• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KARAKTERISTIK PEMISAHAN BERKAS PERKARA ( SPLITSING ) YANG DILAKUKAN OLEH PENUNTUT UMUM 3.1. Syarat Pemisahan Berkas Perkara - PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF Repository - UNAIR REPOSITORY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB III KARAKTERISTIK PEMISAHAN BERKAS PERKARA ( SPLITSING ) YANG DILAKUKAN OLEH PENUNTUT UMUM 3.1. Syarat Pemisahan Berkas Perkara - PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF Repository - UNAIR REPOSITORY"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

KARAKTERISTIK PEMISAHAN BERKAS PERKARA ( SPLITSING )

YANG DILAKUKAN OLEH PENUNTUT UMUM

3.1. Syarat Pemisahan Berkas Perkara

Surat dakwaan merupakan dasar dan penentu arah pemeriksaan dalam

persidangan.Dalam bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai pemisahan

berkas perkara (Splitsing) dan penggabungan berkas perkara (Voeging) yang dapat

dilakukan oleh Penuntut Umum (PU).Penuntut Umum (PU) dapat melakukan

pemisahan atau penggabungan berkas perkara dalam proses pra-penuntutan

ataupun pada proses penuntutan demi kelancaran proses persidangan.

Pertimbangan Penuntut Umum (PU) dalam melakukan pemisahan berkas

perkara berpedoman pada pasal 142 KUHAP.Dalam Pasal 142 KUHAP

memberikan wewenang kepada Penuntut Umum (PU) untuk melakukan

pemisahan berkas perkara (Splitsing) dari satu berkas perkara menjadi beberapa

berkas perkara.

Menurut Siswoyo mantan Direktur III Jamintel Kejaksaan Agung RI yang

pernah menjabat sebagai Kajati Gorontalo, “Dalam penyusunan surat dakwaan, pemisahan berkas perkara (Splitsing) merupakan hak absolut Penuntut Umum

(PU).Penuntut Umum (PU) dapat melakukan pemisahan berkas perkara

(Splitsing) bilamana terdapat beberapa tindak pidana yang melibatkan beberapa

(2)

Splitsing bisa dilakukan karena peran masing-masing terdakwa berbeda. Selain

eran masing-masing pelaku,bisa juga dilihat dari locusnya”jelasnya.96

Menurut M. Yahya Harahap, pakar hukum acara, pemisahan berkas

perkara bukan tren yang muncul belakangan. Sejak zaman HIR, itu sudah lazim

dipraktekkan di pengadilan. Pada masa lalu, tujuan memecah perkara itu terkait

karena kurangnya saksi. Sehingga untuk mencukupi saksi sebagai alat bukti,

berkas dipecah.97

Pada prinsipnya dalam KUHAP terdapat asas-asas yang menjadi acuan

kebenaran atau ajaran dari kaidah-kaidah salah satunya adalah asas

fair,impartial,impersonal, and objective yaitu peradilan cepat, sederhana, dan

biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak harus diterapkan secara

konsekuen dalam semua tingkat peradilan di Indonesia.

Sehingga dapat menimbulkan polemik antara pemisahan berkas perkara

(Splitsing) demi kepentingan pemeriksaan di muka persidangan dengan asas fair,

impartial, impersonal and objective yaitu peradilan cepat, sederhana, dan biaya

ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak.

Batasan-batasan mana yang menjadi standar Penuntut Umum (PU) dalam

melakukan pemisahan berkas perkara (Splitsing) akan sedekat mungkin

didiskripsikan oleh penulis sehingga mendapatkan kebenaran yang materiil dalam

penerapan pemisahan berkas perkara (Splitsing) oleh Penuntut Umum (PU).

96 Wawancara dengan Direktur III Jamintel Kejaksaan Agung RI,Jakarta,Tgl. 16 Oktober 2014.

97 Tidak ada nama penulis,

(3)

Ketentuan syarat dan karakteristik pemisahan berkas perkara (Splitsing)

oleh Penuntut Umum (PU) tidak diatur secara rigid dalam peraturan

perundang-undangan.Hanya diatur landasan kewenangan Penuntut Umum (PU) dalam

melakukan pemisahan berkas perkara (Splitising).

Sumber hukum di Indonesia dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu sumber

hukum dalam arti formal dan sumber dalam arti materiil.Menurut Saut P.Panjaitan

sumber hukum dalam arti formal adalah prosedur atau tata cara pembentukan

hukum atau melihat kepada bentuk lahiriah dari suatu hukum, yang dapat

dibedakan kepada hukum tertulis dan tidak tertulis,diantaranya :98

1. Perundang-undangan. 2. Yurisprudensi.

3. Traktat/perjanjian. 4. Doktrin.

5. Kebiasaan.

Apabila tidak diatur dalam perundang-undangan maka dapat menjadi

sumber pertimbangan adalah sumber hukum lain.Dalam pemisahan berkas

perkara (Splitising) dikarenakan di dalam perundang-undangan tidak diatur secara

jelas karakteristik dan tolok ukur kejaksaan melakukan pemisahan berkas perkara

(Splitising) maka mengacu pada Surat Edaran Kejaksaan Agung Republik

Indonesia No. B-69/E/02/1997 perihal Hukum Pembuktian Dalam Perkara

Pidana, yang menyatakan :

Dalam praktek, saksi mahkota digunakan dalam hal terjadi penyertaan (deelneming), dimana terdakwa yang satu dijadikan saksi terhadap terdakwa lainnya oleh karena alat bukti yang lain tidak ada atau sangat

98 Moh. Saleh, Sumber Sumber Hukum(Dalam Slide PPT),

(4)

minim. Dengan pertimbangan bahwa dalam status sebagai terdakwa, keterangannya, hanya berlaku untuk dirinya sendiri, oleh karena itu dengan berpedoman pada pasal 142 KUHAP, maka berkas perkara harus diadakan pemisahan (splitsing), agar para terdakwa dapat disidangkan terpisah, sehingga terdakwa yang satu dapat menjadi saksi terhadap terdakwa lainnya. Bahwa Yurisprudensi yang diikuti selama ini masih mengakui saksi Mahkota sebagai alat bukti, misalnya Putusan Mahkamah Agung No. 1986K/Pid/1 989 tanggal 2 Maret 1990 menyatakan bahwa Jaksa Penuntut Umum diperbolehkan oleh undang-undang mengajukan teman terdakwa yang ikut serta melakukan perbuatan pidana tersebut sebagai saksi di persidangan, dengan syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa, tidak termasuk dalam berkas perkara yang diberikan kesaksian. Satu-satunya putusan Pengadilan yang menolak saksi mahkota sebagai alat bukti adalah Putusan Mahkamah Agung dalam kasus pembunuhan Marsinah, yang menyatakan “saksi mahkota bertentangan dengan hukum” (Putusan

Mahkamah Agung No. 1174K/Pid/1994, 381K/Pid/1994, 1592

K/Pid/1994 dan 1706 K/Pid/1994). Untuk mengantisipasi kemungkinan adanya hakim yang menjadikan Putusan Mahkamah Agung dalam perkara pembunuhan terhadap Marsinah tersebut sebagai dasar putusannya, maka dalam menggunakan saksi mahkota, supaya sedapat

mungkin diupayakan juga tambahan alat bukti lain.99

Dari melihat Surat Edaran Kejaksaan Agung Republik Indonesia No.

B-69/E/02/1997 perihal Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana diatas dapat

ditarik kesimpulan bahwa salah satu tujuan berkas di Split oleh Penuntut Umum

(PU) adalah memunculkan alat bukti yang disebut dengan istilah saksi mahkota

(kroon getuide) yang merupakan tersangka dalam berkas terpisah.

Pengaturan mengenai saksi mahkota tidak dapat ditemukan di dalam

KUHAP maupun peraturan perundang-undangan yang lain.Saksi mahkota dapat

ditemukan definisinya dalam Putusan Mahkamah Agung No. 2437

K/Pid.Sus/2011, yang menyatakan: “Saksi mahkota didefinisikan sebagai Saksi

yang berasal atau diambil dari salah seorang tersangka atau Terdakwa lainnya

(5)

yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana kepada

Saksi tersebut diberikan mahkota”

Penggunaan saksi mahkota diizinkan dalam keadaan terjadi penyertaan

(deelneming), alat bukti sangat minim, dan harus diadakan pemisahan berkas

perkara.Ketiga keadaan tersebut harus dirumuskan secara komulatif.Keadaan satu

saling terikat dengan keadaan lain.Mengacu Pasal 142 KUHAP, pemisahan

perkara itu harus terdiri dari beberapa tindak pidana yang berbeda. Namun

dilakukan oleh beberapa orang dalam waktu yang sama.

Berdasarkan pemaparan diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa

pemisahan berkas perkara (Splitsing) oleh Penuntut Umum (PU) dapat dilakukan

dalam hal tindak pidana yang terjadi merupakan penyertaan (deelneming) yang

dilakukan beberapa orang tersangka dengan peran masing-masing terdakwa

berbedadan alat bukti yang ditemukan sangat minim sehingga menghambat

jalannya acara pembuktian yang akan memunculkan saksi sekaligus tersangka

dalam berkas terpisah yang biasa dikenal dengan sebutan saksi mahkota (kroon

getuide).Sarat tersebut bersifat komulatif mengingat pemisahan berkas perkara

(Splitsing) merupakan hak absolut Penuntut Umum (PU).Pemecahan berkas

perkara (Splitsing) dilakukan sehubungan dengan kurangnya saksi yang

menguatkan dakwaan penuntut umum, sedangkan saksi lain sulit diketemukan

sehingga satu-satunya jalan adalah mengajukan sesama tersangka sebagai saksi

terhadap tersangka lainnya.100Namun pada dasarnya penggunaan saksi mahkota

(6)

ini masih dalam perdebatan dikalangan praktisi tentang penerapannya.Selain itu

pemisahan dapat dilakukan jika terdapat beberapa tindak pidana serta dapat dilihat

pula locus delicti dan tempus delictinya.

3.2. Kelebihan dan Kekurangan Dilakukan Pemisahan Berkas Perkara

( Splitsing ) oleh Penuntut Umum

Pemisahan berkas perkara (Splitsing) dilakukan dalam hal kurangnya alat

bukti,yang merupakan beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa

pelaku.Dalam pemisahan berkas perkara (Splitsing) akan memunculkan saksi

yang mana sebagai pelaku dalam tindak pidana tersebut.Dengan adanya saksi

dalam berkas terpisah, akan bertujuan memunculkan alat bukti baru sehingga

tindak pidana yang didakwakan akan terang dan jelas.

Dalam hal tindak pidana yang dilakukan tidak sederhana akan

menyulitkan Penuntut Umum (PU) dalam menyusun surat dakwaan maka lebih

dengan dilakukan pemisahan berkas perkara (splitsing) akan lebih efektif dan

dapat dipetakan tindak pidana dan peran masing masing pelaku.

Pemecahan berkas perkara (splitsing)yang dilakukan Penuntut Umum

(PU) sehubungan dengan kurangnya saksi yang menguatkan dakwaan penuntut

umum, sedangkan saksi lain sulit ditemukan sehingga satu-satunya jalan adalah

mengajukan sesama tersangka sebagai saksi terhadap tersangka lainnya.

Pemisahan berkas perkara dalam kasus diatas juga bertujuan agar tidak

lepasnya tuntutan pidana antar pelaku dikarenakan setiap pelaku memiliki peran

(7)

terbuktinya dakwaan dikarenakan akan riskan salah satu pelaku tidak memenuhi

unsur yang didakwakan.

Pemisahan berkas perkara (Splitsing) oleh Penuntut Umum (PU) akan

menimbulkan beberapa kelemahan. Pemisahan berkas perkara (Splitsing) bahkan

bisa menutup siapa pelaku utamanya.Sebab pemisahan perkara menyebabkan

unsur penyertaan tidak terbukti. Pasalnya, penentuan siapa pelaku (pleger) dan

medepleger (turut serta) tidak jelas. Padahal, unsur penyertaan itu harus

dibuktikan karena itu merupakan unsur delik. Jika tidak dibuktikan, berarti unsur

dakwaan tidak terbukti.

Splitsing dapat menyulitkan jaksa dalam membuktikan hubungan pelaku

satu dengan pelaku lainnya. Pasalnya, dalam tindak pidana yang dilakukan oleh

beberapa orang otomatis diperlukan pembuktian antara pelaku. Apabila

perkaranya di-split bagaimana bisa mengetahui hubungan antar pelaku. Akibat

penentuan kualitas deelneming (penyertaan) yang tidak jelas mengakibatkan

perbedaan penerapan hukum. Padahal tidak mungkin terbukti unsur penyertaan

jika tindak pidana yang dilakukan berbeda.

Selain itu Kelemahan dari pemeriksaan pemecahan berkas perkara

(Splitsing) adalah sering mengakibatkan terjadinya keterangan palsu yang diatur

dalam pasal 242 KUHP dikarenakan terdakwa yang menjadi saksi dalam

pemeriksaan terdakwa lainnya dalam suatu tindak pidana yang sama tidak ingin

kejahatannya terbongkar yang mengakibatkan terbuktinya dakwaan penuntut

umum pada dirinya. Saksi yang diajukan seperti tersebut diatas sering disebut

(8)

3.3. Asas – Asas Dalam KUHAP

Asas-asas dalam KUHAP, sebagaimana ditemukan dalam bagian

penjelasan umum, setidaknya mengenal sepuluh asas yang menjadi acuan

kebenaran atau ajarn dari kaidah-kaidahnya seperti diuraikan dibawah ini.

1. Asas equality before the law : perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan.Equality

before the law menurut wikipedia, “the principle under which each

individual is subject to the same laws, with no individual or group having

special legal privileges”.101

2. Asas legalitas dalam upaya paksa : penangkapan, penahanan, pengeledahan, dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah

tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya

dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-undang.102

3. Asas presumption of innocence (praduga tidak bersalah) : kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan dimuka

sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan

pengadilan yang mengatakan kesalahannya.103

4. Asas remedy and rehabilitation : kepada seorang yang di tangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan

undang-undang dan/atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang

101 Yakub Adi Krisanto, Drama Anomali Prinsip Equality Before The Law, www.kompasiana.com, 28 April 2010, h.1, dikunjungi pada tanggal 15 November 2014.

(9)

diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat

penyidikan dan para pejabat penegak hukumyang sengaja atau karena

kelalaiannya asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana, dan atau

dikenakan hukuman administrasi.104

5. Asas fair, impartial, impersonal dan objective : peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak

memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat

peradilan.Pencantuman peradilan cepat (contante justitie; speedy trial) di

dalam KUHAP cukup banyak yang diwujudkan dengan istilah “segera” itu.Asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan yang dianut di dalam

KUHAP sebenarnya merupakan penjabaran Undang-Undangn Ketentuan

Pokok Kekuasaan Kehakiman tersebut.Peradilan cepat merupakan bagian

dari hak asasi manusia.105

6. Asas legal assistance: setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan

untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya.106

7. Miranda rule : kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan

dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu

104Ibid.

105Jur.Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, h.13.

(10)

haknya itu termasuk hak untuk menghubungi dan meminta bantuan

penasehat hukum.107

8. Asas presentasi : pengadilan memaksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa.Ketentuan mengenai ini diatur dalam pasal 154, 155 dan

seterusnya dalam KUHAP.Yang dipandang pengecualian dari asas ini

ialah kemungkinan putusan dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa,yaitu

putusan verstek atau in absenstia.Tetapi ini hanya merupakan

pengecualian,yaitu dalam acara pemeriksaan perkara pelanggaran

lalulintas di jalan.Selain itu dalam hukum acara pidana khusus dikenal

pemeriksaan pengadilan secara in absentia atau tanpa hadirnya

terdakwa.108

9. Asas keterbukaan : sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang diatur dalam undang-undang.Pasal yang

mengatur asas ini adalah Pasal 153 ayat (3) dan (4) KUHAP dikecualikan

terhadap kasus kesusilaan dan anak-anak alasannya dianggap masalahnya

sangat pribadi.109

10.Asas pengawasan : pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh ketua pengadilan negeri yang

bersangkutan.110

107Ibid.

108 Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan

Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, h.9. 109Ibid.

(11)

Pemisahan berkas perkara (Splitsing) haruslah tetap perpedoman dengan

asas-asas tersebut.Dalam asas fair, impartial, impersonal dan objective peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan

tidak memihak.Pemisahan berkas perkara (Splitsing) sering di salah artikan

sebagai pelanggaran asas peradilan cepat,sederhana,dan biaya ringan.Pada

dasarnya fungsi dari pemisahan berkas perkara (Splitsing) adalah berusaha untuk

mengarah kepada kebenaran kejahatan yang belum terungkap dan diputus oleh

hakim.

Proses pemisahan berkas perkara (Splitsing) terlihat cenderung menjadi

lama,tidak sederhana dan biaya relatif lebih banyak di bandingkan dengan proses

penggabungan berkas perkara (Voeging).Namun haruslah mengutamakan fungsi

dari pemisahan berkas perkara (Splitsing) tersebut.Apabila kasus-kasus yang

minim alat bukti khususnya alat bukti keterangan saksi tidak dilakukan pemisahan

berkas perkara (Splitsing) akan menimbulkan bebasnya pelaku tindak

pidana.Sehingga pemisahan berkas perkara (Splitsing) dinilai sangat perlu dan

kejaksaanlah sebagai Penuntut Umum (PU) yang memiliki hak untuk melakukan

pertimbangan apakah perlu tidaknya dilakukan pemisahan berkas perkara

(Splitsing).

Selain itu dalam hal asas presumption of innocence (praduga tidak bersalah) dapat menjadi masalah dalam penerapan pemisahan berkas perkara

(Splitsing).Terdakwa dalam berkas terpisah akan menjadi saksi kepada terdakwa

lainnya yang mana sama-sama pelaku dalam tindak pidana yang sama.Dalam hal

(12)

terdakwa di muka persidangan.Asas ini menyangkut terdakwa dianggap belum

bersalah di muka persidangan sebelum hakim menetapkan terdakwa bersalah

hingga putusan akhir yang memiliki keuatan hukum tetap.Sehingga dengan

pemisahan berkas perkara (Splitsing) seolah olah melanggar asas praduga tidak

bersalah.Dalam menyikapi hal tersebut,haruslah Penuntut Umum (PU) dalam

fungsinya melakukan pemisahan berkas perkara bukan bertujuan untuk mencari

kesalahan terdakwa serta menganggap terdakwa bersalah, melainkan demi

kelancaran pemeriksaan di muka persidangan semata-mata.Dengan dilakukan

pemisahan berkas perkara (Splitsing) akan bermanfaat semakin terangnya

perbuatan yang dilakukan para pelaku demi kepentingan pemeriksaan dimuka

persidangan.

Menurut Chairul (ahli hukum acara pidana dosen Universitas

Muhammadiyah), itu tidak bisa dibenarkan. Karena dalam memberikan

keterangan saksi harus disumpah. Artinya dia tidak boleh bohong. Sementara,

dalam kapasitas terdakwa, pelaku tidak disumpah. Ia punya hak ingkar. Artinya

dia boleh bohong, terang Chairul. Kondisi itu, kata Chairul, sangat tidak adil bagi

terdakwa. Sementara, tujuan dari penegakan hukum, tidak hanya menegakan

hukum, tapi juga keadilan. Padahal, terdakwa tidak boleh dipersalahkan atas

keterangannya.111

Apalagi, keterangan yang diberikan besar kemungkinan menunjukan

kesalahan dia dalam kasus tersebut. Dia mengatakan hal yang membenarkan

(13)

kesalahannya, terang Rudi.Disisi lain, hal ini kerap dijadikan petunjuk bagi hakim

dalam menangani kasus pelaku itu sendiri. Padahal selaku terdakwa ia memiliki

hak ingkar. Chairul menambahkan praktek saksi mahkota mengakibatkan

pengadilan tidak dilaksanakan tidak berdasarkan hukum acara (due proecss of

law). Itu bisa dijadikan alasan kasasi dan banding, terangnya. 112

Terkait dengan penyusulan terdakwa,hal itu melanggar azas praduga tak

bersalah. Sebab pemeriksaan di muka persidangan belum selesai. Namun dengan

putusan terdakwa lama ia sudah dinyatakan bersalah. Artinya pemeriksaan itu

hanya formalitas saja. Pemisahan itu bisa dilakukan dalam hal kekurangan alat

bukti. Misalnya dalam kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh beberapa orang.

Tidak ada yang bisa dijadikan saksi kecuali para pelaku dan korban. Dalam hal ini

diantara pelaku itu akan dijadikan sebagai saksi. 113

Pemisahan juga bisa dilakukan kualitas peran yang berbeda. Dengan

catatan ada perbedaan ketentuan hukum yang dilanggar. Harus bisa dilihat apakah

terdakwa itu memenuhi kualitas dari delik yang didakwakan, terang Chairul.

Misalnya antara penyuap dan pejabat yang menerima suap. 114

3.4. Contoh Kasus

3.4.1. Kasus Splitsing ( Kasus Korupsi Sisminbakum )

Perkara tindak pidana korupsi Sisminbakum ini berawal dari ide Romli

Atmasasmita, Dirjen AHU Dephukham RI saat itu sebagaimana dikemukakan

pada acara Up-Grading and Refreshing Course Ikatan Notaris Indonesia di

112Ibid.

(14)

Bandung tanggal 26 Mei 2000. Pada acara tersebut beliau selaku pembicara

mengatakan bahwa “...dengan “online system” dicapai 2 (dua) sasaran yaitu

peningkatan pemasukan penerimaan keuangan negara, dan peningkatan

kesejahteraan pegawai di lingkungan Departemen Hukum dan

Perundang-undangan.115Ide tersebut didasarkan pada fakta bahwa lambatnya proses pendaftaran permohonan pendirian badan hukum yang dikerjakan secara manual.

Oleh karena itu dibutuhkan suatu sistem komputerisasi dalam pendaftaran dan

pendirian badan hukum sehingga dapat memberikan pelayanan yang cepat, mudah

dan transparan.

Sebelumnya pada bulan Maret 2000, Romli Atmasasmita melakukan

pertemuan dengan John Sardjo Saleh guna membahas ide pembuatan

Sisminbakum tersebut. Romli Atmasasmita meminta John Sardjo Saleh untuk

menjadi konseptor Sisminbakum. John Sardjo Saleh merupakan kuasa Direktur

PT Visual Teknindo Utama.

Lebih lanjut pada bulan Juni 2000 Romli Atmasasmita melakukan

pertemuan dengan John Sardjo Saleh dan beberapa perwakilan dari PT Bhakti

Investama Tbk. Pada saat itu PT Bhakti Investama Tbk diwakili oleh Hartono

Tanoesodibjo, Bambang Tanoesodibjo, Rukman Prawirasasra, dan Yohanes

Waworuntu. Dalam pertemuan tersebut disepakati bahwa John Sardjo Saleh akan

berkerjasama dengan PT Bhakti Investama Tbk dimana John Sardjo Saleh akan

membuat sistem komputerisasi untuk Sisminbakum, namun yang akan

mengoperasikan sistem tersebut adalah PT Bhakti Investama Tbk.

(15)

Setelah pertemuan tersebut kemudian pada tanggal 30 Juni 2000 Hartono

Tanoesodibjo membentuk Perseroan baru yaitu PT Sarana Rekatama Dinamika.

Dalam Akta Pendirian Perseroan Terbatas Nomor 339 dibuat dihadapan Rachmat

Santosa Sarjana Hukum Notaris di Jakarta tanggal 30 Juni 2000 (Akta

Notaris Rachmat Santosa No. 339) susunan pemegang saham Perseroan terdiri

atas Lydia Lily Setyarini dan Gerald Yakobus masing-masing sebesar tiga puluh

persen dan Endang Setywaty sebesar empat puluh persen. Sedangkan susunan

dewan komisaris Perseroan terdiri atas Gerald Yakobus sebagai Komisaris Utama,

sedangkan Anggota Dewan Komisaris terdiri atas Roekman Prawirasasra, Lydia

Lily Setyarini dan Sunarto. Sedangkan direksi terdiri atas Yohanes Waworuntu

sebagai Direktur Utama dan Endang Setiawati sebagai Direktur.

Kemudian pada tanggal 28 Agustus 2000 bertempat di kantor PT Bhakti

Asset Management ditandatangani perjanjian kerja antara PT Sarana Rekatama

Dinamika dengan PT Visual Teknindo Utama. Dalam perjanjian yang

ditandatangani oleh Yohanes Waworuntu dan John Sardjo Saleh disepakati bahwa

PT Visual Teknindo Utama akan membuat aplikasi sampai dengan pembangunan

networking serta melakukan pengadaan untuk hardware Sisminbakum. Untuk itu

PT Sarana Rekatama Dinamika akan memberikan biaya sebesar Rp.

512.318.750,00 yang akan dibayarkan kepada PT Visual Teknindo Utama secara

bertahap.

Pada bulan Agustus 2008 itu pula Romli Atmasasmita bertemu dengan

Hartono Tanoesodibjo guna membahas penunjukan langsung PT Sarana

(16)

dengan KPPDK. Dalam pertemuan tersebut dibahas pula mengenai draft

perjanjian kerjasama. Dalam draft perjanjian kerjasama yang telah diparaf tersebut

antara lain disepakati bahwa dalam rangka pelayanan jasa hukum PT Sarana

Rekatama Dinamika dan KPPDK setuju menetapkan biaya akses kepada

pelanggan sebesar sebagai berikut.

Tabel 1

Biaya Akses Sisminbakum dalam Draft Perjanjian Kerjasama

No. Jasa Hukum Biaya

1. Pemeriksaan nama Perseroan dan pemesanan nama perseroan

Rp. 350.000,00

2. Pendirian dan Perubahan Badan Hukum Rp. 1.000.000,00 3. Pemeriksaan profile Perseroan di Indonesia Rp. 250.000,00

4. Konsultasi Hukum Rp. 500.000,00

Setelah draft perjanjian kerjasama tersebut dibuat oleh Romli Atmasasmita

dengan Hartono Tanoesodibjo, kemudian Yohanes Waworuntu selaku Direktur

Utama PT Sarana Rekatama Dinamika yang menandatangani dan mengirimkan

Surat Permohonan No. 007/Dir/YW-SRD/IX/2000 untuk turut sebagai pihak

dalam pengelolaan dan pelaksanaan Sisminbakum pada tanggal 1 September dan

Surat Penawaran No. 010/Dir/YW-SRD/IX/2000 tanggal 15 September 2000

tentang Penawaran Harga Sisminbakum berikut dengan lampiran proposal.

Setelah mempelajari Surat Permohonan No. 007/Dir/YW-SRD/IX/2000

dan draft perjanjian kerjasama yang telah dibuat oleh Romli Atmasasmita dengan

Hartono Tanoesodibjo, Ali Amran Djanah, Ketua KPPDK mengajukan Surat

Keberatan No. 104/K/UM/KPPDK/IX/2000 kepada Menhukham RI selaku

Pembina Utama KPPDK yang pada intinya menyatakan empat hal. Pertama,

(17)

harus diikuti oleh tiga perusahaan guna dilakukan penilaian yang wajar. Kedua,

dokumen pelelangan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari

perjanjian kerjasama dan menjadi landasan hukum dalam pertimbangan

kerjasama. Ketiga, penetapan biaya akses, kewajaran pembagian pendapatan dan

jangka waktu perjanjian kerjasama dan calon pemenang dilakukan oleh

Menhukham RI selaku Pembina Utama KPPDK melalui usulan dari pengurus

KPPDK dengan sekurang-kurangnya tiga perusahaan pembanding guna

mendapatkankewajaranharga.Keempat, sebelum penandatanganan perjanjian

kerjasama Sisminbakum tersebut perlu terlebih dahulu ditetapkan beberapa

keputusan guna memenuhi syarat formil.

RomliAtmasasmita menanggapi Surat Keberatan No. 104/ K / UM /

KPPDK / IX / 2000 tersebut, beliau berpendapat bahwa tidak perlu adanya

pembanding yang melakukan penawaran biaya akses karena dana Sisminbakum

tersebut berasal dari pihak swasta. Selanjutnya Romli Atmasasmita meminta

pengurus KPPDK membuat konsep surat keputusan Menhukham RI tentang

pemberlakuan Sisminbakum dan surat keputusan Menhukham RI tentang

penunjukan KPPDK dan PT Sarana Rekatama Dinamika sebagai pengelola dan

pelaksana Sisminbakum. Kemudian kedua konsep surat tersebut disampaikan

kepada Menhukham RI dengan tembusan kepada Romli Atmasasmita.

Atas konsep surat keputusan tersebut Yusril Izha Mahendra kemudian

mengeluarkan Surat Keputusan Menhukam RI No. M-01.HT.01.01 Tahun 2000

Menhukham RI dan Yusril Izha Mahendra selaku Pembina Utama KPPDK

(18)

kedua surat keputusan Menhukham RI tersebut berisi tentang penunjukan PT

Sarana Rekatama Dinamika dan KPPDK sebagai pengelola dan pelaksana

Sisminbakum.

Setelah dikeluarkannya Surat Keputusan Menhukham RI No.

M-01.HT.01.01 Tahun 2000 dan Surat Keputusan No. 19/K/KEP/KPPDK/X/2000

kemudian pada tanggal 8 November 2000 ditandatangani Perjanjian Kerjasama

antara Yohanes Waworuntu selaku Direktur Utama PT Sarana Rekatama

Dinamika dan Ali Amran Djanah selaku Ketua KPPDK dan diketahui oleh Yusril

Izha Mahendra selaku Pembina Utama KPPDK. Perjanjian Kerjasama tersebut

sebelumnya telah diparaf oleh Hartono Tanoesodibjo. Dalam perjanjian tersebut

diatur antara lain.

a. PT Sarana Rekatama Dinamika sepenuhnya akan melakukan pengelolaan dan pelaksanaan Sisminbakum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) Perjanjian Kerjasama.

b. Besarnya biaya akses yang dikenakan kepada pelanggan Sisminbakum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) Perjanjian Kerjsama adalah sebagai berikut.

Tabel 2

Biaya Akses Sisminbakum dalam Perjanjian Kerjasama

No. Jasa Hukum Biaya

1. Pemeriksaan nama Perseroan dan pemesanan nama perseroan

Rp. 350.000,00

2. Pendirian dan Perubahan Badan Hukum Rp. 1.000.000,00 3. Pemeriksaan profile Perseroan di Indonesia Rp. 250.000,00

4. Konsultasi Hukum Rp. 500.000,00

(19)

Kerjasama tersebut berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) Perjanjian Kerjasama.

d. Pembagaian biaya akses tersebut akan dilakukan setiap satu bulan sekali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (7) Perjanjian Kerjasama.116

Kemudian Yusril Izha Mahendra menerbitkan Keputusan Menhukham RI

Nomor M-01.HT.01.01 tanggal 31 Januari 2001 tentang Tata Cara Pengajuan

Permohonan dan Pengesahan Akta Pendirian dan Persetujuan Akta Perubahan

Anggaran Dasar Perseroan Terbatas (Surat Keputusan Menhukham RI No. M-

01.HT.01.01 Tahun 2001) dan Surat Keputusan Menhukham RI Nomor M-

02.HT.01.01 tanggal 31 Januari 2001 tentang Tata Cara Penyampaian Laporan

Akta Perubahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas (Surat Keputusan

Menhukham RI No. M-02.HT.01.01 Tahun 2001).

Kedua surat keputusan Menhukham RI tersebut kemudian ditindaklanjuti

oleh Romli Atmasasmita dengan mengeluarkan Surat Edaran No. C.UM.01.10-23

Tahun 2001 yang ditujukan kepada seluruh Notaris di Indonesia. Dalam Surat

Edaran No. C.UM.01.10-23 Tahun 2001 tersebut dinyatakan bahwa Sisminbakum

secara efektif diberlakukan pada tanggal 1 Maret 2001 dan biaya akses yang

dikenakan terhadap pelanggan Sisminbakum adalah sesuai biaya akses yang

ditetapkan dalam Perjanjian Kerjasama ditambah pajak pertambahan nilai (PPN)

sebesar sepuluh persen untuk PT Sarana Rekatama Dinamika dan penerimaan

negara bukan pajak (PNBP) sebesar dua ratus ribu rupiah per akta. Kemudian

Surat Edaran No. C.UM.01.10-23 Tahun 2001 yang telah dicabut dan digantikan

116 Perjanjian Kerjasama antara Koperasi Pengayoman Pegawai Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia dengan PT Sarana Rekatama Dinamika tentang Pengelolaan dan

(20)

dengan Surat Edaran No. C-UM.06.10-05 Tahun 2001. Namun dalam Surat

Edaran No. C- UM.06.10-05 Tahun 2001 tersebut Romli Atmasasmita masih

menetapkan biaya akses sesuai dengan biaya akses yang diatur dalam Perjanjian

Kerjasama.

Atas dasar Surat Keputusan Menhukam RI No. M-01.HT.01.01 Tahun

2000, Surat Keputusan No. 19/K/KEP/KPPDK/X/2000, Perjanjian Kerjasama dan

Surat Edaran No. C.UM.01.10-23 Tahun 2001 dicabut dan digantikan dengan

Surat Edaran No. C-UM.06.10-05 Tahun 2001 tersebut PT Sarana Rekatama

Dinamikia memilik kewenangan atau legitimasi untuk dan atas nama Dephukham

RI cq Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum untuk melakukan pungutan

atas biaya akses Sisminbakum dan PNBP.

Pada tanggal 22 Mei 2001, Romli Atmasasmita mengeluarkan surat

Nomor C-UM.01.10-98 (Surat No. C-UM.01.10-98 Tahun 2001) kepada KPPDK

yang pada intinya meminta pembagian penerimaan biaya akses atas Sisminbakum,

dimana sepuluh persen dari bagian yang diperoleh dari biaya akses Sisminbakum

sebagaimana dimaksud dalam Perjanjian Kerjasama Direktorat Jenderal

Administrasi Hukum Umum memperoleh bagian sebesar enam puluh persen, dan

empat puluh persen untuk KPPDK. Pada tanggal 25 Juli 2001 ditandatangani

perjanjian kerjasama Nomor C-UM.02.02-113 dan Nomor

157/K/UM/KPPDK/VII/2001 (Perjanjian Kerjasama antara KPPDK dengan

Direktorat Jenderal AHU) yang ditandatangani oleh Romli Atmasasmita dan Ali

(21)

Kemudian pembagian yang diterima oleh Direktorat Jenderal Administrasi

Hukum Umum tersebut, Romli Atmasasmita memperoleh sebesar lima juta rupiah

dan dua ribu Amerika Serikat dolar. Selain itu dana yang diterima oleh Direktorat

Jenderal Administrasi Hukum Umum tersebut juga dibagikan kepada direktur,

pejabat eselon III dan IV serta staf di Direktorat Perdata dan Direktorat di luar

Direktorat Perdata dengan perincian sebagai berikut.

Tabel 3

Dana yang Dibagikan kepada Karyawan di Lingkungan Direktorat Perdata dan Direktorat di luar Direktorat Perdata

Direktorat Perdata Direktorat di luar Direktorat Perdata Direktur Rp. 2.000.000,00/bulan Rp. 500.000,00/bulan Pejabat Eselon III Rp. 1.500.000,00/bulan Rp. 250.000/bulan Pejabat Eselon IV Rp. 750.000/bulan Rp. 150.000/bulan

Staf Rp. 500.000/bulan Rp. 100.000/bulan

Pada tanggal 30 Juni 2002 posisi Romli Atmasasmita sebagai Dirjen AHU

digantikan oleh Zulkarnain Yunus. Pada saat Zulkarnain Yunus menjabat sebagai

Dirjen AHU, Yusril Izha Mahendra mengeluarkan Surat Keputusan Menhukham

RI Nomor M-05.HT.01.01 tanggal 12 Juli 2002 tentang Pemberlakukan

Sisminbakum di lingkungan Direktorat Administrasi Hukum Umum Dephukham

RI (Surat Keputusan No. 05.HT.01.01 Tahun 2002). Surat Keputusan No.

M-05.HT.01.01 Tahun 2002 kemudian ditindaklanjuti oleh Zulkarnain Yunus dengan

Surat Nomor C.01.HT.01.01 tanggal 23 Januari 2003 tentang Tata Cara Pengajuan

Permohonan dan Pengesahan Akta Pendirian dan Persetujuan Akta Perubahan

Anggaran Dasar Perseroan (Surat Keputusan No. C.01.HT.01.01Tahun 2003).

Kedua surat tersebut menjadi dasar pelaksaaan Sisminbakum yang dilaksanakan

(22)

Pada tanggal 5 September 2006, Zulkarnain Yunus digantikan oleh

Syamsudin Manan Sinaga. Kemudian Syamsudin Manan Sinaga selaku Dirjen

AHU kemudian melanjutkan pelaksanaan Sisminbakum dengan dasar Surat

Keputusan No. M-05.HT.01.01 Tahun 2002 dan Surat Keputusan No.

C.01.HT.01.01 Tahun 2003.

Sejak dioperasikan, tanggal 1 Maret 2001 sampai dengan tanggal 5

November 2008 pemasukan yang diperoleh dari biaya akses Sisminbakum pada

rekening bank Danamon Cabang GKBI nomor rekening 4192274 atas nama PT

Sarana Rekatama Dinamika (Rekening PT Sarana Rekatama Dinamika) adalah

sebesar Rp. 415.822.643.989,61. Sedangkan untuk pembayaran PNBP sebesar dua

ratus ribu rupiah per akta harus dibayarkan ke Bank Negara Indonesia Tahun 1946

(BNI 1946) cabang Tebet Jakarta dengan nomor rekening 12011779481.

Tabel 4

Biaya Akses Sisminbakum dalam Rekening PT Sarana Rekatama Dinamika

Nama Dirjen AHU/ Masa Jabatan Besarnya Biaya Akses Sisminbakum yang Diterima dalam Rekening PT

30 Juni 2002 s/d 5 September 2006

Rp. 223.077.146.311,10

Syamsudin Manan Sinaga

5 September 2006 s/d 8 November 2008

Rp. 197.205.409.952,93

(Sumber Kasus Posisi : Vidya Prahassacitta,”Pertanggung Jawaban Pidana

Kasus Sisminbakum”, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok,

(23)

3.4.1.1. Analisis Kasus Splitsing ( Kasus Korupsi Sisminbakum )

Pada kasus diatas Penuntut Umum (PU) melakukan pemisahan berkas

(splitsing) perkara antar satu pelaku dengan pelaku lain.Hal tersebut dikarenakan

alat bukti yang lain tidak ada atau sangat minim sehingga dengan adanya

pemisahan berkas perkara (splitsing) terdakwa yang satu dapat dijadikan saksi

terhadap terdakwa lainnya.Berkas Romli Atmasasmita dkk dipisah oleh Penuntut

Umum dikarenakan juga perbuatan yang dilakukan para pelaku berdiri

sendiri-sendiri yang mana locus dan tempusnya pun berbeda.Sehingga sangat efektif

berkas perkara tersebut dipisahkan demi kelancaran proses pembuktian dalam

persidangan.Apabila tidak dilakukan pemisahan berkas perkara (splitsing) akan

menyulitkan Penuntut Umum (PU) dalam pembuatan surat dakwaan.Selain itu

pada kasus di atas tindak pidana yang terjadi merupakan tindak pidana yang

dilakukan beberapa orang tersangka dengan peran masing-masing terdakwa

berbeda.

Pemecahan berkas perkara (splitsing)yang dilakukan Penuntut Umum

(PU) sehubungan dengan kurangnya saksi yang menguatkan dakwaan penuntut

umum, sedangkan saksi lain sulit ditemukan sehingga satu-satunya jalan adalah

mengajukan sesama tersangka sebagai saksi terhadap tersangka lainnya.117

Pemisahan berkas perkara dalam kasus diatas juga bertujuan agar tidak

lepasnya tuntutan pidana antar pelaku dikarenakan setiap pelaku memiliki peran

dan perbuatan yang berbeda.Apabila berkas digabung akan berpotensi tidak

(24)

terbuktinya dakwaan dikarenakan akan riskan salah satu pelaku tidak memenuhi

unsur yang didakwakan.

Pemisahan juga bisa dilakukan kualitas peran yang berbeda. Dengan

catatan ada perbedaan ketentuan hukum yang dilanggar. Harus bisa dilihat apakah

terdakwa itu memenuhi kualitas dari delik yang didakwakan.Misalnya antara

penyuap dan pejabat yang menerima suap.

Pemisahan berkas perkara biasanya dilakukan Penuntut Umum (PU)

dalam kasus korupsi dan pemerkosaan yang mana saksi yang melihat,mendengar

dan mengalami tindak pindana minim sehingga terdakwa dalam berkas terpisah

menjadi penting sebagai saksi dalam tindak pidana yang dilakukan pelaku.Selain

itu dapat dilihat dari tindak pidana yang dilakukan.Apabila tindak pidana yang

dilakukan tidak sederhana dan dapat menyulitkan Penuntut Umum (PU) dalam

menyusun surat dakwaan maka lebih efektif dilakukan pemisahan berkas perkara

(splitsing) sehingga dapat dipetakan tindak pidana dan peran masing masing

pelaku.

3.4.2. Kasus Voeging ( Kasus Korupsi Japung Soekamto Hadi CS )

Kasus Gratifikasi dana jasa pungut (Japung) Rp 720 Juta yang melibatkan

tiga pejabat Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya yakni Sekretaris Kota (Sekkota)

Surabaya Sukamto Hadi, Assiten II Sekkota Mukhlas Udin, dan mantan Kepala

Bagian Keuangan Poerwito yang sudah diputus dengan nomor perkara 1465

(25)

Kasus tersebut bermula dari dikeluarkannya Keputusan Menteri Dalam

Negeri No. 35 tahun 2002, tentang Pedoman Alokasi Biaya Pemungutan Pajak

Daerah Menteri Dalam Negeri terutama pada pasal 4 poin b 3, dijelaskan bahwa

"20% (dua puluh persen) untuk Aparat Penunjang lainnya" , pasal 5 poin b 2

menyatakan bahwa "15% (lima belas persen) untuk Aparat Penunjang lainnya"

pasal 6 poin b "6% (enam persen) untuk Aparat Penunjang yaitu Tim Pembina

Pusat"118

Selain itu, ada beberapa peraturan yang mengatur pungutan sebagaimana

diatur dalam beberapa Keputusan Gubernur Jawa Timur, Peraturan Daerah

Surabaya, hingga Peraturan Walikota Surabaya.Diantaranya Keputusan Gubernur

Jawa Timur No. 42A tahun 2004 tentang Biaya Pemungutan Pajak Daerah Dan

Biaya Operasional Retribusi Daerah Propinsi Jawa Timur pasal 7a : "Aparat

Penunjang adalah aparat Dinas/Instasi/Lembaga/Badan di lingkungan Pemerintah

Propinsi Jawa Timur yang terkait secara langsung maupun tidak langsung

mendukung kegiatan pemungutan dan peningkatan Pendapatan Asli Daerah

(PAD), dalam hal ini termasuk DPRD Propinsi Jawa Timur.’’119 Juga diatur dalam Perda Surabaya No. 9 tahun 2006 tentang Biaya

Pemungutan Pajak Daerah, Perwali Surabaya No. 69 tahun 2006 tentang

Pengaturan dan Pembagian Biaya Pemungutan Pajak Daerah, Perwali Surabaya

No. 74 tahun 2006 tentang Pengaturan dan Pembagian Biaya Pemungutan Pajak

Daerah terutama pada pasal 4 poin b dinyatakan bahwa : "Sebesar 40% (empat

118 Junaedy Gunawan, Jalankan Perintah Walikota Bambang DH, Sukamto Hadi Cs

Harusnya Bebas Murni, www.surabayapagi.com , 7 Maret 2013, h.1, dikunjungi pada tanggal 26 Januari 2015.

(26)

puluh persen) diberikan kepada aparat penunjang, yang pengaturan dan

pembagiannya dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah atas persetujuan Kepala

Daerah.” . Serta Perwali Surabaya No. 44 tahun 2007 (perubahan Perwali

Surabaya No. 74 tahun 2006) tentang Pengaturan dan Pembagian Biaya

Pemungutan Pajak Daerah terutama pada pasal 4 poin b : "Sebesar 40% (empat

puluh persen) diberikan kepada aparat penunjang, yang pengaturan dan

pembagiannya dilaksanakan oleh Asisten Bidang Administrasi Pembangunan atas

persetujuan Kepala Daerah berdasarkan pertimbangan dari Sekretaris Daerah".

Dalam aturan Perwali Surabaya diatas, saat itu Surabaya masih dipimpin walikota

Bambang Dwi Hartono.120

Sukamto Hadi Cs dalam bertindak (memberikan uang japung kepada

Musyafak Rouf yang saat itu sebagai Ketua DPRD kota Surabaya) dengan dasar

hukumnya yaitu Keputusan Mendagri no. 32 tahun 2002 yang baru dan mencabut

Perwali Surabaya No. 69 tahun 2006 tentang Pengaturan dan Pembagian Biaya

Pemungutan Pajak Daerah. Selain Keputusan Gubernur Jawa Timur No. 42A

tahun 2004 tentang Biaya Pemungutan Pajak Daerah Dan Biaya Operasional

Retribusi Daerah Propinsi Jawa Timur pasal 7a "Aparat Penunjang adalah aparat

Dinas/Instasi/Lembaga/Badan di lingkungan Pemerintah Propinsi Jawa Timur

yang terkait secara langsung maupun tidak langsung mendukung kegiatan

pemungutan dan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), dalam hal ini

termasuk DPRD Propinsi Jawa Timur".121

120Ibid.

(27)

Sesuai fakta di muka persidangan Wali Kota Surabaya Bambang DH

memberikan persetujuan lisan, bahkan mantan Ketua PDIP Surabaya ini

menandatangani persetujuan penyerahan uang Rp 720 juta kepada DPRD

Surabaya. Uang tersebut diduga untuk memuluskan proyek pembangunan

Surabaya Sport Centre (SSC) dan Bus Rapid Transit, yang saat itu tengah dibahas

dewan.122

Fakta ini terungkap dalam berkas dakwaan yang dibacakan oleh Jaksa

Penuntut Umum (JPU) dalam sidang di Pengadilan Negeri Surabaya, Senin

(23/3). Pada sidang kali ini menghadirkan tiga pejabat teras Pemkot Surabaya

sebagai terdakwa. Yakni, Sekkota Surabaya Soekamto Hadi, Asisten II Mukhlas

Udin dan dan Purwito, mantan Kabag Pengelola Keuangan Pemkot.123 Dalam dakwaan yang dibacakan di hadapan majelis hakim Berlin

Damanik SH, JPU Edy Winarko SH dan Karimuddin SH menyebutkan Bambang

DH menyetujui secara lisan pemberian uang senilai Rp 470 juta pada 3 Oktober

2007. Bambang juga disebut menandatangani persetujuan uang Rp 250 juta untuk

diberikan kepada Ketua DPRD Surabaya Musyafak Rouf (terdakwa dalam berkas

terpisah).124

Pada sidang perdana yang digelar pukul 09.30 Wib, JPU menjerat

ketiganya dengan dakwaan primer melanggar pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 ayat UU

31/1999 yang diperbarui dalam UU 20/2001 tentang tindak pidana korupsi dengan

ancaman hukuman 20 tahun penjara.Selain itu, JPU juga mendakwa para pejabat

122 Budi Mulyono, Bambang DH Setujui (Sidang Kasus Gratifikasi Rp 720 Juta), 24 Maret 2009, h.1, dikunjungi pada tanggal 26 Januari 2015.

(28)

eksekutif Pemkot Surabaya ini dengan dakwaan subsidair pasal 3, pasal 5 ayat (2)

dan pasal 11 jo pasal 18 18 ayat (1) huruf a UU 31/1999 yang diperbarui dalam

UU 20/2001 tentang tindak pidana korupsi.125Menurut Edy Winarko ketiga terdakwa bersama-sama dengan Musyafak Rouf pada 4 Oktober 2007 bertempat

di kantor DPRD Surabaya Jl Yos Sudarso, telah melakukan korupsi. Para

terdakwa secara melawan hukum telah melakukan perbuatan memperkaya diri

sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara,kata

Edy.126

Dijelaskannya, pada akhir September 2007 Musyafak Rouf menghubungi

Asisten II Pemkot Surabaya, Muhlas Udin melalui telepon untuk mengingatkan

Wali Kota Surabaya, bahwa DPRD Surabaya mempunyai hak atas biaya

pemungutan pajak pajak daerah (japung).Selanjutnya, Mukhlas Udin bersama

dengan Purwito melaporkan pada Sukamto Hadi untuk membicarakan permintaan

Musyafak Rouf. Dari pertemuan tersebut ketiganya sepakat DPRD kota Surabaya

berhak mendapatkan biaya pemungutan pajak sebesar Rp 470 juta. Anggota

dewan sebanyak 45 orang masing-masing mendapatkan Rp 10 juta dan ketua

dewan Rp 20 juta. Kesepakatan tersebut dilaporkan pada wali kota dan disetujui

secara lisan,ungkap JPU.127

Pada 4 Oktober 2007, Muhlas Udin menyerahkan uang Rp 470 juta kepada

Musyafak. Namun oleh terdakwa uang tersebut tidak dibagikan pada anggota

DPRD Kota Surabaya. Hal itu telah dilaporkan pada Walikota Bambang DH dan

125Ibid.

(29)

telah disetujui.Pada 27 Nopember 2007 Musyafak Rouf menanyakan tentang

biaya pemungutan pajak daerah untuk DPRD Kota Surabaya pada Muhlas Udin.

Ketiga terdakwa mendatangai Bambang DH dan menyetujui secara lisan

pemberaian dana Rp 250 juta.128Kemudian uang sebesar Rp 250 juta tersebut dibagikan Musyafak pada seluruh anggota DPRD. Untuk 3 pimpinan dewan Rp10

juta per orang. Panitia anggaran 17 orang, masing-masing Rp7,5 juta. Panitia

Musyawarah 11 orang, masing-masing dapat Rp5 juta, dan anggota biasa 14

orang, masing-masing Rp2,5 juta. Akibat perbuatan yang dilakukan terdakwa

mengakibatkan negara dirugikan sebesar Rp720 juta.129

Dalam kasus korupsi Japung Soekamto Hadi CS,Penuntut Umum (PU)

melakukan penggabungan berkas perkara (Voeging) kepada para terdakwa yaitu

Sekretaris Kota (Sekkota) Surabaya Sukamto Hadi, Assiten II Sekkota Mukhlas

Udin, dan mantan Kepala Bagian Keuangan Poerwito.

3.4.2.1. Analisis Kasus Voeging (Kasus Korupsi Japung Soekamto Hadi CS)

Dalam kasus diatas Penuntut Umum (PU) melakukan penggabungan

berkas ketiga terdakwa Sekretaris Kota (Sekkota) Surabaya Sukamto Hadi,

Assiten II Sekkota Mukhlas Udin, dan mantan Kepala Bagian Keuangan

Poerwito.Para terdakwa memiliki peran yang hampir sama yang merupakan

tindak pidana yang dapat mudah terlihat peran masing-masing pelakuknya.

128Ibid.

(30)

Sukamto Hadi sebagai pelaku yang melakukan (Pleger),Mukhlas Udin dan

Poerwito sebagai pelaku turut serta melakukan (Medepleger). Mukhlas Udin dan

Poerwito sebagai pelaku turut serta melakukan (Medepleger) terlihat dari wujud

kesengajaan yang ada pada di pelaku dan mengenai kepentingan dan tujuan dari

pelaku.

Ukuran kesengajaan dapat berupa; (1) soal kehendak si pelaku untuk

benar-benar turut melakukan tindak pidana, atau hanya untuk memberikan

bantuan, atau (2) soal kehendak si pelaku untuk benar-benar mencapai akibat yang

merupakan unsur dari tindak pidana, atau hanya turut berbuat atau membantu

apabila pelaku utama menghendakinya.

Turut serta melakukan (Medepleger) merupakan orang yang sengaja turut

berbuat atau turut mengerjakan dengan kata sepakat terjadinya suatu tindak

pidana.Sukamto Hadi, Mukhlas Udin dan Poerwito mengerjakan tindak pidana

perbarengan atau penyertaan yang mana mengerjakan tindak pidana korupsi

memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara secara

bersama-sama dengan adanya kerja sama secara sadar dan adanya pelaksanaan

bersama secara fisik.

Penuntut Umum (PU) melakukan penggabungan berkas perkara pada

kasus diatas menurut penulis sudah benar dikarenakan tanpa melakukan

pemisahan berkas peraka,sudah terang dan jelas baik tindak pidananya maupun

peran masing-masing pelakunya.Tindak pidananya pun yang dilakukan ketiga

(31)

bahkan saling berhubungan.Dapat dikatakan tindak pidana yang dilakukan para

pelaku tidak rumit (sederhana).Selain itu yang lebih penting adalah alat bukti yang

ditemukan demi proses pembuktian di muka persidangan.Dalam kasus

diatas,sudah terdapat alat bukti yang cukup sehingga tidak perlu menghadirkan

saksi sebagai terdakwa dalam kasus tersebut.Para terdakwa tidak perlu menjadi

saksi terhadap terdakwa lain dikarenakan Penuntut Umum (PU) telah menemukan

alat bukti yang memadai dalam proses pembuktian.Dengan penggabungan berkas

perkara yang dilakukan Penuntut Umum (PU) pada kasus diatas,persidangan akan

lebih cepat,sederhana dan biaya ringan.

Penggabungan berkas perkara maupun pemisahan berkas perkara yang

dapat dilakukan Penuntut Umum (PU) merupakan tindakan opsional yang mana

tidak ada aturan yang jelas tentang syarat-syarat pemisahan maupun

penggabungannya.Dapat dikatakan poin penting Penuntut Umum (PU) mlakukan

pemisahan dan penggabungan berkas perkara adalah demi kepentingan

pemeriksaan semata mata dan demi terbuktinya tindak pidana yang dilakukan

pelaku.

Apabila dengan penggabungan berkas perkara menjadikan tindak pidana

sudah jelas dan terang akan pembuktiannya,maka tidak perlu melakukan

pemisahan berkas perakara.Sebaliknya,apabila dengan penggabungan berkas

perkara akan mempersulit proses pembuktian di muka persidangan,maka lebih

baik dilakukan pemisahan berkas perkara.

(32)

Mantan Kabareskrim Mabes Polri Susno Duadji masih berkutat pada

perdebatan boleh tidaknya dua tindak pidana digabung dalam satu berkas

dakwaan. Duduk di kursi pesakitan, Susno didakwa melakukan tindak pidana

korupsi dalam dua kasus berbeda, yaitu pemilihan kepala daerah provinsi Jawa

Barat, dan dugaan suap dalam penanganan kasus Arowana. Jaksa menggabungkan

kedua kasus itu dalam satu berkas dakwaan. Inilah yang sempat dipersoalkan tim

pengacara Susno pada sidang sebelumnya.

Pada kasus dugaan suap arowana bermula Terdakwa HAPOSAN

HUTAGALUNG,SH. Sebagai Advokat pada Kantor Pengacara HAPOSAN

HUTAGALUNG & PARTNERS menjadi Kuasa Hukum Mr .HO KIAN HUAT

(Warga Negara Singapura) berdasarkan Surat Kuasa tanggal 25 Februari 2008

dalam Penanganan Kasus Dugaan Penggelapan pada Inves tasi Ikan Arwana di

Pekanbaru Riau sebagaimana Laporan Polisi tanggal 10 Maret 2008 di Bareskr im

Polri dengan Pelapor yaitu Mr .HO KIAN HUAT dan sebagai terlapor ANUAR

SALMAH als .AMO.

Dalam proses penanganan perkara oleh Mabes Polri tersebut dinilai oleh

Terdakwa HAPOSAN HUTAGALUNG,SH. berjalan lambat sehingga Terdakwa

HAPOSAN HUTAGALUNG,SH. Bermaksud mempercepat penanganan perkara

yang dilaporkan tersebut, namun oleh karena Terdakwa merasa tidak terlalu

dekat dengan SUSNO DUADJI yang menjabat sebagai Kabareskrim yang

membawahi Penyidik - penyidik di Mabes Polri,maka Terdakwa menghubungi

SJAHRIL DJOHAN yang diketahui oleh Terdakwa HAPOSAN

(33)

yaitu SUSNO DUADJI, untuk maksud tersebut kemudian Terdakwa HAPOSAN

HUTAGALUNG, SH. dan VINCENT APRIONO bertemu dengan SJAHRIL

DJOHAN di Coffee Shop HOTEL AMBHARA Jakarta Selatan, dan dalam

pertemuan itu Terdakwa HAPOSAN HUTAGALUNG,SH. meminta tolong

kepada SJAHRIL DJOHAN untuk membantu mempercepat Proses Penyidikan

terhadap Laporan Polisi di Bareskrim Polri tanggal 10 Maret 2008 dalam

Penanganan Kasus Dugaan Penggelapan pada Investasi Ikan Arwana di

Pekanbaru Riau dengan Pelapor yaitu MR.HO KIAN HUAT dan Terlapor yaitu

ANUAR SALMAH als . AMO yang penyidikannya sangat lambat,dan Terdakwa

HAPOSAN HUTAGALUNG, SH. juga mengatakan kepada SJAHRIL DJOHAN

akan memberikan komisi sebesar 15% dari sukses fee Pengacara yang akan

diperoleh dari klien yaitu Mr .HO KIAN HUAT kepada SUSNO

DUADJI.Selanjutnya Terdakwa HAPOSAN HUTAGALUNG, SH. dan SJAHRIL

DJOHAN bertemu SUSNO DUADJI diruang kerja Kabareskrim Mabes Polri,

kemudian SJAHRIL DJOHAN menjelaskan permasalahan kasus Ikan Arwana

yang ditangani Unit V Direktorat I Bareskrim Mabes Polri kepada SUSNO

DUADJI, setelah mendengar penjelasan SJAHRIL DJOHAN tersebut kemudian

SUSNO DUADJI berkata “udah,nanti saya perintahkan tangkap dan saya atensi

kasus ini”, tanpa terlebih dahulu SUSNO DUADJI mengetahui materi perkaranya.

Selanjutnya bertempat di Hotel Ambhara Jakarta Selatan Terdakwa

HAPOSAN HUTAGALUNG, SH. bertemu kembali dengan SJAHRIL DJOHAN,

(34)

HAPOSAN HUTAGALUNG, SH. “SAN, ini kaba minta diperhatikan nih”

dijawab oleh Terdakwa HAPOSAN HUTAGALUNG, SH. “ya , memang ada bang,nanti aku siapkan Rp.500 juta ”.

Selanjutnya pada tanggal 04 Desember 2008 Terdakwa HAPOSAN

HUTAGALUNG, SH. ke kantor BCA KCU Menara Bidakara mengambil uang

sejumlah Rp. 500.000.000,- ( lima ratus juta rupiah ) dari Rekening miliknya

dengan maksud untuk diserahkan kepada Kabareskrim SUSNO DUADJI melalui

perantara SJAHRIL DJOHAN.

Selanjutnya pada tanggal 04 Desember 2008 sekira pukul 18.00 WIB

Terdakwa HAPOSAN HUTAGALUNG, SH. dengan menggunakan mobil plat

Nomor : B- 8821-BI tiba di Hotel Sultan untuk menemui SJAHRIL DJOHAN di

KUDUS BAR Hotel Sultan, Terdakwa HAPOSAN HUTAGALUNG, SH.

menyerahkan uang sejumlah Rp.500, - juta yang dibungkus di dalam paper bag

warna coklat.

Selanjutnya SJAHRIL DJOHAN bersama-sama UPANG SUPANDI

(SUPIR) dan DADANG M. APRIANTO menuju rumah SUSNO DUADJI, dan

dalam perjalanan menuju rumah SUSNO DUADJI, SJAHRIL DJOHAN

menghubungi SUSNO DUADJI melalui handphone ke Nomor : 08112221977

dan mengatakan ”Abang udah dekat nih”. Dijawab oleh SUSNO DUADJI “ya,

(35)

makan Padang Cabang Condet yang berada di depan rumah SUSNO

DUADJI,kemudian SJAHRIL DJOHAN mengatakan kepada saksi.

DADANG APRIYANTO “Dang, lihat - lihatin tuh uang di mobil ” ,selanjutnya sewaktu mobil yang ditumpangi SUSNO DUADJI tiba di rumah

Jalan Abu Serin No. 2b,SJAHRIL DJOHAN menunggu beberapa saat kemudian

mengambil bungkusan berisi uang dari dalam mobil dan berjalan masuk ke rumah

SUSNO DUADJI,sesampainya di dalam rumah kemudian SJAHRIL DJOHAN

meletakkan paper bag berisi uang Rp.500, - juta di atas sofa dan tidak lama

kemudian SUSNO DUADJI menemui SJAHRIL DJOHAN dan bersamaan

dengan itu datang SYAMSURIJAL ke rumah SUSNO DUADJI yang bermaksud

minta tanda tangan.Melihat SYAMSURIJAL datang SUSNO DUADJI kemudian

berdiri dan masuk ke dalam, sembari mempersilahkan SYAMSURIJAL masuk ke

ruang tamu.

Sewaktu SUSNO DUADJI masuk ke dalam SJAHRIL DJOHAN bertanya

kepada SYAMSURIJAL “LOH LU NGAPAIN?“ dijawab SYAMSURIZAL “mau minta tandatangan untuk berangkat dinas ke Belanda. Nah,Uda

ngapain?“dijawab oleh SJAHRIL DJOHAN sambi l mengangkat bungkusan yang

berisi uang dan mengatakan ”nih ”.

Selanjutnya setelah SYAMSURIZAL mendapatkan tandatangan dari

SUSNO DUADJI, SYAMSURIZAL kemudian pamit pergi meninggalkan

kediaman SUSNO DUADJI, kemudian SJAHRIL DJOHAN mengatakan kepada

(36)

posisi uang yang ada di atas sofa ke dekat posisi duduk SUSNO DUADJI,dan

oleh SUSNO DUADJI di jawab “ya ,udah.”, tidak berapa lama SJAHRIL DJOHAN keluar dari ruang tamu menuju mobil untuk kembali ke kantornya.

HAPOSAN HUTAGALUNG,SH. kemudian menerima pesan singkat

melalui SMS (Short Message Service) dari Handphone SJAHRIL DJOHAN yang

bersumber dari SUSNO DUADJI yang diteruskan kepada Terdakwa

HAPOSAN HUTAGALUNG,SH. yang berbunyi ” tangkap,tahan dan sita asset

tersangka”, sehingga menurut SJAHRIL DJOHAN dan Terdakwa HAPOSAN

HUTAGALUNG,SH. bahwa SUSNO DUADJI telah menanggapi permintaan

Terdakwa HAPOSAN HUTAGALUNG, SH. selaku kuasa hukum saksi pelapor

Mr .HO KIAN HUAT dengan cara memerintahkan Penyidik untuk segera

melakukan tindakan penangkapan,penahanan dan penyitaan asset - asset tersangka

yaitu sdr.ANUAR SALMAH als.AMO.

(Sumber : Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Putusan No.1390 K / PID.SUS/2011)

Selain kasus PT Salmah Arowana Lestari (SAL),Susno Komjen Pol.

Susno Duadji juga dijerat kasus korupsi dana pengamanan pemilihan kepala

daerah Jawa Barat.Kasus tersebut menurut para saksi yang diadirkan dalam

persidangan kasus Komjen Pol. Susno Duadji terdapat pemotongan dana hibah

pengamanan Pilkada Jawa Barat 2008.Setelah melakukan konfirmasi ke

Bendahara Satuan Kerja (Bensaker) para saksi yang merupakan enam Kapolres di

Jawa Barat itu yakni Sugiono Kapolres Subang, Erwin Faisal Kapolres Sumedang,

(37)

Kota, M Arif Ranmdani Kapolres Bandung Tengah dan M Gagah Suseno yang

saat itu menjabat sebagai Kapolres Majalengka masing-masing mendapat arahan

dari Bidang Keuangan (Bidkeu) Polda Jawa Barat yang saat itu di kepalai oleh

Kombes Pol Abdurrahman Pasha. “Yang bermasalah pada pemberian dana pada tahap keempat. Untuk tahap kesatu sampai tiga tidak ada masalah,” kata keenam

saksi kepada Hakim Ketua Charis Mardianto dan Hakim Anggota Haswandi dan

Artha Teresia, Selasa (14/12/2010).130

Begitu juga dalam Pertanggungjawaban Pembukuan Keuangan

(Perwabku), keenamnya mengaku telah mendapat arahan dari Bidkeu Polda Jabar

melalui AKBP Iwan Gustiawan dan AKBP Agus Dalam persidangan terungkap,

Kapolres Subang hanya mendapat sekitar Rp 400 juta, padahal di kuitansi

berjumlah Rp 650 juta. Sehingga ada selisih sekitar Rp 250 juta. Polres Sumedang

diketahui terdapat selisih sekitar Rp 425 juta. Pasalnya, dana riil yang diterima

sebesar Rp 565 juta sedang dalam kuitansi tertera Rp 990 juta.131

Sementara selisih penerimaan dana pengamanan Pilkada Jawa Barat tahun

2008 juga terdapat di Polres Kota Tasikmalaya. Di sini uang yang diterima

Kapolres melalui Bensatker sekitar Rp 500 juta. Namun uang tersebut terdapat

selisih sekitar Rp 300 juta karena kuitansi yang diterima sebesar Rp 859 juta.

Polres Sukabumi menerima Rp 247 juta. Dalam kuitansi tertera RP 597 juta,

sehingga terdapat selisih Rp 350 juta.Lebih lanjut, M Arif Ramdani selaku

130 Iwan Taunuzi,Enam Kapolres Jawa Barat Ngaku Dapat Arahan,

(38)

Kapolres Bandung Tengah saat itu menerima Rp 310 juta. Sedang kuitansi yang ia

terima sebesar Rp 531 juta. Ia mengaku terdapat selisih Rp 210 juta.132

Untuk Polres Majalengka dimana M Gagah Suseno yang saat itu menjadi

Kapolres mengatakan selisih dana sekitar Rp 289 juta. Pasalnya kuitansi yang

diterima sebesar Rp 523 juta, sedang uang yang diterima sebesar Rp 225 juta.

Total keseluruhan selisih dari keenam Kapolres ini mencapai sekitar Rp 1,833

miliar.133

Pada kasus Komjen Pol. Susno Duadji,Jaksa menggabungkan kedua kasus

itu dalam satu berkas dakwaan. jaksa menjelaskan bahwa penggabungan perkara

tidak perlu perkara satu dan lainnya terkait. Sementara dalam dua perkara

tersebut, terdakwanya sama yakni Susno, sehingga tak perlu dipisah. Argumentasi

jaksa didasarkan pada Pasal 141 huruf c KUHAP.134

Alasan lainnya, Erbagtyo melanjutkan, jika dua perkara Susno diajukan

dengan dakwaan terpisah, maka dirinya akan mendapat hukuman pidana secara

kumulatif murni. Karena itu, penggabungan dua perkara ini untuk melindungi hak

asasi Susno dan hukuman pidananya tidak kumulatif.135

3.4.3.1. Analisis Kasus Voeging (Kasus Korupsi Komjen Pol. Susno Duadji)

132Ibid.

133Ibid.

134 Y Gustaman,Sidang Kasus Susno Duadji,Jaksa: Menggabung 2 Perkara Tepat, www.tribunnews.com, 13 Oktober 2010, h.1, dikunjungi pada tanggal 13 Januari 2015.

(39)

Pada kasus diatas Penuntut Umum (PU) melakukan penggabungan berkas

perkara (voeging) antara pelaku dikarenakan terdapat beberapa tindak pidana yang

dilakukan oleh seorang pelaku perbuatan yang sama dan demi kepentingan

pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya tersebut.

Selain itu terdapat pula saksi yang cukup di saat tindak pidana dilakukan dan alat

bukti lainnya pun dapat menjadi penunjang pembuktian.

Menurut jaksa Erbagtyo Rohan berpendapat penggabungan kedua perkara

dalam satu berkas sudah tepat. Menurut dia, pasal 141 huruf c KUHAP tidak

mengharuskan dua perkara yang digabung saling bersangkut paut. Korelasi

perkara tidak menjadi syarat mutlak.136

Pasal 141 huruf c KUHAP menyebutkan “Beberapa tindak pidana yang

tidak ada sangkut pautnya satu dengan yang lain akan tetapi yang satu dengan

yang lain itu ada hubungannya yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu

bagi kepentingan pemeriksaan”. Pasal ini,menegaskan penggabungan perkara

tidak diperlukan syarat atas tindak pidana yang bersangkut paut. Sedangkan frase

‘ada hubungan’ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 huruf c KUHAP,

menurut Rohan,bila dikaitkan dengan penanganan perkara mesti dimaknai

“karena pelaku tindak pidananya adalah sama yakni Susno Duadji”.137

Demi memperkuat dalil sanggahannya, penuntut umum merujuk pada

Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yakni peradilan asas

cepat, sederhana dan biaya ringan. Terlebih lagi demi kepentingan pemeriksaan.

136 Tidak ada nama penulis, Jaksa Boleh Menggabungkan Dua Perkara Dalam Satu

(40)

Dengan begitu, kata Rohan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap

penggabungan dua perkara dalam satu berkas dakwaan.138Maka sudah tepat jaksa

penuntut umum menggabungkan dua perkara ini dalam satu surat dakwaan demi

kelancaran pemeriksaan di muka sidang semata-mata dan demi memenuhi asas

peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan.

Sehingga Penuntut Umum (PU) dalam hal ini lebih memilih

penggabungan berkas perkara (Voeging) dikarenakan mempertimbangkan

beberapa hal yaitu

1. Perbuatan dilakukan seorang yang sama maupun beberapa pelaku yang

mana perbuatan yang dilakukan berdiri sendiri-sendiri maupun tidak

berdiri sendiri-sendiri.Beberapa tindak pidana tersebut bersangkut-paut

satu dengan yang lain maupu tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain

akan tetapi saling berhubungan.

2. Locus dan Tempus Delictinya pun sama atau hampir bersamaan antar

perbuatan pelaku satu dengan yang lainnya sehingga dengan

menggabungkan berkas perkara (Voeging) akan memudahkan Penuntut

Umum (PU).

3. Tindak pidana yang dilakukan sederhana sehingga tidak perlu dilakukan

pemecahan satu persatu peran dan tindak pidana dalam beberapa berkas.

4. Terdapat beberapa saksi yang melihat,mendengar,atau mengalami di saat

tindak pidana dilakukan.

(41)

5. Terdapat beberapa alat bukti yang dapat lebih menguatkan dakwaan

Penuntut Umum (PU) selain alat bukti saksi.

Pemisahan berkas perkara (Splitsing) merupakan hak absolut jaksa yang

didasari oleh pertimbangan-pertimbangan penuntut umum baik secara materiil

maupun formil.Pertimbangan-pertimbangan penuntut umum dalam melakukan

pemisahan berkas perkara (Splitsing) secara materiil yaitu terdapat beberapa

tindak pidana yang melibatkan beberapa orang pelaku yang memiliki peran

masing-masing yang mana tempus dan locusnya berbeda yang mana biasanya

merupakan tindak pidana yang tidak sederhana.Pertimbangan-pertimbangan

penuntut umum dalam melakukan pemisahan berkas perkara (Splitsing) secara

Gambar

Tabel 1
Tabel 2 Biaya Akses Sisminbakum dalam Perjanjian Kerjasama
Tabel 4 Biaya Akses Sisminbakum dalam Rekening PT Sarana Rekatama Dinamika

Referensi

Dokumen terkait

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN PETANI PETERNAK SAPI POTONG INTENSIF DAN TRADISIONAL DI KECAMATAN PANTAI CERMIN DAN KECAMATAN SERBAJADI KABUPATEN

Sebuah diode silikon memiliki karakteristik arus sebesar 1 mA pada tegangan 581 mV pada kedua ujungnya.. Juga hambatan pada daerah tipe-p dan tipe-n akan memberikan kontribusi

atau organ pengatur setara dan mengendalikan entitas melalui dewan direksi dan dewan komisaris atau organ tersebut. Kepentingan non pengendali adalah bagian hasil usaha

Selain itu Perusahaan telah mengasuransikan seluruh uang, barang jaminan, aset dan barang inventaris Perusahaan yang berada di seluruh kantor Perum Pegadaian dan tempat lain kepada

Analisis perubahan kebijakan kredit pada pembahasan ini hanya mengulas pada perubahan kebijakan kredit dengan memberikan cash discount saja, sedangkan pada perubahan

Sysikh Abdul Muhammad Abdussalam Thawilah, Panduan Berbusana Islami Penampilan sesuai Tuntunan Al-Quran dan Sunnah , (Jakarta: Almahira, 2003), hlm.. 19 untuk menutupi

Dalam upaya pengelolaan sumber daya informasi tersebut diperlukan suatu rancangan peta atau struktur mengenai informasi organisasi berupa arsitektur enterprise , sehingga

ANALISIS RUSUNAWA CINGISED Variabel Persyaratan Kuantitatif Persyaratan Kualitatif Kuantitatif Kualitatif S TS Keterangan S TS Keterangan tengah lingkungan KK