BAB III
KARAKTERISTIK PEMISAHAN BERKAS PERKARA ( SPLITSING )
YANG DILAKUKAN OLEH PENUNTUT UMUM
3.1. Syarat Pemisahan Berkas Perkara
Surat dakwaan merupakan dasar dan penentu arah pemeriksaan dalam
persidangan.Dalam bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai pemisahan
berkas perkara (Splitsing) dan penggabungan berkas perkara (Voeging) yang dapat
dilakukan oleh Penuntut Umum (PU).Penuntut Umum (PU) dapat melakukan
pemisahan atau penggabungan berkas perkara dalam proses pra-penuntutan
ataupun pada proses penuntutan demi kelancaran proses persidangan.
Pertimbangan Penuntut Umum (PU) dalam melakukan pemisahan berkas
perkara berpedoman pada pasal 142 KUHAP.Dalam Pasal 142 KUHAP
memberikan wewenang kepada Penuntut Umum (PU) untuk melakukan
pemisahan berkas perkara (Splitsing) dari satu berkas perkara menjadi beberapa
berkas perkara.
Menurut Siswoyo mantan Direktur III Jamintel Kejaksaan Agung RI yang
pernah menjabat sebagai Kajati Gorontalo, “Dalam penyusunan surat dakwaan, pemisahan berkas perkara (Splitsing) merupakan hak absolut Penuntut Umum
(PU).Penuntut Umum (PU) dapat melakukan pemisahan berkas perkara
(Splitsing) bilamana terdapat beberapa tindak pidana yang melibatkan beberapa
Splitsing bisa dilakukan karena peran masing-masing terdakwa berbeda. Selain
eran masing-masing pelaku,bisa juga dilihat dari locusnya”jelasnya.96
Menurut M. Yahya Harahap, pakar hukum acara, pemisahan berkas
perkara bukan tren yang muncul belakangan. Sejak zaman HIR, itu sudah lazim
dipraktekkan di pengadilan. Pada masa lalu, tujuan memecah perkara itu terkait
karena kurangnya saksi. Sehingga untuk mencukupi saksi sebagai alat bukti,
berkas dipecah.97
Pada prinsipnya dalam KUHAP terdapat asas-asas yang menjadi acuan
kebenaran atau ajaran dari kaidah-kaidah salah satunya adalah asas
fair,impartial,impersonal, and objective yaitu peradilan cepat, sederhana, dan
biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak harus diterapkan secara
konsekuen dalam semua tingkat peradilan di Indonesia.
Sehingga dapat menimbulkan polemik antara pemisahan berkas perkara
(Splitsing) demi kepentingan pemeriksaan di muka persidangan dengan asas fair,
impartial, impersonal and objective yaitu peradilan cepat, sederhana, dan biaya
ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak.
Batasan-batasan mana yang menjadi standar Penuntut Umum (PU) dalam
melakukan pemisahan berkas perkara (Splitsing) akan sedekat mungkin
didiskripsikan oleh penulis sehingga mendapatkan kebenaran yang materiil dalam
penerapan pemisahan berkas perkara (Splitsing) oleh Penuntut Umum (PU).
96 Wawancara dengan Direktur III Jamintel Kejaksaan Agung RI,Jakarta,Tgl. 16 Oktober 2014.
97 Tidak ada nama penulis,
Ketentuan syarat dan karakteristik pemisahan berkas perkara (Splitsing)
oleh Penuntut Umum (PU) tidak diatur secara rigid dalam peraturan
perundang-undangan.Hanya diatur landasan kewenangan Penuntut Umum (PU) dalam
melakukan pemisahan berkas perkara (Splitising).
Sumber hukum di Indonesia dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu sumber
hukum dalam arti formal dan sumber dalam arti materiil.Menurut Saut P.Panjaitan
sumber hukum dalam arti formal adalah prosedur atau tata cara pembentukan
hukum atau melihat kepada bentuk lahiriah dari suatu hukum, yang dapat
dibedakan kepada hukum tertulis dan tidak tertulis,diantaranya :98
1. Perundang-undangan. 2. Yurisprudensi.
3. Traktat/perjanjian. 4. Doktrin.
5. Kebiasaan.
Apabila tidak diatur dalam perundang-undangan maka dapat menjadi
sumber pertimbangan adalah sumber hukum lain.Dalam pemisahan berkas
perkara (Splitising) dikarenakan di dalam perundang-undangan tidak diatur secara
jelas karakteristik dan tolok ukur kejaksaan melakukan pemisahan berkas perkara
(Splitising) maka mengacu pada Surat Edaran Kejaksaan Agung Republik
Indonesia No. B-69/E/02/1997 perihal Hukum Pembuktian Dalam Perkara
Pidana, yang menyatakan :
Dalam praktek, saksi mahkota digunakan dalam hal terjadi penyertaan (deelneming), dimana terdakwa yang satu dijadikan saksi terhadap terdakwa lainnya oleh karena alat bukti yang lain tidak ada atau sangat
98 Moh. Saleh, Sumber – Sumber Hukum(Dalam Slide PPT),
minim. Dengan pertimbangan bahwa dalam status sebagai terdakwa, keterangannya, hanya berlaku untuk dirinya sendiri, oleh karena itu dengan berpedoman pada pasal 142 KUHAP, maka berkas perkara harus diadakan pemisahan (splitsing), agar para terdakwa dapat disidangkan terpisah, sehingga terdakwa yang satu dapat menjadi saksi terhadap terdakwa lainnya. Bahwa Yurisprudensi yang diikuti selama ini masih mengakui saksi Mahkota sebagai alat bukti, misalnya Putusan Mahkamah Agung No. 1986K/Pid/1 989 tanggal 2 Maret 1990 menyatakan bahwa Jaksa Penuntut Umum diperbolehkan oleh undang-undang mengajukan teman terdakwa yang ikut serta melakukan perbuatan pidana tersebut sebagai saksi di persidangan, dengan syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa, tidak termasuk dalam berkas perkara yang diberikan kesaksian. Satu-satunya putusan Pengadilan yang menolak saksi mahkota sebagai alat bukti adalah Putusan Mahkamah Agung dalam kasus pembunuhan Marsinah, yang menyatakan “saksi mahkota bertentangan dengan hukum” (Putusan
Mahkamah Agung No. 1174K/Pid/1994, 381K/Pid/1994, 1592
K/Pid/1994 dan 1706 K/Pid/1994). Untuk mengantisipasi kemungkinan adanya hakim yang menjadikan Putusan Mahkamah Agung dalam perkara pembunuhan terhadap Marsinah tersebut sebagai dasar putusannya, maka dalam menggunakan saksi mahkota, supaya sedapat
mungkin diupayakan juga tambahan alat bukti lain.99
Dari melihat Surat Edaran Kejaksaan Agung Republik Indonesia No.
B-69/E/02/1997 perihal Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana diatas dapat
ditarik kesimpulan bahwa salah satu tujuan berkas di Split oleh Penuntut Umum
(PU) adalah memunculkan alat bukti yang disebut dengan istilah saksi mahkota
(kroon getuide) yang merupakan tersangka dalam berkas terpisah.
Pengaturan mengenai saksi mahkota tidak dapat ditemukan di dalam
KUHAP maupun peraturan perundang-undangan yang lain.Saksi mahkota dapat
ditemukan definisinya dalam Putusan Mahkamah Agung No. 2437
K/Pid.Sus/2011, yang menyatakan: “Saksi mahkota didefinisikan sebagai Saksi
yang berasal atau diambil dari salah seorang tersangka atau Terdakwa lainnya
yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana kepada
Saksi tersebut diberikan mahkota”
Penggunaan saksi mahkota diizinkan dalam keadaan terjadi penyertaan
(deelneming), alat bukti sangat minim, dan harus diadakan pemisahan berkas
perkara.Ketiga keadaan tersebut harus dirumuskan secara komulatif.Keadaan satu
saling terikat dengan keadaan lain.Mengacu Pasal 142 KUHAP, pemisahan
perkara itu harus terdiri dari beberapa tindak pidana yang berbeda. Namun
dilakukan oleh beberapa orang dalam waktu yang sama.
Berdasarkan pemaparan diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
pemisahan berkas perkara (Splitsing) oleh Penuntut Umum (PU) dapat dilakukan
dalam hal tindak pidana yang terjadi merupakan penyertaan (deelneming) yang
dilakukan beberapa orang tersangka dengan peran masing-masing terdakwa
berbedadan alat bukti yang ditemukan sangat minim sehingga menghambat
jalannya acara pembuktian yang akan memunculkan saksi sekaligus tersangka
dalam berkas terpisah yang biasa dikenal dengan sebutan saksi mahkota (kroon
getuide).Sarat tersebut bersifat komulatif mengingat pemisahan berkas perkara
(Splitsing) merupakan hak absolut Penuntut Umum (PU).Pemecahan berkas
perkara (Splitsing) dilakukan sehubungan dengan kurangnya saksi yang
menguatkan dakwaan penuntut umum, sedangkan saksi lain sulit diketemukan
sehingga satu-satunya jalan adalah mengajukan sesama tersangka sebagai saksi
terhadap tersangka lainnya.100Namun pada dasarnya penggunaan saksi mahkota
ini masih dalam perdebatan dikalangan praktisi tentang penerapannya.Selain itu
pemisahan dapat dilakukan jika terdapat beberapa tindak pidana serta dapat dilihat
pula locus delicti dan tempus delictinya.
3.2. Kelebihan dan Kekurangan Dilakukan Pemisahan Berkas Perkara
( Splitsing ) oleh Penuntut Umum
Pemisahan berkas perkara (Splitsing) dilakukan dalam hal kurangnya alat
bukti,yang merupakan beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa
pelaku.Dalam pemisahan berkas perkara (Splitsing) akan memunculkan saksi
yang mana sebagai pelaku dalam tindak pidana tersebut.Dengan adanya saksi
dalam berkas terpisah, akan bertujuan memunculkan alat bukti baru sehingga
tindak pidana yang didakwakan akan terang dan jelas.
Dalam hal tindak pidana yang dilakukan tidak sederhana akan
menyulitkan Penuntut Umum (PU) dalam menyusun surat dakwaan maka lebih
dengan dilakukan pemisahan berkas perkara (splitsing) akan lebih efektif dan
dapat dipetakan tindak pidana dan peran masing masing pelaku.
Pemecahan berkas perkara (splitsing)yang dilakukan Penuntut Umum
(PU) sehubungan dengan kurangnya saksi yang menguatkan dakwaan penuntut
umum, sedangkan saksi lain sulit ditemukan sehingga satu-satunya jalan adalah
mengajukan sesama tersangka sebagai saksi terhadap tersangka lainnya.
Pemisahan berkas perkara dalam kasus diatas juga bertujuan agar tidak
lepasnya tuntutan pidana antar pelaku dikarenakan setiap pelaku memiliki peran
terbuktinya dakwaan dikarenakan akan riskan salah satu pelaku tidak memenuhi
unsur yang didakwakan.
Pemisahan berkas perkara (Splitsing) oleh Penuntut Umum (PU) akan
menimbulkan beberapa kelemahan. Pemisahan berkas perkara (Splitsing) bahkan
bisa menutup siapa pelaku utamanya.Sebab pemisahan perkara menyebabkan
unsur penyertaan tidak terbukti. Pasalnya, penentuan siapa pelaku (pleger) dan
medepleger (turut serta) tidak jelas. Padahal, unsur penyertaan itu harus
dibuktikan karena itu merupakan unsur delik. Jika tidak dibuktikan, berarti unsur
dakwaan tidak terbukti.
Splitsing dapat menyulitkan jaksa dalam membuktikan hubungan pelaku
satu dengan pelaku lainnya. Pasalnya, dalam tindak pidana yang dilakukan oleh
beberapa orang otomatis diperlukan pembuktian antara pelaku. Apabila
perkaranya di-split bagaimana bisa mengetahui hubungan antar pelaku. Akibat
penentuan kualitas deelneming (penyertaan) yang tidak jelas mengakibatkan
perbedaan penerapan hukum. Padahal tidak mungkin terbukti unsur penyertaan
jika tindak pidana yang dilakukan berbeda.
Selain itu Kelemahan dari pemeriksaan pemecahan berkas perkara
(Splitsing) adalah sering mengakibatkan terjadinya keterangan palsu yang diatur
dalam pasal 242 KUHP dikarenakan terdakwa yang menjadi saksi dalam
pemeriksaan terdakwa lainnya dalam suatu tindak pidana yang sama tidak ingin
kejahatannya terbongkar yang mengakibatkan terbuktinya dakwaan penuntut
umum pada dirinya. Saksi yang diajukan seperti tersebut diatas sering disebut
3.3. Asas – Asas Dalam KUHAP
Asas-asas dalam KUHAP, sebagaimana ditemukan dalam bagian
penjelasan umum, setidaknya mengenal sepuluh asas yang menjadi acuan
kebenaran atau ajarn dari kaidah-kaidahnya seperti diuraikan dibawah ini.
1. Asas equality before the law : perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan.Equality
before the law menurut wikipedia, “the principle under which each
individual is subject to the same laws, with no individual or group having
special legal privileges”.101
2. Asas legalitas dalam upaya paksa : penangkapan, penahanan, pengeledahan, dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah
tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya
dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-undang.102
3. Asas presumption of innocence (praduga tidak bersalah) : kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan dimuka
sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan
pengadilan yang mengatakan kesalahannya.103
4. Asas remedy and rehabilitation : kepada seorang yang di tangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan
undang-undang dan/atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
101 Yakub Adi Krisanto, Drama Anomali Prinsip Equality Before The Law, www.kompasiana.com, 28 April 2010, h.1, dikunjungi pada tanggal 15 November 2014.
diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat
penyidikan dan para pejabat penegak hukumyang sengaja atau karena
kelalaiannya asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana, dan atau
dikenakan hukuman administrasi.104
5. Asas fair, impartial, impersonal dan objective : peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak
memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat
peradilan.Pencantuman peradilan cepat (contante justitie; speedy trial) di
dalam KUHAP cukup banyak yang diwujudkan dengan istilah “segera” itu.Asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan yang dianut di dalam
KUHAP sebenarnya merupakan penjabaran Undang-Undangn Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman tersebut.Peradilan cepat merupakan bagian
dari hak asasi manusia.105
6. Asas legal assistance: setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan
untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya.106
7. Miranda rule : kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan
dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu
104Ibid.
105Jur.Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, h.13.
haknya itu termasuk hak untuk menghubungi dan meminta bantuan
penasehat hukum.107
8. Asas presentasi : pengadilan memaksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa.Ketentuan mengenai ini diatur dalam pasal 154, 155 dan
seterusnya dalam KUHAP.Yang dipandang pengecualian dari asas ini
ialah kemungkinan putusan dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa,yaitu
putusan verstek atau in absenstia.Tetapi ini hanya merupakan
pengecualian,yaitu dalam acara pemeriksaan perkara pelanggaran
lalulintas di jalan.Selain itu dalam hukum acara pidana khusus dikenal
pemeriksaan pengadilan secara in absentia atau tanpa hadirnya
terdakwa.108
9. Asas keterbukaan : sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang diatur dalam undang-undang.Pasal yang
mengatur asas ini adalah Pasal 153 ayat (3) dan (4) KUHAP dikecualikan
terhadap kasus kesusilaan dan anak-anak alasannya dianggap masalahnya
sangat pribadi.109
10.Asas pengawasan : pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh ketua pengadilan negeri yang
bersangkutan.110
107Ibid.
108 Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan
Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, h.9. 109Ibid.
Pemisahan berkas perkara (Splitsing) haruslah tetap perpedoman dengan
asas-asas tersebut.Dalam asas fair, impartial, impersonal dan objective peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan
tidak memihak.Pemisahan berkas perkara (Splitsing) sering di salah artikan
sebagai pelanggaran asas peradilan cepat,sederhana,dan biaya ringan.Pada
dasarnya fungsi dari pemisahan berkas perkara (Splitsing) adalah berusaha untuk
mengarah kepada kebenaran kejahatan yang belum terungkap dan diputus oleh
hakim.
Proses pemisahan berkas perkara (Splitsing) terlihat cenderung menjadi
lama,tidak sederhana dan biaya relatif lebih banyak di bandingkan dengan proses
penggabungan berkas perkara (Voeging).Namun haruslah mengutamakan fungsi
dari pemisahan berkas perkara (Splitsing) tersebut.Apabila kasus-kasus yang
minim alat bukti khususnya alat bukti keterangan saksi tidak dilakukan pemisahan
berkas perkara (Splitsing) akan menimbulkan bebasnya pelaku tindak
pidana.Sehingga pemisahan berkas perkara (Splitsing) dinilai sangat perlu dan
kejaksaanlah sebagai Penuntut Umum (PU) yang memiliki hak untuk melakukan
pertimbangan apakah perlu tidaknya dilakukan pemisahan berkas perkara
(Splitsing).
Selain itu dalam hal asas presumption of innocence (praduga tidak bersalah) dapat menjadi masalah dalam penerapan pemisahan berkas perkara
(Splitsing).Terdakwa dalam berkas terpisah akan menjadi saksi kepada terdakwa
lainnya yang mana sama-sama pelaku dalam tindak pidana yang sama.Dalam hal
terdakwa di muka persidangan.Asas ini menyangkut terdakwa dianggap belum
bersalah di muka persidangan sebelum hakim menetapkan terdakwa bersalah
hingga putusan akhir yang memiliki keuatan hukum tetap.Sehingga dengan
pemisahan berkas perkara (Splitsing) seolah olah melanggar asas praduga tidak
bersalah.Dalam menyikapi hal tersebut,haruslah Penuntut Umum (PU) dalam
fungsinya melakukan pemisahan berkas perkara bukan bertujuan untuk mencari
kesalahan terdakwa serta menganggap terdakwa bersalah, melainkan demi
kelancaran pemeriksaan di muka persidangan semata-mata.Dengan dilakukan
pemisahan berkas perkara (Splitsing) akan bermanfaat semakin terangnya
perbuatan yang dilakukan para pelaku demi kepentingan pemeriksaan dimuka
persidangan.
Menurut Chairul (ahli hukum acara pidana dosen Universitas
Muhammadiyah), itu tidak bisa dibenarkan. Karena dalam memberikan
keterangan saksi harus disumpah. Artinya dia tidak boleh bohong. Sementara,
dalam kapasitas terdakwa, pelaku tidak disumpah. Ia punya hak ingkar. Artinya
dia boleh bohong, terang Chairul. Kondisi itu, kata Chairul, sangat tidak adil bagi
terdakwa. Sementara, tujuan dari penegakan hukum, tidak hanya menegakan
hukum, tapi juga keadilan. Padahal, terdakwa tidak boleh dipersalahkan atas
keterangannya.111
Apalagi, keterangan yang diberikan besar kemungkinan menunjukan
kesalahan dia dalam kasus tersebut. Dia mengatakan hal yang membenarkan
kesalahannya, terang Rudi.Disisi lain, hal ini kerap dijadikan petunjuk bagi hakim
dalam menangani kasus pelaku itu sendiri. Padahal selaku terdakwa ia memiliki
hak ingkar. Chairul menambahkan praktek saksi mahkota mengakibatkan
pengadilan tidak dilaksanakan tidak berdasarkan hukum acara (due proecss of
law). Itu bisa dijadikan alasan kasasi dan banding, terangnya. 112
Terkait dengan penyusulan terdakwa,hal itu melanggar azas praduga tak
bersalah. Sebab pemeriksaan di muka persidangan belum selesai. Namun dengan
putusan terdakwa lama ia sudah dinyatakan bersalah. Artinya pemeriksaan itu
hanya formalitas saja. Pemisahan itu bisa dilakukan dalam hal kekurangan alat
bukti. Misalnya dalam kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh beberapa orang.
Tidak ada yang bisa dijadikan saksi kecuali para pelaku dan korban. Dalam hal ini
diantara pelaku itu akan dijadikan sebagai saksi. 113
Pemisahan juga bisa dilakukan kualitas peran yang berbeda. Dengan
catatan ada perbedaan ketentuan hukum yang dilanggar. Harus bisa dilihat apakah
terdakwa itu memenuhi kualitas dari delik yang didakwakan, terang Chairul.
Misalnya antara penyuap dan pejabat yang menerima suap. 114
3.4. Contoh Kasus
3.4.1. Kasus Splitsing ( Kasus Korupsi Sisminbakum )
Perkara tindak pidana korupsi Sisminbakum ini berawal dari ide Romli
Atmasasmita, Dirjen AHU Dephukham RI saat itu sebagaimana dikemukakan
pada acara Up-Grading and Refreshing Course Ikatan Notaris Indonesia di
112Ibid.
Bandung tanggal 26 Mei 2000. Pada acara tersebut beliau selaku pembicara
mengatakan bahwa “...dengan “online system” dicapai 2 (dua) sasaran yaitu
peningkatan pemasukan penerimaan keuangan negara, dan peningkatan
kesejahteraan pegawai di lingkungan Departemen Hukum dan
Perundang-undangan.115Ide tersebut didasarkan pada fakta bahwa lambatnya proses pendaftaran permohonan pendirian badan hukum yang dikerjakan secara manual.
Oleh karena itu dibutuhkan suatu sistem komputerisasi dalam pendaftaran dan
pendirian badan hukum sehingga dapat memberikan pelayanan yang cepat, mudah
dan transparan.
Sebelumnya pada bulan Maret 2000, Romli Atmasasmita melakukan
pertemuan dengan John Sardjo Saleh guna membahas ide pembuatan
Sisminbakum tersebut. Romli Atmasasmita meminta John Sardjo Saleh untuk
menjadi konseptor Sisminbakum. John Sardjo Saleh merupakan kuasa Direktur
PT Visual Teknindo Utama.
Lebih lanjut pada bulan Juni 2000 Romli Atmasasmita melakukan
pertemuan dengan John Sardjo Saleh dan beberapa perwakilan dari PT Bhakti
Investama Tbk. Pada saat itu PT Bhakti Investama Tbk diwakili oleh Hartono
Tanoesodibjo, Bambang Tanoesodibjo, Rukman Prawirasasra, dan Yohanes
Waworuntu. Dalam pertemuan tersebut disepakati bahwa John Sardjo Saleh akan
berkerjasama dengan PT Bhakti Investama Tbk dimana John Sardjo Saleh akan
membuat sistem komputerisasi untuk Sisminbakum, namun yang akan
mengoperasikan sistem tersebut adalah PT Bhakti Investama Tbk.
Setelah pertemuan tersebut kemudian pada tanggal 30 Juni 2000 Hartono
Tanoesodibjo membentuk Perseroan baru yaitu PT Sarana Rekatama Dinamika.
Dalam Akta Pendirian Perseroan Terbatas Nomor 339 dibuat dihadapan Rachmat
Santosa Sarjana Hukum Notaris di Jakarta tanggal 30 Juni 2000 (Akta
Notaris Rachmat Santosa No. 339) susunan pemegang saham Perseroan terdiri
atas Lydia Lily Setyarini dan Gerald Yakobus masing-masing sebesar tiga puluh
persen dan Endang Setywaty sebesar empat puluh persen. Sedangkan susunan
dewan komisaris Perseroan terdiri atas Gerald Yakobus sebagai Komisaris Utama,
sedangkan Anggota Dewan Komisaris terdiri atas Roekman Prawirasasra, Lydia
Lily Setyarini dan Sunarto. Sedangkan direksi terdiri atas Yohanes Waworuntu
sebagai Direktur Utama dan Endang Setiawati sebagai Direktur.
Kemudian pada tanggal 28 Agustus 2000 bertempat di kantor PT Bhakti
Asset Management ditandatangani perjanjian kerja antara PT Sarana Rekatama
Dinamika dengan PT Visual Teknindo Utama. Dalam perjanjian yang
ditandatangani oleh Yohanes Waworuntu dan John Sardjo Saleh disepakati bahwa
PT Visual Teknindo Utama akan membuat aplikasi sampai dengan pembangunan
networking serta melakukan pengadaan untuk hardware Sisminbakum. Untuk itu
PT Sarana Rekatama Dinamika akan memberikan biaya sebesar Rp.
512.318.750,00 yang akan dibayarkan kepada PT Visual Teknindo Utama secara
bertahap.
Pada bulan Agustus 2008 itu pula Romli Atmasasmita bertemu dengan
Hartono Tanoesodibjo guna membahas penunjukan langsung PT Sarana
dengan KPPDK. Dalam pertemuan tersebut dibahas pula mengenai draft
perjanjian kerjasama. Dalam draft perjanjian kerjasama yang telah diparaf tersebut
antara lain disepakati bahwa dalam rangka pelayanan jasa hukum PT Sarana
Rekatama Dinamika dan KPPDK setuju menetapkan biaya akses kepada
pelanggan sebesar sebagai berikut.
Tabel 1
Biaya Akses Sisminbakum dalam Draft Perjanjian Kerjasama
No. Jasa Hukum Biaya
1. Pemeriksaan nama Perseroan dan pemesanan nama perseroan
Rp. 350.000,00
2. Pendirian dan Perubahan Badan Hukum Rp. 1.000.000,00 3. Pemeriksaan profile Perseroan di Indonesia Rp. 250.000,00
4. Konsultasi Hukum Rp. 500.000,00
Setelah draft perjanjian kerjasama tersebut dibuat oleh Romli Atmasasmita
dengan Hartono Tanoesodibjo, kemudian Yohanes Waworuntu selaku Direktur
Utama PT Sarana Rekatama Dinamika yang menandatangani dan mengirimkan
Surat Permohonan No. 007/Dir/YW-SRD/IX/2000 untuk turut sebagai pihak
dalam pengelolaan dan pelaksanaan Sisminbakum pada tanggal 1 September dan
Surat Penawaran No. 010/Dir/YW-SRD/IX/2000 tanggal 15 September 2000
tentang Penawaran Harga Sisminbakum berikut dengan lampiran proposal.
Setelah mempelajari Surat Permohonan No. 007/Dir/YW-SRD/IX/2000
dan draft perjanjian kerjasama yang telah dibuat oleh Romli Atmasasmita dengan
Hartono Tanoesodibjo, Ali Amran Djanah, Ketua KPPDK mengajukan Surat
Keberatan No. 104/K/UM/KPPDK/IX/2000 kepada Menhukham RI selaku
Pembina Utama KPPDK yang pada intinya menyatakan empat hal. Pertama,
harus diikuti oleh tiga perusahaan guna dilakukan penilaian yang wajar. Kedua,
dokumen pelelangan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
perjanjian kerjasama dan menjadi landasan hukum dalam pertimbangan
kerjasama. Ketiga, penetapan biaya akses, kewajaran pembagian pendapatan dan
jangka waktu perjanjian kerjasama dan calon pemenang dilakukan oleh
Menhukham RI selaku Pembina Utama KPPDK melalui usulan dari pengurus
KPPDK dengan sekurang-kurangnya tiga perusahaan pembanding guna
mendapatkankewajaranharga.Keempat, sebelum penandatanganan perjanjian
kerjasama Sisminbakum tersebut perlu terlebih dahulu ditetapkan beberapa
keputusan guna memenuhi syarat formil.
RomliAtmasasmita menanggapi Surat Keberatan No. 104/ K / UM /
KPPDK / IX / 2000 tersebut, beliau berpendapat bahwa tidak perlu adanya
pembanding yang melakukan penawaran biaya akses karena dana Sisminbakum
tersebut berasal dari pihak swasta. Selanjutnya Romli Atmasasmita meminta
pengurus KPPDK membuat konsep surat keputusan Menhukham RI tentang
pemberlakuan Sisminbakum dan surat keputusan Menhukham RI tentang
penunjukan KPPDK dan PT Sarana Rekatama Dinamika sebagai pengelola dan
pelaksana Sisminbakum. Kemudian kedua konsep surat tersebut disampaikan
kepada Menhukham RI dengan tembusan kepada Romli Atmasasmita.
Atas konsep surat keputusan tersebut Yusril Izha Mahendra kemudian
mengeluarkan Surat Keputusan Menhukam RI No. M-01.HT.01.01 Tahun 2000
Menhukham RI dan Yusril Izha Mahendra selaku Pembina Utama KPPDK
kedua surat keputusan Menhukham RI tersebut berisi tentang penunjukan PT
Sarana Rekatama Dinamika dan KPPDK sebagai pengelola dan pelaksana
Sisminbakum.
Setelah dikeluarkannya Surat Keputusan Menhukham RI No.
M-01.HT.01.01 Tahun 2000 dan Surat Keputusan No. 19/K/KEP/KPPDK/X/2000
kemudian pada tanggal 8 November 2000 ditandatangani Perjanjian Kerjasama
antara Yohanes Waworuntu selaku Direktur Utama PT Sarana Rekatama
Dinamika dan Ali Amran Djanah selaku Ketua KPPDK dan diketahui oleh Yusril
Izha Mahendra selaku Pembina Utama KPPDK. Perjanjian Kerjasama tersebut
sebelumnya telah diparaf oleh Hartono Tanoesodibjo. Dalam perjanjian tersebut
diatur antara lain.
a. PT Sarana Rekatama Dinamika sepenuhnya akan melakukan pengelolaan dan pelaksanaan Sisminbakum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) Perjanjian Kerjasama.
b. Besarnya biaya akses yang dikenakan kepada pelanggan Sisminbakum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) Perjanjian Kerjsama adalah sebagai berikut.
Tabel 2
Biaya Akses Sisminbakum dalam Perjanjian Kerjasama
No. Jasa Hukum Biaya
1. Pemeriksaan nama Perseroan dan pemesanan nama perseroan
Rp. 350.000,00
2. Pendirian dan Perubahan Badan Hukum Rp. 1.000.000,00 3. Pemeriksaan profile Perseroan di Indonesia Rp. 250.000,00
4. Konsultasi Hukum Rp. 500.000,00
Kerjasama tersebut berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) Perjanjian Kerjasama.
d. Pembagaian biaya akses tersebut akan dilakukan setiap satu bulan sekali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (7) Perjanjian Kerjasama.116
Kemudian Yusril Izha Mahendra menerbitkan Keputusan Menhukham RI
Nomor M-01.HT.01.01 tanggal 31 Januari 2001 tentang Tata Cara Pengajuan
Permohonan dan Pengesahan Akta Pendirian dan Persetujuan Akta Perubahan
Anggaran Dasar Perseroan Terbatas (Surat Keputusan Menhukham RI No. M-
01.HT.01.01 Tahun 2001) dan Surat Keputusan Menhukham RI Nomor M-
02.HT.01.01 tanggal 31 Januari 2001 tentang Tata Cara Penyampaian Laporan
Akta Perubahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas (Surat Keputusan
Menhukham RI No. M-02.HT.01.01 Tahun 2001).
Kedua surat keputusan Menhukham RI tersebut kemudian ditindaklanjuti
oleh Romli Atmasasmita dengan mengeluarkan Surat Edaran No. C.UM.01.10-23
Tahun 2001 yang ditujukan kepada seluruh Notaris di Indonesia. Dalam Surat
Edaran No. C.UM.01.10-23 Tahun 2001 tersebut dinyatakan bahwa Sisminbakum
secara efektif diberlakukan pada tanggal 1 Maret 2001 dan biaya akses yang
dikenakan terhadap pelanggan Sisminbakum adalah sesuai biaya akses yang
ditetapkan dalam Perjanjian Kerjasama ditambah pajak pertambahan nilai (PPN)
sebesar sepuluh persen untuk PT Sarana Rekatama Dinamika dan penerimaan
negara bukan pajak (PNBP) sebesar dua ratus ribu rupiah per akta. Kemudian
Surat Edaran No. C.UM.01.10-23 Tahun 2001 yang telah dicabut dan digantikan
116 Perjanjian Kerjasama antara Koperasi Pengayoman Pegawai Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia dengan PT Sarana Rekatama Dinamika tentang Pengelolaan dan
dengan Surat Edaran No. C-UM.06.10-05 Tahun 2001. Namun dalam Surat
Edaran No. C- UM.06.10-05 Tahun 2001 tersebut Romli Atmasasmita masih
menetapkan biaya akses sesuai dengan biaya akses yang diatur dalam Perjanjian
Kerjasama.
Atas dasar Surat Keputusan Menhukam RI No. M-01.HT.01.01 Tahun
2000, Surat Keputusan No. 19/K/KEP/KPPDK/X/2000, Perjanjian Kerjasama dan
Surat Edaran No. C.UM.01.10-23 Tahun 2001 dicabut dan digantikan dengan
Surat Edaran No. C-UM.06.10-05 Tahun 2001 tersebut PT Sarana Rekatama
Dinamikia memilik kewenangan atau legitimasi untuk dan atas nama Dephukham
RI cq Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum untuk melakukan pungutan
atas biaya akses Sisminbakum dan PNBP.
Pada tanggal 22 Mei 2001, Romli Atmasasmita mengeluarkan surat
Nomor C-UM.01.10-98 (Surat No. C-UM.01.10-98 Tahun 2001) kepada KPPDK
yang pada intinya meminta pembagian penerimaan biaya akses atas Sisminbakum,
dimana sepuluh persen dari bagian yang diperoleh dari biaya akses Sisminbakum
sebagaimana dimaksud dalam Perjanjian Kerjasama Direktorat Jenderal
Administrasi Hukum Umum memperoleh bagian sebesar enam puluh persen, dan
empat puluh persen untuk KPPDK. Pada tanggal 25 Juli 2001 ditandatangani
perjanjian kerjasama Nomor C-UM.02.02-113 dan Nomor
157/K/UM/KPPDK/VII/2001 (Perjanjian Kerjasama antara KPPDK dengan
Direktorat Jenderal AHU) yang ditandatangani oleh Romli Atmasasmita dan Ali
Kemudian pembagian yang diterima oleh Direktorat Jenderal Administrasi
Hukum Umum tersebut, Romli Atmasasmita memperoleh sebesar lima juta rupiah
dan dua ribu Amerika Serikat dolar. Selain itu dana yang diterima oleh Direktorat
Jenderal Administrasi Hukum Umum tersebut juga dibagikan kepada direktur,
pejabat eselon III dan IV serta staf di Direktorat Perdata dan Direktorat di luar
Direktorat Perdata dengan perincian sebagai berikut.
Tabel 3
Dana yang Dibagikan kepada Karyawan di Lingkungan Direktorat Perdata dan Direktorat di luar Direktorat Perdata
Direktorat Perdata Direktorat di luar Direktorat Perdata Direktur Rp. 2.000.000,00/bulan Rp. 500.000,00/bulan Pejabat Eselon III Rp. 1.500.000,00/bulan Rp. 250.000/bulan Pejabat Eselon IV Rp. 750.000/bulan Rp. 150.000/bulan
Staf Rp. 500.000/bulan Rp. 100.000/bulan
Pada tanggal 30 Juni 2002 posisi Romli Atmasasmita sebagai Dirjen AHU
digantikan oleh Zulkarnain Yunus. Pada saat Zulkarnain Yunus menjabat sebagai
Dirjen AHU, Yusril Izha Mahendra mengeluarkan Surat Keputusan Menhukham
RI Nomor M-05.HT.01.01 tanggal 12 Juli 2002 tentang Pemberlakukan
Sisminbakum di lingkungan Direktorat Administrasi Hukum Umum Dephukham
RI (Surat Keputusan No. 05.HT.01.01 Tahun 2002). Surat Keputusan No.
M-05.HT.01.01 Tahun 2002 kemudian ditindaklanjuti oleh Zulkarnain Yunus dengan
Surat Nomor C.01.HT.01.01 tanggal 23 Januari 2003 tentang Tata Cara Pengajuan
Permohonan dan Pengesahan Akta Pendirian dan Persetujuan Akta Perubahan
Anggaran Dasar Perseroan (Surat Keputusan No. C.01.HT.01.01Tahun 2003).
Kedua surat tersebut menjadi dasar pelaksaaan Sisminbakum yang dilaksanakan
Pada tanggal 5 September 2006, Zulkarnain Yunus digantikan oleh
Syamsudin Manan Sinaga. Kemudian Syamsudin Manan Sinaga selaku Dirjen
AHU kemudian melanjutkan pelaksanaan Sisminbakum dengan dasar Surat
Keputusan No. M-05.HT.01.01 Tahun 2002 dan Surat Keputusan No.
C.01.HT.01.01 Tahun 2003.
Sejak dioperasikan, tanggal 1 Maret 2001 sampai dengan tanggal 5
November 2008 pemasukan yang diperoleh dari biaya akses Sisminbakum pada
rekening bank Danamon Cabang GKBI nomor rekening 4192274 atas nama PT
Sarana Rekatama Dinamika (Rekening PT Sarana Rekatama Dinamika) adalah
sebesar Rp. 415.822.643.989,61. Sedangkan untuk pembayaran PNBP sebesar dua
ratus ribu rupiah per akta harus dibayarkan ke Bank Negara Indonesia Tahun 1946
(BNI 1946) cabang Tebet Jakarta dengan nomor rekening 12011779481.
Tabel 4
Biaya Akses Sisminbakum dalam Rekening PT Sarana Rekatama Dinamika
Nama Dirjen AHU/ Masa Jabatan Besarnya Biaya Akses Sisminbakum yang Diterima dalam Rekening PT
30 Juni 2002 s/d 5 September 2006
Rp. 223.077.146.311,10
Syamsudin Manan Sinaga
5 September 2006 s/d 8 November 2008
Rp. 197.205.409.952,93
(Sumber Kasus Posisi : Vidya Prahassacitta,”Pertanggung Jawaban Pidana
Kasus Sisminbakum”, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok,
3.4.1.1. Analisis Kasus Splitsing ( Kasus Korupsi Sisminbakum )
Pada kasus diatas Penuntut Umum (PU) melakukan pemisahan berkas
(splitsing) perkara antar satu pelaku dengan pelaku lain.Hal tersebut dikarenakan
alat bukti yang lain tidak ada atau sangat minim sehingga dengan adanya
pemisahan berkas perkara (splitsing) terdakwa yang satu dapat dijadikan saksi
terhadap terdakwa lainnya.Berkas Romli Atmasasmita dkk dipisah oleh Penuntut
Umum dikarenakan juga perbuatan yang dilakukan para pelaku berdiri
sendiri-sendiri yang mana locus dan tempusnya pun berbeda.Sehingga sangat efektif
berkas perkara tersebut dipisahkan demi kelancaran proses pembuktian dalam
persidangan.Apabila tidak dilakukan pemisahan berkas perkara (splitsing) akan
menyulitkan Penuntut Umum (PU) dalam pembuatan surat dakwaan.Selain itu
pada kasus di atas tindak pidana yang terjadi merupakan tindak pidana yang
dilakukan beberapa orang tersangka dengan peran masing-masing terdakwa
berbeda.
Pemecahan berkas perkara (splitsing)yang dilakukan Penuntut Umum
(PU) sehubungan dengan kurangnya saksi yang menguatkan dakwaan penuntut
umum, sedangkan saksi lain sulit ditemukan sehingga satu-satunya jalan adalah
mengajukan sesama tersangka sebagai saksi terhadap tersangka lainnya.117
Pemisahan berkas perkara dalam kasus diatas juga bertujuan agar tidak
lepasnya tuntutan pidana antar pelaku dikarenakan setiap pelaku memiliki peran
dan perbuatan yang berbeda.Apabila berkas digabung akan berpotensi tidak
terbuktinya dakwaan dikarenakan akan riskan salah satu pelaku tidak memenuhi
unsur yang didakwakan.
Pemisahan juga bisa dilakukan kualitas peran yang berbeda. Dengan
catatan ada perbedaan ketentuan hukum yang dilanggar. Harus bisa dilihat apakah
terdakwa itu memenuhi kualitas dari delik yang didakwakan.Misalnya antara
penyuap dan pejabat yang menerima suap.
Pemisahan berkas perkara biasanya dilakukan Penuntut Umum (PU)
dalam kasus korupsi dan pemerkosaan yang mana saksi yang melihat,mendengar
dan mengalami tindak pindana minim sehingga terdakwa dalam berkas terpisah
menjadi penting sebagai saksi dalam tindak pidana yang dilakukan pelaku.Selain
itu dapat dilihat dari tindak pidana yang dilakukan.Apabila tindak pidana yang
dilakukan tidak sederhana dan dapat menyulitkan Penuntut Umum (PU) dalam
menyusun surat dakwaan maka lebih efektif dilakukan pemisahan berkas perkara
(splitsing) sehingga dapat dipetakan tindak pidana dan peran masing masing
pelaku.
3.4.2. Kasus Voeging ( Kasus Korupsi Japung Soekamto Hadi CS )
Kasus Gratifikasi dana jasa pungut (Japung) Rp 720 Juta yang melibatkan
tiga pejabat Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya yakni Sekretaris Kota (Sekkota)
Surabaya Sukamto Hadi, Assiten II Sekkota Mukhlas Udin, dan mantan Kepala
Bagian Keuangan Poerwito yang sudah diputus dengan nomor perkara 1465
Kasus tersebut bermula dari dikeluarkannya Keputusan Menteri Dalam
Negeri No. 35 tahun 2002, tentang Pedoman Alokasi Biaya Pemungutan Pajak
Daerah Menteri Dalam Negeri terutama pada pasal 4 poin b 3, dijelaskan bahwa
"20% (dua puluh persen) untuk Aparat Penunjang lainnya" , pasal 5 poin b 2
menyatakan bahwa "15% (lima belas persen) untuk Aparat Penunjang lainnya"
pasal 6 poin b "6% (enam persen) untuk Aparat Penunjang yaitu Tim Pembina
Pusat"118
Selain itu, ada beberapa peraturan yang mengatur pungutan sebagaimana
diatur dalam beberapa Keputusan Gubernur Jawa Timur, Peraturan Daerah
Surabaya, hingga Peraturan Walikota Surabaya.Diantaranya Keputusan Gubernur
Jawa Timur No. 42A tahun 2004 tentang Biaya Pemungutan Pajak Daerah Dan
Biaya Operasional Retribusi Daerah Propinsi Jawa Timur pasal 7a : "Aparat
Penunjang adalah aparat Dinas/Instasi/Lembaga/Badan di lingkungan Pemerintah
Propinsi Jawa Timur yang terkait secara langsung maupun tidak langsung
mendukung kegiatan pemungutan dan peningkatan Pendapatan Asli Daerah
(PAD), dalam hal ini termasuk DPRD Propinsi Jawa Timur.’’119 Juga diatur dalam Perda Surabaya No. 9 tahun 2006 tentang Biaya
Pemungutan Pajak Daerah, Perwali Surabaya No. 69 tahun 2006 tentang
Pengaturan dan Pembagian Biaya Pemungutan Pajak Daerah, Perwali Surabaya
No. 74 tahun 2006 tentang Pengaturan dan Pembagian Biaya Pemungutan Pajak
Daerah terutama pada pasal 4 poin b dinyatakan bahwa : "Sebesar 40% (empat
118 Junaedy Gunawan, Jalankan Perintah Walikota Bambang DH, Sukamto Hadi Cs
Harusnya Bebas Murni, www.surabayapagi.com , 7 Maret 2013, h.1, dikunjungi pada tanggal 26 Januari 2015.
puluh persen) diberikan kepada aparat penunjang, yang pengaturan dan
pembagiannya dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah atas persetujuan Kepala
Daerah.” . Serta Perwali Surabaya No. 44 tahun 2007 (perubahan Perwali
Surabaya No. 74 tahun 2006) tentang Pengaturan dan Pembagian Biaya
Pemungutan Pajak Daerah terutama pada pasal 4 poin b : "Sebesar 40% (empat
puluh persen) diberikan kepada aparat penunjang, yang pengaturan dan
pembagiannya dilaksanakan oleh Asisten Bidang Administrasi Pembangunan atas
persetujuan Kepala Daerah berdasarkan pertimbangan dari Sekretaris Daerah".
Dalam aturan Perwali Surabaya diatas, saat itu Surabaya masih dipimpin walikota
Bambang Dwi Hartono.120
Sukamto Hadi Cs dalam bertindak (memberikan uang japung kepada
Musyafak Rouf yang saat itu sebagai Ketua DPRD kota Surabaya) dengan dasar
hukumnya yaitu Keputusan Mendagri no. 32 tahun 2002 yang baru dan mencabut
Perwali Surabaya No. 69 tahun 2006 tentang Pengaturan dan Pembagian Biaya
Pemungutan Pajak Daerah. Selain Keputusan Gubernur Jawa Timur No. 42A
tahun 2004 tentang Biaya Pemungutan Pajak Daerah Dan Biaya Operasional
Retribusi Daerah Propinsi Jawa Timur pasal 7a "Aparat Penunjang adalah aparat
Dinas/Instasi/Lembaga/Badan di lingkungan Pemerintah Propinsi Jawa Timur
yang terkait secara langsung maupun tidak langsung mendukung kegiatan
pemungutan dan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), dalam hal ini
termasuk DPRD Propinsi Jawa Timur".121
120Ibid.
Sesuai fakta di muka persidangan Wali Kota Surabaya Bambang DH
memberikan persetujuan lisan, bahkan mantan Ketua PDIP Surabaya ini
menandatangani persetujuan penyerahan uang Rp 720 juta kepada DPRD
Surabaya. Uang tersebut diduga untuk memuluskan proyek pembangunan
Surabaya Sport Centre (SSC) dan Bus Rapid Transit, yang saat itu tengah dibahas
dewan.122
Fakta ini terungkap dalam berkas dakwaan yang dibacakan oleh Jaksa
Penuntut Umum (JPU) dalam sidang di Pengadilan Negeri Surabaya, Senin
(23/3). Pada sidang kali ini menghadirkan tiga pejabat teras Pemkot Surabaya
sebagai terdakwa. Yakni, Sekkota Surabaya Soekamto Hadi, Asisten II Mukhlas
Udin dan dan Purwito, mantan Kabag Pengelola Keuangan Pemkot.123 Dalam dakwaan yang dibacakan di hadapan majelis hakim Berlin
Damanik SH, JPU Edy Winarko SH dan Karimuddin SH menyebutkan Bambang
DH menyetujui secara lisan pemberian uang senilai Rp 470 juta pada 3 Oktober
2007. Bambang juga disebut menandatangani persetujuan uang Rp 250 juta untuk
diberikan kepada Ketua DPRD Surabaya Musyafak Rouf (terdakwa dalam berkas
terpisah).124
Pada sidang perdana yang digelar pukul 09.30 Wib, JPU menjerat
ketiganya dengan dakwaan primer melanggar pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 ayat UU
31/1999 yang diperbarui dalam UU 20/2001 tentang tindak pidana korupsi dengan
ancaman hukuman 20 tahun penjara.Selain itu, JPU juga mendakwa para pejabat
122 Budi Mulyono, Bambang DH Setujui (Sidang Kasus Gratifikasi Rp 720 Juta), 24 Maret 2009, h.1, dikunjungi pada tanggal 26 Januari 2015.
eksekutif Pemkot Surabaya ini dengan dakwaan subsidair pasal 3, pasal 5 ayat (2)
dan pasal 11 jo pasal 18 18 ayat (1) huruf a UU 31/1999 yang diperbarui dalam
UU 20/2001 tentang tindak pidana korupsi.125Menurut Edy Winarko ketiga terdakwa bersama-sama dengan Musyafak Rouf pada 4 Oktober 2007 bertempat
di kantor DPRD Surabaya Jl Yos Sudarso, telah melakukan korupsi. Para
terdakwa secara melawan hukum telah melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara,kata
Edy.126
Dijelaskannya, pada akhir September 2007 Musyafak Rouf menghubungi
Asisten II Pemkot Surabaya, Muhlas Udin melalui telepon untuk mengingatkan
Wali Kota Surabaya, bahwa DPRD Surabaya mempunyai hak atas biaya
pemungutan pajak pajak daerah (japung).Selanjutnya, Mukhlas Udin bersama
dengan Purwito melaporkan pada Sukamto Hadi untuk membicarakan permintaan
Musyafak Rouf. Dari pertemuan tersebut ketiganya sepakat DPRD kota Surabaya
berhak mendapatkan biaya pemungutan pajak sebesar Rp 470 juta. Anggota
dewan sebanyak 45 orang masing-masing mendapatkan Rp 10 juta dan ketua
dewan Rp 20 juta. Kesepakatan tersebut dilaporkan pada wali kota dan disetujui
secara lisan,ungkap JPU.127
Pada 4 Oktober 2007, Muhlas Udin menyerahkan uang Rp 470 juta kepada
Musyafak. Namun oleh terdakwa uang tersebut tidak dibagikan pada anggota
DPRD Kota Surabaya. Hal itu telah dilaporkan pada Walikota Bambang DH dan
125Ibid.
telah disetujui.Pada 27 Nopember 2007 Musyafak Rouf menanyakan tentang
biaya pemungutan pajak daerah untuk DPRD Kota Surabaya pada Muhlas Udin.
Ketiga terdakwa mendatangai Bambang DH dan menyetujui secara lisan
pemberaian dana Rp 250 juta.128Kemudian uang sebesar Rp 250 juta tersebut dibagikan Musyafak pada seluruh anggota DPRD. Untuk 3 pimpinan dewan Rp10
juta per orang. Panitia anggaran 17 orang, masing-masing Rp7,5 juta. Panitia
Musyawarah 11 orang, masing-masing dapat Rp5 juta, dan anggota biasa 14
orang, masing-masing Rp2,5 juta. Akibat perbuatan yang dilakukan terdakwa
mengakibatkan negara dirugikan sebesar Rp720 juta.129
Dalam kasus korupsi Japung Soekamto Hadi CS,Penuntut Umum (PU)
melakukan penggabungan berkas perkara (Voeging) kepada para terdakwa yaitu
Sekretaris Kota (Sekkota) Surabaya Sukamto Hadi, Assiten II Sekkota Mukhlas
Udin, dan mantan Kepala Bagian Keuangan Poerwito.
3.4.2.1. Analisis Kasus Voeging (Kasus Korupsi Japung Soekamto Hadi CS)
Dalam kasus diatas Penuntut Umum (PU) melakukan penggabungan
berkas ketiga terdakwa Sekretaris Kota (Sekkota) Surabaya Sukamto Hadi,
Assiten II Sekkota Mukhlas Udin, dan mantan Kepala Bagian Keuangan
Poerwito.Para terdakwa memiliki peran yang hampir sama yang merupakan
tindak pidana yang dapat mudah terlihat peran masing-masing pelakuknya.
128Ibid.
Sukamto Hadi sebagai pelaku yang melakukan (Pleger),Mukhlas Udin dan
Poerwito sebagai pelaku turut serta melakukan (Medepleger). Mukhlas Udin dan
Poerwito sebagai pelaku turut serta melakukan (Medepleger) terlihat dari wujud
kesengajaan yang ada pada di pelaku dan mengenai kepentingan dan tujuan dari
pelaku.
Ukuran kesengajaan dapat berupa; (1) soal kehendak si pelaku untuk
benar-benar turut melakukan tindak pidana, atau hanya untuk memberikan
bantuan, atau (2) soal kehendak si pelaku untuk benar-benar mencapai akibat yang
merupakan unsur dari tindak pidana, atau hanya turut berbuat atau membantu
apabila pelaku utama menghendakinya.
Turut serta melakukan (Medepleger) merupakan orang yang sengaja turut
berbuat atau turut mengerjakan dengan kata sepakat terjadinya suatu tindak
pidana.Sukamto Hadi, Mukhlas Udin dan Poerwito mengerjakan tindak pidana
perbarengan atau penyertaan yang mana mengerjakan tindak pidana korupsi
memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara secara
bersama-sama dengan adanya kerja sama secara sadar dan adanya pelaksanaan
bersama secara fisik.
Penuntut Umum (PU) melakukan penggabungan berkas perkara pada
kasus diatas menurut penulis sudah benar dikarenakan tanpa melakukan
pemisahan berkas peraka,sudah terang dan jelas baik tindak pidananya maupun
peran masing-masing pelakunya.Tindak pidananya pun yang dilakukan ketiga
bahkan saling berhubungan.Dapat dikatakan tindak pidana yang dilakukan para
pelaku tidak rumit (sederhana).Selain itu yang lebih penting adalah alat bukti yang
ditemukan demi proses pembuktian di muka persidangan.Dalam kasus
diatas,sudah terdapat alat bukti yang cukup sehingga tidak perlu menghadirkan
saksi sebagai terdakwa dalam kasus tersebut.Para terdakwa tidak perlu menjadi
saksi terhadap terdakwa lain dikarenakan Penuntut Umum (PU) telah menemukan
alat bukti yang memadai dalam proses pembuktian.Dengan penggabungan berkas
perkara yang dilakukan Penuntut Umum (PU) pada kasus diatas,persidangan akan
lebih cepat,sederhana dan biaya ringan.
Penggabungan berkas perkara maupun pemisahan berkas perkara yang
dapat dilakukan Penuntut Umum (PU) merupakan tindakan opsional yang mana
tidak ada aturan yang jelas tentang syarat-syarat pemisahan maupun
penggabungannya.Dapat dikatakan poin penting Penuntut Umum (PU) mlakukan
pemisahan dan penggabungan berkas perkara adalah demi kepentingan
pemeriksaan semata mata dan demi terbuktinya tindak pidana yang dilakukan
pelaku.
Apabila dengan penggabungan berkas perkara menjadikan tindak pidana
sudah jelas dan terang akan pembuktiannya,maka tidak perlu melakukan
pemisahan berkas perakara.Sebaliknya,apabila dengan penggabungan berkas
perkara akan mempersulit proses pembuktian di muka persidangan,maka lebih
baik dilakukan pemisahan berkas perkara.
Mantan Kabareskrim Mabes Polri Susno Duadji masih berkutat pada
perdebatan boleh tidaknya dua tindak pidana digabung dalam satu berkas
dakwaan. Duduk di kursi pesakitan, Susno didakwa melakukan tindak pidana
korupsi dalam dua kasus berbeda, yaitu pemilihan kepala daerah provinsi Jawa
Barat, dan dugaan suap dalam penanganan kasus Arowana. Jaksa menggabungkan
kedua kasus itu dalam satu berkas dakwaan. Inilah yang sempat dipersoalkan tim
pengacara Susno pada sidang sebelumnya.
Pada kasus dugaan suap arowana bermula Terdakwa HAPOSAN
HUTAGALUNG,SH. Sebagai Advokat pada Kantor Pengacara HAPOSAN
HUTAGALUNG & PARTNERS menjadi Kuasa Hukum Mr .HO KIAN HUAT
(Warga Negara Singapura) berdasarkan Surat Kuasa tanggal 25 Februari 2008
dalam Penanganan Kasus Dugaan Penggelapan pada Inves tasi Ikan Arwana di
Pekanbaru Riau sebagaimana Laporan Polisi tanggal 10 Maret 2008 di Bareskr im
Polri dengan Pelapor yaitu Mr .HO KIAN HUAT dan sebagai terlapor ANUAR
SALMAH als .AMO.
Dalam proses penanganan perkara oleh Mabes Polri tersebut dinilai oleh
Terdakwa HAPOSAN HUTAGALUNG,SH. berjalan lambat sehingga Terdakwa
HAPOSAN HUTAGALUNG,SH. Bermaksud mempercepat penanganan perkara
yang dilaporkan tersebut, namun oleh karena Terdakwa merasa tidak terlalu
dekat dengan SUSNO DUADJI yang menjabat sebagai Kabareskrim yang
membawahi Penyidik - penyidik di Mabes Polri,maka Terdakwa menghubungi
SJAHRIL DJOHAN yang diketahui oleh Terdakwa HAPOSAN
yaitu SUSNO DUADJI, untuk maksud tersebut kemudian Terdakwa HAPOSAN
HUTAGALUNG, SH. dan VINCENT APRIONO bertemu dengan SJAHRIL
DJOHAN di Coffee Shop HOTEL AMBHARA Jakarta Selatan, dan dalam
pertemuan itu Terdakwa HAPOSAN HUTAGALUNG,SH. meminta tolong
kepada SJAHRIL DJOHAN untuk membantu mempercepat Proses Penyidikan
terhadap Laporan Polisi di Bareskrim Polri tanggal 10 Maret 2008 dalam
Penanganan Kasus Dugaan Penggelapan pada Investasi Ikan Arwana di
Pekanbaru Riau dengan Pelapor yaitu MR.HO KIAN HUAT dan Terlapor yaitu
ANUAR SALMAH als . AMO yang penyidikannya sangat lambat,dan Terdakwa
HAPOSAN HUTAGALUNG, SH. juga mengatakan kepada SJAHRIL DJOHAN
akan memberikan komisi sebesar 15% dari sukses fee Pengacara yang akan
diperoleh dari klien yaitu Mr .HO KIAN HUAT kepada SUSNO
DUADJI.Selanjutnya Terdakwa HAPOSAN HUTAGALUNG, SH. dan SJAHRIL
DJOHAN bertemu SUSNO DUADJI diruang kerja Kabareskrim Mabes Polri,
kemudian SJAHRIL DJOHAN menjelaskan permasalahan kasus Ikan Arwana
yang ditangani Unit V Direktorat I Bareskrim Mabes Polri kepada SUSNO
DUADJI, setelah mendengar penjelasan SJAHRIL DJOHAN tersebut kemudian
SUSNO DUADJI berkata “udah,nanti saya perintahkan tangkap dan saya atensi
kasus ini”, tanpa terlebih dahulu SUSNO DUADJI mengetahui materi perkaranya.
Selanjutnya bertempat di Hotel Ambhara Jakarta Selatan Terdakwa
HAPOSAN HUTAGALUNG, SH. bertemu kembali dengan SJAHRIL DJOHAN,
HAPOSAN HUTAGALUNG, SH. “SAN, ini kaba minta diperhatikan nih”
dijawab oleh Terdakwa HAPOSAN HUTAGALUNG, SH. “ya , memang ada bang,nanti aku siapkan Rp.500 juta ”.
Selanjutnya pada tanggal 04 Desember 2008 Terdakwa HAPOSAN
HUTAGALUNG, SH. ke kantor BCA KCU Menara Bidakara mengambil uang
sejumlah Rp. 500.000.000,- ( lima ratus juta rupiah ) dari Rekening miliknya
dengan maksud untuk diserahkan kepada Kabareskrim SUSNO DUADJI melalui
perantara SJAHRIL DJOHAN.
Selanjutnya pada tanggal 04 Desember 2008 sekira pukul 18.00 WIB
Terdakwa HAPOSAN HUTAGALUNG, SH. dengan menggunakan mobil plat
Nomor : B- 8821-BI tiba di Hotel Sultan untuk menemui SJAHRIL DJOHAN di
KUDUS BAR Hotel Sultan, Terdakwa HAPOSAN HUTAGALUNG, SH.
menyerahkan uang sejumlah Rp.500, - juta yang dibungkus di dalam paper bag
warna coklat.
Selanjutnya SJAHRIL DJOHAN bersama-sama UPANG SUPANDI
(SUPIR) dan DADANG M. APRIANTO menuju rumah SUSNO DUADJI, dan
dalam perjalanan menuju rumah SUSNO DUADJI, SJAHRIL DJOHAN
menghubungi SUSNO DUADJI melalui handphone ke Nomor : 08112221977
dan mengatakan ”Abang udah dekat nih”. Dijawab oleh SUSNO DUADJI “ya,
makan Padang Cabang Condet yang berada di depan rumah SUSNO
DUADJI,kemudian SJAHRIL DJOHAN mengatakan kepada saksi.
DADANG APRIYANTO “Dang, lihat - lihatin tuh uang di mobil ” ,selanjutnya sewaktu mobil yang ditumpangi SUSNO DUADJI tiba di rumah
Jalan Abu Serin No. 2b,SJAHRIL DJOHAN menunggu beberapa saat kemudian
mengambil bungkusan berisi uang dari dalam mobil dan berjalan masuk ke rumah
SUSNO DUADJI,sesampainya di dalam rumah kemudian SJAHRIL DJOHAN
meletakkan paper bag berisi uang Rp.500, - juta di atas sofa dan tidak lama
kemudian SUSNO DUADJI menemui SJAHRIL DJOHAN dan bersamaan
dengan itu datang SYAMSURIJAL ke rumah SUSNO DUADJI yang bermaksud
minta tanda tangan.Melihat SYAMSURIJAL datang SUSNO DUADJI kemudian
berdiri dan masuk ke dalam, sembari mempersilahkan SYAMSURIJAL masuk ke
ruang tamu.
Sewaktu SUSNO DUADJI masuk ke dalam SJAHRIL DJOHAN bertanya
kepada SYAMSURIJAL “LOH LU NGAPAIN?“ dijawab SYAMSURIZAL “mau minta tandatangan untuk berangkat dinas ke Belanda. Nah,Uda
ngapain?“dijawab oleh SJAHRIL DJOHAN sambi l mengangkat bungkusan yang
berisi uang dan mengatakan ”nih ”.
Selanjutnya setelah SYAMSURIZAL mendapatkan tandatangan dari
SUSNO DUADJI, SYAMSURIZAL kemudian pamit pergi meninggalkan
kediaman SUSNO DUADJI, kemudian SJAHRIL DJOHAN mengatakan kepada
posisi uang yang ada di atas sofa ke dekat posisi duduk SUSNO DUADJI,dan
oleh SUSNO DUADJI di jawab “ya ,udah.”, tidak berapa lama SJAHRIL DJOHAN keluar dari ruang tamu menuju mobil untuk kembali ke kantornya.
HAPOSAN HUTAGALUNG,SH. kemudian menerima pesan singkat
melalui SMS (Short Message Service) dari Handphone SJAHRIL DJOHAN yang
bersumber dari SUSNO DUADJI yang diteruskan kepada Terdakwa
HAPOSAN HUTAGALUNG,SH. yang berbunyi ” tangkap,tahan dan sita asset
tersangka”, sehingga menurut SJAHRIL DJOHAN dan Terdakwa HAPOSAN
HUTAGALUNG,SH. bahwa SUSNO DUADJI telah menanggapi permintaan
Terdakwa HAPOSAN HUTAGALUNG, SH. selaku kuasa hukum saksi pelapor
Mr .HO KIAN HUAT dengan cara memerintahkan Penyidik untuk segera
melakukan tindakan penangkapan,penahanan dan penyitaan asset - asset tersangka
yaitu sdr.ANUAR SALMAH als.AMO.
(Sumber : Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Putusan No.1390 K / PID.SUS/2011)
Selain kasus PT Salmah Arowana Lestari (SAL),Susno Komjen Pol.
Susno Duadji juga dijerat kasus korupsi dana pengamanan pemilihan kepala
daerah Jawa Barat.Kasus tersebut menurut para saksi yang diadirkan dalam
persidangan kasus Komjen Pol. Susno Duadji terdapat pemotongan dana hibah
pengamanan Pilkada Jawa Barat 2008.Setelah melakukan konfirmasi ke
Bendahara Satuan Kerja (Bensaker) para saksi yang merupakan enam Kapolres di
Jawa Barat itu yakni Sugiono Kapolres Subang, Erwin Faisal Kapolres Sumedang,
Kota, M Arif Ranmdani Kapolres Bandung Tengah dan M Gagah Suseno yang
saat itu menjabat sebagai Kapolres Majalengka masing-masing mendapat arahan
dari Bidang Keuangan (Bidkeu) Polda Jawa Barat yang saat itu di kepalai oleh
Kombes Pol Abdurrahman Pasha. “Yang bermasalah pada pemberian dana pada tahap keempat. Untuk tahap kesatu sampai tiga tidak ada masalah,” kata keenam
saksi kepada Hakim Ketua Charis Mardianto dan Hakim Anggota Haswandi dan
Artha Teresia, Selasa (14/12/2010).130
Begitu juga dalam Pertanggungjawaban Pembukuan Keuangan
(Perwabku), keenamnya mengaku telah mendapat arahan dari Bidkeu Polda Jabar
melalui AKBP Iwan Gustiawan dan AKBP Agus Dalam persidangan terungkap,
Kapolres Subang hanya mendapat sekitar Rp 400 juta, padahal di kuitansi
berjumlah Rp 650 juta. Sehingga ada selisih sekitar Rp 250 juta. Polres Sumedang
diketahui terdapat selisih sekitar Rp 425 juta. Pasalnya, dana riil yang diterima
sebesar Rp 565 juta sedang dalam kuitansi tertera Rp 990 juta.131
Sementara selisih penerimaan dana pengamanan Pilkada Jawa Barat tahun
2008 juga terdapat di Polres Kota Tasikmalaya. Di sini uang yang diterima
Kapolres melalui Bensatker sekitar Rp 500 juta. Namun uang tersebut terdapat
selisih sekitar Rp 300 juta karena kuitansi yang diterima sebesar Rp 859 juta.
Polres Sukabumi menerima Rp 247 juta. Dalam kuitansi tertera RP 597 juta,
sehingga terdapat selisih Rp 350 juta.Lebih lanjut, M Arif Ramdani selaku
130 Iwan Taunuzi,Enam Kapolres Jawa Barat Ngaku Dapat Arahan,
Kapolres Bandung Tengah saat itu menerima Rp 310 juta. Sedang kuitansi yang ia
terima sebesar Rp 531 juta. Ia mengaku terdapat selisih Rp 210 juta.132
Untuk Polres Majalengka dimana M Gagah Suseno yang saat itu menjadi
Kapolres mengatakan selisih dana sekitar Rp 289 juta. Pasalnya kuitansi yang
diterima sebesar Rp 523 juta, sedang uang yang diterima sebesar Rp 225 juta.
Total keseluruhan selisih dari keenam Kapolres ini mencapai sekitar Rp 1,833
miliar.133
Pada kasus Komjen Pol. Susno Duadji,Jaksa menggabungkan kedua kasus
itu dalam satu berkas dakwaan. jaksa menjelaskan bahwa penggabungan perkara
tidak perlu perkara satu dan lainnya terkait. Sementara dalam dua perkara
tersebut, terdakwanya sama yakni Susno, sehingga tak perlu dipisah. Argumentasi
jaksa didasarkan pada Pasal 141 huruf c KUHAP.134
Alasan lainnya, Erbagtyo melanjutkan, jika dua perkara Susno diajukan
dengan dakwaan terpisah, maka dirinya akan mendapat hukuman pidana secara
kumulatif murni. Karena itu, penggabungan dua perkara ini untuk melindungi hak
asasi Susno dan hukuman pidananya tidak kumulatif.135
3.4.3.1. Analisis Kasus Voeging (Kasus Korupsi Komjen Pol. Susno Duadji)
132Ibid.
133Ibid.
134 Y Gustaman,Sidang Kasus Susno Duadji,Jaksa: Menggabung 2 Perkara Tepat, www.tribunnews.com, 13 Oktober 2010, h.1, dikunjungi pada tanggal 13 Januari 2015.
Pada kasus diatas Penuntut Umum (PU) melakukan penggabungan berkas
perkara (voeging) antara pelaku dikarenakan terdapat beberapa tindak pidana yang
dilakukan oleh seorang pelaku perbuatan yang sama dan demi kepentingan
pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya tersebut.
Selain itu terdapat pula saksi yang cukup di saat tindak pidana dilakukan dan alat
bukti lainnya pun dapat menjadi penunjang pembuktian.
Menurut jaksa Erbagtyo Rohan berpendapat penggabungan kedua perkara
dalam satu berkas sudah tepat. Menurut dia, pasal 141 huruf c KUHAP tidak
mengharuskan dua perkara yang digabung saling bersangkut paut. Korelasi
perkara tidak menjadi syarat mutlak.136
Pasal 141 huruf c KUHAP menyebutkan “Beberapa tindak pidana yang
tidak ada sangkut pautnya satu dengan yang lain akan tetapi yang satu dengan
yang lain itu ada hubungannya yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu
bagi kepentingan pemeriksaan”. Pasal ini,menegaskan penggabungan perkara
tidak diperlukan syarat atas tindak pidana yang bersangkut paut. Sedangkan frase
‘ada hubungan’ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 huruf c KUHAP,
menurut Rohan,bila dikaitkan dengan penanganan perkara mesti dimaknai
“karena pelaku tindak pidananya adalah sama yakni Susno Duadji”.137
Demi memperkuat dalil sanggahannya, penuntut umum merujuk pada
Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yakni peradilan asas
cepat, sederhana dan biaya ringan. Terlebih lagi demi kepentingan pemeriksaan.
136 Tidak ada nama penulis, Jaksa Boleh Menggabungkan Dua Perkara Dalam Satu
Dengan begitu, kata Rohan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap
penggabungan dua perkara dalam satu berkas dakwaan.138Maka sudah tepat jaksa
penuntut umum menggabungkan dua perkara ini dalam satu surat dakwaan demi
kelancaran pemeriksaan di muka sidang semata-mata dan demi memenuhi asas
peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan.
Sehingga Penuntut Umum (PU) dalam hal ini lebih memilih
penggabungan berkas perkara (Voeging) dikarenakan mempertimbangkan
beberapa hal yaitu
1. Perbuatan dilakukan seorang yang sama maupun beberapa pelaku yang
mana perbuatan yang dilakukan berdiri sendiri-sendiri maupun tidak
berdiri sendiri-sendiri.Beberapa tindak pidana tersebut bersangkut-paut
satu dengan yang lain maupu tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain
akan tetapi saling berhubungan.
2. Locus dan Tempus Delictinya pun sama atau hampir bersamaan antar
perbuatan pelaku satu dengan yang lainnya sehingga dengan
menggabungkan berkas perkara (Voeging) akan memudahkan Penuntut
Umum (PU).
3. Tindak pidana yang dilakukan sederhana sehingga tidak perlu dilakukan
pemecahan satu persatu peran dan tindak pidana dalam beberapa berkas.
4. Terdapat beberapa saksi yang melihat,mendengar,atau mengalami di saat
tindak pidana dilakukan.
5. Terdapat beberapa alat bukti yang dapat lebih menguatkan dakwaan
Penuntut Umum (PU) selain alat bukti saksi.
Pemisahan berkas perkara (Splitsing) merupakan hak absolut jaksa yang
didasari oleh pertimbangan-pertimbangan penuntut umum baik secara materiil
maupun formil.Pertimbangan-pertimbangan penuntut umum dalam melakukan
pemisahan berkas perkara (Splitsing) secara materiil yaitu terdapat beberapa
tindak pidana yang melibatkan beberapa orang pelaku yang memiliki peran
masing-masing yang mana tempus dan locusnya berbeda yang mana biasanya
merupakan tindak pidana yang tidak sederhana.Pertimbangan-pertimbangan
penuntut umum dalam melakukan pemisahan berkas perkara (Splitsing) secara