jakarta: Sinar Grafika,
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih
besar dari manfaatnya...” (QS. al-Baqarah: 219)9
Artinya: “Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. al-Maidah: 91)10
Mengenai penerapan sanksi hukuman akibat penyalahgunaan narkoba
dalam perspektif hukum positif dan hukum islam. Dalam hukum positif hal
penerapan sanksi bagi pengguna narkoba dikodifikasikan pada UU No. 35
tahun 2009 tentang narkotika. Sedangkan dalam hukum Islam tidak
dikodifikasikan dalam sebuah undang-undang tersendiri. Sehingga para
berbeda pendapat tentang sanksi (uqubat) bagi mereka yang menggunakan
narkotika adalah ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh
9 Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Terjemah Perkata Asbabul Nuzul dan Tafsir Bil
Hadis, (Bandung: Semesta Al-Qur’an, 2013), 34.
9
qadhi, misalnya dipenjara, dicambuk, dan sebagainya. Ta’zir dapat sampai
pada tingkatan hukuman mati.11
Ta’zir ialah sanksi yang diberlakukan kepada pelaku jarimah yang
melakukan pelanggaran-baik berkaitan dengan hak Allah maupun hak
manusia-dan tidak termasuk ke dalam kategori hukuman hudud atau kafarat.
Karena ta’zir tidak ditentukan secara langsung oleh al-Qur’an atau hadis,
maka ini menjadi kompetensi penguasa setempat. Dalam memutuskan jenis
dan ukuran sanksi ta’zir, harus tetap memperhatikan petunjuk nash secara
teliti karena menyangkut kemaslahatan umum.12
Ta’zir juga berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran. Disebut
dengan ta’zir karena hukuman tersebut sebenarnya menghalangi si terhukum
untuk tidak kembali kepada jarimah atau dengan kata lain membuatnya
jera.13 Dengan kata lain, ta’zir adalah hukuman yang bersifat edukatif yang di
tentukan hakim atas pelaku tindak pidana atau pelaku yang berbuat maksiat
yang hukumanya belum di tentukan oleh syariat atau kepastian hukumanya
belum ada.14
Salah satu contoh kasusnya yaitu yang terjadi pada Fredi Budiman.
Dia adalah terpidana kasus penyalahgunaan yang dijatuhi hukuman mati.
11 Saud Al Utaibi, Al Mausu‟ah Al Jina`iyah Al Islamiyah, Juz 1 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008),
708- 709.
12 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), 139-140.
13 A. Djazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 1997), 161.
14 Sayyid sabiq, Terjemah Fiqih Sunnah, 10-terjemahan oleh (H.A. Ali, Bandung: Alma’ arif, 1987),
10
Dalam melancarkan aksinya Fredi Budiman tidak sendiri. Dia dibantu
beberapa temannya. Dalam putusan ini Fredi Budiman telah bersalah karena
tanpa hak atau melawan hukum dalam hal perbuatan menawarkan untuk
dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,
meyerahkan, atau menerima narkotika golongan I, sebagaimana dimaksud
ayat (1) yang dalam bentuk bukan tanaman, percobaan atau pemufakatan
jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika dan prekursornarkotika jenis
ekstasi sebanyak 1.412.476 (satu juta empat ratus dua belas ribu empat ratus
tujuh puluh enam) butir atau setara dengan lebih kurang 380.996,9 (tiga ratus
delapan puluh ribu sembilan ratus sembilan puluh enam koma sembilan)
gram.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis perlu untuk melakukan
penelitian lebih jauh lagi mengenai putusan No. 145 PK/PID.SUS/2016
perihal hukuman mati terhadap penyalahgunaan narkotika.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, terdapat beberapa masalah yang
11
1. Putusan No. 145 PK/PID.SUS/2016 tentang hukuman mati bagi pelaku
tindak pidana narkotika.
2. Tinjauan hukum pidana islam terhadap Putusan No. 145
PK/PID.SUS/2016 tentang hukuman mati bagi pelaku tindak pidana
narkotika.
3. Sanksi yang diterapkan bagi pelanggar Pasal 114 ayat (2) jo. Pasal 132
ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika.
4. Sanksi yang diterapkan bagi pelanggar Pasal 114 ayat (2) jo. Pasal 132
ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika dalam
hukum pidana Islam.
Dari beberapa masalah yang teridentifikasi dan memungkinkan untuk
diteliti, sekiranya penulis akan membatasi permasalahan-permasalahan yang
ada di dalam penelitian ini, yaitu:
1. Putusan No. 145 PK/PID.SUS/2016 tentang hukuman mati bagi pelaku
tindak pidana narkotika.
2. Tinjauan hukum pidana islam terhadap Putusan No. 145
PK/PID.SUS/2016 tentang hukuman mati bagi pelaku tindak pidana
12
C. Rumusan Masalah
Dari identifikasi masalah diatas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan No. 145
PK/PID.SUS/2016 tentang hukuman mati bagi pelaku tindak pidana
narkotika?
2. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap pertimbangan hukum
hakim putusan No. 145 PK/PID.SUS/2016 tentang hukuman mati bagi
pelaku tindak pidana narkotika?
D. Kajian Pustaka
Skripsi atas nama Fitria Ika Firdaus, Jurusan Siyasah Jinayah:
“Analisis Putusan No. 202/Pid.B/2012/PN.Mkt Perihal Pidana Narkotika
Golongan 1 Dalam Perspektif Fiqih Jinayah”.15 Skripsi ini lebih menitik
beratkan kepada Pidana Narkotika Golongan 1 dari suatu putusan yang ada di
pengadilan negeri Mojokerto.
Skripsi atas nama Resah Anika Maria, Jurusan Siyasah Jinayah:
“Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Sanksi Kumulatif Dalam Putusan
Nomor 382/Pid.Sus/2013/PN.Mkt Tentang Penyalahgunaan Narkotika
15 Fitri Ika Firdaus, Analisis Perihal Pidana Narkotika Golongan 1 Dalam Perspektif Fiqih Jinayah
13
Golongan 1 Berupa Sabu-Sabu”.16 Skripsi ini lebih menitik beratkan kepada
Sanksi Kumulatif (Hukum Berganda) dari suatu putusan yang ada di
pengadilan negeri Mojokerto.
Skripsi atas nama Nur Hasanah, Jurusan Hukum Publik Islam:
“Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Sanksi Tindak Pidana Perdagangan
Narkotika Golongan 1 Dalam Putusan Mahkamah Agung No 37
PK/Pid.Sus/2011”.17 Skripsi ini lebih menitik beratkan kepada Sanksi Tindak
Pidana Perdangan Narkotika Golongan 1 dari suatu putusan yang ada di
Mahkamah Agung.
Skripsi atas nama Fathur Rohman, Jurusan Hukum Islam: “Analisis
Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan No. 37/Pid. B/2014/PN.Kbr Tentang
Penyalahgunaan Narkotika Golongan 1 Bagi Dirinya Sendiri”.18 Skripsi ini
lebih menitik beratkan kepada penyalahgunaan Narkotika Golongan 1 Bagi
Dirinya Sendiri dari suatu putusan yang ada di pengadilan negeri Kota Baru.
Dari hasil telaah terhadap hasil penelitian di atas penulis tidak
menjumpai judul penelitian sebelumnya yang sama yang dilakukan oleh
16 Resah Anika Maria,” Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Sanksi Kumulatif Tentang Penyalahgunaan Narkotika Golongan 1 Berupa Sabu-Sabu (Study Putusan Nomor
382/Pid.Sus/2013/PN.Mkt)”, (Skripsi UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014).
17 Nur Hasanah, “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Sanksi Tindak Pidana Perdagangan
Narkotika Golongan 1 (Study Putusan Nomor 37 PK/Pid.Sus/2011)”, (Skripsi UIN Sunan Ampel
Surabaya, 2015).
18 Fathur Rohman, “Analisis Hukum Pidana Islam Tentang Penyalahgunaan Narkotika Golongan 1
Bagi Dirinya Sendiri (Study Putusan Nomor 37/Pid.B/2014/PN.Kbr)”, (Skripsi UIN Sunan Ampel
14
mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya, penulis juga tidak menemukan
penelitian atau tulisan yang secara spesifik mengkaji tentang Hukuman Mati
Bagi Pelaku Tindak Pidana Narkotika Dalam Kajian Hukum Pidana Islam
pada putusan hakim No. 145 PK/PID.SUS/2016 tentang Hukuman Mati Bagi
Pelaku Tindak Pidana Narkotika. Penulis tidak mendapatkan beberapa hasil
penelitian yang memiliki relevansi terhadap penelitian yang penulis lakukan.
Penelitian yang akan kami bahas adalah Hukuman Mati Bagi Pelaku Tindak
Pidana Narkotika Dalam Kajian Hukum Pidana Islam (studi putusan no. 145
PK/Pid.Sus/2016).
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka secara garis besar
penelitian ini di lakukan dengan berbagai tujuan antara lain sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam putusan No. 145
PK/PID.SUS/2016 tentang penegakan hukuman mati bagi pelaku tindak
pidana narkotika.
2. Untuk mengetahui tinjauan hukum pidana Islam terhadap pertimbangan
hukum hakim putusan No. 145 PK/PID.SUS/2016 tentang penegakan
15
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran antara lain meliputi:
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan rujukan untuk
pengembangan ilmu pengetahuan serta memperkaya khazanah intelektual
dan pengetahuan tentang hukum pidana dan hukum Islam.
2. Secara praktis, sebagai bahan pertimbangan dan bahan dalam
menetapkan Keputusan memutuskan sebuah perkara dalam peradilan
umum di Indonesia.
G. Definisi Operasional
Dari judul yang dipaparkan oleh penulis di atas, maka perlunya
penulis mendefinisikan judul tersebut agar mudah dipahami secara jelas
sehingga tidak terjadi kesalah pahaman didalam memahami judul ini, definisi
operasional dari judul di atas ialah sebagai berikut:
1. Hukuman mati yang dimaksud dalam skripsi ini adalah hukuman yang
dijatuhkan untuk terpidana narkotika.
2. Narkotika: Menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009
tentang Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintesis, yang dapat
16
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan,
yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir
dalam Undang-Undang.19
3. Hukum Pidana Islam yang dimaksud dalam skripsi ini adalah teori hukum
ta’zir atau jarimah ta’zir.
H. Metode Penelitian
Dalam sebuah penelitian ilmiah, metode penelitian merupakan satuan
sistem yang harus dicantumkan dan dilaksanakan selama proses penelitian
tersebut dilakukan. Hal ini sangat penting karena menentukan proses sebuah
penelitian untuk mencapai tujuan. Selain itu, metode penelitian merupakan
sebuah cara untuk melakukan penyelidikan dengan menggunakan cara-cara
tertentu yang telah ditentukan untuk mendapatkan kebenaran ilmiah,
sehingga nantinya penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan.20 Sesuai
dengan permasalahan yang diangkat, maka jenis penelitian ini di kategorikan
sebagai penelitian yuridis normatif dilakukan dengan cara menelaah dan
menginterpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas,
konsepsi, doktrin dan norma hukum yang berkaitan dengan pembuktian
perkara pidana. Penelitian yuridis normatif adalah pendekatan yang
dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori,
19 Undang-undang R.I Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
17
konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini yang menjadi
rujukan adalah putusan No. 145 PK/PID.SUS/2016.
1. Data Yang Dikumpulkan
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini:
a. Data-data yang berkaitan dengan hukuman mati bagi pelaku tindak
pidana narkotika.
b. Data-data yang berkaitan dengan hukuman mati bagi pelaku tindak
pidana narkotika menurut hukum pidana Islam.
2. Sumber Data
Sumber data yang diambil dalam penelitian ini terdiri atas sumber
data primer dan sumber data sekunder, yaitu:
a. Sumber Data Primer
Data Primer, yaitu data diperoleh secara langsung dari
sumbernya mengenai masalah-masalah yang menjadi pokok bahasan.
Dalam penelitian ini melalui putusan No. 145 PK/PID.SUS/2016
tentang hukuman mati bagi pelaku tindak pidana narkotika.
b. Sumber Data Sekunder
Data sekunder atau data tangan kedua adalah data yang
18
subjek penelitian.21 Dalam Penelitian ini, data sekunder tersebut
adalah:
1) Putusan Mahkamah Agung No. 145 PK/PID.SUS/2016
2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika
3) Yon Artiono Arba’i, Aku Menolak Hukuman Mati: Telaah Atas
Penerapan Pidana Mati, Bogor: Grafika Mardi Yuana, 2012
4) AR. Sujono dan Bony Daniel, Komentar dan Pembahasan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika,
Jakarta: Sinar Grafika, 2011
5) Andi Hamzah dan Surachman, Kejahatan Narkotika dan
Psikotropika, Jakarta: Sinar Grafika, 1994
6) Saud Al Utaibi, Al Mausu‟ah Al Jina`iyah Al Islamiyah, Juz 1
Jakarta: Pustaka Azzam, 2008
7) M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, Jakarta: Amzah,
2013
8) A. Djazuli, Fiqh Jinayah, Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 1997
9) Sayyid sabiq, Terjemah Fiqih Sunnah, 10-terjemahan oleh H.A.
Ali, Bandung: Alma’ arif, 1987
19
10)Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kuantitatif: Komunikasi,
Ekonomi, dan Kebijakan Publik Serta Ilmu-ilmu Sosial Lainnya,
Jakarta: Kencana, 2011
11)Mestika Zed, Metodologi Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2008
12)Nelvitia Purba dan Sri Sulistyawati, Pelaksanaan Hukuman Mati:
Perspektif Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana di Indonesia,
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015
3. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data adalah bagian instrument
pengumpulan data yang menentukan berhasil atau tidaknya suatu
penelitian.22 Dalam hal ini, teknik penggalian data yang akan peneliti
lakukan yaitu Kepustakaan karena persoalan penelitian tersebut hanya
bisa dijawab lewat penelitian pustaka dan sebaiknya tidak mungkin
mengharapkan datanya dari penelitian lapangan.
Oleh karena itu penelitian ini akan menggunakan studi
kepustakaan untuk menjawab persoalan yang akan peneliti lakukan.
Setidaknya ada empat ciri studi kepustakaan 23yaitu sebagai berikut:
22 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kuantitatif: Komunikasi, Ekonomi, dan Kebijakan Publik
Serta Ilmu-ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta: Kencana, 2011), 133.
20
a. Peneliti berhadapan langsung dengan teks dan data angka dan
bukannya dengan pengetahuan langsung dari lapangan atau saksi
mata berupa kejadian, orang atau benda-benda lain.
b. Data pustaka siap pakai.
c. Data pustaka umumnya adalah sumber sekunder yang bukan data
orisinil dari tangan pertama di lapangan.
d. Kondisi data pustaka tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
4. Teknik Pengolahan Data
Pengolahan Data adalah kegiatan lanjutan setelah pengumpulan
data dilaksanakan.24 Metode-metodenya adalah:
a. Editing, yaitu memeriksa kembali data-data secara cermat tentang
kelengkapan, relevansi serta hal yang perlu dikoreksi dari data yang
telah dihimpun yang berkaitan dengan sanksi hukuman bagi pengguna
narkotika berdasarkan hukum pidana islam dan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana.
b. Organizing, menyusun dan mensistematika data-data tersebut
sedemikian rupa sehingga menghasilkan bahan untuk dijadikan
struktur deskripsi.
21
c. Analizing, yaitu melakukan analisis deskriptif pertimbangan hakim
terhadap sanksi hukuman bagi pengguna bedasarkan Hukum Pidana
Islam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
5. Teknik analisis data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Teknik deskriptif analisis, yaitu dengan cara mempaparkan mengenai
hukuman mati bagi pelaku tindak pidana narkotika yang diputuskan
oleh Mahkamah Agung secara keseluruhan, mulai dari deskripsi
kasus, sampai dengan isi putusan.
b. Pola pikir deduktif, yaitu berawal dari mempelajari teori dalam
dalil-dalil, kemudian ditarik suatu kesimpulan dari yang khusus, dari yang
umum hasil penelitian yang di lakukan.
I. Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan masalah-masalah dalam penelitian ini, dan dapat
dipahami permasalahannya secara sistematis dan lebih terarah, maka
pembahasannya dibentuk dalam bab-bab yang masing-masing bab
mengandung sub bab, sehingga tergambar keterkaitan secara sistimatis.
BAB I PENDAHULUAN
Bab Pertama merupakan bagian pendahuluan yang terdiri dari, latar
22
tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode
peneltian, dan sistematika pembahasan.
BAB II KERANGKA TEORITIS
Bab Kedua merupakan bagian landasan teori yang memuat tentang
Tinjauan Umum Tentang Jarimah Ta’zir.
BAB III DATA PENELITIAN
Bab Ketiga merupakan bagian yang membahas tentang putusan
hakim No. 145 PK/PID.SUS/2016 tentang Hukuman Mati Bagi Pelaku
Tindak Pidana Narkotika Dalam Kajian Hukum Pidana Islam.
BAB IV ANALISIS DATA
Bab Keempat ini berisi dasar pertimbangan hakim dan analisa hukum
pidana islam terhadap putusan No. 145 PK/PID.SUS/2016.
BAB V PENUTUP
Bab Kelima merupakan bab penutup yang berisi tentang kesimpulan
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG JARIMAH TA’ZIR
A. Pengertian Tindak Pidana (Jarimah) Menurut Hukum Islam
Dalam hukum Islam, tindak pidana (delik, jarimah) diartikan sebagai
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang diancam oleh Allah
SWT dengan hukuman hudud atau ta’zir. Larangan-larangan syara’ tersebut
adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan
perbuatan yang diperintahkan. Adanya kata syara’ pada pengertian tersebut
dimaksudkan bahwa suatu perbuatan baru dianggap tindak pidana apabila
dilarang oleh syara’.
Larangan-larangan syara’ tersebut adakalanya berupa mengerjakan
perbuatan yang dilarng atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan.
Adanya kata syara’ pada pengertian tersebut dimaksudkan bahwa suatu
perbuatan baru dianggap tindak pidana apabila dilarang oleh syarak.
Dari definisi sebelumnya dapat disimpulkan bahwa tindak pidana
adalah melakukan setiap setiap perbuatan yang dilarang atau meninggalkan
setiap perbuatan yang diperintahkan, atau melakukan atau meninggalkan
perbuatan yang telah ditetapkan hukum Islam atas keharaman dan
24
berbuat baru dianggap sebagai tindak pidana apabila telah ditetapkan dan
diancamkan suatu hukuman terhadapnya.
Fukaha mengistilahkan lafal hukuman dengan lafal ajziyah (bentuk
plural) dan bentuk singularnya adalah jaza’. Apabila dalam melakukan atau
meninggalkan suatu perbuatan tidak ditetapkan hukuman tertentu, perkara
tersebut tidak bisa dikatakan sebagai tindak pidana (jarimah).
Pengertian tindak pidana menurut hukum islam sangat sejalan dengan
pengertian tindak pidana (delik) menurut hukum konvensional kontemporer.
Pengertian tindak pidana dalam hukum konvensional ialah segala bentuk
perbuatan yang dilarang oleh hukum, baik dengan cara melakukan perbuatan
yang dilarang maupun meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Dalam
hukum konvensional, suatu perbuatan atau tidak berbuat dikatakan sebagai
tindak pidana apabila diancamkan hukuman terhadapnya oleh hukum pidana
konvensional.1
Dalam banyak kesempatan, fukaha sering kali menggunakan kata
jinayah dengan maksud jarimah. Pengertian kata jinayah itu sendiri secara
etimologis ialah suatu hasil perbuatan buruk yang dilakukan seseorang. Kata
jinayah adalah bentuk masdar (infinitif) dari kata jana yang berarti seseorang
25
melakukan perbuatan, dan ini adalah arti secara umum. Akan tetapi, biasanya
secara khusus dibatasi untuk perbuatan yang dilarang saja.
Adapun kata jinayah dalam istilah ilmu fikih didefinisikan sebagai
suatu perbuatan yang dilarang oleh syarak, baik perbuatan itu mengenai jiwa,
harta maupun yang lainnya. Akan tetapi mayoritas fukaha menggunakan kata
jinayah hanya untuk perbuatan yang mengenai jiwa atau anggota badan
seseorang, seperti pembunuhan, penganiayaan, pemukulan dan pengguguran
kandungan. Ada pula sebagian fukaha yang membatasi pemakaian kata
jinayah kepada tindak pidana (jarimah) hudud dan qishash.
Dengan mengenyampingkan perbedaan pemakaian kata-kata jinayah
di kalangan fukaha, dapat dikatakan bahwa kata jinayah dalam istilah fikih
adalah muradif (sinonim) dari kata jarimah.
Kata jinayah dalam hukum Mesir memiliki pengertian yang berbeda
dengan pengertian jinayah dalam hukum islam. Dalam kitab undang-undang
pidana Mesir terdapat tiga macam penggolongan tindak pidana yang
didasarkan kepada berat-ringannya hukuman, yaitu jinayah, janhah, dan
mukhalafah dengan pengertianya masing-masing sebagai berikut:2
26
1. Jinayah (kejahatan): suatu tindak pidana yang diancamkan hukuman mati
(i’dam), hukuman kerja berat sementara (asygal syaqqah muaqqatah),
atau hukuman penjara (pasal 10).
2. Janhah (kejahatan ringan): suatu tindak pidana yang dijatuhi hukuman
kurungan lebih dari satu minggu atau hukuman denda lebih dari qirsy
(piaster) (pasal 11).
3. Mukhalafah (pelanggaran): suatu tindak pidana yang dijatuhi hukuman
kurungan tidak lebih dari satu minggu atau hukuman denda yang
jumlahnya tidak lebih dari 100 qirsy (pasal 12).
Sebaliknya, dalam hukum Islam, setiap tindakan jarimah disebut juga
sebagai tindakan jinayah, baik hukuman yang dijatuhkan itu berupa
kurungan, denda, maupun hukuman yang lebih berat. Atas dasar ini,
mukhalafah, janhah, dan jinayah menurut hukum konvensional dikategorikan
sebagai jinayah oleh hukum Islam.
Dasar perbedaan antara pengertian jinayah menurut hukum Islam dan
hukum konvensional adalah sebagai berikut, yang menjadi perhatian dalam
hukum Islam adalah sifat kepidanaan dari suatu tindak pidana, sedangkan
yang menjadi perhatian dalam hukum konvensional adalah berat-ringannya
27
B. Pengertian Jarimah Ta’zir
Ta’zir menurut bahasa adalah mashdar (kata dasar)bagi ‘azzara yang
berarti menolak dan mencegah kejahatan, juga berarti menguatkan,
memuliakan, membantu. Dalam al-Quran disebutkan:3 Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya. dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang. (QS. Al-Artinya: Maka orang-orang yang beriman kepadanya.
memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung. (QS. al-A’raf: 157)5
Artinya: Dan Allah berfirman: "Sesungguhnya aku beserta kamu, Sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Sesungguhnya aku akan menutupi dosa-dosamu... (QS. Al-Maidah: 12)6
3 A. Djazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), 164.
4 Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Terjemah Perkata Asbabul Nuzul dan Tafsir Bil
Hadis...,511.
5 Ibid.,170.
28
Ta’zir juga berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran. Disebut
dengan ta’zir karena hukuman tersebut sebenarnya menghalangi si terhukum
untuk tidak kembali kepada jarimah atau dengan kata lain membuatnya jera.
Para fuqaha mengartikan ta’zir dengan hukuman yang tidak
ditentukan oleh al-Qur’an dan hadits yang berkaitan dengan kejahatan yang
melanggar hak Allah dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran
kepada si terhukum dan mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan
serupa.
Ta’zir sering disamakan oleh fuqaha dengan hukuman terhadap setiap
maksiat yang tidak diancam dengan hukuman had atau kaffarah.7
Para ulama pada umumnya memperbolehkan penggabungan antara
had dan ta’zir selama memungkinkan. Misalnya dalam mazhab Hanafi pezina
yang ghairu mushan dijilid seratus kali sebagai had lalu dibuang satu tahun
sebagai ta’zir bila ulil amri menganggap padanya ada maslahat. Demikian
pula dalam mazhab Maliki dan mazhab Syafi’I penggabungan antara had dan
ta’zir itu diperbolehkan, seperti mengalungkan tangan pencuri setelah
dipotong dan menambahkan empat puluh kali jilid bagi peminum khamr.
Hukuman ta’zir boleh dan harus diterapkan sesuai dengan tuntutan
kemaslahatan, dalam kaitan ini ada sebuah kaidah:8
7 A. Djazuli, Fiqh Jinayah...,165.
29
ِةَحَلْصَمْلا َعَمُرْوُدَيُرْ يِزْعَ تلَا
“Ta’zir itu sangat tergantung kepada tuntutan kemaslahatan”Para ulama membagi jarimah ta’zir menjadi dua bagian, yaitu: (1)
jarimah yang berkaitan dengan hak Allah dan (2) ta’zir yang berkaitan
dengan hak perorangan. Yang dimaksud dengan kejahatan yang berkaitan
dengan hak Allah adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kemaslahatan
umum. Misalnya membuat kerusakan di muka bumi, perampokan, pencurian,
perzinaan, pemberontakan dan tidak taat kepada ulil amri. Yang dimaksud
dengan kejahatan yang berkaitan dengan hak hamba adalah segala sesuatu
yang mengancam kemaslahatan bagi seorang manusia, seperti tidak
membayar utang dan penghinaan. Akan tetapi, ada ulama yang membagi
kedua jarimah ini menjadi dua bagian lagi, yakni jarimah yang berkaitan
dengan campuran antara hak Allah dan hak adami dimana yang dominan
adalah hak Allah, seperti menuduh zina dan campuran antara hak Allah dan
hak adami dimana yang dominan adalah hak hamba, seperti: jarimah
pelukaan.9
30
C. Dasar Hukum Disyariatkannya Ta’zir
Dasar hukum disyariatkannya ta’zir terdapat dalam beberapa hadis
Nabi saw. dan tindakan sahabat. Hadis-hadis tersebut antara laim sebagai
berikut:10
1. Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bahz ibn Hakim
َع ِْيِبَأ ْنَع ٍمْيِكَح ِنْبا ِزْهَ ب ْنَع
menahan seseorang karena disangka melakukan kejahatan (hadis diriwaatkan oleh Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Baihaqi, serta dishahihkan oleh Hakim).2. Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abi Burda
ُلْوُقَ ي َمَلَسَو ِْيَلَع ُها ىَلَص ِها َلْوُسَر َعََِ َُنَأ َُْع ُها َىِضَر ْىِراَصْن َْْا ًةَدْرُ ب َِِأ ْنَع
hukuman yang telah ditentukan oleh Allah Ta’ala. (muttafaq alaih).3. Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah
َأاَهْ َع ُها ىِضَر َةَشِئ اَع ْنَعَو
َدْوُدُْحا َاِإ ْمِِِ اَرَ ثَع ِتاَئْيَْْا ىِوَذ اْوُلْ يِقَأ َلاَق َمَلَسَو ِْيَلَع ُها ىَلَص ََِِلا َن
)ىقهيبلاو ىئاس لاو دوادوبأو دمأ اور(
Dari Aisyah ra. bahwa Nabi saw. bersabda: “Ringankanlah hukuman bagi orang-orang yang tidak pernah melakukan kejahatan atas perbuatan mereka, kecuali dalam jarimah-jarimah hudud. (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, Nasa’i, dan Baihaqi)
31
Secara umum ketiga hadis tersebut menjelaskan tentang eksistensi
ta’zir dalam syariat Islam. Hadis pertama menjelaskan tentang tindakan Nabi
yang menahan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dengan
tujuan untuk memudahkan penyelidikan. Hadis kedua menjelaskan tentang
batashukuman ta’zir yang tidak boleh lebih dari sepuluh kali cambukan,
untuk membedakan dengan jarimah hudud. Dengan batasan hukuman ini
dapatlah diketahui mana yang termasuk jarimah hudud dan mana yang
termasuk jarimah ta’zir. Menurut Al-Kahlani, para ulama sepakat bahwa
yang termasuk jarimah hudud adalah zina, pencurian, minum khamr, hirabah,
qadzaf, murtad, dan pembunuhan. Selain dari jarimah-jarimah tersebut,
termasuk jarimah ta’zir, meskipun ada juga beberapa jarimah yang
diperselisihkan oleh para fuqaha, seperti liwath (homoseksual), lesbian, dan
lain-lain. Sedangkan hadis ketiga mengatur teknis pelaksanaan hukuman
ta’zir yang bisa berbeda antara satu pelaku dengan pelaku lainnya,
tergantung kepada status mereka dan kondisi-kondisi lain yang
menyertainya.
Adapun tindakan sahabat yang dapat dijadikan dasar hukum untuk
jarimah dan hukuman ta’zir antara lain tindakan Sayyidina Umar ibn Khattab
32
disembelih, kemudian ia mengasah pisaunya. Khalifah Umar memukul orang
tersebut dengan cemeti dan berkata: “Asah dulu pisau itu!”11
D. Macam-macam Jarimah Ta’zir
Abdullah Aziz Amir membagi jarimah ta’zir secara rinci kepada
beberapa bagian, yaitu:12
1. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pembunuhan
Pembunuhan diancam dengan hukuman mati. Apabila hukuman
mati (qishash) dimaafkan maka hukumannya diganti dengan diat. Apabila
hukuman diat dimaafkan juga maka ulil amri berhak menjatuhkan
hukuman ta’zir apabila hal itu dipandang lebih maslahat.
2. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pelukaan
Menurut mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali, ta’zir juga dapat
dijatuhkan terhadap orang yang melakukan jarimah pelukaan dengan
berulang-ulang (residivis), di samping dikenakan hukuman qishash.
3. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kehormatan dan
kerusakan akhlak
Jarimah ta’zir macam yang ketiga ini berkaitan dengan jarimah
zina, menuduh zina, dan penghinaan. Di antara kasus perzinaan yang
diancam dengan ta’zir adalah perzinaan yang tidak memenuhi syarat
11 Ibid.,253-254.
33
untuk dikenakan hukuman had, atau terdapat syubhat dalam pelakunya,
perbuatannya, atau tempat (objeknya). Demikian pula kasus percobaan
zina dan perbuatan-perbuatan prazina, seperti meraba-raba, berpelukan
dengan wanita yang bukan istrinya, tidur bersama tanpa hubungan
seksual, dan sebagainya.
4. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan harta
Jarimah yang berkaitan dengan harta dalah jarimah pencurian dan
perampokan. Apabila kedua jarimah tersebut syarat-syarat telah dipenuhi
maka pelaku dikenakan hukuman had. Akan tetapi, apabila syarat untuk
dikenakannya hukuman had tidak terpenuhi maka pelaku tidak dikenakan
had, melainkan hukuman ta’zir.
5. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kemaslahatan individu
Jarimah ta’zir yang termasuk dalam kelompok ini, antara lain
seperti saksi palsu, berbohong (tidak memberikan keterangan yang benar)
di depan sidang pengadilan, menyakiti hewan, melanggar hak privacy
orang lain (misalnya masuk rumah orang lain tanpa izin).
6. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kemaslahatan umum
Jarimah ta’zir yang termasuk dalam kelompok ini adalah:13
a. Jarimah yang menggangu keamanan negara/pemerintah, seperti
spionase dan percobaan kudeta;
34
b. Suap;
c. Tindakan melampaui batas dari pegawai/pejabat atau lali dalam
menjalankan kewajiban;
d. Pelayanan yang buruk dari aparatur pemerintah terhadap masyarakat;
e. Melawan petugas pemerintah dan membangkang terhadap peraturan.
E. Macam-macam Hukuman Ta’zir
Hukuman ta’zir ini jenisnya beragam, namun secara garis besar dapat
dikelompokkan kepada empat kelompok, yaitu sebagai berikut:
1. Hukuman ta’zir yang berkaitan dengan badan
a. Hukuman mati
Untuk jarimah ta’zir, hukuman mati ini diterapkan oleh para
fuqaha secara beragam. Hanafiyah membolehkan kepada ulil amri
untuk menerapkan hukuman mati sebagai ta’zir dalam
jarimah-jarimah yang jenisnya diancam denag hukuman mati apabila jarimah-jarimah
tersebut dilakukan berulang-ulang. Contohnya pencurian yang
berulang-ulang dan menghina Nabi beberapa kali yang dilakukan oleh
kafir dzimmi, meskipun setelah itu masuk Islam.
Malikiyah juga membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir
35
kerusakan di muka bumi. Pendapat ini juga dikemukakan oleh
sebagian fuqaha Hanabilah, seperti Imam ibn Uqail.
Sebagian fuqaha Syafi’iyah membolehkan hukuman mati
sebagai ta’zir dalam kasus penyebaran aliran-aliran sesat yang
menyimpang dari ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah. Demikian pula
hukuman mati bisa diterapkan kepada pelaku homoseksual (liwath)
dengan tidak membedakan antara muhsan dan ghair muhsan.
Para ulama yang membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir
mengemukakan alasan lain, diantaranya hadits yang memerintahkan
hukuman mati bagi peminum khamr untuk keempat kalinya. Hadits
tersebut adalah:14
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya dari
Dailam Al-Humairi, ia berkata: saya bertanya kepada Rasulullah
saw.: “Ya Rasulullah, kami berada di suatu daerah untuk
melaksanakan suatu pekerjaan yang berat, dan kami membuat
minuman dari perasan gandum untuk menambah kekuatan kami
dalam melaksanakan pekerjaan kami dan menahan rasa dingin negeri
kami. Rasulullah bertanya, “Apakah minuman itu memabukkan?”
Saya menjawab, “Benar”. Nabi berkata, “Kalau demikian, jauhilah’.
36
Saya berkata: “Orang-orang tidak mau meninggalkannya.” Rasulullah
berkata: “Apabila mereka tidak mau meninggalkannya bunulah
mereka.”
Dari uraian tersebut jelas bahwa hukuman mati untuk jarimah
ta’zir, hanya dilaksanakan dalam jarimah-jarimah yang sangat berat
dan berbahaya, dengan syarat-syarat sebagai berikut:15
1) Bila pelaku adalah residivis yang tidak mempan oleh
hukuman-hukuman hudud selain hukuman-hukuman mati.
2) Harus dipertimbangkan betul-betul dampak kemaslahatan
terhadap masyarakat dan pencegahan terhadap kerusakan yang
menyebar di muka bumi.
b. Hukuman jilid (Dera)
Adapun sifat atau cara pelaksanaan hukuman jilid masih
diperselisihkan oleh para fuqaha. Menurut Hanafiyah, jilid sebagai
ta’zir harus dicambuk lebih keras daripada jilid dalam had agar
dengan ta’zir orang yang terhukum akan menjadi jera, di samping
karena jumlahnya lebih sedikit daripada dalam had. Alasan yang lain
adalah bahwa semakin keras cambukan itu semakin menjerakan. Akan
37
tetapi, apabila ulama selain Hanafiyah menyamakan sifat jilid dalam
ta’zir dengan sifat jilid dalam hudud.16
2. Hukuman ta’zir yang berkaitan dengan kemerdekaan
a. Hukuman penjara
Dalam bahasa Arab, ada dua istilah untuk hukuman penjara.
Pertama: Al-Habsu; kedua: As-Sijnu. Menurut Imam Ibn Al-Qayyim
Al-Jauziyah, yang dimaksud dengan Al-Habsu menurut syara’
bukanlah menahan pelaku di tempat yang sempit, melainkan menahan
seseorang dan mencegahnya agar ia tidak melakukan perbuatan
hukum, baik penahanan tersebut di dalam rumah, atau masjid,
maupun di tempat lainnya. Penahanan model itulah yang
dilaksanakan pada masa Nabi dan Abu Bakar.17
Hukuman penjara dalam syariat Islam dibagi kepada dua
bagian, yaitu:18
1) Hukuman penjara terbatas
Hukuman penjara terbatas adalah hukuman penjara yang
lama waktunya dibatasi secara tegas. Hukuman penjara terbatas
ini diterapkan untuk jarimah penghinaan, penjualan khamr,
16 Ibid.
17 Ibid.,261.
38
pemakan riba, melanggar kehormatan bulan suci ramadhan dengan
berbuka pada siang hari tanpa uzur. Mengairi ladang dengan air
dari tetangga tanpa izin, caci mencaci antara dua orang yang
berperkara di depan sidang, dan saksi palsu.
Adapun lamanya hukuman penjara, tidak ada kesepakatan.
Sebagian ulama, seperti dikemukakan oleh Imam Az-Zaila’i yang
dikutip oleh Abdul Aziz Amir, berpendapat bahwa lamanya
penjara adalah dua bulan, atau tiga bulan, atau kurang, atau lebih.
Sebagian lain berpendapat bahwa penentuan tersebut diserahkan
kepada hakim. Menurut Imam Al-Mawardi, hukuman penjara
dalam takzir berbeda-beda, tergantung pada pelaku dan jenis
jarimahnya. Diantara pelaku ada yang dipenjara selama satu hari
ada pula yang lebih lama.
Dari uraian tersebut, jelaslah bahwa tidak ada batas
tertinggi yang pasti dan dijadikan pedoman umum untuk hukuman
penjara sebagai ta’zir, dan hal itu diserahkan kepada ijtihad hakim
dengan memperhatikan perbedaan kondisi jarimah, pelaku,
tempat, waktu, dan situasi ketika jarimah itu terjadi.
2) Hukuman penjara tidak terbatas
Hukuman penjara tidak terbatas tidak dibatasi waktunya,
39
atau sampai ia bertobat. Dalam istilah lain bisa disebut hukuman
penjara seumur hidup.
Hukuman penjara seumur hidup dikenakan kepada
penjahat yang sangat berbahaya, misalnya seseorang yang
menahan orang lain untuk dibunuh oleh orang ketiga, atau seperti
orang yang mengikat orang lain, kemudian melemparkannya ke
depan seekor harimau. Menurut Imam Abu Yusuf, apabila orang
tersebut mati dimakan harimau maka pelaku dikenakan penjara
seumur hidup (sampai ia mati di penjara).19
Hukuman penjara tidak terbatas macam yang kedua
(sampai ia bertobat) dikenakan antara lain untuk orang yang
dituduh membunuh dan mencuri, melakukan homoseksual, atau
penyihir, mencuri untuk ketiga kalinya menurut Imam Abu
Hanifah, atau mencuri untuk kedua kalinya menurut imam yang
lain. Contoh yang lain adalah seperti melakukan penghinaan
berulang-ulang, atau merayu istri atau anak perempuan orang lain,
sehingga ia ke luar dari rumahnya dan hancurlah rumah
tangganya.
b. Hukuman Pengasingan
40
Hukuman pengasingan termasuk hukuman had yang
diterapkan untuk pelaku tindak pidana hirabah (perampokan)
berdasarkan surah al-Maidah ayat 33:
Artinya: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya)>... (QS. al-Maidah: 33)20
Hukuman pengasingan ini dijatuhkan kepadal pelaku jarimah
yang dikhawatirkan berpengaruh kepada orang lain sehingga
pelakunya harus dibuang (diasingkan) untuk menghindarkan
pengaruh-pengaruh tersebut.21
3. Hukuman ta’zir yang berkaitan dengan harta
Para ulama berbeda pendapat tentang dibolehkannya hukuman
ta’zir dengan cara mengambil harta. Menurut Imam Abu Hanifah,
hukuman ta’zir dengan cara mengambil harta tidak dibolehkan. Pendapat
ini diikuti oleh muridnya, yaitu Muhammad ibn Hasan, tetapi muridnya
yang lain, yaitu Imam Abu Yusuf membolehkannya apabila dipandang
20 Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Terjemah Perkata Asbabul Nuzul dan Tafsir
Bil Hadis...,113.
41
membawa maslahat. Pendapat ini diikuti oleh Imam Malik, Imam Syafi’i,
dan Imam Ahmad ibn Hanbal.22
Imam Ibn Taimiyah membagi hukuman ta’zir berupa harta ini
kepada tiga bagian, dengan memperhatikan atsar (pengaruhnya) terhadap
harta, yaitu:23
a. Menghancurkannya
(
ُ ََْت
ِلا
)
Penghancuran terhadap barang sebagai hukuman ta’zir berlaku
dalam barang dan perbuatan/sifat yang mungkar. Contohnya seperti:
1) Penghancuran patung milik orang islam
2) Penghancuran alat-alat musik/permainan yang mengandung
kemaksiatan
3) Penghancuran alat dan tempat minum khamr
4) Khalifah Umar pernah menumpahkan susu yang bercampur
dengan air untuk dijual, karena apabila susu sudah dicampur
dengan air, maka akan sulit mengetahui masing-masing kadarnya.
b. Mengubahnya
(
ُرْ يِيْغَ تا
)
Adapun hukuman ta’zir yang berupa mengubah harta pelaku
antara lain seperti mengubah patung yang disembah oleh orang
22 Ibid.,265.
42
muslim dengan cara memotong bagian kepalanya, sehingga mirip
dengan pohon.
c. Memilikinya
(
ًكْيِلْمَتلا
)
Hukuman ta’zir berupa pemilikan harta penjahat pelaku antara
lain seperti keputusan Rasulullah saw. melipatgandakan denda bagi
seorang yang mencuri buah-buahan, di samping hukuman jilid.
Demikian pula keputusan Khalifah Umar yang melipatgandakan
denda bagi orang yang menggelapkan barang temuan.
4. Hukuman-hukuman ta’zir yang lain
Di samping hukuman-hukuman yang telah disebutkan, terdapat
hukuman-hukuman ta’zir yang lain. Hukuman-hukuman tersebut adalah
sebagai berikut:24
a. Peringatan keras
b. Dihadirkan di depan sidang
c. Nasihat
d. Celaan
e. Pengucilan
f. Pemecatan
g. Pengumuman kesalahan secara terbuka (At-Tasyhir)
BAB III
HUKUMAN MATI BAGI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA PUTUSAN: No. 145 PK/PID.SUS/2016
A. Deskripsi Kasus
Bahwa awalnya sekitar tahun 2009 CHANDRA HALlM alias
AKIONG bin TINGTONG (disidangkan terpisah) kenal dengan WANG
CHANG SHU (Warga Negara Hongkong) (DPO) di Hongkong dalam
perkenalan tersebut Terdakwa CHANDRA HALlM alias AKIONG bin
TINGTONG minta bantuan untuk menagih hutang uang kepada 4 (empat)
orang warga negara Cina dan mulai dari saat itulah hubungan CHANDRA
HALIM alias AKIONG bin TINGTONG dengan WANG CHANG SHUI
sangat dekat;
Bahwa pada mulanya perkenalan CHANDRA HALIM alias AKIONG
bin TINGTONG dengan Terdakwa FREDI BUDIMAN di dalam RUTAN
Cipinang satu kamar sama HANI SAPTA PRIBOWO alias BOWO yang saat
itu Terdakwa FREDI BUDIMAN menyampaikan kalau ada kiriman
Narkotika dari luar negeri yang melalui pelabuhan Tanjung Priuk agar
melalui Terdakwa FREDI BUDIMAN karena dia ada orang yang bisa
mengurus di pelabuhan dan kemudian hal tersebut CHANDRA HALlM alias
AKIONG bin TINGTONG ceritakan kepada WANG CHANG SHU (DPO),
44
sama CHANDRA HALIM alias AKIONG yang masih tersisa hutang yang
belum dibayar oleh Terdakwa FREDI BUDIMAN sebesar Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);
Bahwa sebelumnya CHANDRA HALIM alias AKIONG bin
TINGTONG juga pernah dikirimi narkotika jenis shabu sebanyak 6 (enam)
kg oleh WANG CHANG SHUI yang saat itu Terdakwa terima melalui hotel
Ibis Jakarta Pusat dan saat itu juga CHANDRA HALIM alias AKIONG bin
TINGTONG kerja sama dengan Terdakwa FREDI BUDIMAN, karena pada
saat itu juga Terdakwa FREDI BUDIMAN menyanggupi untuk ambil shabu
tersebut dengan kesepakatan Terdakwa CHANDRA HALIM alias AKIONG
bin TINGTONG mendapat Rp 35.000.000,00 (tiga puluh lima juta) per
kilonya;
Bahwa selain Terdakwa CHANDRA HALlM alias AKIONG bin
TINGTONG kenal dengan Terdakwa FREDI BUDIMAN didalam penjara
juga kenal dengan HANI SAPTA PRIBOWO alias BOWO (disidangkan
terpisah) yang satu kamar tahanan dengan Terdakwa FREDI BUDIMAN
yang dikenalkan oleh Terdakwa FREDI BUDIMAN, dalam perkenalan
CHANDRA HALlM alias AKIONG bin TINGTONG tersebut Terdakwa
FREDI BUDIMAN jelaskan bahwa HANI SAPTA PRIBOWO alias BOWO
45
Bahwa setelah CHANDRA HALlM alias AKIONG bin TINGTONG
kenal dengan HANl SAPTA PRIBOWO alias BOWO mulai saat itu sering
banyak pertemuan keduanya termasuk juga Terdakwa FREDI BUDIMAN,
dalam pertemuan tersebut CHANDRA HALlM alias AKIONG Bin.
TINGTONG menanyakan kepada HANI SAPTA PRIBOWO alias BOWO
tentang pengiriman barang dari luar negeri melalui jalur yang aman yang
maksudnya jalur yang tidak diperiksa oleh bea dan cukai, lalu HANl SAPTA
PRIBOWO alias BOWO menelpon ABDUL SYUKUR alias UKUNG dari
situlah awalnya HANI SAPTA PRIBOWO alias BOWO memperkenalkan
CHANDRA HALlM alias AKIONG Bin. TINGTONG dengan ABDUL
SYUKUR alias UKUNG (disidangkan terpisah) melalui handphone;
Bahwa kemudian sekitar akhir tahun 2011 ada pertemuan antara
CHANDRA HALlM alias AKIONG Bin. TINGTONG, HANI SAPTA
PRIBOWO dan Terdakwa FREDI BUDIMAN bertempat di kamar
(Terdakwa FREDI BUDIMAN yang satu kamar dengan HANI SAPTA
PRIBOWO alias BOWO) di penjara dalam pertemuan tersebut CHANDRA
HALIM alias AKIONG bin TINGTONG bermaksud akan mengirim
dispenser dari China melalui jalurnya HANI SAPTA PRIBOWO alias
BOWO karena pertemuan sebelumnya HANI SAPTA PRIBOWO alias
BOWO telah menyanggupi apa saja yang akan dikirim oleh CHANDRA
46
alias BOWO telah memberikan alamat PRIMKOP KALTA kepada
CHANDRA HALIM alias AKIONG bin TINGTONG ;
Bahwa mulanya teman CHANDRA HALlM alias AKIONG yang
bernama WANG CHANG SHU mau impor barang dari Cina berupa
dispenser sekitar tahun 2011, dengan adanya import despenser HANI SAPTA
PRIBOWO alias BOWO menghubungi ABDUL SYUKUR alias UKUNG ( di
sidangkan terpisah) dengan menyuruh anak buahnya bernama SANI untuk
meminta kop surat PRIMKOP KALTA lalu ABDUL SYUKUR alias
UKUNG menghubungi SUPRIADI (disidangkan terpisah di Peradilan
Militer) yang kemudian SUPRIADI memberikan kop asli PRIMKOP
KALTA namun SUPRIADI pesan kepada ABDUL SYUKUR alias UKUNG
yang mengatakan supaya foto copynya aja berikan kepada HANI SAPTA
PRIBOWO alias BOWO namun pengiriman dispenser batal;
Bahwa kemudian HANI SAPTA PRIBOWO alias BOWO
menghubungi ABDUL SYUKUR alias UKUNG lagi yang menyampaikan
bahwa order kali ini import barang berupa AQUARIUM lalu pada tanggal 26
Maret 2012 sekira pukul 15.00 WIB ABDUL SYUKUR alias UKUNG
mengirim sms kepada HANI SAPTA PRIBOWO alias BOWO yang isinya
memberitahukan alamat PT. PRIMER KOPERASI KALTA (Bais TNI) di
Jalan Kalibata Raya No. 24 Jakarta Selatan 12750 telepon 021-7883208 ext.
47
BOWO minta alamat tersebut untuk pengiriman barang import berupa
Aquarium (Fish Tank) dari Cina;
Bahwa sebelurn bulan Mei 2012 Terdakwa FREDI BUDIMAN
sepakat dengan CHANDRA HALIM alias AKIONG bin TINGTONG akan
mengimn ekstasi berupa sample 500.000 (Iima ratus ribu) butir, setelah itu
awal Mei 2012 CHANDRA HALlM alias AKIONG bin TINGTONG datang
kekamar (Terdakwa FREDI BUDIMAN satu kamar dengan HANI SAPTA
PRIBOWO alias BOWO) kedatangan CHANDRA HALlM alias AKIONG
bin TINGTONG menanyakan alamat PRIMKOP KALTA yang saat itu
HANI SAPTA PRIBOWO alias BOWO memberikan alamat PRIMKOP
KALTA dan memastikan aman 1000% untuk import barang karena ada jalur
kuning dan saat itu juga CHANDRA HALlM alias AKIONG bin
TINGTONG mengatakan kepada HANI SAPTA PRIBOWO alias BOWO
akan ada kiriman kontainer TGHU 0683898 yang berisikan AQUARIUM
yang didalamnya ada ekstasi sebanyak 12 (dua belas) karton/dus yang
didalamnya berisi Narkotika jenis ekstasi sebanyak 1.412.476 (satu juta
empat ratus dua belas ribu empat ratus tujuh puluh enam) butir atau setara
dengan lebih kurang 380.996,9 (tiga ratus delapan puluh ribu sembilan ratus
sembilan puluh enam koma sembilan) gram;
Bahwa Terdakwa CHANDRA HALlM alias AKIONG bin
48
kamar dengan HANI SAPTA PRIBOWO alias BOWO) yang mengatakan
bahwa Narkotika jenis ekstasy berasal dari Cina dengan mengunakan
kontainer TGHU 0683898 harga di China seharga Rp.800,00 (delapan ratus
rupiah) perbutir dengan biaya seluruhnya berikut ongkos kirim Rp.15.000,00
(lima belas ribu rupiah) perbutir, CHANDRA HALlM alias AKIONG bin
TINGTONG juga mengatakan kepada Terdakwa FREDI BUDIMAN kalau
mau berpartisipasi harus membayar uang muka sebanyak Rp.625.000.000,-
(enam ratus dua puluh lima juta rupiah) karena Terdakwa FREDI BUDIMAN
tidak ada uang sejumlah itu lalu Terdakwa FREDI BUDIMAN minta
bantuan BABE alias EDI KUNCIR sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah) dikirim transfer melalui internet banking BCA rekening atas
nama LINA sedangkan sisa uang Rp.125.000.000,00 (seratus dua puluh lima
juta rupiah) adalah uang milik FREDI BUDIMAN langsung dibayarkan
kepada YU TANG (DPO) sehingga jumlah uang yang dikirim kepada WANG
CHANG SHU (Warga Negara Hongkong) (DPO) Rp 625.000.000,00 (enam
ratus dua puluh lima juta rupiah) dan Narkotika jenis Ekstasy tersebut di jual
di Indonesia dengan harga Rp 45.000,00 (empat puluh lima ribu rupiah)
perbutir;
Bahwa jika Narkotika jenis Ekstasy tersebut sudah sampai di gudang
di Indonesia CHANDRA HALlM alias AKIONG Bin. TINGTONG
49
Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan selain itu juga CHANDRA
HALlM alias AKIONG bin TINGTONG menjanjikan dari jumlah Narkotika
jenis Ekstasy tersebut;
- Terdakwa FREDl BUDIMAN menerima upah sebesar 10%;
- HANI SAPTA PRIBOWO alias BOWO menerima upah sebesar 10%;
- YU TANG mendapat upah sebesar 30%;
- ABDUL SYUKUR alias UKUNG dan SUPRIYADl mendapat upah
dari Terdakwa HANI SAPTA PRIBOWO alias BOWO;
Bahwa kemudian sekitar tanggal 4 Mei 2012 YU TANG (DPO)
kembali membesuk CHANDRA HALlM alias AKIONG bin TINGTONG
dengan menyerahkan Bill of Lading, Packing List dan Invoice asli dan
dokumen asli tersebut CHANDRA HALlM alias AKIONG bin TINGTONG
serahkan langsung ke Terdakwa FREDI BUDIMAN serta YU TANG rencana
akan menyerahakn sendiri sample atau contoh ekstasi kepada Terdakwa
FREDI BUDIMAN selanjutnya menyuruh HANI SAPTA PRIBOWO alias
BOWO mengirim dokumen tersebut melalui fax kepada ABDUL SYUKUR
alias UKUNG yang selanjutnya Terdakwa FREDI BUDIMAN menyuruh
HANI SAPTA PRIBOWO alias BOWO untuk memberikan nomor telepon
ABDUL SYUKUR alias UKUNG kepada CHANDRA HALlM alias
50
Bahwa kemudian Terdakwa CHANDRA HALlM alias AKIONG bin
TINGTONG setelah mendapat nomor telepon ABDUL SYUKUR alias
UKUNG dari HANI SAPTA PRIBOWO alias BOWO lalu menelpon
ABDUL SYUKUR alias UKUNG menanyakan fax sudah terima atau belum
juga menanyakan biaya pengeluaran barang tersebut lalu dijawab oleh
ABDUL SYUKUR alias UKUNG fax sudah diterima dan mengenai harga
akan dibicarakan terlebih dahulu dengan pengurus PT. PRIMER KOPERASI
KALTA;
Bahwa nomor handphone yang biasa CHANDRA HALlM alias
AKIONG Bin TINGTONG pakai adalah 021-83818119 dengan HP merk
Esia warna biru saat sebelum ditangkap tanggal 30 Juni 2012 disembunyikan
di gudang mesin air tidak jauh dari kamar CHANDRA HALIM alias
AKIONG bin TINGTONG dan satu lagi handphone merk Esia warna orange
nomor 021-95939562 yang CHANDRA HALlM alias AKIONG bin
TINGTONG gunakan komunikasi dengan ABDUL SYUKUR alias UKUNG,
SUPRIADI (disidangkan terpisah di Peradilan Militer) dan YU TANG
namun handphone tersebut sudah dibuang oleh CHANDRA HALIM alias
AKIONG bin TINGTONG dan nomor handphone 089635718230 milik
ABDUL SYUKUR yang biasa CHANDRA HALlM alias AKIONG bin
TINGTONG hubungi seputar perihal fax dan besar biaya yang akan