SKRIPSI
HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH IBU DENGAN TINGKAT KECERDASAN MORAL ANAK USIA PRA SEKOLAH 4-6 TAHUN DI TK
PELITA JAYA SURABAYA
PENELITIAN DESKRIPTIF KORELASIONAL
Oleh:
Kharisma Matahari Virgita Hermanta Putri NIM. 131311133021
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA
SKRIPSI
HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH IBU DENGAN TINGKAT KECERDASAN MORAL ANAK USIA PRA SEKOLAH 4-6 TAHUN DI TK
PELITA JAYA SURABAYA
PENELITIAN DESKRIPTIF KORELASIONAL
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep) Dalam Program Studi Pendidikan Ners
Pada Program Studi Pendidikan Ners Fakultas Keperawatan UNAIR
Oleh:
Kharisma Matahari Virgita Hermanta Putri NIM. 131311133021
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA
SURAT PERNYATAAN
Saya bersumpah bahwa skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah dikumpulkan oleh orang lain untuk memperoleh gelar dari berbagai
jenjang pendidikan di Perguruan Tinggi manapun
Surabaya, 17 Juli 2017 Yang Menyatakan
MOTTO
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Keperawatan pada Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga. Dalam menyelesaikan skripsi saya yang berjudul ” Hubungan antara Pola Asuh Ibu dengan Tingkat Kecerdasan Moral Anak Usia Pra Sekolah 4-6 Tahun di TK Pelita Jaya Surabaya” ini. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan,dukungan,serta bimbingan dari berbagai pihak, sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu,saya mengucapkan terimakasih kepada :
1. Prof. Dr. Nursalam, M.Nurs (Hons)., selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian ini.
2. Erna Dwi Wahyuni, S.Kep.,Ns., M.Kep., selaku dosen pembimbing 1 yang telah memberikan bimbingan, ilmu dan motivasi dengan penuh kesabaran hingga skripsi ini selesai dengan baik.
3. Praba Diyan Rachmawati, S.kep. Ns., M,Kep., selaku dosen pembimbing 2 yang telah meluangkan waktu untuk memberikan ilmu,koreksi,saran,dan motivasi dengan penuh kesabaran hingga skripsi ini selesai dengan baik. 4. Ilya Krisnana, S.kep. Ns., M,Kep.,selaku dosen penguji yang telah
memberikan koreksi dan saran terhadap naskah dan presentasi skripsi, sehingga skripsi ini semakin bermanfaat.
5. Iqlima Dwi Kurnia, S.Kep.Ns., M.Kep., selaku dosen penguji yang telah memberikan koreksi dan saran terhadap naskah dan presentasi skripsi, sehingga skripsi ini semakin bermanfaat.
6. Seluruh sivitas akademik Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya yang telah berkontribusi dan membantu saya untuk mengadakan penelitian sehingga tercapainya penulisan skripsi ini.
7. Kepala sekolah, guru, dan karyawan TK Pelita Jaya yang telah mengizinkan dan membantu dalam penelitian ini.
8. Seluruh responden yaitu ibu dari anak di TK Pelita Jaya yang telah bersedia ikut serta dalam peneitian ini.
9. Papa (Drs. Nerius Hermanta P.), mama (Wahyuni Dwi S.), dan adek (Bintang) yang senantiasa memberikan doa dan dukungan keluarga yang baik sehingga memotivasi saya menyelesaikan skripsi ini.
10. Dodo Rusiady dan sahabatku Irma Farikha, Marita Selvia serta penghuni kos kodim mulyorejo indah yang telah membantu dan memberikan semangat selama menempuh Program Studi Pendidikan Ners.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini nantinya dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu keperawatan di Indonesia.
Surabaya, 17 Juli 2017
ABSTRACT
CORELATION OF PARENTING MOTHER TO MORAL INTELLIGENCE PRESCHOOL AGE CHILDREN (4-6 YEARS)
Descriptive Corelation Study
By : Kharisma Matahari Virgita Hermanta Putri
Introduction: Parenting mother is an active role against the development of their childrens to improve the moral intelligence of children from an early ( manners, rules of religious norms and morals, ethics ). Parenting mother used there are 3 kinds of parenting that is democratic, authoritarian, permissive. The purpose of this study was to analyze the relationship between parenting mother with the level of moral intelligence preschool. Methods : This study was using cross sectional study. The population were mother and teachers with total sampling. 75 mothers and 8 teachers as respondents, taken according to inclusion and exclusion criteria. The dependent variable was moral intelligence. The independent variable was parenting mother. Data collection for parenting mother and moral intelligence through form questionnaires. Data analyzed using Chi-Square test with significant level p=<0,05. Result: The Result showed significant relationship between parenting mother with the level of moral intelligence of preshool children (4-6) years, with p=0,006. Discussion: Parenting and moral intelligence of children was influenced by several factor; external and internal factor. In this research most of the mother use democratic parenting style and the children had high level in moral intelligence. Result of this study can be used as recomendation for school to improved moral intelligence of each children.
ABSTRAK
HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH IBU DENGAN TINGKAT KECERDASAN MORAL ANAK USIA PRA SEKOLAH (4-6 TAHUN)
Penelitian Deskriptif Korelasional
Oleh : Kharisma Matahari Virgita Hermanta Putri
Pendahuluan: Pola asuh ibu merupakan peran aktif ibu terhadap perkembangan anak – anaknya, terutama pada saat mereka masih berada pada tahap prasekolah, untuk meningkatkan kecerdasan moral anak sejak dini (tata karma, sopan santun, aturan norma agama dan moral, etika). Pola asuh ibu yang digunakan ada 3 macam pola asuh yaitu demokratis, otoriter dan permisif. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara pola asuh ibu dengan tingkat kecerdasan moral anak usia prasekolah. Metode: Jenis penelitian ini adalah deskriptif korelasional dengan pendekatan cross sectional, pemilihan sampel dengan total sampling. Sampel penelitian yaitu ibu dari anak usia prasekolah (4-6) tahun sebanyak 75 responden. Variabel dependen yaitu kecerdasan moral dan variabel independen yaitu pola asuh ibu. Isntrumen penelitian pola asuh ibu dan kecerdasan moral menggunakan kuesioner. Analisis data yang digunakan adalah
Chi-Square test. Hasil: Hasil uji statistik didapatkan hubungan yang signifikan antara pola asuh ibu dengan tingkat kecerdasan moral anak usia prasekolah (4-6) tahun, dengan nilai p =0,006. Diskusi: Pola asuh ibu dan kecerdasan moral anak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor internal maupun eksternal. Dari hasil penelitian didapatkan sebagian besar ibu menerapkan pola asuh demokratis, serta untuk tingkat kecerdasan moral anak masuk dalam kategori tinggi. Penelitian ini merekomendasikan sekolah agar lebih meningkatkan kecerdasan moral pada masing-masing siswa.
DAFTAR ISI
Daftar Singkatan dan Istilah ... xv
Daftar Lampiran... xvi
2.4.1 Definisi Anak Usia Pra Sekolah ... 12
2.4.2 Perkembangan dan Pertumbuhan Anak Pra Sekolah ... 12
2.5 Konsep Kecerdasan Moral ... 15
2.5.1 Konsep Perkembangan Moral ... 15
2.5.2 Definisi Kecerdasan Moral ... 19
2.5.3 Aspek Kecerdasan Moral Anak ... 20
2.5.4 Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Moral ... 23
2.6 Keaslian Penelitian ... 27
BAB 3 Kerangka Konseptual dan Hipotesis Penelitian 3.1 Kerangka Konseptual ... 29
BAB 4 Metode Penelitian
4.1 Desain Penelitian ... 32
4.2 Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan sampel ... 32
4.2.1 Populasi ... 32
4.2.2 Sampel ... 33
4.2.3 Teknik pengambilan sampel (sampling) ... 33
4.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 33
4.3.1 Variabel independen ... 33
4.3.2 Variabel dependen ... 34
4.3.3 Definisi Operasional ... 34
4.4 Instrumen Penelitian ... 40
4.5 Lokasi ... 44
4.6 Prosedur Pengambilan atau Pengumpulan Data ... 44
4.7 Cara Analisis Data ... 45
4.8 Kerangka kerja ... 47
4.9 Masalah Etik ... 48
4.9.1 Lembar Persetujuan Menjadi Responden ... 48
4.9.2 Anonimity (Tanpa Nama) ... 48
4.9.3 Convidentiality (Kerahasiaan) ... 48
4.9.10 Keterbatasan Penelitian ... 48
BAB 5 Hasil Penelitian dan Pembahasan 5.1 Hasil penelitian ... 49
5.1.1 Gambaran Lokasi Penelitian ... 49
5.1.2 Karakteristik Demografi Responden ... 51
5.1.3 Deskripsi Variabel Penelitian ... 52
5.1.4 Hubungan Pola Asuh Ibu dengan Kecerdasan Moral ... 54
5.2 Pembahasan ... 54
5.2.1 Pola Asuh Ibu ... 54
5.2.2 Tingkat Kecerdasan Moral Anak ... 56
5.2.3 Hubungan Pola Asuh Ibu dengan Kecerdasan Moral ... 56
BAB 6 Kesimpulan dan Saran 6.1 Kesimpulan ... 60
6.2 Saran ... 60
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Keaslian Penelitian ... 28
Tabel 4.2 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 34
Tabel 4.2 Definisi Operasional ... 36
Tabel 4.3 Kriteria Penilaian Kuesioner ... 42
Tabel 4.4 Skor Untuk Masing-Masing Kriteria Jawaban... 43
Tabel 4.5 Kisi-Kisi Kuesioner Kecerdasan Moral ... 44
Tabel 5.1 Jadwal Pelajaran TK A ... 52
Tabel 5.2 Jadwal Pelajaran TK B ... 52
Tabel 5.1 Data Demografi Responden (Ibu) ... 53
Tabel 5.2 Data Demografi Responden (Anak) ... 53
Tabel 5.3 Pola Asuh Ibu ... 54
Tabel 5.4 Tingkat Kecerdasan Moral Anak ... 54
DAFTAR LAMBANG > : Lebih dari
< : Kurang dari % : per seratus
SINGKATAN DAN ISTILAH
SD : Sekolah Dasar
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Information Form For Consent ... 66
Lampiran 2 Informed Consent ... 66
Lampiran 3 Kuesioner Penelitian ... 67
Lampiran 4 Kuesioner Pola Asuh ... 69
Lampiran 5 Kuesioner Kecerdasan Moral ... 72
Lampiran 6 Data Statistik Variabel ... 75
Lampiran 7 Uji Analisis Statistik ... 76
Lampiran 8 Surat Ijin Pengambilan Data Awal ... 77
Lampiran 9 Surat Ijin Penelitian ... 78
Lampiran 10 Ethical Clearance ... 79
Lampiran 11 Data Pola Asuh Ibu ... 80
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anak memerlukan kualitas moral yang tinggi untuk mencapai kesuksesan.
Anak membutuhkan kecerdasan moral untuk bersosialisasi dengan orang lain.
Kecerdasan moral merupakan kemampuan individu untuk memahami mana hal
yang benar dan yang salah. Kecerdasan ini meliputi kemampuan untuk bisa
memahami pilihan-pilihan yang berbeda, memiliki rasa empati, memperjuangkan
keadilan, dan menunjukkan kasih sayang dan rasa hormat terhadap orang lain
(Borba 2001). Drawati (2005) seperti dikutip dalam Azhar (2009), menyebutkan
bahwa faktor pemicu anak melakukan tindakan kriminal adalah masalah
pendidikan moral, kurangnya perhatian orang tua serta perkembangan zaman.
Maka tidak mengherankan apabila karakter anak menjadi keras atau liar, sebab
mereka tidak diberikan pengetahuan soal etika atau moral, pemahan benar dan
salah, mana yang baik dan yang buruk.
Menurut Hidayat (2006), Peran aktif orang tua terhadap perkembangan
anak – anaknya sangat diperlukan terutama pada saat mereka masih berada
dibawah usia lima tahun atau balita untuk meningkatkan kecerdasan moral anak.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah orang tua hendaknya selalu
menunjukkan contoh perilaku dan kepribadian yang terpuji atau bernilai luhur
serta disiplin, sementara itu terkait proses sosialisasi moral di sekolah, penelitian
oleh Nazar (2001) menyatakan bahwa anak pun melakukan proses sosialisasi
moral di sekolah dengan adanya proses pembelajaran atau kegiatan yang berbasis
perilaku moral. Data awal yang diperoleh di TK Pelita Jaya Surabaya ada 6 dari
10 anak masih banyak ditemukan anak yang suka pilih-pilih teman dan
menyerobot antrian, 4 dari 10 anak suka menertawakan temannya yang menangis.
Disana masih didapatkan anak yang belum memahami kriteria dalam bermoral.
Anak sudah memiliki dasar tentang sikap moralitas terhadap kelompok
sosialnya (orang tua, saudara, dan teman sebaya) melalui pengalaman
bersosialisasi dengan orang lain pada masa pra sekolah. Anak usia pra sekolah
harus diajarkan untuk belajar berkomunikasi dengan orang lain serta
memahaminya. Anak harus selalu dilatih dan dibiasakan bagaimana seharusnya
bertingkah laku yang baik. Stimulasi yang diberikan oleh orang tua adalah untuk
memahami tata krama, sopan santun, aturan, norma, etika, dan hal-hal yang terkait
dengan kehidupan dunia.
Kecerdasan moral anak agar lebih optimal membutuhkan penanaman
nilai-nilai moral. Konsep kecerdasan moral anak usia prasekolah perlu dipahami dan
dikaji lebih dalam agar menjadi bahan masukan bagi orangtua, guru atau orang
dewasa lainnya untuk dapat dilakukan pengembangan kecerdasan moral sejak dini
(Gunarsa 2004). Pada anak usia prasekolah, nilai diri anak belum dapat
didasarkan pada penghargaan realistik. Penelitian oleh Wellman, Larkey dan
Somerville (1979) menunjukkan bahwa pada anak usia 5 tahun lebih mampu
memahami kriteria moral dan memberikan moral judgment yang lebih tepat
dibandingkan anak usia 3 dan 4 tahun meskipun pada anak usia 3-4 tahun sudah
menunjukkan kesadaran atas kriteria moral.
Salah satu aspek penting dalam hubungan orang tua dan anak adalah gaya
menyatakan bahwa orang tua yang responsif akan meningkatkan kematangan
penalaran moral anak. Studi klasik tentang hubungan orang tua dan anak yang
dilakukan oleh Baumrind (dalam Berns 2007) gaya pengasuhan merupakan
cara-cara yang digunakan orang tua sebagai pendekatan umum dalam mengasuh anak.
Terdapat tiga gaya pengasuhan yang cenderung dilakukan orang tua, yaitu
otoriter, demokratis, permissive(Baumrind dalam Berns 2007).
Menurut Borba (2001) Penyebab merosotnya moralitas sangatlah
kompleks, lingkungan moral tempat anak-anak dibesarkan saat ini sangat
berpengaruh terhadap kecerdasan moral mereka karena sejumlah faktor sosial
kritis yang membentuk karakter bermoral secara perlahan mulai runtuh yaitu,
pengawasi orang tua, teladan perilaku bermoral, pendidikan spiritual dan agama,
hubungan akrab dengan orang dewasa, dukungan masyarakat dan pola asuh orang
tua yang benar. Melalui pendekatan teori dari Michele Borba yaitu kemampuan
untuk memahami benar dan salah serta pendirian yang kuat untuk berpikir dan
berperilaku sesuai dengan norma moral, Borba memberikan tingkatan
pembentukan kecerdasan moral dalam tujuh aspek yaitu, empati, nurani, kontrol
diri, kebaikan hati, toleransi, respek, adil.
Budaya moral harus dibangun mulai dari rumah. Moralitas dibangun atas
dasar hubungan yang harmonis dari orangtua baik ayah kepada anak maupun ibu
kepada anak. Akar dari kecerdasan moral anak terdiri dari tujuh aspek utama yang
orang tua tanamkan kepada anak. Anak akan menggunakan aspek tersebut sebagai
pola dasar dalam membentuk karakter dan sisi kemanusiaanya, dan sepanjang
beberapa negara bagian di Amerika Serikat sebagai metode untuk ibu dalam
membantu anak-anaknya mengembangkan kecerdasan moral (Borba 2001).
Fenomena diatas membuat peneliti tertarik untuk meneliti sejauh mana
hubungan antara pola asuh orang ibu dengan tingkat kecerdasan moral pada anak
usia pra sekolah 4-6 tahun di TK Pelita Jaya Surabaya.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara pola asuh ibu dengan tingkat kecerdasan
moral anak usia pra sekolah 4-6 tahun di TK Pelita Jaya Surabaya
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengidentifikasi tentang hubungan antara pola asuh ibu dengan tingkat
kecerdasan moral anak usia pra sekolah 4-6 tahun di TK Pelita Jaya Surabaya
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi pola asuh ibu pada anak pra sekolah di TK Pelita jaya
Surabaya
2. Mengidentifikasi tingkat kecerdasan moral anak di TK Pelita Jaya
Surabaya
3. Menganalisis tentang hubungan antara pola asuh ibu dengan tingkat
kecerdasan moral anak pra sekolah di TK Pelita Jaya Surabaya
1.4 Manfaat 1.4.1 Teoritis
Penelitian ini dapat memberikan informasi bagi ilmu keperawatan
1.4.2 Praktis
1. Penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan baru bagi ibu
agar lebih memperhatikan perkembangan moral anak dengan
memanfaatkan dan memodifikasi waktu semaksimal mungkin ibu ketika
berada dirumah
2. Penelitian ini dapat menjadi suatu masukan bagi sekolah untuk
perkembangan pendidikan moral anak
3. Penelitian ini dapat memberikan informasi dan pengetahuan baru kepada
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab 2 ini akan disajikan konsep materi mengenai: 1) konsep pola
asuh; 2) konsep orang tua; 3) konsep anak usia pra sekolah; dan 4) konsep
kecerdasan moral.
2.1 Konsep Pola Asuh
Setiap anak tumbuh dan berkembang melalui proses belajar tentang
dirinya sendiri dan dunia sekitarnya. Proses pembelajaran ini berlangsung dan
berkesinambungan terus selama masa hidup seseorang, sejak anak usia bayi
sampai mencapai usia dewasa. Kewajiban orang tua adalah terlibat dalam
pengasuhan positif dan memandu anak menjadi manusia yang
kompeten.Kewajiban anak adalah merespon sesuai dengan inisiatif dari orang tua
dan mempertahankan hubungan positif dengan orang tua (Santrock 2007). Pola
asuh yang tepat dari orang tua terutama ibu sangat mempengaruhi proses
pembelajaran ini. Diperlukan kesabaran dan kebijakan orang tua untuk dapat
memberikan pertimbangan terbaik dalam pengambilan keputusan-keputusan
penting di dalam kehidupan anak.
2.1.1 Definisi Pola Asuh
Pola asuh adalah asuhan yang diberikan ibu atau pengasuh lain berupa
sikap, dan perilaku dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makanan,
merawat, menjaga kebersihan, memberi kasih sayang, dan sebagainya (Soekirman
2000 dalam Bety 2012). Menurut Kasmini (2007) dikutip dalam Bety (2012) pola
asuh adalah bagaimana orang tua memperlakukan anak, mendidik, membimbing
pembentukan norma-norma yang diharapkan masyarakat.Menurut Aisyah (2010)
pola asuh orang tua merupakan interaksi antara anak dan orang tua selama
mengadakan kegiatan pengasuhan.
2.1.2 Tipe-tipe Pola Asuh
Menurut Baumrind (dalam Berns 2007) gaya pengasuhan merupakan
cara-cara yang digunakan orang tua sebagai pendekatan umum dalam mengasuh anak.
Terdapat empat gaya pengasuhan yang cenderung dilakukan orang tua, yaitu
otoriter, demokratis, permissive (Baumrind dalam Berns 2007).
1. Gaya pengasuhan demokratis, ditandai dengan adanya kontrol dari orang
tua terhadap anak tetapi orang tua tetap menghargai kebebasan anak
sebagai individu, penetapan standar dan atau tuntutan yang bersifat
rasional dan fleksibel, serta ada pengutamaan disiplin anak. Dengan kata
lain, pola asuh demokratis ini memberikan kebebasan kepada anak untuk
mengemukakan pendapat, melakukan apa yang diinginkannya dengan
tidak melewati batas-batas atau aturan-aturan yang telah ditetapkan orang
tua. Orang tua juga selalu memberikan bimbingan dan arahan dengan
penuh pengertian terhadap anak mana yang boleh dilakukan dan mana
yang tidak. Hal tersebut dilakukan orang tua dengan lemah lembut dan
penuh kasih sayang (Baumrind 1967 dalam Berns 2007). Ciri-ciri pola
asuh demokratis adalah sebagai berikut:
1) Menentukan peraturan dan disiplin dengan memperhatikan dan
mempertimbangkan alasan-alasan yang dapat diterima, dipahami dan
2) Memberikan pengarahan tentang perbuatan baik yangperlu
dipertahankan dan yang tidak baik agar di tinggalkan
3) Memberikan bimbingan dengan penuh pengertian
4) Dapat menciptakan keharmonisan dalam keluarga
5) Dapat menciptakan suasana komunikatif antara orang tua dan anak
serta sesama keluarga.
2. Gaya pengasuhan otoriter, ditandai oleh kontrol yang ketat dari orang tua,
pengekangan akan kebebasan dan atau inisiatif anak, dan pengutamaan
kepatuhan pada orang tua, bahkan dengan menggunakan hukuman fisik
ciri ciri pola asuh ototiter menurut Hurlock (1994) adalah :
1) Adanya kontrol yang ketat dan kaku dari orang tua
2) Aturan dan batasan dari orang tua harus ditaati oleh anak
3) Anak harus bertingkah laku sesuai aturan yang diterapkan orang tua
4) Orang tua tidak mempertimbangkan pandangan dan pendapat anak
5) Orang tua memusatkan perhatian dan pengendalian cara otoriter
yaitu berupa hukuman fisik.
3. Permissive, ditandai dengan kontrol dari orang tua lemah, terdapat
pemberian kebebasan pada anak, dan penerimaan orang tua terhadap
respon impulsif anak. Menurut hurlock (1994) ciri-ciri pola asuh permisif
yaitu :
1) Tidak ada bimbingan maupun aturan yang ketat dari orang tua
2) Tidak ada pengendalian atau pengontrolan serta tuntutan kepada
3) Anak diberi kebebasan dan diizinkan membuat keputusan untuk
dirinya sendiri
4) Tidak ada kontrol dari orang tua
5) Anak harus belajar sendiri untuk berperilaku dalam lingkungan
sosial
6) Anak tidak akan dihukum meskipun melanggar peratruran
7) Tidak diberi hadiah jika berprestasi atau berperilaku sosial yang
baik.
Menurut Durkin, Hetherington, dan Parke (1999) gaya pengasuhan
merupakan refleksi dari dua dimensi perilaku. Pertama, tergantung dari kondisi
emosional: pendekatan yang dilakukan orang tua pada anak yang hangat,
responsif, dan berpusat pada anak, atau menolak, tidak responsif, dan tidak
terlibat dengan anak dan lebih fokus pada kebutuhan dan harapan orang tua
sendiri. Dimensi kedua lebih melihat dari sudut kontrol: orang tua yang
memberikan tuntutan pada anak, membatasi perilakunya, atau orang tua yang
permisif dan tanpa tuntutan, selalu menuruti apa yang dinginkan dan diharapkan
seorang anak.
2.2 Konsep Orang Tua 2.2.1 Pengertian Orang Tua
Orang tua merupakan konsep ayah dan ibu, orang tua sebagai pihak yang
berperan dalam membimbing anak untuk mengembangkan potensi (Santrock
2002).
Orang tua merupakan dunia sosial pertama bagi seorang anak karena orang
sehingga perlakuan orang tua terhadap anak menjadi faktor yang berpengaruh
dalam pembentukan konsep diri anak. Konsep diri anak terbentuk dalam
hubungan keluarga (Hurlock 1999) dan konsep diri akan menjadi pedoman yang
berpengaruh bagi perkembangan potensi anak secara optimal.
2.2.2 Peran Orang Tua
Peran orang tua adalah suatu fungsi yang menyertai seseorang ketika
menduduki suatu karakteristik (posisi) tertentu dalam struktur sosial. Peran orang
tua dalam menyiapkan anak untuk menghadapi tantang di masa mendatang
merupakan fase kehidupan penting yang membutuhkan perencanaan dan
koordinasi yang baik (Santrock 2002). Perencanaan dan koordinasi yang baik
menuntut orang tua untuk selalu mengasah kepekaan dalam memahami,
merencanakan serta mengkoordinasikan peran orang tua dalam proses interaksi
kepada anak, terutama apabila seorang ibu juga ikut bekerja.
Orang tua dalam proses mendidik anak terkait dengan peran sosialisasi.
Peran sosialisasi adalah peran yang melibatkan tanggung jawab keluarga, sekolah
dan masyarakat dalam memberikan nilai, keyakinan dan perilaku yang dianggap
bernilai penting bagi individu untuk untuk mengakomodasikan lingkungan
dimana individu berada (Mussen dan Conger 1979).
Menurut Gunarsa (2002) peran orang tua adalah sebagai berikut :
1. Sebagai orang tua yang berkewajiban membesarkan, merawat, memelihara
dan memberikan kesempatan anak untuk berkembang secara optimal
2. Sebagai guru yang memiliki peran untuk mengajarkan ketangkasan
motorik, keterampilan melalui latihan-latihan, mengajarkan peraturan, tata
3. Sebagai tokoh teladan
2.2.3 Peran Ibu
Sering dikatakan bahwa ibu adalah jantung dari keluarga.Jantung dalam
tubuh merupakan alat yang sangat penting bagi kehidupan seseorang.Apabila
jantung berhenti berdenyut maka orang itu tidak bisa melangsungkan
hidupnya.Perumpaan ini menyimpulkan bahwa kedudukan seorang ibu sebagai
tokoh sentral dan sangat penting untuk melaksanakan kehidupan.Pentingnya
seorang ibu terutama terlihat sejak kelahiran anaknya (Gunarsa 2004).
Peran ibu sangat banyak, peranan ibu sebagai istri dan ibu dari anak-
anaknya, mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya,
dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota
masyarakat dari lingkungannya. Disamping itu, ibu juga dapat berperan sebagai
pencari nafkah tambahan bagi keluarganya (Effendy 1998).
Menurut Friedman dalam Effendy (1998), peran ibu didefinisikan sebagai
kemampuan untuk mengasuh, mendidik dan menentukan nilai kepribadian.Peran
pengasuh adalah peran dalam memenuhi kebutuhan pemeliharaan dan perawatan
anak agar kesehatannya terpelihara sehingga diharapkan mereka menjadi
anak-anak yang sehat baik fisik, mental, sosial dan spiritual. Selain itu peran pengasuh
adalah peran dalam memberikan kasih sayang, perhatian, rasa aman, kehangatan
kepada anggota keluarga sehingga memungkinkan mereka tumbuh dan
berkembang sesuai usia dan kebutuhannya.
Realitas peran ibu kini adalah bahwa di banyak keluarga, tanggung jawab
pekerjaan keluarga masih dibebankan di pundak ibu (Barnard & Martell 1995
dalam Santrock 2007).
2.4 Konsep Anak Usia Pra Sekolah 2.4.1 Definisi Anak Usia Pra Sekolah
Usia prasekolah adalah usia anak pada masa prasekolah dengan rentang
tiga hingga enam tahun (Potter dan Perry 2009). Pengertian yang sama juga
dikemukakan oleh Hockenberry dan Wilson (2009) bahwa usia prasekolah
merupakan usia perkembangan anak antara usia tiga hingga lima tahun. Pada
usia ini terjadi perubahan yang signifikan untuk mempersiapkan gaya hidup
yaitu masuk sekolah dengan mengkombinasikan antara perkembangan biologi,
psikososial, kognitif, spiritual dan prestasi sosial. Anak pada masa prasekolah
memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai laki-laki atau perempuan, dapat
mengatur diri dalam toilet training dan mengenal beberapa hal yang berbahaya
dan mencelakai dirinya.
2.4.2 Perkembangan dan Pertumbuhan Anak Usia Pra Sekolah
Anak usia prasekolah masih dalam peningkatan pertumbuhan dan
perkembangan yang berlanjut dan stabil terutama kemampuan kognitif serta
aktivitas fisik (Hidayat 2008). Selain itu anak berada pada fase inisiatif dan rasa
bersalah (inisiative vs guilty).Rasa ingin tahu (courius) dan daya imajinasi anak
berkembang, sehingga anak banyak bertanya mengenai segala sesuatu di
sekelilingnya yang tidak diketahui. Selain itu anak dalam usia prasekolah belum
mampu membedakan hal yang abstrak dan tidak abstrak.
Menurut Wong (2009) proses pertumbuhan dan perkembangan bersifat
prasekolah akan mengalami proses perubahan baik dalam pola makan, proses
eliminasi dan perkembangan kognitif menunjukan proses kemandirian (Hidayat
2008). Proses perkembangan pada anak:
1. Perkembangan biologis
Pada anak usia prasekolah akan mengalami pertumbuhan dan
perkembangan fisik yang melambat dan stabil. Dimana pertambahan
berat badan 2-3kg pertahun dengan rata-rata berat badan 14,5 kg pada
usia 3 tahun, 16,5 kg pada usia 4 tahun dan 18,5 kg pada usia 5 tahun.
Tinggi badan tetap bertambahdengan perpanjangan tungkai dibandingkan
dengan batang tubuh. Rata-rata pertambahan tingginya 6,5-9 cm
pertahun. Pada anak usia 3 tahun, tinggi badan rata-rata adalah 95 cm dan
103 cm pada usia 4 tahun serta 110 cm pada usia 5 tahun (Wong et al
2009). Pada perkembangan motorik, anak mengalami peningkatan
kekuatan dan penghalusan keterampilan yang sudah dipelajari
sebelumnya seperti berjalan, berlari dan melompat.Namun pertumbuhan
otot dan tulang masih jauh dari matur sehingga anak mudah cedera
(Hockenberry dan Wilson 2007).
2. Perkembangan kognitif
Anak usia pra sekolah pada perkembangan kognitif mempunyai tugas
yang lebih banyak dalam mempersiapkan anak mencapai kesiapan
tersebut. Serta proses berpikir yang sangat penting dalam mencapai
kesiapan tersebut (Wong, et al 2009). Pemikiran anak akan lebih
kompleks pada usia ini, dimana mengkategorikan obyek berdasarkan
Perry2009). Menurut Marry (2005) tinjauan teori mengenai
perkembangan kognitif menggunakan tahap berpikir pra operasional oleh
Piaget. Dimana dibagi menjadi dua fase yaitu:
1) Fase pra konseptual (usia 2-4 tahun) dimana pada fase ini konsep
anak belum matang dan tidak logis dibandingkan dengan orang
dewasa. Mempunyai pemikiran yang berorientasi pada diri sendiri,
dan membuat klasifikasi yang masih relatif sederhana.
2) Fase intuitif (4-7 tahun) dimana anak mampu bermasyarakat namun
belum dapat berpikir timbal balik. Anak biasanya banyak meniru
perilaku orang dewasa tetapi sudah mampu memberi alasan pada
tindakan yangdilakukan.
3. Perkembangan moral
Anak pada usia prasekolah mampu mengadopsi serta menginternalisasi
nilai-nilai moral dari orang tuanya. Perkembangan moral anak berada
pada tingkatan paling dasar. Anak mempelajari standar perilaku yang
dapat diterima untuk bertindak sesuai dengan standar norma yang berlaku
serta merasa bersalah bila telah melanggarnya (Kohlberg, 1994 dalam
Wong, 2009).
4. Perkembangan psikososial
Anak usia prasekolah menurut Hockenberry & Wilson (2009) sudah siap
dalam menghadapi dan berusaha keras mencapai tugas perkembangan.
Tugas perkembangan yang dimaksud adalah menguasai rasa inisiatif
yaitu bermain, bekerja serta mendapatkan kepuasan dalam kegiatannya,
bersalah, cemas dan takut yang timbul akibat pikiran berbeda dengan
perilaku yang diharapkan.
2.5 Konsep Kecerdasan Moral Anak 2.5.1 Konsep Perkembangan Moral Anak
Piaget pada awal pengamatannya terhadap perkembangan kognitif anak
pada tahun 1932 (Santrock, 1999) mulai mengkaji masalah perkembangan moral.
Berdasarkan pengamatannya terhadap sejumlah anak berusia 4-12 tahun, Piaget
berkesimpulan bahwa kemampuan memahami isu-isu moral seperti kebohongan,
pencurian, hukuman, dan keadilan berlangsung berdasarkan tahapan pertama pada
usia 4-7 tahun disebut sebagai heteronomous morality, tahapan kedua pada usia
7-10 tahun disebut tahap transisi, tahapan ketiga pada usia 7-10 tahun dan selanjutnya
disebut autonomous morality (Gibbs, et al dalam Santrock 1999).
Proses perkembangan moral anak yang dipaparkan oleh Piaget sesuai
dengan konsep dasarnya mengenai perkembangan kognitif (Santrock 1999). Anak
memahami isu moral melalui proses yang bertahap sesuai dengan fenomena sosial
dan relasi anak dengan lingkungannya. Pendapat Piaget didukung oleh Kohlberg
(dalam Lickona 1987), bahwa pemahaman moral anak berupa penalaran moral
anak terhadap fenomena sosial yang senantiasa berhubungan dengan norma sosial.
Konsep kunci perkembangan moral menurut teori Kohlberg (dalam Santrock
1999) adalah proses internalisasi, yaitu perubahan perilaku yang berawal dari
pengendalian dari lingkungan (eksternal) ke perilaku yang dikendalikan oleh diri
sendiri (internal).
Menurut Kohlberg dalam (Bertens 2007), enam tahap (stages) dalam
demikian rupa sehingga setiap tingkat meliputi dua tahap. Tiga tingkat itu
berturut-turut adalah tingkat prakonvensional, tingkat konvensional dan tingkat
pascakonvensional.
Tabel 2.1 Enam Tahap dalam Perkembangan Moral Menurut Kohlberg (Sarayati 2016)
Tingkat Tahap Usia Rata-rata
I. Prakonvensional
Individu berespons
terhadap peraturan budaya mengenai label baik-buruk, benar atau salah. Peraturan yang terbentuk secara
eksternal menentukan
Takut terhadap hukuman, bukan rasa hormat terhadap otoritas merupakan alasan
terbentuknya keputusan,
perilaku, dan konformitas.
2. Orientasi Relativist
Instrumental
Konformitas didasarkan pada kebutuhan egosentris dan narsisistik. Tidak ada rasa keadilan, loyalitas, dan terima
kasih. “saya bersedia
melakukan sesuatu asalkan saya mendapatkan imbalan
atau karena hal
Individu memikirkan upaya
untuk mempertahankan
harapan dan peraturan
keluarga, kelompok, Negara, serta masyarakat. Perasaan bersalah telah berkembang dan mempengaruhi perilaku. Individu menerima nilai konformitas, loyalitas, dan
berupaya aktif dalam
mempertahankan tata tertib
Keputusan dan perilaku
didasarkan pada
kekhawatiran akan reaksi
orang lain. Individu
menginginkan persetujuan
dan penghargaan dari orang lain. Respons empati, yang didasarkan pada pemahaman tentang perasaan orang lain, merupakan faktor
penentu terbentuknya
keputusan dan perilaku. (“Saya dapat menempatkan diri saya pada posisi Anda.”) 4. Orientasi Hukum dan Tata
Tertib
Individu ingin menerapkan peraturan yang berasal dari
Tingkat Tahap Usia Rata-rata terbentuknya keputusan dan
perilaku adalah bahwa
peraturan dan tradisi sosial dan seksual menuntut respons tersebut. (“Saya bersedia melakukan sesuatu karena itu adalah tugas saya dan begitulahhukumnya.”)
III. Postkonvensional Individu hidup secara otonom dan mendefinisikan nilai-nilai serta prinsip-
prinsip moral yang
membedakan antara
identifikasi pribadi dengan
nilai-nilai kelompok.
Individu hidup menurut
prinsip-prinsip yang
disetujui secara universal dan yang dianggap sesuai untuk kehidupannya. Fokus bersifat universal
5. Orientasi Legalistik
KontrakSosial
Peraturan sosial bukan
merupakan satu-satunya dasar
utama terbentuknya
keputusan dan perilaku. Sebab, individu meyakini adanya prinsip moral yang lebih tinggi sperti kesetaraan,
keadilan, atau proses
yangseharusnya.
6. Orientasi Prinsip Etis
Universal
Keputusan dan perilaku didasarkan pada peraturan yang terinternalisasi, lebih kepada hati nurani bukan hukum sosial, dan juga berdasarkan prinsip- prinsip etis dan abstrak pilihan
pribadi yang bersifat
universal, komprehensif, dan konsisten
Konsep Piaget dan Kohlberg memiliki pengaruh yang signifikan dalam
perkembangan kognitif dan moral anak. Namun berbagai kritikan muncul
berkaitan dengan pertimbangan bahwa orangtua tidak hanya membutuhkan
pemahaman apakah anaknya sudah mencapai tahapan penalaran moral sesuai
usianya, orangtua lebih membutuhkan pemahaman bagaimana cara mencerdaskan
moral anak, anak bukan hanya berpikir secara moral namun berperilaku secara
moral (Coles 1999). Sedangkan menurut Coles (1999) konsep kecerdasan moral
kapasitas anak berpikir, merasakan dan berperilaku secara norma moral atau solid
character.
Sejalan dengan Coles, Borba mencoba memaparkan konsep yang
memadukan teori perkembangan moral. Teori perkembangan moral terbagi
menjadi tiga yaitu : (1) moral feeling (rasa bersalah, malu, dan empati) yang
dikembangkan oleh Hoffman, (2) moral reasoning (kemampuan memahami
aturan, membedakan benar dan salah, dan mampu menerima sudut pandang orang
lain serta pada pengambilan keputusan), yang dikembangkan oleh Piaget dan
Kohlberg dan (3) moral action (respon atas godaan yang datang untuk tetap
berpegang teguh pada aturan, perilaku prososial, kontrol diri atas dorongan yang
muncul yang dikembangkan oleh Eisenberg dan Fabes (Berns 2007).
Menurut Borba (2001) Penyebab merosotnya moralitas sangatlah
kompleks, lingkungan moral tempat anak-anak dibesarkan saat ini sangat
mempengaruhi kecerdasan moral mereka karena sejumlah faktor sosial kritis yang
membentuk karakter bermoral secara perlahan mulai runtuh yaitu, pengawasi
orang tua, teladan perilaku bermoral, pendidikan spiritual dan agama, hubungan
akrab dengan orang dewasa, dukungan masyarakat dan pola asuh orang tua yang
benar. Melalui pendekatan teori dari Michele Borba yaitu kemampuan untuk
memahami benar dan salah serta pendirian yang kuat untuk berpikir dan
berperilaku sesuai dengan norma moral, Borba memberikan tingkatan
pembentukan kecerdasan moral dalam tujuh kebajikan yaitu, empati, nurani,
kontrol diri, menghargai, baik budi, toleransi, adil (Borba 2001).
Menurut Borba (2001) membangun budaya moral harus dimulai dari
ayah maupun ibu kepada anak. Akar dari kecerdasan moral anak terdiri dari tujuh
aspek utama yang orang tua tanamkan kepada anak. Anak akan menggunakan
aspek tersebut sepagai pola dasar dalam membentuk karakter dan sisi
kemanusiaanya, dan sepanjang hidup anak akan menggunakannya. Konsep ini
telah digunakan secara meluas di beberapa negara bagian di Amerika Serikat
sebagai metode untuk membantu orangtua maupun dalam membantu
anak-anaknya mengembangkan kecerdasan moral.
2.5.2 Definisi Kecerdasan Moral
Kecerdasan moral didefinisikan oleh Borba (2001) sebagai kemampuan
untuk memahami benar dan salah dan pendirian yang kuat untuk berpikir dan
berperilaku sesuai dengan nilai moral. Lebih lanjut, Borba (2001) merumuskan
kecerdasan moral dalam tujuh aspek moral yaitu : emphaty, conscience, self
control, respect, kindness, tolerance dan fairness. Aspek-aspek tersebut yang
akan melindungi anak agar tetap berada di jalan yang benar dan mendorong anak
untuk beperilaku moral. Perkembangan moral merupakan suatu proses yang terus
menerus berkelanjutan sepanjang hidup. Meningkatnya kapasitas moral anak dan
didukung dengan lingkungan yang kondusif, sehingga anak berpotensi menguasai
moralitas yang lebih tinggi. Ketika anak berhasil menguasai satu kebajikan,
kecerdasan moralnya semakin meningkat dan anak mencapai tingkat kecerdasan
moral yang lebih tinggi (Borba 2001).
Berdasarkan paparan di atas disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
perkembangan kecerdasan moral anak usia prasekolah merujuk pada pendapat
Borba yaitu kemampuan anak prasekolah untuk memahami benar dan salah dan
moral yang didasarkan atas ketaatan akan aturan dan hukuman dari orang dewasa,
yang meliputi tujuh aspek moral utama yaitu empati, nurani, kontrol diri, serta
aspek moral yang lainnya yaitu respek, baik budi, toleran dan adil.
2.5.3 Aspek Kecerdasan Moral Anak
Borba (2001) menjabarkan kecerdasan moral anak dalam tujuh aspek yang
dimiliki seorang anak yang cerdas moral. Ketujuh aspek tersebut yaitu :
1. Empati (emphaty)
Anak yang memiliki empati cenderung sensitif, menunjukkan kepekaan
pada kebutuhan dan perasaan orang lain, membaca isyarat nonverbal orang
lain dengan tepat dan bereaksi dengan tepat, menunjukkan pengertian atas
perasaan orang lain, berperilaku menunjukkan kepedulian ketika seseorang
diperlakukan tidak adil, menunjukkan kemampuan untuk memahami sudut
pandang orang lain, mampu mengidentifikasi secara verbal perasaan orang
lain. Indikator dari empati yaitu (1) merasakan perasaan orang lain dan (2)
memahami perasaan orang lain (Borba 2001).
2. Nurani (conscience)
Anak yang memiliki tingkat nurani tinggi cenderung berani mengakui
kesalahan dan mengucapkan kata maaf, mampu mengidentifikasi
kesalahannya dalam berperilaku, jujur dan dapat dipercaya, jarang
membutuhkan teguran atau peringatan dari seseorang yang berwenang
untuk berperilaku benar, mengakui konsekuensi atas perilakunya yang
tidak patut/salah, tidak melimpahkan kesalahan pada orang lain. Indikator
(2) merasa bersalah dan malu atas perbuatan buruknya, dan (3) bersikap
baik meskipun ada tekanan untuk berbuat sebaliknya (Borba 2001).
3. Kontrol diri (self-control)
Anak dengan kontrol diri cenderung menunggu giliran dan jarang
memaksakan pendapatnya atau menyela; mampu mengatur impuls dan
dorongan tanpa bantuan orang dewasa; mudah kembali tenang ketika
frustrasi/kecewa atau marah; jarang membutuhkan peringatan, bujukan,
atau teguran untuk bertindak benar.
4. Respek (respect)
Respek mendorong anak bersikap baik dan menghormati orang
lain. Kebajikan ini mengarahkan anak memperlakukan orang lain
sebagaimana ia ingin orang lain memperlakukan dirinya, sehingga
mencegah anak bertindak kasar, tidak adil, dan bersikap memusuhi. Jika
anak terbiasa bersikap hormat terhadap orang lain, ia akan memerhatikan
hak-hak serta perasaan orang lain, akibatnya, ia juga akan menghormati
dirinya sendiri. Indikator respek yaitu (1) Menghormati orang yang lebih
tua, (2) tidak menyela pembicaraan pada waktu yang tidak tepat, dan (3)
memberi salam setiap berjumpa dengan orang lain.
5. Kebaikan hati (kindness)
Anak dengan karakter kindness yang kuat cenderung mengucapkan
komentar yang baik yang mampu membangun semangat pada orang lain
tanpa bujukan, sungguh-sungguh peduli ketika orang lain diperlakukan
tidak adil, memperlakukan binatang dengan lembut; berbagi, membantu,
menjadi bagian dari orang-orang yang mengintimidasi dan mengejek orang
lain, selalu menunjukkan kebaikan hati dan perhatian pada orang lain
dengan contoh dari orangtua/guru berikan.Indikator dari kebaikan hati
yaitu (1) peduli terhadap orang yang diperlakukan tidak adil, (2)
memperlakukan makhluk ciptaan-Nya dengan baik, dan (3) suka
melakukan sesuatu yang membuat orang lain senang (Borba 2001).
6. Toleransi (tolerance)
Anak yang toleran cenderung menunjukkan toleran pada orang lain tanpa
menghiraukan perbedaan; menunjukkan penghargaan pada orang dewasa
dan figur yang memiliki wewenang; terbuka untuk mengenal orang dari
berbagai latar belakang dan keyakinan yang berbeda dengannya;
menyuarakan perasaan tidak senang dan kepedulian atas seseorang yang
dihina; mengulurkan tangan pada anak lain yang lemah, tidak
membolehkan adanya kecurangan; menahan diri untuk memberikan
komentar yang akan melukai hati kelompok atau anak lain; fokus pada
karakter positif yang ada pada orang lain meskipun ada perbedaan di
antara mereka; menahan diri untuk tidak menilai orang lain. Borba (2008)
mengemukakan indikator toleransi yaitu (1) memperlakukan orang lain
dengan cara yang sama dan tidak membeda-bedakan agama, suku, ras, dan
golongan dan (2) menghargai perbedaan yang ada tanpa melecehkan
kelompok lain.
7. Adil (fairness)
Anak yang memiliki sense of fairness yang kuat : sangat senang atas
menyalahkan orang lain dengan semena-mena, rela berkompromi untuk
memenuhi kebutuhan orang lain, berpikiran terbuka, berlaku sportif dalam
pertandingan olahraga, menyelesaikan masalah dengan cara damai dan
adil, bermain sesuai aturan; mau mengakui hak orang lain yang dapat
menjamin bahwa mereka patut diperlakukan dengan sama dan adil. Borba
(2008) mengemukakan indikator keadilan yaitu (1) memperlakukan orang
lain dengan sikap tidak memihak dan wajar dan (2) mempunyai pandangan
yang jujur dalam kehidupan sehari-hari dan di dalam situasi khusus, tanpa
terpengaruh dari manapun dan siapapun.
Berdasarkan paparan di atas, disimpulkan bahwa pendapatBorba mengenai
aspek perkembangan kecerdasan moral anak lebih tepat digunakan untuk
mengetahui sejauh mana kapasitas anak berpikir dan berperilaku moral. Sesuai
dengan yang dikemukakan Borba, perkembangan kecerdasan moral anak meliputi
beberapa aspek kebajikan yaitu empati, nurani, kontrol diri, respek, kebaikan hati,
toleran dan adil.
2.5.4 Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Moral Anak
Menurut Borba (2001) dalam Berns (2007) berpendapat bahwa ada tiga
keadaan (contexts) yang berpengaruh terhadap perkembangan moral seseorang,
yaitu: situasi, individu, dan sosial. Tiga keadaan tersebut yaitu :
1. Konteks situasi
Konteks situasi meliputi sifat hubungan antara individu dan yang terkait
dengan apakah ada orang lain yang melihatnya, pengalaman yang sama
sebelumnya, dan nilai sosial atau norma di masyarakat tempat tinggal
2. Konteks individu
Konteks individu meliputi yaitu :
1) Temperamen; Perkembangan moral mungkin dipengaruhi oleh
temperamen individu, karakteristik bawaan seseorang sensitif
terhadap berbagai pengalaman dan kemampuan bereaksi pada variasi
interaksi sosial
2) Kontrol diri (self-control); Perkembangan moral mungkin juga
dipengaruhi oleh kontrol diri, yaitu kemampuan untuk mengatur
dorongan, perilaku, dan emosi. Penelitian yang dilakukan oleh
Mischel dkk. (dalam Berns, 2007) menemukan bahwa anak taman
kanak-kanak yang memiliki kontrol diri lebih sukses daripada anak
yang impulsif dengan menahan godaan untuk curang pada saat
eksperimen bermain
3) Harga diri (self-esteem); Pada anak, harga diri belum berkembang
secara sempurna. Konsep yang lebih tepat untuk menggambarkannya
adalah self-worth. Pada anak usia prasekolah, nilai diri anak belum
dapat didasarkan pada penghargaan realistik. Anak mampu membuat
penilaian atas kompetensinya namun belum mampu memilah nilai
pentingnya (Harter, dalam Papalia dkk 2003)
4) Umur dan kecerdasan; Penalaran moral berkaitan secara signifikan
dengan usia dan IQ (Kohlberg dkk., dalam Berns 2007). Semakin
bertambah usia anak maka penalaran moral anak pun berkembang
sesuai dengan tahapannya. Seiring dengan berubahnya kemampuan
perkembangan moral yang lebih tinggi. Penelitian oleh Wellman,
Larkey dan Somerville (1979) menunjukkan bahwa pada anak usia 5
tahun lebih mampu memahami kriteria moral dan memberikan moral
judgment yang lebih tepat dibandingkan anak usia 3 dan 4 tahun
meskipun pada anak usia 3-4 tahun sudah menunjukkan kesadaran
atas kriteria moral
5) Pendidikan; Melalui pendidikan anak memiliki kesempatan untuk
mengembangkan pemikiran kritis yang dimiliki anak. Pemikiran
kritis dapat dibangun melalui kebiasaan berdiskusi untuk
meningkatkan perkembangan penalaran moral. Anak yang
dibiasakan dan diberi kesempatan untuk berdialog dapat membantu
meningkatkan kapasitas moral
6) Interaksi sosial; Beberapa penelitian percaya bahwa moral
berkembang karena interaksi sosial, misalnya karena diskusi atau
dialog (Walker & Taylor; Younis; dalam Berns 2007). Interaksi anak
dengan orang lain memungkinkan adanya komunikasi yang terbuka
dan dialog, anak memiliki kesempatan mengutarakan
pandangan-pandangannya,
7) Emosi; Menurut Jerome Kagan (dalam Berns 2007) pada sebagian
besar orang, moral lebih berkaitan dengan emosi daripada penalaran
atau pikiran. Individu termotivasi untuk berperilaku moral ketika
kondisi emosinya diwarnai perasaan yang menyenangkan dibanding
perasaan yang tidak menyenangkan.
Konteks sosial meliputi yaitu :
1) Keluarga; Borba (2001) berpendapat bahwa untuk membangun
budaya moral harus dimulai dari rumah. Moralitas dibangun atas
dasar hubungan yang harmonis antara orang tua ayah maupun ibu
kepada anak. Lebih lanjut, Pratt dkk. (dalam Noe, 2008) menyatakan
bahwa orangtua yang responsif akan meningkatkan kematangan
penalaran moral anak
2) Teman sebaya; Anak yang memiliki kesempatan untuk berpartisipasi
dalam kelompok teman sebaya dapat lebih mengembangkan
penalaran dan perilaku moral. Sebagaimana dikatakan oleh Hartup
(dalam Grusec & Kuczynsky 1997) bahwa interaksi dengan teman
sebaya menyediakan sumber pengetahuan, nilai-nilai dan
keterampilan yang berbeda dari yang disajikan oleh orang tua
mereka.
3) Sekolah; Sekolah mempengaruhi perkembangan moral melalui
program pembelajaran dan para stafnya (Kohlberg & Salker dalam
Berns 2007). Sejalan dengan penelitian oleh Nazar (2001)
menyatakan bahwa anak pun melakukan proses sosialisasi moral di
sekolah dengan adanya proses pembelajaran atau kegiatan yang
berbasis agama, memberikan kesempatan pada anak belajar
memberikan judgment atas perilaku moral
4) Media masa; Hasil penelitian tentang pengaruh televisi dan
pertimbangan moral pada anak menunjukkan bahwa anak yang
menunjukkan level penalaran moral yang lebih rendah (Rosenkoetter
dkk., dalam Berns 2007). Anak melakukan identifikasi melalui
model dalam televisi, anak menerima sikap dan perilaku tokoh
dalam televisi dan pada akhirnya anak meniru
5) Masyarakat; Beberapa ahli percaya bahwa perkembangan moral
dipengaruhi oleh ideologi budaya dalam masyarakatnya. Anak
belajar budi pekerti melalui proses yang alami di dalam keluarga
yang tentunya diwarnai oleh nilai-nilai filosofis budaya yang
diyakini oleh keluarga.
2.6 Keaslian Penelitian
Tabel 2.2 Keaslian Penelitian Hubungan antara Pola Asuh Ibu dengan Tingkat Kecerdasan Moral Anak Usia Pra Sekolah 4-6 tahun di TK Pelita Jaya Surabaya.
No
. Judul Penelitian Variabel
Metode
Hasil penelitian didapatkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pola asuh ibu
yang bekerja dengan
kepercayaan diri anak
prasekolah dengan derajat
Penelitian ini menunjukkan
terdapat hubungan yang
bermakna antara profesi ibu dengan perkembangan anak,
namun tidak terdapat
No. Judul Penelitian Variabel Penelitian Metode Hasil Penelitian
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Konseptual
: diteliti
: tidak diteriti
Gambar 3.1 Kerangka Konseptual Hubungan antara Pola Asuh Ibu dengan Tingkat Kecerdasan Moral Anak Usia Pra Sekolah 4-6 tahun (Adopsi Teori Michele Borba 2001).
Kecerdasan Moral Anak
Pola asuh ibu keluarga
Otoriter Demokratis Permisif Faktor yang Mempengaruhi
Kecerdasan Moral
Konteks
situasi Individu Konteks Konteks sosial
teman
sekolah
masyarakat
Media massa
Teori Michele Borba (2001) ini menjelaskan ada tiga faktor yang
mempengaruhi kecerdasan moral yaitu, konteks situasi, konteks individu dan
konteks sosial. Dimana pada konteks sosial meliputi keluarga, teman, sekolah dan
media massa. Membangun budaya moral dimulai dari keluarga. Di dalam
keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak. Dalam keluarga tebentuk pola asuh. Pola
asuh sendiri terbagi menjadi tiga yaitu otoriter, demokratis dan permisif. Pola
asuh ibu mempengaruhi kecerdasan moral anak . Kecerdasan moral mempunyai
tujuh kebajikan moral yaitu : emphaty, conscience, self control, respect, kindness,
tolerance dan fairness. Kebajikan-kebajikan utama tersebut yang akan melindungi
anak agar tetap berada di jalan yang benar dan mendorong anak untuk beperilaku
moral. Meningkatnya kapasitas moral anak dan didukung dengan lingkungan yang
kondusif, sehingga anak berpotensi menguasai moralitas yang lebih tinggi. Ketika
anak berhasil menguasai satu kebajikan, kecerdasan moralnya semakin meningkat
dan anak mencapai tingkat kecerdasan moral yang lebih tinggi.
Pola asuh ibu menjadi variabel independen dengan kategori tipe pola asuh
otoriter, demokratis dan permissive sedangkan kecerdasan moral menjadi variabel
dependen dengan tujuh aspek moral meliputi emphaty, conscience, self control,
respect, kindness, tolerance dan fairness sehingga dapat diketahui apakah ada
hubungan antara pola ibu dengan tingkat kecerdasan moral anak usia pra sekolah
3.2 Hipotesis Penelitian
H1 : Ada hubungan antara pola asuh ibu dengan tingkat kecerdasan moral anak
BAB 4
METODE PENELITIAN
Metode penelitian dalam penelitian ini membahas tentang desain
penelitian, populasi, sampel, sampling, identifikasi variabel, definisi operasional,
instrumen penelitian, lokasi dan waktu penelitian, prosedur pengambilan dan
pengumpulan data, kerangka kerja, analisis data, dan etik penelitian
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif korelasional
dengan pendekatan cross sectional. Penelitian cross sectional adalah jenis
penelitian yang menekankan waktu pengukuran (observasi) data variabel
independen dan dependen hanya satu kali pada waktu yang sama (Nursalam 2008)
Studi ini akan memperoleh efek suatu fenomena (variabel dependen)
dihubungkan dengan penyebab (variabel independen). Peneliti mempelajari
hubungan antara pola asuh ibu dengan tingkat kecerdasan moral anak usia pra
sekolah 4-6 tahun di TK Pelita Jaya Surabaya pada penelitian ini.
4.2 Populasi, Sampel, dan Sampling
4.2.1 Populasi
Populasi adalah subyek yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan
(Nursalam 2008). Populasi target pada penelitian ini adalah semua ibu dari anak
prasekolah di Taman Kanak – Kanak Pelita Jaya Surabaya kelas A dan B
4.2.2 Sampel
Sampel adalah populasi terjangkau yang dapat dipergunakan sebagai subyek
penelitian melalui sampling (Nursalam 2008). Sampel dalam penelitian ini didapat
75 ibu dari anak pra sekolah usia 4-6 tahun.
Tabel 4.1 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
IBU GURU
Kriteria inklusi
1) Ibu bisa menulis dan membaca 2) Ibu yang bersedia menjadi
responden
3) Ibu yang mempunyai anak usia pra sekolah
Kriteria Inklusi
1) Guru dari anak usia 4-6 tahun 2) Guru yang sudah mengajar lebih
dari 3 bulan
Kriteria Eksklusi
1) Ibu yang tidak hadir pada saat itu Kriteria Eksklusi 1) Guru yang tidak hadir pada saat itu
4.2.3 Sampling
Penelitian ini menggunakan total sampling. Menurut Nursalam (2008)
total sampling adalah teknik penentuan sampel dengan sampel yang digunakan
adalah total populasi.
4.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel
Variabel merupakan karakteristik yang memberikan nilai beda terhadap
sesuatu (benda, manusia, dan lain-lain) (Nursalam2008).
4.3.1 Variabel Independen
Variabel independen adalah variabel yang mempengaruhi variabel
dependen (Nursalam2008). Variabel independen dalam penelitian ini adalah pola
4.3.2 Variabel Dipenden
Variabel yang nilainya ditentuka oleh variabel lain, atau variabel terikat
adalah faktor yang diamati dan diukur untuk menentukan ada tidaknya hubungan
atau pengaruh dari variabel bebas (Nursalam 2008). Variabel dependen dalam
penelitian ini adalah tingkat kecerdasan moral anak.
4.3.3 Definisi Operasional
Definisi operasional adalah penjelasan semua variabel dan istilah yang
akan digunakan dalam pnelitian secara operasional sehingga mempermudah
pembaca maupun penguji dalam mengartikan makna penelitian (Nursalam 2008).
Definisi operasional dari variabel yang dapat diteliti dapat dilihat pada tabel
Tabel 4.2 Definisi Operasional Hubungan antara Pola Asuh Ibu dengan Tingkat Kecerdasan Moral Anak Usia Pra Sekolah 4-6 Tahun di TK Pelita Jaya Surabaya.
Variabel Operasional Definisi Parameter Alat Ukur Skor Skala
Variabel segalaya untuk anak. Memiliki ciri-ciri :
1) Adanya kontrol yang ketat dan kaku dari orang tua
2) Aturan dan batasan dari orang tua harus ditaati oleh anak
3) Anak harus bertingkah laku sesuai aturan yang diterapkan orang tua
4) Orang tua tidak
mempertimbangkan pandangan dan pendapat anak
5) Orang tua memusatkan perhatian dan pengendalian cara otoriter yaitu berupa hukuman fisik. 2. Permisif, mempunyai ciri-ciri:
1) Tidak ada bimbingan maupun aturan yang ketat dari orang tua 2) Tidak ada pengendalian atau
pengontrolan serta tuntutan kepada anak. Penilaian didasarkan pada kuesioner yang bersifat
Variabel Operasional Definisi Parameter Alat Ukur Skor Skala 3) Anak diberi kebebasan dan
diizinkan membuat keputusan untuk dirinya sendiri
4) Tidak ada kontrol dari orang tua 5) Anak tidak akan dihukum
meskipun melanggar peratruran 3. Demokrasi, mempunyai ciri:
1) Menentukan peraturan dan disiplin dengan memperhatikan dan mempertimbangkan alasan-alasan yang dapat diterima, dipahami dan dimengerti oleh anak
Variabel Definisi Operasional Parameter Alat Ukur Skor Skala salah dan berperilaku sesuai dengan nilai moral.
Empati :
1. Merasakan perasaan orang lain
Variabel Operasional Definisi Parameter Alat Ukur Skor Skala Adil :
1. Memperlakukan orang lain dengan sikap tidak memihak dan wajar
2. Mempunyai pandangan yang jujur dalam kehidupan sehari-hari dan di dalam situasi khusus, tanpa terpengaruh dari manapun dan siapapun.
Respek :
1. Menghormati orang yang lebih tua
2. Tidak menyela pembicaraan pada waktu yang tidak tepat 3. Memberi salam setiap
4.4 Instrumen Penelitian
1. Instrumen Variabel Independen
Instrumen yang digunakan adalah kuisioner pola asuh. Kuisioner pola asuh
terdiri dari 25 pertanyaan tentang pola asuh yang diadopsi berdasarkan kuisioner
yang dibuat dan diuji validitas oleh Taamu (2007), kuisioner tersebut terdiri dari
praktik-praktik yang dilaksanakan orang tua atau keluarga dalam memberikan
asuhan kepada anak yang digolongkan dalam tiga bentuk pola asuh. Hasil
pertanyaan dengan jawaban/ nilai terbanyak mengidentifikasikan tipe pola
asuhyang diterapkan orang tua kepada anak. Pada setiap pertanyaan terdapat
choice yang masing-masing memiliki nilai berbeda-beda nilainya mulai dari 1
(satu) sampai dengan 3 (tiga). Penggunaan dari lembar kuisioner ini dengan
melingkari salah satu jawaban. Pengisian kuisioner ini dikerjakan oleh responden
(ibu) selama 15 menit.
Tabel 4.3 Kriteria Penilaian Kuisioner
(Sumber: Kuisioner berdasarkan Taamu (2007) dalam Hubungan faktor keluarga, pola asuh dan tempramen dengan kelainan perilaku anak usia pra sekolah pada taman kanak-kanak di wilayah kecamatan Poasia kota Kendari)
Keterangan : 1. Otoriter 2. Demokratis 3. Permisif
Kriteria penelitian yaitu, 25 x bobot maksimal (3)= 75 dan minimal 25.
Penilaian didasarkan pada kuesioner yang bersifat choice yang terdiri dari angka 1
(satu) sampai dengan 3 (tiga) dengan kategori :
1. Otoriter= 25-42
2. Permisif= 43-59
3. Demokratis=60-75.
2. Instrumen Variabel Dependen
Instrumen dalam penelitian ini adalah angket tertutup yang diadopsi dari
kuesioner kecerdasan moral anak dari Nurrochman (2014). Angket tertutup adalah
angket yang sudah disediakan jawabannya sehingga responden tinggal memilih
saja. Untuk keperluan analisis kuantitatif, maka jawaban pada angket diberi skor
dengan menggunakan Skala Likert dengan empat pilihan jawaban untuk angket.
Adapun pilihan jawaban untuk kecerdasan moral anak sebagai berikut: No.
Pertanyaan A Pilihan ganda B C
20 1 2 1
21 2 3 3
22 2 1 3
23 1 2 3
24 1 2 3
a. Sangat Sesuai (SS)
b. Sesuai (S)
c. Tidak Sesuai (TS)
d. Sangat Tidak Sesuai (STS)
Skor untuk masing-masing kategori jawaban sebagai berikut:
Tabel 4.4 Skor Untuk Masing-Masing Kategori Jawaban
Kategori Jawaban SS S TS STS
Positif (+) 4 3 2 1
Negatif (-) 1 2 3 4
Kriteria penilaian yaitu :
1. rendah dengan nilai 0-44 ( kode1 )
2. sedang :45-88 ( kode 2 )
3. tinggi : 89–132 ( kode 3 )
Kuesioner ini memuat tujuh indikator kecerdasan moral anak yaitu
empati, nurani, kontrol diri, kebaikan hati, toleransi, adil, dan respek.
Penggunaan lembar kuesioner ini dengan memberikan tanda checklist pada
kolom yang tersedia dengan jawaban yang dianggap sesuai dengan karakter
anak sehari-hari. Agar hasilnya valid peneliti memberikan kuesioner
kecerdasan moral anak kepada guru. Pengisian kuesioner ini dikerjakan oleh
Tabel 4.5 Kisi Kisi Kuesioner Kecerdasan Moral
No Dimensi Indikator Positif Nomor Item Negatif Jumlah
1 Empati
a. Merasakan perasaan orang
lain 9, 11 22 3
b. Memahami perasaan orang
lain 1 5 2
2 Respek
a. Menghormati orang yang
lebih tua 24 10, 18 3
b. Tidakmenyela
pembicaraanpada waktu
yang tidaktepat 14 25 2
c. Memberi salam setiap
berjumpa dengan orang
lain 21 6, 12 3
b. Menghargai perbedaan
yang ada tanpamelecehkan
b. Menunggu giliran dan tidak
memotong antrian 23 26 2
6 Kebaikan
Hati
a. Peduli terhadap orang yang
diperlakukan tidak adil 19 27 2
b. Mempunyai pandangan
yang jujur dalam kehidupan sehari-hari dan di dalam
situasi khusus, tanpa
terpengaruh dari manapun dan siapapun.
33 30 2
4.5 Lokasi dan Waktu
Lokasi penelitian berada di TK Pelita Jaya Surabaya pada bulan Juni 2017
4.6 Prosedur Pengambilan atau Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan suatu proses pendekatan pada subyek dan
proses pengumpulan karakteristik dari subyek yang diperlukan dalam penelitian.
Langkah-langkah dalam pengumpulan data bergantung pada rancangan penelitian
dan teknik instrumen yang diinginkan (Burns dan Grooe, 1999 dalam Nursalam
2016). Prosedur dan pengumpulan data penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Administratif
Pelaksanaan penelitian ini diawali dengan mengajukan surat permohonan
pengantar permintaan data awal dari Fakultas Keperawatan Universitas
Airlangga untuk melakukan pengambilan data awal. Surat pengantar
ditujukan kepada Kepala TK Pelita Jaya Surabaya. Peneliti meminta ijin
kepada Kepala TK Pelita Jaya untuk melakukan pengambilan data awal
dan menjelaskan tujuan penelitian yang dilakukan di TK Pelita Jaya
Surabaya. Selanjutnya setelah sidang proposal mengajukan surat
permohonan pengantar penelitian dari Fakultas Keperawatan Universitas
Airlangga untuk melakukan penelitian. Surat pengantar ditujukan kepada
Kepala TK Pelita Jaya Surabaya.
2. Pengumpulan data
Diawali dari peneliti datang ke TK Pelita Jaya pada bulan Juni 2017
setelah itu meminta ijin kepada kepala TK dan guru untuk membagikan
kuesioner kepada ibu dari anak yang bersekolah di TK tersebut dan juga
dan waktu pengumpulan data agar tidak mengganggu kegiatan belajar
mengajar. Pada saat pengumpulan data responden (ibu) berada di tempat
yang sudah disediakan yaitu di ruang pertemuan lantai 1 dan anak-anak
tetap berada di kelas, untuk pengambilan data pada responden (guru)
dilakukan pada jam setelah kegiatan belajar mengajar selesai. Untuk
kuesioner pola asuh ibu dibagikan kepada ibu dari anak di TK Pelita Jaya
Surabaya yang berjumlah 75 orang. Sedangkan kuesioner kecerdasan
moral anak dibagikan kepada guru di TK Pelita Jaya Surabaya yang
berjumlah 8 orang. Sebelum membagikan kuesioner terlebih dahulu
peneliti menjelaskan tujuan penelitian. Setelah itu kuesioner diisi oleh
responden yang bersedia menjadi objek penelitian dan dikumpulkan sesuai
dengan batas waktu yang di tentukan. Setelah pengumpulan data selesai
responden akan diberi souvenir. Selanjutnya, setelah data terkumpul
semua maka peneliti akan melakukan analisis dan menarik sebuah
kesimpulan dalam penelitiannya.
4.7 Cara Analisis Data
Menurut Arikunto (2009), secara garis besar analisis data meliputi langkah
persiapan dan tabulasi data. Proses yang dilakukan setelah pengumpulan data
adalah pengolahan dan analisis data dengan tahapan sebagai berikut coding,
editing, entry, dan tabulating.
1. Coding, dilakukan dengan memberikan kode terhadap jawaban yang ada pada
kuisoner bertujuan untuk mempermudah dalam analisis data dan dapat