• Tidak ada hasil yang ditemukan

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA WARGA NEGARA ASING (Studi Putusan MA Nomor:1599 K/Pid.Sus/2012)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA WARGA NEGARA ASING (Studi Putusan MA Nomor:1599 K/Pid.Sus/2012)"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA

WARGA NEGARA ASING

(Studi Putusan MA Nomor:1599 K/Pid.Sus/2012)

Oleh :

DESTRY FIANICA

Penyalahgunaan narkoba yang marak terjadi belakangan ini tidak hanya dilakukan oleh Warga Negara Indonesia (WNI), namun juga oleh Warga Negara Asing (WNA). Undang-Undang Narkotika No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika mengatur sanksi pidana mati yang mengakibatkan timbulnya polemik yang mengatakan bahwa pidana mati tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 serta bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dan ada juga yang mengatakan bahwa pidana mati masih perlu diterapkan untuk memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan narkotika. Permasalahan pada penelitian berikut adalah Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika oleh Warga Negara Asing (Studi Putusan Nomor: 1599 K/ Pid.Sus/2012) ? Apakah Putusan Nomor 1599 K/ Pid.Sus/2012 yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana narkotika sudah tepat dan memenuhi rasa keadilan?

Penelitian ini menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dengan melakukan wawancara terhadap hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Tangerang, hakim Pengadilan Tinggi Provinsi Banten dan Kalangan Akademisi Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan.

(2)

lakukan. Selain itu juga hakim dalam memutus mengacu pada teori retributive (teori absolut atau teori pembalasan).Penjatuhan pidana mati dilihat dari segi masyarakat sudah memenuhi rasa keadilan karena narkotika yang dibawa oleh terdakwa adalah narkotika golongan 1 seberat 6500 gram dan berpotensi merusak generasi bangsa sehingga penjatuhan pidana mati layak dijatuhkan untuk terdakwa, tetapi bagi terdakwa pidana mati belum memenuhi rasa keadilan. Terdakwa merupakan kurir serta peran terdakwa cukup ringan dibandingkan dengan Bandar narkotika selain itu terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana.

(3)

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA

WARGA NEGARA ASING

(Studi Putusan MA Nomor:1599 K/Pid.Sus/2012)

Oleh

DESTRY FIANICA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar

SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)
(5)
(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kalibalangan pada tanggal 2 Desember

1992. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara

buah hati dari pasangan Ibu Betty Ita Asmara dan Bapak Indra

Gunawan.

Penulis menempuh jenjang pendidikan pertama kali pada

taman kanak-kanak (TK) Islam Alina pada tahun 1998. Sekolah Dasar (SD)

Negeri 1 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2005. Sekolah Menengah

Pertama (SMP) Negeri 14 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2008 dan

Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 7 Bandar Lampung diselesaikan pada

tahun 2011.

Pada tahun 2011 penulis terdaftar sebagai mahasiswi Fakultas Hukum Universitas

Lampung melalui jalur SNMPTN. Pada tahun 2014 penulis melaksanakan mata

Kuliah Kerja Nyata (KKN) Periode I di Desa Tajimalela, Kecamatan Kalianda,

Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Kemudian pada tahun 2015

penulis menyelesaikan skripsi sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar

(7)

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan yang telah memberikan kesempatan sehingga

dapat ku selesaikan sebuah karya ilmiah ini dan kepada junjungan kita Nabi

Muhammad SAW yang selalu kita harapkan Syafaatnya di hari akhir kelak. Aku

persembahkan karya ini kepada:

Kedua orang tuaku:

Ayahanda Indra Gunawan dan Ibunda Betty Ita Asmara

yang selalu mencintai, menyayangi mengasihi serta mendoakanku dengan tulus sebagai penyemangat dalam hidupku

Serta untuk kakakku dan adikku Yuli Indriati dan M. Affan Rizki yang

senantiasa memberikan dukungan kepada ku sehingga skripsi ini dapat

terselesaikan

Untuk sahabat dan teman-teman seperjuangan yang selalu memberikan dukungan dan motivasi serta menemaniku dalam suka maupun duka dalam

mencapai keberhasilanku.

Almamaterku tercinta

(8)

Kamu Telah Selesai (Dari Satu Urusan) Kerjakanlah Dengan Sumgguh-Sungguh (Urusan) Lain. Dan Hanya Kepada Tuhanmulah Hendak Kamu

Berharap

(QS.S. Alam-nasyroh 6-8)

Belajarlah Dari Sebuah Masalah, Sesungguhnya Allah Akan Mendewasaknmu

(9)

Puji syukur ku persembahkan atas kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan

Maha Penyayang yeng telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul: “Dasar Pertimbangan Hakim

Dalam Menjatuhkan Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika

Warga Negara Asing (Studi Putusan Nomor : 1599K/Pid.Sus/2012)”. Skripsi ini

sebagai syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan

bimbingan berbagai pihak, dan segala sesuatu dalam skripsi ini masih terdapat

banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna mengingat keterbatasan penulis.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Sugeng P. Harianto Selaku Rektor Universitas Lampung;

2. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Lampung;

3. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung;

4. Ibu Firganefi, S.H.,M.H. Selaku Sekertaris Bagian Hukum Pidana Fakultas

(10)

memberikan saran dan kritik dalam penulisan skripsi ini;

6. Ibu Dona Raisa Monica, S.H., M.H. selaku Pembimbing II yang telah

memberikan saran, arahan, dan bimbingan serta nasehat kepada penulis

dengan penuh kesabaran dalam menyelesaikan skripsi ini;

7. Ibu Dr. Nikmah Rosidah, S.H., M.H., selaku Pembahas I yang telah banyak

memberikan saran dan masukan yang sangat berharga kepada penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini;

8. Bapak Deni Achmad, S.H., M.H. selaku Pembahas II yang telah memberikan

saran, kritik dan arahan kepada penulis dalam perbaikan dan penyempurnaan

skripsi ini;

9. Ibu Martha Riananda, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik yang telah

memberi bimbingan akademik, bantuan dan saran kepada penulis selama ini;

10. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung, khususnya

di Bagian Hukum Pidana yang telah banyak memberikan bekal ilmu

pengetahuan (hukum pidana) kepada penulis selama menempuh pendidikan di

Fakultas Hukum Universitas Lampung;

11. Seluruh Bapak/Ibu Karyawan di Fakultas Hukum Universitas Lampung;

12. Seluruh narasumber Ibu Dr. Erna Dewi, S.H., M.H., Bapak Lief Sofijullah,

S.H., M.H., Bapak Manahan Sitompul, S.H.,M.H., yang telah meluangkan

waktu untuk memberikan informasi berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

13. Ayahanda Indra Gunawan dan Ibunda Betty Ita Asmara tercinta. Terima kasih

(11)

dunia dan akhirat Amiin.

14. Kakakku Yuli Indriati dan Adikku M.Affan Rizky yang telah memberikan

semangat serta do’a untuk kelancaran dalam penulisan skripsi ini dan seluruh

keluarga besarku yang telah menantikan kelulusanku.

15. Sepupuku yang gendut Rhohima Putri yang selalu menemaniku dan

memberikan semangat untuk skripsi.

16. Sahabat-sahabatku tercinta: Erza Cechelya, Farah Zatalini, Noni Ana Duianti,

Gevi Ratianda Bralinza, Friska Annisa, Yulia Dwiyanti, Rika Lusiana. Serta

seluruh teman-teman FH Unila 2011 yang lainnya terima kasih banyak atas

kebersamaan kita selama ini dan terima kasih atas semangat, motivasi kalian,

tanpa kalian semua tidak akan berkesan. Semoga kita semua dapat menggapai

kesuksesan di Dunia dan Akhirat Amin Ya Rabbal Alamin.

17. Keluarga dan teman-teman baruku semasa KKN: Desa Tajimalela Uwan, Cici,

Tata Dina, Kk Pendi Kordes, Abang Angga Item, Pais, Mba Endah, Dewi

Muslimah, Dian. terima kasih telah memberikan pengalaman yang baru,

kebersamaan dan kenangan yang amat berarti bersama kalian.

18. Semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini, teman-teman di

Bagian Hukum Pidana dan seluruh teman-teman Angkatan 2011 Fakultas

Hukum Universitas Lampung yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas

perhatian dan bantuan yang telah diberikan selama masa pendidikan.

Semoga skripsi ini dapat berguna dan memberikan manfaat bagi kita semua dan

(12)

semua serta semoga tali silaurahmi diantara kita tetap erat dan kita dipertemukan

kembali dalam keridhoan-Nya. Aamiin Allahumma Ya Rabbal’alamin.

Bandar Lampung, maret 2015

Penulis,

(13)

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8

E. Sistematika Penulisan... 15

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tindak Pidana ... 17

1. Pengertian Tindak Pidana... 17

2. Jenis-jenis Sanksi Pidana... 22

B. Tinjauan Mengenai Pemidanaan ... 23

C. Tindak Pidana Narkotika... 26

1. Pengertian Tindak Pidana Narkotika... 26

2. Narkotika dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia ... 28

3. Penggolongan Narkotika ... 32

D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan ... 34

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 40

B. Sumber dan Jenis Data ... 41

C. Penentuan Narasumber... 42

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data... 43

(14)

B. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Mati

terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika Oleh Warga Negara Asing... 49

C. Keadilan dalam Penerapan Sanksi Pidana Mati Bagi Pelaku

Tindak Pidana Narkotika Putusan No. 1599 K/Pid.Sus/2012 ... 57

V. PENUTUP

A. Simpulan ... 63

B. Saran ... 64

(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemenuhan kebutuhan hidup yang semakin komplek seiring dengan

perkembangan zaman yang begitu pesat membuat manusia melakukan berbagai

cara untuk memenuhi kebutuhannya. Tentu tidak semua cara untuk memenuhi

kebutuhan tersebut dapat dibenarkan, salah satunya adalah dengan melakukan

kejahatan yang bertentangan dengan norma masyarakat. Berbagai bentuk

kejahatan semakin berkembang. Salah satunya yakni kejahatan narkoba, yang saat

ini menjaditrenddi seluruh lapisan dunia tidak terkecuali di Indonesia.1

Meskipun narkoba sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan dan

pelayanan kesehatan, namun apabila disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai

dengan standar pengobatan, terlebih jika disertai dengan peredaran narkoba secara

gelap akan menimbulkan akibat yang sangat merugikan perorangan maupun

masyarakat khususnya generasi muda, bahkan dapat menimbulkan bahaya yang

lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa.

1

(16)

Penyalahgunaan narkoba adalah suatu bentuk penggunaan narkoba tanpa hak dan

melawan hukum. Penyalahgunaan narkoba yang marak terjadi belakangan ini

tidak hanya dilakukan oleh Warga Negara Indonesia (WNI), namun juga oleh

Warga Negara Asing (WNA). WNA yang terlibat tidak hanya berasal dari satu

negara saja namun berasal dari berbagai negara yang berbeda dengan modus serta

tujuan yang berbeda.

Penyalahgunaan narkoba berkaitan erat dengan peredaran gelap sebagai bagian

dari dunia tindak pidana internasional. Mafia perdagangan gelap memasok

narkoba agar orang memiliki ketergantungan sehingga jumlah supply meningkat.

Terjalinnya hubungan antara pengedar/bandar dengan korban membuat korban

sulit melepaskan diri dari pengedar/bandar, bahkan tidak jarang korban juga

terlibat peredaran gelap karena meningkatnya kebutuhan dan ketergantungan

mereka akan narkoba.2

Undang-Undang Narkoba yang terdiri dari Undang-Undang Psikotropika No.5

Tahun 1997 dan Undang-Undang Narkotika No. 35 Tahun 2009 mengatur

penyalahgunaan narkoba yang melibatkan WNA serta bentuk

pertangunggjawabannya. Keberadaan Undang-Undang Narkotika merupakan

dasar bagi penegakan hukum dalam rangka untuk menjamin ketersediaan obat

guna kepentingan ilmu pengetahuan, teknologi, serta kesehatan, dan juga untuk

mencegah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.3

2

Lydia Harlina Martono dan Satya Joewana, Membantu Pemulihan Pecandu Narkoba dan Keluarganya,Jakarta: Balai Pustaka, 2006, hlm. 1.

3

(17)

Undang-undang ini juga memuat suatu hukuman yang menimbulkan polemik

yaitu pidana mati, polemik ini mengatakan bahwa pidana mati tersebut

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 serta bertentangan dengan Hak

Asasi Manusia (HAM) dan ada juga yang mengatakan bahwa pidana mati masih

perlu diterapkan untuk memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan narkotika.

Penjatuhan pidana mati terhadap subjek tindak pidana narkotika serta efek jera

yang ditimbulkan dari vonis mati oleh pengadilan tetap dilakukan bahkan tidak

saja berlaku bagi WNI namun juga terhadap WNA, seperti pada kasus dimana

seorang WNA Kebangsaan Inggris yang bernama Gareth Dane Cashmore bersalah

melakukan tindak pidana “Percobaan atau pemufakatan jahat untuk melakukan

tindak pidana narkotika dan prekusor narkotika, tanpa hak atau melawan hukum,

menawarkan untuk dijual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,

menukar atau menyerahkan Narkotika Golongan I bukan tanaman beratnya

melebihi 5 gram” (Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia No. 35

Tahun 2009 jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia No. 35

Tahun 2009).

Penulis menemukan beberapa permasalahan yang menarik dalam pokok perkara

Putusan Kasasi Nomor 1599 K/Pid.Sus/2012 tersebut. Di dalam putusan tersebut,

pada awalnya yakni di dalam Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor

1861/PID.Sus/2011/PN.TNG, Gareth Dane Cashmore sebagai terdakwa telah

dijatuhi Pidana Seumur Hidup. Namun, setelah diajukan banding yang diajukan

oleh Jaksa Penuntut Umum dan Penasehat Hukum Terdakwa ke Pengadilan

Tinggi Banten, hakim mengadili dalam Putusan Nomor 67/PID/2012/PT.BTN

(18)

hukum kasasi ke Mahkamah Agung oleh Terdakwa Gareth Dane Cashmore,

namun Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi

Gareth Dane Cashmore.

Jaksa Penuntut Umum di dalam memori bandingnya mengemukakan

keberatan-keberatan yang pada pokoknya sebagai berikut:

(1) Bahwa ancaman pidana terhadap kasus perkara ini sebagaimana diatur dalam Pasal 114 ayat (2) UU RI No. 35 Tahun 2009 adalah dengan pidana mati. Sedangkan Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan lamanya Seumur Hidup, sedangkan perbuatan Terdakwa adalah perbuatan yang jelas melanggar undang-undang, sehingga Putusan tersebut dirasakan tidak mencerminkan keadilan ditengah-tengah masyarakat: (2) Bahwa penjatuhan hukuman yang relative ringan tidak membawa dampak

tangkal di tengah-tengah masyarakat serta membuat jera bagi pelaku kejahatan serupa.

Jaksa Penuntut Umum banding dan menuntut “Pidana Mati” sesuai Pasal 114 ayat

(2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika:

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,

(19)

Setelah menjalani proses persidangan, majelis hakim Pengadilan Tinggi dalam

amar putusannya Nomor 67/PID/2012/PT.BTN menghukum Terdakwa Gareth

Dane Cashmore seorang WNA Inggris tersebut dalam amar putusannya

mengatakan “menghukum terdakwa oleh karena itu dengan Pidana Mati”. Dalam

amar putusan tersebut yang menjadi masalah yakni didasari bahwa penerapan

pidana mati tidak sesuai dengan paham Pancasila yang selalu menjunjung

tinggi rasa prikemanusiaan yang adil dan beradab.4

Hukuman pidana mati juga diperdebatkan akibat adanya Amandemen Kedua

Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa "hak untuk

hidup, dan hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum adalah hak asasi

manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.5 Akan tetapi, di

Indonesia sendiri sudah ada produk hukum yang mengatur mengenai sanksi

pidana mati dan sudah beberapa yang diterapkan.

Produk hukum yang memuat sanksi pidana mati dan sudah diterapkan di

Indonesia yaitu pada Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme. Namun, pada kasus ini penulis kurang sependapat

terhadap sanksi pidana mati yang dijatuhkan oleh pelaku tindak piana narkotika

tersebut. Sehingga penulis ingin mencari tahu dasar pertimbangan hukum hakim

dalam menjatuhkan pidana mati dalam Putusan Kasasi Nomor 1599

K/Pid.Sus/2012 dimana sebelumnya dalam Putusan Pengadilan Negeri

Tangerang Nomor 1861/PID.Sus/2011/PN.TNG, Terdakwa dijatuhi pidana

4

Putusan Nomor Nomor 67/PID/2012/PT.BTN, hlm 30

5

(20)

seumur hidup, dan saat diajukan banding dalam Putusan Nomor

67/PID/2012/PT.BTN Terdakwa dijatuhi hukuman pidana mati.

Berkenaan dengan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti dengan

menganalisis putusan tersebut dan menuangkannya ke dalam sebuah skripsi yang

berjudul : “Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Mati terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika Warga Negara Asing (Studi Putusan Nomor: 1599 K/ Pid.Sus/2012)”

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup A. Permasalahan

Berdasarkan uraian dan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi pokok

permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hukum hakim dalam

menjatuhkan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika oleh

Warga Negara Asing (Studi Putusan Nomor: 1599 K/ Pid.Sus/2012) ?

2. Apakah Putusan Nomor 1599 K/ Pid.Sus/2012 yang dijatuhkan kepada

pelaku tindak pidana narkotika sudah tepat dan memenuhi rasa keadilan?

B. Ruang Lingkup

Ruang lingkup di dalam penelitian ini yaitu hukum pidana dengan kekhususan

yang berkaitan dengan penjatuhan pidana mati kepada pelaku tindak pidana

narkotika oleh Warga Negara Asing (WNA) berdasarkan Undang-Undang Nomor

35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Ruang lingkup lokasi penelitian adalah pada

wilayah hukum Pengadilan Negeri Tanggerang dan Pengadilan Tinggi Banten

(21)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah

untuk:

a. Mengetahui dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana

mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika oleh Warga Negara Asing

(Studi Putusan Nomor: 1599 K/ Pid.Sus/2012)

b. Mengetahui apakah Putusan Nomor 1599 K/ Pid.Sus/2012 yang dijatuhkan

kepada pelaku tindak pidana narkotika sudah tepat dan memenuhi rasa

keadilan.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan

praktis, yaitu:

a. Kegunaan Teoritis

Hasil skripsi ini diharapkan memberikan sumbangsih pemikiran

dikalangan akademisi, kalangan pembuat undang-undang serta kalangan

yang menggeluti di bidang hukum terutama mengenai pidana mati

terhadap pelaku tindak pidana narkotika.

b. Kegunaan Praktis

Hasil penulisan skripsi ini, diharapkan dapat memberikan pemahaman

serta upaya pencegahan bagi pengguna narkotika bagi semua pihak yang

terkait di dalam menegakan hukum. Khususnya penegakan hukum pidana

(22)

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi

dari pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya berguna untuk

mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan

oleh peneliti.6

Untuk mengetahui tentang dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan

pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika Warga Negara Asing (WNA)

penulis mengungkapkan dengan teori-teori sebagai berikut:

a. Teori Tujuan Pemidanaan

Pidana pada hakikatnya hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan, maka

konsep pertama-tama merumuskan tentang tujuan pemidanaan. Dalam

mengidentifikasi tujuan pemidanaan, konsep bertolak dari keseimbangan 2 (dua)

sasaran pokok, yaitu perlindungan masyarakat dan perlindungan atau pembinaan

individu pelaku tindak pidana.

Dalam pasal 10 KUHP menyebutkan ada 2 ( dua ) jenis pidana yaitu :

a. Jenis pidana pokok meliputi : 1. pidana mati

2. pidana penjara 3. pidana kurungan 4. pidana denda

b. Jenis pidana tambahan meliputi : 1. Pencabutan hak-hak tertentu 2. Perampasan barang-barang tertentu 3. Pengumuman putusan hakim

6

(23)

Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana yaitu :7

1. Teori Retributive (teori absolut atau teori pembalasan )

Menurut pandangan teori ini, pidana haruslah disesuaikan dengan tindak pidana

yang dilakukan, karena tujuan pemidanaan menurut mereka adalah memberikan

penderitaan yang setimpal dengan tindak pidana yang telah dilakukan.

2. Teori Utilitarian atau Teori Tujuan

Menurut pandangan teori ini, pemidian ini harus dilihat dari segi manfaatnya,

artinya pemidanaan tidak semata-mata dilihat hanya sebagai pembalasan belaka

melainkan harus dilihat pula manfaatnya bagi terpidana di masa yang akan datang.

Teori ini melihat dasar pembenaran pemidanaan itu ke depan, yakni pada

perbaikan para pelanggar hukum di masa yang akan datang.

3. Teori Gabungan

Teori ini didasarkan pada tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban

masyarakat. Sehubungan dengan masalah pidana sebagai sarana untuk mencapai

tujuan, maka harus dirumuskan terlebih dahulu tujuan pemidanaan yang akan

diharapkan akan menunjang tercapainya tujuan tersebut, atas dasar itu kemudian

baru dapat ditetapkan cara, sarana, atau tindakan apa yang akan digunakan.

b. Teori Dasar Pertimbangan Hukum Hakim

Keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan bukan semata-mata peranan hakim

sendiri untuk memutuskan, tetapi hakim meyakini bahwa terdakwa telah

melakukan tindak pidana yang didakwakan dan didukung oleh alat bukti yang sah

7

(24)

menurut Undang-undang. Adapun hakim akan mempertimbangkan hal-hal yang

bersifat yuridis dan non-yuridis :

1. Yuridis yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa, dan

barang bukti.

2. Non-yuridis dipergunakan untuk mempertimbangkan hal-hal yang

memberatkan ataupun meringankan pidana yang dijatuhkan terhadap

terdakwa

Terdapat pula beberapa teori pendekatan yang dapat digunakan oleh hakim

dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan suatu perkara yaitu:

1. Teori keseimbangan

Teori keseimbangan adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan

oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang bersangkutan dan

berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan

yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan

korban.

2. Teori Pendekatan Intuisi

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi, dalam menjatuhkan

putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi

setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau

penuntut umum dalam perkara pidana.

3. Teori Pendekatan Keilmuan

Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana

harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam

(25)

konsistensi dari putusan hakim.Pendekatan kailmuan ini merupakan semacam

peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara,hakim tidak boleh

semata-mata atas dasar intuisi atau insting sesemata-mata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu

pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi

suatu perkara yang harus di putusnya.

4. Teori Pendekatan pengalaman

Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya

dalam menghadapi perkara-perkara yang di hadapinya setiap hari, dengan

pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagai mana

dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang

berkaitan dengan pelaku, korban, maupun masyarakat.

5. TeoriRatio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang

mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang

disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang lebih

relevan dengan pokok perkara yang di sengketaka sebagai dasar hukum dalam

penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi

yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan.

6. Teori Kebijaksanaan

Teori kebijaksanaan mempunyai beberapa tujuan yaitu sebagai upaya

perlindungan terhadap masyarakat dari suatu kejahatan, sebagai upaya

perlindungan terhadap anak yang telah melakukan tindak pidana, untuk memupuk

(26)

memelihara dan mendidik pelaku tindak pidana anak, serta sebagai pencegahan

umum kasus.8

b. Konsep Teori Keadilan

Keadilan pada dasarnya sifatnya adalah abstrak, dan hanya bisa dirasakan dengan

akal dan pikiran serta rasionalitas dari setiap individu atau masyarakat. Keadilan

tidak berbentuk dan tidak dapat dilihat namun pelaksanaannya dapat kita

lihat dalam perspektif pencarian keadilan. Berikut pandangan ahli tentang

keadilan :9

1. Hans Kelsen, menurutnya keadilan tentu saja digunakan dalam hukum, dari segi kecocokan dengan hukum positif terutama kecocokan dengan undang-undang. Ia menggangap sesuatu yang adil hanya mengungkapkan nilai kecocokan relative dengan sebuah norma 'adil' hanya kata lain dari 'benar'.

2. Aristoteles, mengatakan bahwa keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Selanjutnya, membagi keadilan menjadi dua bentuk yaitu; pertama, keadilan distributif, adalah keadilan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang. Kedua, keadilan korektif, yaitu keadilan yang menjamin, mengawasi dan memelihara distribusi ini melawan seranganserangan ilegal. Fungsi korektif keadilan pada prinsipnya diatur oleh hakim dan menstabilkan kembali dengan cara mengembalikan milik korban yang bersangkutan atau dengan cara mengganti rugi atas miliknya yang hilang.

Keadilan mencerminkan bagaimana seseorang melihat tentang hakikat

manusia dan bagaimana seseorang memperlakukan manusia. Begitu pula

hakim mempunyai kebebasan sepenuhnya untuk menentukan jenis pidana dan

tinggi rendahnya suatu pidana, hakim mempunyai kebebasan untuk bergerak pada

batas minimum dan maksimum, pidana yang diatur dalam Undang-undang untuk

tiaptiap tindak pidana.10 Dalam memberikan putusan terhadap suatu perkara

8

Ahmad Rifai,Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif,Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm. 105-112.

9

http://hadisiti.blogspot.com/2012/11/teori-keadilan-menurut-para-ahli.htmlDiakses pada tanggal 14 November 2014 Pukul 19.05 WIB.

10

(27)

pidana, seharusnya putusan hakim tersebut berisi alasan-alasan dan

pertimbangan-pertimbangan yang bisa memberikan rasa keadilan bagi terdakwa.

Dimana dalam pertimbangan-pertimbangan itu dapat dibaca motivasi yang

jelas dari tujuan putusan diambil, yaitu untuk menegakkan hukum (kepastian

hukum) dan memberikan keadilan.11

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara

konsep-konsep khusus yang merupakan arti-arti yang berkaitan dengan istilah

yang ingin atau akan diteliti.12 Definisi yang berkaitan dengan judul penulisan ini

dapat diartikan sebagai berikut, diantaranya adalah:

a. Dasar pertimbangan hakim adalah dasar pemikiran-pemikiran atau

pendapat hakim dalam menjatuhkan putusan dengan melihat hal-hal yang

dapat meringankan atau memberatkan pelaku.13

b. Pidana mati adalah jenis pidana pokok terberat yang diatur dalam Pasal 10

KUHP yang pelaksanaannya berupa perampasan kehidupan seseorang

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.14

c. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan

melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam

undang-undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya

tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum.15

11

Nanda Agung Dewantara,Masalah Kebebasan Hakim dalam Menangani Suatu Masalah Perkara Pidana,Jakarta: Aksara Persada Indonesia, 1987, hlm. 50.

12

Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum,Jakarta: UI Press, 2007, hlm 132.

13

Undang-undang nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

14

Teguh prtasetyo,hukum pidana,Jakarta,PT Raja Grafindo Persada,2011,hlm.117

15

(28)

d. Tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan

dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat

dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang

telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.16

e. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman baik sintesis yang dapat menyebabkan penurunan dan

perubahankesadraan hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangnya

rasa nyeri , dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan

kedalam golongan-golongan sebagai terlampir dalam undang-undang

Nomor 35 Tahun 2009.17

f. Warga Negara Asing (WNA) adalah orang atau badan hukum asing yang

berstatus kewarganegaraan asing dan tidak pernah mengajukan

permohonan sehingga ia tidak pernah ditetapkan menjadi Warga Negara

Indonesia (WNI) dan/atau Badan Hukum Indonesia, serta tidak disebabkan

karena kehilangan Kewarganegaraan Indonesia menurut ketentuan

Undang-Undang Kewarganegaraan Indonesia.18

E. Sistematika Penulisan

Sistematika ini memuat uraian keseluruhan yang akan disajikan dengan tujuan dan

kegunaan, kerangka teoritis dan konseptual, serta sistematika penulisan.

16

Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, Malang: UMM Press, 2009, hlm.105.

17

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

18

(29)

I. PENDAHULUAN

Merupakan bab yang menguraikan latar belakang masalah dan ruang lingkup,

tujuan dan kegunaan, kerangka teoritis dan konseptual, serta sistematika

penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Merupakan bab pengantar yang menguraikan tentang pengertian-pengertian

umum dari pokok bahasan yang memuat tinjauan umum mengenai pengertian

penegrtian narkotika tentang sumber-sumber hukum narkotika.

III. METODE PENELITIAN

Merupakan bab yang membahas suatu masalah yang menggunakan metode ilmiah

secara sistematis, yang meliputi pendekatan masalah, sumber, jenis data, prosedur

pengumpulan dan pengelolaan. Sehingga dengan demikian memerlukan suatu

motode yang jelas dan efektif agar hasil yang diperoleh dari penelitian ini dapat di

pertanggungjawabkan.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Merupakan penjelasan dan pembahasaan yang mengemukakan hasil penelitian

mengenai ketentuan hukum yang mengatur mengenai sanksi pidana mati bagi

pelaku tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh Warga Negara Asing serta

dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana mati terhadap

pelaku tindak pidana narkotika oleh Warga Negara Asing (Studi Putusan Nomor:

1599 K/ Pid.Sus/2012).

V. PENUTUP

Dalam bab ini dibahas mengenai kesimpulan terhadap jawaban permasalahan dari

(30)

penyelesaiaan yang berguna dan dapat menambah wawasan hukum khususnya

(31)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Ada beberapa macam istilah tindak pidana yang dipergunakan dalam buku-buku

yang dikarang oleh para pakar hukum pidana Indonesia sejak zaman dahulu

hingga sekarang. Pada dasarnya semua istilah itu merupakan terjemahan dari

bahasa Belanda “strafbaar feit” yang berarti delik, peristiwa pidana, perbuatan

pidana, perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, hal yang diancam dengan

hukum, perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukum dan tindak pidana.1

Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu

perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman

(sanksi) yang berupa pidana tertentu, barangsiapa melanggar larangan tersebut.2

Adapun beberapa tokoh yang memiliki perbedaan pendapat tentang peristilahan

strafbaarfeit” atau tindak pidana, antara lain :

1) Simons

Tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan

sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan

1

Tri Andrisman,Op.Cit.,hlm. 69.

2

(32)

atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu

tindakan yang dapat dihukum.3

2) J.Bauman

Perbuatan/tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat

melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.4

3) Moeljatno

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa

melanggar larangan tersebut.5

4) Van Hattum

Perkataan “Strafbaar” itu berarti “voor sraaf in aanmerking komend” atau

“straaf verdienend” yang juga mempunyai arti sebagai pantas untuk dihukum,

sehingga perkataan“strafbaar feit” seperti yang telah digunakan oleh pembentuk

undang-undang di dalam kitab undang-undang hukum pidana itu secara “eliptis”

haruslah diartikan sebagai suatu “tindakan, yang karena telah melakukan tindakan

semacam itu membuat seseorang menjadi dapat dihukum” atau suatu “feit terzake

van hetwelk een persoon strafbaar is”.6

Unsur-unsur perbuatan pidana/tindak pidana sebagai berikut:7

1. Perbuatan (manusia);

2. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan syarat

formil); dan

3. Bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil).

3

Tongat,Op.Cit., hlm.105.

4

Ibid.,hlm.106.

5

Adam Chazawi,Pelajaran Hukum Pidana Bagian I,PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.45

6http://hadisiti.blogspot.com/2012/11/teori-keadilan-menurut-para-ahli.html

diakses pada Tanggal 23 November 2014 Pukul 23.44 WIB 7

Tri Andrisman, Hukum Pidana: Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia,

(33)

Sejatinya ”pidana” hanyalah sebuah “alat “ yaitu alat untuk mencapai tujuan

pemidanaan.8Pemidanaan berasal dari kata “pidana” yang sering diartikan dengan

hukuman. Jadi pemidanaan dapat pula diartikan dengan penghukuman.9

Pemidanaan atau pengenaan pidana berhubungan erat dengan kehidupan

seseorang di dalam masyarakat, terutama apabila menyangkut kepentingan benda

hukum yang paling berharga bagi kehidupan di masyarakat, yaitu nyawa dan

kemerdekaan atau kebebasan.

Menurut Sudarto, Pidana tidak hanya enak dirasa pada waktu dijalani, tetapi

sesudah orang yang dikenai itu masih merasakan akibatknya berupa ‘cap’ oleh

masyarakat, bahwa ia pernah berbuat jahat. Cap ini dalam ilmu pengetahuan

disebut ‘stigma’. Jadi orang tersebut mendapat stigma, dan kalau ini tidak hilang,

maka ia seolah-olah dipidana seumur hidup.10

Pemberian pidana dalam arti umum merupakan bidang dari pembentuk

undang-undang karena asas legalitas, yang berasal dari zaman Aungklarung, yang

singkatannya berbunyi : nullum crimen, nulla peona, sine praevia lege (poenali).

Jadi untuk mengenakan poena atau pidana diperlukan undang-undang (pidana)

terlebih dahulu. Pembentuk Undang-Undanglah yang menetapakan peraturan

tentang pidananya, tidak hanya tentang crimen atau delictumnya, ialah tentang

perbuatan mana yang dapat dikenakan pidana.

8

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005, hlm .98.

9

Djoko Prakoso dan Nurwachid,Studi tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa ini,Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983, hlm. 13.

10

(34)

Menurut R Soesilo, yang dimaksud dengan hukuman adalah suatu perasaan tidak

enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang

telah melanggar undang-undang hukum pidana.11Sedangkan menurut Subekti dan

Tjitrosoedibio dalam bukunya kamus hukum, “pidana” adalah “hukuman”.12 Pada

hakekatnya sejarah hukum pidana adalah sejarah dari pidana dan pemidanaan

yang senantiasa mempunyai hubungan erat dengan masalah tindak pidana.13

Masalah tindak pidana merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial yang

senantiasa dihadapi oleh setiap bentuk masyarakat. Di mana ada masyarakat, di

situ ada tindak pidana. Tindak pidana selalu bertalian erat dengan nilai, struktur

dan masyarakat itu sendiri. Sehingga apapun upaya manusia untuk

menghapuskannya, tindak pidana tidak mungkin tuntas karena tindak pidana

memang tidak mungkin terhapus melainkan hanya dapat dikurangi atau

diminimalisir intensitasnya.

Mardjono Reksodiputro, menjelaskan bahwa tindak pidana sama sekali tidak

dapat dihapus dalam masyarakat, melainkan hanya dapat dihapuskan sampai pada

batas-batas toleransi. Hal ini disebabkan karena tidak semua kebutuhan manusia

dapat dipenuhi secara sempurna. Disamping itu, manusia juga cenderung memiliki

kepentingan yang berbeda antara yang satu dengan yang lain, sehingga bukan

tidak mungkin berangkat dari perbedaan kepentingan tersebut justru muncul

berbagai pertentangan yang bersifat prinsipil. Namun demikian, tindak pidana

juga tidak dapat dibiarkan tumbuh dan berkembang dalam masyarakat karena

11

R. Soesilo,Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal demi Pasal ,Bogor: Politea, 1994, hlm. 35.

12

Subekti dan Tjitrosoedibio,Kamus Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1980, hlm. 83.

13

(35)

dapat menimbulkan kerusakan dan gangguan pada ketertiban sosial. Dengan

demikian sebelum menggunakan pidana sebagai alat, diperlukan permahaman

terhadap alat itu sendiri. Pemahaman terhadap pidana sebagai alat merupakan hal

yang sangat penting untuk membantu memahami apakah dengan alat tersebut

tujuan yang telah ditentukan dapat dicapai.

Sudarto berpendapat yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang

sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi

syarat-syarat tertentu.14 Bila dilihat dari filosofinya, hukuman mempunyai arti

yang sangat beragam. R. Soesilo menggunakan istilah “hukuman” untuk

menyebut istilah “pidana” dan ia merumuskan bahwa apa yang dimaksud dengan

hukuman adalah suatu perasaan tidak enak (sangsara) yang dijatuhkan oleh hakim

dengan vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum

pidana.15 Feurbach menyatakan, bahwa hukuman harus dapat mempertakutkan

orang supaya jangan berbuat jahat.16

Secara umum istilah pidana sering kali diartikan sama dengan istilah hukuman.

Tetapi kedua istilah tersebut sebenarnya mempunyai pengertian yang berbeda.

Menurut penulis, pembedaan antara kedua istilah di atas perlu diperhatikan, oleh

karena penggunaannya sering dirancukan. Hukuman adalah suatu pengertian

umum, sebagai suatu sanksi yang menderitakan atau nestapa yang sengaja

ditimpakan kepada seseorang. Sedang pidana merupakan pengertian khusus yang

berkaitan dengan hukum pidana. Sebagai pengertian khusus, masih juga ada

14

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 2.

15

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia, 1996, hlm. 35.

16

(36)

persamaannya dengan pengertian umum, sebagai suatu sanksi atau nestapa yang

menderitakan.17

2. Jenis-jenis Sanksi Pidana

Pada waktu Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indie mulai berlaku di

Indonesia berdasarkan Koninjklijk Besluit tanggal 15 Oktober 1915 Nomor 33,

Staatsblad tahun 1915 Nomor 732 Nomor 732 jo Staatsblad tahun 1917 Nomor

497 dan Nomor 645, hukum pidana di Indonesia sejak tanggal 1 Januari 1918

hanya mengenal dua jenis pidana, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan.

Wetboek van Strafrechts voor Nederland Indie berdasarkan Pasal VI

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, namanya diubah menjadi Kitab Undang-Undang-undang

Hukum Pidana (KUHP). Dalam Pasal 10 KUHP dikenal dua jenis pidana, yaitu

pidana pokok yang terdiri dari :

(1) Pidana mati;

(2) Pidana penjara;

(3) Pidana kurungan;

(4) Pidana denda (oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 ditambah dengan

pidana tutupan).

Adapun pidana tambahan terdiri dari :

(1) Pencabutan hak-hak tertentu;

(2) Perampasan barang-barang tertentu; dan

(3) Pengumuman putusan hakim.

Jenis-jenis pidana seperti yang termuat didalam Pasal 10 KUHP telah dirumuskan

dengan tidak terlepas dari keadaan masyarakat yang ada pada saat KUHP

17

(37)

dibentuk. Dengan demikian memang tidak berlebihan jika dalam penyusunan

rancangan KUHP baru Indonesia yang akan menggantikan KUHP yang berasal

dari WvS, perlu dilakukan peninjauan ulang mengenai jenis pidana untuk

kemudian disesuaikan dengan kondisi yang berkembang saat ini. Salah satu

macam dari jenis pidana pokok yang perlu mendapat perhatian adalah pidana mati

yang sudah sejak lama selalu menjadi kontroversi.

B. Tinjauan Mengenai Pemidanaan

L.H.S Hullsman pernah mengemukakan bahwa system pemidanaan (the

sentencing system)adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan

sanksi dan pemidanaan (the statutory rules relating to penal sanction and

punishment).18 Menurut Barda Nawawi Arief, apabila pengertian pemidanaan

diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh

hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup

keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum

pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga sesorang

dijatuhi sanksi (hukum pidana). Ini berarti semua aturan perundan-undangan

mengenai Hukum Pidana Substantif, Hukum Pidana Formal dan Hukum

Pelaksanaan Pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan.

Barda nawawi arief bertolak dari pengertian diatas menyatakan apabila

aturan-aturan perundang-undangan (the statutory rules) dibatasi pada hukum pidana

substantif yang terdapat dalam KUHP, dapatlah dikatakan bahwa keseluruhan

ketentuan dalam KUHP, baik berupa aturan umum maupun aturan khusus tentang

18

(38)

perumusan tindak pidana, pada hakekatnya merupakan satu kesatuan sistem

pemidanaan.

Keseluruhan peraturan perundang-undangan (statutory rules) di bidang hukum

pidana substantif tersebut terdiri dari aturan umum ( general rules ) dan aturan

khusus (special rules) aturan umum terdapat di dalam KUHP Buku I dan aturan

khusus terdapat dalam KUHP Buku II dan Buku III, maupun dalam

undang-undang khusus di luar KUHP. Aturan khusus tersebut pada umumnya memuat

perumusan tindak pidana tertentu, namun dapat pula memuat aturan khusus yang

menyimpang dari aturan umum.19

Pada dasarnya penjatuhan pidana atau pemidanaan dibagi atas tiga teori, yaitu :

1.Teori Retributiveatau Teori Pembalasan

Teori retributive atau teori pembalasan ini menyatakan bahwa pemidanaan

bertujuan untuk :

a. Tujuan pidana dalah semata-mata untuk pembalasan.

b. Pembalasana adalah tujuan utama dan didalamnya tidak mengandung

sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahtraan masyarakat.

c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana.

d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar

e. Pidana melihat ke belakang, merupakan pelecehan murni dan tujuannya

tidak untuk memperbaiki, mendidik, atau memasyarakatkan kembali si

pelanggar.20

19

Ibid,hlm.135

20

(39)

2. Teori Utilitarian atau Teori Tujuan

Teori utilitarian menyatakan bahwa pemidanaan bertujuan untuk :

a. Pencegahan (prevention)

b. Pencegahan bukan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai

tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan manusia.

c. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipermasalahkan

kepada pelaku saja ( misalnya karena sengaja atau culpa) yang memenuhi

syarat untuk adanya pidana.

d. Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat untuk

pencegahan kejahatan.

e. Pidana melihat ke muka ( bersifat prospektif ) pidana dapat mengandung

unsur pencelaan tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan

tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk

kepentingan kesejahtraan masyarakat.21

3. Teori Gabungan

Ide dasar dari teori gabungan ini, pada jalan pikiran bahwa pidana itu hendaknya

merupakan gabungan dari tujuan untuk pembalasan dan perlindungan masyaraka,

yang diterapkan secara kombinasi sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan

dan keadaan si pembuatnya

Aliran gabungan ini berusaha untuk memuaskan semua penganut teori

pembalasan maupun tujuan. Untuk perbuatan jahat keinginan masyarakat untuk

membalas dendam direspon, yaitu dengan dijatuhi pidana penjara terhadap

penjahat/narapidana, namun teori tujuan pun pendapatnya diikuti yaitu terhadap

21

(40)

penjahat/narapidana diadakan pembinaan, agar sekeluarnya dari penjara tidak

melakukan tindak pidana lagi.22

C. Tindak Pidana Narkotika

1. Pengertian Tindak Pidana Narkotika

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,

melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.

Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan

perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang

mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi

masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah

dilakukannya.23

Dasar Hukum Tindak Pidana Narkotika adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009 tentang Narkotika. Menurut Pasal 1 Ayat (1) menjelaskan bahwa yang

dimaksud dengan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau

bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan

penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai

menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Pasal 1 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

menjelaskan bahwa peredaran adalah setiap atau serangkaian kegiatan penyaluran

atau penyerahan narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan

maupun pemindahtanganan. Pasal 1 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 35 Tahun

22

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegak Hukum,Jakarta, Bumi Aksara, 1983, hlm 83

23

(41)

2009 tentang Narkotika menjelaskan bahwa perdagangan adalah setiap

kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka pembelian dan/atau penjualan,

termasuk penawaran untuk menjual narkotika, dan kegiatan lain berkenaan

dengan pemindahtanganan narkotika dengan memperoleh imbalan.

Istilah yang sebenarnya lebih tepat digunakan untuk kelompok zat yang dapat

mempengaruhi system kerja otak ini adalah NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan

Zat Adiktif) karena istilah ini lebih mengacu pada istilah yang digunakan dalam

Undang- Undang Narkotika dan Psikotropika. Narkoba atau lebih tepatnya Napza

adalah obat, bahan dan zat yang bukan termasuk jenis makanan. Oleh sebab itu

jika kelompok zat ini dikonsumsi oleh manusia baik dengan cara dihirup, dihisap,

ditelan, atau disuntikkan maka ia akan mempengaruhi susunan saraf pusat (otak)

dan akan menyebabkan ketergantungan. Akibatnya, system kerja otak dan fungsi

vital organ tubuh lain seperti jantung, pernafasan, peredaran darah dan lain-lain

akan berubah meningkat pada saat mengkonsumsi dan akan menurun pada saat

tidak dikonsumsi (menjadi tidak teratur).24

Perkataan Narkotika berasal dari bahasa Yunani yaitu “narke” yang berarti terbius

sehingga tidak merasakan apa-apa. Sebagian orang berpendapat bahwa narkotika

berasal dari kata “narcissus” yang berarti sejenis tumbuha-tumbuhan yang

mempunyai bungan yang dapat menyebabkan orang menjadi tidak sadarkan diri.25

Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika dan

Undang-Undang No. 7 Tahun 1997 Tentang Narkotika, di Indonesia belum

24

Lydia Harlina Martono dan Satya Joewana,Op.Cit., hlm. 5.

25

(42)

dibedakan secara jelas antara narkotika dan psikotropika sehingga seringkali

dikelompokkan menjadi satu.

M. Ridha Ma’roef menyebutkan bahwa narkotika ada dua macam yaitu narkotika

alam dan narkotika sintetis. Yang termasuk dalam kategori narkotika alam adalah

berbagai jenis candu, morphine, heroin, ganja, hashish, codein dan cocaine.

Narkotika ala mini termasuk dalam pengertian narkotika secara sempit sedangkan

narkotika sitetis adalah pengertian narkotika secara luas dan termasuk didalamnya

adalah Hallucinogen, Depressant dan Stimulant.26

Golongan Obat yang sering disalahgunakan secara klinik dapat dibagi dalam

beberapa kelompok, yaitu :

a. Obat Narkotik seperti candu, morphine, heroin dan sebagainya.

b. Obat Hallusinogen seperti ganja, LSD, mescaline dan sebagainya.

c. Obat Depresan seperti obat tidur (hynotika), obat pereda (sedativa) dan oba

penenang (tranquillizer).

d. Obat Stimulant seperti amfetamine, phenmetrazine.

2. Narkotika dalam Pengaturan Perundang-undangan Indonesia

Perundang-undangan yang mengatur tentang narkotika dapat dibagi menjadi

beberpa tahap yaitu :

1). Masa berlakunya berbagai Ordonantie Regie

Pada masa ini pengaturan tentang narkotika tidak seragam karena setiap wilayah

mempunyai Ordonantie Regie masingmasing seperti Bali Regie Ordonantie, Jawa

Regie ordonantie, Riau Regie Ordonantie, Aceh Regie Ordonantie, Borneo Regie

26

(43)

Ordonantie, Celebes Regie Ordonantie, Tapanuli Regie ordonantie, Ambon Regie

Ordonantie dan Timor Regie Ordonantie. Dari berbagai macam Regie Ordonantie

tersebut, Bali Regie Ordonantie merupakan aturan tertua yang dimuat dalam Stbl

1872 No. 76. Disamping itu narkotika juga diatur dalam :

a). Morphine Regie Ordonantie Stbl 1911 No. 373, Stbl 1911 No. 484 dan No.

485;

b). Ookust Regie Ordonantie Stbl 1911 No. 494 dan 644, Stbl 1912 No. 255;

c). Westkust Regie Ordonantie Stbl 1914 No.562, Stbl 1915 No. 245;

d). Bepalingen Opium Premien Stbl 1916 No. 630.

2). Berlakunya Verdovende Midellen Ordonantie (Stbl 1927 Nomor 278 jo

Nomor 536)

Sesuai dengan ketentuan Pasal 131 I.S peraturan tentang Obat Bius Nederland

Indie disesuaikan dengan peraturan obat bius yang berlaku di Belanda (asas

konkordansi). Gubernur Jenderal dengan persetujuan Raad Van Indie

mengeluarkan Stbl 1927 No. 278 jo No. 536 tentang Verdovende Midellen

Ordonantie yang diterjemahkan dengan Undang Obat Bius.

Undang-Undang ini bertujuan untuk menyatukan pengaturan mengenai candu dan

obat-obat bius lainnya yang tersebar dalam berbagai ordonantie. Di dalam

Undang-Undang ini juga dilakukan perubahan serta mempertimbangkan kembali beberpa

hal tertentu yang telah diatur dalam peraturan sebelumnya. Verdovende Midellen

Ordonantie Stbl 1927 No. 278 jo No. 536 tanggal 12 Mei 1927 dan mulai berlaku

pada 1 Januari 1928. Ketentuan Undang- Undang ini kemudian menarik 44

Perundang-undangan sebelumnya guna mewujudkan unifikasi hukum pengaturan

(44)

3) . Berlakunya Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika;

Undang-Undang ini mengatur secara lebih luas mengenai narkotika dengan

memuat ancaman pidana yang lebih berat dari aturan sebelumnya.

Undang-Undang No. 9 tahun 1976 ini diberlakukan pada tanggal 26 Juli 1976 dan dimuat

dalam Lembaran Negara RI No. 3086. Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang

ini adalah sebagai berikut :

a. Mengatur jenis-jenis narkotika secara lebih terinci;

b. Pidananya sepadan dengan jenis-jenis narkotika yang digunakan;

c. Mengatur tentang pelayanan kesehatan untuk pecandu dan rehabilitasinya;

d. Mengatur semua kegiatan yang menyangkut narkotika meliputi penanaman,

peracikan, produksi, perdagangan, lalu-lintas pengangkutan serta penggunaan

narkotika;

e. Acara pidananya bersifat khusus;

f. Pemberian premi bagi mereka yang berjasa dalam pembongkaran tindak

pidana narkotika;

g. Mengatur kerja sama internasional dalam penanggulangan narkotika;

h. Materi pidananya banyak yang menyimapng dari KUHP dan ancaman pidana

yang lebih berat.

Latar belakang digantinya Verdovende Midellen Ordonantie Stbl 1927 No. 278 jo

No. 536 dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 ini dapat dilihat pada

penjelasan UU No. 9 Tahun 1976, diantaranya adalah hal-hal yang menjadi

pertimbangan sehubungan dengan perkembangan sarana perhubungan modern

baik darat, laut maupun udara yang berdampak pada cepatnya penyebaran

(45)

4). Berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika.

Undang-Undang ini berlaku pada tanggal 1 September 1997 dan dimuat dalam

Lembaran negara RI Tahun 1997 No. 3698. adapun yang menjadi latar belakang

diundangkannya UU No. 22 Tahun 1997 ini yaitu apeningkatan pengendalian dan

pengawasan sebagai upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan

peredaran gelap narkotika. Tindak pidana narkotika pada umumnya tidak

dilakukan secara perorangan dan berdiri sendiri melainkan dilakukan secara

bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisir secara mantap,

rapi dan rahasia. Disamping itu tindak pidana narkoba yang bersifat transnasional

dilakukan dengan menggunakan modus operandi dan teknologi canggih, termasuk

pengamanan hasil-hasil tindak pidana narkoba. Perkembangan kualitas tindak

pidana narkoba tersebut sudah menjadi ancaman yang sangat serius bagi

kehidupan umat manusia.

Selain itu mengingat bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perserikatan

Bangsa Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan

Psikotropika Tahun 1988 dan Konvensi Psikotropika Tahun 1971 dengan

mengeluarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1997 Tentang Pengesahan Konvensi

Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika

dan Psikotropika dan Undang-undang No. 8 Tahun 1996 Tentang Pengesahan

Konvensi Psikotropika. Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 ini mempunyai

cakupan yang jauh lebih luas dibandingkan dengan peraturan yang pernah ada

sebelumnya baik dari segi norma, ruang lingkup materi maupun ancaman

(46)

3. Penggolongan Narkotika

Dalam Undang-undang No.22 tahun 1997 tentang narkotika dalam pasal 2 ayat

(2) disebutkan, bahwa narkotika digolongkan menjadi 3 golongan, antara lain :

1). Narkotika Golongan I

Adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu

pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi

sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Yang termasuk narkotika golongan

I ada 26 macam. Yang popular disalahgunakan adalah tanaman Genus Cannabis

dan kokaina. Cannabisdi Indonesia dikenal dengan namaganja atau biasa disebut

anak muda jaman sekarang cimeng, Sedangkan untuk Kokainaadalah bubuk putih

yang diambil dari daun pohon koka dan menjadi perangsang yang hebat.

Jenis-jenis narkotika golongan I seperti tersebut diatas dilarang untuk

diproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi kecuali dalam jumlah

terbatas untuk kepentingan tertentu. Hal ini diatur pada pasal 9 ayat 1

Undang-undang No.22 tahun 1997 tentang Narkotika :

Narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses

produksi, kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan

pengembangan ilmu pengetahuan dan dilakukan dengan pengawasan yang ketat

dari Menteri Kesehatan.” Dalam hal penyaluran narkotika golongan I ini

hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat-obatan tertentu dan/atau pedagang besar

farmasi tertentu kepada lembaga ilmu pengetahuan untuk kepntingan

pengembangan ilmu pengetahuan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 37

(47)

2). Narkotika golongan II

Menurut pasal 2 ayat (2) huruf b, narkotika golongan ini adalah narkotika

yang berkhsasiat dalam pengobatan dan digunakan dalam terapi dan/atau untuk

tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi

mengakibatkan ketergantungan. Jenis narkotika golongan II yang paling populer

digunakan adalah jenis heroinyang merupakan keturunan dari morfin. Heroin

dibuat dari pengeringan ampas bunga opium yang mempunyai kandungan

morfindan banyak digunakan dalam pengobatan batuk dan diare. Ada juga

heroin jenis sintetis yang digunakan untuk mengurangi rasa sakit disebut

pelhipidinedan methafone. Heroin dengan kadar lebih rendah dikenal dengan

sebutan putauw.

Putauw merupakan jenis narkotika yang paling sering disalahgunakan. Sifat

putauw ini adalah paling berat dan paling berbahaya. Putauw menggunakan

bahan dasar heroindengan kelas rendah dengan kualitas buruk dan sangat

cepat menyebabkan terjadinya kecanduan. Jenis heroin yang juga sering

disalahgunakan adalah jenis dynamite yang berkualitas tinggi sedangkan brown

atau Mexican adalah jenis heroinyang kualitasnya lebih rendah dari heroin putih

atau putauw.

3). Narkotika golongan III

Narkotika golongan III sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 2 ayat (2) huruf

c Undang-undang No.22 tahun 1997 tentang Narkotika adalah narkotika yang

berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau

tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan

(48)

golongan II yaitu untuk pelayanan kesehatan dan/atau untuk pengembangan

ilmu pengetahuan tentang bagaimana cara memproduksi dan menyalurkannya

yang diatur dalam satu ketentuan yang sama dengan narkotika golongan II.

Salah satu narkotika golongan II yang sangat populer adalah kodein. Kodein ini

ditemukan pada opium mentah sebagai kotoran dari sejumlah morfin.

D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan

Fungsi hakim berbeda dengan pejabat-pejabat lain, ia harus benar-benar

menguasai hukum sesuai dengan system yang dianut Indonesia dalam

pemeriksaan di sidang pengadilan. Hakim harus aktif bertanya dan memberi

kesempatan kepada pihak terdakwa yang diwakili oleh penasehat hukum untuk

bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula penuntut umum. Semua itu dimaksudkan

untuk menemukan kebenaran materiil dan pada akhirnya hakimlah yang

bertanggung jawab atas segala yang diputuskannya.27

1. Pengertian Dasar Pertimbangan Hakim

BAB IX Undang-Undang Dasar 1945 pasal 24 dan pasal 25 menjamin adanya

suatu kekuasaan kehakiman yang bebas, serta penjelasan pada Pasal 1 Ayat (1)

Undang-Undang No.48 Tahun 2009, yaitu Kekuasaan Kehakiman adalah

kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara

Hukum Republik Indonesia.

27

(49)

Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009

yang menyatakan bahwa: dalam sidang pemusyawaratan, setiap hakim wajib

menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang

sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan.28

Sebagaimana diketahui bahwa dalam setiap pemeriksaan melalui proses acara

pidana, keputusan hakim haruslah selalu didasarkan atas surat pelimpahan

perkara yang memuat seluruh dakwaan atas kesalahan terdakwa. Selain itu

keputusan hakim juga harus tidak boleh terlepas dari hasil pembuktian selama

pemeriksaan dan hasil sidang pengadilan. Memproses untuk menentukan

bersalah tidaknya perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, hal ini semata-mata

dibawah kekuasaan kehakiman, artinya hanya jajaran departemen inilah yang

diberi wewenang untuk memeriksa dan mengadili setiap perkara yang datang

untuk diadili.

Sejalan dengan tugas hakim yakni kemampuan untuk menumbuhkan

putusan-putusan atau yang dapat diterima masyarakat. Apalagi terhadap penjatuhan

putusan bebas yang memang banyak memerlukan argumentasi konkrit dan

pasti, kiranya pantaslah status hakim sebagaimana ditentukan Pasal 1

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara

yang merdeka untuk menyelanggarakan negara hukum dan keadilan

berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum dan keadilan

berdasarkan hukum Indonesia.

28

(50)

Dasar pertimbangan hakim harus berdasarkan pada keterangan saksi-saksi,

barang bukti, keterangan terdakawa, dan alat bukti surat dan fakta-fakta

yang terungkap dalam persidangan, serta unsur-unsur pasal tindak pidana yang

disangkakan kepada terdakwa. Karena putusan yang dibuktikan adalah sesuai

dengan fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Selain itu juga dasar

pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap terdakwa harus

berdasarkan keterangan ahli (surat visum et repertum), barang bukti yang

diperlihatkan di persidangan, pada saat persidangan terdakwa berprilaku sopan,

terdakwa belum pernah di hukum, terdakwa mengakui semua perbuatannya dan

apa yang diutarakan oleh terdakwa atau saksi benar adanya tanpa adanya

paksaan dari pihak manapun.

2. Bentuk-Bentuk Putusan Hakim

Berdasarkan pada teori dan praktik peradilan maka putusan hakim itu adalah

putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara

pidana yang terbuka untuk umum setelah melalui proses dan prosedural hukum

acara pidana pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau

pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan

menyelesaikan perkara.29

Berkaitan pada penjelasan tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa putusan

hakim pada hakikatnya merupakan:30

1. Putusan yang diucapkan dalam persidangan perkara pidana yang terbuka

untuk umum. Putusan hakim menjadi sah dan mempunyai kekuatan hukum

29

Ibidhlm.121.

30

(51)

maka haruslah diucapkan dalam persidangan perkara pidana yang terbuka

untuk umum.

2. Putusan dijatuhkan oleh hakim setelah melalui proses dan prosedural hukum

acara pidana pada umumnya yang mempunyai kekuatan hukum mengikat dan

sah.

3. Berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntuan

hukum.

4. Putusan hakim dibuat dalam bentuk tertulis. Persyaratan bentuk tertulis ini

tercermin dalam ketentuan pasal 200 KUHAP bahwa “ surat keputusan

ditandatangani oleh Hakim dan Panitera seketika setelah putusan itu

diucapkan”. Bentuk tertulis ini dimaksudkan agar putusan dapat diserahkan

kepada pihak yang berkepentingan, dikirim ke Pengadilan Tinggi atau

Mahkamah Agung Republik Indonesia apabila satu pihak akan melakukan

upaya hukum banding atau kasasi, bahkan publikasi, dan sebagai arsip untuk

dilampirkan dalam berkas perkara.

5. Putusan Hakim dibuat dengan tujuan untuk menyelesaikan perkara pidana.

Apabila Hakim telah mengucapkan putusan, secara formal perkara pidana

tersebut pada tingkat Pengadilan Negeri telah selesai.

Putusan Hakim/ pengadilan dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu :

a. Putusan Akhir

Putusan akhir ini dalam praktiknya disebut dengan istilah “putusan” atau “einds

vonnis” dan merupakan jenis putusan yang bersifat materiil. Putusan ini dapat

Referensi

Dokumen terkait

• Untuk melihat efek persaingan antar calon terhadap perolehan suara secara lebih sistmatis dapat dilihat dari pilhan pada partai lewat kartu suara yang digunakan dalam

Bagian A merupakan modus latihan dengan komponen F0 adalah layer input yang berfungsi melakukan normalisasi sampel training sehingga diperoleh gelombang pulsa yang sama panjang,

1 Perbedaan rerata penurunan Kapasitas Vital Paru pekerja kapur Perusahaan Sari agung dan Giri Alam Edi Sukarso Penelitian dilakukan di desa Darma kradenan Kecamat an

- Jawaban dibuktikan dengan dokumen rapat kelulusan seperti undangan, daftar hadir, notula rapat) yang dihadiri oleh guru kelas, guru mata pelajaran,

Saran, para guru dapat menggunakan software CNC Bubut KELLER Q plus sebagai media pembelajaran program diklat mesin bubut CNC karena siswa lebih mudah dalam memahami materi

ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA PADA KEDAI IGA BAKAR MANG OPAN DALAM.. MENINGKATKAN VOLUME PENJUALAN (Pendekatan analisis SWOT pada Kedai iga bakar

dimanaperlakuan tersebut mengandung POC kelinci 100% dan samasekali tidak memiliki kandungan nutrisi AB Mix. Sehingga hal tersebut menyebabkan kebutuhan nutrisi akan

ANALISIS KOMPETENSI PEKERJA LULUSAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN SEBAGAI IMPLEMENTASI PROGRAM PRAKTEK KERJA INDUSTRI.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |