BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Post Operasi
1. Definisi Post Operasi
Operasi merupakan tindakan pembedahan pada suatu bagian tubuh
(Smeltzer dan Bare, 2002). Post Operasi adalah masa setelah dilakukan
pembedahan yang dimulai saat pasien dipindahkan ke ruang pemulihsn
dan berakhir sampai evaluasi selanjutnya (Uliyah dan Hidayat, 2008).
Tahap pasca-operasi dimulai dari memindahkan pasien dari ruangan
bedah ke unit pasca-operasi dan berakhir saat pasien pulang.
2. Jenis-jenis Operasi
a. Menurut fungsinya (tujuannya), Potter dan Perry (2006) membagi
menjadi:
1) Diagnostic : biopsy, laparotomy eksplorasi.
2) Kuratif (ablatif) : tumor, appendiktomi.
3) Reparative : memperbaiki luka multiple.
4) Rekonstruktif : mamoplasti, perbaikan wajah.
5) Paliatif : menghilangkan nyeri.
6) Transplantasi : penanaman organ tubuh untuk menggantikan
organ atau struktur tubuh yang malfungsi (cangkok ginjal,
b. Menurut luas atau tingkat resiko
1) Mayor
Operasi yang melibatkan organ tubuh secara luas dan
mempunyai tingkat resiko yang tinggi terhadap kelangsungan
hidup klien.
2) Minor
Operasi pada sebagian kecil dari tubuh yang mempunyai resiko
komplikasi lebih kecil dibandingkan dengan operasi mayor.
3. Komplikasi Post Operasi
Menurut Majid (2011) mengatakan komplikasi post operasi adalah
perdarahan dengan manifestasi klinis yaitu gelisah, gundah, terus
bergerak, merasa haus, kulit dingin-basah-pucat, nadi meningkat, suhu
turun, pernafasan cepat dan dalam, bibir dan konjungtiva pucat dan
pasien melemah.
B. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Post Operasi
1. Pengkajian
a. Anamnesa
Identitas pasien seperti nama pasien, tanggal lahir, jenis kelamin,
alamat rumah, No. RM. Sedangkan penanggung jawab (orang tua,
keluarga terdekat) seperti namanya, pendidikan terakhir, jenis
b. Riwayat Kesehatan
Riwayat Penyakit Sekarang, Riwayat Penyakit Dahulu, Riwayat
Penyakit Keluarga. Bisa menggunakan PQRST yaitu :
1) P (Provokes) : Penyebab timbulnya nyeri.
2) Q (Quality) : Rasanya nyeri seperti ditekan, ditusuk atau
diremas-remas.
3) R (Region) : Lokasi nyeri berada di bagian tubuh mana.
4) S (Saverity) : Skala nyeri.
5) T (Time) : Nyeri dirasakan sering atau tidak.
c. Pemeriksaan Fisik
Dalam pemeriksaan fisik ini menggunakan pengkajian 6 B yaitu :
1) B 1 : Breating (Pernafasan)
Untuk mengukur Pola napas, bunyi napas, bentuk dada simetris
atau tidak, ada atau tidak gerakan cuping hidung, ada atau tidak
Cyanosis.
2) B 2 : Bleeding (Kardiovaskuler/Sirkulasi)
Untuk mengetahui Bunyi Jantung, Irama Jantung, Nadi, Tekanan
Darah.
3) B 3 : Brain (Persyarafan/Neurologik)
Untuk mengukur nilai GCS, Kesadaran.
4) B 4 : Bladder (Perkemihan)
Terpasang kateter urine atau tidak, urine (jumlah, warna), ada
5) B 5 : Bowel (Pencernaan)
Rongga mulut ada lesi atau tidak, adanya dehidrasi atau tidak.
Bising usus.
6) B 6 : Bone (Muskuloskeletal)
Warna kulit, suhu, integritas kulit, adanya lesi atau decubitus atau
tidak.
d. Pemeriksaan diagnostik
1) Pemeriksaan radiografi
2) Urinalisa
3) Lab seperti kimia darah, darah lengkap, urine.
4) Terapi Bedah
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri Akut berhubungan dengan agen injuri fisik.
b. Resiko Infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.
c. Ansietas berhubungan dengan ancaman pada status terkini.
d. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi.
(NANDA, 2015)
3. Intervensi Keperawatan
a. Nyeri Akut berhubungan dengan angen injury fisik.
Kriteria Hasil :
1) Mampu mengontrol nyeri
2) Rasa nyeri berkurang
Intervensi :
1) Kaji Skala Nyeri
2) Observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan.
3) Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengkaji
pengalaman nyeri.
4) Ajarkan pasien pengobatan non farmakologi.
5) Kolaborasikan pemberian analgetik.
b. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.
Kriteria Hasil :
1) Bebas dari tanda-tanda infeksi.
2) Mampu mencegah timbulnya infeksi.
3) Jumlah leukosit dalam jumlah normal.
4) Menunjukkan perilaku hidup sehat.
Intervensi :
1) Monitor kerentanan terhadap infeksi.
2) Inspeksi kondisi luka atau insisi bedah.
3) Berikan perawatan luka.
4) Jika ada tanda-tanda infeksi kolaborasikan dengan dokter.
c. Ansietas berhubungan dengan ancaman pada status terkini.
Kriteria Hasil :
1) Mampu mengontrol cemas
Intervensi :
1) Identifikasi tingkat kecemasan
2) Motivasi pasien untuk mengungkapkan perasaannya
3) Motivasi keluarga untuk meneani
4) Gunakan pendekatan yang menenangkan
d. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi.
Kriteria Hasil :
1) Mengetahui makan-makanan yang boleh dikonsumsi.
2) Mengetahui tujuan dari diet yang dianjurkan.
Intervensi :
1) Kaji pengetahuan diet yang dianjurkan.
2) Berikan penyuluhan diet pada pasien post operasi.
(NIC, 2015)
C. Nyeri
1. Definisi Nyeri
Nyeri merupakan perasaan tubuh atau bagian tubuh seseorang yang
menimbulkan respon tidak menyenangkan dan nyeri dapat
memberikan suatu pengalaman alam rasa (Judha, 2012). Nyeri bersifat
subjektif dan tidak ada individu yang mengalami nyeri yang sama.
Perawat perlu mencari pendekatan yang paling efektif dalam upaya
2. Klasifikasi Nyeri
Menurut Mubarak dan Chayatin (2008) ada beberapa klasifikasi
nyeri yaitu:
a. Nyeri Perifer
Nyeri ini ada tiga macam yaitu:
1) Nyeri Superfisial
Nyeri superfisial adalah nyeri yang muncul akibat
rangsangan pada kulit dan mukosa. Nyeri berlangsung sebentar
dan terlokalisasi. Nyeri biasanya terasa sebagai sensasi yang
tajam. Contoh penyebab nyeri superfisial adalah jarum suntik
dan luka potong kecil/ laserasi (Potter & Perry, 2006).
2) Nyeri Viseral
Nyeri viseral adalah nyeri yang muncul akibat stimulus dari
reseptor nyeri di rongga abdomen, cranium dan toraks. Nyeri
bersifat difus dan dapat menyebar ke beberapa arah. Durasi
bervariasi tetapi biasanya berlangsung lebih lama daripada
nyeri superfisial. Nyeri dapat terasa tajam, tumpul atau unik
tergantung organ yang terlibat (Potter & Perry, 2006).
3) Nyeri Alih (Referred)
Nyeri alih adalah nyeri yang dirasakan pada daerah lain
yang jauh dari penyebab nyeri. Contoh dari penyebab nyeri alih
adalah infark miokard yang menyebabkan nyeri alih ke rahang,
b. Nyeri Sentral
Nyeri yang muncul akibat stimulasi pada medulla spinalis, batang
otak dan thalamus.
c. Nyeri Psikogenik
1) Nyeri Akut
Nyeri akut adalah pengalaman sensori dan emosional yang
tidak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan
yang actual atau potensial atau digambarkan dalam hal
kerusakan sedemikian rupa. Gejala yang terjadi tiba – tiba atau
lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang
dapat diantisipasi atau diprediksi (NANDA, 2015).
2) Nyeri Kronis
Nyeri kronis adalah pengalaman sensorik dan emosional
yang tidak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan
jaringan yang aktual atau potensial atau digambarkan dalam hal
kerusakan sedemikian rupa. Gejala yang terjadi yaitu timbul
secara tiba – tiba atau lambat dengan intensitas dari ringan
hingga berat, terjadi secara konstan atau berulang tanpa akhir
yang dapat diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung lebih
Tabel 2.1 Perbedaan Nyeri Akut dan Nyeri Kronis
Karakteristik Nyeri Akut Nyeri Kronis
Pengalaman Satu kejadian Satu situasi, status eksitensi
Sumber Sebab eksternal atau penyakit dari dalam
Tidak diketahui atau pengobatan yang terlalu lama
Serangan Mendadak Bisa mendadak,
berkembang dan terselubung
Waktu Sampai 6 bulan Lebih dari 6 bulan sampai bertahun-tahun Pernyataan
Nyeri
Daerah nyeri tidak diketahui pasti
Daerah nyeri sulit dibedakan intensitasnya, sehingga sulit dievaluasi (perubahan perasaan).
Gejala-gejala klinis
Pola respons yang khas dengan gejala yang lebih khas
Pola respons yang bervariasi dengan sedikit gejala (adaptasi)
Pola Terbatas Berlangsung terus, dapat bervariasi
Perjalanan Biasanya berkurang setelah beberapa saat
Penderitaan meningkat setelah beberapa saat Sumber : Hidayat (2006)
3. Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri
Pengalaman nyeri pada seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa hal,
diantaranya adalah (Potter dan Perry, 2006) :
a. Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat
harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang
melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan
fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami,
dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau
meninggal jika nyeri diperiksakan.
b. Jenis Kelamin
Laki-laki dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam
merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya.
c. Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya
mereka berespon terhadap nyeri (misal, suatu daerah menganut
kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena
mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada
nyeri).
d. Makna Nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman/persepsi
seseorang terhadap nyeri dan bagaimana mengatasinya.
e. Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada
nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri.
f. Kecemasan
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa
menyebabkan seseorang cemas.
g. Pengalaman masa lalu
Bila individu mengalami nyeri dengan jenis yang sama
melakukan tindakan-tindakan untuk menghilangkan nyeri (Potter
dan Perry, 2006).
h. Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang
mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptif akan
menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.
i. Support keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung
kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh
dukungan, bantuan dan perlindungan.
j. Harapan positif pasien tentang pengobatan dapat meningkatkan
keefektifan medikasi atau intervensi lainnya
Seringkali makin banyak petunjuk yang diterima pasien
tentang keefektifan intervensi, makin efektif intervensi tersebut
nantinya. Individu yang diberitahu bahwa suatu medikasi
diperkirakan dapat meredakan nyeri hampir pasti akan mengalami
peredaan nyeri dibanding dengan pasien yang diberitahu bahwa
medikasi yang didapatnya tidak mempunyai efek apapun.
Hubungan pasien –perawat yang positif dapat juga menjadi peran
yang amat penting dalam meningkatkan efek plasebo (Smeltzer
4. Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri
dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif
dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama
dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang
yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang
paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap
nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak
dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri,
2007).
Alat bantu lain yang digunakan untuk menilai intensitas atau
keparahan nyeri klien sebagai berikut:
a. Skala Deskriptif Verbal
Skala deskriptif verbal atau Verbal Descriptor Scale (VDS)
merupakan salah satu alat ukur tingkat keperahan yang lebih
bersifat objektif. Skala deskriptif verbal ini merupakan sebuah
garis yang terdiri dari kalimat pendeskripsian ini dirangking dari
tidak ada nyeri sampai nyeri paling hebat (Prasetyo, 2010).
b. Skala Intensitas Nyeri Numerik
Skala numerik atau Numerical Rating Scale (NRS)
digunakan sebagai pengganti alat deskripsi kata. Dalam hal ini
pasien menilai nyeri dengan skala 0 sampai dengan 10. Skala 0
mendeskripsikan sebagai tidak nyeri, skala 1 sampai dengan 3
mendeskripsikan sebagai nyeri ringan yaitu ada rasa nyeri (mulai
terasa tapi masih dapat ditahan), skala 4 sampai dengan 6
mendeskripsikan sebagai nyeri sedang yaitu ada rasa nyeri terasa
mengganggu dengan usaha yang cukup kuat untuk menahan, dan
skala 7 sampai dengan 10 mendeskripsikan sebagai nyeri berat
yaitu ada nyeri, terasa sangat mengganggu / tidak tertahankan
sehingga harus menangis, menjerit atau berteriak. Skala ini efektif
digunakan untuk mengkaji intensitas nyeri sebelum dan sesudah
terapeutik (Prasetyo, 2010 ; McCeffery dan Beebe 1993 dalam
Novita, 2012).
Penggunaan NRS direkomendasikan untuk menilai skala
nyeri pasca operasi pada pasien berusia di atas 9 tahun. NRS sangat
mudah digunakan dan merupakan skala yang sudah valid (Brunelli,
et al., 2010 dan McCaffery Bebbe, 1993 dalam Novita, 2012).
c. Skala Analog Visual
Skala analog visual atau Visual Analog Scale (VAS)
merupakan suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang
terus menerus dan memiliki alat pendeskripsi verbal pada setiap
ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh pada pasien
untuk mengidentifikasi tingkat keparahan nyeri yang ia rasakan
(Prasetyo, 2010).
Gambar 2.3 Skala analog visual (Tamsuri, 2007)
d. Skala Wajah Wong-Baker
Skala wajah biasanya digunakan oleh anak-anak yang
berusia kurang dari 7 tahun. Pasien diminta untuk memilih gambar
wajah yang sesuai dengan nyerinya. Pilihan ini kemudian diberi
skor angka. Skala wajah Wong-Baker menggunakan 6 kartun
wajah yang menggambarkan wajah senyum, wajah sedih, sampai
menangis. Dan pada tiap wajah ditandai dengan skor 0 sampai
dengan 5 (Wong, 1998 dalam Novita, 2012).
5. Penatalaksanaan Nyeri
Penatalaksanaan nyeri atau tindakan keperawatan untuk
mengurangi nyeri yaitu terdiri dari penatalaksanaan non – farmakologi
dan farmakologi.
a. Penatalaksanaan Farmakologi
Penanganan nyeri yang di alami oleh individu dapat melalui
intervensi farmakologis, dilakukan oleh kolaborasi dengan dokter
atau pemberi perawat utama lainnya pada pasien. Obat-obat yang
biasanya digunakan adalah antiinflamsi nonsteroid. Obat-obatan ini
dapat menurunkan nyeri dan menghambat produksi prostatglandin
dari jaringan-jaringan yang mengalami trauma dan inflamasi yang
menghambat reseptor nyeri untuk menjadi sensitive terhadap
stimulus penyakit sebelumnya (Smeltzer dan Bare, 2002).
b. Penatalaksanaan non farmakologi
Penatalaksanaan non farmakologi terdiri dari intervensi
perilaku kognitif yang meliputi tindakan distraksi, tehnik relaksasi
(terapi musik, nafas dalam), imajinasi terbimbing, hypnosis dan
sentuhan terapeutik (massage) (Tamsuri, 2007).
Menurut Nursing Intervention and Classification/NIC
(2013) peran perawat dalam penatalaksanaan nyeri adalah:
1) Mengkaji nyeri seperti lokasi, karakteristik, durasi nyeri,
frekuensi nyeri, kualitas nyeri, intensitas nyeri dan faktor
2) Mengobservasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
3) Menanyakan pengetahuan pasien tentang nyeri
4) Mengkaji pengaruh nyeri yang dialami pasien pada tidur,
selera makan, aktivitas, perasaan, hubungan, peran pada
pekerjaan dan pola tanggungjawab
5) Memberikan informasi tentang nyeri seperti penyebab
nyeri, berapa lama nyeri akan dirasakan dan antisipasi
ketidaknyamanan dari prosedur
6) Mengontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
7) Melakukan penanganan non-farmakologi seperti relaksasi,
terapi musik, guided imagery, terapi akupresur, terapi
aktivitas dan massage
8) Mengajarkan prinsip dari manajemen nyeri
9) Menggunakan teknik pengontrolan nyeri/antisipasi sebelum
nyeri berubah menjadi berat
10) Melakukan penanganan farmakologi yaitu pemberian
analgesik.
D. Terapi Musik
1. Definisi Terapi Musik
Terapi musik merupakan intervensi alami non invasif yang dapat
diterapkan secara sederhana tidak selalu membutuhkan kehadiran ahli
(Samuel, 2007 dalam Pratiwi 2014). Terapi musik adalah usaha
meningkatkan kualitas fisik dan mental dengan rangsangan suara yang
terdiri dari melodi, ritme, harmoni, bentuk dan gaya yang diorganisir
sedemikian rupa hingga tercipta musik yang bermanfaat untuk
kesehatan fisik dan mental (Eka, 2011).
Penggunaan musik untuk relaksasi, mempercepat penyembuhan,
meningkatkan fungsi mental dan menciptakan rasa sejahtera. Terapi
musik juga dapat mempengaruhi fungsi-fungsi fisiologis, seperti
respirasi, denyut jantung dan tekanan darah. Musik juga dapat
menurunkan kadar hormon kortisol yang meningkat pada saat stres.
Musik juga merangsang pelepasan hormon endorfin, hormon tubuh
yang memberikan perasaan senang yang berperan dalam penurunan
nyeri (Young dan Koopsen, 2007).
2. Jenis Terapi Musik
Jenis terapi musik antara lain musik instrumental dan musik klasik.
Musik Instrumen bermanfaat menjadikan badan, pikiran, dan mental
menjadi lebih sehat. Musik klasik bermanfaat untuk membuat
seseorang menjadi rileks, menimbulkan rasa aman dan sejahtera,
mepelaskan rasa gembira dan sedih menurunkan tingkat kecemasan
pasien pra operasi dan melepaskan rasa sakit dan menurunkan stress
(Aditia, 2012).
3. Tujuan Terapi Musik
a. Untuk meredakan rasa sakit yang berkaitan dengan anaesthesia
atau pengurangan rasa sakit.
b. Untuk menenangkan pasien.
c. Untuk mengurangi kegelisahan selama melahirkan.
d. Efek Mozart adalah salah satu istilah untuk efek yang bisa
dihasilkan sebuah musik yang dapat meningkatkan intelegensia
seseorang.
e. Refresing pada saat pikiran seseorang lagi kacau atau jenuh dengan
mendengarkan musik walaupun sejenak, terbukti dapat
menenangkan dan menyegarkan pikiran kembali.
f. Motivasi hal yang hanya bisa dilahirkan dengan “feeling” tertentu.
Apabila ada motivasi, semangatpun akan muncul.
g. Berbagai penelitian dan literature menerangkan tentang manfaat
musik untuk kesehatan, baik untuk kesehatan fisik maupun mental,
beberapa penyakit yang dapat ditangani dengan musik antara lain :
kanker, stroke, dimensi, nyeri, gangguan kemampuan belajar dan
bayi prematur (Laila, 2011).
4. Manfaat Terapi Musik
Manfaat terapi musik antara lain (Djohan, 2006) :
a. Mampu menutupi bunyi dan perasaan yang tidak menyenangkan.
b. Mempengaruhi pernafasan.
c. Mempengaruhi denyut jantung, nadi, dan tekanan darah manusia.
e. Bisa menimbulkan rasa aman dan sejahtera.
f. Bisa mempengaruhi rasa sakit.
Beberapa manfaat terapi musik menurut American Musik Therapy
Association (2009) adalah :
a. Menurunkan ansietas dan stress.
b. Mengurangi nyeri.
c. Menenangkan bayi dan anak-anak.
d. Menurunkan efek samping kemoterapi.
e. Membantu pasien stroke dan pasien parkison untuk dapat berjalan
normal.
f. Mengurangi lama perawatan di rumah sakit.
g. Menurunkan stress pada orang sehat.
5. Mekanisme Terapi Musik
Therapy Association (2008) mekanisme musik dalam proses
penurunan rasa nyeri dimana implus musik yang berkompetisi
mencapai korteks serebri bersamaan dengan implus nyeri akan berefek
pada distraksi kognitif dalam inhibisi persepsi nyeri. Ketika musik
yang mempunyai efek terapi diperdengarkan, midbrain meningkatkan
pengeluaran beta endorphin hormone dan Gamma Amino Butyric Acid
(GABA) yang dapat mengeliminasi neurotransmitter rasa nyeri pada
pusat persepsi dan interpretasi sensorik somatic di otak sehingga
Jadi musik terapi yang digunakan mempunyai karakteristik musik
yang bersifat terapi adalah musik yang nondramatis, dinamiknya bisa
diprediksi memiliki nada yang lembut, harmonis dan tidak berlirik,
temponya 60-80 beat per minute dan musik yang dijadikan terapi
merupakan musik pilihan klien. Musik yang bersifat sebaliknya adalah
musik yang menimbulkan ketegangan, tempo yang cepat, irama yang
keras, ritme yang irregular, tidak harmonis atau dibunyikan dengan
volume keras tidak akan menimbulkan efek terapi. Efek yang timbul
adalah meningkatkan denyut nadi, tekanan darah, laju pernapasan dan
meningkatkan stress (Nilsson, 2009).
6. Tata Cara Pemberian Terapi Musik
Belum ada rekomendasi mengenai durasi yang optimal dalam
pemberian terapi musik. Seringkali durasi yang diberikan dalam
pemberian terapi musik adalah selama 15-20 menit, tetapi untuk
masalah kesehatan yang lebih spesifik terapi musik diberikan dengan
durasi 30-45 menit. Ketika mendengarkan terapi musik klien berbaring
dengan posisi yang nyaman, sedangkan tempo harus sedikit lebih
lambat, 50-70 ketukan/menit, menggunakan irama yang tenang
(Schou, 2007).
Menurut penelitian dari Alan Yanuar (2015) mengatakan bahwa
7. Hal-Hal Yang Harus Diperhatikan
Hal-hal yang harus diperhatikan pada saat relaksasi adalah pasien
harus dalam keadaan nyaman, pikiran pasien harus tenang dan
lingkungan yang tenang. Suasana yang rileks dapat meningkatkan
hormon endorphin yang berfungsi menghambat transmisi implus nyeri
sepanjang saraf sensoris dan nosiseptor saraf perifer ke kornu dorsalis
kemudian ke thalamus, serebri, dan akhirnya berdampak pada
menurunnya persepsi nyeri (Brunner dan Suddart, 2009).
E. Terapi Musik Berhubungan Dengan Penurunan Nyeri
Mendengarkan musik akan mengalihkan perhatian terhadap nyeri
(distraksi) dan memberikan rasa nyaman dan rileks (relaksasi). Sesuai
dengan teori menurut Campbell (2001) musik dapat digunakan sebagai
terapi musik untuk meningkatkan kemampuan manusia terhadap berbagai
jenis penyakit dan dapat dimanfaatkan sebagai aktivitas distraksi. Teknik
distraksi dengan terapi musik akan membantu melepaskan endorfhin yang
ada dalam tubuh.
Seperti diketahui bahwa endorphin memiliki efek relaksasi dalam
tubuh (Potter & Perry, 2006). Endorphin tersebut dapat menimbulkan efek
analgesia yang mengeliminasi neurotransmitter (sinyal) rasa nyeri pada
pusat persepsi dan interpretasi sensori dalam otak sehingga efek yang bisa