• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENGKAJI POLITIK HUKUM KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "MENGKAJI POLITIK HUKUM KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN DI INDONESIA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Muktiono

Fakult as Hukum Universit as Brawij aya Malang E-mail: mukt iono@hot mail. com

Abst r act

Indonesi a has ent er ed t he er a of human r i ght s char act er i zed by i ncr easi ngl y massi ve domest i cat i on of t he i nt er nat ional human r i ght s nor ms i n nat ional l egal syst em. In such a si t uat ion, i n f act , t he r i ght s t o f r eedom of r el i gi on and of bel ief f or minor i t ies have not r eceived t hei r benef it s and i nst ead t hey become vi ct i ms. Thi s Ar t i cl e seeks t o invest i gat e how it can happen by using t he l egal pol i t i cs anal ysi s as per spect i ve. Legal pol it i cs her e wi l l f ocus on how t he gover nment s of sever al r egi mes i n Indonesi a have used t heir l egi sl at ion and pol i cy t o r egul at e mat t er s r el at i ng t o t he r i ght s t o f r eedom of r el i gi on and bel ief . In addit ion, i t wi l l al so see how t he Const i t ut ional Cour t cont r i but ed t o t hi s i ssue by i nf l uencing t he l egal pol i t i cs as t hi s Cour t i s t he sol e aut hor it y i n i nt er pr et i ng t he const it ut ional r i ght t o t he f r eedom of r el i gion and bel i ef t her eby af f ect i ng i t s nor mat i on and i mpl ement at ion.

Key wor ds: Rel i gious mi nor it y gr oup, human r i ght s, legal pol it i cs of Indonesi a

Abst rak

Indonesia t elah memasuki era hak asasi manusia yang dit andai dengan semakin masif nya domest if ikasi norma-norma hak asasi manusia int ernasional dalam sist em hukum nasional. Dalam sit uasi t ersebut t ernyat a hak at as kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi kelompok minorit as belum mendapat kan kemanf aat annya dan j ust ru mereka menj adi korban. Art ikel ini berusaha unt uk menyelidiki bagaimanakah hal t ersebut bisa t erj adi dengan menempat kan analisa polit ik hukum sebagai perspekt if nya. Polit ik hukum disini akan berf okus kepada bagaimana pemerint ah dari berbagai rezim t elah menggunakan kebij akan legislasinya dalam mengat ur masalah-masalah t erkait hak at as kebebasan beragama dan berkeyakinan. Selain it u, j uga akan dilihat bagaimana Mahkamah Konst it usi berkont ribusi dalam mempengaruhi polit ik hukum t ersebut karena lembaga t ersebut merupakan pemegang ot orit as sat u-sat unya dalam menaf sir hak konst it usional at as kebebasan beragama dan berkeyakinan sehingga dengan sendirinya berpengaruh t erhadap penormaan maupun implemet asinya.

Kat a Kunci: Kelompok minorit as beragama dan berkeyakinan, hak asasi manusia, hukum, polit ik hukum Indonesia

Pendahuluan

Gelombang ref ormasi yang dimulai pada t ahun 1998 t elah membuka ruang baru bagi perdebat an t erhadap “ Prinsip Ket uhanan” mu-lai dari kelas-kelas di kampus, gedung parle-men, media massa, sampai dengan ke pe-ngadilan konst it usi. Mat eri paling menonj ol da-lam perdebat an publik t ersebut adalah t ent ang gugat an t erhadap prakt ek-prakt ek diskriminat if yang t elah dit erima oleh kelompok beragama/ berkeyakinan minorit as akibat implement asi hukum dan kebij akan dari “ prinsip ket uhanan” . Advokasi oleh kelompok-kelompok penekan

(2)

menj adi alat pembelaan yang sangat ef ekt if melawan t indakan-t indakan negara yang repre-sif dan diskriminat if meskipun hasilnya masih j auh dari yang diharapkan.

Sit uasi unt uk melakukan pemaj uan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan semakin kondusif , akan t et api di sisi lain masih t erdapat f akt a bahwa pemenuhan hak at as kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia meru-pakan masalah rumit unt uk diselesaikan.1 Ant i-nomi eksis mulai dari level konst it usi sampai dengan penerapan norma pada t indakan admi-nist rat if pemerint ahan daerah yang mengaki-bat kan t erj adinya serangkaian pelanggaran hak asasi manusia yang pada t ingkat an paling serius t elah mengakibat kan j at uhnya korban j iwa t er-ut ama bagi kelompok agama/ keyakinan mino-rit as. Prospek t erhadap j aminan hak at as kebe-basan beragama dan berkeyakinan di Indonesia saat ini menj adi permasalahan serius di t engah ket erikat an Indonesia baik secara moral mau pun hukum t erhadap norma-norma hak asasi manusia int ernasional.

Art ikel ini berusaha unt uk menyelidiki dan mengurai t ent ang f enomena inkonsist ensi negara dalam pemenuhan hak kebebasan ber-agama dan berkeyakinan bagi kelompok mino-rit as yang t erj adi di Indonesia sebagai bent uk paradoksal penegakan hak asasi manusia dalam pusaran t arik-menarik ant ara kepent ingan ke-lompok mayorit as yang masih kuat memegang nilai-nilai part ikularit as keagamaan mereka pa-da sat u sisi pa-dan t unt ut an nilai -nilai hak asasi manusia yang bersif at universal dan t elah men-j adi hukum nasional di sisi lainnya. Dengan de-mikian diharapkan agar t erungkap bagaimana peran para akt or yang t erkait dalam proses diskriminasi berbasis agama dan kepercayaan di Indonesia t erut ama menyangkut sist em hukum dan penegakannya di Indonesia sepert i Penga-dilan, Pemerint ah, dan lembaga keagamaan. Kasus yang sangat dominan menj adi bahan ana-lisa dari penelit ian ini adalah Put usan Mahka-mah Konst it usi yang menguat kan eksist ensi undang-undang penodaan agama yait u Put usan

1 Agnes Dwi, “ Sol i dar it as Bagi Kebebasan Ber agama” ,

Jur nal Maar i f , Vol 5 No. 2 Tahun 2010, Jakart a: Maar if Inst it ut e, hl m, 115-122

Mahkamah Konst it usi No. 140/ PUU-VII/ 2009 t en-t ang Penguj ian Undang-Undang Nomor 1/ PNPS/ Tahun 1965 Tent ang Pencegahan Penyalah-gunaan dan/ at au Penodaan Agama. Kasus t er-sebut dipilih karena akan mempengaruhi prak-t ik penegakan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia mulai dari proses le-gislasi at au pembuat an hukum yang deraj at nya di bawah konst it usi hingga pada prakt ek di t ing-kat administ rasinya. Kekhawat iran t erj adinya simplif ikasi dalam menganalisa permasalahan pelaksanaan hak kebebasan beragama dan ber-keyakinan di Indonesia mungkin saj a t erj adi apabila hanya berangkat pada kasus undang-undang penodaan agama, t et api Art ikel ini me-mang t idak dit uj ukan unt uk melihat permasa-lahan kebebasan beragama dan berkeyakinan dari seluruh sudut pandang karena ket erbat as-an ruas-ang unt uk mendiskusikas-an kompleksit as permasalahan. Sehingga uraian yang diberikan dalam art ikel ini set idaknya diharapkan agar mampu berkont ribusi dan menj adi bagian dari suat u analisa yang komprehensif dalam melihat kasus-kasus dan permasalahan kebebasan ber-agama dan berkeyakinan di Indonesia.

(3)

berpengaruh t erhadap proses pembent ukan hu-kum nasional dan dan daerah sert a penerapan-nya yang semat a-mat a dibent uk unt uk melegi-t imasi pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan t erhadap kelompok minorit as yang t elah dij amin di dalam konsit usi dan per-at uran perundang-undangan lainnya di Indone-sia maupun int ernasional. Sebagai bagian penu-t up maka arpenu-t ikel ini akan menyimpulkan penu-t en-t ang prospek aen-t as konsen-t ruksi normaen-t if dan im-plement asi dari hak at as kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia sert a saran dan krit ik apa yang bisa diberikan sehingga j aminan hak t ersebut t erut ama bagi umat beragama/ berkeyakinan minorit as dapat di t egakkan seca-ra adil dan berkelanj ut an.

Pembahasan

Paradigma Sej arah Pengakuan Negara Terha-dap Hak At as Kebebasan Beragama dan Ber-keyakinan di Indonesia

Preamble Undang-Undang Dasar Negara Republik Indont sia Tahun 1945 menegaskan t ent ang dasar negara yang diant aranya yait u “ . . . Negara Republik Indonesia, yang berkedau-lat an rakyat dengan berdasar kepada Ket uhan-an Yuhan-ang Maha Esa. . . ” . Kemudiuhan-an dalam bat uhan-ang t ubuh UUD 1945 diperinci lagi t ent ang hak konst it usional at as kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam bab khusus yang secara eksplisit berj udul “ agama” dengan penj abaran pasalnya sebagai berikut : per t ama, Negara berdasar at as Ket uhahan Yang Maha Esa; dan

kedua, Negara menj amin kemerdekaan t iap-t iap penduduk uniap-t uk memeluk agamanya ma-sing-masing dan unt uk beribadat menurut agamnya dan kepercayaannya it u.

Teks “ Ket uhanan Yang Maha Esa” pada Preamble UUD 1945 sebenarnya merupakan ver-si reviver-si dari t eks aslinya yait u “ . . . Ket uhanan,

dengan kewaj i ban menj al ankan syar i ’ at Isl am bagi pemel uknya, . . .” . Tuj uh kat a yang mene-gaskan eksist ensi hukum Islam kemudian diha-pus dengan pert imbangan unt uk membuat umat non-muslim merasa t erayomi dalam konst it usi dan t idak t erkesan diskriminat if . Penghapusan t uj uh kat a t ersebut t idak kemudian mengakhiri keinginan kelompok Islam idealis unt uk t erus

memperj uangkan kembalinya t uj uh kat a t erse-but dalam ket at anegaraan di Indonesia.2 Per-j uangan unt uk f ormalisasi nilai-nilai Islam hing-ga saat ini masih t erus berlangsung denhing-gan ka-dar yang selalu berubah-ubah. Sebagai cont oh adalah munculnya kembali part ai-part ai polit ik berasaskan Islam j uga f enomena munculnya usaha unt uk membuat perat uran daerah yang ingin menegakan hukum Islam.3

Hukum bekerj a dalam sist em polit ik yang memberikan ruang bagi beberapa elemen nega-ra dan masyanega-rakat unt uk saling berint enega-raksi sat u dengan yang lain. Hukum dan kebij akan (l egal pol i t i cs) yang diambil oleh Pemerint ah akan mempunyai kemampuan unt uk menj elas-kan bagaimanakah relasi ant ara suat u norma hukum yang abst rak dimaknai dan diimplemen-t asikan pada diimplemen-t ingkadiimplemen-t yang paling konkridiimplemen-t . Oleh sebab it u, menelusuri j ej ak rekam hukum dan kebij akan t erkait dengan hak at as kebebasan beragama dan berkeyakinan di masing-masing rezim pemerin-t ahan di Indonesia akan mem-bant u memberikan gambaran t ent ang bagaima-nakah hukum bekerj a dan sej auh mana j uga t elah mencapai t uj uannya.

Pada masa orde lama (1950-1965), Pre-siden Soekarno mengeluarkan Penet apan Presi-den No. 1/ PNPS Tahun 1965 yang memberikan t af sir t erhadap ket erkait an ant ara “ Ket uhanan Yang Maha Esa” dengan agama dalam kont eks negara kesat uan Republik Indonesia yait u:

“ . . . sebagai dasar pert ama, KeTuhanan Yang Maha Esa bukan saj a melet akkan dasar moral diat as Negara dan Peme-rint ah, t et api j uga memast ikan adanya kesat uan Nasional yang berasas keagama-an. Pengakuan sila pert ama (KeTuhanan Yang Maha Esa) t idak dapat dipisah-pi-sahkan dengan Agama, karena adalah sa-lah sat u t iang pokok daripada perikehi-dupan manusia dan bagi bangsa Indonesia adalah j uga sebagai sendi perikehidupan Negara dan unsur mut lak dalam usaha nat ion-building” .

2 Jiml y Assihi ddi qie, 2010, Konst i t usi & Konst i t usi

-onal i sme Indonesi a, Jakart a: Si nar Graf ika, hl m. 81

3 Ridw an al -Makassary & Chaidar S, Bamual i m, “ Dil ema

(4)

Kemudian t erkait dengan pengakuan t en-t ang agama di Indonesia, Soekarno mengakui pert ama-t ama t erhadap 6 agama yait u Islam, Krist en, Kat olik, Hindu, Budha dan khong Cu (Conf usius). Namun pada ket ent uan berikut nya j uga menegaskan bahwa t idak ada pelarangan t erhadap agama-agama lain sepert i Yahudi, Zarasust rian, Shint o, dan Taoism. Sebaliknya, Prinsip “ Ket uhanan Yang Maha Esa” j ust ru men-j adi senmen-j at a unt uk mengawasi dan membat asi keyakinan-keyakinan t radisional nusant ara ka-rena dianggap “ t idak sehat ” dan dapat merusak agama sehingga negara perlu mengat ur dan mengarahkannya. Padahal dalam kenyat aannya yang sangat bert olak belakang dengan alasan dibuat nya penet apan presiden t ersebut , j ust ru masyarakat penghayat yang menj adi korban dari kelompok beragama dan oleh karenanya seharusnya merekalah yang mendapat perlindu-ngan bukan j ust ru dicurigai dan dibat asi akt i-f it asnya.

Lembaga peradilan di masa orde baru j u-ga t idak independen karena dari segi adminis-t rasi sangaadminis-t renadminis-t an dipengaruhi oleh Pemerin-t ah karena secara organisaPemerin-t oris, adminisPemerin-t raPemerin-t if dan keuangan di bawah Kement erian Kehakim-an yKehakim-ang mempunyai kewenKehakim-angKehakim-an di bidKehakim-ang pe-nganggaran, kepegawaian dan penghukuman. Mahkamah Agung t idak mempunyai kewenangan unt uk menguj i Undang-Undang sehingga seluruh produk undang-undang yang bert ent angan de-ngan Pasal 29 Konst it usi t idak bisa dilakukan revisi at au evaluasi. Hukum mat eriil yang dis-kriminat if dan lembaga peradilan yang t idak in-dependen membuat masyarakat korban t idak membawa kasus mereka ke Pengadilan karena selain biaya yang mahal dan wakt u yang pan-j ang, put usan yang dihasilkan oleh pengadilan j uga bisa diprediksi t idak akan berpihak kepada rasa keadilan mereka. Klaim hukum at as hak kebebasan beragama dan berkeyakinan yang sangat buruk di masa it u sungguh bert ent angan dengan Preamble Konst it usi 1945 yang menya-t akan bahwa “ . . . membenmenya-t uk Pemerinmenya-t ahan Indonesia yang melindungi segenap bangsa In-donesia. . . ” . Realit as di at as merupakan para-doks di era konst it usionalisasi hak at as

kebe-basan beragama dan berkepercayaan karena di sisi lain hak t ersebut j ust ru dikhianat i oleh perat uran perundang-undangan di bawahnya t anpa ada mekanisme evaluasi yang past i, adil dan bermanf aat .

St at us preskript if hak asasi manusia t et api dengan penerapan yang ambigu

Sebelum amandemen Kedua t ahun 2000 maka Undang-Undang Dasar 1945 t idak pernah mencant umkan ket ent uan secara eksplisit t en-t ang hak asasi manusia meskipun ada beberapa ket ent uan yang secara subst ant if mengat ur t ent ang beberapa hak asasi manusia yang salah sat unya adalah hak at as kebebasan beragama dan berkeyakinan di Pasal 29. Secara hukum, t idak ada kewaj iban at ribut if bagi pemerint ah unt uk melembagakan hak asasi manusia karena yang pert ama memang konst it usi t idak menga-t urnya dan yang kedua adalah adanya anggapan bahwa hukum nasional secara subst ant if t elah mengat ur nilai-nilai hak asasi manusia.

(5)

er-nasional dalam kedaulat an hukumnya meskipun hanya pada t ingkat perbaikan cit ra saj a.4

Set elah era ref ormasi dat ang pada t ahun 2008 yang dit andai dengan runt uhnya kekuasa-an Orde Baru Soehart o dkekuasa-an digkekuasa-ant ikkekuasa-an dengkekuasa-an Presiden Habibie maka Indonesia memasuki era

pr escr i pt ive st at us t erkait dengan penormaan hak asasi manusia secara nasional. Pada t anggal 23 Sept ember 1999 Indonesia mengeluarkan Un-dang-undang No. 39/ 1999 t ent ang Hak Asasi Manusia yang pada pasal 4 menyat akan bahwa “ . . . hak kebebasan pribadi, pikiran dan hat i nu-rani, hak beragama. . . adalah hak asasi manu-sia yang t idak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun” . Pada Pasal 22 un-dang-undang ini j uga menegaskan bahwa “ Se-t iap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan unt uk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya it u” dan “ Negara menj a-min kemerdekaan set iap orang memeluk aga-manya masing-masing dan unt uk beribadat me-nurut agamanya dan kepercayaannya it u” . Se-t ahun kemudian pada Se-t anggal 18 AgusSe-t us 2000 Maj elis Permusyawarat an Rakyat mengaman-demen UUD 1945 dengan memasukkan bebera-pa ket ent uan t ent ang hak at as kebebasan ber-agama dan berkeyakinan dalam Bab X t ent ang Hak Asasi Manusia sebagai berikut :

Pasal 28E:

(1) Set iap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengaj aran, memilih pekerj aan, memilih kewar-ganegaraan, memilih t empat t inggal di wilayah negara dan meninggalkan-nya, sert a berhak kembali.

(2) Set iap orang berhak at as kebebasan meyakini kepercayaan, menyat akan pikiran dan sikap, sesuai dengan hat i nuraninya.

(3) Set iap orang berhak at as kebebasan berserikat , berkumpul, dan menge-luarkan pendapat .

Pasal 28I:

(1) Hak unt uk hidup, hak unt uk t idak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hat i nurani, hak beragama, hak unt uk t idak diperbudak, hak unt uk diakui

4 Thomas Ri sse, et , al (ed), 2005, The Power of Human

Ri ght s: Int er nat i onal Nor ms and Domest i c Change,

Cambri dge: Cambri dge Univer si t y Press

sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak unt uk t idak dit unt ut at as dasar hukum yang berlaku surut ada-lah hak asasi manusia yang t idak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

(2) Set iap orang berhak bebas dari per-lakuan yang bersif at diskriminat if at as dasar apa pun dan berhak men-dapat kan perlindungan t erhadap per-lakuan yang bersif at diskriminat if it u.

Preskripsi Konst it usi t ent ang hak asasi manusia khususnya hak at as kebebasan beraga-ma dan berkepercayaan secara kelembagaan j uga diperkuat dengan diperkenalkannya Mah-kamah Konst it usi dalam sist em ket at anegaraan Indonesia yang berwenang menguj i seluruh un-dang-undang t erhadap unun-dang-undang dasar t ermasuk undang-undang yang dikeluarkan sebelum dilakukannya amandemen.

Perlindungan Hak Asasi Manusia t idak saj a diikht iarkan kepada hukum mat eriil t et api j uga pada hukum f ormalnya yait u dengan dikeluar-kannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 t ent ang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang memberikan upaya perlindungan kepada ke-lompok agama t ert ent u dari kej ahat an t erha-dap kemanusian dan pelanggaran berat hak asasi manusia. Tidak cukup sampai disit u, pada t ahun 2005 Indonesia merat if ikasi dua kovenan pokok hak asasi manusia yait u ICESCR dan IC-CPR masing-masing dengan Undang-Undang No. 11 dan 12 Tahun 2005. Dengan demikian maka Indonesia secara hukum t erikat dalam pene-gakan ket ent uan Pasal 18 ICCPR yang menyat a-kan bahwa:

(1) Ever yone shal l have t he r i ght t o f r eedom of t hought , conscience and r el i gion. Thi s r i ght shal l i ncl ude f r eedom t o have or t o adopt a r el i -gi on or bel i ef of hi s choi ce, and f r ee-dom, eit her i ndi vi dual l y or i n com-muni t y wi t h ot her s and i n publ i c or pr i vat e, t o mani f est hi s r el i gion or bel i ef in wor shi p, obser vance, pr ac-t i ce and ac-t eachi ng. 2. No one shal l be subj ect t o coer cion whi ch woul d im-pai r hi s f r eedom t o have or t o adopt a r el i gion or bel i ef of hi s choi ce. (2) Fr eedom t o mani f est one's r el i gion or

(6)

l i mi t at ions as ar e pr escr i bed by l aw and ar e necessar y t o pr ot ect publ i c saf et y, or der , heal t h, or mor al s or t he f undament al r i ght s and f r eedoms of ot her s.

(3) The St at es Par t i es t o t he pr esent Co-venant under t ake t o have r espect f or t he l i ber t y of par ent s and, when appl i cabl e, l egal guar di ans t o ensur e t he r el i gi ous and mor al educat ion of t heir chi l dr en i n conf or mi t y wit h t heir own convi ct i ons.

Todung Mulya Lubis melihat sit uasi yang melingkupi lahirnya st at us preskripsi hak asasi manusia t ersebut di at as sebagai enl i ght ened const r uct ion, meskipun di sisi lain muncul j uga kebut uhan unt uk melakukan pengawalan dan pengawasan t erhadap pelaksanaan dan perj a-lanan ke depannya5.

Melimpahnya norma-norma hukum hak asasi manusia dalam sist em hukum nasional Indonesia menandai babak baru dalam pene-gakan hak asasi manusia dan seharusnya lebih menj aj ikan dibandingkan dengan ket ika belum adanya landasan hukum.6 Apalagi, dalam kons-t ikons-t usi hasil amandemen dikons-t egaskan bahwa Indo-nesia merupakan negara hukum dimana t at a kelola negara harus didasarkan at as hukum dan bukan kekuasaan belaka (r echt st aat ). Menj adi pert anyaan berikut nya adalah apakah penca-paian t uj uan hukum akan selalu mempunyai hubungan lurus dengan melimpahnya norma hukum yang mengat urnya? Pert anyaan t ent ang bagaimana cara melakukan harmonisasi kehidu-pan ant ara umat beragama yang damai, saling percaya dan berkeadilan selalu menj adi pert a-nyaan dalam realit as pluralisme keberagamaan dan berkepercayaan di Indonesia.7 Selain it u ada sebuah simpulan penelit ian yang menarik unt uk disit ir yait u:

5

Todung Mul ya Lubi s, “ Menegakkan Hak Asasi Manusi a, Menggugat Diskr iminasi” , Jur nal Hukum dan Pemba-ngunan Vol 39 No. 1 Tahun 2009, Fakul t as Hukum Uni-versi t as Indonesi a, hl m. 58-73

6 Al bert Hasibuan, “ Pol i t ik Hak Asasi Manusia (HAM) dan

UUD 1945” , Jur nal Law Revi ew Vol VIII No. 1 Jul i 2008, Fakul t as Hukum Uni versit as Pel it a Har apan Jakart a, hl m. 43-62

7 Krispurwana, “ Tel esphorus, Dial og Ant ar agama dan

Tant angan bagi Perdamaian sert a Keadil an” , Jur nal Di s-kur sus Vol 6 No. 1 April 2007, Jakart a: Sekol ah Tinggi Fil saf at Dr iyakarya, hl m. 85-101

“ Reconsi der i ng t he quest ion of whet her we shoul d r ecommence t he pr ocess of pr oduci ng a global l egal inst r ument on t he f r eedom of r el i gion or bel ief mi ght be a ver y good pl ace t o st ar t . Thi s woul d r ol l back t he essent i al l y negat ive appr o-aches of r ecent year s and champi on a mor e posi t i ve vi si on of what r el i gious f r eedom has t o of f er ” 8

Pada t anggal 17 Januari 2000 Presiden KH. Abdurrahman Wahid memulihkan kembali hak-hak kegamaan, kepercayaan dan adat ist i-adat masyarakat ket urunan China di Indonesia yang selama ini mengalami diskriminasi karena t idak bisa menikmat i hak-hak t erkait kebebasan beribadah, berekspresi dan berasosiasi berda-sarkan agama dan keyakinan mereka karena di-anggap akan berdampak buruk t erhadap t at a-nan sosial hanya karena mereka bukan ket uru-nan pribumi dengan mengeluarkan Keput usan Presiden No. 6 Tahun 2000 t ent ang Pencabut an Inst ruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 t ent ang Agama, Kepercayaan, dan Adat Ist iadat Cina.

Tercapainya t uj uan hukum dalam masya-rakat sepert i kepast ian, keadilan, dan keman-f aat an kemudian menj adi pert anyaan besar ke-t ika konf lik agama masih ke-t erus ke-t erj adi. Bahkan, dari segi pelaku j uga mengalami t ransisi yait u kalau dulu semat a-semat a diskriminasi dilaku-kan oleh aparat ur negara t et api perkembangan-nya sekarang pelanggaran j ust ru dilakukan j uga oleh kelompok masyarakat . Kelompok Ahmadi-yah pada j aman Soehart o mendapat pengakuan yang sangat kuat dimana pada set iap musya-warah nasional selalu dihadiri oleh pej abat t inggi kement erian agama, namun sekarang kelompok ini mendapat serangan dari kelompok agama lain dengan t anpa mendapat perlindung-an yperlindung-ang memadai dari negara. Demikiperlindung-an j uga dengan penyerangan t erhadap gerej a-gerej a sebelum era ref ormasi hampir t idak pernah t er-j adi meskipun di sisi lain ier-j in mendirikan gereer-j a j uga sangat sulit hingga sampai sekarang. Hu-kum dalam sit uasi sepert i it u merupakan se-buah problem dan alat unt uk set idak-t idaknya

8 Mal col m Evans, “ Advancing Freedom of Rel igion or

(7)

menj adi pembenar bagi pelanggaran hak asasi manusia.

Hukum yang sangat rapuh dalam pene-gakannya menj adikan awal dari sebuah t unt u-t an unu-t uk melakukan evaluasi normau-t if melalui lembaga peradilan t erhadap perat uran perun-dang-undangan yang dalam prakt iknya diguna-kan sebagai alat pembenar unt uk melakudiguna-kan kekerasan berbasis agama. Sebab t idak j arang para pelaku kekerasan memanf aat kan celah perat uran perundang-undangan yang memang dapat digunakan sebagai alat unt uk menghin-dari t unt ut an pidana disamping j uga masih lemahnya aparat kepolisian di lapangan unt uk menggunakan celah hukum guna melindungi korban kekerasan karena alasan t eknis sepert i kalah j umlah dibanding massa perusak maupun pelaku kekerasan. Aspek hukum sebenarnya bukan sat u-sat unya akar permasalahan menga-pa kekerasan berbasis agama t erj adi namun demikian akan sulit unt uk memisahkan set iap kasus kekerasan j ika t idak menghubungkannya dengan perat uran perundang-undangan karena pada akhirnya semua proses penyelesaian akan bert emu dalam ruang dan ranah hukum sepert i di Kepolisian dan Pengadilan. Sehingga, peng-uj ian t erhadap perat uran perundang-undangan yang t idak lagi relevan dengan semangat pe-negakan hak asasi manusia merupakan hal yang sangat pent ing pada saat kekerasan ber-basis agama masih sering t erj adi.

Penguj ian perat uran perundang-undangan pada era ref ormasi t elah mempunyai sist em yang mapan dengan t erbent uknya Mahkamah Konst it usi. Penggant ian hukum yang t idak rele-van lagi dengan norma-norma hak asasi manu-sia dalam konst it usi memang bisa dilakukan dengan pembuat an hukum yang baru melalui lembaga legislat if sehingga berlaku pr i nsi p Lex post eor i der ogat l egi pr ior i. Akan t et api pilihan t ersebut kurang menj anj ikan di t engah buruk-nya reput asi dan perf orma lembaga legislat if . Dari segi hukum, pilihan t erbaik dari sit uasi yang t erburuk adalah dengan melakukan pengu-j ian at au pengu-j udiciil review t erhadap perat uran perundang-undangan yang sering digunakan se-bagai alasan pembenar bagi t indak kekerasan dan int oleransi ke Mahkamah Konst it usi. UU

No. 1/ PNPS Tahun 1965 t ent ang Pencegahan Pe-nyalahgunaan dan/ at au Penodaan Agama meru-pakan sal ah sat u perat uran perundang-undang-an yperundang-undang-ang sering digunakperundang-undang-an oleh para pelaku ke-kerasan berbasis agama sebagai alasan pem-benar. Norma int i dari UU No. 1/ PNPS Tahun 1965 t ent ang Pencegahan Penyalahgunaan dan/ at au Penodaan Agama sebagaimana t ercant um pada Pasal 1 sebagai berikut :

“ Set iap orang dilarang dengan sengaj a di muka umum mencerit akan, menganj ur-kan at au mengusahaur-kan dukungan umum, unt uk melakukan penaf siran t ent ang se-suat u agama yang dianut di Indonesia at au melakukan kegiat an-kegiat an keaga-maan yang menyerupai kegiat an-kegiat an keagamaan dari agama it u, penaf siran dan kegiat an mana menyimpang dari po-kok-pokok aj aran agama it u”

Unt uk memberikan kekuat an t erhadap penegakan norma t ersebut maka di pasal lain dari undang-undang t ersebut diat ur ket ent uan pidananya t ermasuk pidana penj ara 5 (lima) t a-hun bagi yang melanggarnya. Kemudian secara kelembagaan negara maka Undang-Undang ini memberikan kewenangan kepada Presiden me-lalui ment eri agama, ment eri dalam negeri dan j aksa agung unt uk melakukan pengawasan ak-t if iak-t as, pembubaran, hingga pemidanaan ak-t erha-dap kelompok-kelompok yang dianggap me-nyimpang dari aj aran agama mainst ream yang diakui negara. Sebagaimana t elah dit elit i j uga sebelumnya bahwa bahwa undang-undang t er-sebut sangat problemat is unt uk dit erapkan pa-da saat ini ket ika Indonesia secara hukum supa-dah t erikat dengan norma-norma hak asasi manusia baik pada t ingkat nasional maupun int ernasio-nal9. Meskipun pada awalnya undang-undang t ersebut ingin membat asi munculnya aliran kepercayaan yang bert ent angan dengan nilai-nilai keagamaan t et api dalam perkembangan-nya sulit t erkont rol dan j ust ru digunakan unt uk memberangus pandangan krit is t erhadap prak-t ik-prakprak-t ik keagamaan. Sangaprak-t j arang sekali, unt uk mengat akan t idak ada, penegakan norma

9 Frans Hendra Winat a, “ Agama Tidak Memerl ukan

Pe-ngakuan Negara Secara Resmi dan Diat ur Hukum” ,

(8)

undang-undang ini dilaksanakan melalui t at a acara peradilan yang sah dan proses yang damai melainkan yang t erj adi adalah peradilan j ala-nan yang berdarah-darah.

Kesenj angan ant ara Penafsiran dan Penerap-an Akibat Politik PengabaiPenerap-an

Pada t anggal 28 Okt ober 2009 para pegiat hak asasi manusia Indonesia, salah sat unya mant an Presiden Abdurrahman Wahid, menga-j ukan umenga-j i mat eriil t erhadap UU No. 1/ PNPS 1965 ke Mahkamah Konst it usi dalam rangka memper-t egas hak konsmemper-t imemper-t usional umamemper-t minorimemper-t as amemper-t as kebebasan beragama dan berkepercayaan yang selama ini t ermarginalkan. Senj at a normat if yang digunakan cukup memadai dan sangat ko-koh secara hukum, baik nasional maupun int er-nasional. Berhadapan dengan para pemohon dalam perdebat an di persidangan adalah saksi-saksi dari Pemerint ah, DPR, dan beberapa orga-nisasi masyarakat keagamaan t erut ama Islam yang not abene adalah agama-agama yang besar dan diakui secara administ rat if oleh negara. Se-cara polit is, mereka yang melawan pemohon adalah organisasi massa yang mempunyai ang-got a berj umlah j ut aan bahkan menj adi peme-gang suara mayorit as dalam set iap pemilihan umum. Fakt a yang menarik adalah bersat unya ant ara beberapa organisasi Islam yang dalam

keseharian mempunyai banyak perbedaan

dalam banyak hal, sebagai cont ohadalah NU, Muhammadiyah, Hizbut Tahrir, dan FPI. Para pemohon dalam proses j udicial review seolah-olah dianggap sebagai common enemy bagi se-luruh ormas Islam sehingga mereka bersat u un-t uk un-t eun-t ap memperun-t ahankan UU No. 1/ PNPS 1965. Sej ak awal, para pemohon baik di luar maupun di dalam pengadilan selalu dianggap sebagai sekelompok orang dan LSM yang ingin mengikis nilai-nilai religiusit as masyarakat In-donesia dan ingin menyebarkan paham-paham liberalisme, individualisme, dan sekularisme se-hingga harus dilawan bahkan dengan cara keke-rasan sekalipun. Dalam kont eks sepert i it ulah akhirnya Mahkamah Konst it usi mengeluarkan Put usan Nomor 140/ PUU-VII/ 2009 yang menya-t akan menolak seluruh permohonan para pemo-hon dan dengan demikian maka Undang-Undang

No. 1/ PNPS Tahun 1965 t et ap berlaku dan t anpa ada perubahan sedikit pun.

Salah sat u alasan kuat Mahkamah Kons-t iKons-t usi unKons-t uk Kons-t eKons-t ap memperKons-t ahankan eksisKons-t ensi Undang-Undang No. 1/ PNPS Tahun 1965 adalah adanya kewenangan negara unt uk membat asai pelaksanaan hak at as kebebasan beragama dan berkeyakain dengan mendasarkan secara hu-kum kepada ket ent uan-ket ent uan perat uran perundang-undangan sebagai berikut . Per t ama, Pasal 28J UUD 1945 ayat (1) dan (2); kedua, Pa-sal 18 Undang-Undang No. 12 Tahun 2005; dan

ket i ga, Pasal 70 Undang-Undang Hak Asasi Manusia.

Apabila diringkas maka alasan pembat as-an yas-ang menj adi dasar hukum put usas-an penga-dilan adalah sebagai berikut . Per t ama, pemba-t asan dibuapemba-t dengan undang-undang dan pera-t uran pelaksananya; kedua, sebagai bent uk penghormat an at as hak dan kebebasan orang lain; ket i ga, moral; keempat , nilai-nilai agama;

kel i ma, keamanan; keenam, kesehat an; ket u-j uh, ket ert iban umum; dan kedel apan, masya-rakat yang demokrat is.

(9)

mewuj udkan rasa keadilan sebagai t uj uan akhir mengapa hukum it u dibent uk.

Apabila dilihat dari pert imbangan put us-an yus-ang dibuat oleh Mahkamah Konst it usi maka t erlihat bahwa penggunaan dasar hukum kewe-nangan negara dalam melakukan pembat asan t erhadap pelaksanaan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan t idak diikut i dengan alasan-alasan yang cukup kuat sebagaimana t elah di-kenal dalam hukum int ernasional maupun pen-dapat para ahli di bidang hak asasi manusia. Se-j ak awal dit egaskan oleh para hakim bahwa penaf siran t erhadap pelaksanaan hak asasi ma-nusia harus dilet akan dalam kerangka sikap pandang bangsa Indonesia yang t idak t unduk kepada paham-paham manapun sepert i liberal-isme, sosialliberal-isme, maupun individualisme. Da-lam put usannya, para hakim t idak menj elaskan lebih lanj ut t ent ang paham-paham t ersebut dan apa kait annya dengan perkara yang dit a-ngani. Hakim seolah-olah ingin menj auh dari perkembangan hak asasi manusia int ernasional dengan berlindung di balik part ikularit as do-mest ik Indonesia. Dalam pert imbangan put us-annya hakim memperkenalkan ist ilah j alan t engah dalam menyikapi kont eks universalit as hak at as kebebasan beragama sebagai bagian dari hak asasi manusia dengan realit as int ernal bangsa Indonesia dalam hal ini adalah nilai-nilai agama Islam. Hal ini memang sudah menj adi bagian dari kecendurangan umum sej ak lama bagaimana implement asi at as t af sir hak asasi manusia di negara-negara Islam.10

Mahkamah Konst it usi dalam kasus ini t e-lah membuat sebuah Put usan yang t idak mem-berikan apresiasi t erhadap perkembangan hak asasi manusia di Indonesia yang secara hukum t elah memiliki landasan sangat kuat dan secara prakt is memang dibut uhkan oleh masyarakat t erut ama kelompok beragama/ berkeyakinan minorit as.11 Put usan t ersebut j uga t elah me-nyederhanakan t erhadap problem hak at as

10 Mohamad Hudaer i, “ Isl am dan Hak Asasi Manusi a:

Respon Int el ekt ual Musl im” , Jur nal Al -Qal am Vol 24 No. 3 Tahun 2007, PPPM IAIN Sul t an Maul ana Hasannudi n, hl m. 364-386

11 Muhammad As’ ad, “ Ahmadi yah and t he Freedom of

Rel igion i n Indonesia” , Jour nal of Indonesi an Isl am, Vol 03 (02) Desember 2009, Program Pascasarj ana IAIN Sunan Ampel Sur abaya, hl m. 390-413

bebasan beragama dan berkeyakinan dengan cara memut us mat a rant ai ket erkait an ant ara pemberlakuan undang-undangan penodaan aga-ma dengan pelanggaran hak konst it usional at as kebebasan beragamaan berkeyakinan yang da-lam t at aran prakt is sudah sangat memprihat in-kan.12

Tet ap diberlakukannya undang-undang t ersebut menimbulkan hal buruk yang akan t e-t ap e-t erj adi adalah e-t erbukanya ruang ine-t ervensi negara yang t erlalu j auh dalam kehidupan aga-ma/ kepercayaan warga negara. Int ervensi ini sering dit erapkan dengan cara-cara yang bias t erkait hubungan ant ara kelompok beragama/ berkeyakinan mayorit as dan minorit as sehingga selalu merugikan mereka yang menj adi bagian dari kelompok minorit as. Padahal dalam un-dang-undang hak asasi manusia dan konst it usi dit egaskan bahwa negara melalui organ-organ-nya mempuorgan-organ-nyai kewaj iban unt uk melakukan t indakan af f i r mat ive act i on bagi kelompok ren-t an yang di dalamnya ren-t ermasuk kelompok aga-ma/ keyakinan minrot as.

Selain it u, apabila dilihat dari pert im-bangan put usan maka akan nampak bahwa para hakim t idak memberikan sumbangan yang cu-kup berart i t erhadap t af sir norma-norma kons-t ikons-t usi kons-t erkaikons-t penikmakons-t an hak akons-t as kebebasan beragama dan berkeyakinan. Para saksi ahli t elah memberikan masukan-masukan yang cu-kup komprehensif t erkait dengan perkembang-an prakt ek-prakt ek pengat urperkembang-an hak at as kebe-basan beragama dan berkeyakinan, akan t et api banyak dari pert imbangan t ersebut t idak men-j adi pert imbangan hakim dalam mengambil pu-t usan. Hakim lebih berf okus kepada asumsi bahwa apabila undang-undang t ent ang penoda-an agama t idak ada maka akpenoda-an t erj adi chaos dalam masyarakat karena akan t imbul konf lik horizont al ant ar umat beragama yang bersum-ber dari ket idakt erimaan kelompok agama at as t af sir kelompok lain yang dianggap menodai agama mereka. Menj adi pert anyaan berikut nya adalah apakah t af sir Mahkamah Konst it usi t

12 Margi yono, et al , 2011, Bukan Jal an Tengah, Eksami nasi

(10)

sebut mempunyai dasar yang kuat dalam kehi-dupan nyat a? at aukah t af sir t ersebut merupa-kan bent uk nyat a dominasi kelompok mayorit as at as kelompok minorit as? dan apakah memang t erbukt i j ika undang-undang t ersebut eksis maka amakan t erj adi t ert ib sosial sehingga penikmat -an hak at as kebebas-an beragama d-an berkeya-kinan akan t ercapai? Unt uk menj awab hal it u semua maka harus dilihat sit uasi nyat a dalam masyarakat pasca dikeluarkannya put usan t er-sebut . Keset araan hak bagi semua penganut agama dalam konst ruksi hukum dan sosial me-mang sangat kompleks apalagi t erkait dengan

over l appi ng norma dan nilai-nilai dalam masya-rakat . Terj ebaknya hakim Mahkamah Konst it usi mungkin t ergambar j uga dari simpulan yang dibuat oleh Danchin t erkait diskusinya t ent ang esensi “ manusia” dalam hak asasi manusia da-lam perspekt if klaim agama dan budaya sebagai berikut :

“ Of cour se, any such cl ai ms r ai se com-pl ex and di f f i cul t conf l i ct s bet ween equal i t y nor ms on t he one hand, and r el i gious and cul t ur al f r eedom nor ms on t he ot her . A val ue pl ur al i st appr oach t o such quest i ons opens t he possi bi l i t y of new f or ms of t he her meneut i c cir cl e and t hus di ver se f or ms of f usion of hor izons. Thi s, i n t ur n, opens t he way t o a l ess dogmat i c and bi nar y account of r eason and r el i gion by viewi ng bot h as human i nst it ut ions and social pr act i ces r equir i ng modes of j ust i f i cat ion and account abi -l i t y. Just as i s t he case wit h t he doct r ine of subst ant ive neut r al i t y, t hi s r equir es t he const ant sear ch f or f or ms of accom-modat i on, mut ual under st andi ng, and over l appi ng consen-sus bet ween act ual r el i gious communit ies and t he nor mat ive cl ai ms of r i ght s di scour se under st ood in val ue pl ur al i st and phi l osophi cal l y her -meneut i c t er ms. In or der f or t hi s t o oc-cur , however , t he pr i mar y obst acle, t he i nabi l i t y of West er n r i ght s t heor i st s t o see t hei r cul t ur e as one amongst ot her s, must be sur passed” . 13

Sit uasi ini t elah menguj i bet apa pluralit as keberagamaan yang dianut oleh bangsa-bangsa

13 Pet er G Danchin, “ Who i s t he “ Human” i n Human

Right s? The Cl aims of Cul t ure and Rel igion” , Mar yl and Jour nal of Int er nat i onal Law, Vol 24 No. 99 Tahun 2009, hl m. 99-124

yang ada di Indonesia secara f ilosof is menga-lami uj ian yang cukup berat t erut ama bagi umat minorit as. Kekuasaan negara yang masuk dalam ranah keberagamaan t elah menyempit -kan “ ruang t eologis bebas kekuasaan” sehingga berakibat kepada t erancamnya budaya baru yang lebih manusiawi, berperadaban, berkeru-kunan, sert a kebhinekaan dalam ikat an keadab-an (genui ne engagment of di ver si t i es wit hi n t he bonds of ci vi l i t y).14

Kasus-kasus pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan t ahun 2010, j ika dilihat dari segi komposisi korban t erdapat perincian yait u 35% adalah komunit as yang di anggap sesat sedangkan sisanya merupakan kor-ban yang bersif at individu, propert i, dan rumah ibadah. Sedangkan pelaku pelangaran t erbesar adalah inst it usi Kepolisian (37%) diikut i dengan lembaga Pemerint ahan Daerah (36%) yang sebe-narnya secara geograf is wilayah kerj a kedua lembaga t ersebut berada sama-sama di t ingkat daerah. Lokasi t erbesar dari pelanggaran hak at as kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah di Pulau Jawa khususnya Propinsi Jawa Barat dan Jawa Timur yang mayorit as pendu-duknya beragama Islam. Sedangkan di luar Pu-lau Jawa sangat sedikit sekali dij umpai pelanggaran hak.15 Besarnya prosent ase pelang-garan hak yang t erj adi di daerah merupakan indikasi bet apa t elah t erj adi ket idaksambungan ant ara harapan dipert ahankannya UU No. 1/ PNPS 1965 menurut t af sir Mahkamah Konst it usi dengan pemahaman yang dit erapkan oleh apa-rat ur negara di t ingkat bawah. Sangat menarik dalam hal ini unt uk melihat salah sat u produk kebij akan administ rat if Pemerint ah Provinsi Ja-wa Timur dalam menangani kelompok minorit as Jemaah Ahmadiyah yait u Surat Keput usan Gu-bernur Nomor 188/ 94/ KPTS/ 013/ 2011 t ent ang Larangan Akt if it as Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Jawa Timur

Keput usan t ersebut pada bent uk f ormal-nya bert uj uan unt uk menj aga ket ert iban umum

14 Haj i annor, “ Pl ural i sme Agama dal am Perspekt i f Fil saf at

Perennial ” , Jur nal It t i had Vol 8 No. 13 Apr il 2010, Kopert i s Wil ayah XI Kal i mant an, hl m. 33-44

15 The Wahid Inst it ut e, 2010, Lapor an Kebebasan

(11)

dan keamanan nasional karena secara hukum masalah agama merupakan domain pemerint ah pusat sehingga harus ada t openg unt uk mem-buat kebij akan administ rat if t ersebut menj adi sah secara hukum (f ormal). Tet api dalam ke-nyat aan dan subst ansinya j ust ru kebij akan t er-sebut t elah masuk ke dalam wilayah pembat as-an akas-an hak at as kebebasas-an beragama das-an ber-keyakinan. Hal it u karena pada isi dari Keput us-an t ersebut yait u pada ket et apus-an kedua me-nyat akan bahwa t erhadap kelompok minorit as Ahmadiyah diberlakukan ket ent uan berupa:

per t ama, menyebarkan aj aran Ahmadiyah seca-ra lisan, t ulisan maupun elekt ronik; kedua, me-masang papan nama organisasi di t empat umum; ket i ga, memasang ident it as JAI pada t empat -t empat ibadah dan lembaga pendidik-annya; dan keempat , menggunakan at ribut JAI dalam segala bent uknya.

Apabila dilihat pada pert imbangan Ke-put usan Gubernur maka j elaslah bahwa demi “ Ket uhanan Yang Maha Esa” sesuai dengan norma konst it usi dan kemudian dit egakan de-ngan UU No. 1/ PNPS Tahun 1965 t ent ang Pen-cegahan Penodaan dan/ at au Penyalahgunaan Agama maka pemerint ah daerah mempunyai pij akan hukum unt uk melakukan diskriminasi t erhadap kaum minorit as dalam menikmat i hak-hak at as kebebasan bergama dan berkeyakinan-nya. Sehingga sangat j elas bahwa surat kepu-t usan gubernur kepu-t ersebukepu-t mengandung paradok norma sehingga dapat dikat egorikan keput usan yang cacat hukum sehingga secara hukum t idak mengikat . Sebenarnya, apakah memang perlu unt uk membuat sebuah keput usan administ ra-t if yang sah secara hukum oleh gubernur dalam menghadapi kasus kekerasan beragama? Apakah validit as hukum suat u kebij akan administ rat if menyangkut hak at as kebebasan beragama dan berkeyakinan sangat pent ing dibandingkan ha-rus menghadapi t ekanan oleh kelompok mayori-t as? Apakah pengadilan mempunyai kuasa amayori-t as sit uasi yang melemahkan penikmat an hak at as kebebasan beragama dan berkeyakinan oleh kelompok minorit as?

Kebij akan administ rat if gubernur hanya menj adi inst rumen hukum kelompok mayorit as unt uk memberikan t ekanan t erhadap kelompok

minorit as dengan mengabaikan norma-norma konst it usi dan hak asasi manusia. Kelompok-kelompok mayorit as yang menj adi f akt or pen-dorong gubernur mengeluarkan keput uan t er-sebut meliput i organisasi keagamaan, part ai polit ik, perguruan t inggi, organisasi mahasiswa. Logika normat if hukum sudah t idak lagi men-j adi pert imbangan pent ing karena f akt anya t erj adi banyak paradok dan kont radiksi di da-lam keput usan gubernur t ersebut akan t et api pada kenyat aannya perat uran t ersebut sangat ef ekt if unt uk menekan kelompok minorit as. Su-lit bagi mereka yang menj adi korban at as kebi-j akan administ rat if t ersebut unt uk melakukan banding ke pengadilan karena kepercayaan ma-syarakat kepada lembaga pengadilan sangat rendah apalagi dengan adanya t af sir mahkamah konst it usi sebelumnya membuat masyarakat se-makin pesimis dengan kapasit as pengadilan un-t uk menangani kasus-kasus hak aun-t as kebebasan beragama. Resiko keamanan j uga menj adi per-t imbangan penper-t ing bagi para akper-t ivis kebebasan beragama dan berkeyakian ket ika akan memba-wa kasus ini ke pengadilan karena lemahnya perlindungan negara t erhadap akt if it as ini sert a t idak j arang t erj adi int imidasi dari kelompok radikal yang mengancam keselamat an mereka.

(12)

minorit as lepas dari apakah alasan hukumnya benar at au salah akan t et api secara prakt ikal kebij akan t ersebut memang sangat ef ekt if . Fakt a di at as mempert egas bet apa perubahan hukum secara normat if dalam pelaksanaannya akan sangat dit ent ukan j uga oleh kapasit as pa-ra pengemban hukum sepert i hakim dan apa-rat ur pemerint ahan.16 Danchin dalam penelit i-annya t ent ang kebebasan beragama dalam kon-t eks hukum inkon-t ernasional j uga menggambarkan adanya ket egangan ant ara kelompok yang pro-liberalisme yang menekankan pada perlindung-an individu dengperlindung-an mereka yperlindung-ang menempat kperlindung-an kepent ingan umum at au komunal sebagai be-rikut :

The r esul t i s t hat t oday, i nt er nat i onal human r i ght s l aw on f r eedom of r el i gion and bel i ef r ef l ect s t he t ensi on bet ween t hese t wo "l i ber al " and "communit ar i an" st r ands of doct r i nal hi st or y?one nar r at ive expr essing t he Enl i ght enment commit -ment t o i ndivi dual f r eedom and mor al aut onomy, t he ot her nar r at i ve expr ess-i ng t he count er Enl ess-i ght enment concer n f or col l ect ive cul t ur al and r el i gious di -ver sit y. In t hi s r espect , t he l aw bot h i s a usef ul cor r ect i ve t o excessi vel y i ndi vi -dual i st i c appr oaches t o t he quest ion of r el i gious f r eedom and at t he same t ime i s opent ext ur ed and r adi cal l y i ndet er mi -nat e i n i t s pr ovi sion f or gr oup-di f f er en-t i aen-t ed cl ai ms. These en-t wo cl usen-t er s of nor ms mer el y r epr oduce t he di l emmas we ar e gr appl i ng wi t h wi t hin t he st r uc-t ur e of l egal ar gumenuc-t wi uc-t houuc-t pr ovi di ng any subst ant ive means f or t he r esol ut ion of conf l i ct s bet ween r i ght s in speci f ic cont ext s. For t he nor m of f r eedom of r el i gion or bel ief t o have any meani ng, it must t her ef or e advance "ext er nal" or "obj ect i ve" val ues t hat can onl y be gene-r at ed t hgene-r ough ongoi ng i nt egene-r -subj ect ive di scour se and t he sear ch f or consensus bot h wi t hi n and bet ween di f f er ent no-mi an sover ei gn spher es of t hi ck pai deic meani ng. 17

16 Dyah Wij aningsih, “ Perubahan Sosial dan Hukum

(Dal am Ancangan dan Pemikir an)” , Jur nal Hukum Vol 14 No. 1 Januar i 2004, Fakul t as Hukum Uni versit as Isl am Sul t an Agung Semarang, hl m. 112-125

17 Pet er G Danchin, “ The Emergence and St ruct ur e of

Rel igious Freedom in Int ernat ional Law” , Jour nal of Law and Rel i gi on, Vol 23 No. 2 2007/ 2008, hl m. 455-534

Kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai bagian dari hak asasi manusia masih menyimpan banyak permasalahan t erut ama ba-gi kelompok minorit as. Pengakuan hukum mulai dari konst it usi sampai ke hukum administ rasi belum secara ot omat is menj amin penegak-annya. Fenomena ini bukan hanya t erj adi di In-donesia melainkan hampir di seluruh dunia.18

Penut up

Sampai saat ini Indonesia mempunyai prest asi yang sangat baik dalam hal penerimaan secara preskript if t erhadap norma-norma hak asasi manusia int ernasional yang diwuj udkan dalam pengat uran di dalam sist em hukumnya mulai dari Konst it usi hingga ke penj abarannya di t ingkat regulasi administ rat if . Hal t ersebut t idak lepas dari pengaruh t ekanan masyarakat int ernasional yang saat ini t engah mengupaya-kan dengan kuat nya proses domest if ikasi nor-ma-norma hak asasi manusia. Di sisi lain, t elah t erj adi resist ensi baik secara t erbuka maupun t ert ut up oleh lembaga-lembaga negara maupun organ-organ administ rasi t erhadap norma-nor-ma hak asasi norma-nor-manusia t erut anorma-nor-ma menyangkut masalah hak at as kebebasan beragama dan ber-keyakinan bagi kelompok minorit as. Hal ini nampak dari munculnya paradok norma yang ada dalam keput usan lembaga peradilan mau pun organ pemerint ahan menyangkut kasus-kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Ref ormasi konst it usi yang mengikut i pro-ses perubahan polit ik pasca runt uhnya rezim ot orit er Soehart o yang pada awalnya dit uj ukan sebagai pint u masuk perbaikan hukum nasional t erut ama mengenai penegakan hak asasi manu-sia t ernyat a j uga t erj ebak dalam sit uasi di at as. Produk-produk hukum lama yang diskriminat if t erhadap pelaksanaan hak at as kebebasan ber-agama dan berkeyakinan t ernyat a masih diper-t ahankan diper-t erudiper-t ama melalui diper-t af sir operasional-nya seiring dengan maj or i t y except i onal ism

yang t ernyat a j uga menj angkau st rukt ur dan polit ik hukum Mahkamah Konst it usi.

18 Biel ef el dt , Hei ner, “ Freedom of Rel igion or Bel ief -A

(13)

kuensinya, t inda-kan-t indakan pelanggaran hak at as kebebasan beragama dan berkeyakinan ke-lompok minorit as masih secara konsist en t er-j adi dan menyebar ke daerah-daerah karena t e-lah mendapat kan legit imasi hukum dan kekua-saan negara.

Pembat asan hukum t erhadap pelaksanaan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan t er-ut ama bagi kelompok minorit as melalui kebij a-kan administ rasi meskipun bias dan t idak valid menurut prinsip-prinsip umum hak asasi manu-sia t et api dalam t at aran prakt is berj alan sangat ef ekt if . Hal t ersebut t erj adi karena sist em po-lit ik dan hukum sangat kondusif unt uk selalu menguat kan kepent ingan mayorit as t anpa ada-nya mekanisme penguj ian lembaga peradilan yang f air dan bebas dari int erf ensi polit ik dan t ekanan publik.

Mencermat i hal diat as, maka nyat alah bahwa penegakan hak asasi manusia t ernyat a akan sangat t ergant ung kepada konst ruksi polit ik hukum nasional dan regional suat u ne-gara. Penormaan hak asasi manusia yang ideal dalam perat uran perundang-undangan akan hanya sebat as di at as kert as apabila para st ake-hol der s sepert i pemerint ah pusat , lembaga per-adilan, lembaga birokrasi, masyarakat polit ik, dan ci vi l soci et y masih j auh pemahamannya t erhadap norma it u sendiri. Bagaimanpun, hak at as kebebasan beragama dan berkeyakinan yang bersumber dari norma-norma int erna-sional akan mengalami kont est asi dengan nilai-nilai agama yang part ikular dari negara dimana hak t ersebut akan dit erapkan, t erut ama agama yang dianut oleh penduduk mayorit as. Salah sat u cara yang dapat pilih sebagai alt ernat if so-lusi dalam menghadapi masalah t ersebut adalah dengan secara konsist en melakukan proses so-sialisasi norma-norma hak asasi manusia yang universal ke semua pemangku ot orit as negara dan kelompok masyarakat sehingga t erwuj ud perilaku yang konsist en.19 Secara prakt ikal yang menj adi proses pent ing dalam pilihan t ersebut adalah dengan melakukan pengembangan

19 Achmad Busro, “ Penegakan Hak Asasi Manusia dal am

Hukum pada Er a Gl obal isasi yang Mul t idimensional ” ,

Jur nal Masal ah-Masal ah Hukum Fakul t as Hukum Uni ver si t as Di ponegor o Semar ang, Vol 37 (3) Tahun 2008, hl m 174-180

cana hak asasi manusia t erut ama hak at as ke-bebasan beragama dan berkeyakinan secara t erbuka, obyekt if , dan bebas dari prasangka (pr ej udi ce) dalam lingkaran-lingkaran kemasya-rakat an umat Muslim di Indonesia sehingga me-reka sebagai umat mayorit as akan menj adi pilar yang kokoh unt uk mewuj udkan t oleransi dan kerukunan ant ar umat beragama. Dengan demikian maka polit ik hukum yang t ercipt a da-lam ranah publik dengan sendirinya akan dapat memberikan dukungan t erhadap penikmat an hak at as kebebasan beragama dan berkeyakin-an t erut ama bagi kelompok minorit as. Apabila hak at as kebebasan beragama dan berkeyakin-an t elah t erpenuhi dberkeyakin-an t erlindungi maka ber-dasarkan sebuah penelit ian akan meningkat pula produkt if it as sosial dan ekonomi masya-rakat sebagaimana disimpulkan sebagai berikut :

The empir i cal dat a ar e cl ear on t wo poi nt s. Fi r st , r el i gious f r eedom i s par t of t he bundl ed commodi t y” of human f r ee-doms t hat ener gi ze br oader pr oduct ive par t i ci pat ion i n civi l societ y by al l r el i -gi ous gr oups, whi ch i s conduci ve t o t he consol i dat ion of democr acy and t o socio-economi c pr ogr ess. Secondl y, r el i gi ous f r eedom r educes conf l i ct and i ncr eases secur it y by, among ot her t hings, r emov-i ng gr emov-ievances r el emov-i gemov-ious gr oups have t owar d gover nment s and t hei r f el l ow ci t i -zens. 20

Daft ar Pust aka

Al-Makassary, Ridwan & Bamualim Chaidar S. “ Dilema Aplikasi Syari’ ah, Sekularisme dan Hak Asasi Manusia di Indonesia” . Jur -nal Hukum Republ i ca, Vol 3 No. 1 Tahun 2003. Fakult as Hukum Universit as Lan-cang Kuning Pekanbaru;

As’ ad, Muhammad. “ Ahmadiyah and t he Free-dom of Religion in Indonesia, Journal of Indonesian Islam” . Pr ogr am Pascasar j ana IAIN Sunan Ampel Sur abaya, Vol 03 (02) Desember 2009;

Asshiddiqie, Jimly. 2010. Konst i t usi dan Konst i -t usi onal i sme Indonesi a. Jakart a: Sinar Graf ika;

20 Brian J Gri m, “ Rel igious Freedom and Social Wel l

(14)

Bielef eldt , Heiner. “ Freedom of Religion or Be-lief -A Human Right under Pressure” . Ox-f or d Jour nal oOx-f Law and Rel i gion, doi: 10, 1093/ oj lre/ rwr018, 2012;

Busro, Achmad. “ Penegakan Hak Asasi Manusia dalam Hukum pada Era Globalisasi yang Mult idimensional” . Jur nal Masal ah-Masa-l ah Hukum, Vol 37 No. 3 Tahun 2008 Fa-kult as Hukum Universit as Diponegoro Se-marang;

Danchin, Pet er G. “ The Emergence and St ruc-t ure of Religious Freedom in Inruc-t ernaruc-t ional Law” . Jour nal of Law and Rel i gi on, Vol 23 No. 2 2007/ 2008;

---. “ Who is t he “ Human” in Human Right s? The Claims of Cult ure and Religion” . Ma-r yl and JouMa-r nal of Int eMa-r na-t ional Law, Vol 24 No. 99 2009;

Dwi, Agnes. “ Solidarit as Bagi Kebebasan Ber-agama” . Jur nal Maar i f , Vol 5 No. 2 Tahun 2010. Maarif Inst it ut e Jakart a;

Evans, Malcolm. “ Advancing Freedom of Religi-on or Belief : Agendas f or Change” . Ox-f or d Jour nal oOx-f Law and Rel i gion, doi: 10, 1093/ oj lr/ rwr002, 2011;

Grim, Brian J. “ Religious Freedom and Social Well-being: A Crit ical Appraisal” . Int er -nat ional Jour nal f or Rel i gious Fr eedom, Vol 2 No. 1 2009;

Haj iannor. “ Pluralisme Agama dalam Perspekt if Filsaf at Perennial” . Jur nal It t i had, Vol 8 No. 13 April 2010. Kopert is Wilayah XI Ka-limant an;

Hasibuan, Albert . “ Polit ik Hak Asasi Manusia (HAM) dan UUD 1945” . Jur nal Law Re-vi ew, Vol VIII No. 1 Juli 2008. Fakult as Hukum Universit as Pelit a Harapan Jakar-t a;

Hudaeri, Mohamad. “ Islam dan Hak Asasi Ma-nusia: Respon Int elekt ual Muslim” . Jur nal Al -Qal am, Vol 24 No. 3 Tahun 2007. PPPM IAIN Sult an Maulana Hasannudin;

Krispurwana. “ Telesphorus, Dialog Ant aragama dan Tant angan bagi Perdamaian sert a Ke-adilan” . Jur nal Diskur sus, Vol 6 No. 1 Ap-ril 2007. Jakart a: Sekolah Tinggi Filsaf at Driyakarya;

Lubis, Todung Mulya. “ Menegakkan Hak Asasi Manusia, Menggugat Diskriminasi” . Jur nal Hukum dan Pembangunan, 39 No. 1 Ta-hun 2009. Fakult as Hukum Universit as Indonesia;

Margiyono, et al. 2011. Bukan Jal an Tengah, Eksami nasi Publ i k Put usan Mahkamah Konst i t usi t er hadap Undang-Undang No, 1 Tahun 1965 t ent ang Penyal ahgunaan dan/ at au Penodaan Agama. Jakart a: ILRC;

Risse, Thomas, et , al (ed). 2005. The Power of Human Ri ght s: Int er nat i onal Nor ms and Domest i c Change. Cambridge: Cambridge Universit y Press;

The Wahid Inst it ut e. 2010. Lapor an Kebebasan Ber agama/ Ber keyaki nan dan Toler ansi 2010. Jakart a: The Wahid inst it ut e;

Wij aningsih, Dyah. “ Perubahan Sosial dan Hu-kum (Dalam Ancangan dan Pemikiran)” .

Jur nal Hukum, Vol 14 No. 1 Januari 2004 Fakult as Hukum Universit as Islam Sult an Agung Semarang;

Referensi

Dokumen terkait

Disamping dua resiko di atas, resiko lain yang juga “mengganggu” para investor untuk melakukan aktivitasnya adalah jika suatu saham di suspend atau diberhentikan perdagangannya

Tingginya kebutuhan masyarakat akan pengelolaan dokumen membuat tinggi pula permintaan akan pemenuhan jasa tersebut, produk Self Service Document Centre Box merupakan

Dari berbagai definisi itu dapat diambil kesimpulan bahwa hakikat bahasa itu sistematik (bersistem), arbitrer (manasuka), ujaran (berupa ucapan), simbol (terdiri

Berdasarkan hasil analisis untuk tes siklus I dan siklus II, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar untuk siswa kelas VIIIB SMP Negeri 2 Belopa Kabupaten Luwu

Penelitian ini menggambarkan bahwa sebagian besar mahasiswa studi akhir Fakultas Keperawatan Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya mengalami stres sedang dalam

Tesis saya yang berjudul: PENGARUH ALLOPURINOL TERHADAP KADAR GLUTATHIONE SULFHYDRYL (GSH), NILAI %VEP 1 , SIX MINUTE WALKING TEST , DAN SKOR CAT PASIEN PENYAKIT

Penelitian ini bertujuan untuk melihat efek penerapan Pivotal Response Treatment dengan teman sebaya sebagai mediator untuk meningkatkan inisiasi sosial pada anak

Penyusunan skripsi dengan judul “Hubungan antara Kualitas Hidup dengan Harga Diri Lansia yang Tinggal di Rumah di RW.8 Bratang Binangun Kelurahan Barata Jaya