• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Perumahan

Berdasarkan Undang-undang Nomor 4 tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman, membedakan antara perumahan dan permukiman. Perumahan memiliki fungsi sebagai tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana lingkungan, sedangkan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup, di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal yang mendukung perikehidupan dan penghidupan (PP No 4/1992).

Menurut Kuswartojo (1997), permukiman dapat diartikan sebagai perumahan atau kumpulan tempat tinggal. Perumahan merupakan wadah fisik, sedangkan permukiman merupakan paduan antara wadah dengan isinya, yaitu manusia yang hidup bermasyarakat dan berbudaya di dalamnya. Bagian dari permukiman yang disebut dengan wadah merupakan paduan antara tiga unsur, yaitu alam (udara, air, dan tanah), lindungan (shells), dan jaringan (networks),

sedangkan yang disebut dengan isinya adalah manusia dan masyarakat.

Menurut Kuswartojo (2005), karakteristik perumahan ada dua macam yaitu perumahan tidak tertata (informal) dan perumahan formal (tertata). Perumahan informal terbentuk secara berangsur-angsur, dan sebagai konsekuensinya permukiman tumbuh tanpa pola yang jelas, tidak ada pengkavlingan (pemetakan) dan jaringan jalan yang mengikuti penataan, rumah tidak teratur, bangunan beraneka ragam, mempunyai jaringan dan pola yang tidak teratur, perizinan pembangunan tidak jelas secara konseptual (sulit untuk diterapkan karena registrasi yang dapat memastikan suatu tanah menjadi hak seseorang sangat tidak lengkap dan perizinan pembangunan sangat lemah), memiliki perbedaan karakter sosial, memerlukan waktu puluhan tahun untuk tumbuh dengan sendirinya tanpa pengendalian. Perumahan informal inilah yang berkembang menjadi wilayah permukiman yang disebut perdesaan, sedangkan perumahan formal dibangun atas dasar aturan yang jelas karena itulah terbentuk suatu pola yang teratur lengkap dengan sarana dan prasarana, dibangun secara serempak dengan waktu yang

(2)

sudah direncanakan, seperti pembangunan oleh Perumnas berupa rumah susun, atau pembangunan yang dikembangkan oleh instansi swasta.

Menurut Daldjoeni (2003), definisi dari permukiman atau perumahan desa yaitu suatu tempat atau daerah tempat penduduk berkumpul dan hidup bersama dan mereka dapat menggunakan lingkungan setempat untuk kehidupan mereka. Terdapat tiga unsur, yaitu penduduk, tanah, dan bangunan yang masing-masing unsur lambat atau cepat mengalami perubahan sehingga desa sebagai pola permukiman bersifat dinamis. Secara geografis, definisi tadi dapat dipertanggungjawabkan, karena manusia sebagai penghuni desa selalu melakukan adaptasi spasial dan ekologis sejalan dengan kegiatannya berpangupa jiwa

agraris.

2.2. Perumahan Sehat

Perumahan sehat disebut juga sebagai salah satu kriteria layak huni, dalam pengertian secara luas bukan hanya sebatas fisik saja, tetapi juga secara sosial, baik secara internal maupun eksternal. Perumahan sehat adalah perumahan yang harus memiliki tiga syarat, yaitu (a) syarat fisik tersedianya sarana air bersih, sarana sanitasi, pengelolaan sampah dan air limbah, (b) syarat biologis bebas dari serangga/binatang pengerat, dan (c) syarat sosial dengan berprilaku hidup sehat (Kuswartojo et al., 2005)

Menurut Komisi WHO (2001), permukiman atau perumahan yang sehat adalah konsep dari perumahan sebagai faktor yang dapat meningkatkan standar kesehatan penghuninya. Konsep tersebut melibatkan pendekatan sosiologis dan teknis pengelolaan faktor resiko dan berorientasi pada lokasi bangunan, kualifikasi, adaptasi, manajemen, penggunaan, pemeliharaan rumah dan lingkungan di sekitarnya, serta mencakup unsur-unsur penyediaan air minum dan sarana yang memadai untuk memasak, mencuci, menyimpan makanan, serta pembuangan kotoran manusia ataupun limbah lainnya.

Silas (2001) mengemukakan kaidah perencanaan kawasan perumahan dan permukiman yang layak perlu memperhatikan dan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut (a) penggunaan lahan yang efektif dan efisien dan terkait dengan kegiatan ekonomi dalam arti luas; (b) orientasi bangunan/gedung perlu

(3)

memperhatikan arah angin di samping posisi dan pergerakan matahari. Jalan dan lorong terutama diserahkan dengan aliran angin sebagai koridor angin yang menjaga kesejukan lingkungan; (c) jalan mobil disediakan sesuai dengan kebutuhan nyata untuk keamanan dan keadaan darurat. Parkir mobil sebaiknya terpusat sehingga jalan/lorong dapat dijadikan taman komunal; (d) tersedia fasilitas perumahan yang diadakan dan diselenggarakan secara komunal, termasuk ruang terbuka hijau serta rekreasi memakai akses utama melalui berjalan kaki dari perumahan yang ada. Sistem sarana dan prasarana harus terkait dengan sistem kota yang lebih besar.

Prasarana lingkungan permukiman adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan, yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Prasarana utama meliputi jaringan jalan, jaringan air hujan, jaringan pengadaan air bersih, jaringan listrik, telepon, gas, dan sebagainya. Sarana lingkungan permukiman adalah fasilitas penunjang yang berfungsi untuk menyelenggarakan dan mengembangkan kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya, seperti pusat perbelanjaan, pelayanan umum, pendidikan dan kesehatan, tempat peribadatan, rekreasi dan olah raga, pertamanan, dan permakaman.

Kesatuan antara manusia sebagai penghuni (isi) dengan lingkungan hunian membentuk suatu komunitas yang secara bersamaan membentuk permukiman. Menurut Sastra (2005), elemen permukiman terdiri atas beberapa unsur, yaitu alam, manusia, masyarakat, bangunan, dan jaringan/networks.

- Alam, meliputi kondisi geologi, topografi, tanah, air, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan iklim.

- Manusia, merupakan pelaku utama kehidupan selain makhluk hidup lain seperti hewan, tumbuhan, dan lainnya. Sebagai makhluk yang paling sempurna dalam kehidupannya, manusia membutuhkan berbagai hal untuk menunjang kehidupannya, seperti kebutuhan biologis (ruang, udara, suhu, dan lain-lain), perasaan dan persepsi, kebutuhan emosional serta kebutuhan akan nilai-nilai moral.

- Masyarakat, merupakan kesatuan kelompok orang (keluarga) dalam suatu permukiman yang membentuk suatu komunitas tertentu. Hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat yang

(4)

mendiami suatu wilayah permukiman adalah (1) kepadatan dan komposisi penduduk, (2) kelompok sosial, (3) adat dan kebudayaan, (4) pengembangan ekonomi, (5) pendidikan, (6) kesehatan, dan (7) hukum dan administrasi. - Bangunan/rumah, merupakan wadah bagi manusia (keluarga). Oleh karena itu,

dalam perencanaan dan pengembangannya perlu mendapatkan perhatian khusus agar sesuai dengan rencana kegiatan yang berlangsung di tempat tersebut. Pada prinsipnya bangunan yang digunakan sesuai dengan fungsinya seperti sebagai pelayanan masyarakat (misalnya sekolah, rumah sakit, dan lainnya), sebagai tempat rekreasi (fasilitas hiburan), dan sebagainya.

- Jejaring/networks, merupakan sistem buatan atau alam berupa fasilitas untuk

operasional suatu wilayah permukiman, seperti jaringan air bersih di daerah pegunungan dapat dengan mudah diperoleh karena adanya sumber mata air. Sistem buatan yang diperlukan di dalam wilayah perumahan, antara lain, sistem jaringan air bersih, sistem jaringan listrik, sistem jaringan transportasi, sistem komunikasi, drainase, dan tata letak fisik.

Permukiman perdesaan di Indonesia umumnya merupakan perumahan yang mengelompok. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh keadaan sosial bangsa Indonesia yang bersifat gotong royong sehingga cenderung berkeinginan tinggal berdekatan dengan tetangga. Kelompok-kelompok tersebut dihubungkan oleh jalan kecil (jalan desa) atau jalan setapak. Permukiman perdesaan biasanya dicirikan oleh dominasi lanskap pertanian dan penyelenggaraannya diatur oleh adat istiadat dan pola-pola tradisional yang berlaku pada suatu daerah. Undang-undang yang masih sangat kuat dipengaruhi oleh pola-pola tradisional.

2.3. Persyaratan Kesehatan Perumahan dan Lingkungan Perumahan

Menurut Kuswartojo (2005), indikator rumah sehat adalah menyangkut prilaku hidup sehat penduduk, yaitu dengan tidak membuang sampah di sungai, tidak buang hajat di sungai, tidak membiarkan selokan kotor dan air tergenang, dan kondisi rumah terhadap faktor kesehatan dengan memperhatikan lingkungan fisik, kualitas udara permukiman dan ventilasi, dan terpenuhinya sarana kesehatan lingkungan.

(5)

Persyaratan kesehatan perumahan dan lingkungan permukiman adalah ketentuan teknis kesehatan yang wajib dipenuhi dalam rangka melindungi penghuni dan masyarakat yang bermukim di perumahan dan/atau masyarakat sekitar dari bahaya atau gangguan kesehatan. Persyaratan kesehatan perumahan yang meliputi persyaratan lingkungan perumahan dan permukiman serta persyaratan rumah itu sendiri, sangat diperlukan karena pembangunan perumahan berpengaruh sangat besar terhadap peningkatan derajat kesehatan individu, keluarga, dan masyarakat (Sanropie, 1992).

Persyaratan kesehatan perumahan dan lingkungan permukiman menurut Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 meliputi parameter sebagai berikut.

1. Lokasi, yaitu (a) tidak terletak pada daerah rawan bencana alam seperti bantaran sungai, aliran lahar, tanah longsor, gelombang tsunami, daerah gempa, dan sebagainya, (b) tidak terletak pada daerah bekas tempat pembuangan akhir (TPA) sampah atau bekas tambang, dan (c) tidak terletak pada daerah rawan kecelakaan dan daerah kebakaran seperti jalur pendaratan penerbangan.

2. Kualitas udara di lingkungan perumahan harus bebas dari gangguan gas beracun dan memenuhi syarat baku mutu lingkungan.

3. Kebisingan dan getaran, yaitu (a) kebisingan dianjurkan 45 dB.A, maksimum 55 dB.A dan (b) tingkat getaran maksimum 10 mm/detik.

4. Kualitas tanah di daerah perumahan dan pemukiman, yaitu (a) kandungan Timah hitam (Pb) maksimum 300 mg/kg, (b) kandungan Arsenik (As) total maksimum 100 mg/kg, (c) kandungan Cadmium (Cd) maksimum 20 mg/kg, dan (d) kandungan Benzo(a) pyrene maksimum 1 mg/kg.

5. Prasarana dan sarana lingkungan, yaitu (a) memiliki taman bermain untuk anak, sarana rekreasi keluarga dengan konstruksi yang aman dari kecelakaan, (b) memiliki sarana drainase yang baik, (c) memiliki sarana jalan lingkungan dengan ketentuan konstruksi jalan tidak mengganggu kesehatan, konstruksi trotoar tidak membahayakan pejalan kaki dan penyandang cacat, jembatan harus memiliki pagar pengaman, lampu penerangan jalan tidak menyilaukan mata, (d) tersedia cukup air bersih sepanjang waktu dengan kualitas air yang

(6)

memenuhi persyaratan kesehatan, (e) pengelolaan pembuangan tinja dan limbah rumah tangga harus memenuhi persyaratan kesehatan, (f) pengelolaan pembuangan sampah rumah tangga harus memenuhi syarat kesehatan, (g) memiliki akses terhadap sarana pelayanan kesehatan, komunikasi, tempat kerja, tempat hiburan, tempat pendidikan, kesenian, dan lain sebagainya, (h) pengaturan instalasi listrik harus menjamin keamanan penghuninya, dan (i) tempat pengelolaan makanan (TPM) harus menjamin tidak terjadi kontaminasi makanan yang dapat menimbulkan keracunan.

6. Pepohonan untuk penghijauan lingkungan permukiman merupakan pelindung dan juga berfungsi untuk kesejukan, keindahan, dan kelestarian alam.

Adapun ketentuan persyaratan kesehatan rumah tinggal menurut Kepmenkes Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 sebagai berikut.

1. Bahan bangunan tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan bahan yang dapat membahayakan kesehatan.

2. Komponen dan penataan ruangan meliputi (a) lantai kedap air dan mudah dibersihkan, (b) dinding rumah memiliki ventilasi, di kamar mandi dan kamar cuci kedap air dan mudah dibersihkan, (c) langit-langit rumah mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan, (d) bumbungan rumah 10 m dan ada penangkal petir, (e) ruang ditata sesuai dengan fungsi dan peruntukannya, dan (f) dapur harus memiliki sarana pembuangan asap.

3. Pencahayaan alam dan/atau buatan baik langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata.

4. Kualitas udara, yaitu (a) suhu udara nyaman antara 18-30ºC dan (b) kelembaban udara 40-70%.

5. Luas lubang ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% luas lantai.

6. Vektor penyakit, tidak ada lalat, nyamuk ataupun tikus yang bersarang di dalam rumah.

7. Penyediaan air, yaitu (a) tersedia sarana penyediaan air bersih dengan kapasitas minimal 60 liter/orang/hari dan (b) kualitas air harus memenuhi persyaratan kesehatan air bersih dan/atau air minum menurut Permenkes 416 tahun 1990 dan Kepmenkes 907 tahun 2002.

(7)

8. Tersedia sarana penyimpanan makanan yang aman.

9. Pembuangan limbah, yaitu (a) limbah cair yang berasal rumah tangga tidak mencemari sumber air, tidak menimbulkan bau, dan tidak mencemari permukaan tanah dan (b) limbah padat harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan bau, tidak mencemari permukaan tanah dan air tanah.

10. Kepadatan hunian dengan luas kamar tidur minimal 8 m² dan dianjurkan tidak untuk lebih dari 2 orang tidur.

Persyaratan tersebut di atas berlaku juga terhadap kondominium, rumah susun (rusun), rumah toko (ruko), rumah kantor (rukan) pada zona permukiman. Pelaksanaan ketentuan mengenai persyaratan kesehatan perumahan dan lingkungan permukiman menjadi tanggung jawab pengembang atau penyelenggara pembangunan perumahan, dan pemilik atau penghuni rumah tinggal untuk rumah.

Setiap manusia di manapun berada membutuhkan tempat untuk tinggal yang disebut rumah. Rumah berfungsi sebagai tempat untuk melepaskan lelah, tempat bergaul dan membina rasa kekeluargaan di antara anggota keluarga, tempat berlindung dari segala macam ganguan baik dari kondisi alam maupun binatang buas. Berdasarkan Undang-undang RI Nomor 4 Tahun 1992, rumah adalah struktur fisik terdiri atas ruangan, halaman, dan area sekitarnya yang dipakai sebagai tempat tinggal dan sarana pembinaan keluarga.

Departemen Pekerjaan Umum Ditjen Cipta Karya (2002) menentukan syarat rumah menjadi sehat sebagai berikut.

1. Aspek kesehatan (ruangan dan peranginan, penyediaan air bersih, pembuangan air bersih, limbah, dan sampah yang menimbulkan pencemaran, bagian-bagian ruang seperti lantai dan dinding tidak lembab, tidak tercemar bau, rembesan air kotor, dan udara kotor).

2. Aspek kekuatan bangunan (rumah memiliki konstruksi dan bahan bangunan yang menjamin keamanan, seperti konstruksi bangunan yang cukup kuat, baik untuk menahan berat sendiri maupun pengaruh lain, seperti angin, hujan, gempa, dan lainnya).

(8)

4. Keterjangkauan (pemakaian bahan bangunan dapat menjamin keawetan dan kemudahan dalam pemeliharaan, tahan api dan air).

5. Rumah yang baik adalah minimal memiliki ruang tamu, ruang makan, ruang tidur, dapur, dan kamar mandi yang terpisah satu dengan yang lain.

Dengan demikian keterkaitan kondisi rumah dengan permukiman sangatlah erat karena dari rumah yang merupakan unit terkecil dengan prilaku penghuninya, akan terbentuk lingkungan permukiman yang sehat berwawasan lingkungan. Pengertian dari wawasan lingkungan adalah pandangan, yang tercermin dalam prilaku yang selalu mengupayakan hubungan yang serasi, antara manusia dan masyarakatnya dengan alam dan berbagai unsur buatannya. Dengan adanya hubungan yang serasi, pengembangan yang berkelanjutan dapat terus berlangsung (Kuswartojo, 1997).

Silas (2001) mengemukakan rumah yang berkelanjutan harus memenuhi lima syarat dasar yang dapat dinikmati oleh penghuni saat ini dan yang akan datang sebagai berikut.

1. Mendukung peningkatan produktifitas kehidupan penghuni baik secara sosial, ekonomi, dan politik. Artinya setiap anggota penghuni terinspirasi untuk melakukan tugas lebih baik.

2. Tidak menimbulkan gangguan lingkungan dalam bentuk apapun sejak pembangunan, pemanfaatan dan kelak bila harus dimusnahkan. Ukuran yang dapat digunakan terhadap lingkungan adalah efektifitas konsumsi energi. 3. Meningkatkan mobilitas kesejahteraan penghuninya secara fisik dan spiritual.

artinya penghuni mengalami terus peningkatan mutu kehidupan fisik dan spiritual.

4. Menjaga keseimbangan antara perkembangan fisik rumah dengan mobilitas sosial ekonomi penghuninya.

5. Membuka peran penghuni atau pemilik yang besar dalam mengambilan keputusan terhadap proses pengembangan rumah dan rukun warga tempat ia berinteraksi.

2.4. Daerah Aliran Sungai

Daerah aliran sungai (DAS) menggambarkan suatu wilayah yang mengalirkan air yang jatuh di atasnya beserta sedimen dan bahan larut melalui

(9)

titik yang sama sepanjang suatu alur atau sungai. Menurut Suripin (2002), secara umum DAS didefinisikan sebagai suatu wilayah, yang dibatasi batas alam, seperti punggung bukit atau gunung, dan dibatasi batas buatan, seperti jalan atau tanggul, tempat air hujan yang turun di wilayah tersebut memberi kontribusi aliran ke titik kontrol (outlet). Asdak (2004) mendefinisikan DAS sebagai suatu wilayah daratan

yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama. Wilayah daratan dinamakan daerah tangkapan air (DTA atau catchment area) yang merupakan ekosistem sebagai unsur utamanya yang

terdiri atas sumber daya alam (tanah, air, dan vegetasi) dan sumber daya manusia sebagai pemanfaat sumber daya alam.

Daerah aliran sungai terdiri atas unsur biofisik yang bersifat alami dan unsur-unsur non-biofisik. Unsur biofisik terdiri atas vegetasi, hewan, satwa liar, jasad renik, tanah, iklim, dan air, sedangkan unsur non-biofisik adalah manusia dengan berbagai ragam persoalannya, latar belakang budaya, sosial-ekonomi, sikap politik, kelembagaan, serta tatanan masyarakat itu sendiri.

Fungsi Daerah Aliran Sungai

Fungsi suatu DAS merupakan fungsi gabungan yang dilakukan oleh seluruh faktor yang ada pada DAS, seperti vegetasi, bentuk wilayah (topografi), tanah, dan manusia. Faktor-faktor tersebut jika mengalami perubahan, akan mempengaruhi ekosistem DAS. Menurut Asdak (2004), ekositem hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS. Perubahan tata guna lahan dan/atau pembuatan bangunan konservasi yang dilaksanakan di daerah hulu DAS tidak saja memberikan dampak di daerah tempat kegiatan tersebut berlangsung (hulu DAS), tetapi juga akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk penurunan kapasitas tampung waduk dan/atau pendangkalan sungai dan saluran-saluran irigasi yang pada gilirannya akan meningkatkan resiko banjir.

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Menurut Asdak (2004), pengelolaan DAS adalah suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumber daya alam

(10)

dan manusia yang terdapat di DAS untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya air dan tanah, diantaranya pencegahan banjir dan erosi, serta perlindungan nilai keindahan yang berkaitan dengan sumberdaya alam. Hal yang termasuk dalam pengelolaan DAS adalah identifikasi keterkaitan antara tata guna lahan, tanah, dan air serta keterkaitan antara hulu dan hilir suatu DAS.

Dalam pengelolaan DAS, tidak dapat dibatasi oleh batas-batas yang bersifat administrasi, karena kekuatan alam seperti banjir (aliran air), tanah longsor, dan erosi yang tidak mengenal batas. DAS merupakan suatu ekosistem yang di dalamnya terjadi suatu proses interaksi antara faktor-faktor biotik, non-biotik, dan manusia. Oleh karena itu, ekosistem DAS merupakan bagian yang penting karena memiliki fungsi perlindungan terhadap DAS. Aktivitas dalam DAS dapat menyebabkan perubahan seperti perubahan tata guna lahan, khususnya di daerah hulu, yang dapat memberikan dampak berupa fluktuasi debit air dan kandungan sedimen serta material yang terlarut di dalamnya.

Menurut Ilyas (1985), pengolahan DAS merupakan pengolahan tanah dan air, yang pengolahan tersebut dikatakan baik apabila penggunaan tanah dan air dilakukan secara rasional untuk mendapatkan manfaat yang optimum dan lestari dengan bahaya kerusakan sekecil-kecilnya. Pengaruh pengolahan ini akan tercermin pada ancaman banjir, keadaan aliran sungai pada musim kemarau dan kandungan sedimen sungai. Keseluruhan pengaruh tersebut akan mempengaruhi bagian kegiatan dan sektor kehidupan di hilir sungai.

2.5. Evaluasi Kesesuaian Lahan

Permukiman dapat diartikan sebagai perumahan atau kumpulan tempat tinggal. Untuk keperluan tersebut, diperlukan tanah untuk mendirikan bangunan baik sebagai tempat tinggal maupun bangunan lain seperti septik-tank, jalan,

tempat pembuangan sampah, dan lainnya. Tanah merupakan sumber daya fisik wilayah utama yang sangat penting sehingga sifat tanah sangat menentukan potensi untuk berbagai jenis penggunaan. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mengetahui potensi suatu lahan untuk penggunaan-penggunaan tertentu adalah evaluasi kesesuaian lahan. Tujuan evaluasi kesesuaian lahan secara

(11)

umum adalah menentukan nilai (kelas) suatu lahan untuk tujuan tertentu. Inti dari evaluasi lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan. Dengan cara ini akan diketahui potensi lahan atau kelas kesesuaian lahan untuk tipe penggunaan lahan tersebut (Hardjowigeno & Widiatmaka, 2004).

Teknik analisis kesesuaian lahan merupakan perpaduan dari tiga faktor yang ada dalam suatu area, yaitu lokasi, aktivitas pembangunan, dan biofisik/lingkungan. Teknik ini memungkinkan bagi seorang perencana dan pengambil keputusan untuk menganalisis interaksi yang terjadi dengan berbagai cara dan analisis tersebut dapat membantu dalam mengambil keputusan dan membuat kebijakan yang terkait dengan penggunaan lahan. (Miller et al., 1998).

Hasil evaluasi lahan digambarkan dalam bentuk peta sebagai dasar perencanaan tata guna tanah yang rasional, sehingga lahan dapat digunakan secara optimal dan lestari.

2.5.1. Klasifikasi Kesesuaian Lahan

Hasil pembandingan persyaratan dari tipe penggunaan lahan tertentu dengan kualitas lahan suatu satuan peta lahan menghasilkan suatu kelas kesesuaian lahan yang menunjukkan kesesuaian masing-masing satuan peta lahan untuk tipe penggunaan lahan tertentu. Kesesuaian lahan dapat dibagi menjadi empat kelas, yaitu S1 (sangat sesuai), S2 (cukup sesuai), S3 (sesuai marginal), dan N (tidak sesuai). Dalam mengambil keputusan untuk klasifikasi kesesuaian lahan menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2004), dapat digunakan berbagai cara seperti metode penghambat maksimum, metode parametrik dengan pemberian angka nilai untuk masing-masing faktor, kemudian dijumlahkan atau dikalikan dan sebagainya. Dengan metode yang berbeda tersebut sudah pasti akan menghasilkan kelas yang berbeda-beda pula. Pembagian kelas kesesuaian lahan sebagai berikut. (1). Kelas S1 (sangat sesuai), yaitu lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang

berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas bersifat minor dan tidak akan berpengaruh terhadap produktivitas lahan secara nyata.

(12)

pembatas ini akan berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan (input). Pembatas tersebut biasanya dapat diatasi oleh petani sendiri.

(3). Kelas S3 (sesuai marginal), yaitu lahan mempunyai faktor pembatas yang berat, dan faktor pembatas ini akan sangat berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan yang lebih banyak daripada lahan yang tergolong S2. Untuk mengatasi faktor pembatas pada S3 memerlukan modal tinggi sehingga perlu adanya bantuan atau intervensi pemerintah atau pihak swasta.

(4). Kelas N (tidak sesuai), yaitu lahan yang mempunyai faktor pembatas yang sangat berat dan atau sulit diatasi.

Penentuan kelas suatu lahan untuk perumahan (tempat tinggal) didasarkan pada kemampuan lahan sebagai penopang pondasi. Sifat lahan yang berpengaruh adalah daya dukung tanah dan sifat-sifat tanah yang berpengaruh terhadap biaya penggalian dan konstruksi. Hasil evaluasi lahan disajikan dalam bentuk peta dan laporan. Peta kesesuaian lahan dengan penjelasan penting dalam legenda merupakan penyajian yang paling efektif dari hasil evaluasi, sedangkan keterangan yang lebih detil disajikan dalam laporan.

2.5.2. Karakteristik Lahan

Karakteristik lahan mencakup faktor-faktor lahan yang dapat diukur atau ditaksir seperti kemiringan lereng, curah hujan, tekstur tanah, ketersediaan air, dan sebagainya (Hardjowigeno & Widiatmaka., 2001). Satu jenis karakteristik lahan dapat berpengaruh terhadap lebih dari satu jenis kualitas lahan, misalnya tekstur tanah dapat berpengaruh terhadap ketersediaan air, mudah tidaknya tanah diolah,dan kepekaan erosi.

Selanjutnya beberapa parameter yang menjadi kriteria kesesuaian lahan tempat tinggal dengan maksimum tiga lantai tanpa ruang bawah sebagai berikut. (1). Kemiringan lereng

Kemiringan lereng sangat berpengaruh terhadap longsor. Daerah dengan kemiringan lereng yang curam akan cenderung menjadi kritis jika tidak dilakukan penanganan yang mengikuti kaidah konservasi sehingga akan mengancam kestabilan lahan perumahan. Pembangunan perumahan pada tanah dengan lereng

(13)

yang curam membutuhkan konstruksi bangunan yang lebih kuat dan akibatnya biaya akan lebih besar. Hubungan antara kemiringan lereng dengan fungsi hidro-biologis adalah bahwa semakin kecil kemiringan lereng akan memperbesar kemungkinan air hujan untuk meresap ke dalam tanah. Selain itu, aliran air pada daerah datar cenderung lebih lambat dibandingkan dengan daerah curam sehingga kemungkinan timbulnya erosi kecil. Dengan demikian pengaruh daerah dengan lereng datar terhadap kemungkinan timbulnya gangguan kestabilan lahan permukiman semakin kecil. Menurut Zee (1990), parameter yang menjadi pembatas, yaitu sangat sesuai <10%, cukup sesuai 10-15%, sesuai marginal 15-20%, dan tidak sesuai >15-20%, sedangkan menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) kemiringan lereng yang baik < 8%, sedang 8-15%, dan buruk >15%. Selanjutnya Masykur (2005) mengemukakan kemiringan lereng akan berpengaruh pada faktor penambahan biaya pembangunan. Untuk lahan dengan kemiringan lereng 0-4% tidak perlu penambahan biaya, kemiringan lereng 5-10% perlu penambahan biaya sebesar 20%, kemiringan lereng 11-15% perlu penambahan 30%, dan kemiringan lereng >15% akan memerlukan penambahan biaya sebesar >40%. Dalam mengevaluasi kemiringan lereng yang digunakan sebagai faktor pembatas merupakan kombinasi menurut para ahli di atas, yaitu sangat sesuai memiliki kemiringan lereng <10%, cukup sesuai dengan kemiringan lereng 10-15%, sesuai marginal memiliki kemiringan lereng 15-20%, dan tidak sesuai dengan kemiringan lereng >20%.

(2). Bahaya Longsor

Bahaya longsor merupakan parameter yang penting dalam menentukan kesesuaian lahan untuk perumahan karena bahaya longsor dapat mempenaruhi tingkat kenyamanan, dan keamanan penghuni. Oleh karena itu lokasi lahan perumahan seharusnya terbebas dari ancaman longsor. Wilayah DAS Ciliwung secara umum memiliki katagori bahaya longsor, sehingga parameter bahaya longsor digunakan dalam evaluasi kesesuaian lahan perumahan. Menurut Bappeda Kabupaten Bogor (2007) bahaya longsor diklasifikasikan menjadi empat kelas yaitu: daerah bebas bahaya longsor (normal), potensi, bahaya, dan sangat bahaya

(14)

(3). Penggunaan Lahan

Fungsi utama kawasan Bopunjur sebagai konservasi air dan tanah kurang berfungsi sebagaimana mestinya akibat perkembangan pembangunan yang pesat dan kurang kendali. Penggunaan lahan, merupakan indikator penting dalam mengenali kondisi keseluruhan wilayah penelitian. Hal ini berkaitan dengan terpeliharanya daerah resapan air, pengurangan aliran permukaan, pengendalian erosi saat musim penghujan, dan mencegah kekeringan saat musim kemarau. Oleh karena itu, penggunaan lahan digunakan sebagai skala proporsi dengan mengelompokkan penggunaan lahan yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi lahan perumahan.

Penggunaan lahan terdiri atas 4 kelas, yaitu kelas sangat sesuai atau S1 berupa lahan permukiman, kelas sesuai atau S2 berupa lahan semak belukar dan rumput, kelas sesuai marjinal atau S3 berupa penggunaan lahan sebagai ladang, sawah, dan perkebunan teh, dan kelas tidak sesuai atau N berupa penggunaan lahan sebagai air dan hutan

2.6. Prilaku Manusia

Dahama dan Batnagar (1980) dalam Hidayati (1993), prilaku terbentuk melalui proses tertentu, yang pembentukannya senantiasa berlangsung dalam interaksi manusia dengan lingkungannya. Faktor-faktor yang berperan dalam pembentukannya adalah faktor internal dan eksternal. Faktor internal berupa kecerdasan, dorongan atau minat perhatiannya untuk mengolah pengaruh-pengaruh dari luar, sedangkan yang tergolong faktor eksternal adalah obyek, orang, kelompok dari hasil kebudayaan yang dijadikan sasaran dalam mewujudkan bentuk prilaku.

Batasan hubungan antara manusia dengan lingkungan hidup dapat dipahami dari pengertian lingkungan hidup yang tertera pada Undang-undang RI Nomor 4 tahun 1997, tentang ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup, yaitu lingkungan adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan prilakunya yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.

(15)

Berkaitan dengan tingkah laku, Bakker (1984) menyatakan, bahwa tingkah laku tidak hanya ditentukan oleh lingkungannya, tetapi juga sebaliknya, yaitu lingkungan ditentukan oleh tingkah laku. Kedua hal tesebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan ini merupakan hubungan dua arah atau sebagai ketergantungan ekologi.

Analisis prilaku masyarakat dilakukan dengan mengidentifikasi prilaku masyarakat dalam merespon lingkungan atau penilaian keberlanjutan masyarakat dalam mengelola lingkungan. Dengan kata lain, bagaimana seseorang dapat mengelola lingkungan agar dapat memberdayakan dirinya sendiri dan masyarakat sekitarnya sehingga kualitas lingkungan terjaga dan lingkungan perumahan menjadi sehat.

Parameter prilaku masyarakat yang digunakan ditinjau dari beberapa aspek, antara lain.

1. Kondisi Sosial Ekonomi

Parameter yang digunakan untuk menilai keberlanjutan dari kondisi sosial-ekonomi pada perumahan adalah.

a. Jumlah anggota keluarga

Jumlah anggota keluarga merupakan anggota yang tinggal dalam pengelolaan sumber daya keluarga, yang terdiri atas bapak, ibu, anak, dan anggota keluarga lainnya. Berdasarkan kriteria norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera yang dikemukakan oleh BKKBN (2002) besar keluarga dibagi dalam tiga kelompok, yaitu keluarga kecil ≤ 4 orang (bapak, ibu, dan dua anak), keluarga sedang terdiri atas 5-6 orang, dan keluarga besar terdiri atas ≥ 7 orang. Jumlah anggota keluarga terkait dengan jumlah kebutuhan ruang yang diperlukan pada rumah sehingga berpengaruh pada tingkat kenyamanan penghuni.

b. Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan dapat menggambarkan kemampuan kognitif. Pendidikan mempunyai pengaruh yang besar baik untuk rumah tangga maupun untuk masyarakat sekitarnya. Semakin tinggi pendidikan kepala rumah tangga (KRT) semakin baik pengetahuannya mengenai perumahan atau tempat tinggalnya, khususnya kesehatan pribadi dan lingkungan sehingga berpengaruh langsung dalam menentukan kualitas rumah yang ditempati

(16)

(BPS, 2006). Hal ini sejalan dengan pendapat Susanto (1997), semakin tinggi tingkat pendidikan formal akan semakin luas tingkat pengetahuan seseorang untuk melakukan pengelolaan permukiman lebih baik.

c. Umur responden

Umur merupakan salah satu identitas yang dapat mempengaruhi pola fikir dan kemampuan kerja (Purwanti, 2007).

d. Jenis pekerjaan dan jumlah pendapatan

e. Kondisi kesehatan, meliputi luas bangunan, pencahayaan dan penghawaan, fasilitas air bersih dan air kotor, pembuangan limbah padat dan cair, serta pembuangan sampah.

2. Aspek Budaya dan Prilaku

Parameter yang digunakan dalam menilai keberlanjutan dari aspek budaya dan prilaku adalah.

a. Kearifan lokal (tipe bangunan, pemakaian bahan bangunan, konstruksi bangunan).

b. Prilaku masyarakat dalam menjaga dan melestarikan lingkungan. 2.7. Sistem Informasi Geografis

Sistem informasi geografi (SIG) merupakan teknologi untuk penanganan data spasial. SIG terdiri atas perangkat keras dan perangkat lunak komputer yang mampu menangkap, menyimpan dan memproses informasi spasial berupa data kualitatif dan kuantitatif, menyatukan, dan menginterpretasi peta (Farina, 1998). Menurut Star dan Estes (1990), SIG merupakan suatu sistem informasi yang menggunakan data referensi berupa spasial (koordinat geografi) dan non spasial. SIG umumnya dipergunakan untuk bidang pekerjaan perencanaan kota dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan bidang lainnya. SIG merupakan penggantian peta-peta yang terbuat dari kertas ke file-file yang ditampilkan di layar komputer. Proses penyusunan SIG meliputi pengumpulan data dalam berbagai bentuk, pemasukan data, pengelolaan data, pengolahan dan analisis, dan terakhir berupa hasil produk.

Aplikasi SIG selain untuk menyimpan data, mengorganisir dan menganalisis, mengkombinasi dan menampilkan informasi geografinya, juga

(17)

dapat membuat berbagai model (seperti rupa bumi, DAS, dan sistem pertanian), bahkan simulasi yang sesuai dengan kebutuhan. Menurut Foote and Lynch (1996), tiga hal penting yang dimiliki oleh SIG, yaitu (1) SIG berhubungan dengan berbagai aplikasi database lainnya dengan menggunakan geo-reference sebagai

dasar utama dalam proses penyimpanan dan akses informasi, (2) SIG merupakan sebuah teknologi yang terintegrasi karena dapat menyatukan berbagai teknologi geografi yang ada seperti penginderaan jauh, Global Positioning System (GPS),

dan Computer-Aided Design (CAD), dan (3) SIG dapat membantu dalam proses

pengambilan keputusan, bukan hanya dilihat sebagai sistem perangkat keras/lunak. Selanjutnya Cabuk (1995) menyatakan penggunaan SIG dalam studi perencanaan lanskap dua dimensi berdasarkan data dan analisis lingkungan alami, budaya, sosial-ekonomi, dan data demografi merupakan jalan terbaik. Dengan SIG dapat ditentukan penggunaan lahan yang sesuai dengan daya dukung dan kondisi kehidupan masyarakatnya.

Referensi

Dokumen terkait

Pertemuan ini dilakukan agar tidak terjadi overproduction yang disebabkan produksi baterai secara berlebih atau melebihi permintaan customer dan juga mengurangi

Berikut adalah tingkat kualitas pelayanan dan standar pelayanan gangguan UPJ PLN Cimahi Kota yang telah ditetapkan dalam rangka meningkatkan pelayanan terhadap kepuasan

Tujuan penelitian ini: (1) mengetahui self efficacy pada siswa kelas XII di SMAI Al-Maarif Singosari, (2) mengetahui orientasi masa depan pada siswa kelas XII di SMAI Al-Maarif

Hasil Identifikasi struktur menunjukkan hasil isolasi merupakan golongan terpenoid dari batang Irvingia malayana pada ekstrak etil asetat dan termasuk golongan

18 • Unsur ekstrinsik berkaitan dengan unsur dari luar yang ditemukan dalam naskah drama Dom Juan,yaitu berkaitan dengan wacana sekularisme dalam perwatakan tokoh utama

 HCV juga dapat menular seksual dan dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi kepada bayinya;  Hepatitis c tidak ditularkan melalui asi, makanan atau air atau melalui kontak

Lokasi yang berada di Kabupaten Bantul dengan Kecamatan Kasihan sebagai wilayah sampel yang dianalisis bentuk kesesuaian lahan pertanaman tebunya dapat menjadi

Dengan nilai rataan sebesar 4,62 menunjukkan sebagian besar karyawan membenarkan pernyataan bahwa perusahaan menempatkan K3 sebagai prioritas utama dalam bekerja hal