• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peta Jalan Perjuangan Perempuan Menuju Pemilu Serentak 2019

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Peta Jalan Perjuangan Perempuan Menuju Pemilu Serentak 2019"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Peta Jalan Perjuangan Perempuan Menuju Pemilu Serentak 2019

Pengantar

Selasa, 14 Juli 2017 Presiden Republik Indonesia Joko Widodo secara resmi menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Perpres Sustainable Development Goals SDGs). Tidak tanggung-tanggung keseriusan Indonesia untuk mencapai Agenda 2030 sangat nampak dengan ditempatinya posisi steering committee secara langsung oleh Presiden Joko Widodo.

Dari 17 tujuan pembangunan berkelanjutan, “gender equality” menjadi salah satu tujuan yang salah satu turunannya ialah kesetaraan gender dalam bidang politik. Sejauh ini keran partisipasi politik perempuan untuk ikut serta dalam bursa pemilihan jabatan publik memang sudah dibuka. Affirmative action 30% dalam pencalonan perempuan di Pemilu juga sudah diberlakukan. Namun demikian, sampai dengan Pemilu 2014 keterwakilan perempuan di DPR masih belum mencapai 30%.

Masih banyak persoalan yang dihadapi oleh perempuan dalam pemilu: Pertama, model rekrutmen di internal partai politik masih dilakukan secara tertutup. Kedua, perempuan masih dihadapkan dengan konstruksi sosial partriarki yang menyulitkan ruang gerak perempuan untuk ikut serta dalam proses politik. Ketiga, dalam proses penyelenggaraan pemilu baik calon anggota legislatif maupun eksekutif perempuan rentan akan dicurangi oleh lawan mainnya.

Berangkat dari persoalan tersebut, Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) bekerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA), Maju Perempuan Indonesia, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dan Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), berusaha untuk memetakan persoalan-persoalan apa yang dihadapi oleh perempuan sekaligus merumuskan agenda kerja bersama untuk mencapai Goals 5 SDGs untuk mendorong keterwakilan perempuan 30% di Pemilu Serentak 2019.

Untuk itu pada hari Jumat, 24 Agustus 2017 dilangsungkan focus group discussion yang bertajuk “Peran Kontributif Perempuan Politik Dan Masyarakat Sipil Dalam Pencapaian Keterwakilan Perempuan dalam Rangka Mengimplementasikan Perpres No. 59 Tahun 2017 Tentang Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)”. Dalam FGD ini kurang lebih terdapat 30 orang tokoh yang memiliki semangat dan tujuan bersama untuk mencapai kesetaraan gender. Berdasarkan dari pertemuan tersebutlah lahir tulisan ini sebagai rumusan tahapan agenda bersama mendorong dan mengawal pencapaian 30% keterwakilan perempuan di Pemilu Serentak 2019.

Tonggak Gerakan Afirmasi

Tumbangnya rezim otoritarian orde baru menjadi titik awal perjuangan affirmative action dalam rangka meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen. Menjelang penyelenggaraan Pemilu 1999, di Yogyakarta berlangsung Kongres Perempuan yang salah satunya memunculkan gagasan kebijakan afirmasi dalam bentuk kuota keterwakilan perempuan di parlemen. Sebagian besar peserta yang hadir dalam

(2)

kongres tersebut memandang, ditengah struktur dan konstruksi sosial masyarakat Indonesia yang patriarki, perempuan akan sulit masuk ke dalam institusi formal negara di tengah penyelenggaraan pemilu ala kompetisi pasar bebas (Dokumen Laporan Kongres Perempuan Indonesia, Yogyakarta 14-17 Desember 1998 dalam Supriyanto, 2010, hal. 56-57). Dari sinilah kemudian kebijakan afirmasi melalui mekanisme kuota 30% dianggap sebagai salah satu sarana meminimalisir pasar persaingan bebas untuk meraih kursi legislatif.

Namun demikian, Tim Tujuh yang ditugaskan untuk merancang paket undang-undang politik yang salah satunya undang-undang-undang-undang pemilu berpandangan lain terhadap usulan mekanisme kuota perempuan 30%. Sebagian besar Tim Tujuh beranggapan sistem pemilu majoritarian menjadi pilihan tepat untuk menciptakan stabilitas dan efektivitas pemerintahan. Padahal sebagian besar kebijakan afirmasi mampu berjalan di tengah sistem pemilu proposional yang menyediakan kursi lebih dari satu dalam satu daerah pemilihan. Sehingga peluang perempuan untuk terpilih lebih terbuka dibandingkan sistem pemilu majoritarian yang hanya menyediakan satu kursi dalam satu daerah pemilihan.

Walapun sistem pemilu proposional pada akhirnya tetap dipertahankan akibat sistem majoritarian di tolak DPR. UU No. 2 Tahun 1999 yang menjadi aturan main Pemilu 1999, hadir tanpa kebijakan afirmasi kuota 30%. Hal ini karena dua hal: Pertama, adanya perbedaan cara pandang terhadap kebijakan afirmasi di internal kelompok perempuan yang berdampak pada ketidaksiapan tawaran konsep. Kedua, adanya sikap politik untuk mempertahankan diri dari anggota DPR yang melihat adanya ancaman kehadiran pesaing baru. Alhasil sistem pemilu proposional daftar tertutup hadir tanpa kebijakan afirmasi di Pemilu 1999 dan menempatkan 45 orang perempuan dari 500 kursi DPR yang tersedia.

Perjuangan awal untuk mendorong kebijakan afirmasi tidak hanya berhenti pada undang-undang pemilu semata. Ketika amandemen Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, sebagian besar kelompok perempuan mendorong adanya kebijakan afirmasi dalam amandemen ini. Hasilnya, Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”, menjadi ketentuan konstitusi yang mendorong kebijakan afirmasi.

Menjelang Pemilu 2004 yang bertepatan dengan kembali direvisinya UU No. 7 Tahun 1999, koalisi perempuan kembali mendorong dicantumkannya aturan afirmasi dengan mengusulkan adanya reserved seat. Usulan ini dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi yang memberi hak untuk berpartisipasi secara setara. Dengan kata lain, panitia khusus RUU Pemilu menganggap usulan reserved seat ini cenderung diskriminatif sehingga usulan ini ditolak. Meski demikian, usulan untuk kuota pencalonan 30% diterima dengan rumusan menghilangkan kata “wajib” menjadi “memperhatikan”: “Setiap Partai Politik dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.” (Pasal 65 ayat 1).

(3)

Masuknya aturan main pencalonan 30% sedikit banyak berpengaruh terhadap keterwakilan perempuan dengan bertambahnya jumlah anggota DPR perempuan dari 45 orang menjadi 65 orang dari 550 kursi DPR yang tersedia. Angka ini tentunya masih jauh dari critical mass 30% jumlah anggota DPR. Untuk itu menjelang Pemilu 2009 koalisi perempuan kembali ikut serta memberikan masukan dalam perumusan revisi UU No. 12 Tahun 2003. Berbeda dengan advokasi kebijakan sebelum-sebelumnya, gerakan perempuan cenderung lebih siap dengan melakukan kajian-kajian yang berkaitan dengan korelasi antara sistem pemilu dengan keterwakilan perempuan.

Pemerintah berada pada posisi untuk tidak merubah ketentuan keterwakilan perempuan layaknya Pasal 65 UU No. 12 Tahun 2003. Pokja perempuan mengusulkan tiga aspek sekaligus yakni: Pertama, berusaha mendorong sekaligus menekan partai politik untuk bersungguh-sungguh dalam menjalankan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam pencalonan di setiap daerah pemilihan. Komitmen partai politik ini harus dituangkan dalam surat dan jika tidak memenuhi ketentuan pencalonan 30% di setiap dapil akan mendapatkan sanksi yaitu tidak dapat mengikuti pemilu di daerah pemilihan yang bersangkutan. Kedua, Pokja Permpuan mengusulkan perubahan alokasi kursi per daerah pemilihan tetap 3-12 kursi seperti Pemilu 2004, yang membuka ruang keterpilihan perempuan lebih tinggi dibandingkan memperkecil dapil. Ketiga, dalam penetapan calon terpilih Pokja Perempuan tidak sepakat dengan mekanisme suara terbanyak dan menggantinya dengan 5% BPP. Jika calon anggota legislatif perempuan memperoleh suara lebih dari 5% BPP, maka berhak mendapatkan prioritas menjadi calon terpilih.

Perdebatan terjadi butir ketiga usulan pokja perempuan. Pada 28 Februari 2009, rapat paripurna yang semula dijadwalkan untuk mengesahkan RUU Pemilu tidak mampu mencapai kata sepakat. Sebagian besar fraksi bersepakat untuk menetapkan angka 30% BPP untuk penetapan calon terpilih. Dalam hal ini caleg harus melampaui angka 30% jika ingin memperoleh kursi berbasiskan suara yang diperoleh individual caleg. Jika tidak melampaui angka ini, maka penetapan calon terpilih berdasarkan nomor urut caleg yang sudah ditetapkan oleh partai politik. Hingga pada akhirnya, 3 Maret 2008 hasil voting bersepakat untuk mengukuhkan mekanisme ini di Pemilu 2009. Pada nyatanya sebelum diterapkan di Pemilu 2009, Mahkamah Konstitusi membatalkan mekanisme ambang batas penetapan calon terpilih ini. Dalam putusannya, MK berpandangan bahwa Pasal 214 UU 10/2008 inkonstitusional karena bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 yang memberikan ruang keadilan dan kedaulatan bagi rakyat melalui pilihan politiknya di atas surat suara. Untuk itu MK memutuskan untuk menghapus ketentuan ini. Sehingga Pemilu 2009 menjadi pemilu pertama dengan sistem pemilu proposional daftar terbuka murni dengan mekanisme penatapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak.

Menjelang Pemilu 2014 upaya untuk meningkatkan keterwakilan perempuan kembali menjadi fokus bahasan dari gerakan perempuan. Akan tetapi UU No. 8 Tahun 2012 yang menjadi payung hukum Pemilu 2014 tidak merubah pasal yang mengatur kuota 30% pencalonan perempuan di setiap daerah pemilihan. Namun KPU memaksimalkan kewenangan yang ia miliki sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang bertugas untuk menerjemahkan UU Pemilu kedalam Peraturan KPU (PKPU) untuk

(4)

mendorong peningkatkan keterwakilan perempuan dengan membuat ketentuan sanksi bagi partai politik yang tidak memenuhi kuota 30% pencalonan perempuan. PKPU No. 7 Tahun 2013 mengatur lebih jauh ketentuan ini. Jika partai politik tidak menyertakan pencalonan perempuan sebanyak 30% dalam satu dapil, maka konsekuensi yang patut diterima oleh partai politik tersebut ialah dilarang ikut serta dalam pemilu di daerah pemilihan yang tidak memenuhi kuota 30% tersebut. Faktanya angka keterwakilan perempuan justru menurun dari 101 anggota DPR perempuan hasil Pemilu 2009, menjadi 97 setara dengan 17%.

Di tengah realitas menurunnya angka keterwakilan perempuan, momentum pembahasan RUU Pemilu Serentak 2019 tidak disia-siakan oleh gerakan perempuan untuk menata ulang ketentuan pencalonan perempuan. Berbeda dengan tawaran usulan sebelumnya, ketika menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) antara Pansus RUU Pemilu dengan beberapa kelompok gerakan perempuan (MPI, KPPI, GSSP), kelompok perempuan mengusulkan untuk menambah ketentuan pencalonan perempuan di nomor urut 1 di 30% daerah pemilihan. Argumentasinya ialah, meski nomor urut dalam pemilu proposional daftar terbuka tidak memiliki konsekusien dalam penetapan calon terpilih layaknya proposional daftar tertutup, namun pemilih Indonesia masih memiliki anggapan bahwa kandidat yang ditempatkan pada nomor urut 1 ialah yang terbaik dan cenderung banyak dipilih. Diluar dugaan kelompok perempuan, ketika RDPU berlangsung terdapat salah satu anggota Pansus RUU Pemilu yang menawarkan mekanisme reserved seat untuk mangartikulasikan peningkatkan keterwakilan perempuan. Tawaran ini sedikit banyak disambut baik oleh kelompok perempuan yang hadir dalam RDPU tersebut. Tetapi faktanya sampai UU No. 7 Tahun 2017 tentang pemilu selesai, tidak ada pasal keterwakilan perempuan yang berubah. Sehingga untuk Pemilu 2019 nanti aturan main pencalonan masih serupa yakni 30% pencalonan perempuan di setiap daerah pemilihannya.

Konstruksi UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum

UU No. 7 Tahun 2017 tentang pemilu tidak hanya mengatur soal penyelenggaraan pemilu legislatif, melainkan pemilu presiden dan wakil presiden. Payung hukum permilu serentak 2019 ini merupakan hasil kodifikasi dari tiga undang-undang pemilu yang ada: UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden, UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, dan UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif. Terdapat beberapa ketentuan yang mengatur soal keterwakilan perempuan dalam undang-undang ini diantaranya sebagai berikut:

1. Pasal 10 ayat (7) Komposisi keanggotaan KPU, keanggotaan KPU provinsi, dan keanggotaan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 3O%;

2. Pasal 22 ayat (1) Presiden membentuk keanggotaan tim seleksi yang berjumlah paling banyak 11 (sebelas) orang anggota dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%;

3. Pasal 52 ayat (3) Komposisi keanggotaan PPK memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%;

4. Pasal 55 ayat (3) Komposisi keanggotaan PPS memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%;

(5)

5. Pasal 59 ayat (4) Komposisi keanggotaan KPPS memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%;

6. Pasal 92 ayat (11) Komposisi keanggotaan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%;

7. Pasal 173 ayat (2) huruf e menyertakan paling sedikit 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat; (Partai politik menjadi peserta pemilu)

8. Pasal 245: Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen).

9. Pasal 246 ayat (2): Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat paling sedikit 1 (satu) orang perempuan bakal calon.

a. Penjelasan Pasal 246 Dalam setiap 3 (tiga) bakal calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1, dan/atau 2, dan/atau 3 dan demikian seterusnya, tidak hanya pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya. 10. Pasal 249 ayat (2): Dalam hal daftar bakal calon tidak memuat keterwakilan

perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen), KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memberikan kesempatan kepada partai politik untuk memperbaiki daftar bakal calon tersebut.

11. Pasal 252 ayat (6): KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon sementara partai politik masing-masing pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik nasional.

12. Pasal 257 ayat (2): KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap partai politik masing-masing pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik nasional.

Sustainable Development Goals

Disepakati saat pertemuan dunia pada tanggal 25 September 2015, Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan (the 2030 Agenda for Sustainable Development atau SDGs) adalah kesepakatan pembangunan global baru untuk periode 2016-2030 yang mendorong perubahan ke arah pembangunan berkelanjutan yang berdasarkan hak asasi manusia dan kesetaraan untuk mendorong pembangunan sosial, ekonomi dan lingkungan hidup.

Pelaksanaan pencapaian SDGs menekankan pentingnya pelaksanaan prinsip-prinsip universal, integrasi, inklusivitas serta meyakinkan bahwa tidak akan ada seorang pun yang terlewatkan atau “No-one Left Behind" melalui pelibatan seluruh pemangku kepentingan yang terbagi dalam 4 platform partisipasi, yaitu: Pemerintah dan Parlemen; Filantropi dan Pelaku usaha; Organisasi Kemasyarakatan dan Media; serta Akademisi dan Pakar.

Tanggal 2 Agustus 2015, pengesahan 17 SDGs menjadi tonggak baru komitmen masyarakat internasional pada agenda pembangunan global untuk meneruskan pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) yang berakhir pada tahun 2015

(6)

lalu. Dari 17 tujuan pembangunan dan 169 target, memuat diantaranya poin ke-5 terkait dengan kesetaraan gender (gender equality) sebagai tujuan global untuk mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan kaum perempuan. Dalam tujuan ke-5 yang terdiri atas 5 sasaran global, salah satu yang menjadi poin penting adalah pada poin ke-4 “menjamin partisipasi penuh dan efektif, dan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk memimpin di semua tingkat pengambilan keputusan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan masyarakat”. Poin ke-4 ini kemudian diturunkan dalam sasaran nasional RPJMN 2015-2019 Indonesia : Meningkatnya keterwakilan perempuan di DPR.

Sasaran nasional RPJMN ini didasarkan pada kenyataan bahwa persentase kursi yang diduduki oleh perempuan di parlemen nasional masih rendah (Hasil Pemilu 2014: 17%). Perempuan yang keberadaan secara jumlah populasi melebihi jumlah laki-laki namun belum memiliki jumlah “wakil” yang seimbang dengan jumlah penduduk perempuan di Indonesia. Padahal perempuan perlu mewakili kelompoknya, karena keikutsertaan mereka di badan pengambilan keputusan akan turut memengaruhi dinamika dan membawa perubahan bagi perempuan itu sendiri.

Menakar Karakter Partai Politik Terhadap Keterwakilan Perempuan

Sebagai intermediary agent yang menghubungkan antara negara dengan warga negara, partai politik memiliki karakter ideologi, program, pengorganisasian partai politik yang berbeda satu sama lain termasuk soal keterwakilan perempuan. Hampir semua partai politik memiliki pengorganisasian khusus perempuan tersendiri dalam struktur kepartaian ataupun dalam bentuk sayap partai.

Ada tiga hal yang melatarbelakangi mengapa partai politik membentuk bidang khusus perempuan dalam struktur kepartaian ataupun organisasi sayap partai perempuan: Pertama, sebagai sarana untuk menjawab kebutuhan akan representasi politik perempuan. Dalam hal ini, bidang khusus perempuan dalam struktur kepartaian ataupun ogranisasi sayap partai menjadi lumbung rekruitmen partai politik secara khusus bagi perempuan yang akan mencalonkan di eksekutif maupun legisilatif yang memiliki ketentuan affirmative action 30% pencalonan perempuan dalam pemilu legislatif. Kedua, institusionalisasi kepartaian dalam rangka penguatan pengakaran partai (party rooting) terutama dikalangan penduduk dan pemilih perempuan. Ketiga, dibentuknya bidang khusus perempuan dalam struktur partai menjadi sarana agregasi sekaligus artikulasi kebijakan partai politik yang berkaitan dengan isu-isu perempuan.

Meski demikian, latar belakang pertama yang berkaitan dengan rekrutmen politik perempuan nampaknya memiliki peran sentral dan memengaruhi dua latar belakang lainnya. Jawaban akan pelembagaan partai dan perluasan konstituen sampai dengan formulasi kebijakan partai yang pro perempuan, tentunya akan sangat tergantung pada keberadaan perempuan itu sendiri di dalam partai dan di pemerintahan. Sehingga pertanyaanya bagaimana partai politik melakukan rekrutmen politik terhadap perempuan?

Tabel Divisi Perempuan dan Organisasi Sayap Perempuan Partai

(7)

Golkar Kesatuan Perempuan Partai Golkar (KPPG)

Hanura Perempuan Hanura

PAN Perempuan Amanat Nasional (Puan)

Demokrat Perempuan Demokrat Republik Indonesia Gerindra Perempuan Indonesia Raya (PIRA)

PDIP Departemen Bidang Kesehatan Perempuan dan Anak PKB Pergerakan Perempuan Kebangkitan Bangsa (PPKB) Nasdem Garda Wanita Malahayati (Garnita Malahayati)

PPP Wanita Persatuan Pembangunan (WPP)

PBB Parti Pesaka Bumiputera Bersatu

PKS Departemen Bidang Perempuan dan Ketahanan Keluargan Masing-masing partai politik tentunya memiliki corak dan model rekrutmen politiknya masing-masing sesuai dengan garis haluan partainya. Namun demikian, undang-undang partai politik (UU 2/2011) dan undang-undang pemilu (UU 7/2017) sedikit mengintervensi fungsi rekrutmen ini dengan memerintahkan setiap partai politik untuk melakukan rekrutmen secara demokratis dan terbuka sesuai AD dan ART partai politik. Akan tetapi model rekrutmen demokratis itu sendiri tidak dijelaskan seperti apa tata cara dan bentuknya.

Ada dua indikator dasar secara umum paling tidak terdapat dua model rekrutmen politik yang terbuka dan demokratis: Pertama, rekrutmen politik dilakukan dengan cara praimary election atau pemilihan pendahuluan. Model ini menggunakan mekanisme pemungutan suara untuk memilih memilih kader partai yang akan dicalonkan secara resmi oleh partai dalam pemilu eksekutif atau legislatif. Sehingga bagi kader yang memperoleh suara terbanyak yang akan dicalonkan. Ada dua jenis primary election yakni terbuka dan tertutup. Pemilihan pendahuluan terbuka dilakukan tidak hanya oleh kader partai melainkan masyarakat umum diperkenankan untuk memberikan suaranya. Sedangkan tertutup, hanya kader partai saja yang berhak memberikan suara untuk memilih kader partai yang akan dicalonkan.

Kedua, rekrutmen politik dilakukan dengan cara konvensi atau musyawarah. Model ini biasanya dilakukan sesuai dengan tingkat kepungurasan partai yang disesuaikan dengan level pemilu. Sebagai contoh, dalam penentuan calon kepala daerah maka pengurus partai di level provinsi atau kabupaten/kota akan melakukan konvensi untuk menentukan kandidat mana yang akan dicalonkan oleh partai tersebut di pilkada. Begitu pula dengan pemilu legislatif yang proses konvensinya dilakukan sesuai dengan tingkatan mulai dari pemilihan caleg DPRD di level Kabupaten/Kota/Provinsi, sedangkan DPR dilakukan konvensi ditingkat kepengurusan partai pusat.

(8)

Meski demikian, selama ini dari pemilu ke pemilu rekrutmen politik seringkali menjadi urusan dapur partai yang sulit untuk ditelaah lebih jauh keberadaanya.

Karakteristik Partai Politik

1. Partai Nasional Demokrat (Nasdem)

Partai Nasdem memiliki organisasi sayap perempuan, Garda Wanita Malahayati (Garnita Malahayati). Dalam menghadapi Pemilu, Nasdem membentuk Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) termasuk untuk rekrutmen caleg dari mulai pendaftaran, seleksi administrasi, hingga survey caleg. Penjaringan bacaleg perempuan Nasdem salah satunya adalah berasal dari organisasi sayap perempuan partai sebagai kader yaitu Garnita Malahayati dan melakukan rekrutmen bacaleg secara terbuka (non kader). Untuk memenuhi keterwakilan perempuan, Nasdem melakukan beberapa strategi yaitu dengan meringankan syarat bagi perempuan, memberikan bantuan bagi caleg perempuan, dan tidak memungut biaya dari caleg perempuan yang ingin maju. Di dalam AD/ART Partai Nasdem, belum mengatur secara jauh pencalonan caleg untuk perempuan, dan penentuan perempuan di nomor urut kecil. AD/ART Nasdem baru mengakomodir keterwakilan 30% perempuan di kepengurusan DPP, DPW, DPD, DPC, dan tingkat ranting.

2. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)

Dalam menghadapi Pemilu, rekrutmen caleg perempuan berasal dari organisasi sayap perempuan partai yang dimiliki oleh PKB yaitu Pergerakan Perempuan Kebangkitan Bangsa (PPKB), dan juga dari organisasi kultural yang dimiliki oleh PKB yaitu Nahdatul Ulama, Muslimat, Fatayat, PMII (sebagai kader PKB) dan juga penunjukan figure popular dan profesional. Sedangkan proses seleksi dilakukan oleh pengurus (dewan syuro). Beberapa kebijakan afirmasi yang sudah diakomodir oleh PKB adalah mengikutsertakan perempuan dalam struktur kepengurusan partai minimal 30% di semua tingkatan. Pada Simposium Nasional PKB pada 11 November 2008, terdapat 3 agenda yang diusung partai menyangkut perempuan yaitu 1. Agenda penghapusan oligarki partai, demokratisasi di dalam parpol, penerapan system meritokrasi di dalam internal

(9)

partai. 2. Mempelopori keterwakilan perempuan di dalam politik baik di internal maupun dalam lembaga legislative. 3. PKB mengusung agenda perempuan, anak-anak, pemuda dan kelompok marjinal. Bahwa negara akan memberdayakan kelompok perempuan, anak, pemuda dan kelompok terpinggirkan dengan menyediakan wahana untuk pengembangan mereka.

3. Partai Keadilan Sejahtera (PKS)

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tidak memiliki organisasi sayap perempuan secara khusus, namun memiliki departemen yang membawahi perempuan yaitu Bidang Perempuan dan Ketahanan Keluarga. Adapula organisasi PKS yang bersifat kultural seperti misalnya Organisasi Massa Persaudaraan Muslimah (Salimah). Secara de jure, organisasi ini tidak memiliki afiliasi dengan PKS, namun Salimah erat kaitannya dengan PKS secara kultural. Dalam proses penjaringan caleg, PKS membentuk Lembaga Pelaksana Penokohan Kader (LPPK) yang melibatkan seluruh wakil dari setiap divisi, termasuk ketua dan wakil ketua divisi bidang perempuan dan ketahanan keluarga (caleg PKS 90% merupakan kader partai). Disinilah proses penentuan pencalonan, penentuan nomor urut, dan penentuan dapil caleg. Proses pencalonan caleg perempuan pada awalnya dimulai dengan rapat di bidang perempuan berkaitan dengan siapa yang akan diproyeksikan menjadi caleg di 2019 lalu nama-nama yang sudah terdaftarakan di bawa ke LPPK untuk diperjuangkan nomor urutnya dan ditentukan daerah pemilihannya. Disinilah proses penentuan caleg perempuan mana yang akan dicalonkan, dengan nomor urut berapa, dan di dapil mana caleg tersebut akan berkontestasi. Meskipun ada pemilihan bakal calon oleh kader dan simpatisan partai, namun tetap diputuskan oleh Dewan Syuro dan pengurus partai. Di dalam AD ART partai pasal 28 sebetulnya berkomitmen untuk melakukan rekrutmen jabatan politik Caleg melalui proses penjaringan dan penyaringan dengan memperhatikan : jenjang keanggotaan, kapabilitas dan profesionalitas, dan keterwakilan perempuan.

4. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)

PDIP tidak memiliki organisasi sayap perempuan namun memiliki Departemen Bidang Kesehatan Perempuan dan Anak yang bertugas untuk menyusun kebijakan strategis partai berkaitan dengan kesehatan, dan perlindungan terhadap perempuan dan anak. PDIP melakukan perekrutan caleg dari kader yang sudah dibina dan non-kader dengan scoring kader lebih besar. Seleksi caleg berjenjang namun keputusan akhir berada di tangan ketua umum melalui hasil scoring dan instruksi ketua umum partai. Adapun kebijakan afirmasi yang sudah dilakukan oleh PDIP, baru terkait dengan komposisi dan struktur 30% DPP dan DPD yang wajib memperhatikan keterwakilan perempuan. Belum ada komitmen partai untuk menempatkan perempuan di nomor urut kecil.

(10)

5. Partai Golongan Karya (Golkar)

Partai Golkar memiliki organisasi sayap perempuan partai yaitu Kesatuan Perempuan Partai Golkar (KPPG). Dalam rekrutmen caleg, Partai Golkar secara nasional memiliki enam sumber rekrutmen, diantaranya adalah 1) Kepengurusan partai golkar seluruh tingkatan, 2) Anggota fraksi Partai Golkar DPR RI, DPRD provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan anggota DPD RI, 3) Organisasi kemasyarakatan pendiri dan didirikan Partai golkar, 4) Organisasi sayap partai golkar, 5) Pengurus badan dan lembaga yang dibentuk partai golkar, 6) Tokoh masyarakat (tokoh agama, akademisi, budayawan, professional dan lainnya yang memiliki kompetensi dan popularitas). Dapat dikatakan bahwa 95% pencalonan merupakan kader partai. Keterwakilan perempuan dalam hal ini dapat disupport oleh KPPG sebagai organisasi sayap perempuan. Untuk perempuan itu sendiri, sumber rekrutmen terdiri dari departemen perempuan dan organisasi sayap perempuan. Seleksi calon dilakukan berjenjang oleh ketua, sekjen, dan Badan Pemenangan Peilu (Bappilu). Adapun terkait dengan penentuan nomor urut caleg dalam ketentuan DPP didasarkan pada memperhatikan keterwakilan perempuan 30%, berdasarkan pada kader muda, dan didasarkan pada pengurus aktif. Namun Golkar sendiri belum berkomitmen untuk menempatkan perempuan pada nomor urut yang strategis.

6. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)

Partai Gerindra sudah memiliki organisasi sayap perempuan, Perempuan Indonesia Raya (PIRA). Dalam rekrutmen caleg, Partai Gerindra melakukan penjaringan calon dari kader dan non kader. Untuk kader perempuan, sumber rekrutmen salah satunya adalah dari oraganisasi sayap perempuan partai (PIRA). Seleksi caleg dilakukan secara berjenjang, namun Ketua umum partai turut menentukan hasil akhir dari proses pencalonan. Berkaitan dengan kebijakan afirmasi yang telah dilakukan oleh Gerindra, baru berkaitan dengan pengurus harian DPD yang memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya (30%) dan pencalonan caleg perempuan sekurang-sekurang-kurangnya 30%, belum ada komitmen untuk menempatkan perempuan di nomor urut kecil.

7. Partai Demokrat

Partai Demokrat memiliki organisasi sayap perempuan partai yaitu Perempuan Demokrat Republik Indonesia. Dalam proses rekrutmen caleg, penjaringan calon

(11)

merupakan kader dan calon non kader yang dibawa oleh kader dengan melihat latar belakang pendidikannya. Dalam proses seleksi calon, terdapat Komisi khusus yang bertanggung jawab dalam pemenangan yaitu Komisi Pemenangan Pemilu yang keberadaannya ada di dalam AD/ART Partai Demokrat. Dalam prosesnya terdapat mekanisme seleksi formal, meskipun kenyataannya masih ditentukan oleh Ketua Umum dan Sekjen. Terkait dengan penetapan nomor urut calon, belum ada kebijakan Demokrat untuk menempatkan perempuan di nomor urut kecil.

8. Partai Amanat Nasional (PAN)

PAN memiliki organisasi sayap perempuan partai yaitu Perempuan Amanat Nasional (Puan) dan divisi khusus di partai yaitu Departemen Pemberdayaan Peremuan. Penjaringan calon legislative PAN dilakukan melalui penjaringan pada kader dan non kader. Seleksi akhir dilakukan melalui musyawarah pengurus di tiap tingkat partai, DPP hingga cabang. Adapun terkait kebijakan afirmasi, dalam menghadapi Pemilu 2019 ini PAN berkomitmen untuk menempatkan perempuan di nomor urut 1.

9. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

PPP memiliki organisasi sayap perempuan Wanita Persatuan Pembangunan (WPP). Dalam Penjaringan calon, PPP memiliki criteria dan scoring bagi kader dan non kader yang dilakukan oleh Lembaga Pemenangan Pemilu (LP2) dan dilakukan secara menyebar di tingkat pusat, DPW, DPD, DPC. Pada pemilu lalu, PPP menempatkan 22 caleg perempuan di nomor urut 1 sebagai bentuk dukungan terhadap afirmasi keterwakilan perempuan.

10.Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura)

Hanura memiiki organisasi sayap perempuan yaitu Perempuan Hanura dan badan otonom Srikandi Hanura yang merupakan sumber rekrutmen caleg perempuan. Dalam rekrutmen caleg, hanura melakukan penjaringan terhadap kader dan non kader partai melalui berbagai tahapan seleksi oleh DPC. Kebijakan Hanura dalam medukung afirmasi masih dalam ranah kepengurusan partai yang

(12)

memperhatikan keterwakilan perempuan. Belum ada komitmen untuk meningkatkan keterwakilan perempuan melalui penempatan nomor urut.

Rencana Aksi Perjuangan Perempuan Menuju 2019

Di tengah keterbatasan waktu yang ada (kurang dari dua tahun menjelang Pemilu 2019) persiapan perempuan calon anggota legislatif sejatinya harus sesegera mungkin dimulai. Hal ini karena Pemilu 2019 merupakan pemilu serentak pertama yang Indonesia lakukan ditambah dengan beberapa desian aturan main pemilu yang baru. Sehingga akan muncul tantangan-tantangan baru yang mungkin saja dihadapi oleh perempuan calon anggota legislatif. Berangkat dari hal tersebut, berikut ini merupakan rencana aksi nyata yang akan dilakukan oleh KPPI dan MPI dengan berbagai stakeholders yang ada dalam rangka mendorong keterwakilan perempuan menuju 2019 di lembaga legislatif nasional maupun daerah.

No .

Rencana Aksi Institusi Terkait

Output/Target Progress Sampai September 2017 1 Mengawal keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara pemilu KPU, Bawaslu, KPPPA, LSM, Universitas 30% keterewakilan perempuan di penyelenggara pemilu.

Hasil seleksi Bawaslu Provinsi hanya terdapat 14 perempuan dari 75 orang yang terpilih sebagai anggota Bawaslu di 22 Provinsi. Sedangkan untuk seleksi KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota baru akan dimulai tahun depan.

2 Mengawal isu keterwakilan perempuan dalam peraturan pelaksanaan Pemilu KPU, Bawaslu, LSM, Universitas, KPPI. 1. Aturan main mengenai pencalonan perempuan di PKPU 7/2013 dimasukan kembali ke PKPU Pencalonan untuk Pemilu 2019. 2. Perbawaslu memiliki keselarasan dan semangat yang sama dengan PKPU untuk mendorong

keterwakilan perempuan.

PKPU Pencalonan dan Peraturan Bawaslu masih dirumuskan dan belum di uji publik. 3 Advokasi kepengurusan perempuan parpol Partai Politik, KPU, Bawaslu, KPPI, LSM, 1. Memuat sanksi terhadap partai yang tidak memenuhi

Sejauh ini revisi Undang-Undang Partai Politik masih menjadi wacana, untuk itu perlu

(13)

sekurang-kurangnya 30% melalui UU Parpol

Universitas kuota 30% di struktur kepengursan partai politik berupa pembatalan pengesahan. 2. Memuat ketentuan afirmasi di AD/ART dan pedoman-pedoman partai politik.

didorong agar segera direalisasikan. 4 Advokasi dana banpol dalam mendukung keterwakilan perempuan melalui bidang pemberdayaan perempuan partai di dalam Peraturan (UU Parpol atau PP)

Partai Politik, KPU, Bawaslu, KPPI, LSM, Universitas

Alokasi dana banpol untuk pendidikan politik perempuan sekurang-kurangnya 30% melalui bidang pemberdayaan perempuan masing-masing partai politik.

Peraturan Pemerintah yang mengatur bantuan keuangan partai masih dalam proses penyusunan. Sehingga masih terbuka ruang untuk memasukan muatan substansi aturan untuk mendukung keterwakilan perempuan. 5 Pelatihan perempuan bakal caleg perempuan di DPR dan DPD (Strategi kampanye) KPPPA, LSM, Universitas

Perempuan bakal caleg memiliki kemampuan dan strategi kampanye untuk meraih suara tebanyak di Pemilu 2019.

PKPU 7/2017 tentang jadwal dan tahapan penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 sudah disahkan. Sehingga jadwal pelaksnaannya disesuaikan dengan tahapan pencalonan.

6 Mendorong pembentukan saluran pengaduan pelanggaran yang memperkuat keterwakilan perempuan di bawaslu dan jajarannya KPU, Bawaslu, LSM Terbentuknya desk pengaduan bagi perempuan caleg di Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota.

Panwas LN.

Peraturan Bawaslu masih dalam proses penyusunan. 7 Pendidikan pemilih. Partai Politik, KPU, LSM, Universitas 1. Kampanye keterwakilan perempuan 2. Pendidikan pemilih hingga tingkat

Jadwal pendidikan pemilih akan dikontekstualisasikan dengan tahapan pemilu di PKPU 7/2017.

(14)

kelurahan/desa

8 Pendataan perempuan

potensial caleg jadi di setiap partai politik Partai Politik, KPPI Tersedianya database perempuan caleg minimal ditingkat nasional maksimal sampai kabupaten/kota. Target Desember 2017.

Sejauh ini masing-masing partai masih memetakan dan mendata nama-nama kader partai politik potensial yang akan dicalonkan.

9 Roadshow perempuan aktivis KPPI, MPI, KPPRI Partai politik, KPU, Bawaslu, Media, DPR, Kementrian terkait.

Audiensi dengan semua ketua umum partai politik, ketua KPU & Bawaslu, Redaksi Media, Ketua DPR, Mentri terkait. Desember selesai

Sejauh ini baru bertemu dengan Ketua Umum PAN, dan akan diagendakan dengan ketua umum partai politik lainnya. Termasuk dengan berbagai stakeholders lainnya. 10 Pemenangan perempuan caleg Partai Politik, KPPI, LSM, Univeritas. 1. Kampenye perempuan caleg potensial. 2. Pengawalan di seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu: - Pencalonan - Penetapan calon - Kampanye - Pungut hitung suara - Perselisihan hasil pemilu

Sejauh ini masih memetakan strategi pemenangan dan pengawasan pemenangan caleg perempuan. 11 Peningkatan kapasitas perempuan anggota legislatif terpilih Partai Politik, LSM, Universitas, KPPI Adanya pemahaman terhadap tugas, pokok, dan fungsi dari anggota legislatif, dan isu gender.

Sejauh ini masih memetakan materi-materi apa saja yang relevan.

(15)

Pemilu memang menjadi salah satu instrumen utama untuk mencapai kesetaraan gender yang menjadi goals 5 SDGs. Melalui pemilu keterwakilan politik perempuan untuk ikut serta proses penyelenggaraan pemerintahan dapat terfasilitasi. Namun demikian, bukanlah hal yang mudah bagi perempuan untuk memenangkan pemilu. Berangkat dari hal tersebut KPPI bekerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA) berusaha untuk merumuskan rencana aksi hal-hal apa saja yang perlu dipersiapkan dan dilakukan dalam rangka mewujudkan goals 5 dari SDGs. Untuk itu Dari FGD yang sudah dilangsungkan pada hari Jumat, 24 Agustus 2017 yang bertajuk “Peran Kontributif Perempuan Politik Dan Masyarakat Sipil Dalam Pencapaian Keterwakilan Perempuan dalam Rangka Mengimplementasikan Perpres No. 59 Tahun 2017 Tentang Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)”, berhasil merumuskan 11 rencana aksi yang akan dilakukan oleh KPPI dan berbagai stakeholders yang ada untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif.

Referensi

Dokumen terkait

Sitiatava Rizema Putra, Desain Belajar Mengajar Kreatif Berbasis Sains.. Namun, berdasarkan hasil observasi pembelajaran kimia di SMAN 1 Lhoong Aceh Besar, yang

Faktor lain yang menghambat pelayanan SIM C di Polres Semarang yaitu kemampuan aparat dalam memberikan pelayanan SIM Keliling dengan cakupan wilayah Kabupaten

Pada setiap akhir periode pelaporan, Grup menilai apakah terdapat indikasi aset mengalami penurunan nilai. Jika terdapat indikasi tersebut, Grup mengestimasi jumlah

Menimbang, bahwa yang menjadi pokok permasalahan dalam perkara ini adalah Penggugat mengajukan gugatan cerai agar Pengadilan menjatuhkan Talak Satu Khul’i dari Tergugat terhadap

Penelitian hanya terbatas pada perhitungan besarnya prosentase efektivitas dan kontribusi yang didapat dari data kuantitatif yang berkaitan dengan penerimaan Pajak

Berdasarkan hasil analisis data penelitian yang dilakukan pada tanggal 7 Mei 2014 sampai tanggal 3 Juli 2014, dapat disimpulkan bahwa perkembangan dari pemahaman konsep

1) materi seksual dalam periklanan bertindak sebagai daya tarik untuk mengambil perhatian yang juga mempertahankan perhatian tersebut untuk waktu yang lebih lama. 2)

Djunaidatul Munawaroh dan Taneji , Filsafat Pendidikan: Prespektif Islam dan Umum.. khas kelompok dan memiliki kemampuan untuk mepertahankan identitas tersebut dari