• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH IBU DENGAN TINGKAT KECERDASAN MORAL ANAK USIA PRA SEKOLAH 4-6 TAHUN DI TK PELITA JAYA SURABAYA Repository - UNAIR REPOSITORY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH IBU DENGAN TINGKAT KECERDASAN MORAL ANAK USIA PRA SEKOLAH 4-6 TAHUN DI TK PELITA JAYA SURABAYA Repository - UNAIR REPOSITORY"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH IBU DENGAN TINGKAT KECERDASAN MORAL ANAK USIA PRA SEKOLAH 4-6 TAHUN DI TK

PELITA JAYA SURABAYA

PENELITIAN DESKRIPTIF KORELASIONAL

Oleh:

Kharisma Matahari Virgita Hermanta Putri NIM. 131311133021

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

(2)

SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH IBU DENGAN TINGKAT KECERDASAN MORAL ANAK USIA PRA SEKOLAH 4-6 TAHUN DI TK

PELITA JAYA SURABAYA

PENELITIAN DESKRIPTIF KORELASIONAL

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep) Dalam Program Studi Pendidikan Ners

Pada Program Studi Pendidikan Ners Fakultas Keperawatan UNAIR

Oleh:

Kharisma Matahari Virgita Hermanta Putri NIM. 131311133021

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

(3)

SURAT PERNYATAAN

Saya bersumpah bahwa skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah dikumpulkan oleh orang lain untuk memperoleh gelar dari berbagai

jenjang pendidikan di Perguruan Tinggi manapun

Surabaya, 17 Juli 2017 Yang Menyatakan

(4)
(5)
(6)

MOTTO

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Keperawatan pada Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga. Dalam menyelesaikan skripsi saya yang berjudul ” Hubungan antara Pola Asuh Ibu dengan Tingkat Kecerdasan Moral Anak Usia Pra Sekolah 4-6 Tahun di TK Pelita Jaya Surabaya” ini. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan,dukungan,serta bimbingan dari berbagai pihak, sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu,saya mengucapkan terimakasih kepada :

1. Prof. Dr. Nursalam, M.Nurs (Hons)., selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian ini.

2. Erna Dwi Wahyuni, S.Kep.,Ns., M.Kep., selaku dosen pembimbing 1 yang telah memberikan bimbingan, ilmu dan motivasi dengan penuh kesabaran hingga skripsi ini selesai dengan baik.

3. Praba Diyan Rachmawati, S.kep. Ns., M,Kep., selaku dosen pembimbing 2 yang telah meluangkan waktu untuk memberikan ilmu,koreksi,saran,dan motivasi dengan penuh kesabaran hingga skripsi ini selesai dengan baik. 4. Ilya Krisnana, S.kep. Ns., M,Kep.,selaku dosen penguji yang telah

memberikan koreksi dan saran terhadap naskah dan presentasi skripsi, sehingga skripsi ini semakin bermanfaat.

5. Iqlima Dwi Kurnia, S.Kep.Ns., M.Kep., selaku dosen penguji yang telah memberikan koreksi dan saran terhadap naskah dan presentasi skripsi, sehingga skripsi ini semakin bermanfaat.

6. Seluruh sivitas akademik Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya yang telah berkontribusi dan membantu saya untuk mengadakan penelitian sehingga tercapainya penulisan skripsi ini.

7. Kepala sekolah, guru, dan karyawan TK Pelita Jaya yang telah mengizinkan dan membantu dalam penelitian ini.

8. Seluruh responden yaitu ibu dari anak di TK Pelita Jaya yang telah bersedia ikut serta dalam peneitian ini.

9. Papa (Drs. Nerius Hermanta P.), mama (Wahyuni Dwi S.), dan adek (Bintang) yang senantiasa memberikan doa dan dukungan keluarga yang baik sehingga memotivasi saya menyelesaikan skripsi ini.

10. Dodo Rusiady dan sahabatku Irma Farikha, Marita Selvia serta penghuni kos kodim mulyorejo indah yang telah membantu dan memberikan semangat selama menempuh Program Studi Pendidikan Ners.

(8)

Semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini nantinya dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu keperawatan di Indonesia.

Surabaya, 17 Juli 2017

(9)

ABSTRACT

CORELATION OF PARENTING MOTHER TO MORAL INTELLIGENCE PRESCHOOL AGE CHILDREN (4-6 YEARS)

Descriptive Corelation Study

By : Kharisma Matahari Virgita Hermanta Putri

Introduction: Parenting mother is an active role against the development of their childrens to improve the moral intelligence of children from an early ( manners, rules of religious norms and morals, ethics ). Parenting mother used there are 3 kinds of parenting that is democratic, authoritarian, permissive. The purpose of this study was to analyze the relationship between parenting mother with the level of moral intelligence preschool. Methods : This study was using cross sectional study. The population were mother and teachers with total sampling. 75 mothers and 8 teachers as respondents, taken according to inclusion and exclusion criteria. The dependent variable was moral intelligence. The independent variable was parenting mother. Data collection for parenting mother and moral intelligence through form questionnaires. Data analyzed using Chi-Square test with significant level p=<0,05. Result: The Result showed significant relationship between parenting mother with the level of moral intelligence of preshool children (4-6) years, with p=0,006. Discussion: Parenting and moral intelligence of children was influenced by several factor; external and internal factor. In this research most of the mother use democratic parenting style and the children had high level in moral intelligence. Result of this study can be used as recomendation for school to improved moral intelligence of each children.

(10)

ABSTRAK

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH IBU DENGAN TINGKAT KECERDASAN MORAL ANAK USIA PRA SEKOLAH (4-6 TAHUN)

Penelitian Deskriptif Korelasional

Oleh : Kharisma Matahari Virgita Hermanta Putri

Pendahuluan: Pola asuh ibu merupakan peran aktif ibu terhadap perkembangan anak – anaknya, terutama pada saat mereka masih berada pada tahap prasekolah, untuk meningkatkan kecerdasan moral anak sejak dini (tata karma, sopan santun, aturan norma agama dan moral, etika). Pola asuh ibu yang digunakan ada 3 macam pola asuh yaitu demokratis, otoriter dan permisif. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara pola asuh ibu dengan tingkat kecerdasan moral anak usia prasekolah. Metode: Jenis penelitian ini adalah deskriptif korelasional dengan pendekatan cross sectional, pemilihan sampel dengan total sampling. Sampel penelitian yaitu ibu dari anak usia prasekolah (4-6) tahun sebanyak 75 responden. Variabel dependen yaitu kecerdasan moral dan variabel independen yaitu pola asuh ibu. Isntrumen penelitian pola asuh ibu dan kecerdasan moral menggunakan kuesioner. Analisis data yang digunakan adalah

Chi-Square test. Hasil: Hasil uji statistik didapatkan hubungan yang signifikan antara pola asuh ibu dengan tingkat kecerdasan moral anak usia prasekolah (4-6) tahun, dengan nilai p =0,006. Diskusi: Pola asuh ibu dan kecerdasan moral anak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor internal maupun eksternal. Dari hasil penelitian didapatkan sebagian besar ibu menerapkan pola asuh demokratis, serta untuk tingkat kecerdasan moral anak masuk dalam kategori tinggi. Penelitian ini merekomendasikan sekolah agar lebih meningkatkan kecerdasan moral pada masing-masing siswa.

(11)

DAFTAR ISI

Daftar Singkatan dan Istilah ... xv

Daftar Lampiran... xvi

2.4.1 Definisi Anak Usia Pra Sekolah ... 12

2.4.2 Perkembangan dan Pertumbuhan Anak Pra Sekolah ... 12

2.5 Konsep Kecerdasan Moral ... 15

2.5.1 Konsep Perkembangan Moral ... 15

2.5.2 Definisi Kecerdasan Moral ... 19

2.5.3 Aspek Kecerdasan Moral Anak ... 20

2.5.4 Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Moral ... 23

2.6 Keaslian Penelitian ... 27

BAB 3 Kerangka Konseptual dan Hipotesis Penelitian 3.1 Kerangka Konseptual ... 29

(12)

BAB 4 Metode Penelitian

4.1 Desain Penelitian ... 32

4.2 Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan sampel ... 32

4.2.1 Populasi ... 32

4.2.2 Sampel ... 33

4.2.3 Teknik pengambilan sampel (sampling) ... 33

4.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 33

4.3.1 Variabel independen ... 33

4.3.2 Variabel dependen ... 34

4.3.3 Definisi Operasional ... 34

4.4 Instrumen Penelitian ... 40

4.5 Lokasi ... 44

4.6 Prosedur Pengambilan atau Pengumpulan Data ... 44

4.7 Cara Analisis Data ... 45

4.8 Kerangka kerja ... 47

4.9 Masalah Etik ... 48

4.9.1 Lembar Persetujuan Menjadi Responden ... 48

4.9.2 Anonimity (Tanpa Nama) ... 48

4.9.3 Convidentiality (Kerahasiaan) ... 48

4.9.10 Keterbatasan Penelitian ... 48

BAB 5 Hasil Penelitian dan Pembahasan 5.1 Hasil penelitian ... 49

5.1.1 Gambaran Lokasi Penelitian ... 49

5.1.2 Karakteristik Demografi Responden ... 51

5.1.3 Deskripsi Variabel Penelitian ... 52

5.1.4 Hubungan Pola Asuh Ibu dengan Kecerdasan Moral ... 54

5.2 Pembahasan ... 54

5.2.1 Pola Asuh Ibu ... 54

5.2.2 Tingkat Kecerdasan Moral Anak ... 56

5.2.3 Hubungan Pola Asuh Ibu dengan Kecerdasan Moral ... 56

BAB 6 Kesimpulan dan Saran 6.1 Kesimpulan ... 60

6.2 Saran ... 60

(13)

DAFTAR GAMBAR

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Keaslian Penelitian ... 28

Tabel 4.2 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 34

Tabel 4.2 Definisi Operasional ... 36

Tabel 4.3 Kriteria Penilaian Kuesioner ... 42

Tabel 4.4 Skor Untuk Masing-Masing Kriteria Jawaban... 43

Tabel 4.5 Kisi-Kisi Kuesioner Kecerdasan Moral ... 44

Tabel 5.1 Jadwal Pelajaran TK A ... 52

Tabel 5.2 Jadwal Pelajaran TK B ... 52

Tabel 5.1 Data Demografi Responden (Ibu) ... 53

Tabel 5.2 Data Demografi Responden (Anak) ... 53

Tabel 5.3 Pola Asuh Ibu ... 54

Tabel 5.4 Tingkat Kecerdasan Moral Anak ... 54

(15)

DAFTAR LAMBANG > : Lebih dari

< : Kurang dari % : per seratus

(16)

SINGKATAN DAN ISTILAH

SD : Sekolah Dasar

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Information Form For Consent ... 66

Lampiran 2 Informed Consent ... 66

Lampiran 3 Kuesioner Penelitian ... 67

Lampiran 4 Kuesioner Pola Asuh ... 69

Lampiran 5 Kuesioner Kecerdasan Moral ... 72

Lampiran 6 Data Statistik Variabel ... 75

Lampiran 7 Uji Analisis Statistik ... 76

Lampiran 8 Surat Ijin Pengambilan Data Awal ... 77

Lampiran 9 Surat Ijin Penelitian ... 78

Lampiran 10 Ethical Clearance ... 79

Lampiran 11 Data Pola Asuh Ibu ... 80

(18)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anak memerlukan kualitas moral yang tinggi untuk mencapai kesuksesan.

Anak membutuhkan kecerdasan moral untuk bersosialisasi dengan orang lain.

Kecerdasan moral merupakan kemampuan individu untuk memahami mana hal

yang benar dan yang salah. Kecerdasan ini meliputi kemampuan untuk bisa

memahami pilihan-pilihan yang berbeda, memiliki rasa empati, memperjuangkan

keadilan, dan menunjukkan kasih sayang dan rasa hormat terhadap orang lain

(Borba 2001). Drawati (2005) seperti dikutip dalam Azhar (2009), menyebutkan

bahwa faktor pemicu anak melakukan tindakan kriminal adalah masalah

pendidikan moral, kurangnya perhatian orang tua serta perkembangan zaman.

Maka tidak mengherankan apabila karakter anak menjadi keras atau liar, sebab

mereka tidak diberikan pengetahuan soal etika atau moral, pemahan benar dan

salah, mana yang baik dan yang buruk.

Menurut Hidayat (2006), Peran aktif orang tua terhadap perkembangan

anak – anaknya sangat diperlukan terutama pada saat mereka masih berada

dibawah usia lima tahun atau balita untuk meningkatkan kecerdasan moral anak.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah orang tua hendaknya selalu

menunjukkan contoh perilaku dan kepribadian yang terpuji atau bernilai luhur

serta disiplin, sementara itu terkait proses sosialisasi moral di sekolah, penelitian

oleh Nazar (2001) menyatakan bahwa anak pun melakukan proses sosialisasi

moral di sekolah dengan adanya proses pembelajaran atau kegiatan yang berbasis

(19)

perilaku moral. Data awal yang diperoleh di TK Pelita Jaya Surabaya ada 6 dari

10 anak masih banyak ditemukan anak yang suka pilih-pilih teman dan

menyerobot antrian, 4 dari 10 anak suka menertawakan temannya yang menangis.

Disana masih didapatkan anak yang belum memahami kriteria dalam bermoral.

Anak sudah memiliki dasar tentang sikap moralitas terhadap kelompok

sosialnya (orang tua, saudara, dan teman sebaya) melalui pengalaman

bersosialisasi dengan orang lain pada masa pra sekolah. Anak usia pra sekolah

harus diajarkan untuk belajar berkomunikasi dengan orang lain serta

memahaminya. Anak harus selalu dilatih dan dibiasakan bagaimana seharusnya

bertingkah laku yang baik. Stimulasi yang diberikan oleh orang tua adalah untuk

memahami tata krama, sopan santun, aturan, norma, etika, dan hal-hal yang terkait

dengan kehidupan dunia.

Kecerdasan moral anak agar lebih optimal membutuhkan penanaman

nilai-nilai moral. Konsep kecerdasan moral anak usia prasekolah perlu dipahami dan

dikaji lebih dalam agar menjadi bahan masukan bagi orangtua, guru atau orang

dewasa lainnya untuk dapat dilakukan pengembangan kecerdasan moral sejak dini

(Gunarsa 2004). Pada anak usia prasekolah, nilai diri anak belum dapat

didasarkan pada penghargaan realistik. Penelitian oleh Wellman, Larkey dan

Somerville (1979) menunjukkan bahwa pada anak usia 5 tahun lebih mampu

memahami kriteria moral dan memberikan moral judgment yang lebih tepat

dibandingkan anak usia 3 dan 4 tahun meskipun pada anak usia 3-4 tahun sudah

menunjukkan kesadaran atas kriteria moral.

Salah satu aspek penting dalam hubungan orang tua dan anak adalah gaya

(20)

menyatakan bahwa orang tua yang responsif akan meningkatkan kematangan

penalaran moral anak. Studi klasik tentang hubungan orang tua dan anak yang

dilakukan oleh Baumrind (dalam Berns 2007) gaya pengasuhan merupakan

cara-cara yang digunakan orang tua sebagai pendekatan umum dalam mengasuh anak.

Terdapat tiga gaya pengasuhan yang cenderung dilakukan orang tua, yaitu

otoriter, demokratis, permissive(Baumrind dalam Berns 2007).

Menurut Borba (2001) Penyebab merosotnya moralitas sangatlah

kompleks, lingkungan moral tempat anak-anak dibesarkan saat ini sangat

berpengaruh terhadap kecerdasan moral mereka karena sejumlah faktor sosial

kritis yang membentuk karakter bermoral secara perlahan mulai runtuh yaitu,

pengawasi orang tua, teladan perilaku bermoral, pendidikan spiritual dan agama,

hubungan akrab dengan orang dewasa, dukungan masyarakat dan pola asuh orang

tua yang benar. Melalui pendekatan teori dari Michele Borba yaitu kemampuan

untuk memahami benar dan salah serta pendirian yang kuat untuk berpikir dan

berperilaku sesuai dengan norma moral, Borba memberikan tingkatan

pembentukan kecerdasan moral dalam tujuh aspek yaitu, empati, nurani, kontrol

diri, kebaikan hati, toleransi, respek, adil.

Budaya moral harus dibangun mulai dari rumah. Moralitas dibangun atas

dasar hubungan yang harmonis dari orangtua baik ayah kepada anak maupun ibu

kepada anak. Akar dari kecerdasan moral anak terdiri dari tujuh aspek utama yang

orang tua tanamkan kepada anak. Anak akan menggunakan aspek tersebut sebagai

pola dasar dalam membentuk karakter dan sisi kemanusiaanya, dan sepanjang

(21)

beberapa negara bagian di Amerika Serikat sebagai metode untuk ibu dalam

membantu anak-anaknya mengembangkan kecerdasan moral (Borba 2001).

Fenomena diatas membuat peneliti tertarik untuk meneliti sejauh mana

hubungan antara pola asuh orang ibu dengan tingkat kecerdasan moral pada anak

usia pra sekolah 4-6 tahun di TK Pelita Jaya Surabaya.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara pola asuh ibu dengan tingkat kecerdasan

moral anak usia pra sekolah 4-6 tahun di TK Pelita Jaya Surabaya

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Mengidentifikasi tentang hubungan antara pola asuh ibu dengan tingkat

kecerdasan moral anak usia pra sekolah 4-6 tahun di TK Pelita Jaya Surabaya

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi pola asuh ibu pada anak pra sekolah di TK Pelita jaya

Surabaya

2. Mengidentifikasi tingkat kecerdasan moral anak di TK Pelita Jaya

Surabaya

3. Menganalisis tentang hubungan antara pola asuh ibu dengan tingkat

kecerdasan moral anak pra sekolah di TK Pelita Jaya Surabaya

1.4 Manfaat 1.4.1 Teoritis

Penelitian ini dapat memberikan informasi bagi ilmu keperawatan

(22)

1.4.2 Praktis

1. Penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan baru bagi ibu

agar lebih memperhatikan perkembangan moral anak dengan

memanfaatkan dan memodifikasi waktu semaksimal mungkin ibu ketika

berada dirumah

2. Penelitian ini dapat menjadi suatu masukan bagi sekolah untuk

perkembangan pendidikan moral anak

3. Penelitian ini dapat memberikan informasi dan pengetahuan baru kepada

(23)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab 2 ini akan disajikan konsep materi mengenai: 1) konsep pola

asuh; 2) konsep orang tua; 3) konsep anak usia pra sekolah; dan 4) konsep

kecerdasan moral.

2.1 Konsep Pola Asuh

Setiap anak tumbuh dan berkembang melalui proses belajar tentang

dirinya sendiri dan dunia sekitarnya. Proses pembelajaran ini berlangsung dan

berkesinambungan terus selama masa hidup seseorang, sejak anak usia bayi

sampai mencapai usia dewasa. Kewajiban orang tua adalah terlibat dalam

pengasuhan positif dan memandu anak menjadi manusia yang

kompeten.Kewajiban anak adalah merespon sesuai dengan inisiatif dari orang tua

dan mempertahankan hubungan positif dengan orang tua (Santrock 2007). Pola

asuh yang tepat dari orang tua terutama ibu sangat mempengaruhi proses

pembelajaran ini. Diperlukan kesabaran dan kebijakan orang tua untuk dapat

memberikan pertimbangan terbaik dalam pengambilan keputusan-keputusan

penting di dalam kehidupan anak.

2.1.1 Definisi Pola Asuh

Pola asuh adalah asuhan yang diberikan ibu atau pengasuh lain berupa

sikap, dan perilaku dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makanan,

merawat, menjaga kebersihan, memberi kasih sayang, dan sebagainya (Soekirman

2000 dalam Bety 2012). Menurut Kasmini (2007) dikutip dalam Bety (2012) pola

asuh adalah bagaimana orang tua memperlakukan anak, mendidik, membimbing

(24)

pembentukan norma-norma yang diharapkan masyarakat.Menurut Aisyah (2010)

pola asuh orang tua merupakan interaksi antara anak dan orang tua selama

mengadakan kegiatan pengasuhan.

2.1.2 Tipe-tipe Pola Asuh

Menurut Baumrind (dalam Berns 2007) gaya pengasuhan merupakan

cara-cara yang digunakan orang tua sebagai pendekatan umum dalam mengasuh anak.

Terdapat empat gaya pengasuhan yang cenderung dilakukan orang tua, yaitu

otoriter, demokratis, permissive (Baumrind dalam Berns 2007).

1. Gaya pengasuhan demokratis, ditandai dengan adanya kontrol dari orang

tua terhadap anak tetapi orang tua tetap menghargai kebebasan anak

sebagai individu, penetapan standar dan atau tuntutan yang bersifat

rasional dan fleksibel, serta ada pengutamaan disiplin anak. Dengan kata

lain, pola asuh demokratis ini memberikan kebebasan kepada anak untuk

mengemukakan pendapat, melakukan apa yang diinginkannya dengan

tidak melewati batas-batas atau aturan-aturan yang telah ditetapkan orang

tua. Orang tua juga selalu memberikan bimbingan dan arahan dengan

penuh pengertian terhadap anak mana yang boleh dilakukan dan mana

yang tidak. Hal tersebut dilakukan orang tua dengan lemah lembut dan

penuh kasih sayang (Baumrind 1967 dalam Berns 2007). Ciri-ciri pola

asuh demokratis adalah sebagai berikut:

1) Menentukan peraturan dan disiplin dengan memperhatikan dan

mempertimbangkan alasan-alasan yang dapat diterima, dipahami dan

(25)

2) Memberikan pengarahan tentang perbuatan baik yangperlu

dipertahankan dan yang tidak baik agar di tinggalkan

3) Memberikan bimbingan dengan penuh pengertian

4) Dapat menciptakan keharmonisan dalam keluarga

5) Dapat menciptakan suasana komunikatif antara orang tua dan anak

serta sesama keluarga.

2. Gaya pengasuhan otoriter, ditandai oleh kontrol yang ketat dari orang tua,

pengekangan akan kebebasan dan atau inisiatif anak, dan pengutamaan

kepatuhan pada orang tua, bahkan dengan menggunakan hukuman fisik

ciri ciri pola asuh ototiter menurut Hurlock (1994) adalah :

1) Adanya kontrol yang ketat dan kaku dari orang tua

2) Aturan dan batasan dari orang tua harus ditaati oleh anak

3) Anak harus bertingkah laku sesuai aturan yang diterapkan orang tua

4) Orang tua tidak mempertimbangkan pandangan dan pendapat anak

5) Orang tua memusatkan perhatian dan pengendalian cara otoriter

yaitu berupa hukuman fisik.

3. Permissive, ditandai dengan kontrol dari orang tua lemah, terdapat

pemberian kebebasan pada anak, dan penerimaan orang tua terhadap

respon impulsif anak. Menurut hurlock (1994) ciri-ciri pola asuh permisif

yaitu :

1) Tidak ada bimbingan maupun aturan yang ketat dari orang tua

2) Tidak ada pengendalian atau pengontrolan serta tuntutan kepada

(26)

3) Anak diberi kebebasan dan diizinkan membuat keputusan untuk

dirinya sendiri

4) Tidak ada kontrol dari orang tua

5) Anak harus belajar sendiri untuk berperilaku dalam lingkungan

sosial

6) Anak tidak akan dihukum meskipun melanggar peratruran

7) Tidak diberi hadiah jika berprestasi atau berperilaku sosial yang

baik.

Menurut Durkin, Hetherington, dan Parke (1999) gaya pengasuhan

merupakan refleksi dari dua dimensi perilaku. Pertama, tergantung dari kondisi

emosional: pendekatan yang dilakukan orang tua pada anak yang hangat,

responsif, dan berpusat pada anak, atau menolak, tidak responsif, dan tidak

terlibat dengan anak dan lebih fokus pada kebutuhan dan harapan orang tua

sendiri. Dimensi kedua lebih melihat dari sudut kontrol: orang tua yang

memberikan tuntutan pada anak, membatasi perilakunya, atau orang tua yang

permisif dan tanpa tuntutan, selalu menuruti apa yang dinginkan dan diharapkan

seorang anak.

2.2 Konsep Orang Tua 2.2.1 Pengertian Orang Tua

Orang tua merupakan konsep ayah dan ibu, orang tua sebagai pihak yang

berperan dalam membimbing anak untuk mengembangkan potensi (Santrock

2002).

Orang tua merupakan dunia sosial pertama bagi seorang anak karena orang

(27)

sehingga perlakuan orang tua terhadap anak menjadi faktor yang berpengaruh

dalam pembentukan konsep diri anak. Konsep diri anak terbentuk dalam

hubungan keluarga (Hurlock 1999) dan konsep diri akan menjadi pedoman yang

berpengaruh bagi perkembangan potensi anak secara optimal.

2.2.2 Peran Orang Tua

Peran orang tua adalah suatu fungsi yang menyertai seseorang ketika

menduduki suatu karakteristik (posisi) tertentu dalam struktur sosial. Peran orang

tua dalam menyiapkan anak untuk menghadapi tantang di masa mendatang

merupakan fase kehidupan penting yang membutuhkan perencanaan dan

koordinasi yang baik (Santrock 2002). Perencanaan dan koordinasi yang baik

menuntut orang tua untuk selalu mengasah kepekaan dalam memahami,

merencanakan serta mengkoordinasikan peran orang tua dalam proses interaksi

kepada anak, terutama apabila seorang ibu juga ikut bekerja.

Orang tua dalam proses mendidik anak terkait dengan peran sosialisasi.

Peran sosialisasi adalah peran yang melibatkan tanggung jawab keluarga, sekolah

dan masyarakat dalam memberikan nilai, keyakinan dan perilaku yang dianggap

bernilai penting bagi individu untuk untuk mengakomodasikan lingkungan

dimana individu berada (Mussen dan Conger 1979).

Menurut Gunarsa (2002) peran orang tua adalah sebagai berikut :

1. Sebagai orang tua yang berkewajiban membesarkan, merawat, memelihara

dan memberikan kesempatan anak untuk berkembang secara optimal

2. Sebagai guru yang memiliki peran untuk mengajarkan ketangkasan

motorik, keterampilan melalui latihan-latihan, mengajarkan peraturan, tata

(28)

3. Sebagai tokoh teladan

2.2.3 Peran Ibu

Sering dikatakan bahwa ibu adalah jantung dari keluarga.Jantung dalam

tubuh merupakan alat yang sangat penting bagi kehidupan seseorang.Apabila

jantung berhenti berdenyut maka orang itu tidak bisa melangsungkan

hidupnya.Perumpaan ini menyimpulkan bahwa kedudukan seorang ibu sebagai

tokoh sentral dan sangat penting untuk melaksanakan kehidupan.Pentingnya

seorang ibu terutama terlihat sejak kelahiran anaknya (Gunarsa 2004).

Peran ibu sangat banyak, peranan ibu sebagai istri dan ibu dari anak-

anaknya, mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya,

dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota

masyarakat dari lingkungannya. Disamping itu, ibu juga dapat berperan sebagai

pencari nafkah tambahan bagi keluarganya (Effendy 1998).

Menurut Friedman dalam Effendy (1998), peran ibu didefinisikan sebagai

kemampuan untuk mengasuh, mendidik dan menentukan nilai kepribadian.Peran

pengasuh adalah peran dalam memenuhi kebutuhan pemeliharaan dan perawatan

anak agar kesehatannya terpelihara sehingga diharapkan mereka menjadi

anak-anak yang sehat baik fisik, mental, sosial dan spiritual. Selain itu peran pengasuh

adalah peran dalam memberikan kasih sayang, perhatian, rasa aman, kehangatan

kepada anggota keluarga sehingga memungkinkan mereka tumbuh dan

berkembang sesuai usia dan kebutuhannya.

Realitas peran ibu kini adalah bahwa di banyak keluarga, tanggung jawab

(29)

pekerjaan keluarga masih dibebankan di pundak ibu (Barnard & Martell 1995

dalam Santrock 2007).

2.4 Konsep Anak Usia Pra Sekolah 2.4.1 Definisi Anak Usia Pra Sekolah

Usia prasekolah adalah usia anak pada masa prasekolah dengan rentang

tiga hingga enam tahun (Potter dan Perry 2009). Pengertian yang sama juga

dikemukakan oleh Hockenberry dan Wilson (2009) bahwa usia prasekolah

merupakan usia perkembangan anak antara usia tiga hingga lima tahun. Pada

usia ini terjadi perubahan yang signifikan untuk mempersiapkan gaya hidup

yaitu masuk sekolah dengan mengkombinasikan antara perkembangan biologi,

psikososial, kognitif, spiritual dan prestasi sosial. Anak pada masa prasekolah

memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai laki-laki atau perempuan, dapat

mengatur diri dalam toilet training dan mengenal beberapa hal yang berbahaya

dan mencelakai dirinya.

2.4.2 Perkembangan dan Pertumbuhan Anak Usia Pra Sekolah

Anak usia prasekolah masih dalam peningkatan pertumbuhan dan

perkembangan yang berlanjut dan stabil terutama kemampuan kognitif serta

aktivitas fisik (Hidayat 2008). Selain itu anak berada pada fase inisiatif dan rasa

bersalah (inisiative vs guilty).Rasa ingin tahu (courius) dan daya imajinasi anak

berkembang, sehingga anak banyak bertanya mengenai segala sesuatu di

sekelilingnya yang tidak diketahui. Selain itu anak dalam usia prasekolah belum

mampu membedakan hal yang abstrak dan tidak abstrak.

Menurut Wong (2009) proses pertumbuhan dan perkembangan bersifat

(30)

prasekolah akan mengalami proses perubahan baik dalam pola makan, proses

eliminasi dan perkembangan kognitif menunjukan proses kemandirian (Hidayat

2008). Proses perkembangan pada anak:

1. Perkembangan biologis

Pada anak usia prasekolah akan mengalami pertumbuhan dan

perkembangan fisik yang melambat dan stabil. Dimana pertambahan

berat badan 2-3kg pertahun dengan rata-rata berat badan 14,5 kg pada

usia 3 tahun, 16,5 kg pada usia 4 tahun dan 18,5 kg pada usia 5 tahun.

Tinggi badan tetap bertambahdengan perpanjangan tungkai dibandingkan

dengan batang tubuh. Rata-rata pertambahan tingginya 6,5-9 cm

pertahun. Pada anak usia 3 tahun, tinggi badan rata-rata adalah 95 cm dan

103 cm pada usia 4 tahun serta 110 cm pada usia 5 tahun (Wong et al

2009). Pada perkembangan motorik, anak mengalami peningkatan

kekuatan dan penghalusan keterampilan yang sudah dipelajari

sebelumnya seperti berjalan, berlari dan melompat.Namun pertumbuhan

otot dan tulang masih jauh dari matur sehingga anak mudah cedera

(Hockenberry dan Wilson 2007).

2. Perkembangan kognitif

Anak usia pra sekolah pada perkembangan kognitif mempunyai tugas

yang lebih banyak dalam mempersiapkan anak mencapai kesiapan

tersebut. Serta proses berpikir yang sangat penting dalam mencapai

kesiapan tersebut (Wong, et al 2009). Pemikiran anak akan lebih

kompleks pada usia ini, dimana mengkategorikan obyek berdasarkan

(31)

Perry2009). Menurut Marry (2005) tinjauan teori mengenai

perkembangan kognitif menggunakan tahap berpikir pra operasional oleh

Piaget. Dimana dibagi menjadi dua fase yaitu:

1) Fase pra konseptual (usia 2-4 tahun) dimana pada fase ini konsep

anak belum matang dan tidak logis dibandingkan dengan orang

dewasa. Mempunyai pemikiran yang berorientasi pada diri sendiri,

dan membuat klasifikasi yang masih relatif sederhana.

2) Fase intuitif (4-7 tahun) dimana anak mampu bermasyarakat namun

belum dapat berpikir timbal balik. Anak biasanya banyak meniru

perilaku orang dewasa tetapi sudah mampu memberi alasan pada

tindakan yangdilakukan.

3. Perkembangan moral

Anak pada usia prasekolah mampu mengadopsi serta menginternalisasi

nilai-nilai moral dari orang tuanya. Perkembangan moral anak berada

pada tingkatan paling dasar. Anak mempelajari standar perilaku yang

dapat diterima untuk bertindak sesuai dengan standar norma yang berlaku

serta merasa bersalah bila telah melanggarnya (Kohlberg, 1994 dalam

Wong, 2009).

4. Perkembangan psikososial

Anak usia prasekolah menurut Hockenberry & Wilson (2009) sudah siap

dalam menghadapi dan berusaha keras mencapai tugas perkembangan.

Tugas perkembangan yang dimaksud adalah menguasai rasa inisiatif

yaitu bermain, bekerja serta mendapatkan kepuasan dalam kegiatannya,

(32)

bersalah, cemas dan takut yang timbul akibat pikiran berbeda dengan

perilaku yang diharapkan.

2.5 Konsep Kecerdasan Moral Anak 2.5.1 Konsep Perkembangan Moral Anak

Piaget pada awal pengamatannya terhadap perkembangan kognitif anak

pada tahun 1932 (Santrock, 1999) mulai mengkaji masalah perkembangan moral.

Berdasarkan pengamatannya terhadap sejumlah anak berusia 4-12 tahun, Piaget

berkesimpulan bahwa kemampuan memahami isu-isu moral seperti kebohongan,

pencurian, hukuman, dan keadilan berlangsung berdasarkan tahapan pertama pada

usia 4-7 tahun disebut sebagai heteronomous morality, tahapan kedua pada usia

7-10 tahun disebut tahap transisi, tahapan ketiga pada usia 7-10 tahun dan selanjutnya

disebut autonomous morality (Gibbs, et al dalam Santrock 1999).

Proses perkembangan moral anak yang dipaparkan oleh Piaget sesuai

dengan konsep dasarnya mengenai perkembangan kognitif (Santrock 1999). Anak

memahami isu moral melalui proses yang bertahap sesuai dengan fenomena sosial

dan relasi anak dengan lingkungannya. Pendapat Piaget didukung oleh Kohlberg

(dalam Lickona 1987), bahwa pemahaman moral anak berupa penalaran moral

anak terhadap fenomena sosial yang senantiasa berhubungan dengan norma sosial.

Konsep kunci perkembangan moral menurut teori Kohlberg (dalam Santrock

1999) adalah proses internalisasi, yaitu perubahan perilaku yang berawal dari

pengendalian dari lingkungan (eksternal) ke perilaku yang dikendalikan oleh diri

sendiri (internal).

Menurut Kohlberg dalam (Bertens 2007), enam tahap (stages) dalam

(33)

demikian rupa sehingga setiap tingkat meliputi dua tahap. Tiga tingkat itu

berturut-turut adalah tingkat prakonvensional, tingkat konvensional dan tingkat

pascakonvensional.

Tabel 2.1 Enam Tahap dalam Perkembangan Moral Menurut Kohlberg (Sarayati 2016)

Tingkat Tahap Usia Rata-rata

I. Prakonvensional

Individu berespons

terhadap peraturan budaya mengenai label baik-buruk, benar atau salah. Peraturan yang terbentuk secara

eksternal menentukan

Takut terhadap hukuman, bukan rasa hormat terhadap otoritas merupakan alasan

terbentuknya keputusan,

perilaku, dan konformitas.

2. Orientasi Relativist

Instrumental

Konformitas didasarkan pada kebutuhan egosentris dan narsisistik. Tidak ada rasa keadilan, loyalitas, dan terima

kasih. “saya bersedia

melakukan sesuatu asalkan saya mendapatkan imbalan

atau karena hal

Individu memikirkan upaya

untuk mempertahankan

harapan dan peraturan

keluarga, kelompok, Negara, serta masyarakat. Perasaan bersalah telah berkembang dan mempengaruhi perilaku. Individu menerima nilai konformitas, loyalitas, dan

berupaya aktif dalam

mempertahankan tata tertib

Keputusan dan perilaku

didasarkan pada

kekhawatiran akan reaksi

orang lain. Individu

menginginkan persetujuan

dan penghargaan dari orang lain. Respons empati, yang didasarkan pada pemahaman tentang perasaan orang lain, merupakan faktor

penentu terbentuknya

keputusan dan perilaku. (“Saya dapat menempatkan diri saya pada posisi Anda.”) 4. Orientasi Hukum dan Tata

Tertib

Individu ingin menerapkan peraturan yang berasal dari

(34)

Tingkat Tahap Usia Rata-rata terbentuknya keputusan dan

perilaku adalah bahwa

peraturan dan tradisi sosial dan seksual menuntut respons tersebut. (“Saya bersedia melakukan sesuatu karena itu adalah tugas saya dan begitulahhukumnya.”)

III. Postkonvensional Individu hidup secara otonom dan mendefinisikan nilai-nilai serta prinsip-

prinsip moral yang

membedakan antara

identifikasi pribadi dengan

nilai-nilai kelompok.

Individu hidup menurut

prinsip-prinsip yang

disetujui secara universal dan yang dianggap sesuai untuk kehidupannya. Fokus bersifat universal

5. Orientasi Legalistik

KontrakSosial

Peraturan sosial bukan

merupakan satu-satunya dasar

utama terbentuknya

keputusan dan perilaku. Sebab, individu meyakini adanya prinsip moral yang lebih tinggi sperti kesetaraan,

keadilan, atau proses

yangseharusnya.

6. Orientasi Prinsip Etis

Universal

Keputusan dan perilaku didasarkan pada peraturan yang terinternalisasi, lebih kepada hati nurani bukan hukum sosial, dan juga berdasarkan prinsip- prinsip etis dan abstrak pilihan

pribadi yang bersifat

universal, komprehensif, dan konsisten

Konsep Piaget dan Kohlberg memiliki pengaruh yang signifikan dalam

perkembangan kognitif dan moral anak. Namun berbagai kritikan muncul

berkaitan dengan pertimbangan bahwa orangtua tidak hanya membutuhkan

pemahaman apakah anaknya sudah mencapai tahapan penalaran moral sesuai

usianya, orangtua lebih membutuhkan pemahaman bagaimana cara mencerdaskan

moral anak, anak bukan hanya berpikir secara moral namun berperilaku secara

moral (Coles 1999). Sedangkan menurut Coles (1999) konsep kecerdasan moral

(35)

kapasitas anak berpikir, merasakan dan berperilaku secara norma moral atau solid

character.

Sejalan dengan Coles, Borba mencoba memaparkan konsep yang

memadukan teori perkembangan moral. Teori perkembangan moral terbagi

menjadi tiga yaitu : (1) moral feeling (rasa bersalah, malu, dan empati) yang

dikembangkan oleh Hoffman, (2) moral reasoning (kemampuan memahami

aturan, membedakan benar dan salah, dan mampu menerima sudut pandang orang

lain serta pada pengambilan keputusan), yang dikembangkan oleh Piaget dan

Kohlberg dan (3) moral action (respon atas godaan yang datang untuk tetap

berpegang teguh pada aturan, perilaku prososial, kontrol diri atas dorongan yang

muncul yang dikembangkan oleh Eisenberg dan Fabes (Berns 2007).

Menurut Borba (2001) Penyebab merosotnya moralitas sangatlah

kompleks, lingkungan moral tempat anak-anak dibesarkan saat ini sangat

mempengaruhi kecerdasan moral mereka karena sejumlah faktor sosial kritis yang

membentuk karakter bermoral secara perlahan mulai runtuh yaitu, pengawasi

orang tua, teladan perilaku bermoral, pendidikan spiritual dan agama, hubungan

akrab dengan orang dewasa, dukungan masyarakat dan pola asuh orang tua yang

benar. Melalui pendekatan teori dari Michele Borba yaitu kemampuan untuk

memahami benar dan salah serta pendirian yang kuat untuk berpikir dan

berperilaku sesuai dengan norma moral, Borba memberikan tingkatan

pembentukan kecerdasan moral dalam tujuh kebajikan yaitu, empati, nurani,

kontrol diri, menghargai, baik budi, toleransi, adil (Borba 2001).

Menurut Borba (2001) membangun budaya moral harus dimulai dari

(36)

ayah maupun ibu kepada anak. Akar dari kecerdasan moral anak terdiri dari tujuh

aspek utama yang orang tua tanamkan kepada anak. Anak akan menggunakan

aspek tersebut sepagai pola dasar dalam membentuk karakter dan sisi

kemanusiaanya, dan sepanjang hidup anak akan menggunakannya. Konsep ini

telah digunakan secara meluas di beberapa negara bagian di Amerika Serikat

sebagai metode untuk membantu orangtua maupun dalam membantu

anak-anaknya mengembangkan kecerdasan moral.

2.5.2 Definisi Kecerdasan Moral

Kecerdasan moral didefinisikan oleh Borba (2001) sebagai kemampuan

untuk memahami benar dan salah dan pendirian yang kuat untuk berpikir dan

berperilaku sesuai dengan nilai moral. Lebih lanjut, Borba (2001) merumuskan

kecerdasan moral dalam tujuh aspek moral yaitu : emphaty, conscience, self

control, respect, kindness, tolerance dan fairness. Aspek-aspek tersebut yang

akan melindungi anak agar tetap berada di jalan yang benar dan mendorong anak

untuk beperilaku moral. Perkembangan moral merupakan suatu proses yang terus

menerus berkelanjutan sepanjang hidup. Meningkatnya kapasitas moral anak dan

didukung dengan lingkungan yang kondusif, sehingga anak berpotensi menguasai

moralitas yang lebih tinggi. Ketika anak berhasil menguasai satu kebajikan,

kecerdasan moralnya semakin meningkat dan anak mencapai tingkat kecerdasan

moral yang lebih tinggi (Borba 2001).

Berdasarkan paparan di atas disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan

perkembangan kecerdasan moral anak usia prasekolah merujuk pada pendapat

Borba yaitu kemampuan anak prasekolah untuk memahami benar dan salah dan

(37)

moral yang didasarkan atas ketaatan akan aturan dan hukuman dari orang dewasa,

yang meliputi tujuh aspek moral utama yaitu empati, nurani, kontrol diri, serta

aspek moral yang lainnya yaitu respek, baik budi, toleran dan adil.

2.5.3 Aspek Kecerdasan Moral Anak

Borba (2001) menjabarkan kecerdasan moral anak dalam tujuh aspek yang

dimiliki seorang anak yang cerdas moral. Ketujuh aspek tersebut yaitu :

1. Empati (emphaty)

Anak yang memiliki empati cenderung sensitif, menunjukkan kepekaan

pada kebutuhan dan perasaan orang lain, membaca isyarat nonverbal orang

lain dengan tepat dan bereaksi dengan tepat, menunjukkan pengertian atas

perasaan orang lain, berperilaku menunjukkan kepedulian ketika seseorang

diperlakukan tidak adil, menunjukkan kemampuan untuk memahami sudut

pandang orang lain, mampu mengidentifikasi secara verbal perasaan orang

lain. Indikator dari empati yaitu (1) merasakan perasaan orang lain dan (2)

memahami perasaan orang lain (Borba 2001).

2. Nurani (conscience)

Anak yang memiliki tingkat nurani tinggi cenderung berani mengakui

kesalahan dan mengucapkan kata maaf, mampu mengidentifikasi

kesalahannya dalam berperilaku, jujur dan dapat dipercaya, jarang

membutuhkan teguran atau peringatan dari seseorang yang berwenang

untuk berperilaku benar, mengakui konsekuensi atas perilakunya yang

tidak patut/salah, tidak melimpahkan kesalahan pada orang lain. Indikator

(38)

(2) merasa bersalah dan malu atas perbuatan buruknya, dan (3) bersikap

baik meskipun ada tekanan untuk berbuat sebaliknya (Borba 2001).

3. Kontrol diri (self-control)

Anak dengan kontrol diri cenderung menunggu giliran dan jarang

memaksakan pendapatnya atau menyela; mampu mengatur impuls dan

dorongan tanpa bantuan orang dewasa; mudah kembali tenang ketika

frustrasi/kecewa atau marah; jarang membutuhkan peringatan, bujukan,

atau teguran untuk bertindak benar.

4. Respek (respect)

Respek mendorong anak bersikap baik dan menghormati orang

lain. Kebajikan ini mengarahkan anak memperlakukan orang lain

sebagaimana ia ingin orang lain memperlakukan dirinya, sehingga

mencegah anak bertindak kasar, tidak adil, dan bersikap memusuhi. Jika

anak terbiasa bersikap hormat terhadap orang lain, ia akan memerhatikan

hak-hak serta perasaan orang lain, akibatnya, ia juga akan menghormati

dirinya sendiri. Indikator respek yaitu (1) Menghormati orang yang lebih

tua, (2) tidak menyela pembicaraan pada waktu yang tidak tepat, dan (3)

memberi salam setiap berjumpa dengan orang lain.

5. Kebaikan hati (kindness)

Anak dengan karakter kindness yang kuat cenderung mengucapkan

komentar yang baik yang mampu membangun semangat pada orang lain

tanpa bujukan, sungguh-sungguh peduli ketika orang lain diperlakukan

tidak adil, memperlakukan binatang dengan lembut; berbagi, membantu,

(39)

menjadi bagian dari orang-orang yang mengintimidasi dan mengejek orang

lain, selalu menunjukkan kebaikan hati dan perhatian pada orang lain

dengan contoh dari orangtua/guru berikan.Indikator dari kebaikan hati

yaitu (1) peduli terhadap orang yang diperlakukan tidak adil, (2)

memperlakukan makhluk ciptaan-Nya dengan baik, dan (3) suka

melakukan sesuatu yang membuat orang lain senang (Borba 2001).

6. Toleransi (tolerance)

Anak yang toleran cenderung menunjukkan toleran pada orang lain tanpa

menghiraukan perbedaan; menunjukkan penghargaan pada orang dewasa

dan figur yang memiliki wewenang; terbuka untuk mengenal orang dari

berbagai latar belakang dan keyakinan yang berbeda dengannya;

menyuarakan perasaan tidak senang dan kepedulian atas seseorang yang

dihina; mengulurkan tangan pada anak lain yang lemah, tidak

membolehkan adanya kecurangan; menahan diri untuk memberikan

komentar yang akan melukai hati kelompok atau anak lain; fokus pada

karakter positif yang ada pada orang lain meskipun ada perbedaan di

antara mereka; menahan diri untuk tidak menilai orang lain. Borba (2008)

mengemukakan indikator toleransi yaitu (1) memperlakukan orang lain

dengan cara yang sama dan tidak membeda-bedakan agama, suku, ras, dan

golongan dan (2) menghargai perbedaan yang ada tanpa melecehkan

kelompok lain.

7. Adil (fairness)

Anak yang memiliki sense of fairness yang kuat : sangat senang atas

(40)

menyalahkan orang lain dengan semena-mena, rela berkompromi untuk

memenuhi kebutuhan orang lain, berpikiran terbuka, berlaku sportif dalam

pertandingan olahraga, menyelesaikan masalah dengan cara damai dan

adil, bermain sesuai aturan; mau mengakui hak orang lain yang dapat

menjamin bahwa mereka patut diperlakukan dengan sama dan adil. Borba

(2008) mengemukakan indikator keadilan yaitu (1) memperlakukan orang

lain dengan sikap tidak memihak dan wajar dan (2) mempunyai pandangan

yang jujur dalam kehidupan sehari-hari dan di dalam situasi khusus, tanpa

terpengaruh dari manapun dan siapapun.

Berdasarkan paparan di atas, disimpulkan bahwa pendapatBorba mengenai

aspek perkembangan kecerdasan moral anak lebih tepat digunakan untuk

mengetahui sejauh mana kapasitas anak berpikir dan berperilaku moral. Sesuai

dengan yang dikemukakan Borba, perkembangan kecerdasan moral anak meliputi

beberapa aspek kebajikan yaitu empati, nurani, kontrol diri, respek, kebaikan hati,

toleran dan adil.

2.5.4 Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Moral Anak

Menurut Borba (2001) dalam Berns (2007) berpendapat bahwa ada tiga

keadaan (contexts) yang berpengaruh terhadap perkembangan moral seseorang,

yaitu: situasi, individu, dan sosial. Tiga keadaan tersebut yaitu :

1. Konteks situasi

Konteks situasi meliputi sifat hubungan antara individu dan yang terkait

dengan apakah ada orang lain yang melihatnya, pengalaman yang sama

sebelumnya, dan nilai sosial atau norma di masyarakat tempat tinggal

(41)

2. Konteks individu

Konteks individu meliputi yaitu :

1) Temperamen; Perkembangan moral mungkin dipengaruhi oleh

temperamen individu, karakteristik bawaan seseorang sensitif

terhadap berbagai pengalaman dan kemampuan bereaksi pada variasi

interaksi sosial

2) Kontrol diri (self-control); Perkembangan moral mungkin juga

dipengaruhi oleh kontrol diri, yaitu kemampuan untuk mengatur

dorongan, perilaku, dan emosi. Penelitian yang dilakukan oleh

Mischel dkk. (dalam Berns, 2007) menemukan bahwa anak taman

kanak-kanak yang memiliki kontrol diri lebih sukses daripada anak

yang impulsif dengan menahan godaan untuk curang pada saat

eksperimen bermain

3) Harga diri (self-esteem); Pada anak, harga diri belum berkembang

secara sempurna. Konsep yang lebih tepat untuk menggambarkannya

adalah self-worth. Pada anak usia prasekolah, nilai diri anak belum

dapat didasarkan pada penghargaan realistik. Anak mampu membuat

penilaian atas kompetensinya namun belum mampu memilah nilai

pentingnya (Harter, dalam Papalia dkk 2003)

4) Umur dan kecerdasan; Penalaran moral berkaitan secara signifikan

dengan usia dan IQ (Kohlberg dkk., dalam Berns 2007). Semakin

bertambah usia anak maka penalaran moral anak pun berkembang

sesuai dengan tahapannya. Seiring dengan berubahnya kemampuan

(42)

perkembangan moral yang lebih tinggi. Penelitian oleh Wellman,

Larkey dan Somerville (1979) menunjukkan bahwa pada anak usia 5

tahun lebih mampu memahami kriteria moral dan memberikan moral

judgment yang lebih tepat dibandingkan anak usia 3 dan 4 tahun

meskipun pada anak usia 3-4 tahun sudah menunjukkan kesadaran

atas kriteria moral

5) Pendidikan; Melalui pendidikan anak memiliki kesempatan untuk

mengembangkan pemikiran kritis yang dimiliki anak. Pemikiran

kritis dapat dibangun melalui kebiasaan berdiskusi untuk

meningkatkan perkembangan penalaran moral. Anak yang

dibiasakan dan diberi kesempatan untuk berdialog dapat membantu

meningkatkan kapasitas moral

6) Interaksi sosial; Beberapa penelitian percaya bahwa moral

berkembang karena interaksi sosial, misalnya karena diskusi atau

dialog (Walker & Taylor; Younis; dalam Berns 2007). Interaksi anak

dengan orang lain memungkinkan adanya komunikasi yang terbuka

dan dialog, anak memiliki kesempatan mengutarakan

pandangan-pandangannya,

7) Emosi; Menurut Jerome Kagan (dalam Berns 2007) pada sebagian

besar orang, moral lebih berkaitan dengan emosi daripada penalaran

atau pikiran. Individu termotivasi untuk berperilaku moral ketika

kondisi emosinya diwarnai perasaan yang menyenangkan dibanding

perasaan yang tidak menyenangkan.

(43)

Konteks sosial meliputi yaitu :

1) Keluarga; Borba (2001) berpendapat bahwa untuk membangun

budaya moral harus dimulai dari rumah. Moralitas dibangun atas

dasar hubungan yang harmonis antara orang tua ayah maupun ibu

kepada anak. Lebih lanjut, Pratt dkk. (dalam Noe, 2008) menyatakan

bahwa orangtua yang responsif akan meningkatkan kematangan

penalaran moral anak

2) Teman sebaya; Anak yang memiliki kesempatan untuk berpartisipasi

dalam kelompok teman sebaya dapat lebih mengembangkan

penalaran dan perilaku moral. Sebagaimana dikatakan oleh Hartup

(dalam Grusec & Kuczynsky 1997) bahwa interaksi dengan teman

sebaya menyediakan sumber pengetahuan, nilai-nilai dan

keterampilan yang berbeda dari yang disajikan oleh orang tua

mereka.

3) Sekolah; Sekolah mempengaruhi perkembangan moral melalui

program pembelajaran dan para stafnya (Kohlberg & Salker dalam

Berns 2007). Sejalan dengan penelitian oleh Nazar (2001)

menyatakan bahwa anak pun melakukan proses sosialisasi moral di

sekolah dengan adanya proses pembelajaran atau kegiatan yang

berbasis agama, memberikan kesempatan pada anak belajar

memberikan judgment atas perilaku moral

4) Media masa; Hasil penelitian tentang pengaruh televisi dan

pertimbangan moral pada anak menunjukkan bahwa anak yang

(44)

menunjukkan level penalaran moral yang lebih rendah (Rosenkoetter

dkk., dalam Berns 2007). Anak melakukan identifikasi melalui

model dalam televisi, anak menerima sikap dan perilaku tokoh

dalam televisi dan pada akhirnya anak meniru

5) Masyarakat; Beberapa ahli percaya bahwa perkembangan moral

dipengaruhi oleh ideologi budaya dalam masyarakatnya. Anak

belajar budi pekerti melalui proses yang alami di dalam keluarga

yang tentunya diwarnai oleh nilai-nilai filosofis budaya yang

diyakini oleh keluarga.

2.6 Keaslian Penelitian

Tabel 2.2 Keaslian Penelitian Hubungan antara Pola Asuh Ibu dengan Tingkat Kecerdasan Moral Anak Usia Pra Sekolah 4-6 tahun di TK Pelita Jaya Surabaya.

No

. Judul Penelitian Variabel

Metode

Hasil penelitian didapatkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pola asuh ibu

yang bekerja dengan

kepercayaan diri anak

prasekolah dengan derajat

Penelitian ini menunjukkan

terdapat hubungan yang

bermakna antara profesi ibu dengan perkembangan anak,

namun tidak terdapat

(45)

No. Judul Penelitian Variabel Penelitian Metode Hasil Penelitian

(46)

BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Konseptual

: diteliti

: tidak diteriti

Gambar 3.1 Kerangka Konseptual Hubungan antara Pola Asuh Ibu dengan Tingkat Kecerdasan Moral Anak Usia Pra Sekolah 4-6 tahun (Adopsi Teori Michele Borba 2001).

Kecerdasan Moral Anak

Pola asuh ibu keluarga

Otoriter Demokratis Permisif Faktor yang Mempengaruhi

Kecerdasan Moral

Konteks

situasi Individu Konteks Konteks sosial

teman

sekolah

masyarakat

Media massa

(47)

Teori Michele Borba (2001) ini menjelaskan ada tiga faktor yang

mempengaruhi kecerdasan moral yaitu, konteks situasi, konteks individu dan

konteks sosial. Dimana pada konteks sosial meliputi keluarga, teman, sekolah dan

media massa. Membangun budaya moral dimulai dari keluarga. Di dalam

keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak. Dalam keluarga tebentuk pola asuh. Pola

asuh sendiri terbagi menjadi tiga yaitu otoriter, demokratis dan permisif. Pola

asuh ibu mempengaruhi kecerdasan moral anak . Kecerdasan moral mempunyai

tujuh kebajikan moral yaitu : emphaty, conscience, self control, respect, kindness,

tolerance dan fairness. Kebajikan-kebajikan utama tersebut yang akan melindungi

anak agar tetap berada di jalan yang benar dan mendorong anak untuk beperilaku

moral. Meningkatnya kapasitas moral anak dan didukung dengan lingkungan yang

kondusif, sehingga anak berpotensi menguasai moralitas yang lebih tinggi. Ketika

anak berhasil menguasai satu kebajikan, kecerdasan moralnya semakin meningkat

dan anak mencapai tingkat kecerdasan moral yang lebih tinggi.

Pola asuh ibu menjadi variabel independen dengan kategori tipe pola asuh

otoriter, demokratis dan permissive sedangkan kecerdasan moral menjadi variabel

dependen dengan tujuh aspek moral meliputi emphaty, conscience, self control,

respect, kindness, tolerance dan fairness sehingga dapat diketahui apakah ada

hubungan antara pola ibu dengan tingkat kecerdasan moral anak usia pra sekolah

(48)

3.2 Hipotesis Penelitian

H1 : Ada hubungan antara pola asuh ibu dengan tingkat kecerdasan moral anak

(49)

BAB 4

METODE PENELITIAN

Metode penelitian dalam penelitian ini membahas tentang desain

penelitian, populasi, sampel, sampling, identifikasi variabel, definisi operasional,

instrumen penelitian, lokasi dan waktu penelitian, prosedur pengambilan dan

pengumpulan data, kerangka kerja, analisis data, dan etik penelitian

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif korelasional

dengan pendekatan cross sectional. Penelitian cross sectional adalah jenis

penelitian yang menekankan waktu pengukuran (observasi) data variabel

independen dan dependen hanya satu kali pada waktu yang sama (Nursalam 2008)

Studi ini akan memperoleh efek suatu fenomena (variabel dependen)

dihubungkan dengan penyebab (variabel independen). Peneliti mempelajari

hubungan antara pola asuh ibu dengan tingkat kecerdasan moral anak usia pra

sekolah 4-6 tahun di TK Pelita Jaya Surabaya pada penelitian ini.

4.2 Populasi, Sampel, dan Sampling

4.2.1 Populasi

Populasi adalah subyek yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan

(Nursalam 2008). Populasi target pada penelitian ini adalah semua ibu dari anak

prasekolah di Taman Kanak – Kanak Pelita Jaya Surabaya kelas A dan B

(50)

4.2.2 Sampel

Sampel adalah populasi terjangkau yang dapat dipergunakan sebagai subyek

penelitian melalui sampling (Nursalam 2008). Sampel dalam penelitian ini didapat

75 ibu dari anak pra sekolah usia 4-6 tahun.

Tabel 4.1 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

IBU GURU

Kriteria inklusi

1) Ibu bisa menulis dan membaca 2) Ibu yang bersedia menjadi

responden

3) Ibu yang mempunyai anak usia pra sekolah

Kriteria Inklusi

1) Guru dari anak usia 4-6 tahun 2) Guru yang sudah mengajar lebih

dari 3 bulan

Kriteria Eksklusi

1) Ibu yang tidak hadir pada saat itu Kriteria Eksklusi 1) Guru yang tidak hadir pada saat itu

4.2.3 Sampling

Penelitian ini menggunakan total sampling. Menurut Nursalam (2008)

total sampling adalah teknik penentuan sampel dengan sampel yang digunakan

adalah total populasi.

4.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel

Variabel merupakan karakteristik yang memberikan nilai beda terhadap

sesuatu (benda, manusia, dan lain-lain) (Nursalam2008).

4.3.1 Variabel Independen

Variabel independen adalah variabel yang mempengaruhi variabel

dependen (Nursalam2008). Variabel independen dalam penelitian ini adalah pola

(51)

4.3.2 Variabel Dipenden

Variabel yang nilainya ditentuka oleh variabel lain, atau variabel terikat

adalah faktor yang diamati dan diukur untuk menentukan ada tidaknya hubungan

atau pengaruh dari variabel bebas (Nursalam 2008). Variabel dependen dalam

penelitian ini adalah tingkat kecerdasan moral anak.

4.3.3 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah penjelasan semua variabel dan istilah yang

akan digunakan dalam pnelitian secara operasional sehingga mempermudah

pembaca maupun penguji dalam mengartikan makna penelitian (Nursalam 2008).

Definisi operasional dari variabel yang dapat diteliti dapat dilihat pada tabel

(52)

Tabel 4.2 Definisi Operasional Hubungan antara Pola Asuh Ibu dengan Tingkat Kecerdasan Moral Anak Usia Pra Sekolah 4-6 Tahun di TK Pelita Jaya Surabaya.

Variabel Operasional Definisi Parameter Alat Ukur Skor Skala

Variabel segalaya untuk anak. Memiliki ciri-ciri :

1) Adanya kontrol yang ketat dan kaku dari orang tua

2) Aturan dan batasan dari orang tua harus ditaati oleh anak

3) Anak harus bertingkah laku sesuai aturan yang diterapkan orang tua

4) Orang tua tidak

mempertimbangkan pandangan dan pendapat anak

5) Orang tua memusatkan perhatian dan pengendalian cara otoriter yaitu berupa hukuman fisik. 2. Permisif, mempunyai ciri-ciri:

1) Tidak ada bimbingan maupun aturan yang ketat dari orang tua 2) Tidak ada pengendalian atau

pengontrolan serta tuntutan kepada anak. Penilaian didasarkan pada kuesioner yang bersifat

(53)

Variabel Operasional Definisi Parameter Alat Ukur Skor Skala 3) Anak diberi kebebasan dan

diizinkan membuat keputusan untuk dirinya sendiri

4) Tidak ada kontrol dari orang tua 5) Anak tidak akan dihukum

meskipun melanggar peratruran 3. Demokrasi, mempunyai ciri:

1) Menentukan peraturan dan disiplin dengan memperhatikan dan mempertimbangkan alasan-alasan yang dapat diterima, dipahami dan dimengerti oleh anak

(54)

Variabel Definisi Operasional Parameter Alat Ukur Skor Skala salah dan berperilaku sesuai dengan nilai moral.

Empati :

1. Merasakan perasaan orang lain

(55)
(56)

Variabel Operasional Definisi Parameter Alat Ukur Skor Skala Adil :

1. Memperlakukan orang lain dengan sikap tidak memihak dan wajar

2. Mempunyai pandangan yang jujur dalam kehidupan sehari-hari dan di dalam situasi khusus, tanpa terpengaruh dari manapun dan siapapun.

Respek :

1. Menghormati orang yang lebih tua

2. Tidak menyela pembicaraan pada waktu yang tidak tepat 3. Memberi salam setiap

(57)

4.4 Instrumen Penelitian

1. Instrumen Variabel Independen

Instrumen yang digunakan adalah kuisioner pola asuh. Kuisioner pola asuh

terdiri dari 25 pertanyaan tentang pola asuh yang diadopsi berdasarkan kuisioner

yang dibuat dan diuji validitas oleh Taamu (2007), kuisioner tersebut terdiri dari

praktik-praktik yang dilaksanakan orang tua atau keluarga dalam memberikan

asuhan kepada anak yang digolongkan dalam tiga bentuk pola asuh. Hasil

pertanyaan dengan jawaban/ nilai terbanyak mengidentifikasikan tipe pola

asuhyang diterapkan orang tua kepada anak. Pada setiap pertanyaan terdapat

choice yang masing-masing memiliki nilai berbeda-beda nilainya mulai dari 1

(satu) sampai dengan 3 (tiga). Penggunaan dari lembar kuisioner ini dengan

melingkari salah satu jawaban. Pengisian kuisioner ini dikerjakan oleh responden

(ibu) selama 15 menit.

Tabel 4.3 Kriteria Penilaian Kuisioner

(58)

(Sumber: Kuisioner berdasarkan Taamu (2007) dalam Hubungan faktor keluarga, pola asuh dan tempramen dengan kelainan perilaku anak usia pra sekolah pada taman kanak-kanak di wilayah kecamatan Poasia kota Kendari)

Keterangan : 1. Otoriter 2. Demokratis 3. Permisif

Kriteria penelitian yaitu, 25 x bobot maksimal (3)= 75 dan minimal 25.

Penilaian didasarkan pada kuesioner yang bersifat choice yang terdiri dari angka 1

(satu) sampai dengan 3 (tiga) dengan kategori :

1. Otoriter= 25-42

2. Permisif= 43-59

3. Demokratis=60-75.

2. Instrumen Variabel Dependen

Instrumen dalam penelitian ini adalah angket tertutup yang diadopsi dari

kuesioner kecerdasan moral anak dari Nurrochman (2014). Angket tertutup adalah

angket yang sudah disediakan jawabannya sehingga responden tinggal memilih

saja. Untuk keperluan analisis kuantitatif, maka jawaban pada angket diberi skor

dengan menggunakan Skala Likert dengan empat pilihan jawaban untuk angket.

Adapun pilihan jawaban untuk kecerdasan moral anak sebagai berikut: No.

Pertanyaan A Pilihan ganda B C

20 1 2 1

21 2 3 3

22 2 1 3

23 1 2 3

24 1 2 3

(59)

a. Sangat Sesuai (SS)

b. Sesuai (S)

c. Tidak Sesuai (TS)

d. Sangat Tidak Sesuai (STS)

Skor untuk masing-masing kategori jawaban sebagai berikut:

Tabel 4.4 Skor Untuk Masing-Masing Kategori Jawaban

Kategori Jawaban SS S TS STS

Positif (+) 4 3 2 1

Negatif (-) 1 2 3 4

Kriteria penilaian yaitu :

1. rendah dengan nilai 0-44 ( kode1 )

2. sedang :45-88 ( kode 2 )

3. tinggi : 89–132 ( kode 3 )

Kuesioner ini memuat tujuh indikator kecerdasan moral anak yaitu

empati, nurani, kontrol diri, kebaikan hati, toleransi, adil, dan respek.

Penggunaan lembar kuesioner ini dengan memberikan tanda checklist pada

kolom yang tersedia dengan jawaban yang dianggap sesuai dengan karakter

anak sehari-hari. Agar hasilnya valid peneliti memberikan kuesioner

kecerdasan moral anak kepada guru. Pengisian kuesioner ini dikerjakan oleh

(60)

Tabel 4.5 Kisi Kisi Kuesioner Kecerdasan Moral

No Dimensi Indikator Positif Nomor Item Negatif Jumlah

1 Empati

a. Merasakan perasaan orang

lain 9, 11 22 3

b. Memahami perasaan orang

lain 1 5 2

2 Respek

a. Menghormati orang yang

lebih tua 24 10, 18 3

b. Tidakmenyela

pembicaraanpada waktu

yang tidaktepat 14 25 2

c. Memberi salam setiap

berjumpa dengan orang

lain 21 6, 12 3

b. Menghargai perbedaan

yang ada tanpamelecehkan

b. Menunggu giliran dan tidak

memotong antrian 23 26 2

6 Kebaikan

Hati

a. Peduli terhadap orang yang

diperlakukan tidak adil 19 27 2

b. Mempunyai pandangan

yang jujur dalam kehidupan sehari-hari dan di dalam

situasi khusus, tanpa

terpengaruh dari manapun dan siapapun.

33 30 2

(61)

4.5 Lokasi dan Waktu

Lokasi penelitian berada di TK Pelita Jaya Surabaya pada bulan Juni 2017

4.6 Prosedur Pengambilan atau Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan suatu proses pendekatan pada subyek dan

proses pengumpulan karakteristik dari subyek yang diperlukan dalam penelitian.

Langkah-langkah dalam pengumpulan data bergantung pada rancangan penelitian

dan teknik instrumen yang diinginkan (Burns dan Grooe, 1999 dalam Nursalam

2016). Prosedur dan pengumpulan data penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Administratif

Pelaksanaan penelitian ini diawali dengan mengajukan surat permohonan

pengantar permintaan data awal dari Fakultas Keperawatan Universitas

Airlangga untuk melakukan pengambilan data awal. Surat pengantar

ditujukan kepada Kepala TK Pelita Jaya Surabaya. Peneliti meminta ijin

kepada Kepala TK Pelita Jaya untuk melakukan pengambilan data awal

dan menjelaskan tujuan penelitian yang dilakukan di TK Pelita Jaya

Surabaya. Selanjutnya setelah sidang proposal mengajukan surat

permohonan pengantar penelitian dari Fakultas Keperawatan Universitas

Airlangga untuk melakukan penelitian. Surat pengantar ditujukan kepada

Kepala TK Pelita Jaya Surabaya.

2. Pengumpulan data

Diawali dari peneliti datang ke TK Pelita Jaya pada bulan Juni 2017

setelah itu meminta ijin kepada kepala TK dan guru untuk membagikan

kuesioner kepada ibu dari anak yang bersekolah di TK tersebut dan juga

(62)

dan waktu pengumpulan data agar tidak mengganggu kegiatan belajar

mengajar. Pada saat pengumpulan data responden (ibu) berada di tempat

yang sudah disediakan yaitu di ruang pertemuan lantai 1 dan anak-anak

tetap berada di kelas, untuk pengambilan data pada responden (guru)

dilakukan pada jam setelah kegiatan belajar mengajar selesai. Untuk

kuesioner pola asuh ibu dibagikan kepada ibu dari anak di TK Pelita Jaya

Surabaya yang berjumlah 75 orang. Sedangkan kuesioner kecerdasan

moral anak dibagikan kepada guru di TK Pelita Jaya Surabaya yang

berjumlah 8 orang. Sebelum membagikan kuesioner terlebih dahulu

peneliti menjelaskan tujuan penelitian. Setelah itu kuesioner diisi oleh

responden yang bersedia menjadi objek penelitian dan dikumpulkan sesuai

dengan batas waktu yang di tentukan. Setelah pengumpulan data selesai

responden akan diberi souvenir. Selanjutnya, setelah data terkumpul

semua maka peneliti akan melakukan analisis dan menarik sebuah

kesimpulan dalam penelitiannya.

4.7 Cara Analisis Data

Menurut Arikunto (2009), secara garis besar analisis data meliputi langkah

persiapan dan tabulasi data. Proses yang dilakukan setelah pengumpulan data

adalah pengolahan dan analisis data dengan tahapan sebagai berikut coding,

editing, entry, dan tabulating.

1. Coding, dilakukan dengan memberikan kode terhadap jawaban yang ada pada

kuisoner bertujuan untuk mempermudah dalam analisis data dan dapat

Gambar

Tabel 2.1 Enam Tahap dalam Perkembangan Moral Menurut Kohlberg (Sarayati 2016)
Tabel 2.2 Keaslian Penelitian Hubungan antara Pola Asuh Ibu dengan Tingkat Kecerdasan Moral Anak Usia Pra Sekolah 4-6 tahun di TK Pelita Jaya Surabaya
Gambar 3.1 Kerangka Konseptual Hubungan antara Pola Asuh Ibu dengan
Tabel 4.1 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Oleh sebab itu, dalam penelitian ini diajukan pertanyaan: “apakah hubungan antara pola asuh orang tua terhadap tingkat perkembangan anak usia prasekolah (usia 4-6 tahun)

Berdasarkan hasil analisis data diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan antara pola asuh orang tua demokratis terhadap kecerdasan linguistik anak kelompok A di TK

dibatasi pada pola asuh orang tua dengan kecerdasan linguistik pada anak usia dini. kelompok A di TK Aisyiyah Basin 3Klaten.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, yaitu pola asuh orang tua berpengaruh positif dan signifikan terhadap kecerdasan emosional anak pada TK B

Skripsi yang berjudul “ Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Tugas Perkembangan Pada Anak Usia Pra Sekolah di TK Insan Cendekia Tualangan Sidoarjo” ini disusun sebagai salah satu

Hal ini menunjukan bahwa secara statistik terdapat Hubungan Antara Pola Asuh Ibu dengan Tingkat Kecerdasan (IQ) Anak Usia Dini di An Najah Kota Tasikmalaya..

Setelah dilakukan beberapa pengujian statistik pada pola asuh orangtua dan tingkat kecerdasan emosional anak usia prasekolah dapat diperoleh kesimpulan bahwa sebagian besar

Tujuan Penelitian: Mengetahui hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan anak usia prasekolah di TK-IT Al-Muhajirin Sawangan Magelang.. Metode Penelitian: Metode