• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMENSI PENGEMBANGAN KOMODITAS SAGU DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN BERBASIS SUMBERDAYA LOKAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "IMENSI PENGEMBANGAN KOMODITAS SAGU DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN BERBASIS SUMBERDAYA LOKAL"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

ii

RASI ILMIAH

DISAMPAIKAN PADA RAPAT TERBUKA SENAT

UNIVERSITAS PAPUA DALAM RANGKA WISUDA

PROGRAM MAGISTER, SARJANA, DAN DIPLOMA

UNIVERSITAS PAPUA

MANOKWARI

2017

O

IMENSI PENGEMBANGAN KOMODITAS

SAGU DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN

BERBASIS SUMBERDAYA LOKAL

Prof. Dr. Ir. Barahima Abbas, M.Si

(2)

i

P

Uji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah S.W.T, PRAKATA Tuhan yang Maha Esa atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga

pada hari ini kita dapat berkumpul dalam upacara resmi wisuda lulusan Universitas Papua (UNIPA). Orasi ilmiah ini merupakan akumulasi hasil pemikiran, pengalaman, referensi, diskusi dan penelitian yang menginspirasi penulis untuk dapat menyampaikan orasi ilmiah yang berjudul “ Dimensi Pengembangan Komoditas Sagu dalam Perspectif Pembangunan Berbasis Sumberdaya Lokal” mudah-mudahan orasi ilmiah ini dapat menginspirasi kita menuju kondisi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang diinginkan yaitu sejahtera dan berdaya saing tinggi ditinjau dari segi dimensi pembangunan.

Orasi ilmiah ini menguraikan: (1) Komoditas sagu dalam perspective pembangunan ditinjau dari beberapa aspek yaitu potensi komoditas sagu, estimasi kehilangan sumberdaya hayati sagu, pengembangan penelitian berbasis sagu, invensi berbasis komoditas sagu, dan pemngembangan inovasi dan entrepreneurship; (2) Agroindustri berbasis sagu ditinjau dari pengembangan industri perkebunan, industri pengolahan pati sagu, industri pangan berbasis sagu, industri pengolahan limbah sagu, dan industry perseroan berbasis sagu; dan (3) Tingkat kesiapan teknologi berbasis sagu.

(3)

ii

Terima kasih yang tulus kami sampaikan kepada Rektor dan Senat yang telah memberikan kesempatan dan kehormatan kepada saya untuk menyampaikan orasi ilmiah, Kepada keluarga, rekan-rekan dosen, tenaga kependidikan dan para undangan yang berkenan hadir dan mengikuti dengan hikmat acara ini, kami sampaikan terima kasih.

Manokwari, 27 Juli 2017

(4)

iii II. KOMODITAS SAGU DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN... 1.Potensi Komoditas Sagu…... 2.Estimasi Kehilangan Sumberdaya Hayati sagu... 3.Pengembangan Sumberdaya local Berbasis Sagu... 4.Invensi Berbasis Komoditas Sagu………... 5.Pengembangan Inovasi dan Entrepreneurship...

III. AGROINDUSTRI BERBASIS SAGU…...

(5)

iv 10. Analisis Tingkat Kesiapan Teknologi (TKT) Berbasis…...

DAFTAR GAMBAR

No. Teks

1. Skema perkembangan penelitian berbasis sagu………. 2. Penampilan prototipe mesin-mesin yang telah didesain

oleh para peneliti Unipa………

3. Penampilan biakan murni jamur sagu unggul (1A) dan penampilan pakan ikan dari ampas sagu

(1B)………

4. Prototipe produk pangan berbasis sagu yang telah

dikembangkan……….. 5. Desain kemasan produk pangan yang telah

(6)

v

6. Penampilan pakan ternak berbasis limbah sagu (A) dan

penampilan gula cair berbasis sagu (B)……….

7. Pembibitan yang memakai bahan tanaman dari saker dan menggunakan polybag……….. 8. Prototipe pakan ikan yang telah dikembangkan………….. 9. Penampilan jamur sagu yang dikembangkan untuk Memanfaatkan limbah ampas sagu………..

(7)

vi

RINGKASAN

ismillahi Rahmanirrahiim

Assalamu Alaikum Warahamatullahi Wabarakatuh Selamat Siang

Salam Sejahtera Untuk Kita Semua

Yang terhormat Gubernur Provinsi Papua Barat Yang terhormat Rektor Universitas Papua (UNIPA) Yang terhormat Ketua Senat UNIPA

Yang terhormat Sekretaris dan Para Anggota Senat UNIPA

Yang terhormat Forkompimda Kabupaten dan Provinsi Papua Barat Yang terhormat Ketua dan Anggota MRP Papua Barat

Yang terhormat Ketua dan Anggota DPRD Provinsi Papua Barat Yang terhormat Bupati Kabupaten Manokwari

Yang terhormat Ketua dan Anggota DPRD Kabupaten Manokwari Yang terhormat Para Pembatu Rektor UNIPA di Lingkungan UNIPA Yang terhormat Para Dosen di Lingkungan UNIPA

Yang terhormat Pimpinan Perguruan Tinggi, Kepala Dinas, Kepala Kantor, Kepala Badan Instansi Otonom dan Vertikal, Kepala BUMN, dan BUMD Yang saya hormati Para Tokoh Agama, Kepala Suku, Toko Adat, Tokoh Pemuda, Tokoh Perempuan, Civitas Akademika UNIPA, Wisudawan/ Wisudawati beserta keluarga berbahagia

Yang saya hormati Para tamu undangan, teman sejawat, kawan seprofesi, handai taulan, dan hadirin semuanya.

Puji Syukur kita panjatkan Kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala yang telah

melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah Nya, sehingga pada hari ini kita berkumpul di tempat ini dalam keadaan sehat wal afiat.

Saya mengucapkan terima kasih dan merasa terhormat, atas izin Rektor dan Senat Universitas Papua, pada hari ini saya mendapat kesempatan menyampaikan orasi ilmiah pada acara rapat terbuka Senat Univeritas Papua dalam rangka Wisuda magister, sarjana, dan Diploma.

Ketua Senat, Sekretaris Senat, para anggota Senat Universitas Papua dan para hadirin yang saya hormati. Perkenankanlah saya menyampaikan orasi

(8)

vii

ilmiah yang berjudul “Dimensi Pengembangan Komoditas Sagu dalam Perspektif Pembangunan Berbasis Sumber Daya Lokal”. Naskah orasi ilmiah

ini disusun sesuai dengan bidang ilmu yang ditekuni dan dikembangkan selama ini.

Hadirin yang saya hormati

nugrah Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan kepada Bangsa Indonesia pada umumnya dan Tanah Papua pada khususnya berupa kekayaan tumbuhan penghasil karbohidrat yang tinggi yaitu tanaman sagu, perlu dikelola dan dimanfaatkan secara bijaksana untuk kemakmuran masyarakat Papua dan Papua Barat pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Potensi yang besar pada komoditas sagu perlu mengalami transformasi agar menjadi sesuatu yang bermakna dan memiliki nilai ekonomi tinggi.

Pemanfaatan sumberdaya hayati sagu secara berkesinam-bungan dan lestari harus mengacu pada pasal 12 UU LH No 32 tahun 2009 yaitu pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dengan mempertimbangkan kelanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup, keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup dan keselamatan, mutu hidup dan kesejahteraan.

Bapak, Ibu, Hadirin yang saya muliakan

ebijakan pembangunan pertanian seyogyanya didasarkan pada kearifan lokal masing-masing daerah dengan mengoptimalkan pengembangan potensi hayati lokal. Kekuatan utama menuju dan mengakselerasi pembangunan terwujudnya kemandirian pangan di daerah terletak pada keberpihakan kebijakan terhadap pemanfaatan dan pengembangan komoditas unggulan kearifan lokal daerah. Salah satu komoditas kearifan lokal daerah Papua dan Papua Barat yang

A

(9)

viii

memiliki keunggulan kompetitif sebagai penghasilkan karbohidrat yang tinggi adalah komoditas sagu. Di samping itu, sagu memiliki kedudukan yang tinggi dalam budaya Papua Karena merupakan prasyarat yang harus ada dalam upacara adat suku tertentu di Papua. Sunggu ironis jika komoditas sagu tidak menjadi prioritas untuk dikembangan di tanah Papua. Pertemuan Masyarakat Sagu Indonesia (MASI) dengan DPR RI baru-baru ini (11 April 2017) di Jakarta ditanyakan mengapa komoditas sagu tidak menjadi prioritas nasional untuk dikembangkan, jawaban anggota DPR singkat saja yaitu tidak ada daerah yang mengusulkan untuk dikembangkan. Hal tersebut merupakan indikator bahwa keberpihakan kita, fokus kita, dan kebijakan kita belum sepenuhnya mengarah pada pembangunan pengembangan ke arifan local. Agar saintis, pemerintah, pengusaha, dan berbagai elemen masyarakat menaruh perhatian dan keberpihakan tentang pembangunan komoditas sagu maka secara singkat potensi komoditas sagu diuraikan berikut ini:

Potensi pemanfaatan komoditas tidak diragukan lagi yaitu semua bagian tanaman sagu dapat bermanfaat untuk kehidupan masyarakat. Potensi sumber daya genetik (SDG). Berbagai penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa SDG sagu di Indonesia pada umumnya dan Tanah Papua pada khususnya memiliki keragaman yang tinggi dan tanah Papua merupakan pusat keragaman genetic tanaman sagu paling tinggi.

(10)

ix

Potensi produksi. Jenis sagu unggul Papua memiliki kemampuan menghasilkan pati kering antara 300 - 500 kg/pohon. Bila jarak tanam 9 m x 9 m maka terdapat 123 rumpun/ha, sehingga didapat 49 ton pati sagu per hektar (ha) dengan asumsi setiap pohon rata-rata menghasilkan pati 400 kg/pohon setelah jangka waktu delapan sampai sepuluh tahun. Selanjutnya akan dihasilkan 49 ton/ha per tahun dengan asumsi hanya satu pohon yang dapat di panen per rumpun per tahun. Sungguh luar biasa potensi tanaman sagu sebagai penghasil karbohidrat yang tinggi yang selama ini merupakan komoditas yang dikesampingkan atau belum tergarap secara maksimal.

Potensi areal tegakan. Berdasarkan data yang ada menunjuk-kan bahwa sekitar 2.250.000 hektar hutan sagu dan 224.000 hektar kebun sagu terdapat di dunia, diperkirakan seluas 1.250.000 hektar hutan sagu dan 148.000 hektar kebun sagu tersebar di Indonesia dan diperkirakan bahwa di Papua terdapat 1.200.000 hektar hutan sagu dan 14.000 hektar kebun sagu. Distribusi luas areal tegakan sagu di Indonesia tidak merata. Data menunjukkan bahwa 92% areal sagu berada di pulau Papua dan 8% areal sagu berada di pulau-pulau lainnya di Indonesia.

(11)

x

E

Bapak, Ibu, Hadirin yang saya banggakan

stimasi kehilangan sumberdaya local Papua dari komoditas sagu. Studi populasi hutan sagu yang telah dilakukan menunjukkan bahwa

(12)

xi

P

A

Bapak, ibu, Hadirin yang saya hormat

engembangan Sumberdaya Lokal Berbasis Sagu menunjukkan suatu kemajuan, terlihat dari munculnya berbagai macam organisasi yang memfokuskan aktivitasnya pada kajian sagu. Penelitian, pengetahuan, dan teknologi merupakan suatu rangkaian yang tak terpisahkan. Kajian komoditas sagu sejak Symposium International Sago Palm yang pertama sampai yang ke-12 baru-baru ini dilaksanakan di Tokyo, Jepang berbagai seminar sagu nasional dan lokal telah melahirkan banyak kajian, ide-ide cemerlang, dan invensi untuk pengembangan tanaman sagu. Tingkat perkembangan penelitian berbasis komoditas sagu masih berada pada posisi invensi atau berada pada level ke 2 dari 6 level yang harus dilalui untuk mencapai tujuan akhir penelitian yaitu kondisi masyarakat sejahtera.

Hadirin yang berbahagia

(13)

xii

Analisis tingkat kesiapan teknologi (TKT) berbasis sagu yang dapat berkembang menjadi inovasi adalah: (1) Teknologi estate/perkebunan berada pada level TKT sama dengan 2.08 atau setara dengan 41.56%, (2) Teknologi pangan berada pada level TKT sama dengan 2.82 atau setara dengan 56.35%, (3) Teknologi pakan berada pada level TKT sama dengan 2.10 atau setara dengan 42.09%, (4) Teknologi serat berada pada level TKT sama dengan 0.65 atau setara dengan 12.96%, (5) Teknologi ekstraksi berada pada level TKT sama dengan 2. 22 atau setara dengan 44.48%, (6) Teknologi fermentasi berada pada level TKT sama dengan 2.16 atau setara dengan 43.16%, (7) Teknologi penanganan limbah berada pada level TKT sama dengan 2.02 atau setara dengan 40.40%, (8) Teknologi penunjang ekstraksi berada pada level TKT sama dengan 3.59 atau setara dengan 71.81%, dan (9) Teknologi Nano berada pada level TKT sama dengan 0.07 atau setara dengan 1.48%. Secara keseluruhan level TKT pada komoditas sagu yang dicapai sampai saat ini yaitu berada pada level TKT 1.97 atau setara dengan 39%.

Bapak, ibu, Hadirin yang saya hormat

erdasarkan uraian fakta, konsep, harapan, dan intuisi yang berkaitan dengan topik yang telah diutarakan dalam orasi ilmiah ini, maka beberapa hal penting yang menjadi kesimpulan adalah: 1) Komoditas sagu merupakan komoditas kearifan lokal dan memiliki nilai strategis untuk dikembangkan, sehingga diperlukan keberpihakan semua pihak dan kebijakan untuk menjadikan komoditas sagu sebagi komoditas unggulan yang perlu dan strategis untuk dikembangkan. 2) Akademisi telah banyak berbuat dalam melakukan berbagai macam kajian untuk mengungkapkan solusi terhadap berbagai persoalan komoditas sagu, tetapi aktifitas yang dilakukan itu masih berada pada level invesi. 3) Kerjasama dengan berbagai kalangan sangat diperlukan untuk mengakselerasi transformasi invensi berbasis sagu menjadi

(14)

xiii

(15)

1

BAB I. PENDAHULUAN

nugrah Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan kepada Bangsa Indonesia pada umumnya dan Tanah Papua pada khususnya berupa kekayaan tumbuhan penghasil karbohidrat yang tinggi yaitu tanaman sagu, perlu dikelola dan dimanfaatkan secara bijaksana untuk kemakmuran masyarakat Papua dan Papua Barat pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Potensi yang besar pada komoditas sagu perlu mengalami transformasi agar menjadi sesuatu yang bermakna dan memiliki nilai ekonomi tinggi.

Potensi sumberdaya hayati sagu belum dimanfaatkan secara optimal ditandai dengan: (1) tegakan sagu yang siap panen sebagian besar tidak dipanen yang pada akhirnya mati dan kembali ke alam, (2) alat ekstraksi sagu yang digunakan oleh masyarakat lokal umumnya masih bersifat tradisional, sehingga kemampuan panen masih rendah, (3) tepung pati hasil ekstraksi masyarakat masih memiliki kandungan air yang tinggi sehingga tepung tidak dapat bertahan lama dan menyulitkan dalam distribusi, (4) tataniaga pati sagu belum terbentuk sebagaimana mestinya sehingga terjadi ketimpangan antara produk pati sagu di sentra produksi sagu dan di daerah perkotaan, dan (5) harga tepung pati sagu di perkotaan belum mampu bersaing dengan harga tepung pati dari sumber lain.

Pemanfaatan sumberdaya hayati sagu secara berkesinambungan dan lestari harus mengacu pada pasal 12 UU LH No 32 tahun 2009 yaitu pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dengan mempertimbangkan kelanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup, keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup dan keselamatan, mutu hidup dan kesejahteraan.

(16)

2

Aspek sumberdaya genetik. Berpedoman pada banyaknya haplotipe yang dijumpai dibeberapa tempat pengambilan sampel tanaman sagu, maka Papua merupakan pusat keragaman tanaman sagu karena di Papua ini ditemukan jumlah haplotipe paling banyak dan terdapat populasi alami (Abbas et al. 2010; Abbas, 2017). Hedrick (1983) mengungkapkan bahwa keragaman hayati dengan jumlah yang besar terdapat pada populasi alami (natural population). Berdasarkan pernyataan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa tanaman sagu yang ada di Papua merupakan populasi alami (bukan populasi introduksi). Total genotipe sagu yang terdeteksi di seluruh Indonesia sesuai dengan penanda gen Wx yaitu sebanyak 14 genotipe yang diberi nama G01, G02, G03, ...G14). Sebanyak 13 genotipe terdapat di Papua yang menunjukkan bahwa tanah Papua memiliki SDG sagu paling banyak dan beragam berdasarkan kemampuannya menghasilkan pati (Abbas dan Ehara 2012). Pengujian marker molekuler lainnya (RAPD dan SSR) juga menunjukkan keragaman tinggi (Abbas et al. 2009; Abbas et al. 2008). Data molekuler yang bervariasi berkesesuaian dengan data morfologi yang beragam (Dewi et al. 2016).

(17)

3

karbohidrat yang tinggi yang selama ini merupakan komoditas yang dikesampingkan atau belum tergarap secara maksimal.

Aspek tegakan alami. Berdasarkan data yang ada menunjukkan bahwa sekitar 2.250.000 hektar hutan sagu dan 224.000 hektar kebun sagu terdapat di dunia, diperkirakan seluas 1.250.000 hektar hutan sagu dan 148.000 hektar kebun sagu tersebar di Indonesia dan diperkirakan bahwa di Papua terdapat 1.200.000 hektar hutan sagu dan 14.000 hektar kebun sagu (Flach 1997). Distribusi luas areal tegakan sagu di Indonesia tidak merata. Pulau Papua memiliki luas areal sagu terbesar dibanding dengan pulau lainnya.

(18)

4

BAB II. KOMODITAS SAGU DALAM PERSEPECTIF PEMBANGUNAN

ebijakan pembangunan pertanian seyogyanya didasarkan pada kearifan lokal masing-masing daerah dengan mengoptimalkan pengembangan potensi hayati lokal. Kekuatan utama menuju dan mengakselerasi pembangunan terwujudnya kemandirian pangan di daerah terletak pada keberpihakan kebijakan terhadap pemanfaatan dan pengembangan komoditas unggulan kearifan lokal daerah. Salah satu komoditas kearifan lokal daerah Papua dan Papua Barat yang memiliki keunggulan kompetitif sebagai penghasilkan karbohidrat yang tinggi adalah komoditas sagu. Di samping itu, sagu memiliki kedudukan yang tinggi dalam budaya Papua Karena merupakan prasyarat yang harus ada dalam upacara adat suku tertentu di Papua. Sunggu ironis jika komoditas sagu tidak menjadi prioritas untuk dikembangan di tanah Papua. Dalam pertemuan dengan DPR RI baru-baru ini (11 April 2017) di Jakarta ditanyakan mengapa komoditas sagu tidak menjadi prioritas nasional untuk dikembangkan, jawaban anggota DPR singkat saja yaitu tidak ada daerah yang mengusulkan. Hal tersebut merupakan indikator bahwa keberpihakan kita, fokus kita, dan kebijakan kita belum sepenuhnya mengarah pada pengembangan ke arifan lolal. Agar saintis, pemerintah, pengusaha, dan berbagai elemen masyarakat menaruh perhatian dan keberpihakan tentang pengembangan komoditas sagu maka secara singkat potensi komoditas sagu diuraikan berikut ini:

(19)

5

2.1. Potensi Komoditas Sagu 2.1.1 Potensi Pemanfaatan

Pati sagu dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan makanan, bahan baku industri, dan produk sampingan. Jong (2005) menyebutkan pati sagu dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan (food), bukan bahan makanan (non food), hidrolisis, dan industri fermentasi. Produksi tanaman sagu selain pati yaitu pelepah dan bagian luar empulur dari batang dapat digunakan sebagai pulp dan bahan untuk pembuatan kertas (Kasim et al. 1995).

Pati sagu sebagai sumber bahan makanan telah berlangsung sejak dahulu di sebagian daerah di Indonesia seperti Papua, Maluku, dan Sulawesi. Tidak diketahui dengan pasti dan tidak ditemukan data yang menjelaskan sejak kapan penduduk di beberapa daerah di Indonesia mengenal tanaman sagu sebagai sumber karbohidrat dan menggunakan sebagai bahan makan pokok. Sebagian penduduk di tiga pulau tersebut menggunakan pati sagu sebagai bahan makan pokok di samping beras. Wahid (1988) melaporkan bahwa sebagian besar penduduk di Irian Jaya (Papua) dan Maluku menggunakan pati sagu sebagai bahan makanan pokok. Selanjutnya Ariani et al.

(2005) mengungkapkan pola makan sagu penduduk di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua. Pati sagu selain digunakan sebagai bahan makanan pokok juga dibuat berbagai macam kue tradisional seperti bagea, cendol sagu, sinole, pappeda, lempeng sagu, sagu gula, sagu asar, dan sagu tumbuk (Rusliana, 1979). Penelitian belakangan ini menunjukkan bahwa pati sagu dapat dijadikan sebagai bahan baku dalam pembuatan mi (Purwani et al., 2005; Haryadi, 2005) dan bihun (Suryani dan Haryadi, 1998).

(20)

6

penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pati yang dihasilkan oleh tanaman sagu dapat dikonfersi menjadi etanol (Pranamuda et al. 1995), alkohol (Haska 1995), siklodekstrin (Solichien 1995), sirup glukosa (Sarungallo dan Murtiningrum 2005), dan pembuatan plastik biodegredasi (Okasaki et al. 2005). Di samping pati sagu bagian lain dari tanaman sagu dapat dijadikan pulp dan bahan untuk pembuatan kertas (Kasim et al. 1995). Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pati sagu dapat dimanfaatkan oleh berbagai macam industri seperti industri makanan, industri pakan ternak, farmasi, industri plastik, dan industri kertas. Ahli gizi Jepang menyampaikan bahwa sumber karbohidrat dari tepung terigu yang digunakan sebagai sumber karbohidrat selama ini di Jepang membuat anak-anak mereka alergi, setelah diganti dengan sumber karbohidrat dari tepung sagu anak-anak mereka tidak lagi alergi sehingga diwacanakan akan mengganti sumber karbohidrat mereka dengan tepung sagu. Hal tersebut disampaikan pada Simposium Internasional Sagu di Makassar pada Tanggal 23 Juli 2016.

(21)

7

hemisellulosa, dan lignin) dapat digunakan sebagai kompos (Rumawas 1996; Bujang 1996) Perkembangan penelitian belakangan ini ke arah pemanfaatan hasil sampingan tanaman sagu yang merupakan bahan buangan industri pengestrak sagu dapat digunakan sebagai bioherbisida dan biogas. Utami et al. (2005) mengungkapkan bahwa bahan buangan (sago waste) dapat menghambat pertumbuhan gulma Mikania micrantha

HBK bila digunakan sebagai mulsa. Selanjutnya (Doelle, 1998) mendokumentasikan bahwa bahan buangan dari hasil ekstraksi tanaman sagu dapat dijadikan biogas melalui fermentasi anaerob, diperkirakan 1 m3 bahan buangan dapat menghasilkan

1 m3 biogas yang mengandung 70% methane dan 30% CO 2.

2.1.2. Potensi Sumber Daya Genetik (SDG) Sagu

(22)

8

karakter morfologi yaitu secara keseluruhan terdapat 96 varietas yang dijumpai dari delapan lokasi (Waropen, Salawati, Wasior, Inanwatan, Onggari, Sentani, Kaureh, dan Windesi) di Papua. Yamamoto (2005) menjumpai tiga varietas tanaman sagu di Kendari Sulawesi Tenggara. Selanjutnya Ehara et al (2000) menjumpai 11 varietas di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, dan Ambon Utara berdasarkan karakteristik morfologi.

Topik penelitian cpDNA yang dikembangkan pada tanaman sagu menunjukkan bahwa cpDNA tanaman sagu bervariasi yaitu dijumpai 10 haplotipe di seluruh Indonesia. Berdasarkan analisis cpDNA menunjukkan bahwa hanya 10 type atau jenis sagu yang ada di seluruh Indonesia sejak dahulu kala. Tujuh penotipe terdapat di Tanah Papua dan tiga penotipe terdapat selain Papua dan dua penotipe yang dijumpai terdapat pada beberapa pulau (sharing haplotype). Berdasarkan karakteristik cpDNA yang sangat konservatif, maka variasi cpDNA yang terdeteksi mencerminkan keadaan ratusan atau ribuan tahun yang lalu. Bila diprediksi terjadi migrasi tanaman sagu sejak dahulu kala dari suatu pulau ke pulau lainnya melalui berbagai macam cara maka hanya dua penotipe (H02 dan H07) yang mengalami migrasi (Abbas et al. 2010).

(23)

9

merupakan sumber keragaman tanaman sagu karena di pulau tersebut dijumpai spesifik haplotipe. Vendramin et al. (1999) mengungkapkan bahwa banyaknya jumlah haplotipe mencerminkan tingginya variasi atau keragaman pada suatu populasi dan Mengoni et al. (2003) mendokumentasikan bahwa perbedaan haplotipe kloroplas pada tiap-tiap populasi mencerminkan perbedaan geneticentity (sumber variasi). Berdasarkan penanda molekuler kodominan dengan menggunakan gen Wx genom inti menunjukkan bahwa tingkat heterozigositas tanaman sagu pada berbagai populasi di Indonesia bervariasi dilihat dari sisi perbandingan nilai heterozigot dengan homosigot. Keragaman heterozigot gen Wx

relevan dengan kualitas dan kuantitas produksi pati tanaman yang juga beragam. Total penotype sagu yang terdeteksi di seluruh Indonesia sesuai dengan penanda gen Wx yaitu sebanyak 14 genotipe yang diberi nama G01, G02, G03, ...G14). Sebanyak 13 genotipe terdapat di Papua yang menunjukkan bahwa tanah Papua memiliki SDG sagu paling banyak dan beragam berdasarkan kemampuannya menghasilkan pati (Abbas dan Ehara 2012). Genotipe spesifik dijumpai di Serui (G04) dan Palopo Sulawasi Selatan (G09). Sebanyak tiga penotipe (G05, G11, dan G13) terdistribusi pada dua populasi, sedang penotipe yang lain terdistribusi pada lebih dari dua populasi. Genotipe yang paling banyak ditemukan pada populasi (sharing) yaitu genotipe G01 kemudian diikuti oleh penotipe G06. Sesuai dengan marker cpDNA dan marker gen Wx

menunjukkan Tanah Papua paling kaya SDG sagu.

2.1.3. Potensi Agronomi

(24)

10

toleran terhadap pH rendah, dan konsentrasi Al, Fe, dan Mn yang tinggi, (c) dapat dipanen kapan saja setelah mencapai umur kira-kira 8 – 10 tahun, (d) dapat dipanen secara terus menerus tanpa memperbaharui pertanaman karena terbentuk banyak anakan, (e) mempunyai kemampuan menghasilkan karbohidrat yang tinggi persatuan luas dan waktu, dan (f) relatif tidak diperlukan pemeliharaan yang intensif seperti halnya dengan tanaman palawija dan sayur-sayuran. Potensi tersebut menunjukkan kepada kita kelebihan yang luar biasa yang dimiliki oleh komoditas sagu.

Sagu (Metroxylon sp.) mempunyai daya adaptasi yang tinggi pada lahan marginal dan lahan kritis yang tidak memungkinkan pertumbuhan optimal bagi tanaman pangan dan tanaman perkebunan. Karakteristik bioekologi sagu demikian ini, merupakan potensi sangat berarti dalam memanfatkan lahan marginal dan lahan kritis yang cukup luas di Indonesia, menunjang ketahanan pangan dalam negeri dan sumber bahan baku industri serta dapat berperan sebagai tanaman konservasi.

(25)

11

Persemaian perlu dilakukan baik bahan tanaman yang menggunakan anakan maupun bahan tanaman yang menggunakan biji. Anakan yang telah dipisahkan dari rumpunnya perlu ditumbuhkan dahulu di pembibitan sampai terbentuk akar baru, kemudian dipindahkan ke lahan pertanaman untuk meningkatkan persentase jumlah tanaman yang tumbuh di lapang. Nuyim (1995) mengungkapkan anakan yang digunakan sebagai bibit memiliki persentase tumbuh yang tinggi bila tidak dibuang daun tuanya. Pembibitan dapat dilakukan di lahan yang berair dengan sirkulasi air yang baik dan dapat juga dengan menggunakan polybag. Pembibitan di kantong plastik yang dapat dilakukan menyerupai dengan pembibitan yang dilakukan pada kelapa sawit (Flach 2005). Anakan yang akan digunakan sebagai bibit sudah mempunyai dua sampai tiga pelepah daun dan memiliki rizome atau akar rimpang minimal berukuran 5 cm (Abbas et al. 2013).

Penyiapan lahan pertanaman tanaman sagu perlu dilakukan pembersihan lahan, dibuatkan jalur-jalur pertanaman atau ajir, dan dibuatkan lubang tanam. Jarak tanam untuk tanaman sagu yang pernah diteliti yaitu jarak tanam segi empat 4.5, 7.5, 10.5, dan 13.5 meter (m) menghasilkan pertumbuhan tinggi batang tidak berbeda nyata (Shoon et al. 1995). Jarak tanam sebaiknya disesuaikan dengan tipenya. Tipe tanaman sagu yang memiliki kanopi besar dan melebar sebaiknya menggunakan jarak tanam yang lebih besar, sebaliknya tipe yang memiliki kanopi kecil sebaiknya menggunakan jarak tanam yang lebih sempit. Menurut Tan (1982) jarak tanam yang dianjurkan yaitu 10 m x 10 m. Selanjutnya Bintoro (1999) mengungkapkan bahwa tanaman sagu dapat ditanam dengan jarak tanam 6 m x 6 m sampai 10 m x 10 m.

(26)

12

dengan ekstra hati-hati karena akan berdampak pada tingkat pertumbuhan yang rendah dilapang. Nuyim (1995) menggunakan anakan tanaman sagu dengan ukuran bongkol 2.5 sampai 7.0 cm untuk perbanyakan. Bibit yang menggunakan polybag lebih aman dan tingkat pertumbuhan yang tinggi di lapang seperti halnya pada tanaman kelapa sawit.

Pemeliharaan menyangkut penyiangan, pembatasan jumlah anakan, pemupukan, serta pemberantasan hama dan penyakit. Tanaman sagu yang tumbuh secara alami tidak pernah dilakukan penyiangan, tetapi untuk memaksimalkan partumbuhan perlu dilakukan penyiangan seperti halnya yang dilakukan pada tanaman kelapa sawit. Penyiangan yang dilakukan pada tanaman kelapa sawit umumnya diterapkan penyiangan secara parsial yaitu hanya bagian lingkaran pohon tanaman yang disiangi untuk menghemat biaya penyiangan. Pembatasan jumlah anakan perlu dilakukan khususnya pada tipe tanaman sagu yang yang menghasilkan banyak anakan. Bintoro (1999) mengungkapkan bahwa jumlah anakan yang baik dipertahankan dalam satu rumpun sagu yaitu sebanyak empat dengan posisi menempati empat arah dari pohon induk. Pemupukan pada tanaman sagu umumnya tidak dilakukan oleh mayarakat, tetapi kebun sagu yang dikelola secara intensif dilakukan pemupukan untuk memacu pertumbuhan yang mak-simum. Siong (1995) mengungkapkan bahwa pemupukan P dan K pada lahan gambut yang dalam penting untuk pertumbuhan tanaman sagu, tetapi pemupukan dengan N tidak berpengaruh. Pemberantasan hama dan penyakit perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya penghambatan pertumbuhan atau kematian akibat serangan hama dan penyakit. Hama yang dijumpai menyerang tanaman sagu yaitu Botronyopa spp.,

(27)

13

sagu yang masih menggulung, Coptotermes spp. membor bagian pangkal tanaman sagu pada stadia russet (bongkol), dan

Rhynchophoprus spp. meletakkan telur pada tanaman dengan cara membor jaringan tanaman sagu (Flach 1997). Sampai sekarang belum dijumpai laporan yang mengungkapkan adanya penyakit yang menyerang tanaman sagu. Gejala penyakit fisiologis dijumpai pada Pusat penelitian tanaman sagu di Sungai Talau Serawak, Malaysia yaitu pada daun tanaman sagu terdapat bercak kuning, ukuran bongkol mengecil, dan jumlah daun sedikit (Flach 1997).

Pengetahuan masyarakat Papua tentang budidaya sagu diperoleh secara turun temurun dan kebanyakan berhubungan dengan mitos. Budidaya sagu yang dipraktekkan masyarakat meliputi pemilihan jenis sagu berproduksi tinggi, pemilihan bibit, cara tanam, dan pemeliharaan tanaman. Pemilihan bibit didasarkan atas kriteria tertentu menurut asal pengambilan dan tinggi tanaman. Bibit biasanya diambil dari tunas yang berasal dari pangkal batang (bukan dari tunas akar), tunas dari pohon yang siap panen, dan tunas yang terletak di atas permukaan tanah. Tunas yang umum digunakan adalah yang berasal dari pohon yang siap untuk dipanen. Hal ini dilakukan untuk menghindari kerugian sebagai akibat dari pelukaan yang terjadi pada saat pengambilan tunas. Menurut persepsi masyarakat setempat, luka pada pohon induk pada saat pengambilan tunas akan mengganggu proses metabolisme sehingga menurunkan produksi pati.

(28)

14

Inanwatan dan Wandamen melakukan perendaman karena sebagian akar serabut dari bibit dipotong. Perendaman dilakukan untuk merangsang tumbuhnya akar serabut baru. Penanaman dilakukan pada lubang yang berdiameter 20−30 cm dengan kedalaman lubang 25−35 cm. Jarak tanam yang digunakan berkisar antara 8 m x 8 m sampai 10 m x 10 m.

2.1.4. Potensi Produksi

Potensi tanaman sagu sebagai penghasil pati yaitu dapat mencapai 200 – 220 kg/pohon (Jong 1995). Produksi pati kering dari tanaman sagu di Maluku mencapai 345 kg/pohon (Bintoro 1999). Jenis sagu unggul Papua memiliki kemampuan menghasilkan pati kering antara 300 – 500 kg/pohon. Bila jarak tanam 9 m x 9 m maka terdapat 123 rumpun/ha, sehingga didapat 49 ton pati sagu per hektar (ha) dengan asumsi setiap pohon rata-rata menghasilkan pati 400 kg/pohon setelah jangka waktu delapan sampai sepuluh tahun. Selanjutnya akan dihasilkan 49 ton/ha per tahun dengan asumsi hanya satu pohon yang dapat di panen per rumpun per tahun. Sungguh luar biasa potensi tanaman sagu sebagai penghasil karbohidrat yang tinggi yang selama ini merupakan komoditas yang dikesampingkan atau belum tergarap secara maksimal.

2.1.5. Potensi Tegakan

(29)

15

Metrxylon sp ditemukan tersebar luas di Asia Tenggara, Melanesia, dan beberapa pulau di Mikronesia dan Polinesia (McClatchey et al. 2005). Berdasarkan data yang ada menunjukkan bahwa sekitar 2.250.000 hektar hutan sagu dan 224.000 hektar kebun sagu terdapat di dunia, diperkirakan seluas 1.250.000 hektar hutan sagu dan 148.000 hektar kebun sagu tersebar di Indonesia dan diperkirakan bahwa di Papua terdapat 1.200.000 hektar hutan sagu dan 14.000 hektar kebun sagu (Flach 1997). Distribusi luas areal tegakan sagu di Indonesia tidak merata yaitu 92% luas areal sagu berada di pulau Papua dan 8% areal sagu berada di pulau-pulau lainnya di Indonesia.

2.1.6. Potensi Agroindustri Berbasis Sagu

(30)

16

2.2. Estimasi Kehilangan Sumberdaya Hayati Sagu

Studi kasus di Kabupaten Sorong Selatan yaitu luas areal sagu di Kabupaten Sorong Selatan mencapai 311.591 Ha dengan kerapatan rata-rata tegakan sagu fase Belum Masak Tebang (BMT) adalah 87 pohon/Ha, fase Masak Tebang (MT) adalah 68 pohon/Ha, dan fase Lewat Masak Tebang (LMT) adalah 18 pohon/Ha. Total populasi tegakan sagu adalah 173 pohon/Ha (Ihalauw, 2015). Jika potensi hutan sagu tersebut dikalikan dengan luas areal hutan sagu (311.591 Ha), maka populasi sagu fase BMT, fase MT, dan fase LMT secara berurutan adalah 27,1 juta pohon, 21,2 juta pohon, dan 5,6 juta pohon. Rata-rata produksi tepung kering untuk hutan sagu adalah 160 kg per pohon. Estimasi Sumber daya Karbohidrat yang hilang dari pohon sagu lewat masak tebang adalah 5.600.000 x 160 kg = 896.000 ton per tahun. Jika harga tepung sagu kering nilainya 10.000 per kilogram IDR, maka estimasi jumlah uang yang hilang sebesar 8,96 Triliun IDR di hutan sagu per tahun. Mengingat industri korporasi Austindo Nusantara Jaya Agri Papua (ANJ-Agri) Papua dan PT Perhutani sudah memiliki izin pengelolaan hutan sagu seluas 56.055 Ha atau sebesar 18%, sehingga diprediksi dalam wilah konsesi tidak terdapat lagi sagu fase LMT. Berdasarkan kalkulasi tersebut diestimasi sumberdaya hayati sagu yang mampu diselamatkan oleh korporasi baru mencapai 1,6 triliun per tahun.

(31)

17

pohon sagu yang hilang percuma di hutan sagu. Jika Angka 21,6 juta dikalikan dengan kandungan pati per pohon sebesar 160 kg maka diperoleh angka sebesar 2.456.000.000 kg tepung pati kering. Jika angka 2,456 miliar tepung pati dikalikan dengan harga tepung pati kering 10.000 IDR per kg maka diproleh angka sebesar 34,56 triliun IDR per tahun. Angka tersebut luar biasa besarnya kalau digunakan untuk membangun tanah Papua dan angka sebesar itu dapat memacu pergerakan perekonomian di tanah Papua.

Kontribusi komoditas sagu yang diperhitungkan tersebut baru satu sisi, belum kita memperhitungkan sisi lain yaitu kontribusi inovasi yang dikembangkan dari invensi. Prediksi sumbangan komoditas sagu yang sangat besar tersebut dalam pergerakan perekonomian dapat kita peroleh, jika semua pihak (akademisi, pemerintah, bisnis, dan berbagai kalangan masyarakat) bersatu dan fokus serta mengarahkan kebijakan kita untuk mengupayakan pengembangan komoditas sagu.

2.3. Pengembangan Sumberdaya Lokal Berbasis Sagu

Pengembangan Litbang IPTEK Sagu akhir-akhir ini menunjukkan suatu kemajuan, terlihat dari munculnya berbagai macam organisasi yang memfokuskan aktivitasnya pada kajian sagu. Penelitian, pengetahuan, dan teknologi merupakan suatu rangkaian yang tak terpisahkan. Kajian komoditas sagu sejak

Symposium International Sago Palm yang pertama sampai yang ke-12 baru-baru ini dilaksanakan di Tokyo, Jepang berbagai seminar sagu nasional dan lokal telah melahirkan banyak kajian dan ide-ide cemerlang untuk pengembangan tanaman sagu.

(32)

18

kajian telah dilakukan, tetapi belum mendalam dan masih bersifat studi awal (preliminary study). Masih diperlukan study yang mendalam dari berbagai aspek untuk mengaktualisasikan menjadi sesuatu yang memiliki nilai jual yang disebut inovasi.

(33)

19

Gambar 1. Skema perkembangan penelitian berbasis sagu

2.4. Invensi Berbasis Komoditas Sagu

Kajian potensi sumber daya melalui berbagai macam penelitian menghasilkan luaran yang disebut invensi atau temuan. Bentuk invensi dari berbagai luaran penelitian yaitu metode, model, prototipe, desain, rekayasa social, teknologi tepat guna (TTG), karya seni, perlindungan varietas, hak kekayaan intelektual (HKI), paten, indikasi geografis, dan publikasi ilmiah.

(34)

20

penunjang ekstraksi, pengolahan tepung menjadi produk pangan, dan pemanfaatan limbah sagu menjadi pakan ikan dan media tumbuh jamur. Penelitian tersebut telah menghasilkan beberapa invensi dalam bentuk prototipe dan publikasi ilmiah. Prototipe mesin parut dan prototipe mesin pengering tepung sagu yang telah didaftarkan untuk mendapatkan hak paten. Invensi yang dihasilkan Unipa belum banyak yang diadopsi oleh industri dan berkembang lebih lanjut menjadi inovasi. Hanya Produk pangan berbasis sagu yang mulai diadopsi dan dikembangkan oleh industri produk olahan aneka pangan (Mofu dan Abbas, 2015).

(35)

21

Gambar 2. Penampilan prototipe mesin-mesin yang telah didesain oleh para peneliti Unipa. Mesin parut (A), alat ekstraksi (B), alat pengering (C), dan alat baking expantion (D)

Gambar 3. Penampilan biakan murni jamur sagu unggul (A) dan penampilan pakan ikan dari ampas sagu (B)

Gambar 4. Prototipe produk pangan berbasis sagu yang telah dikembangkan. Cake sagu (3A), Cendol sagu (3B), Roti sagu (3C), dan Brownis sagu (3D)

A B

C D

(36)

22

Gambar 5. Desain kemasan produk pangan yang telah dikembangkan

Gambar 6. Penampilan pakan ternak berbasis limbah sagu (A) dan penampilan gula cair berbasis sagu (B)

2.5 Pengembangan Inovasi dan Entrepreneurship

Pengembangan inovasi sagu merupakan hal mutlak yang harus dilakukan untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk berbasis komoditas sagu. Selain istilah inovasi yang telah dikemukan sebelumnya, istilah lain dari inovasi itu adalah “the first application of

science and technology in a new way, with commercial success”. Goal

dari berbagai macam penelitian yang dilakukan adalah invensi. Selanjutnya invensi yang dikembangkan menjadi produk komersialisasi dan mendatangkan keuntungan disebut inovasi. Pengembangan inovasi sangat tergantung pada kemajuan invensi. Komponen penting

(37)

23 dari inovasi adalah sains, desain, rekayasa, dan pasar sehingga perlu melibatkan berbagai profesi (saintis, designer, perekayasa, pemasaran) untuk mempercepat terwujudnya inovasi. Dampak inovasi tergantung dari dua sifat inovasi itu sendiri yaitu disruptif dan pervasif (Darwadi dan Susanthi, 2013). Inovasi disruptif adalah difusi inovasi mensubtitusi fungsi teknologi lain yang telah mapan dan Inovasi pervasif adalah inovasi itu digunakan secara luas untuk berbagai keperluan dari berbagai sektor. Pengembangan suatu komoditi dapat dirasakan manfaatnya, jika sudah sampai pada tingkat inovasi. Kemajuan pengembangan komoditas sagu sampai saat ini yaitu baru sampai pada tingkat invesi dan hanya sebagian kecil yang mencapai tingkat inovasi, sehingga kontribusinya secara luas terhadap perbaikan perekonomian belum dirasakan oleh masyarakat. Pertanyaannya adalah mengapa inovasi sagu pergerakannya begitu lambat, jawabannya sederhana yaitu belum dibuat kebijakan dan regulasi tentang pengembangan komoditas sagu. Ketika kebijakan dan regulasi berpihak pada komoditas sagu, maka dalam jangka waktu yang singkat akan memberikan pengaruh terhadap perbaikan perekonomian. Saintis telah banyak menghasilkan invensi tentang komoditas sagu. Langkah selanjutnya adalah merekayasa dan mendesain invensi agar sesuai dengan selera konsumen dan pasar. Sentuhan kebijakan dan regulasi diperlukan untuk mengakselerasi terwujud inovasi (Abbas, 2015).

(38)

24

sesuatu yang dilakukan karena termotivasi untuk mendapatkan uang. Jika begitu, apakah yang dimaksud dengan entrepreneurship? Jawabnya adalah sesuai dengan definisi yang dikemukakan oleh Prof. Timmons dari Babson College,

Entrepreneur adalah “able to create and build a bussiness or

organisation from practically nathing or make things happen”.

Selanjutnya definisi entrepreneur berdasarkan Prof. Howard Stevenson adalahthe pursuit of opportunity without regards to resources currently controlled. Kedua definisi tersebut cukup

mengantarkan kita memaknai secara mendalam

(39)

25

BAB III. AGROINDUSTRI BERBASIS SAGU

engembangan komoditas sagu dari sektor hulu sampai hilir akan mendorong tumbuhnya berbagai macam industri. Agroindustri yang dapat tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan komoditas sagu adalah: (1) industri perkebunan, (2) industri mekanisasi pertanian yaitu memungkinkan berkembangnya alat parut sagu, alat ekstraksi pati sagu, dan alat pengering pati sagu, (3) industri pangan yaitu industri berbagai macam produk pangan berbasis sagu (makanan berbahan baku sagu), (4) industri pakan yaitu pakan ikan dan ternak, (5) industri biofuel yaitu industri fermentasi melalui pembuatan metanol dan etanol , (6) industri serat yaitu pembuatan kertas, dan plastik bioderadable (7) industri properti yaitu bahan bangunan untuk lantai rumah dari kulit bagian luar, dan (8) Industri teknologi Nano berbasis sagu.

3.1. Industri Perkebunan Sagu

(40)

26

perkebunan sagu, seperti halnya yang diterapkan pada industri perkebunan kelapa sawit.

Gambar 7. Pembibitan yang memakai bahan tanaman dari saker dan menggunakan polybag

3.2. Industri Pengolahan Pati Sagu

(41)

27

3.3. Industri Pangan Berbasis Sagu

Berbagai macam produk pangan berbasis sagu yang sedang dikembangakan dan sudah siap untuk diadopsi oleh industri pengolahan bahan makanan berbasis sagu adalah cake, roti, brownis, cendol, nugget, pempek, pizza, papeda instant, dan berbagai macam kue kering. Prototipe produk kuliner tersebut sudah sesuai dengan selera masyarakat, sudah siap untuk diproduksi skala besar, dan sudah siap untuk bersaing dengan produk kuliner yang berbahan baku sumber karbohidrat lain. Kelebihan utama produk kuliner yang berbasis sagu adalah indeks glukemiknya yang rendah sehingga gula darah di dalam darah tidak berlebihan sesaat setelah dikonsumsi, sehingga terindikasi aman dikonsumsi bagi penderita penyakit gula. Persoalannya adalah industri kuliner di daerah belum berkembang sehingga masih kesulitan dalam mengembangkan dalam skala besar. Industri kuliner mancanegara yang ingin berinvestasi terhadap produk kuliner berbahan baku sagu kami siap menjadi partnernya. Prototipe yang telah dihasilkan menjadi efisien dan kompetitif bila dikembangkan oleh industri. Jika prototipe diproduksi diproduksi oleh penelitinya, maka produknya tidak efisien dan tidak kompetitif.

3.4. Industri Pengolahan Limbah Sagu

(42)

28

Gambar 9. Pelatihan pemanfaatan ampas sagu bagi masyarakat sebagai media jamur di Sorong Selatan

unggul dari jamur sagu telah dikembangkan dan siap digunakan oleh industri budidaya jamur sagu. Penampilan jamur yang dikembangkan untuk pemanfaatan limbah ampas sagu disajikan pada Gambar 9.

Gambar 8. Prototipe pakan ikan yang telah dikembangkan dan siap untuk diadopsi oleh industri pakan dengan sedikit penyempurnaan.

(43)

29

3.5. Industri Perseroan Berbasis Sagu

(44)

30

BAB IV. TINGKAT KESIAPAN TEKNOLOGI BERBASIS SAGU

erdasarkan penelitian yang telah dilakukan dari berbagai institusi yang tertuang dalam proceeding symposium sagu Internasional yang pertama sampai dengan yang ke 12 yang baru-baru ini dilaksanakan di Rikkyo University, Tokyo, Jepang dan berbagai publikasi ilmiah tentang sagu telah menghasilkan banyak invensi. Invensi yang telah dihasilkan itu perlu dikembangkan teknologinya agar mendorong tumbuhnya industri berbasis sagu yang akan melahirkan berbagai inovasi berbasis sagu. Menurut hemat kami teknologi yang potensial dikembangkan berdasarkan hasil invensi berbasis sagu adalah: teknologi perkebunan, teknologi pangan, teknologi pakan, teknologi serat, teknologi ekstraksi, teknologi fermentasi, teknologi limbah, teknologi penunjang ekstraksi, dan teknologi nano. Teknologi potensial berbasis sagu tersebut merupakan grup teknologi yang di dalamnya masih terdapat banyak turunan teknologi yang perlu dikembangkan. Ke sembilan rancangan teknologi itu perlu diukur tingkat kesiapannya dengan menggunakan indicator Teknometer desain dari Ristek. Indikator tingkat kesiapan teknologi (TKT) 1 sampai 9 disajikan pada Tabel 1 sampai Tabel 9:

Tabel 1. TKT1

(45)

31

Tabel 2. TKT2

(46)

32

Tabel 4. TKT4

(47)

33

Tabel 6. TKT6

Tabel 7. TKT7

(48)

34

(49)

35

No Jenis Teknologi TKT1 TKT2 TKT3 TKT4 TKT5 TKT6 TKT7 TKT8 TKT9 TKT yg dicapai % Komplit Indikator

1 Teknologi Estate/Perkebunan 2.08 41.56

a. Tek.Pembibitan 5.00 4.58 3.33 2.88 2.38 2.33 1.54 1.44 0.88 2.71 54.13

b. Te. Pemuliaan 5.00 3.50 2.00 2.00 0.75 1.00 0.00 0.00 0.00 1.58 31.67

c. Tek. Pengelolaan Estate 5.00 4.00 3.00 3.00 1.50 1.00 0.00 0.00 0.00 1.94 38.89

2 Teknologi Pangan 2.82 56.35

a. Tek. Meal 5.00 4.17 4.00 4.00 3.50 3.00 1.08 0.89 0.63 2.92 58.35

b. Tek. Snack 5.00 4.25 4.00 4.00 3.50 3.00 1.08 0.89 0.63 2.93 58.54

c. Tek. Beverage 5.00 4.00 3.44 3.00 2.63 2.00 1.08 0.89 0.63 2.52 50.36

d. Tek. Kemasan 5.00 4.08 4.00 4.00 3.50 3.00 1.08 0.89 0.63 2.91 58.16

3 Teknologi Pakan 2.10 42.09

a. Tek. Pakan Ikan 5.00 4.08 3.56 3.00 2.00 1.00 0.77 0.67 0.50 2.29 45.72

b. Tek. Pakan Ternak 5.00 4.00 3.11 2.00 1.00 1.00 0.62 0.33 0.25 1.92 38.47

4 Teknologi Serat 0.65 12.96

a. Tek. Plastik Bioderadabel 3.00 2.00 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.67 13.33

b. Teknologi Kertas 2.67 2.00 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.63 12.59

5 Teknologi Ekstraksi 2.22 44.48

a. Tek. Fase Basa 3.67 4.25 4.00 4.00 4.00 3.00 2.00 1.78 1.50 3.13 62.65

b. Tek. Fase Kering 3.00 2.83 2.00 2.00 1.00 1.00 0.00 0.00 0.00 1.31 26.30

6 Teknologi Fermentasi 2.16 43.16

a. Tek. BioFuel 3.00 3.17 2.33 2.00 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.28 25.56

b. Tek. Gula Cair/Syrup 3.67 4.00 3.33 3.00 2.00 1.67 1.08 0.78 0.63 2.24 44.77

c. Tek. Kemasan 3.67 4.33 4.00 4.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.63 2.96 59.17

7 Teknologi Penanganan Limbah 2.02 40.40

a. Tek. Limbah Padat 4.33 4.17 4.00 4.00 3.00 3.00 1.00 0.78 0.50 2.75 55.06

b. Tek. Limbah Cair 3.00 3.25 2.33 2.00 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.29 25.74

8 Teknologi Penunjang Ekstraksi 3.59 71.81

a. Tek. Pemarutan/Fraction 5.00 5.00 4.44 4.00 4.00 3.00 3.00 3.00 1.50 3.66 73.21

b. Tek. Pengeringan tepung 4.33 5.00 4.33 4.00 4.00 3.00 3.00 2.00 0.75 3.38 67.59

c. Tek. Kemasan Tepung 4.67 5.00 4.67 4.00 4.00 3.00 3.00 3.00 2.25 3.73 74.63

9 Teknologi Nano 0.07 1.48

a. Nano Bioteknologi 0.67 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.07 1.48

b. Nano Material 0.67 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.07 1.48

c. Nano Food 0.67 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.07 1.48

TKT yang tercapai pada komoditas sagu adalah: 1.97 39.37

(50)

36

(51)

37

KESIMPULAN

erdasarkan uraian fakta, konsep, harapan, dan intuisi yang berkaitan dengan topik yang telah diutarakan dalam orasi ilmiah ini, maka beberapa hal penting yang menjadi kesimpulan adalah: 1) Komoditas sagu merupakan komoditas kearifan lokal dan memiliki nilai strategis untuk dikembangkan, sehingga diperlukan keberpihakan semua pihak dan kebijakan untuk menjadikan komoditas sagu sebagi komoditas unggulan yang perlu dan strategis untuk dikembangkan. 2) Akademisi telah banyak berbuat dalam melakukan berbagai macam kajian untuk mengungkapkan solusi terhadap berbagai persoalan komoditas sagu, tetapi aktifitas yang dilakukan itu masih berada pada level invesi. 3) Kerjasama dengan berbagai kalangan sangat diperlukan untuk mengakselerasi transformasi invensi berbasis sagu menjadi inovasi yang memiliki daya saing dan nilai ekonomi tinggi. 4) Analisis TKT berbasis sagu yaitu berada pada level TKT sama dengan 1.97 atau setara dengan 39% yang berarti kerja cerdas berbagai pihak dalam mengembangkan komoditas sagu masih minim. 5) Kekuatan sumberdaya pembangunan daerah terletak pada kemampuan daerah menggali dan mengembang-kan sumber daya kearifan lokal sebagi penggerak roda perekonomian masyarakat. 6) Dukungan akademisi, pemerintah, industri, dan berbagai elemen masyarakat dalam mengembangkan komoditas sagu sangat menentukan dalam mewujudkan potensi besar pada komoditas sagu untuk dapat berkontribusi terhadap pergerakan roda perekonomian daerah. 7) Pengembangan sumberdaya lokal (sagu) menjadi komoditas unggulan daerah dapat meningkatkan ketahanan sumber karbohidrat dan ketahanan ekonomi mikro daerah.

(52)

38

UCAPAN TERIMA KASIH

apak, Ibu, Hadirin yang saya hormati

Sebelum mengakhiri penyampaian orasi ilmiah ini, perkenankanlah saya memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T. Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada kita, sehingga hasil pemikiran, pengalaman, diskusi, referensi, penelitian dan intuisi yang memperkaya orasi ilmiah ini dapat didokumentasikan menjadi sebuah karya monumental dalam bentuk sebuah Buku Orasi Ilmiah. Pada kesempatan ini, saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Pengelola Penelitian dari Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia yang telah memberi kepercayaan untuk melaksanakan berbagai penelitian yang bertajuk komoditas sagu dari berbagai skim penelitian kompetitif yang disediakan oleh Kemenristek Dikti, termasuk skim penelitian MP3EI yang turut memperkaya orasi ilmiah ini. Selanjutnya, saya mengucapkan terima kasih kepada Rektor UNIPA dan Senat UNIPA, yang telah memberi kesempatan untuk menyampaikan orasi ilmiah. Terima kasih saya haturkan juga kepada rekan-rekan dosen dan Tenaga Kependidikan di lingkup UNIPA yang tidak sempat saya sebutkan satu per satu atas kerjasama dan bantuannya selama ini. Akhirnya, kepada para Hadirin Undangan saya ucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya, karena dengan sabar mendengarkan penyampaian orasi ilmiah ini. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa melindungi dan memberi kekuatan kepada kita semua dalam melaksanakan tugas membangun tanah Papua pada khususnya dan Indonesia pada umumnya untuk kesejahteraan dan kejayaan bersama menuju masyarakat madani. Amiiin Yaa Robbal Alamin

Lebih dan kurangnya mohon dimaafkan

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

(53)

39

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, B. 2017. Genetic Diversity of Sago Palm Resources in

Indonesia. In Ehara (eds) Sago Palm: Multiple Contributions

to Food Security and Sustainable Livelihoods. Springer, pp (in press)

Abbas, B. 2015. Komoditas sagu merupakan pilar kadaulatan pangan yang perlu dikelola dan dikembangkan secara bijaksana dan lestari untuk kesejahteraan masayarakat. Orasi Ilmiah pada Upacara Resmi Pengukuhan Guru Besar Universitas Papua. Manokwari.

Abbas, B., A.W. Rauf, F.H. Listyorin. 2013. Growth Ability of Sago Palm Suckers of Yebha Cultivar in the Nursery. European Journal of Scientific Research Vol. 115(4):544-550

Abbas, Band H. Ehara, 2012. Assessment Genetic Variation and Relationship of Sago Palm (Metroxylon sagu Rottb.) in Indonesia Based on Specific Expression Gene (Wx genes) Markers. African Journal of Plant Science Vol. 6(12):314-320.

Abbas, B., Y. Renwarin, M. H. Bintoro, Sudarsono, M. Surahman, H. Ehara. 2010. Genetic Diversity of sago palm in Indonesia based on chloroplast DNA (cpDNA) markers. Journal of Biological Diversity Vol. 11(3):112-117.

Abbas, B., M. H. Bintoro, Sudarsono, M. Surahman, H. Ehara. 2009. Genetic relationship of sago palm (Metroxylon Sagu

Rottb.) in Indonesia based on RAPD markers. Journal of Biological Diversity Vol. 10(4):168-174

(54)

40

Ariani M, Sayaka B, and Ariningsih E. 2005. Analysis the role of sago as a main food (how its consumption and alternative for the development). Abstracts of The Eight International Sago Symposium in Jayapura, Indonesia. Japan Society for the Promotion Science.

Bintoro, H.M.H.D. 1999. Pemberdayaan tanaman sagu sebagai penghasil bahan pangan alternatif dan bahan baku agroindustri yang potensial dalam rangka ketahanan pangan nasional. Orasi ilmiah guru besar tetap ilmu tanaman perkebunan. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. 70p.

Bintoro, H.M.H.D. 1995. To accelerate sago pith residue decomposition to be a green manure. ISHS Acta

Horticulturae. http://www. actahort.org/books/ 389/389-18.htm.

Bujang, K.B., K. Apun, M.A. Salleh. 1996. A study in the production and bioconversion of sago waste. Sixt International Sago Symposium. 197-203.

Dewi, R.K., M.H. Bintoro, Sudrajat. 2016. Karakter morfologi dan potensi produksi beberapa aksesi sagu (Metroxylon

spp.) di Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat. J. Agron. Indonesia 44:91-97.

Doelle, H.W. 1998. Socio-economic microbial process strategies for a sustainable development using environmentally clean technologies: sago palm a renewable resource.

(55)

41

Ehara, H, O. Morita, C. Komada, M. Goto. 2001. Effect of physical treatment and presence of the pericarp and sarcotesta on seed germination in sago palm (Metroxylon sagu Rottb.). Seed Sci and technol. 29:83-90.

Flach, M. 2005. A simple growth model for sago palm cv. Molat-Ambutrub and its implications for cultivation. Abstracts of The Eight International Sago Symposium in Jayapura, Indonesia. Japan Society for the Promotion Science.

Ehara, H., S. Susanto, C. Mizota, S. Hirose, T. Matsuno. 2000. Sago palm (Metroxylon sagu, Arecaceae) production in the eastern archipelago of Indonmesia: Variation in Morphological characters and pith. Economic Botany 54(2):197-206.

Flach, M. 1997. Sago palm Metroxylon sagu Rottb. Promoting the conservation and use of underutilized and neglected crops. IPGRI. 76p.

Haryadi. 2005. Potential used of sago starch for instant noodle production. Abstracts of The Eight International Sago Symposium in Jayapura, Indonesia. Japan Society for the Promotion Science.

Haska, N. 1995. Alcohol production from sago starch granules by simultaneous hydrolyzation and fermentation using a raw starch digesting enzyme from Aspergillus Sp. No. 47 and

Saccharomyces cereviceae No. 32. ISHS Acta Horticultura. International Sago Symposium.

http://www.actahort.org/books/ 389/V. International sago Symposium.

(56)

42

Ihalauw, O. 2015. Potency of sago palm forest in South Sorong need to manage and utilize sustainability for increasing prosperity of community in South Sorong. Proceeding of the 12th International Sago Symposium.

Jong, F.S. 1995. Research for the development of sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) cultivation in Sarawak, Malaysia. Dept. Agriculture, Kuching, Sarawak, Malaysia. 139p

Jong, F.S. 2005. A crucial need to expedite the commercial development of the sago industry. Abstracts of The Eight International Sago Symposium in Jayapura, Indonesia. Japan Society for the Promotion Science.

Kasim, J., P.M.D Tahir, H. Shari, T. William. 1995. Soda anthraquinone pulping of sago palm (Metroxylon sagu

Rotb.) Fronds. http:/www.actahort.org/ books/389/389-16.htm.

McClatchey, W., H.I Manner, C.R. Elevitch. 2005. Metroxylon amicarum, M. paulcoxii, M. sagu, M. salomonense, M.

vitiense, and M. warburgii (sago palm). Species Profiles for Pacific Island Agroforestry. www.traditionaltree. Org. Matanubun, H., L. Maturbongs. 2005. Sago palm potential,

biodiversity and socio-cultural considerations for industrial sago palm development in Papua, Indonesia. Abstracts of The Eight International Sago Symposium in Jayapura, Indonesia. Japan Society for the Promotion Science.

(57)

43

Mofu, S.S., B. Abbas. 2015. Development of sago palm research and agroindustry in University of Papua. Proceeding of the 12th International Sago Symposium in Tokyo, Japan. Japan

Society for the Promotion Science.

Nggobe, M. 2005. The utilizing by product of sago as feed for poultry in Papua. Abstracts of The Eight International Sago Symposium in Jayapura, Indonesia. Japan Society for the Promotion Science.

Nuyim, T. 1995. Preliminary investigation on the propagation techniques for sago palm (Metroxylon sagu) seedling production. ISHS Acta Horticulturae International Sago Symposium. http://www.actahort.org/books/389.

Okasaki, M., S. Tadenuma, M. Ohmi. 2005. Diverse utilization and industrial development of sago biomass. Abstracts of The Eight International Sago Symposium in Jayapura, Indonesia. Japan Society for the Promotion Science.

Pranamuda, H., T. Kamogawa, T. Ozawa, H. Tanaka. 1995. Ethanol production from raw sago starch under un sterile condition. http:/www.actahort.org/ books/ 389/389-15.htm.

Purwani, E.Y., Y. Setiawaty, H. Setanto, Widaningrum. 2005. Development of transparent noodle to promote consumption of sago in Indonesia. Abstracts of The Eight International Sago Symposium in Jayapura, Indonesia. Japan Society for the Promotion Science.

Rumawas, F., A. Astono, S. A Azis, R.E. Ririhena. 1996. Utilizing sago press cake as compost. Sixt International Sago Symposium 165-169.

(58)

44

Sarungallo, Z.L., Murtiningrum. 2005. Production and characterization of glucose syrup of Papua sago starch. Abstracts of The Eight International Sago Symposium in Jayapura, Indonesia. Japan Society for the Promotion Science.

Schuiling, D.L. 1995. The variability of the sago palm and the need and possibilities for its conservation. ISHS Acta Horticulturae http://www. actahort.org/books/389.

Shoon, J., K. Siong, J.H.I. Osman. 1995. Effects of plant spacing on the growth and development of sago palm (Metroxylon

Spp) on undrainage deep peat. http:/www. actahort.org/books/389/389-4.htm.

Siong, K. 1995. The effects of soil applied NPK fertilizers on the growth of the sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) on undrained deep peat. ISHS Acta Horticulturae. http:/www. actahort.org/books/389/389-4.htm.

Solichien, B. 1995. Sago starch as a substract for cyclodextrin production. http:/ www.actahort.org/books/389/389-12.htm.

Suryani, C.L., Haryadi 1998. Pemutihan dan pengikatan silang pati sagu dan penggunaanya untuk bahan substitusi pada pembuatan bihun. Agritech 18(4):20-23

Tan, H.T. 1982. Sago palm review. Tropical Agriculture 8(9): 9-23.

(59)

45

Vendramin, G.G., B. Degen, R.J. Petit, M. Anzidei, A. Madaghiele, B. Ziegenhagens. 1999. High level of variation at Abies alba chloroplast microsatellite loci Europe. Molecular Ecology 8:1117-1126.

Wahid, A.S. 1988. Prospek pengembangan tanaman sagu di Indonesia. J. Litbang Pertanian 7(4): 104-108.

(60)

46

RIWAYAT HIDUP

A. DATA PRIBADI

Nama lengkap : Prof. Dr. Ir. Barahima Abbas, M.Si.

Jabatan : Guru Besar

Fakultas Pertanian, Universitas Papua

NIP/NIDN : 196309251989031002/0025096312

Tempat /Tanggal Lahir : Tellang-Soppeng/25 September 1963

Alamat : Perumahan Dosen Unipa, Jl. Amban

Pantai No. 15

Telp/e-mail : 0852 4469 6549/

barahimabas@gmail.com

Orang Tua : Abbas dan Maimuna

Istri : Hj. Fitriani Hadju, SP

Anak : 1. Meilinda Widya Nugraha Barahima

2. Zhafirah Trixie Rahmayanti Barahima

3. Muhammad Arief Rezky Barahima 4. Maylina Sakinah Nurilmi Barahima

B. PENDIDIKAN

1. Sekolah Dasar Negeri 31 Tellang, Soppeng, Sulawesi Selatan, Tahun 1970-1976

2. Sekolah Menegah Pertama Muhammadiayah, Soppeng, Sulawesi Selatan, Tahun 1976 -1980

3. Sekolah Menengah Atas Negeri 1, Soppeng, Sulawesi Selatan, Tahun 1980 – 1983

4. Sarjana Pertanian (Ir), Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar, Tahun 1983 – 1988

(61)

47

6. Doktor (Dr), Fakultas Pertanian Institut Pertanian, Bogor dan Faculty of Bioresources, Mie University, Japan, Tahun 2002 - 2006

C. RIWAYAT KEPANGKATAN DAN GOLONGAN

1. Calon Pegawai Negeri Sipil, Golongan III/a Terhitung Mulai Tanggal 1 Maret 1989

2. Penata Muda, Golongan III/a, Terhitung Mulai Tanggal 1 September 1990

3. Penata Muda Tingkat I, Golongan III/b, Terhitung Mulai Tanggal 1 Oktober 1994

4. Penata, Golongan III/c, Terhitung Mulai Tanggal 1 Oktober 1996

5. Penata Tingkat I, Golongan III/d, Terhitung Mulai Tanggal 1 Oktober 1999

6. Pembina, Golongan IV/a, Terhitung Mulai Tanggal 1 April 2007

7. Pembina Tingkat I, IV/b, Terhitung Mulai Tanggal 1 Oktober 2010

8. Pembina Utama Muda,IV/c, Terhitung Mulai Tanggal 1 Oktober 2014

D. RIWAYAT JABATAN AKADEMIK

(62)

48

E. RIWAYAT PEKERJAAN

1. Asisten Manager perkebunan Kelapa Sawit PT. Widya Unggul Teknologi Lestari, Mamuju, Sulawesi Selatan, Tahun 1988 - 1989

2. Tenaga Pengajar Fakultas Pertanian Universitas cenderawasih, Tahun 1989 - 2002

3. Tenaga Pengajar Fakultas Pertanian dan Teknologi Pertanian Universitas Papua, Tahun 2002 – Sekarang

4. Kepala Laboratorium Kultur Jaringan Faperta Uncen, Tahun 1995 - 1997

5. Kepala Laboratorium Bioteknologi Faperta Uncen, Tahun 1997- 2001

6. Kepala Laboratorium Bioteknologi Fapertek Unipa, Tahun 2007 - 2011

7. Kegiatan Akademik Recharging di Jepang, Tahun 2011 8. Wakil Direktur Program PascasarjanaUnipa, Tahun 2010 -

2012

9. Kepala Laboratorium Bioteknologi Faperta, Tahun 2012 - Sekarang

10. Reviewer internal Unipa skim penelitian DIKTI dan Ristek, Tahun 2012 - sekarang

11. Mitra Bestari/Reviewer Journal Biodiversitas UNS, Tahun 2012 - Sekarang

12. Kepala Pusat Penelitian Ubi-ubian dan Sagu (PPUS), Tahun 2013 – 2015

13. Ketua Konsorsium Riset Sagu Nasional, Tahun 2013 - Sekarang

(63)

49

F. HIBAH PENELITIAN KOMPETITIF (Competitive Research Grant)

1. Ketua peneliti:Pembebasan penyakit virus dan fitoplasma pada beberapa ubijalar unggul lokal asal Irian Jaya melalui teknik kultur meristem, Sponsor: ADB Loan No. 1253-INO, Tahun 1999

2. Ketua Peneliti:Upaya peningkatan produksi ubijalar melalui pengembalian bibit ubijalar sehat ke desa asalnya setelah mengalami desinfeksi melalui kultur jaringan, Sponsor: Mennonite Central Committee (MCC), Tahun 2000 3. Ketua Peneliti:Penggunaan isozim dan marker molekuler

untuk mengungkapkan variasi genetik plasma nutfah sagu asal Papua, Skim Penelitian DCRG, Sponsor: DIKTI, Tahun 1999

4. Ketua Peneliti: Genetic diversity of sago palm in Indonesia based on Molecular marker of cloplast genome and nucler genome, Sponsor: Association of International Education Japan (AIEJ), Tahun 2003

5. Ketua Peneliti: Evaluasi pertumbuhan dan karakterisasi molekuler plasmanutfah sagu asal Papua dengan menggunakan Simple Sequence Repeat (SSR) dalam menunjang pengembangan dan pemuliaan tanaman sagu, Sponsor: Ristek, Tahun 2004

6. Ketua Peneliti:Pengembangan jamur sagu Papua melalui teknik kultur jaringan, Sponsor: DIKTI, Tahun 2009

7. Ketua Peneliti: IbM desa Warari Kecamatan Yapen Selatan Kabupaten Yapen yang kesulitan membudidayakan jamur sagu pavoritnya. Hibah Program Pengabdian Kepada Masyarakat, Sponsor DIKTI, Tahun 2010 8. Ketua Peneliti:Pengembangan anggrek endemik Papua

(64)

50

pemanfaatan dan biokonservasi sumberdaya genetik anggrek Papua, Skim Penelitian Stranas, Sponsor: DIKTI, Tahun 2010

9. Ketua Peneliti:Pengembangan anggrek endemik Papua berbasis teknik kultur jaringan yang berorientasi pada pemanfaatan dan biokonservasi sumberdaya genetik anggrek Papua, Skim Penelitian Stranas, Sponsor: DIKTI, Tahun 2011

10. Ketua Peneliti:Pengembangan tanaman sagu sebagai sumber pangan utama selain beras, Skim Penelitian MP3EI, Sponsor DIKTI, Tahun 2012

11. Ketua Peneliti:Pengembangan tanaman sagu sebagai sumber pangan utama selain beras, Skim Penelitian MP3EI, Sponsor: DIKTI, Tahun 2013

12. Ketua Peneliti:Pengembangan tanaman sagu sebagai sumber pangan utama selain beras, Skim Penelitian MP3EI, Tahun 2014

13. Eksplorasi, karakterisasi molekuler, dan biokonservasi jamur sagu endemik Papua yang berorientasi pada pemanfaatan dan pelestarian sumber daya hayati Papua, Skim Penelitian Hibah Bersaing, Tahun 2015.

14. Pengembangan Agroindustri Sagu dalam Rangka

Mengakselerasi Terwujudnya Kemandirian dan Ketahanan Pangan, Skim Penelitian MP3EI, Tahun 2016

15. Pengembangan Agroindustri Sagu dalam Rangka

(65)

51

G. PEMAKALAH PADA SEMINAR/SIMPOSIUM

1. Barahima Abbas, Gustaaf Adolf Wattimena, Hendra

Adijuwana, dan Sudarsono. 1994. Penggunaan berbagai macam isolat A. Tumefaciens dan A. rhizogenes untuk mentransfer marker NPT II ke kromosom tanaman

kentang. Perhimpunan hortikultura Indonesia, Malang, 8-9 November 18-98-94

2. Barahima Abbas, Gustaaf Adolf Wattimena, Hendra

Adijuwana, dan Sudarsono. 1995. Eksplorasi penggunaan

Agrobacterium untuk mentransfer T-DNA dari plasmid biner pBIN19 ke kromosom kentang. Seminar Nasional Perhimpunan Biokimia dan Biologi Molekuler, Bali 17-18 November 1995.

3. Barahima Abbas. 1996. Transfer DNA of Ti-plasmid and T-DNA of binary vector pBIN19 into potato chromosom. Paper presented at the third Taro Symposium (the first New Gunea Root and Tuber Crops Symposium),

Manokwari, August, 1997.

4. Barahima Abbas dan Karyoto Sardi Amat. 1997. Konservasi plasma nutfah pisang melalui kultur in vitro: Inisiasi kultur jaringan tanaman pisang. Paper diprensentasikan pada seminar hasil-hasil penelitian Faperta Uncen, Manokwari. 10 Mei 1997.

5. Barahima Abbas, Januarius Renwarin, Lenda Nouke

(66)

52

6. Barahima Abbas, Muhammad Hasyim Bintoro, and Sudarsono. 2003. Development of sago palm as alternative staple food and environment savety. Try-University Symposium, at MIE Try-University, Japan, Oktober 18–21, 2003

7. Barahima Abbas, Muhammad Hasyim Bintoro, Sudarsono, and Memen Surahman. 2004. Genetic Relationship among Sago Palms in IndonesiaBased on RAPD and SSR-cpDNA Markers. The International Seminar of Society of Sago Palm Studies, University of Agriculture and

Technology, Tokyo, Japan. June 16, 2004

8. Barahima Abbas, Muhammad Hasyim Bintoro, Sudarsono, Memen Surahman, and H. Ehara. 2005. Haplotype

diversity of sago palm in Papua based on chloroplast DNA. Paper presented at the Eight International Sago

Symposium in Jayapura, Indonesia, August 4-6, 2005. 9. Barahima Abbas, Muhammad Hasyim Bintoro, Memen

Surahman, Hiroshi Ehara, and Sudarsono. 2007. Genetic diversity of sago palm in Indonesia based on genes encoding starch biosynthesis (Waxy genes). Paper presented at the International sago Symposium in Philippines, July 12-21, 2007.

10. Barahima Abbas, Florentina Heningtyas Listyorini, Besse Amriati. 2009. Kultur jaringan tanaman anggrek sebagai sarana perbanyakan dan konservasi plasma nutfah anggrek specifik Papua. Paper dipresentasikan pada Upaya

Mengembangkan dan Melestarikan Anggrek Alam Papua. 11. Barahima Abbas, Desi Natalia Edowai, Florentina

Gambar

Gambar 1. Skema perkembangan penelitian berbasis sagu
Gambar 2. Penampilan prototipe mesin-mesin yang telah didesain
Gambar 6. Penampilan pakan ternak berbasis limbah sagu (A) dan
Gambar 7.  Pembibitan yang memakai bahan tanaman dari saker
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, efektivitas dan konsistensi penelitian empiris yang berkaitan dengan integrasi rantai pasok, baik integrasi ke belakang (integrasi pemasok) dan integrasi ke

Dengan demikian dapat dikatan bahwa secara umum variabel peran pemuda sebagai Dinamisator, Motivator, Inovator merupakan faktor penting yang berperan dalam pembangunan wirausaha

Repository institusi adalah hal penting yang menjadi rujukan dalam pembangunan wacana ilmiah dan akademik. Peringkat repository institusi ISI Surakarta pada tahun 2017

Selain itu, efektivitas dan konsistensi penelitian empiris yang berkaitan dengan integrasi rantai pasok, baik integrasi ke belakang (integrasi pemasok) dan integrasi ke

Kerangka Teoristik Karangka teori yang digunakan peneliti dimaksud untuk memudahkan dalam memahami dalam pelaksanaan penelitian “Analisis Pengembangan Pariwisata Berbasis Potensi