• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adopsi Teknologi Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Yang Berkelanjutan Berbasis Kearifan Lokal dan Pengembangannya di Kabupaten Aceh Jaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Adopsi Teknologi Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Yang Berkelanjutan Berbasis Kearifan Lokal dan Pengembangannya di Kabupaten Aceh Jaya"

Copied!
159
0
0

Teks penuh

(1)

ii

ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PEMANFAATAN

SUMBERDAYA IKAN YANG BERKELANJUTAN BERBASIS

KEARIFAN LOKAL DAN PENGEMBANGANNYA

DI KABUPATEN ACEH JAYA

CHALILUDDIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Adopsi Teknologi Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Yang Berkelanjutan Berbasis Kearifan Lokal dan Pengembangannya di Kabupaten Aceh Jaya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2015

Chaliluddin

(4)

RINGKASAN

CHALILUDDIN. Adopsi Teknologi Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Yang Berkelanjutan Berbasis Kearifan Lokal dan Pengembangannya di Kabupaten Aceh Jaya. Dibimbing oleh ARI PURBAYANTO, DANIEL R. MONINTJA, MOHAMMAD IMRON dan JOKO SANTOSO.

Adopsi teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan mempunyai peranan penting untuk meningkatkan pembangunan kelautan dan perikanan. Adopsi teknologi tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi di sektor perikanan dan kelautan, meningkatkan kecerdasan dan kesehatan bangsa melalui peningkatan konsumsi ikan, pemeliharaan dan peningkatan daya dukung lingkungan, peningkatan peran laut sebagai pemersatu bangsa dan peningkatan budaya bahari bangsa Indonesia. Oleh karena itu, adopsi teknologi pemanfaatan sumberdaya ikan yang dilakukan oleh nelayan hendaknya merupakan teknologi tepat guna atau teknologi yang spesifik lokasi dengan mempertimbangkan kondisi ekosistem laut dimana teknologi tersebut akan memberikan dampak positif bagi nelayan.

Ruang lingkup penelitian ini mencakup 4 topik utama yaitu, (1) Peranan kearifan lokal dalam pemanfaatan sumberdaya ikan, yang terdiri atas; pengakuan hukum positif terhadap hukum adat laôt, peranan kearifan lokal dalam pembangunan perikanan berkelanjutan, peranan kearifan lokal dalam pengawasan ketentuan hukum adat dan istiadat, peranan kearifan lokal dalam pengaturan usaha penangkapan ikan di laut, peranan kearifan lokal dalam penyelesaian perselisihan/sengketaan diantara nelayan, dan peranan kearifan lokal dalam pengawasan pohon-pohon di tepi pantai; (2) Status keberlanjutan perikanan tangkap berbasis kearifan lokal di Kabupaten Aceh Jaya, terdiri atas keberlanjutannya berdasarkan dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan dimensi kelembagaan; (3) Adopsi teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis kearifan lokal, terdiri atas proses adopsi teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis kearifan lokal di Kabupaten Aceh Jaya, karakteristik internal dan karakteristik eksternal; dan (4) Pengembangan teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis kearifan lokal.

Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, dimulai dari bulan September 2012 hingga Februari 2013. Penelitian ini menggunakan metode survei dan dibantu dengan daftar pertanyaan (kuesioner). Pemilihan responden dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling dengan pertimbangan bahwa responden adalah pelaku, terdiri dari; Panglima Laôt Aceh, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Jaya, Panglima Laôt Kabupaten Aceh Jaya, Panglima Laôt Lhôk (masing-masing kecamatan), nelayan purse seine, nelayan bagan apung, nelayan gillnet, nelayan trammel net, nelayan pancing tonda, nelayan pancing ulur dan nelayan rawai (mini longline). Analisis data dilakukan secara deskriptif untuk topik pertama, topik kedua dinalisis dengan metode RAPFISH, topik ketiga dianalisis dengan regresi logistik, dan topik keempat dianalisis dengan SWOT kemudian dilanjutkan dengan AHP.

(5)

yang berkelanjutan karena dalam nilai-nilai kearifan lokal tersebut banyak mengandung unsur-unsur perikanan tangkap berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.

Hasil analisis terhadap kondisi keberlanjutan perikanan tangkap berbasis kearifan lokal dari 24 kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Aceh Jaya menghasilkan tingkat keberlanjutan pada beberapa dimensinya. Dimensi ekologi menunjukkan 22 kegiatan mempunyai tingkat keberlanjutan sangat baik, dan sisanya berada pada tingkat keberlanjutan baik. Dimensi ekonomi, mempunyai 20 kegiatan berada pada tingkat keberlanjutan sangat baik, 4 berada pada tingkat keberlanjutan baik. Dimensi sosial, 2 kegiatan perikanan tangkap berada pada tingkat keberlanjutan sangat baik, sedangkan 22 kegiatan berada pada tingkat keberlanjutan baik. Dimensi teknologi, 1 kegiatan perikanan tangkap berada pada tingkat keberlanjutan sangat baik, 8 kegiatan pada tingkat keberlanjutan sedang, 9 berada pada tingkat keberlanjutan cukup dan 6 berada pada tingkat keberlanjutan buruk. Dimensi kelembagaan semua kegiatan perikanan tangkap berbasis kearifan lokal berada pada tingkat keberlanjutan sangat baik. Atribut atau indikator yang memberikan pengaruh dominan pada 24 kegiatan perikanan tangkap berbasis kearifan lokal di Kabupaten Aceh Jaya adalah sebagai berikut; dimensi ekologi; penangkapan ikan di wilayah/area terumbu karang, perubahan ukuran ikan dalam 5 tahun terakhir dan perubahan jenis ikan dalam 5 tahun terakhir. Dimensi ekonomi; bantuan pemerintah, pasar dan orientasi pemasaran hasil perikanan. Dimensi sosial, sosialisasi pekerjaan, dan frekuensi penyuluhan dan pelatihan untuk nelayan. Dimensi teknologi, menggunakan alat komunikasi, dan tempat pendaratan ikan. Dimensi kelembagaan; penegakan hukum/sanksi bagi yang melanggar.

Proses adopsi teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis kearifan lokal di Kabupaten Aceh Jaya sangat dipengaruhi oleh perkembangan zaman (kebutuhan hidup), dan adanya penggunaan teknologi baru oleh nelayan lain. Karakterisitik internal meliputi umur nelayan, pengalaman nelayan, pendapatan nelayan, dan persepsi nelayan terhadap teknologi. Karakteristik eksternal meliputi; dukungan penyuluh perikanan, dukungan kelompok nelayan dan dukungan kelembagan nelayan (Panglima Laôt) yang memiliki peran cukup besar dalam meningkatkan adopsi teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis kearifan lokal di Kabupaten Aceh Jaya.

(6)

penangkap ikan yang efisien, efektif, dan ramah lingkungan, dan penegakan hukum. Prioritas pengembangan teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis kearifan lokal di Aceh Jaya berdasarkan aspek ekologi, ekonomi, biologi, sosial, hukum dan kelembagaan dan wilayahnya adalah alat tangkap purse seine

dengan rasio 0,263. Alat tangkap ini sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal yang dianut di Kabupaten Aceh Jaya.

(7)

SUMMARY

CHALILUDDIN. Adoption of Technology in Sustainable Utilization of Fish Resource Based on Local Wisdom and its Development in Aceh Jaya District. Supervised by ARI PURBAYANTO, DANIEL R. MONINTJA, MOHAMMAD IMRON and JOKO SANTOSO

Technology adoption in utilization of fish resources has an important role to improve the development of marine and fisheries. The technology adoption can boost economic growth of the marine fisheries sector, improving intelligence and health of the nation through increased fish consumption, maintenance and improvement of the environmental carrying capacity, increasing the role of the ocean as a unifying nations and increase marine culture of Indonesia. Therefore, the technology adoption for utilization of fish resources by fishers should be an appropriate technology or specific technology by considering the condition of marine ecosystems in which these technologies give a positive impact to the fishers.

The scope of this research comprise of 4 main topics, namely, (1) The role of local knowledge in the utilization of fish resources, which consist of positive legal recognition to customary law of Panglima Laôt, the role of local knowledge in sustainable fisheries development, the role of local knowledge in monitoring the terms of customary law and customs, the role of local knowledge in the coordination of fishing effort in the sea, the role of local knowledge in the solution of the dispute among fishers, and local knowledge in the supervisory role of the trees on the beach; (2) the sustainability status of fisheries based on local wisdom in Aceh Jaya District, consists of the dimensions of sustainability based on ecological, economic, social, technological and institutional dimensions; (3) Adoption of technology in the utilization of fishery resources based on local wisdom, consist of technology adoption in the utilization of fishery resources based on local wisdom in Aceh Jaya District, internal and external characteristics; and (4) development of technology in the utilization of fishery resources based on local wisdom.

This research has been conducted in 6 months from September 2012 to February 2013. The method used was the literature study and survey method with questionnaires. The respondents for interviewing were selected by using purposive sampling technique with the consideration that the respondents were fisheries actors. The respondents were Panglima Laôt Aceh, Head of Marine and Fisheries Aceh Jaya, Panglima Laôt Aceh Jaya District, Panglima Laôt Lhôk (each subdistrict), purse seine fishers, floating “bagan” liftnet fishers, gillnets

fishers, trammel net fishers, troll line fishers, hand line fishers, and mini longline fishers. The data analysis were descriptive for topic 1, using RAPFISH method for topic 2, logistic regression for topic 3, and using SWOT analysis then followed by AHP for topic 4.

(8)

of local wisdom that contains many elements of fisheries and environmentally sustainability.

The results of the analysis of the fisheries sustainability based on local wisdom of 24 fishing activities in Aceh Jaya district showed the sustainability level on several dimensions. The ecological dimensions showed 22 activities with very good levels of sustainability, and the rest was in good level of sustainability. The economic dimensions showed 20 activities with very fine level of sustainability, 4 activities were at good level of sustainability. The social dimension showed 2 fishing activities were at the level of very good sustainability, while 22 activities were at a good level of sustainability. The technological dimension showed 1 fishing activity was at the level of very good sustainability, 8 activities were at the level of sustainability is, 9 activities were at levels sufficient sustainability, and 6 activities were at the level of bad sustainability. The institutional dimensions showed that all fishing activities based on local wisdom were at a very good level of sustainability. Attributes or indicators that provide the dominant influence on 24 fishing activities based on local wisdom in Aceh Jaya District are as follows; ecological dimension; fishing in the region/area of coral reefs, fish size changes within 5 years and a change in the type of fish in the 5 years. The economic dimension such as government assistance, market orientation and marketing of fishery products. The social dimension such as socialization work, and frequency of counseling and training for fishers. The dimension of technology such as the use of communication tools, and fish landing sites. The institution dimension such as, law enforcement/sanctions for noncompliance.

The process of technology adoption in the utilization of fishery resources based on local wisdom in Aceh Jaya district is greatly influenced by the times (necessities of life), and the use of new technologies by other fishers. Internal characteristics consist of life of fisher, fishing experience, fishing income, and fisher perception towards technology. While, external characteristics consist of fisheries extension support, support groups of fisher, and fishing institutional support (Panglima Laôt) that has a considerable role in improving technology adoption in the utilization of fish resources based on local wisdom in Aceh Jaya.

(9)

institutional and territory are purse seine fishing gear with a ratio of 0.263. and in accordance with the values of local wisdom held in the district of Aceh Jaya.

(10)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(11)

ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PEMANFAATAN

SUMBERDAYA IKAN YANG BERKELANJUTAN BERBASIS

KEARIFAN LOKAL DAN PENGEMBANGANNYA

DI KABUPATEN ACEH JAYA

DISERTASI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Doktoral pada Prodi/Mayor Teknologi Perikanan Tangkap

CHALILUDDIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Muhammad Fedi A. Sondita, M.Sc Staff Pengajar pada Dept. PSP, FPIK-IPB 2. Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc

Staff Pengajar/Ketua Dept. PSP, FPIK-IPB

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr.Ir. Mustafa Abu Bakar, M.Si

Wakil Komisaris Utama Bank Rakyat Indonesia 2. Dr. Ir. Abdur Rouf Sam, M.Si

(13)
(14)

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan disertasi ini yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Mayor Teknologi Perikanan Tangkap, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Adapun judul disertasi ini adalah “Adopsi Teknologi Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Yang Berkelanjutan Berbasis Kearifan Lokal dan Pengembangannyadi Kabupaten Aceh Jaya”.

Dengan selesainya Disertasi ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada; (1) Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc. selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof.

Dr. Ir. Daniel R. Monintja, Dr. Ir. Mohammad Imron, M.Si, dan Prof. Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan dalam penyusunan disertasi ini. (2) Panglima Laôt Aceh yang telah memberikan bantuan baik berupa materi,

maupun dukungan yang telah diberikan selama penelitian, Panglima Laôt Kabupaten Aceh Jaya, Panglima Laôt Lhôk Teunom, Panglima Laôt Lhôk Panga, Panglima Laôt Lhok Calang, Lhôk Rigaih, Panglima Laôt Lhôk Patek dan Panglima Laôt Lhôk Lamno atas bantuan dan kerjasamanya dalam penelitian ini.

(3) Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Jaya yang telah membantu penulis selama penelitian

(4) Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc dan Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc sebagai Penguji Luar komisi pada sidang tertutup, Dr. Ir. Mustafa Abubakar, M.Si dan Dr. Ir. Abdur Rouf Sam, M.Si sebagai penguji luar komisi pada sidang terbuka.

(5) Rekan-rekan mahasiswa (S3) Mayor Teknologi Perikanan Tangkap angkatan tahun 2010 serta pihak-pihak yang telah berkontribusi dalam penyelesaian disertasi ini.

(6) Kedua Orang tua dan Mertua, Isteri tercinta Siti Rahayu Ningsih, STP, M.Si anak-anakku Siti Ainal Mardiah dan Ahmad Hidayatullah Al-Chalid, atas Doa dan dukungan semangatnya.

Semoga disertasi ini dapat memberikan manfaat baik penulis dan pecinta ilmu pengetahuan pada umumnya dan semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan karunia dan rahmat-Nya kepada kita semua.... Amin.

Bogor, Januari 2015 Penulis

(15)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN... ix

1 PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah... 2

1.3 Tujuan Penelitian... 3

1.4 Manfaat Penelitian... 4

1.5 Kerangka Pemikiran ... 4

1.6 Kebaharuan Penelitian (Novelty) ... 6

2 METODE PENELITIAN UMUM ... 9

2.1 Waktu dan Tempat Penelitan ... 9

2.2 Jenis dan Metode Pengumpuan Data... 9

2.3 Metode Analisis Data ... 10

3 PERANAN KEARIFAN LOKAL DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN ... 11

3.1 Pendahuluan ... 11

3.2 Metode Penelitian... 12

3.3 Hasil Penelitian... 12

3.3.1 Sejarah Panglima Laôt ... 12

3.3.2 Hukum positif dan kelembagaan Panglima Laôt sebagai pemangku nilai-nilai kearifan lokal ... 14

3.3.2.1 Pengakuan hukum positifterhadap Panglima Laôt 14 3.3.2.2 Organisasi Panglima Laôt... 16

3.3.2.3 Aturan hukum adat Laôt ... 18

3.3.2.4 Keterkaitan Panglima Laôt Lhok dengan lembaga lain 20 3.3.3 Peranan kearifan lokal dalam mewujudkan pembangunan perikanan berkelanjutan... 20

3.3.3.1 Memelihara dan mengawasi ketentuan-ketentua hukum adat dan istiadat... 21

3.3.3.2 Peranan dalam mengkoordinir setiap usaha penangkapan ikan di laut ... 21

3.3.3.3 Peranan dalam menyelesaikan perselisihan/sengketaan yang terjadi. ... 22

3.3.3.4 Peranan dalam memutuskan dan menyelenggarakan upacara adat laôt. ... 22

3.3.3.5 Peranan dalam menjaga/mengawasi pohon-pohon di tepi pantai ... 23

(16)

3.4 Pembahasan ... 25

3.5 Kesimpulan ... 28

4 STATUS KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI KABUPATEN ACEH JAYA . 29 4.1 Pendahuluan ... 29

4.2 Metode Penelitian ... 30

4.3 Hasil Penelitian ... 32

4.3.1 Dimensi ekologi... 32

4.3.2 Dimensi ekonomi ... 34

4.3.3 Dimensi sosial... 36

4.3.4 Dimensi teknologi ... 38

4.3.5 Dimensi kelembagaan ... 40

4.3.6 Tingkat keberlanjutan Perikanan Tangkap berbasis kearifan lokal. ... 41

4.4 Pembahasan... 46

4.5 Kesimpulan ... 48

5 PROSES ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL... 49

5.1 Pendahuluan ... 49

5.2 Metode Penelitian ... 50

5.3 Hasil Penelitian ... 54

5.3.1 Proses adopsi teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis kearifan lokal ... 54

5.3.2 Keadaan responden dan keterkaitannya dengan tingkat adopsi... 54

5.3.2.1 Karakteristik internal responden ... 54

5.3.2.2 Karakteristik eksternal responden ... 60

5.3.2.3 Karakteristik responden yang paling mempengaruhi tingkat adopsi teknologi ... 67

5.4 Pembahasan... 70

5.5 Kesimpulan ... 73

6 PENGEMBANGAN TEKNOLOGI DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN DI BERBASIS KEARIFAN LOKAL ... 75

6.1 Pendahuluan ... 75

6.2 Metode Penelitian ... 77

6.2.1 Analisis SWOT... 78

6.2.2 Analisis AHP (Analytical Hierarchy Process) ... 79

6.3 Hasil Penelitian ... 82

6.3.1 Stakeholder perikanan tangkap berbasis kearifan lokal... 82

6.3.2 Faktor strategi internal dan eksternal ... 83

6.3.3 Prioritas kebijakan ... 87

6.3.4 Pengembangan teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis kearifan lokal... 88

6.3.5 Perbandingan kepentingan subkriteria ... 89

(17)

6.4 Pembahasan ... 94

6.4.1 Konsep pengembangan teknologi pemanfaatan sumberdaya ikan ... 94

6.4.2 Konsep prioritas pengembangan teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan ... 94

6.5 Kesimpulan... 95

7 PEMBAHASAN UMUM... 97

7.1 Peranan kearifan lokal dalam pemanfaatan sumberdaya ikan... 97

7.2 Status keberlanjutan perikanan tangkap berbasis kearifan lokal di Kabupaten Aceh Jaya ... 98

7.3 Adopsi teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis kearifan lokal... 100

7.4 Pengembangan teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis kearifan lokal... 102

8 KESIMPULAN DAN SARAN ... 105

8.1 Kesimpulan... 105

8.2 Saran ... 105

DAFTAR PUSTAKA... 107

(18)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1 Metode analisis data ... 10

2 Fase keberadaan Panglima Laôt ... 13

3 Struktur kelembagaan Panglima Laôt... 17

4 Kategori indeks keberlanjutan setiap dimensi sistem yang dikaji ... 32

5 Distribusi karakteristik internal nelayan ... 55

6 Hasil ujiChi-Squareantara variabel karakteristik... 55

7 Persentase distribusi umur terhadap tingkat adopsi... 56

8 Persentase distribusi pendidikan formal terhadap tingkat adopsi teknologi 57 9 Persentase distribusi pengalaman nelayan... 57

10 Persentase distribusi pendapatan ... 58

11 Persentase distribusi aktivitas mencari informasi teknologi... 58

12 Persentase distribusi persepsi nelayan terhadap tingkat adopsi teknologi. 59 13 Persentase distribusi keberanian mengambil risiko ... 60

14 Distribusi karakteristik eksternal nelayan... 61

15 Hasil ujiChi-Squareantara variabel karakteristik eksternal ... 61

16 Persentase distribusi dukungan penyuluhan perikanan ... 62

17 Persentase distribusi dukungan kelompok nelayan ... 63

18 Persentase distribusi dukungan kelembagaan... 64

19 Persentase distribusi dukungan ketersediaan pasar ... 65

20 Persentase distribusi dukungan pemda ... 66

21 Hasil uji Hosmer and Lemeshow... 68

22 Klasifikasi Tabel ... 68

23 Variabel yang signifikan pada model Logit (metode Stepwise)... 69

24 Kerangka analisis yang dipakai dalam analisis SWOT ... 79

25 Skala banding secara berpasang berdasarkan taraf relatif pentingnya 81 26 Stakeholderdan kepentingan masing-masing stakeholder ... 82

27 Matriks IFAS pengembangan adopsi teknologi ... 85

(19)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1 Rumusan masalah penelitian ... 3

2 Kerangka pemikiran ... 6

3 Panglima Laôt Aceh dan staf di acara khanduri Laôt... 23

4 Bupati (diwakili Asisten II), Kapolres, Wakil Ketua DPRK Aceh Jaya pada peringatan khaduri Laôt ... 23

5 Kondisi mangrove akibat tsunami Aceh... 24

6 Kondisi mangrove pasca tsunami Aceh ... 24

7 Prosedur dari pendekatan Rapfish keberlanjutan ... 31

8 Ordinasi dimensi ekologi... 33

9 Hasil analisisMonte-Carlountuk dimensi ekologi ... 34

10 Hasil analisisLeveragedari atribut pada dimensi ekologi ... 34

11 Ordinasi dimensi ekonomi... 35

12 Hasil analisisMonte-Carlodimensi ekonomi ... 35

13 Hasil analisisLeveragedari atribut pada dimensi ekonomi ... 36

14 Ordinasi dimensi sosial ... 37

15 Hasil analisisMonte-Carlountuk dimensi sosial ... 37

16 Hasil analisisLeveragedari atribut pada dimensi sosial ... 38

17 Ordinasi dimensi teknologi... 38

18 Hasil analisisMonte-Carlountuk dimensi teknologi ... 39

19 Hasil analisis Leverage dari atribut pada dimensi teknologi ... 39

20 Ordinasi dimensi kelembagaan... 40

21 Hasil analsisMonte-Carlountuk dimensi kelembagaan ... 41

22 Hasil analisis Leverage dari atribut pada dimensi kelembagaan ... 41

23 Diagram layang keberlanjutan perikanangillnet... 42

24 Diagram layang keberlanjutan perikanantrammel net... 43

25 Diagram layang keberlanjutan perikanan pancing ulur ... 43

26 Diagram layang keberlanjutan perikanan pancing tonda ... 44

27 Diagram layang keberlanjutan perikanan bagan apung... 45

28 Diagram layang keberlanjutan perikananpurse seine ... 46

29 Diagram layang keberlanjutan perikanan rawai ... 46

30 Zona kategori kebijakan pembangunan ... 76

31 Penentuan prioritas kebijakan pembangunan ... 76

32 Diagram analisis SWOT... 79

33 DiagramcartesiusSWOT ... 85

34 Peta interaksi SWOT konsep pengembangan adopsi teknologi ... 86

35 Matrik skor strategi konsep pengembangan adopsi teknologi ... 87

36 Pohon struktur komponen AHP... 88

37 Rasio kepentingan kriteria pengembangan teknologi... 89

38 Rasio kepentingan pembatas dalam mendukung aspek ekologi... 90

39 Rasio kepentingan pembatas dalam mendukung aspek ekonomi... 90

40 Rasio kepentingan pembatas dalam mendukung aspek biologi ... 91

(20)

42 Rasio kepentingan pembatas dalam mendukung aspek sosial ... 92

43 Rasio kepentingan pembatas dalam mendukung aspek kelembagaan .. 92

44 Urutan prioritas strategi pengembangan teknologi ... 93

DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman 1 Peta lokasi penelitian... 114

2 Atribut keberlanjutan dimensi ekologi dan kriteria skor ... 115

3 Hasil analisis skoring atribut dimensi ekologi ... 116

4 Nilai keberlanjutan berdasarkan dimensi ekologi ... 117

5 Atribut keberlanjutan dimensi ekonomi dan kriteria skor ... 118

6 Hasil analisis skoring atribut dimensi ekonomi ... 119

7 Nilai keberlanjutan berdasarkan dimensi ekonomi ... 120

8 Atribut keberlanjutan dimensi sosial dan kriteria skor ... 121

9 Hasil analisis skoring atribut dimensi sosial ... 122

10 Nilai keberlanjutan berdasarkan dimensi sosial ... 123

11 Atribut keberlanjutan dimensi teknologi dan kriteria skor ... 124

12 Hasil analisis skoring atribut dimensi teknologi ... 125

13 Nilai keberlanjutan berdasarkan dimensi teknologi ... 126

14 Atribut keberlanjutan dimensi kelembagaan dan kriteria skor ... 127

15 Hasil analisis skoring atribut dimensi kelembagaan ... 129

16 Nilai keberlanjutan berdasarkan dimensi kelembagaan ... 130

(21)

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN

ABK : Anak buah kapal yaitu orang yang bekerja di atas kapal Adat : Aturan perbuatan dan kebiasaan yang telah berlaku dalam

masyarakat yang dijadikan pedoman dalam pergaulan hidup di Aceh.

Adat-istiadat : Tata kelakuan yang kekal dan turun-temurun dari generasi pendahulu yang dihormati dan dimuliakan sebagai warisan yang bersendikan Syariat Islam.

Adopsi : Proses perubahan mental, dalam mengambil keputusan untuk menerima atau menolak ide baru.

AHP : Analytical Hierarchy Process (Proses Hirarki Analitik), yaitu suatu metode yang menstruktur masalah dalam bentuk hirarki dan memasukkan pertimbangan-pertimbangan untuk menghasilkan skala prioritas.

Atribut : Sub faktor yang menentukan besaran skor suatu dimensi keberlanjutan perikanan tangkap.

Bagan : Alat tangkap yang lampu untuk menarik/mengumpulkan ikan, jaring sebagai perangkap di dalam perairan, dan dioperasikan dengan cara menarik jaring ke atas bila ikan sudah terlihat banyak mengumpulkan di bagian perairan tas jaring.

Bagan perahu : Bagan yang dioperasikan menggunakan perahu.

Berkelanjutan : Pemanfaatan sumberdaya secara lestari, yaitu di mana laju pemanfaatan harus lebih kecil atau sama dengan laju pemulihan sumberdaya tersebut

CCRF : Code of Conduct for Responsible Fisheries (Tata laksana untuk perikanan yang bertanggung jawab)

Demersal : Jenis ikan yang hidup, berenang dan mencari makan mulai di lapisan dasar

Dimensi : Merupakan kesatuan dari atribut-atribut terpilih yang digunakan dalam analisis Rapfish atau istilah lain dari aspek.

FAO : Food and Agriculture Organization (Badan Pangan dunia PBB)

Gillnet : Alat tangkap yang konstruksinya terdiri dari hanya satu lembar jaring (biasa juga disebut jaring insang satu lembar). Besar mata jaring semuanya sama, pada bagian atasnya dilengkapi dengan pelampung dan pada bagian bawahnya dilengkapi dengan pemberat.

GPS : Global positioning system

(22)

Hukôm adat laôt : Hukum-hukum adat yang diberlakukan oleh masyarakat nelayan untuk menjaga ketertiban dalam penangkapan ikan dan kehidupan masyarakat nelayan di pantai

Hukum positif : Hukum yang berlaku dalam suatu negara atau masyarakat tertentu pada saat tertentu

Kearifan lokal : Kebiasaaan – kebiasaan yang sudah berlaku dalam kehidupan masyarakat, mematuhi hukum serta nilai– nilai yang terkandung di dalamnya.

Kebiasaan : Sikap dan perbuatan yang dilakukan secara berulang kali untuk hal yang sama, yang hidup dan berkembang serta dilaksanakan oleh masyarakat.

Kepmen : Keputusan Menteri.

Keppres : Keputusan Presiden

Lembaga Adat : suatu organisasi kemasyarakatan adat yang dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu mempunyai wilayah tertentu dan mempunyai harta kekayaan tersendiri serta berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat Aceh.

Lhôk :Dikaterikan sebagai “wilayah” yang tidak ditentukan oleh

wilayah administrasi Kecamatan, Kemukiman (kumpulan beberapa Gampong), Gampong (Kampung). Satu wilayah Lhok, bisa dalam satu wilayah Kecamatan, satu atau lebih Kemukiman, satu atau lebih Gampong.

Majelis Adat Aceh yang selanjutnya disebut MAA: Sebuah majelis penyelenggara kehidupan adat di Aceh yang struktur kelembagaannya sampai tingkat gampong.

Mangrove : Komunitas vegetasi pantai tropis yang khas tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur, berpasir, atau muara sungai, seperti pohon api-api (Avicennia spp), pedada (Sonneratia), tanjang (Bruguiera),nyirih (Xylocarpus), tengar (Ceriops) dan buta-buta (Exoecaria).

Multi-dimensional scaling (MDS) : Penskalaan secara multi dimensi, merupakan teknik dalam penentuan posisi titik-titik tersebut secara visual untuk mempermudah penggambaran titik-titik dalam metode Rapfish.

Pancing ulur : Alat tangkap pancing yang dioperasikan menggunakan tangan tanpa alat bantu apapun.

Pancing tonda : Alat penangkap ikan yang terdiri dari seutas tali panjang, mata pancing, dan umpan. Pancing ditarik di belakang perahu motor atau kapal yang sedang bergerak maju. Panglima Laôt : Orang/lembaga yang memimpin dan mengatur adat

istiadat di bidang pesisir dan kelautan

(23)

Pemanfaatan sumber daya ikan : Kegiatan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan.

Pemerintahan Daerah : Penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemerintah Pusat : Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Penangkapan ikan : Kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.

Pengelolaan perikanan : Semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati (Undang-Undang RI No. 31 Th. 2004).

Perikanan : Semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan, sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam satu bisnis perikanan (Undang-Undang RI No. 31 Th. 2004).

Perikanan tangkap : Bidang perikanan berkaitan dengan kegiatan ekspoitasi atau pemanfatan sumberdaya perikanan.

Purse seine : Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan bergerombol terutama dari jenis ikan pelagis, dengan cara melingkari gerombolan ikan sasaran.

Qanun : Sebutan khusus Peraturan Daerah di Aceh, berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2001 dan UU Nomor 11 Tahun 2006.

Rapfish (rafid appraisal of the status of fisheries): Teknik terbaru yang dikembangkan oleh University Of British Columbia Canada, yang merupakan analisis untuk mengevaluasi kebelanjutan dari perikanan secara multidisipliner.

(24)

RTP : Rumah tangga perikanan, rumah tangga yang bekerja sebagai nelayan

Sensitifity analysis : Analisis sensitivitas yaitu sautu analisis untuk memilih atribut yang paling sensitif dari sejumlah atribut yang dianalisis.

SPSS :Statistical Package for the Sosial Science. Stakeholder : Pemangku kepentingan.

Sustainable fisheries : Kegiatan perikanan yang berkelanjutan

Sustainability : Keberlanjutan.

Teknik ordinasi : Salah satu teknik dalam analisis statistik, menempatkan sesuatu pada urutan atribut yang terukur menggunakan MDS.

Teknologi : Sesuatu yang berfungsi untuk mempermudah usaha manusia.

Terumbu karang : Ekosistem yang hidup di dasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3)

(25)
(26)

1

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Adopsi teknologi penangkapan ikan mempunyai peranan penting dalam rangka meningkatkan pembangunan kelautan dan perikanan, baik berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan, pengolah maupun pembudidaya ikan. Proses adopsi teknologi, diharapkan berperan dalam peningkatan sektor perikanan dan kelautan, sebagai sumber pertumbuhan ekonomi. Termasuk didalamnya adalah peningkatan kecerdasan, dan kesehatan bangsa melalui peningkatan konsumsi ikan, pemeliharaan, dan peningkatan daya dukung lingkungan, peningkatan peran laut sebagai pemersatu bangsa dan peningkatan budaya bahari bangsa Indonesia. Oleh karena itu, teknologi alat tangkap yang disampaikan kepada nelayan hendaknya merupakan teknologi tepat guna atau teknologi yang spesifik lokasi dengan mempertimbangkan kondisi ekosistem laut dimana nantinya teknologi tersebut akan memberikan dampak positif bagi nelayan pemakainya.

Adopsi teknologi merupakan proses mental, perubahan perilaku yang berupa pengetahuan, sikap, keterampilan petani/nelayan sejak mengenal sampai memutuskan untuk menerapkannya. (Roger and Shoemaker 1971). Pengenalan teknologi perikanan khususnya teknologi yang berkaitan dengan perikanan tangkap merupakan suatu usaha untuk meningkatkan pendapatan masyarakat nelayan, beserta keluarganya, yang pada hakekatnya merupakan ide baru dalam bidang perikanan. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan adopsi (penerapan) teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan oleh masyarakat nelayan, baik penerapan paket teknologi maupun jangka waktu yang dibutuhkan, (Mardikanto 1993).

Panglima Laôt sudah ada sejak Kesultanan Iskandar Muda (1607 – 1636) (Nurasaet al. 1993; Rinaldiet al. 2007; Kumar, 2009). Namun, tidak ada catatan rinci mengenai siapa Panglima Laôt pertama dan apa fungsi dan mandatnya (Utomo 2010). Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, peran Panglima Laôt masih belum diakui oleh pemerintah. Wacana Panglima Laôt resmi mulai timbul melalui peraturan nomor lokal 2 tahun 1990, tentang praktek nelayan tradisional di Aceh. Kemajuan ini kemudian dilanjutkan dengan pembentukan UU No 44 tahun 2000, tentang susunan spesifik dari Provinsi Aceh, di mana ketentuan tentang kehidupan adat termasuk Panglima Laôt sebagai pemangku adat laôt di Aceh disetujui oleh pemerintah pusat (Adriantoet al.2009).

Kabupaten Aceh Jaya merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Aceh. Kabupaten ini merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Barat yang terletak di pantai barat Aceh, memiliki potensi perikanan yang belum dimanfaatkan secara optimal, baik sumberdaya ikan pelagis maupun demersal. Perairan pesisir Kabupaten Aceh Jaya merupakan bagian dari Samudera Hindia yang memiliki panjang garis pantai 135 km dengan produksi perikanan laut rata-rata 1.213,80 ton per/tahun (DKP Aceh Jaya 2012).

(27)

ulur, pukat cincin, dan bagan apung.

Tema Adopsi teknologi selama ini, banyak dipakai pada judul-judul penelitian dalam bidang pertanian. Kabupaten Aceh Jaya merupakan daerah yang paling parah terkena dampak tsunami, lebih dari 80% perikanan tangkap hancur. Pasca tsunami banyak bermunculan teknologi baru dalam pemanfaatan sumberdaya ikan di Kabupaten Aceh Jaya, Masyarakat terkadang sulit untuk menerima suatu perubahan, walaupun secara fisik bermanfaat.faktor-faktor non fisik biasanya merupakan pegangan hidup yang sulit dihapus begitu saja. Melakukan pembangunan masyarakat desa oleh karena itu, harus memperhatikan kondisi dan karakter kehidupan masyarakat yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain. oleh sebab itu penelitian ini dilakukan supaya dapat memberikan gambaran proses dan tingkat adopsi teknologi dalam pamanfaatan sumberdaya ikan dikaitkan dengan nilai-nilai kearifan lokal yang ada di Kabupaten Aceh Jaya.

1.2 Perumusan Masalah

Adopsi teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan yang berkelanjutan berbasis kearifan lokal dan pengembangannya di Kabupaten Aceh Jaya dihadapkan pada berbagai masalah besar seperti berikut; (1) peranan hukum adat Laôt (kearifan lokal), (2) keberlanjutan perikanan tangkap, (3) proses dan tingkat adopsi teknologi, (4) rendahnya kesadaran nelayan terhadap lingkungan, dan (5) kurangnya pembinaan terhadap nelayan. Melihat banyaknya permasalahan yang ada dalam usaha pemanfaatan sumberdaya ikan (perikanan tangkap), maka sudah saatnya kebijakan perikanan tangkap dengan menekankan pentingnya kelembagaan yang mampu meminimumkan permasalahan yang terjadi di lapangan dan mendorong akselerasi perekonomian serta perlindungan bagi masyarakat nelayan. Rumusan permasalahan adopsi teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis kearifan lokal di Kabupaten Aceh Jaya dapat dilihat pada Gambar 1.

Sehubungan dengan fakta-fakta empiris di atas, maka fokus penelitian ini disusun dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

(1) Bagaimana peranan Panglima Laôt sebagai pemangku hukum adat Laôt dalam usaha pemanfaatan sumberdaya ikan?

(2) Bagaimana status keberlanjutan perikanan tangkap berbasis kearifan lokal di Kabupaten Aceh Jaya?

(3) Bagaimana proses adopsi teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis kearifan lokal di Kabupaten Aceh Jaya.

(28)

Gambar 1 Rumusan masalah penelitian

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

(1) Mengungkapkan peran kearifan lokal dalam pemanfaatan sumberdaya ikan di Kabupaten Aceh Jaya

(2) Menganalisis status keberlanjutan perikanan tangkap berbasis kearifan lokal di Kabupaten Aceh Jaya

(3) Menganalisis proses dan tingkat adopsi teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis kearifan lokal

(29)

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi pembangunan perikanan di Indonesia, khususnya proses adopsi teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan yang berkelanjutan berbasis kearifan lokal dan pengembangannya di Kabupaten Aceh Jaya. Secara lebih spesifik, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi:

(1) Masyarakat nelayan di Kabupaten Aceh Jaya

Manfaat yang dapat disumbangkan untuk para nelayan, khususnya yang melakukan kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan dalam kawasan perairan Kabupaten Aceh Jaya berkaitan dengan adopsi teknologi dalam memanfaatkan sumberdaya ikan yang ramah lingkungan agar usaha penangkapan ikan yang dilakukan berjalan secara optimal dan berkelanjutan. (2) Pemerintah

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan bagi pemerintah seperti Departemen Kelautan dan Perikanan maupun Dinas terkait yang berkaitan dengan kegiatan penangkapan ikan di Aceh Jaya, dalam merumuskan kebijakan pembangunan perikanan, khususnya kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan teknologi penangkapan ikan yang berbasis kearifan lokal di Kabupaten Aceh Jaya.

(3) Kalangan Akademisi

Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi bagi para akademisi, berkaitan dengan pengembangan adopsi dan inovasi teknologi penangkapan ikan yang berbasis kearifan lokal di Kabupaten Aceh Jaya. (4) Panglima Laôt

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan bagi Panglima Laôt dalam mengimplementaskan nilai-nilai kearifan lokal dalam kehidupan nelayan, perumusan kebijakan pembangunan perikanan, khususnya kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan teknologi penangkapan ikan yang berbasis kearifan lokal di Aceh pada umumnya.

1.5 Kerangka Pemikiran

Pemecahan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka diperlukan satu pemikiran konseptual untuk memberikan solusi optimal terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan. Pemanfaatan sumberdaya ikan merupakan usaha yang dilakukan untuk meningkatkan produksi perikanan tangkap dengan tetap menjaga kelestariannya, dan menjungjung tinggi nilai-nilai kearifan lokalnya.

(30)

Selanjutnya dalam kajian ini, untuk mengetahui sejauh mana status pemanfaatan sumberdaya ikan di Kabupaten Aceh Jaya dengan mendasarkan pada pertimbangan berbagai aspek. Diketahuinya status perikanan tangkap bertujuan untuk menentukan langkah-langkah penyusunan konsep pengembangan adopsi teknologi pemanfaatan sumberdaya ikan dalam rangka pembangunan berkelanjutan. Penilaian kelestarian sumberdaya ikan umumnya didasarkan pada parameter dimensi biologi dan ekonomi sebagai indikator. Dengan perubahan paradigma pembangunan menuju ke arah paradigma pembangunan berkelanjutan, maka penilaian kelestarian sumberdaya ikan mencakup lebih banyak aspek yang menjadi fokus kajian. Interaksi aspek-aspek tersebut menjadi indikator bagi keberlanjutan usaha perikanan tangkap. Beberapa aspek tersebut antara lain adalah aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan kelembagaan. Kelima aspek ini dipandang cukup merepresentasikan dan dapat mengindikasikan status usaha perikanan tangkap yang dilakukan di suatu wilayah/unit analisis. Penilaian dimensi ini diturunkan lagi dalam berbagai atribut yang mencirikan dimensi tersebut dengan mengacu pada Alderet al.(2000).

Selanjutnya adopsi teknologi pemanfaatan sumberdaya ikan oleh nelayan sangat tergantung pada kondisi nelayan itu sendiri (karakter internal), kondisi lingkungannya (aspek eksternal) serta karakteristik teknologinya. Unsur-unsur tersebut merupakan faktor yang mempengaruhi adopsi suatu teknologi. Dalam memutuskan menerima atau menolak suatu teknologi, nelayan terlebih dahulu mengetahui, mengevaluasinya, mencoba dan menerapkan atau mengadopsinya. Hal ini merupakan proses mental dalam perubahan perilaku nelayan pada ranah pengetahuan, sikap maupun keterampilan.

(31)

Gambar 2 Kerangka pemikiran

1.6 Kebaruan Penelitian (Novelty)

(32)

dalam pengelolaan kegiatan perikanan purse seine di Kecamatan Muara Batu, Kabupaten Aceh Utara. penulis buku-buku yang membahas tentang keberadaan Panglima Laôt di Aceh, seperti; Abdullah et al. (2006), Satria (2009), Daud dan Adek (2010), Adriantoet al.(2011), serta Abdullah dan Muttaqin (2012).

Penelitian tentang keberlanjutan perikanan tangkap dengan menggunakan teknik Rapfish oleh Pitcher dan Preikshot (2001) yang menjelaskan metode Rapfish beserta atribut yang digunakan, Hartono et al. (2005) yang mengembangkan teknik Rapfish untuk menentukan indikator kinerja perikanan tangkap yang berkelanjutan di Indonesia, Tesfamichael dan Pitcher (2006) mengkaji status keberlanjutan perikanan di Laut Merah dengan menggunakan 44 atribut keberlanjutan, Nababan et al. (2007) menganalisis status keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Tegal Jawa Tengah, Suyasa (2007) mengkaji tentang keberlanjutan dan produktivitas perikanan pelagis kecil yang berbasis di pentai utara Jawa, Allahyari (2010) memfokuskan pengkajian keberlanjutan perikanan pada aspek sosial nelayan di Provinsi Guilan Iran, Abdullah (2011) yang meneliti keberlanjutan perikanan pelagis di Ternate dan menyusun strategi pengembangannya, serta Nur (2011) meneliti tentang keberlanjutan perikanan cakalang (Katsuwonus pelamis) di Perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) Samudera Hindia Selatan Jawa Timur.

Penelitian tentang adopsi teknologi dengan menggunakan model Logit biasa digunakan dalam penelitian-penelitian bidang pertanian, seperti; Syafril (2002) mengkaji tentang hubungan karakteristik petani dan jaringan komunikasi dengan adopsi inovasi teknologi sistem usaha pertanian jagung (kasus di Kecamatan Rambah Hilir, Riau, Yuliarmi (2006) mengkaji tentang analisis produksi dan faktor-faktor penentu adopsi teknologi pemupukan berimbang pada usaha padi, Purnaningsih (2006) tentang adopsi inovasi pola kemitraan agribisnis sayuran di Provinsi Jawa Barat, Mendola (2007) melakukan penelitian tentang Agricultural technology adoption and poverty reduction: A propensity-score matching analysis for rural Bangladesh, Mondal dan Basu (2009)Adoption of precision agriculture technologies in India and in some developing countries: Scope, present status and strategies, Yusriadi (2011) mengkaji tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan adopsi peternakan sapi perah tentang teknologi biogas di Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan, Huda (2012) mengaji tentang adopsi teknologi budidaya dan strategi pengembangan pengelolaan perkebunan karet rakyat (Studi kasus di Kecamatan Teweh Tengah Kabupaten Barito Utara), Akudugu et al.

(2012) melakukan penelitian tentangAdoption of Modern Agricultural Production Technologies by Farm Households in Ghana: What Factors Influence their Decisions?.

(33)

Dengan demikian, dalam penelitian ini memiliki beberapa kebaruan (Novelty), yaitu:

(1) Perumusan peran kearifan lokal (kelembagaan Panglima Laôt) dalam adopsi teknologi perikanan tangkap di Kabupaten Aceh Jaya.

(2) Analisis keberlanjutan perikanan tangkap berbasis kearifan lokal di Kabupaten Aceh Jaya.

(34)

2 METODE PENELITIAN UMUM

2.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu pelaksanaan penelitian lapang ini dilaksanakan selama 6 bulan, dimulai sejak September 2012 sampai dengan Februari 2013, tempat penelitian dilakukan di Kabupaten Aceh Jaya, meliputi Kecamatan Jaya, Setia Bakti, Krueng Sabee, Panga dan Teunom (Lampiran 1)

2.2 Jenis dan Metode Pengumpulan Data

Secara umum metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey. Penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data.

2.2.1 Jenis data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Jenis data yang dikumpulkan adalah data sumberdaya ikan, produksi ikan, jenis dan jumlah unit penangkapan, rumah tangga perikanan (RTP), sosial ekonomi masyarakat nelayan, kebijakan penangkapan ikan, dan kondisi pembangunan penangkapan ikan ditinjau dari aspek ekologi, ekonomi, sosial dan budaya serta peranan Panglima Laôt dalam menunjang usaha pemanfaatan sumberdaya ikan di Kabupaten Aceh Jaya.

2.2.2 Metode pengumpulan data

Pengumpulan data primer dilakukan melalui pengamatan langsung di lapangan, diskusi dan wawancara menggunakan kuisioner dengan stakeholders. Wawancara dimaksud untuk mengetahui sejarah/proses adopsi teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan, persepsi masyarakat nelayan terhadap konsep adopsi teknologi penangkapan ikan sebagai konsep yang perlu diambil untuk mengatasi permasalahan di Perairan Kabupaten Aceh Jaya. Data sekunder diperoleh melalui studi/literatur dari berbagai laporan yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah dan hasil penelitian-penelitian lainnya digunakan untuk mendeskripsikan keadaan umum wilayah penelitian yang meliputi aspek teknologi, ekonomi, ekologi dan sosial budaya wilayah Kabupaten Aceh Jaya sebagai dasar perumusan kebijakan.

(35)

pemetaan kawasan hukum adat laôt di Aceh; (2) Panglima Laôt Kabupaten Aceh Jaya (1 orang), untuk mendapatkan gambaran tentang hukum adat laôt/kearifan lokal dan struktur lembaga Kabupaten, serta pemetaan kawasannya tingkat Kabupaten; (3) Panglima Laôt Lhôk (masing-masing 1 orang), untuk menemukan bagaimana hukum adat laôt/kearifan lokal secara khusus berlangsung di masing-masing Lhôk (kecamatan); (4) Nelayan (masing-masing-masing-masing 5 orang/alat penangkapan ikan), untuk mengetahui sejauhmana mereka mengerti hukum adat laôt/kearifan lokal dan menerimanya sebagai kenyataan hukum lokal; (5) Motivator masyarakat (1 orang), sebagai pihak yang mendampingi program penguatan hukum adat Laôt/kearifan lokal, yang menggambarkan bagaimana penguatan tersebut dilakukan, dalam hubungannya dengan eksistensi yang berhadapan dengan hukum negara; (6) Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh (1 orang), untuk mendapatkan gambaran kebijakan tentang pemanfaatan sumberdaya ikan di Aceh; (7) Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Jaya (1 orang), untuk mendapatkan gambaran pemanfaatan sumberdaya ikan di Aceh Jaya.

2.3 Metode Analisis Data

Metode anaisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, RAPFISH,Chi-Square, Kontigensi, Logit, dan metode A’WOT (AHP

dan SWOT). Metode ini didasarkan pada masing-masing tujuan penelitian (Tabel 1).

Tabel 1 Metode analisis data

(36)

3 PERANAN KEARIFAN LOKAL DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN

3.1 Pendahuluan

Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan keanekaragaman budaya, etnis, suku dan ras, terdapat kurang lebih 389 suku bangsa yang memiliki adat istiadat, bahasa, tata nilai dan budaya yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya (Saptomo 2010). Adat istiadat, tata nilai dan budaya tersebut antara lain mengatur beberapa aspek kehidupan, seperti; hubungan sosial kemasyarakatan, ritual peribadatan, kepercayaan, mitos-mitos dan sanksi adat yang berlaku di lingkungan masyarakat adat yang ada. Keanekaragaman budaya daerah tersebut merupakan potensi sosial yang dapat membentuk karakter dan citra budaya tersendiri pada masing-masing daerah, serta merupakan bagian penting bagi pembentukan citra dan identitas budaya suatu daerah. Di samping itu, keanekaragaman merupakan kekayaan intelektual dan kultural sebagai bagian dari warisan budaya yang perlu dilestarikan (Ridwan 2007).

Dalam upaya mengharmonisasikan, menjaga, dan melestarikan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal dalam konteks penataan ruang, pemerintah perlu melakukan beberapa upaya pada berbagai aspek pada tingkatan penyelenggaraan penataan ruang (Markus 2010). Selain itu, karena keterkaitan yang erat antara potensi budaya dan penyelenggaraan penataan ruang, diperlukan upaya untuk mengakomodasi nilai budaya lokal/adat istiadat ke dalam hukum positif, yaitu ke dalam regulasi penataan ruang, yaitu melalui proses adopsi, adaptasi, dan asimilasi. Seiring dengan peningkatan teknologi dan transformasi budaya ke arah kehidupan moderen serta pengaruh globalisasi, warisan budaya dan nilai-nilai tradisional masyarakat adat tersebut menghadapi tantangan terhadap eksistensinya (Busilacchiet al. 2013). Hal ini perlu dicermati karena warisan budaya dan nilai-nilai tradisional tersebut mengandung banyak kearifan lokal yang masih sangat relevan dengan kondisi saat ini, dan seharusnya dilestarikan, diadaptasi atau bahkan dikembangkan lebih jauh.

Kaidah-kaidah tersebut ada yang bersifat anjuran, larangan, maupun persyaratan adat yang ditetapkan untuk aktivitas tertentu. Selain aspek fisik dan visual, keanekaragaman budaya, sosial kemasyarakatan yang terkandung di dalam kearifan lokal umumnya bersifat verbal dan tidak sepenuhnya terdokumentasi dengan baik (Pita et al. 2010). Untuk itu, perlu dikembangkan suatu bentuk

(37)

peran kearifan lokal dalam mewujudkan pembangunan perikanan yang berkelanjutan di Kabupaten Aceh Jaya.

3.2 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam peneitian ini adalah metode survei dibantu daftar pertanyaan (kuesioner). Data yang dikumpulkan dalam penelitian berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui hasil wawancara dengan responden, penentuan responden ditentukan secara purposive sampling(ditentukan). Respondennya adalah pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Jaya, Panglima Laôt Aceh (provinsi), Panglima Laôt Kabupaten, Panglima Laôt Lhôk (Gambar 3), nelayan dan pedagang ikan. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait, seperti Lembaga Panglima Laôt Aceh, Dinas Kelautan dan Perikanan serta laporan hasil-hasil penelitian. Data primer yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah;

(1) Aspek kelembagaan, meliputi sejarah lahir kelembagaan Panglima Laôt (2) Aspek hukum, meliputi dasar hukum kelembagaan Panglima Laôt dan

aturan atau ketentuan Panglima Laôt dalam Pemanfaatan sumberdaya ikan Selanjutnya data yang telah terkumpul dianalisis isi (content analysis), untuk memberikan gambaran tentang peranan Panglima Laôt sebagai pemangku hukum adat laôt (kearifan lokal) dalam pemanfaatan sumberdaya ikan di Kabupaten Aceh Jaya. Metodecontent analysisini, digunakan untuk menganalisis semua bentuk komunikasi. Baik surat kabar, berita radio maupun semua bahan-bahan dokumentasi yang lain tentang Panglima Laôt.

3.3 Hasil Penelitian

3.3.1 Sejarah Panglima Laôt

Panglima Laôt adalah lembaga hukum adat laôt yang telah ada sejak abad ke-16 yaitu pada zaman Kerajaan Samudera Pasai (1607-1636). Pada mulanya Panglima Laôt merupakan perpanjangan tangan Sultan Iskandar Muda, yang berperan memungut pajak dari kapal-kapal dagang di pelabuhan dan memobilisasi massa untuk berperang (Abdullah et al. 2006). Menurut Hoven (1979) diacu dalam Abdullah et al. (2006), Panglima Laôt adalah lembaga adat resmi dan diatur oleh negara. Kekuasaan ini diberikan oleh Sultan melalui surat kepada pembesar wilayah. Hal ini menggambarkan bahwa Panglima Laôt pada masa itu diberi kekuasaan oleh Sultan untuk menguasai wilayah maritim di Aceh. Pemungutan diberlakukan pada kapal-kapal atau pengunjung yang berlabuh di sekitar wilayah Aceh. Pajak tersebut digunakan oleh kerajaan, seperti untuk bantuan perang. Peran lain Panglima Laôt, yaitu mengumpulkan massa untuk berperang yang hampir sebagian besar berasal dari masyarakat nelayan sendiri.

(38)

Laôt saat itu sebagai Panglima Laôt Lhôk (Abdullahet al.2006).

Peran Panglima Laôt setelah kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, yaitu mengatur cara-cara untuk menyelesaikan konflik antara nelayan yang terjadi di Laut. Pada Tahun 1945 - 1982, Panglima Laôt berdiri sendiri-sendiri di tiap wilayah lhôk (Panglima Laôt Lhôk). Pemilihan Panglima Laôt Lhôk dilakukan oleh masyarakat nelayan dan pilihan tersebut jatuh kepada Pawang Laôt (fishing master) yang memiliki pengalaman di bidang kelautan.

Keberadaan Panglima Laôt dari awal pembentukan sampai sekarang sudah mengalamai berbagai fase, mulai dari sebagai pengutip pajak sampai mendapatkan pengakuan penuh dari pemerintah sebagai pemangku adat laôt di Aceh (Tabel 2)

Tabel 2 Fase keberadaan Panglima Laôt

Periode Era Aspek

1607-1637 Kerajaan Islam Aceh, Dibawah Sultan Iskandar Muda

- Pembentukan awal - Sebagai pengutip pajak 1904-1945 Era penjajahan (Belanda

dan Jepang)

Gerakan kemerdekaan. Mobilisasi orang untuk kemerdekaan

1966 –1998 Rezim Orde Baru - Pemerintahan yang sentralistik

- Implementasi terbatas 1982 Kongres pertama Pembentukan Panglima Laôt

tingkat Kabupaten

1998 Era Reformasi Pengakuan penuh berdasarkan kebijakan

2002 Kongres kedua Pembentukan Panglima Laôt tingkat provinsi

2004 Tsunami Bantuan darurat, pemulihan dan

rekonstruksi

Mendapatkan pengakuan penuh 2005 Perjanjian Damai

2005 - Sekarang Revitalisasi Sumber: Utomo 2010

Kedudukan Panglima Laôt Lhôk yang berdiri sendiri-sendiri di setiap wilayah mengakibatkan hukum adat laôt yang berlaku di suatu wilayah belum tentu sama dengan hukum adat yang berlaku di wilayah lainnya. Hal ini sering memicu terjadi sengketa nelayan antar wilayah atau lhôk, sehingga Panglima Lhôk di seluruh wilayah Aceh mengadakan pertemuan di Kota Langsa pada tahun 1982 untuk membentuk Panglima Laôt Kabupaten. Panglima Laôt Kabupaten dibentuk atas dasar kesepakatan antar Panglima Laôt Lhôk yang diberi wewenang untuk menyelesaikan sengketa nelayan yang terjadi antar lhôk (desa) yang tidak dapat diselesaikan oleh Panglima Laôt Lhôk.

(39)

mewujudkan kesejahteraan masyarakat nelayan termasuk bagi nelayan yang terdampar (Abdullahet al. 2006)

3.3.2 Hukum positif dan Kelembagaan Panglima Laôt sebagai pemangku nilai-nilai kearifan lokal di Aceh.

Analisis hukum dilakukan untuk mengetahui dasar berlakunya hukum adat laôt dan melacak sejarah lembaga hukum adat laôt di Provinsi Aceh, sedangkan analisis kelembagaan dilakukan untuk mengetahui sistem kelembagaan Panglima Laôt serta melihat hubungan lembaga tersebut dengan lembaga lainnya. Berikut akan penjelasan lebih rinci dari hasil analisis hukum dan kelembagaan Panglima Laôt.

3.3.2.1 Pengakuan hukum positif terhadap hukum adat laôt

Hukum adat laôt/kearifan lokal sudah ada sejak lama di Aceh dan terus berkembang bersamaan dengan tumbuhnya kebudayaan masyarakat adat nelayan di Aceh. Hukum adat laôt/kearifan lokal tetap dipatuhi tanpa ada paksaan dan dijalankan sesuai dengan nilai budaya, norma-norma adat sesuai dengan syariat Islam oleh masyarakat adat nelayan di Aceh pada saat itu. Keberadaan hukum adat laôt/kearifan lokal di Aceh diakui oleh hukum positif, yang merupakan hukum yang berlaku di Indonesia. Beberapa peraturan mengenai pengakuan hukum positif terhadap keberadaan hukum adat laôt/kearifan lokal berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan di Aceh sebagai berikut:

1) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan juncto Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

(1) Pasal 6 ayat (2)

”Pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan

pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau

kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat.”

(2) Pada Pasal 52

”Pemerintah mengatur, mendorong, dan/atau menyelenggarakan penelitian dan pengembangan perikanan untuk menghasilkan pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan dalam pengembangan usaha perikanan agar lebih efektif, efisien, ekonomis, berdaya saing tinggi, dan ramah lingkungan, serta menghargai kearifantradisi/budaya lokal.”

Berdasarkan pasal-pasal di atas diketahui bahwa kearifan lokal atau hukum adat menjadi salah satu pertimbangan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan di seluruh wilayah Perairan Indonesia. Pengakuan pemerintah terhadap kearifan lokal atau hukum adat laôt seiring dengan perubahan sistem pemerintahan yang otonom dan terdesentralisasi, sehingga keberadaan lembaga adat kembali diperhatikan.

2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau pulau Kecil.

(1) Pasal 60 ayat (1) butir c

(40)

tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.”

(2) Pasal 61 ayat (1)

“Pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat adat, masyarakat tradisional, dan kearifan lokal atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun.”

(3) Pasal 61 ayat (2)

”Pengakuan hak-hak masyarakat adat, masyarakat tradisional, dan kearifan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan acuan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang

berkelanjutan.”

Berdasarkan pasal-pasal di atas dapat diketahui bahwa masyarakat nelayan di Aceh diberikan hak untuk mengelola wilayah pesisir seperti mengelola kegiatan perikanan tangkap sesuai dengan hukum adat laôt yang berlaku, yaitu yang disebut Panglima Laôt. Hak ini diberikan kepada masyarakat adat nelayan karena pemerintah mengakui, menghormati dan melindungi kearifan lokal yang berlaku di suatu wilayah, salah satunya adalah hukum adat laôt yang berlaku di Aceh.

3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. (1) Pasal 162 ayat (1)

”Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota berwenang untuk mengelola sumberdaya alam yang hidup di Laôt wilayah Aceh.”

(2) Pasal 162 ayat (2) huruf e

“Kewenangan untuk mengelola sumberdaya alam yang hidup di Laôt

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu pemeliharaan hukum adat

Laôt dan membantu keamanan Laôt.”

Pada pasal di atas diketahui bahwa pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Aceh diberi kewenangan untuk memelihara hukum adat laôt, Pengakuan Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota terhadap lembaga adat bertujuan agar menjaga dan memelihara hukum adat laôt sebagai salah satu kearifan lokal di

Aceh.”

4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 2 ayat (9)

”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia.”

Berdasarkan Pasal 2 ayat (9) di atas dapat diketahui keberadaan masyarakat nelayan di Aceh sebagai bagian dari masyarakat hukum adat sangat diakui dan dihormati oleh Negara, bahkan, masyarakat nelayan juga diberikan hak untuk tetap menjalankan hukum adat laôt sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

5) Qanun Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan.

Pasal 11 ayat (2)

“Dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, pemerintah provinsi mengakui

(41)

Berdasarkan Pasal tersebut dijelaskan bahwa Pemerintah Aceh memberikan pengakuan terhadap keberadaan Panglima Laôt di Aceh. Panglima Laôt merupakan lembaga hukum adat laôt yang berperan dalam melakukan pengelolaan kegiatan perikanan tangkap di Aceh.

6) Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat-Istiadat.

Pasal 10 ayat (1) huruf (f)

“Pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan adat istiadat dapat

dilakukan dengan perlindungan hak masyarakat adat, yang meliputi tanah, rawa, hutan, laut, sungai, danau, dan hak-hak masyarakat lainnya”.

Pasal di atas menjelaskan bahwa pemberian perlindungan hak masyarakat adat nelayan dalam menjalankan hukum adat laôt dapat menjaga dan mempertahankan hukum adat laôt..

7) Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat. (1) Pasal 2 ayat (2) huruf (i)

”Lembaga adat berfungsi sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam

penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan penyelesaian masalah-masalah sosial kemasyarakatan.”

(2) Pasal 6 ayat (3):

”Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota memfasilitasi pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan adat istiadat”.

Berdasarkan tersebut di atas dapat diketahui bahwa salah satu lembaga adat di Aceh yaitu Panglima Laôt sangat membantu pemerintah baik dalam pembangunan maupun dalam menyelesaikan masalah sosial yang sering dihadapi masyarakat nelayan.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan di atas, diketahui bahwa hukum adat laôt sudah diakui di dalam hukum positif. Hukum positif tersebut berfungsi untuk melindungi keberadaan hukum adat di Aceh termasuk hukum adat laôt. Hukum adat laôt tersebut merupakan hukum yang tidak tertulis dalam lembar pengesahan negara, namun tetap dipatuhi oleh masyarakat adat nelayan karena merupakan suatu kesepakatan bersama. Pemerintah Aceh juga memberikan fasilitas untuk terus membina dan mengembangkan hukum adat laôt di Aceh. 3.3.2.2 Organisasi Panglima Laôt

Lembaga adat Panglima Laôt adalah sebuah lembaga yang mendukung kegiatan perikanan tangkap di Aceh. Panglima Laôt sebagai sebuah lembaga memiliki struktur kelembagaan untuk menjalankan fungsi dan tugasnya. Struktur kelembagaan Panglima Laôt di Aceh terdiri 3 tingkatan (Tabel 3), yaitu: (1) Panglima Laôt Provinsi; (2) Panglima Laôt kabupaten/kota dan (3) Panglima Laôt Lhôk. Struktur kelembagaan yang dimiliki oleh ketiga tingkatan lembaga Panglima Laôt berbeda-beda, karena semakin tinggi kedudukannya maka semakin kompleks struktur kelembagaannya.

(42)

Tabel 3 Struktur kelembagaan Panglima Laôt

Panglima Laôt Provinsi Panglima Laôt Kabupaten /Kota

Sumber: Abdullahet al. (2006)

Ketiga tingkatan lembaga Panglima Laôt seperti yang telah disebutkan diatas memiliki tugas dan fungsi yang tercantum di dalam Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Adapun fungsi yang dimiliki oleh tiap Panglima Laôt (Pasal 28 ayat (5)), yaitu:

1) Sebagai ketua adat bagi masyarakat nelayan;

2) Sebagai penghubung antara pemerintah dan masyarakat nelayan; dan

3) Mitra pemerintah dalam menyukseskan program pembangunan Kelautan dan Perikanan

Sementara dalam menjalankan fungsinya Panglima Laôt memiliki tugas berdasarkan tingkatannya, yaitu:

1) Tugas Panglima Laôt Lhôk, yaitu (Pasal 28 ayat (2)):

(1) Melaksanakan, memelihara dan mengawasi pelaksanaan adat istiadat dan hukum adat laôt ;

(2) Membantu Pemerintah dalam bidang Kelautan dan Perikanan;

(3) Menyelesaikan sengketa dan perselisihan yang terjadi diantara nelayan sesuai dengan ketentuan hukum adat laôt ;

(4) Menjaga dan melestarikan fungsi lingkungan kawasan pesisir dan Laôt;

(5) Memperjuangkan peningkatan taraf hidup masyarakat nelayan; dan (6) Mencegah terjadinya penangkapan ikan secara ilegal.

2) Tugas Panglima Laôt Kabupaten/Kota, yaitu (Pasal 28 ayat (3)):

(1) Melaksanakan tugas-tugas sama seperti Panglima Laôt Lhôk hanya saja bersifat lintas lhôk; dan

(2) Menyelesaikan sengketa antar Panglima Laôt Lhôk. 3) Tugas Panglima Laôt provinsi yaitu (Pasal 28 ayat (4)):

(1) Melaksanakan tugas-tugas sama seperti Panglima Laôt kabupaten/kota hanya saja bersifat lintas kabupaten/kota;

(2) Memberikan advokasi kebijakan kelautan dan perikanan serta memberikan bantuan hukum kepada nelayan yang terdampar di negara lain; dan

(43)

diketahui bahwa pada umumnya tiap tingkatan Panglima Laôt memiliki fungsi sama dalam menjalankan tugasnya. Panglima Laôt Provinsi memang memiliki kedudukan yang paling tinggi, akan tetapi kekuasaan paling besar dalam pelaksanaan hukum adat laôt dimiliki oleh Panglima Laôt Lhôk dan Panglima Laôt kabupaten/kota. Panglima Laôt lhôk lebih mengerti mengenai kondisi nelayan dan perikanan di suatu lhôk (wilayah pesisir). Hal ini dikarenakan Panglima Laôt Lhôk berinteraksi langsung dengan nelayan, sehingga Panglima Laôt Lhôk lebih mengetahui permasalahan- permasalahan yang sedang dihadapi dalam suatu lhôk dan kebutuhan yang paling diperlukan oleh nelayan.

3.3.2.3 Aturan hukum adat laôt

Hukum adat laôt/kearifan lokal saat ini berlaku sama di seluruh Aceh, namun, dalam pelaksanaan dan penerapannya, Panglima Laôt Lhôk memiliki kewenangan untuk menentukan aturan yang terkait dengan kegiatan penangkapan ikan. Sistem aturan berlaku juga disesuaikan dengan karakteristik sumberdaya ikan untuk menentukan penggunaan jenis alat tangkap. Sistem aturan hukum adat Laôt yang diberlakukan di Kabupaten Aceh Jaya yaitu:

1) Kesepakatan hari pantang melaut dan batas-batas waktunya, yaitu: (1) Hari Raya Idul Fitri

Larangan melaut pada Hari Raya Idul Fitri bertujuan memberikan kesempatan pada masyarakat nelayan untuk bersilaturahmi dan merayakan kemenangan atas puasa sebulan penuh di Bulan Ramadhan (Abdullah et al. 2006, Daud dan Adek 2010). Larangan melaut berlaku selama 3 hari, mulai dari terbenamnya matahari pada hari meugang sampai dengan terbenamnya matahari pada hari raya ketiga. Hari meugang adalah tradisi membeli, memasak dan memakan daging bersama keluarga di Aceh menjelang datangnya Ramadhan dan menjelang hari raya Idul Fitri serta Idul Adha.

(2) Hari Raya Idul Adha

Larangan melaut pada Hari Raya Idul Adha bertujuan memberikan kesempatan pada masyarakat nelayan untuk bersilaturahmi dan merayakan hari qurban di Bulan Zulhijjah (Abdullah et al. 2006, Daud dan Adek 2010). Larangan melaut berlaku selama 3 hari, mulai dari terbenamnya matahari pada hari meugang sampai dengan terbenamnya matahari pada hari raya ketiga.

(3) Hari Jumat

Larangan melaut pada hari Jumat dipengaruhi oleh ajaran Islam, yang bertujuan agar nelayan melakukan ibadah Shalat Jumat maupun berzikir (Abdullah et al. 2006, Daud dan Adek 2010). Larangan melaut diberlakukan pada Hari Jumat, mulai dari pukul 00.00 WIB sampai dengan pukul 13.00 WIB. Panglima Laôt Lhôk memperbolehkan nelayan melaut setelah Shalat Jumat.

(4) Hari Khanduri Laôt

Gambar

Gambar 2 Kerangka pemikiran
Tabel 2 Fase keberadaan Panglima Laôt
Gambar 7 Prosedur dari pendekatan Rapfish keberlanjutan
Gambar 8 Ordinasi dimensi ekologi
+7

Referensi

Dokumen terkait

(Sebagai Sumber Belajar Pada Materi Pemanfaatan Sumberdaya Alam Pada Bidang Studi Geografi Di Kelas XI IPS

Kebaruan dari penelitian ini terletak pada pengintegrasian berbagai komponen usahatani dan dimensi keberlanjutan dalam pemanfaatan sumberdaya lokal yang digunakan

Kebaruan dari penelitian ini terletak pada pengintegrasian berbagai komponen usahatani dan dimensi keberlanjutan dalam pemanfaatan sumberdaya lokal yang digunakan

Pada masyarakat nelayan, aktivitas penangkapan ikan sangat dipengaruhi oleh budaya lokal setempat, yaitu pemanfaatan sistem pengetahuan lokal, sistem sosial budaya dan sistem