DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA
WARGA NEGARA ASING
(Studi Putusan MA Nomor:1599 K/Pid.Sus/2012)
Oleh :
DESTRY FIANICA
Penyalahgunaan narkoba yang marak terjadi belakangan ini tidak hanya dilakukan oleh Warga Negara Indonesia (WNI), namun juga oleh Warga Negara Asing (WNA). Undang-Undang Narkotika No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika mengatur sanksi pidana mati yang mengakibatkan timbulnya polemik yang mengatakan bahwa pidana mati tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 serta bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dan ada juga yang mengatakan bahwa pidana mati masih perlu diterapkan untuk memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan narkotika. Permasalahan pada penelitian berikut adalah Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika oleh Warga Negara Asing (Studi Putusan Nomor: 1599 K/ Pid.Sus/2012) ? Apakah Putusan Nomor 1599 K/ Pid.Sus/2012 yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana narkotika sudah tepat dan memenuhi rasa keadilan?
Penelitian ini menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dengan melakukan wawancara terhadap hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Tangerang, hakim Pengadilan Tinggi Provinsi Banten dan Kalangan Akademisi Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan.
lakukan. Selain itu juga hakim dalam memutus mengacu pada teori retributive (teori absolut atau teori pembalasan).Penjatuhan pidana mati dilihat dari segi masyarakat sudah memenuhi rasa keadilan karena narkotika yang dibawa oleh terdakwa adalah narkotika golongan 1 seberat 6500 gram dan berpotensi merusak generasi bangsa sehingga penjatuhan pidana mati layak dijatuhkan untuk terdakwa, tetapi bagi terdakwa pidana mati belum memenuhi rasa keadilan. Terdakwa merupakan kurir serta peran terdakwa cukup ringan dibandingkan dengan Bandar narkotika selain itu terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana.
DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA
WARGA NEGARA ASING
(Studi Putusan MA Nomor:1599 K/Pid.Sus/2012)
Oleh
DESTRY FIANICA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di kalibalangan pada tanggal 2 Desember
1992. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara
buah hati dari pasangan Ibu Betty Ita Asmara dan Bapak Indra
Gunawan.
Penulis menempuh jenjang pendidikan pertama kali pada
taman kanak-kanak (TK) Islam Alina pada tahun 1998. Sekolah Dasar (SD)
Negeri 1 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2005. Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Negeri 14 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2008 dan
Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 7 Bandar Lampung diselesaikan pada
tahun 2011.
Pada tahun 2011 penulis terdaftar sebagai mahasiswi Fakultas Hukum Universitas
Lampung melalui jalur SNMPTN. Pada tahun 2014 penulis melaksanakan mata
Kuliah Kerja Nyata (KKN) Periode I di Desa Tajimalela, Kecamatan Kalianda,
Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Kemudian pada tahun 2015
penulis menyelesaikan skripsi sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan yang telah memberikan kesempatan sehingga
dapat ku selesaikan sebuah karya ilmiah ini dan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW yang selalu kita harapkan Syafaatnya di hari akhir kelak. Aku
persembahkan karya ini kepada:
Kedua orang tuaku:
Ayahanda Indra Gunawan dan Ibunda Betty Ita Asmara
yang selalu mencintai, menyayangi mengasihi serta mendoakanku dengan tulus sebagai penyemangat dalam hidupku
Serta untuk kakakku dan adikku Yuli Indriati dan M. Affan Rizki yang
senantiasa memberikan dukungan kepada ku sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan
Untuk sahabat dan teman-teman seperjuangan yang selalu memberikan dukungan dan motivasi serta menemaniku dalam suka maupun duka dalam
mencapai keberhasilanku.
Almamaterku tercinta
Kamu Telah Selesai (Dari Satu Urusan) Kerjakanlah Dengan Sumgguh-Sungguh (Urusan) Lain. Dan Hanya Kepada Tuhanmulah Hendak Kamu
Berharap
(QS.S. Alam-nasyroh 6-8)
Belajarlah Dari Sebuah Masalah, Sesungguhnya Allah Akan Mendewasaknmu
Puji syukur ku persembahkan atas kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan
Maha Penyayang yeng telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul: “Dasar Pertimbangan Hakim
Dalam Menjatuhkan Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika
Warga Negara Asing (Studi Putusan Nomor : 1599K/Pid.Sus/2012)”. Skripsi ini
sebagai syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
Penulis menyadari bahwa selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan
bimbingan berbagai pihak, dan segala sesuatu dalam skripsi ini masih terdapat
banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna mengingat keterbatasan penulis.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Sugeng P. Harianto Selaku Rektor Universitas Lampung;
2. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung;
3. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung;
4. Ibu Firganefi, S.H.,M.H. Selaku Sekertaris Bagian Hukum Pidana Fakultas
memberikan saran dan kritik dalam penulisan skripsi ini;
6. Ibu Dona Raisa Monica, S.H., M.H. selaku Pembimbing II yang telah
memberikan saran, arahan, dan bimbingan serta nasehat kepada penulis
dengan penuh kesabaran dalam menyelesaikan skripsi ini;
7. Ibu Dr. Nikmah Rosidah, S.H., M.H., selaku Pembahas I yang telah banyak
memberikan saran dan masukan yang sangat berharga kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini;
8. Bapak Deni Achmad, S.H., M.H. selaku Pembahas II yang telah memberikan
saran, kritik dan arahan kepada penulis dalam perbaikan dan penyempurnaan
skripsi ini;
9. Ibu Martha Riananda, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik yang telah
memberi bimbingan akademik, bantuan dan saran kepada penulis selama ini;
10. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung, khususnya
di Bagian Hukum Pidana yang telah banyak memberikan bekal ilmu
pengetahuan (hukum pidana) kepada penulis selama menempuh pendidikan di
Fakultas Hukum Universitas Lampung;
11. Seluruh Bapak/Ibu Karyawan di Fakultas Hukum Universitas Lampung;
12. Seluruh narasumber Ibu Dr. Erna Dewi, S.H., M.H., Bapak Lief Sofijullah,
S.H., M.H., Bapak Manahan Sitompul, S.H.,M.H., yang telah meluangkan
waktu untuk memberikan informasi berkaitan dengan penulisan skripsi ini.
13. Ayahanda Indra Gunawan dan Ibunda Betty Ita Asmara tercinta. Terima kasih
dunia dan akhirat Amiin.
14. Kakakku Yuli Indriati dan Adikku M.Affan Rizky yang telah memberikan
semangat serta do’a untuk kelancaran dalam penulisan skripsi ini dan seluruh
keluarga besarku yang telah menantikan kelulusanku.
15. Sepupuku yang gendut Rhohima Putri yang selalu menemaniku dan
memberikan semangat untuk skripsi.
16. Sahabat-sahabatku tercinta: Erza Cechelya, Farah Zatalini, Noni Ana Duianti,
Gevi Ratianda Bralinza, Friska Annisa, Yulia Dwiyanti, Rika Lusiana. Serta
seluruh teman-teman FH Unila 2011 yang lainnya terima kasih banyak atas
kebersamaan kita selama ini dan terima kasih atas semangat, motivasi kalian,
tanpa kalian semua tidak akan berkesan. Semoga kita semua dapat menggapai
kesuksesan di Dunia dan Akhirat Amin Ya Rabbal Alamin.
17. Keluarga dan teman-teman baruku semasa KKN: Desa Tajimalela Uwan, Cici,
Tata Dina, Kk Pendi Kordes, Abang Angga Item, Pais, Mba Endah, Dewi
Muslimah, Dian. terima kasih telah memberikan pengalaman yang baru,
kebersamaan dan kenangan yang amat berarti bersama kalian.
18. Semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini, teman-teman di
Bagian Hukum Pidana dan seluruh teman-teman Angkatan 2011 Fakultas
Hukum Universitas Lampung yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas
perhatian dan bantuan yang telah diberikan selama masa pendidikan.
Semoga skripsi ini dapat berguna dan memberikan manfaat bagi kita semua dan
semua serta semoga tali silaurahmi diantara kita tetap erat dan kita dipertemukan
kembali dalam keridhoan-Nya. Aamiin Allahumma Ya Rabbal’alamin.
Bandar Lampung, maret 2015
Penulis,
Halaman
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 7
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8
E. Sistematika Penulisan... 15
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tindak Pidana ... 17
1. Pengertian Tindak Pidana... 17
2. Jenis-jenis Sanksi Pidana... 22
B. Tinjauan Mengenai Pemidanaan ... 23
C. Tindak Pidana Narkotika... 26
1. Pengertian Tindak Pidana Narkotika... 26
2. Narkotika dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia ... 28
3. Penggolongan Narkotika ... 32
D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan ... 34
III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 40
B. Sumber dan Jenis Data ... 41
C. Penentuan Narasumber... 42
D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data... 43
B. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Mati
terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika Oleh Warga Negara Asing... 49
C. Keadilan dalam Penerapan Sanksi Pidana Mati Bagi Pelaku
Tindak Pidana Narkotika Putusan No. 1599 K/Pid.Sus/2012 ... 57
V. PENUTUP
A. Simpulan ... 63
B. Saran ... 64
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemenuhan kebutuhan hidup yang semakin komplek seiring dengan
perkembangan zaman yang begitu pesat membuat manusia melakukan berbagai
cara untuk memenuhi kebutuhannya. Tentu tidak semua cara untuk memenuhi
kebutuhan tersebut dapat dibenarkan, salah satunya adalah dengan melakukan
kejahatan yang bertentangan dengan norma masyarakat. Berbagai bentuk
kejahatan semakin berkembang. Salah satunya yakni kejahatan narkoba, yang saat
ini menjaditrenddi seluruh lapisan dunia tidak terkecuali di Indonesia.1
Meskipun narkoba sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan dan
pelayanan kesehatan, namun apabila disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai
dengan standar pengobatan, terlebih jika disertai dengan peredaran narkoba secara
gelap akan menimbulkan akibat yang sangat merugikan perorangan maupun
masyarakat khususnya generasi muda, bahkan dapat menimbulkan bahaya yang
lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa.
1
Penyalahgunaan narkoba adalah suatu bentuk penggunaan narkoba tanpa hak dan
melawan hukum. Penyalahgunaan narkoba yang marak terjadi belakangan ini
tidak hanya dilakukan oleh Warga Negara Indonesia (WNI), namun juga oleh
Warga Negara Asing (WNA). WNA yang terlibat tidak hanya berasal dari satu
negara saja namun berasal dari berbagai negara yang berbeda dengan modus serta
tujuan yang berbeda.
Penyalahgunaan narkoba berkaitan erat dengan peredaran gelap sebagai bagian
dari dunia tindak pidana internasional. Mafia perdagangan gelap memasok
narkoba agar orang memiliki ketergantungan sehingga jumlah supply meningkat.
Terjalinnya hubungan antara pengedar/bandar dengan korban membuat korban
sulit melepaskan diri dari pengedar/bandar, bahkan tidak jarang korban juga
terlibat peredaran gelap karena meningkatnya kebutuhan dan ketergantungan
mereka akan narkoba.2
Undang-Undang Narkoba yang terdiri dari Undang-Undang Psikotropika No.5
Tahun 1997 dan Undang-Undang Narkotika No. 35 Tahun 2009 mengatur
penyalahgunaan narkoba yang melibatkan WNA serta bentuk
pertangunggjawabannya. Keberadaan Undang-Undang Narkotika merupakan
dasar bagi penegakan hukum dalam rangka untuk menjamin ketersediaan obat
guna kepentingan ilmu pengetahuan, teknologi, serta kesehatan, dan juga untuk
mencegah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.3
2
Lydia Harlina Martono dan Satya Joewana, Membantu Pemulihan Pecandu Narkoba dan Keluarganya,Jakarta: Balai Pustaka, 2006, hlm. 1.
3
Undang-undang ini juga memuat suatu hukuman yang menimbulkan polemik
yaitu pidana mati, polemik ini mengatakan bahwa pidana mati tersebut
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 serta bertentangan dengan Hak
Asasi Manusia (HAM) dan ada juga yang mengatakan bahwa pidana mati masih
perlu diterapkan untuk memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan narkotika.
Penjatuhan pidana mati terhadap subjek tindak pidana narkotika serta efek jera
yang ditimbulkan dari vonis mati oleh pengadilan tetap dilakukan bahkan tidak
saja berlaku bagi WNI namun juga terhadap WNA, seperti pada kasus dimana
seorang WNA Kebangsaan Inggris yang bernama Gareth Dane Cashmore bersalah
melakukan tindak pidana “Percobaan atau pemufakatan jahat untuk melakukan
tindak pidana narkotika dan prekusor narkotika, tanpa hak atau melawan hukum,
menawarkan untuk dijual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar atau menyerahkan Narkotika Golongan I bukan tanaman beratnya
melebihi 5 gram” (Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia No. 35
Tahun 2009 jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia No. 35
Tahun 2009).
Penulis menemukan beberapa permasalahan yang menarik dalam pokok perkara
Putusan Kasasi Nomor 1599 K/Pid.Sus/2012 tersebut. Di dalam putusan tersebut,
pada awalnya yakni di dalam Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor
1861/PID.Sus/2011/PN.TNG, Gareth Dane Cashmore sebagai terdakwa telah
dijatuhi Pidana Seumur Hidup. Namun, setelah diajukan banding yang diajukan
oleh Jaksa Penuntut Umum dan Penasehat Hukum Terdakwa ke Pengadilan
Tinggi Banten, hakim mengadili dalam Putusan Nomor 67/PID/2012/PT.BTN
hukum kasasi ke Mahkamah Agung oleh Terdakwa Gareth Dane Cashmore,
namun Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi
Gareth Dane Cashmore.
Jaksa Penuntut Umum di dalam memori bandingnya mengemukakan
keberatan-keberatan yang pada pokoknya sebagai berikut:
(1) Bahwa ancaman pidana terhadap kasus perkara ini sebagaimana diatur dalam Pasal 114 ayat (2) UU RI No. 35 Tahun 2009 adalah dengan pidana mati. Sedangkan Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan lamanya Seumur Hidup, sedangkan perbuatan Terdakwa adalah perbuatan yang jelas melanggar undang-undang, sehingga Putusan tersebut dirasakan tidak mencerminkan keadilan ditengah-tengah masyarakat: (2) Bahwa penjatuhan hukuman yang relative ringan tidak membawa dampak
tangkal di tengah-tengah masyarakat serta membuat jera bagi pelaku kejahatan serupa.
Jaksa Penuntut Umum banding dan menuntut “Pidana Mati” sesuai Pasal 114 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika:
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,
Setelah menjalani proses persidangan, majelis hakim Pengadilan Tinggi dalam
amar putusannya Nomor 67/PID/2012/PT.BTN menghukum Terdakwa Gareth
Dane Cashmore seorang WNA Inggris tersebut dalam amar putusannya
mengatakan “menghukum terdakwa oleh karena itu dengan Pidana Mati”. Dalam
amar putusan tersebut yang menjadi masalah yakni didasari bahwa penerapan
pidana mati tidak sesuai dengan paham Pancasila yang selalu menjunjung
tinggi rasa prikemanusiaan yang adil dan beradab.4
Hukuman pidana mati juga diperdebatkan akibat adanya Amandemen Kedua
Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa "hak untuk
hidup, dan hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.5 Akan tetapi, di
Indonesia sendiri sudah ada produk hukum yang mengatur mengenai sanksi
pidana mati dan sudah beberapa yang diterapkan.
Produk hukum yang memuat sanksi pidana mati dan sudah diterapkan di
Indonesia yaitu pada Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme. Namun, pada kasus ini penulis kurang sependapat
terhadap sanksi pidana mati yang dijatuhkan oleh pelaku tindak piana narkotika
tersebut. Sehingga penulis ingin mencari tahu dasar pertimbangan hukum hakim
dalam menjatuhkan pidana mati dalam Putusan Kasasi Nomor 1599
K/Pid.Sus/2012 dimana sebelumnya dalam Putusan Pengadilan Negeri
Tangerang Nomor 1861/PID.Sus/2011/PN.TNG, Terdakwa dijatuhi pidana
4
Putusan Nomor Nomor 67/PID/2012/PT.BTN, hlm 30
5
seumur hidup, dan saat diajukan banding dalam Putusan Nomor
67/PID/2012/PT.BTN Terdakwa dijatuhi hukuman pidana mati.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti dengan
menganalisis putusan tersebut dan menuangkannya ke dalam sebuah skripsi yang
berjudul : “Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Mati terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika Warga Negara Asing (Studi Putusan Nomor: 1599 K/ Pid.Sus/2012)”
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup A. Permasalahan
Berdasarkan uraian dan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi pokok
permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah:
1. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hukum hakim dalam
menjatuhkan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika oleh
Warga Negara Asing (Studi Putusan Nomor: 1599 K/ Pid.Sus/2012) ?
2. Apakah Putusan Nomor 1599 K/ Pid.Sus/2012 yang dijatuhkan kepada
pelaku tindak pidana narkotika sudah tepat dan memenuhi rasa keadilan?
B. Ruang Lingkup
Ruang lingkup di dalam penelitian ini yaitu hukum pidana dengan kekhususan
yang berkaitan dengan penjatuhan pidana mati kepada pelaku tindak pidana
narkotika oleh Warga Negara Asing (WNA) berdasarkan Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Ruang lingkup lokasi penelitian adalah pada
wilayah hukum Pengadilan Negeri Tanggerang dan Pengadilan Tinggi Banten
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah
untuk:
a. Mengetahui dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana
mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika oleh Warga Negara Asing
(Studi Putusan Nomor: 1599 K/ Pid.Sus/2012)
b. Mengetahui apakah Putusan Nomor 1599 K/ Pid.Sus/2012 yang dijatuhkan
kepada pelaku tindak pidana narkotika sudah tepat dan memenuhi rasa
keadilan.
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan
praktis, yaitu:
a. Kegunaan Teoritis
Hasil skripsi ini diharapkan memberikan sumbangsih pemikiran
dikalangan akademisi, kalangan pembuat undang-undang serta kalangan
yang menggeluti di bidang hukum terutama mengenai pidana mati
terhadap pelaku tindak pidana narkotika.
b. Kegunaan Praktis
Hasil penulisan skripsi ini, diharapkan dapat memberikan pemahaman
serta upaya pencegahan bagi pengguna narkotika bagi semua pihak yang
terkait di dalam menegakan hukum. Khususnya penegakan hukum pidana
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi
dari pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya berguna untuk
mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan
oleh peneliti.6
Untuk mengetahui tentang dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan
pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika Warga Negara Asing (WNA)
penulis mengungkapkan dengan teori-teori sebagai berikut:
a. Teori Tujuan Pemidanaan
Pidana pada hakikatnya hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan, maka
konsep pertama-tama merumuskan tentang tujuan pemidanaan. Dalam
mengidentifikasi tujuan pemidanaan, konsep bertolak dari keseimbangan 2 (dua)
sasaran pokok, yaitu perlindungan masyarakat dan perlindungan atau pembinaan
individu pelaku tindak pidana.
Dalam pasal 10 KUHP menyebutkan ada 2 ( dua ) jenis pidana yaitu :
a. Jenis pidana pokok meliputi : 1. pidana mati
2. pidana penjara 3. pidana kurungan 4. pidana denda
b. Jenis pidana tambahan meliputi : 1. Pencabutan hak-hak tertentu 2. Perampasan barang-barang tertentu 3. Pengumuman putusan hakim
6
Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana yaitu :7
1. Teori Retributive (teori absolut atau teori pembalasan )
Menurut pandangan teori ini, pidana haruslah disesuaikan dengan tindak pidana
yang dilakukan, karena tujuan pemidanaan menurut mereka adalah memberikan
penderitaan yang setimpal dengan tindak pidana yang telah dilakukan.
2. Teori Utilitarian atau Teori Tujuan
Menurut pandangan teori ini, pemidian ini harus dilihat dari segi manfaatnya,
artinya pemidanaan tidak semata-mata dilihat hanya sebagai pembalasan belaka
melainkan harus dilihat pula manfaatnya bagi terpidana di masa yang akan datang.
Teori ini melihat dasar pembenaran pemidanaan itu ke depan, yakni pada
perbaikan para pelanggar hukum di masa yang akan datang.
3. Teori Gabungan
Teori ini didasarkan pada tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban
masyarakat. Sehubungan dengan masalah pidana sebagai sarana untuk mencapai
tujuan, maka harus dirumuskan terlebih dahulu tujuan pemidanaan yang akan
diharapkan akan menunjang tercapainya tujuan tersebut, atas dasar itu kemudian
baru dapat ditetapkan cara, sarana, atau tindakan apa yang akan digunakan.
b. Teori Dasar Pertimbangan Hukum Hakim
Keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan bukan semata-mata peranan hakim
sendiri untuk memutuskan, tetapi hakim meyakini bahwa terdakwa telah
melakukan tindak pidana yang didakwakan dan didukung oleh alat bukti yang sah
7
menurut Undang-undang. Adapun hakim akan mempertimbangkan hal-hal yang
bersifat yuridis dan non-yuridis :
1. Yuridis yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa, dan
barang bukti.
2. Non-yuridis dipergunakan untuk mempertimbangkan hal-hal yang
memberatkan ataupun meringankan pidana yang dijatuhkan terhadap
terdakwa
Terdapat pula beberapa teori pendekatan yang dapat digunakan oleh hakim
dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan suatu perkara yaitu:
1. Teori keseimbangan
Teori keseimbangan adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan
oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang bersangkutan dan
berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan
yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan
korban.
2. Teori Pendekatan Intuisi
Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi, dalam menjatuhkan
putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi
setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau
penuntut umum dalam perkara pidana.
3. Teori Pendekatan Keilmuan
Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana
harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam
konsistensi dari putusan hakim.Pendekatan kailmuan ini merupakan semacam
peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara,hakim tidak boleh
semata-mata atas dasar intuisi atau insting sesemata-mata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu
pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi
suatu perkara yang harus di putusnya.
4. Teori Pendekatan pengalaman
Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya
dalam menghadapi perkara-perkara yang di hadapinya setiap hari, dengan
pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagai mana
dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang
berkaitan dengan pelaku, korban, maupun masyarakat.
5. TeoriRatio Decidendi
Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang
mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang
disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang lebih
relevan dengan pokok perkara yang di sengketaka sebagai dasar hukum dalam
penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi
yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan.
6. Teori Kebijaksanaan
Teori kebijaksanaan mempunyai beberapa tujuan yaitu sebagai upaya
perlindungan terhadap masyarakat dari suatu kejahatan, sebagai upaya
perlindungan terhadap anak yang telah melakukan tindak pidana, untuk memupuk
memelihara dan mendidik pelaku tindak pidana anak, serta sebagai pencegahan
umum kasus.8
b. Konsep Teori Keadilan
Keadilan pada dasarnya sifatnya adalah abstrak, dan hanya bisa dirasakan dengan
akal dan pikiran serta rasionalitas dari setiap individu atau masyarakat. Keadilan
tidak berbentuk dan tidak dapat dilihat namun pelaksanaannya dapat kita
lihat dalam perspektif pencarian keadilan. Berikut pandangan ahli tentang
keadilan :9
1. Hans Kelsen, menurutnya keadilan tentu saja digunakan dalam hukum, dari segi kecocokan dengan hukum positif terutama kecocokan dengan undang-undang. Ia menggangap sesuatu yang adil hanya mengungkapkan nilai kecocokan relative dengan sebuah norma 'adil' hanya kata lain dari 'benar'.
2. Aristoteles, mengatakan bahwa keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Selanjutnya, membagi keadilan menjadi dua bentuk yaitu; pertama, keadilan distributif, adalah keadilan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang. Kedua, keadilan korektif, yaitu keadilan yang menjamin, mengawasi dan memelihara distribusi ini melawan seranganserangan ilegal. Fungsi korektif keadilan pada prinsipnya diatur oleh hakim dan menstabilkan kembali dengan cara mengembalikan milik korban yang bersangkutan atau dengan cara mengganti rugi atas miliknya yang hilang.
Keadilan mencerminkan bagaimana seseorang melihat tentang hakikat
manusia dan bagaimana seseorang memperlakukan manusia. Begitu pula
hakim mempunyai kebebasan sepenuhnya untuk menentukan jenis pidana dan
tinggi rendahnya suatu pidana, hakim mempunyai kebebasan untuk bergerak pada
batas minimum dan maksimum, pidana yang diatur dalam Undang-undang untuk
tiaptiap tindak pidana.10 Dalam memberikan putusan terhadap suatu perkara
8
Ahmad Rifai,Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif,Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm. 105-112.
9
http://hadisiti.blogspot.com/2012/11/teori-keadilan-menurut-para-ahli.htmlDiakses pada tanggal 14 November 2014 Pukul 19.05 WIB.
10
pidana, seharusnya putusan hakim tersebut berisi alasan-alasan dan
pertimbangan-pertimbangan yang bisa memberikan rasa keadilan bagi terdakwa.
Dimana dalam pertimbangan-pertimbangan itu dapat dibaca motivasi yang
jelas dari tujuan putusan diambil, yaitu untuk menegakkan hukum (kepastian
hukum) dan memberikan keadilan.11
2. Konseptual
Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara
konsep-konsep khusus yang merupakan arti-arti yang berkaitan dengan istilah
yang ingin atau akan diteliti.12 Definisi yang berkaitan dengan judul penulisan ini
dapat diartikan sebagai berikut, diantaranya adalah:
a. Dasar pertimbangan hakim adalah dasar pemikiran-pemikiran atau
pendapat hakim dalam menjatuhkan putusan dengan melihat hal-hal yang
dapat meringankan atau memberatkan pelaku.13
b. Pidana mati adalah jenis pidana pokok terberat yang diatur dalam Pasal 10
KUHP yang pelaksanaannya berupa perampasan kehidupan seseorang
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.14
c. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan
melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam
undang-undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya
tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum.15
11
Nanda Agung Dewantara,Masalah Kebebasan Hakim dalam Menangani Suatu Masalah Perkara Pidana,Jakarta: Aksara Persada Indonesia, 1987, hlm. 50.
12
Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum,Jakarta: UI Press, 2007, hlm 132.
13
Undang-undang nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
14
Teguh prtasetyo,hukum pidana,Jakarta,PT Raja Grafindo Persada,2011,hlm.117
15
d. Tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan
dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat
dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang
telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.16
e. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman baik sintesis yang dapat menyebabkan penurunan dan
perubahankesadraan hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangnya
rasa nyeri , dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan
kedalam golongan-golongan sebagai terlampir dalam undang-undang
Nomor 35 Tahun 2009.17
f. Warga Negara Asing (WNA) adalah orang atau badan hukum asing yang
berstatus kewarganegaraan asing dan tidak pernah mengajukan
permohonan sehingga ia tidak pernah ditetapkan menjadi Warga Negara
Indonesia (WNI) dan/atau Badan Hukum Indonesia, serta tidak disebabkan
karena kehilangan Kewarganegaraan Indonesia menurut ketentuan
Undang-Undang Kewarganegaraan Indonesia.18
E. Sistematika Penulisan
Sistematika ini memuat uraian keseluruhan yang akan disajikan dengan tujuan dan
kegunaan, kerangka teoritis dan konseptual, serta sistematika penulisan.
16
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, Malang: UMM Press, 2009, hlm.105.
17
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
18
I. PENDAHULUAN
Merupakan bab yang menguraikan latar belakang masalah dan ruang lingkup,
tujuan dan kegunaan, kerangka teoritis dan konseptual, serta sistematika
penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Merupakan bab pengantar yang menguraikan tentang pengertian-pengertian
umum dari pokok bahasan yang memuat tinjauan umum mengenai pengertian
penegrtian narkotika tentang sumber-sumber hukum narkotika.
III. METODE PENELITIAN
Merupakan bab yang membahas suatu masalah yang menggunakan metode ilmiah
secara sistematis, yang meliputi pendekatan masalah, sumber, jenis data, prosedur
pengumpulan dan pengelolaan. Sehingga dengan demikian memerlukan suatu
motode yang jelas dan efektif agar hasil yang diperoleh dari penelitian ini dapat di
pertanggungjawabkan.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Merupakan penjelasan dan pembahasaan yang mengemukakan hasil penelitian
mengenai ketentuan hukum yang mengatur mengenai sanksi pidana mati bagi
pelaku tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh Warga Negara Asing serta
dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana mati terhadap
pelaku tindak pidana narkotika oleh Warga Negara Asing (Studi Putusan Nomor:
1599 K/ Pid.Sus/2012).
V. PENUTUP
Dalam bab ini dibahas mengenai kesimpulan terhadap jawaban permasalahan dari
penyelesaiaan yang berguna dan dapat menambah wawasan hukum khususnya
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Ada beberapa macam istilah tindak pidana yang dipergunakan dalam buku-buku
yang dikarang oleh para pakar hukum pidana Indonesia sejak zaman dahulu
hingga sekarang. Pada dasarnya semua istilah itu merupakan terjemahan dari
bahasa Belanda “strafbaar feit” yang berarti delik, peristiwa pidana, perbuatan
pidana, perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, hal yang diancam dengan
hukum, perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukum dan tindak pidana.1
Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu
perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman
(sanksi) yang berupa pidana tertentu, barangsiapa melanggar larangan tersebut.2
Adapun beberapa tokoh yang memiliki perbedaan pendapat tentang peristilahan
“strafbaarfeit” atau tindak pidana, antara lain :
1) Simons
Tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan
sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan
1
Tri Andrisman,Op.Cit.,hlm. 69.
2
atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu
tindakan yang dapat dihukum.3
2) J.Bauman
Perbuatan/tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat
melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.4
3) Moeljatno
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa
melanggar larangan tersebut.5
4) Van Hattum
Perkataan “Strafbaar” itu berarti “voor sraaf in aanmerking komend” atau
“straaf verdienend” yang juga mempunyai arti sebagai pantas untuk dihukum,
sehingga perkataan“strafbaar feit” seperti yang telah digunakan oleh pembentuk
undang-undang di dalam kitab undang-undang hukum pidana itu secara “eliptis”
haruslah diartikan sebagai suatu “tindakan, yang karena telah melakukan tindakan
semacam itu membuat seseorang menjadi dapat dihukum” atau suatu “feit terzake
van hetwelk een persoon strafbaar is”.6
Unsur-unsur perbuatan pidana/tindak pidana sebagai berikut:7
1. Perbuatan (manusia);
2. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan syarat
formil); dan
3. Bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil).
3
Tongat,Op.Cit., hlm.105.
4
Ibid.,hlm.106.
5
Adam Chazawi,Pelajaran Hukum Pidana Bagian I,PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.45
6http://hadisiti.blogspot.com/2012/11/teori-keadilan-menurut-para-ahli.html
diakses pada Tanggal 23 November 2014 Pukul 23.44 WIB 7
Tri Andrisman, Hukum Pidana: Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia,
Sejatinya ”pidana” hanyalah sebuah “alat “ yaitu alat untuk mencapai tujuan
pemidanaan.8Pemidanaan berasal dari kata “pidana” yang sering diartikan dengan
hukuman. Jadi pemidanaan dapat pula diartikan dengan penghukuman.9
Pemidanaan atau pengenaan pidana berhubungan erat dengan kehidupan
seseorang di dalam masyarakat, terutama apabila menyangkut kepentingan benda
hukum yang paling berharga bagi kehidupan di masyarakat, yaitu nyawa dan
kemerdekaan atau kebebasan.
Menurut Sudarto, Pidana tidak hanya enak dirasa pada waktu dijalani, tetapi
sesudah orang yang dikenai itu masih merasakan akibatknya berupa ‘cap’ oleh
masyarakat, bahwa ia pernah berbuat jahat. Cap ini dalam ilmu pengetahuan
disebut ‘stigma’. Jadi orang tersebut mendapat stigma, dan kalau ini tidak hilang,
maka ia seolah-olah dipidana seumur hidup.10
Pemberian pidana dalam arti umum merupakan bidang dari pembentuk
undang-undang karena asas legalitas, yang berasal dari zaman Aungklarung, yang
singkatannya berbunyi : nullum crimen, nulla peona, sine praevia lege (poenali).
Jadi untuk mengenakan poena atau pidana diperlukan undang-undang (pidana)
terlebih dahulu. Pembentuk Undang-Undanglah yang menetapakan peraturan
tentang pidananya, tidak hanya tentang crimen atau delictumnya, ialah tentang
perbuatan mana yang dapat dikenakan pidana.
8
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005, hlm .98.
9
Djoko Prakoso dan Nurwachid,Studi tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa ini,Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983, hlm. 13.
10
Menurut R Soesilo, yang dimaksud dengan hukuman adalah suatu perasaan tidak
enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang
telah melanggar undang-undang hukum pidana.11Sedangkan menurut Subekti dan
Tjitrosoedibio dalam bukunya kamus hukum, “pidana” adalah “hukuman”.12 Pada
hakekatnya sejarah hukum pidana adalah sejarah dari pidana dan pemidanaan
yang senantiasa mempunyai hubungan erat dengan masalah tindak pidana.13
Masalah tindak pidana merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial yang
senantiasa dihadapi oleh setiap bentuk masyarakat. Di mana ada masyarakat, di
situ ada tindak pidana. Tindak pidana selalu bertalian erat dengan nilai, struktur
dan masyarakat itu sendiri. Sehingga apapun upaya manusia untuk
menghapuskannya, tindak pidana tidak mungkin tuntas karena tindak pidana
memang tidak mungkin terhapus melainkan hanya dapat dikurangi atau
diminimalisir intensitasnya.
Mardjono Reksodiputro, menjelaskan bahwa tindak pidana sama sekali tidak
dapat dihapus dalam masyarakat, melainkan hanya dapat dihapuskan sampai pada
batas-batas toleransi. Hal ini disebabkan karena tidak semua kebutuhan manusia
dapat dipenuhi secara sempurna. Disamping itu, manusia juga cenderung memiliki
kepentingan yang berbeda antara yang satu dengan yang lain, sehingga bukan
tidak mungkin berangkat dari perbedaan kepentingan tersebut justru muncul
berbagai pertentangan yang bersifat prinsipil. Namun demikian, tindak pidana
juga tidak dapat dibiarkan tumbuh dan berkembang dalam masyarakat karena
11
R. Soesilo,Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal demi Pasal ,Bogor: Politea, 1994, hlm. 35.
12
Subekti dan Tjitrosoedibio,Kamus Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1980, hlm. 83.
13
dapat menimbulkan kerusakan dan gangguan pada ketertiban sosial. Dengan
demikian sebelum menggunakan pidana sebagai alat, diperlukan permahaman
terhadap alat itu sendiri. Pemahaman terhadap pidana sebagai alat merupakan hal
yang sangat penting untuk membantu memahami apakah dengan alat tersebut
tujuan yang telah ditentukan dapat dicapai.
Sudarto berpendapat yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang
sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi
syarat-syarat tertentu.14 Bila dilihat dari filosofinya, hukuman mempunyai arti
yang sangat beragam. R. Soesilo menggunakan istilah “hukuman” untuk
menyebut istilah “pidana” dan ia merumuskan bahwa apa yang dimaksud dengan
hukuman adalah suatu perasaan tidak enak (sangsara) yang dijatuhkan oleh hakim
dengan vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum
pidana.15 Feurbach menyatakan, bahwa hukuman harus dapat mempertakutkan
orang supaya jangan berbuat jahat.16
Secara umum istilah pidana sering kali diartikan sama dengan istilah hukuman.
Tetapi kedua istilah tersebut sebenarnya mempunyai pengertian yang berbeda.
Menurut penulis, pembedaan antara kedua istilah di atas perlu diperhatikan, oleh
karena penggunaannya sering dirancukan. Hukuman adalah suatu pengertian
umum, sebagai suatu sanksi yang menderitakan atau nestapa yang sengaja
ditimpakan kepada seseorang. Sedang pidana merupakan pengertian khusus yang
berkaitan dengan hukum pidana. Sebagai pengertian khusus, masih juga ada
14
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 2.
15
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia, 1996, hlm. 35.
16
persamaannya dengan pengertian umum, sebagai suatu sanksi atau nestapa yang
menderitakan.17
2. Jenis-jenis Sanksi Pidana
Pada waktu Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indie mulai berlaku di
Indonesia berdasarkan Koninjklijk Besluit tanggal 15 Oktober 1915 Nomor 33,
Staatsblad tahun 1915 Nomor 732 Nomor 732 jo Staatsblad tahun 1917 Nomor
497 dan Nomor 645, hukum pidana di Indonesia sejak tanggal 1 Januari 1918
hanya mengenal dua jenis pidana, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan.
Wetboek van Strafrechts voor Nederland Indie berdasarkan Pasal VI
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, namanya diubah menjadi Kitab Undang-Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP). Dalam Pasal 10 KUHP dikenal dua jenis pidana, yaitu
pidana pokok yang terdiri dari :
(1) Pidana mati;
(2) Pidana penjara;
(3) Pidana kurungan;
(4) Pidana denda (oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 ditambah dengan
pidana tutupan).
Adapun pidana tambahan terdiri dari :
(1) Pencabutan hak-hak tertentu;
(2) Perampasan barang-barang tertentu; dan
(3) Pengumuman putusan hakim.
Jenis-jenis pidana seperti yang termuat didalam Pasal 10 KUHP telah dirumuskan
dengan tidak terlepas dari keadaan masyarakat yang ada pada saat KUHP
17
dibentuk. Dengan demikian memang tidak berlebihan jika dalam penyusunan
rancangan KUHP baru Indonesia yang akan menggantikan KUHP yang berasal
dari WvS, perlu dilakukan peninjauan ulang mengenai jenis pidana untuk
kemudian disesuaikan dengan kondisi yang berkembang saat ini. Salah satu
macam dari jenis pidana pokok yang perlu mendapat perhatian adalah pidana mati
yang sudah sejak lama selalu menjadi kontroversi.
B. Tinjauan Mengenai Pemidanaan
L.H.S Hullsman pernah mengemukakan bahwa system pemidanaan (the
sentencing system)adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan
sanksi dan pemidanaan (the statutory rules relating to penal sanction and
punishment).18 Menurut Barda Nawawi Arief, apabila pengertian pemidanaan
diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh
hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup
keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum
pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga sesorang
dijatuhi sanksi (hukum pidana). Ini berarti semua aturan perundan-undangan
mengenai Hukum Pidana Substantif, Hukum Pidana Formal dan Hukum
Pelaksanaan Pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan.
Barda nawawi arief bertolak dari pengertian diatas menyatakan apabila
aturan-aturan perundang-undangan (the statutory rules) dibatasi pada hukum pidana
substantif yang terdapat dalam KUHP, dapatlah dikatakan bahwa keseluruhan
ketentuan dalam KUHP, baik berupa aturan umum maupun aturan khusus tentang
18
perumusan tindak pidana, pada hakekatnya merupakan satu kesatuan sistem
pemidanaan.
Keseluruhan peraturan perundang-undangan (statutory rules) di bidang hukum
pidana substantif tersebut terdiri dari aturan umum ( general rules ) dan aturan
khusus (special rules) aturan umum terdapat di dalam KUHP Buku I dan aturan
khusus terdapat dalam KUHP Buku II dan Buku III, maupun dalam
undang-undang khusus di luar KUHP. Aturan khusus tersebut pada umumnya memuat
perumusan tindak pidana tertentu, namun dapat pula memuat aturan khusus yang
menyimpang dari aturan umum.19
Pada dasarnya penjatuhan pidana atau pemidanaan dibagi atas tiga teori, yaitu :
1.Teori Retributiveatau Teori Pembalasan
Teori retributive atau teori pembalasan ini menyatakan bahwa pemidanaan
bertujuan untuk :
a. Tujuan pidana dalah semata-mata untuk pembalasan.
b. Pembalasana adalah tujuan utama dan didalamnya tidak mengandung
sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahtraan masyarakat.
c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana.
d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar
e. Pidana melihat ke belakang, merupakan pelecehan murni dan tujuannya
tidak untuk memperbaiki, mendidik, atau memasyarakatkan kembali si
pelanggar.20
19
Ibid,hlm.135
20
2. Teori Utilitarian atau Teori Tujuan
Teori utilitarian menyatakan bahwa pemidanaan bertujuan untuk :
a. Pencegahan (prevention)
b. Pencegahan bukan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai
tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan manusia.
c. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipermasalahkan
kepada pelaku saja ( misalnya karena sengaja atau culpa) yang memenuhi
syarat untuk adanya pidana.
d. Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat untuk
pencegahan kejahatan.
e. Pidana melihat ke muka ( bersifat prospektif ) pidana dapat mengandung
unsur pencelaan tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan
tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk
kepentingan kesejahtraan masyarakat.21
3. Teori Gabungan
Ide dasar dari teori gabungan ini, pada jalan pikiran bahwa pidana itu hendaknya
merupakan gabungan dari tujuan untuk pembalasan dan perlindungan masyaraka,
yang diterapkan secara kombinasi sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan
dan keadaan si pembuatnya
Aliran gabungan ini berusaha untuk memuaskan semua penganut teori
pembalasan maupun tujuan. Untuk perbuatan jahat keinginan masyarakat untuk
membalas dendam direspon, yaitu dengan dijatuhi pidana penjara terhadap
penjahat/narapidana, namun teori tujuan pun pendapatnya diikuti yaitu terhadap
21
penjahat/narapidana diadakan pembinaan, agar sekeluarnya dari penjara tidak
melakukan tindak pidana lagi.22
C. Tindak Pidana Narkotika
1. Pengertian Tindak Pidana Narkotika
Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,
melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.
Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan
perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang
mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi
masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah
dilakukannya.23
Dasar Hukum Tindak Pidana Narkotika adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika. Menurut Pasal 1 Ayat (1) menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Pasal 1 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
menjelaskan bahwa peredaran adalah setiap atau serangkaian kegiatan penyaluran
atau penyerahan narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan
maupun pemindahtanganan. Pasal 1 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 35 Tahun
22
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegak Hukum,Jakarta, Bumi Aksara, 1983, hlm 83
23
2009 tentang Narkotika menjelaskan bahwa perdagangan adalah setiap
kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka pembelian dan/atau penjualan,
termasuk penawaran untuk menjual narkotika, dan kegiatan lain berkenaan
dengan pemindahtanganan narkotika dengan memperoleh imbalan.
Istilah yang sebenarnya lebih tepat digunakan untuk kelompok zat yang dapat
mempengaruhi system kerja otak ini adalah NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan
Zat Adiktif) karena istilah ini lebih mengacu pada istilah yang digunakan dalam
Undang- Undang Narkotika dan Psikotropika. Narkoba atau lebih tepatnya Napza
adalah obat, bahan dan zat yang bukan termasuk jenis makanan. Oleh sebab itu
jika kelompok zat ini dikonsumsi oleh manusia baik dengan cara dihirup, dihisap,
ditelan, atau disuntikkan maka ia akan mempengaruhi susunan saraf pusat (otak)
dan akan menyebabkan ketergantungan. Akibatnya, system kerja otak dan fungsi
vital organ tubuh lain seperti jantung, pernafasan, peredaran darah dan lain-lain
akan berubah meningkat pada saat mengkonsumsi dan akan menurun pada saat
tidak dikonsumsi (menjadi tidak teratur).24
Perkataan Narkotika berasal dari bahasa Yunani yaitu “narke” yang berarti terbius
sehingga tidak merasakan apa-apa. Sebagian orang berpendapat bahwa narkotika
berasal dari kata “narcissus” yang berarti sejenis tumbuha-tumbuhan yang
mempunyai bungan yang dapat menyebabkan orang menjadi tidak sadarkan diri.25
Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika dan
Undang-Undang No. 7 Tahun 1997 Tentang Narkotika, di Indonesia belum
24
Lydia Harlina Martono dan Satya Joewana,Op.Cit., hlm. 5.
25
dibedakan secara jelas antara narkotika dan psikotropika sehingga seringkali
dikelompokkan menjadi satu.
M. Ridha Ma’roef menyebutkan bahwa narkotika ada dua macam yaitu narkotika
alam dan narkotika sintetis. Yang termasuk dalam kategori narkotika alam adalah
berbagai jenis candu, morphine, heroin, ganja, hashish, codein dan cocaine.
Narkotika ala mini termasuk dalam pengertian narkotika secara sempit sedangkan
narkotika sitetis adalah pengertian narkotika secara luas dan termasuk didalamnya
adalah Hallucinogen, Depressant dan Stimulant.26
Golongan Obat yang sering disalahgunakan secara klinik dapat dibagi dalam
beberapa kelompok, yaitu :
a. Obat Narkotik seperti candu, morphine, heroin dan sebagainya.
b. Obat Hallusinogen seperti ganja, LSD, mescaline dan sebagainya.
c. Obat Depresan seperti obat tidur (hynotika), obat pereda (sedativa) dan oba
penenang (tranquillizer).
d. Obat Stimulant seperti amfetamine, phenmetrazine.
2. Narkotika dalam Pengaturan Perundang-undangan Indonesia
Perundang-undangan yang mengatur tentang narkotika dapat dibagi menjadi
beberpa tahap yaitu :
1). Masa berlakunya berbagai Ordonantie Regie
Pada masa ini pengaturan tentang narkotika tidak seragam karena setiap wilayah
mempunyai Ordonantie Regie masingmasing seperti Bali Regie Ordonantie, Jawa
Regie ordonantie, Riau Regie Ordonantie, Aceh Regie Ordonantie, Borneo Regie
26
Ordonantie, Celebes Regie Ordonantie, Tapanuli Regie ordonantie, Ambon Regie
Ordonantie dan Timor Regie Ordonantie. Dari berbagai macam Regie Ordonantie
tersebut, Bali Regie Ordonantie merupakan aturan tertua yang dimuat dalam Stbl
1872 No. 76. Disamping itu narkotika juga diatur dalam :
a). Morphine Regie Ordonantie Stbl 1911 No. 373, Stbl 1911 No. 484 dan No.
485;
b). Ookust Regie Ordonantie Stbl 1911 No. 494 dan 644, Stbl 1912 No. 255;
c). Westkust Regie Ordonantie Stbl 1914 No.562, Stbl 1915 No. 245;
d). Bepalingen Opium Premien Stbl 1916 No. 630.
2). Berlakunya Verdovende Midellen Ordonantie (Stbl 1927 Nomor 278 jo
Nomor 536)
Sesuai dengan ketentuan Pasal 131 I.S peraturan tentang Obat Bius Nederland
Indie disesuaikan dengan peraturan obat bius yang berlaku di Belanda (asas
konkordansi). Gubernur Jenderal dengan persetujuan Raad Van Indie
mengeluarkan Stbl 1927 No. 278 jo No. 536 tentang Verdovende Midellen
Ordonantie yang diterjemahkan dengan Undang Obat Bius.
Undang-Undang ini bertujuan untuk menyatukan pengaturan mengenai candu dan
obat-obat bius lainnya yang tersebar dalam berbagai ordonantie. Di dalam
Undang-Undang ini juga dilakukan perubahan serta mempertimbangkan kembali beberpa
hal tertentu yang telah diatur dalam peraturan sebelumnya. Verdovende Midellen
Ordonantie Stbl 1927 No. 278 jo No. 536 tanggal 12 Mei 1927 dan mulai berlaku
pada 1 Januari 1928. Ketentuan Undang- Undang ini kemudian menarik 44
Perundang-undangan sebelumnya guna mewujudkan unifikasi hukum pengaturan
3) . Berlakunya Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika;
Undang-Undang ini mengatur secara lebih luas mengenai narkotika dengan
memuat ancaman pidana yang lebih berat dari aturan sebelumnya.
Undang-Undang No. 9 tahun 1976 ini diberlakukan pada tanggal 26 Juli 1976 dan dimuat
dalam Lembaran Negara RI No. 3086. Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang
ini adalah sebagai berikut :
a. Mengatur jenis-jenis narkotika secara lebih terinci;
b. Pidananya sepadan dengan jenis-jenis narkotika yang digunakan;
c. Mengatur tentang pelayanan kesehatan untuk pecandu dan rehabilitasinya;
d. Mengatur semua kegiatan yang menyangkut narkotika meliputi penanaman,
peracikan, produksi, perdagangan, lalu-lintas pengangkutan serta penggunaan
narkotika;
e. Acara pidananya bersifat khusus;
f. Pemberian premi bagi mereka yang berjasa dalam pembongkaran tindak
pidana narkotika;
g. Mengatur kerja sama internasional dalam penanggulangan narkotika;
h. Materi pidananya banyak yang menyimapng dari KUHP dan ancaman pidana
yang lebih berat.
Latar belakang digantinya Verdovende Midellen Ordonantie Stbl 1927 No. 278 jo
No. 536 dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 ini dapat dilihat pada
penjelasan UU No. 9 Tahun 1976, diantaranya adalah hal-hal yang menjadi
pertimbangan sehubungan dengan perkembangan sarana perhubungan modern
baik darat, laut maupun udara yang berdampak pada cepatnya penyebaran
4). Berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika.
Undang-Undang ini berlaku pada tanggal 1 September 1997 dan dimuat dalam
Lembaran negara RI Tahun 1997 No. 3698. adapun yang menjadi latar belakang
diundangkannya UU No. 22 Tahun 1997 ini yaitu apeningkatan pengendalian dan
pengawasan sebagai upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika. Tindak pidana narkotika pada umumnya tidak
dilakukan secara perorangan dan berdiri sendiri melainkan dilakukan secara
bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisir secara mantap,
rapi dan rahasia. Disamping itu tindak pidana narkoba yang bersifat transnasional
dilakukan dengan menggunakan modus operandi dan teknologi canggih, termasuk
pengamanan hasil-hasil tindak pidana narkoba. Perkembangan kualitas tindak
pidana narkoba tersebut sudah menjadi ancaman yang sangat serius bagi
kehidupan umat manusia.
Selain itu mengingat bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perserikatan
Bangsa Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan
Psikotropika Tahun 1988 dan Konvensi Psikotropika Tahun 1971 dengan
mengeluarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1997 Tentang Pengesahan Konvensi
Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika
dan Psikotropika dan Undang-undang No. 8 Tahun 1996 Tentang Pengesahan
Konvensi Psikotropika. Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 ini mempunyai
cakupan yang jauh lebih luas dibandingkan dengan peraturan yang pernah ada
sebelumnya baik dari segi norma, ruang lingkup materi maupun ancaman
3. Penggolongan Narkotika
Dalam Undang-undang No.22 tahun 1997 tentang narkotika dalam pasal 2 ayat
(2) disebutkan, bahwa narkotika digolongkan menjadi 3 golongan, antara lain :
1). Narkotika Golongan I
Adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi
sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Yang termasuk narkotika golongan
I ada 26 macam. Yang popular disalahgunakan adalah tanaman Genus Cannabis
dan kokaina. Cannabisdi Indonesia dikenal dengan namaganja atau biasa disebut
anak muda jaman sekarang cimeng, Sedangkan untuk Kokainaadalah bubuk putih
yang diambil dari daun pohon koka dan menjadi perangsang yang hebat.
Jenis-jenis narkotika golongan I seperti tersebut diatas dilarang untuk
diproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi kecuali dalam jumlah
terbatas untuk kepentingan tertentu. Hal ini diatur pada pasal 9 ayat 1
Undang-undang No.22 tahun 1997 tentang Narkotika :
Narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses
produksi, kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan dan dilakukan dengan pengawasan yang ketat
dari Menteri Kesehatan.” Dalam hal penyaluran narkotika golongan I ini
hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat-obatan tertentu dan/atau pedagang besar
farmasi tertentu kepada lembaga ilmu pengetahuan untuk kepntingan
pengembangan ilmu pengetahuan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 37
2). Narkotika golongan II
Menurut pasal 2 ayat (2) huruf b, narkotika golongan ini adalah narkotika
yang berkhsasiat dalam pengobatan dan digunakan dalam terapi dan/atau untuk
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi
mengakibatkan ketergantungan. Jenis narkotika golongan II yang paling populer
digunakan adalah jenis heroinyang merupakan keturunan dari morfin. Heroin
dibuat dari pengeringan ampas bunga opium yang mempunyai kandungan
morfindan banyak digunakan dalam pengobatan batuk dan diare. Ada juga
heroin jenis sintetis yang digunakan untuk mengurangi rasa sakit disebut
pelhipidinedan methafone. Heroin dengan kadar lebih rendah dikenal dengan
sebutan putauw.
Putauw merupakan jenis narkotika yang paling sering disalahgunakan. Sifat
putauw ini adalah paling berat dan paling berbahaya. Putauw menggunakan
bahan dasar heroindengan kelas rendah dengan kualitas buruk dan sangat
cepat menyebabkan terjadinya kecanduan. Jenis heroin yang juga sering
disalahgunakan adalah jenis dynamite yang berkualitas tinggi sedangkan brown
atau Mexican adalah jenis heroinyang kualitasnya lebih rendah dari heroin putih
atau putauw.
3). Narkotika golongan III
Narkotika golongan III sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 2 ayat (2) huruf
c Undang-undang No.22 tahun 1997 tentang Narkotika adalah narkotika yang
berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
golongan II yaitu untuk pelayanan kesehatan dan/atau untuk pengembangan
ilmu pengetahuan tentang bagaimana cara memproduksi dan menyalurkannya
yang diatur dalam satu ketentuan yang sama dengan narkotika golongan II.
Salah satu narkotika golongan II yang sangat populer adalah kodein. Kodein ini
ditemukan pada opium mentah sebagai kotoran dari sejumlah morfin.
D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan
Fungsi hakim berbeda dengan pejabat-pejabat lain, ia harus benar-benar
menguasai hukum sesuai dengan system yang dianut Indonesia dalam
pemeriksaan di sidang pengadilan. Hakim harus aktif bertanya dan memberi
kesempatan kepada pihak terdakwa yang diwakili oleh penasehat hukum untuk
bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula penuntut umum. Semua itu dimaksudkan
untuk menemukan kebenaran materiil dan pada akhirnya hakimlah yang
bertanggung jawab atas segala yang diputuskannya.27
1. Pengertian Dasar Pertimbangan Hakim
BAB IX Undang-Undang Dasar 1945 pasal 24 dan pasal 25 menjamin adanya
suatu kekuasaan kehakiman yang bebas, serta penjelasan pada Pasal 1 Ayat (1)
Undang-Undang No.48 Tahun 2009, yaitu Kekuasaan Kehakiman adalah
kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara
Hukum Republik Indonesia.
27
Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009
yang menyatakan bahwa: dalam sidang pemusyawaratan, setiap hakim wajib
menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang
sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan.28
Sebagaimana diketahui bahwa dalam setiap pemeriksaan melalui proses acara
pidana, keputusan hakim haruslah selalu didasarkan atas surat pelimpahan
perkara yang memuat seluruh dakwaan atas kesalahan terdakwa. Selain itu
keputusan hakim juga harus tidak boleh terlepas dari hasil pembuktian selama
pemeriksaan dan hasil sidang pengadilan. Memproses untuk menentukan
bersalah tidaknya perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, hal ini semata-mata
dibawah kekuasaan kehakiman, artinya hanya jajaran departemen inilah yang
diberi wewenang untuk memeriksa dan mengadili setiap perkara yang datang
untuk diadili.
Sejalan dengan tugas hakim yakni kemampuan untuk menumbuhkan
putusan-putusan atau yang dapat diterima masyarakat. Apalagi terhadap penjatuhan
putusan bebas yang memang banyak memerlukan argumentasi konkrit dan
pasti, kiranya pantaslah status hakim sebagaimana ditentukan Pasal 1
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara
yang merdeka untuk menyelanggarakan negara hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum dan keadilan
berdasarkan hukum Indonesia.
28
Dasar pertimbangan hakim harus berdasarkan pada keterangan saksi-saksi,
barang bukti, keterangan terdakawa, dan alat bukti surat dan fakta-fakta
yang terungkap dalam persidangan, serta unsur-unsur pasal tindak pidana yang
disangkakan kepada terdakwa. Karena putusan yang dibuktikan adalah sesuai
dengan fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Selain itu juga dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap terdakwa harus
berdasarkan keterangan ahli (surat visum et repertum), barang bukti yang
diperlihatkan di persidangan, pada saat persidangan terdakwa berprilaku sopan,
terdakwa belum pernah di hukum, terdakwa mengakui semua perbuatannya dan
apa yang diutarakan oleh terdakwa atau saksi benar adanya tanpa adanya
paksaan dari pihak manapun.
2. Bentuk-Bentuk Putusan Hakim
Berdasarkan pada teori dan praktik peradilan maka putusan hakim itu adalah
putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara
pidana yang terbuka untuk umum setelah melalui proses dan prosedural hukum
acara pidana pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau
pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan
menyelesaikan perkara.29
Berkaitan pada penjelasan tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa putusan
hakim pada hakikatnya merupakan:30
1. Putusan yang diucapkan dalam persidangan perkara pidana yang terbuka
untuk umum. Putusan hakim menjadi sah dan mempunyai kekuatan hukum
29
Ibidhlm.121.
30
maka haruslah diucapkan dalam persidangan perkara pidana yang terbuka
untuk umum.
2. Putusan dijatuhkan oleh hakim setelah melalui proses dan prosedural hukum
acara pidana pada umumnya yang mempunyai kekuatan hukum mengikat dan
sah.
3. Berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntuan
hukum.
4. Putusan hakim dibuat dalam bentuk tertulis. Persyaratan bentuk tertulis ini
tercermin dalam ketentuan pasal 200 KUHAP bahwa “ surat keputusan
ditandatangani oleh Hakim dan Panitera seketika setelah putusan itu
diucapkan”. Bentuk tertulis ini dimaksudkan agar putusan dapat diserahkan
kepada pihak yang berkepentingan, dikirim ke Pengadilan Tinggi atau
Mahkamah Agung Republik Indonesia apabila satu pihak akan melakukan
upaya hukum banding atau kasasi, bahkan publikasi, dan sebagai arsip untuk
dilampirkan dalam berkas perkara.
5. Putusan Hakim dibuat dengan tujuan untuk menyelesaikan perkara pidana.
Apabila Hakim telah mengucapkan putusan, secara formal perkara pidana
tersebut pada tingkat Pengadilan Negeri telah selesai.
Putusan Hakim/ pengadilan dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu :
a. Putusan Akhir
Putusan akhir ini dalam praktiknya disebut dengan istilah “putusan” atau “einds
vonnis” dan merupakan jenis putusan yang bersifat materiil. Putusan ini dapat