• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.5 Kesimpulan

5.3.2 Keadaan responden dan keterkaitannya dengan

5.3.2.3 Karakteristik responden yang paling

Dalam analisis ini, akan diuraikan model hasil pengolahan inferensial dengan variabel tidak bebas adalah tingkat adopsi teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan oleh nelayan di Kabupaten Aceh Jaya. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh beberapa variabel bebas terhadap tingkat adopsi teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan di Kabupaten Aceh Jaya. Variabel bebas yang dianalisis yaitu beberapa faktor yang merupakan karakteristik internal dan karakteristik eksternal dari nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan di Kabupaten Aceh Jaya. Analisis data menggunakan model regresi logistik biner dengan variabel terikat berbentuk kategorik yang merupakan tingkat adopsi teknologi oleh nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis kearifan lokal di Kabupaten Aceh Jaya dengan pola pengkategoriannya sebagai berikut: 1) P1 = P(Y=0) : Nelayan dengan tingkat adopsi teknologi rendah

2) P2 = P(Y=1) : Nelayan dengan tingkat adopsi teknologi tinggi

Pada pembahasan ini akan ditekankan pada kondisi kecenderungan bukan probabilitas. Untuk melihat kecenderungan tersebut, peneliti menetapkan nelayan dengan tingkat adopsi teknologi rendah (P1) sebagai kelompok pembanding (reference group) bagi variabel terikat.

Hasil permodelan ini dianalisis dengan menggunakan program SPSS, seluruh responden teramati 100% sebagaimana tercantum pada output model logit pada Lampiran 2. Pada tabel case prosesing summary menunjukkan tidak adanya

missing cases, artinya data yang diproses lengkap 117 responden. Pengkodean variabel dependent (Y) dilakukan sebagaimana pada output analisis logit pada Tabel dependent Variabel encoding, dimana kode adopsi rendah = 0 dan kode adopsi tinggi = 1. Output hasil analisis Logit pada Lampiran 2.

Hasil uji pada logit dengan metode = Forward Stepwise (Likehood Ratio) pada Lampiran 2 Tabel Omnibus Test of Model Coefisient, G statistik = 62,330 dengan p-value (.0.000) < α 5% maka tolak Ho artinya model signifikan, atau

minimal ada satu variabel yang mempengaruhi terhadap Y.

Lampiran 2 pada Tabel Model Summary, model Forward Stepwise

(Likehood Ratio) dapat dilihat dalam model, ternyata telah terjadi perbedaan dalam penafsiran parameternya (-2 Log likehood) sebesar 76,872 poin. Nilai R

Square pada model summary menunjukkan angka 41,3% (Cox and Snell) dan 59,4% (Nagelkerke). Dengan demikian bisa ditafsirkan bahwa dengan 12 variabel (x) tersebut diatas, maka provorsi varians tingkat adopsi teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis kearifan lokal di Kabupaten Aceh Jaya (Y) yang bisa dijelaskan adalah 41,3 % sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor lain.

Hasil validasi kecocokan model menunjukkan bahwa model hasil estimasi signifikan fit atau model layak digunakan (Tabel 21). Hal ini terlihat dari hasil uji

Chi-Square mempunyai nilai 4,648 dengan p-value sebesar 79,4 (>0,05) yang berarti terima hipotesa nol (Ho : model hasil estimasi signifikan fit) dan tolak hipotesa satu (H1 : model hasil estimasi tidak signifikan fit).

Tabel 21 Hasil uji Hosmer and Lemeshow

Chi-square df Sig.

4,648 8 0,794

Pada klasifikasi Tabel (Tabel 22) dapat diketahui bahwa secara keseluruhan, 81,2% data observed dapat diprediksi secara tepat oleh model hasil estimasi. Hasil perbandingan antara status tingkat adopsi teknologi estimasi model (predicted) dengan status awal (observed) menunjukkan bahwa dari 33 data observed yang berstatus rendah, 20 data diprediksi rendah dan ada 13 data yang diprediksi tinggi (misclassification). Dari 84 dataobservedyang berstatus tinggi, ada 75 data yang diprediksi tinggi dan ada 9 data yang diprediksi rendah (misclassification).

Tabel 22 Klasifikasi Tabel

Data yang diobservasi

Data yang telah diprediksi Tingkat Adopsi Persentase

kebenaran (%) Rendah Tinggi

Tingkat adopsi Rendah 20 13 60,6

Tinggi 9 75 89,3

Persentase keseluruhan 81,2

Selanjutnya untuk melihat variabel mana yang sesungguhnya berpengaruh terhadap tingkat adopsi teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis kearifan lokal di Kabupaten Aceh Jaya dapat dilihat pada Lampiran 3 Tabel

variabel in the equation. Tabel 23 menunjukkan bahwa variabel yang signifikan dalam model Logit (metode stepwise), adalah variabel umur nelayan (X1), pengalaman nelayan (X3), aktivitas mencari informasi teknologi (X5), persepsi nelayan terhadap teknologi (X6), dukungan penyuluhan perikanan (X8) dan dukungan kelompok nelayan (X9) signifikan mempengaruhi tingkat adopsi teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis kearifan lokal di Kabupaten Aceh Jaya. Hal ini diketahui dari nilai statistikwald yang mempunyai nilai p-value lebih kecil dari 0,05. Nilai statistikwalduntuk variabel umur nelayan adalah 4,733 dengan nilai p-value = 0,030, nilai statistik wald untuk variabel pengalaman nelayan adalah 7,572 dengan p-value = 0,006, Nilai statistik wald

untuk variabel aktivitas mencari informasi teknologi adalah 10,895 dengan p- value = 0,001, nilai statistik wald untuk variabel persepsi nelayan terhadap teknologi adalah 14,695 dengan p-value = 0,000, nilai statistik wald untuk variabel dukungan penyuluhan perikanan adalah 5,427 dengan p-value = 0,020, dan nilai statistikWaldvariabel dukungan kelompok nelayan adalah 7,594 dengan

p-value= 0,006, selangkapnya lihat Tabel 23.

Berdasarkan hasil permodelan Logit (metode Stepwise) terdapat empat variabel karakteristik internal yaitu umur nelayan (X1), pengalaman nelayan (X3),

aktivitas mencari informasi teknologi (X5), persepsi nelayan terhadap teknologi

(X6) dan dua variabel karakteristik eksternal yaitu dukungan penyuluhan

perikanan (X8) dan dukungan kelompok nelayan (X9) yang paling dominan

mempengaruhi tingkat adopsi teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis kearifan lokal di Kabupaten Aceh Jaya. Sedangkan beberapa variabel lainnya, yang dianggap mempengaruhi tingkat adopsi ternyata tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa hanya ada 6 (enam) variabel yang paling

mempengaruhi tingkat adopsi nelayan terhadap teknologi pemanfaatan sumberdaya ikan yaitu; (1) umur nelayan (X1) dengan nilai Odds ratio sebesar

2,688 pada kolom Exp (B) pada baris umur nelayan (berpeluang terjadi peningkatan adopsi teknologi sebesar 2,688 satuan jika terjadi peningkatan umur nelayan dalam satu satuan), (2) pengalaman nelayan (X3) dengan nilai Odds ratio

sebesar 2,779 (peningkatan satu satuan pengalaman nelayan maka berpeluang peningkatan adopsi teknologi sebesar 2,779 satuan), (3) aktivitas mencari informasi teknologi (X5) dengan nilai Odds ratio sebesar 2,839 (peningkatan satu

satuan aktivitas mencari informasi teknologi maka terjadi peluang peningkatan adopsi teknologi sebesar 2,839 satuan), (4) persepsi nelayan terhadap teknologi (X6) dengan nilai Odds ratio sebesar 8,999 (peningkatan satu satuan persepsi

nelayan terhadap teknologi maka berpeluang peningkatan adopsi teknologi sebesar 8,999 satuan), (5) dukungan penyuluhan perikanan (X8) dengan nilai Odds

ratio sebesar 7,649 (peningkatan satu satuan penyuluhan perikanan tangkap maka berpeluang meningkatnya adopsi teknologi sebesar 7,649 satuan), dan (6) dukungan kelompok nelayan (X9) dengan nilai Odds ratio sebesar 3,972

(peningkatan satu satuan dukungan kelompok nelayan maka berpeluang meningkatnya adopsi teknologi sebesar 3,972 satuan

Tabel 23 Variabel yang signifikan pada model Logit (metode Stepwise)

Variabel B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

95% C.I.for EXP(B) Lower Upper Umur nelayan 0,989 0,454 4,733 1 0,030 2,688 1,103 6,549 Pengalaman nelayan 1,022 0,371 7,572 1 0,006 2,779 1,342 5,755 Aktivitas mencari informasi teknologi 1,042 0,316 10,895 1 0,001 2,835 1,527 5,265 Persepsi nelayan terhadap teknologi 2,197 0,573 14,695 1 0,000 8,999 2,926 27,674 Dukungan penyuluhan perikanan 2,035 0,873 5,427 1 0,020 7,649 1,381 42,362 Dukungan kelompok nelayan 1,379 0,500 7,594 1 0,006 3,972 1,489 10,592 Constant -15,092 3,471 18,909 1 0,000 0,000 1,671 5,773

Hasil pengolahan analisis logit tersebut, maka variabel yang mempengaruhi tingkat adopsi adalah umur nelayan (X1), Pengalaman nelayan (X3), aktivitas

mencari informasi teknologi (X5), persepsi nelayan terhadap teknologi (X6),

dukungan penyuluhan (X8) dan dukungan kelompok nelayan (X9). Model regresi

logit adalah sebagai berikut :

Li = ln i i i i i i x x x p p ε β β β β              0 1 2 ... 12 1

Sehingga persamaan regresi logit berdasarkan koefisien B menjadi:

= ln

5.4 Pembahasan

Proses adopsi teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis kearifan lokal di Kabupaten Aceh Jaya pada awal mulanya karena mengetahui adanya penggunaan teknologi baru oleh nelayan lain kemudian nelayan mempelajari teknologi tersebut lalu berminat memiliki teknologi kemudian nelayan baru memutuskan untuk menggunakan teknologi tersebut jika sudah dianggap cocok dengan lingkungannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Lambrecht et al. (2014), menyatakan bahwa keputusan petani/nelayan untuk mengadopsi suatu teknologi, terutama ditentukan oleh faktor internal, yang meliputi sikap dan tujuannya dalam melakukan usahanya. Sikap nelayan dalam hal ini sangat tergantung dari karakteristik nelayan itu sendiri, yaitu umur petani/nelayan, pendidikan formal, jumlah anggota keluarga, dan penguasaan teknologi yang ada. Disamping lingkungan fisik, ada lima faktor yang mempengaruhi sikap nelayan dalam mengadopsi teknologi baru, yakni; 1) keuntungan relatif bila teknologi itu diadopsi, 2) kecocokan teknologi dengan sosial budaya setempat, 3) hasil pengamatan nelayan terhadap nelayan lain yang sedang atau telah mencoba teknologi itu sebagai dasar pelatakan kepercayaan, 4) mencoba sendiri akan keberhasilan teknologi baru, dan 5) kondisi ekonomi yang ada seperti ketersediaan modal.

Umur nelayan, pengalaman nelayan, pendapatan nelayan, persepsi nelayan terhadap teknologi, dukungan penyuluh perikanan, dukungan kelompok nelayan dan dukungan kelembagaan nelayan (Panglima Laôt) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan adopsi teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan. Oleh sebab itu, dimasa yang akan datang hendaknya konsep pengembangan adopsi teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis kearifan lokal di Kabupaten Aceh Jaya sebaiknya berfokus pada peningkatan dukungan kelompok nelayan dan peningkatan informasi teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan bagi nelayan dengan tetap memperhatikan variabel-variabel yang terkait signifikansi terhadap tingkat adopsi. Jika ditelaah lebih lanjut, dukungan kelompok nelayan memiliki hubungan keterkaitan yang erat dengan variabel- variabel lainnya yang berkaitan dengan tingkat adopsi teknologi. Oleh sebab itu, hendaknya variabel yang signifikan terkait erat terhadap tingkat adopsi dapat mendukung peningkatan dukungan kelompok nelayan. Hal ini mutlak dilakukan dengan tujuan agar semua variabel tersebut dapat bersinergi dan mendorong peningkatan peran kelompok nelayan.

Dalam hal Penumbuhan dan pengembangan kelompok nelayan, Samsudin (1994), mengatakan ada tiga peranan penting keberadaan kelompok, yaitu; (1) media sosial atau media penyuluhan yang hidup, wajar, dan dinamis, (2) alat untuk mencapai perubahan sesuai dengan tujuan penyuluhan, dan (3) tempat atau wadah untuk penyampaian aspirasi yang murni dan sehat sesuai keinginan mereka. Ketiga peranan tersebut apabila bisa tumbuh dan berkembang di masyarakat tentunya juga akan menumbuh kembangkan budaya untuk berkelompok. Sementara Adjid (1994) mengatakan bahwa tumbuh kembangnya kelompok tani/nelayan, sebagai kelompok kerjasama dalam pengelolaan usaha tani/nelayan akan meningkatkan efisiensi produktivitas sebagai akibat adanya kebersamaan dalam kelompok tersebut. Oleh karena itu, upaya penumbuhan peningkatan dan pengembangan kelompok nelayan di Kabupaten Aceh Jaya

mutlak di prioritaskan agar tingkat adopsi teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan bagi masyarakat nelayan lebih cepat meningkat.

Jika dilihat dari fungsinya, kelompok tani/nelayan memiliki keterkaitan yang cukup erat dengan beberapa variabel yang memiliki hubungan secara signifikan dengan tingkat adopsi teknologi seperti pengalaman nelayan, pendapatan nelayan, aktifitas mencari informasi teknologi, dukungan kelompok nelayan dan dukungan kelembagaan Panglima Laôt. Oleh karena itu, untuk menumbuh dan mengembangkan kelompok nelayan perlu ada program yang terintegrasi, saling melengkapi dan saling mendorong kemajuan semua variabel dalam memecahkan permasalahan yang ada agar dapat mendukung penguatan fungsi kelompok nelayan sesuai dengan yang diharapkan.

Intensitas pembinaan untuk menumbuhkan dan mengembangkan kegiatan- kegiatan kelompok tani/nelayan merupakan bagian dari sosialisasi teknologi (Adam 2009). Oleh karena itu, perlu mendapatkan perhatian oleh berbagai pihak yang berkepentingan, mengingat faktor ini masih menjadi penentu bagi nelayan dalam adopsi teknologi. Pola pikir nelayan yang mempersepsikan bahwa kelompok nelayan hanya sebagai bagian dari proyek pemerintah sudah semestinya diubah pola pikirnya menjadi tempat kelas belajar, pusat informasi bagi nelayan dan wadah bekerja sama antar nelayan. Dengan dukungan dari Badan Penyuluhan dan instansi pemerintah yang terkait, kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui kelompok nelayan harus mampu mengembangkan teknik-teknik pendidikan tertentu yang imajinatif untuk menggugah kesadaran masyarakat nelayan.

Dalam praktiknya, untuk menggugah partisipasi masyarakat langkah- langkah yang dilakukan (Karsidi 2007) adalah; (1) identifikasi potensi, (2) analisis kebutuhan, (3) rencana kerja bersama, (4) pelaksanaan program kerja bersama, dan (5) monitoring dan evaluasi. Orientasi pemberdayaan nelayan haruslah membantu nelayan agar mampu mengembangkan diri atas dasar inovasi-inovasi yang ada. Ditetapkan secara partisipatoris, pendekatan metodenya berorientasi pada kebutuhan nelayan sasaran dan hal-hal lain yang bersifat praktis, baik dalam bentuk layanan individu maupun kelompok. Adapun tujuan utama melakukan pendekatan-pendekatan terhadap kelompok nelayan adalah untuk memberdayakan nelayan sehingga menjadi nelayan yang mandiri, dimana penyuluh lebih berperan sebagai fasilitator, pencari serta memberikan pilihan-pilihan kepada nelayan. Sehingga falsafah penyuluhan menolong orang agar orang tersebut dapat menolong dirinya sendiri melalui penyuluhan sebagai sarana untuk meningkatkan derajat kehidupan (Sadono 2008).

Sejalan dengan pendapat sebelumnya, Aminah (2007) menyatakan

menyuluh bukannya “mengubah cara bertani” melainkan “mengubah petani”

melalui 6 (enam) dimensi belajar (learning) yaitu; (1) learning to know

(penguasaan konsep, komunikasi informasi, pemahaman lingkungan, rasa senang memahami, mengerti dan menemukan sesuatu), (2) learning to do (penekanan pada skill tingkat rendah ke tingkat tinggi menuju arah kompetensi), (3) learning to live together (mengenal diri sendiri, mengenal diri orang lain, menemukan tujuan bersama, bekerjasama dengan orang lain), (4)learning to be (memecahkan masalah sendiri, mengambil keputusan dan memikiul tanggng jawab, belajar untuk disiplin), (5) learning society (mengembangkan diri secara utuh, terus menurus) dan (6)learning organization (belajar memimpin, belajar berorganisasi, belajar mengajar kepada orang lain).

Dalam hal peningkatan dan pengembangan informasi bagi kelompok nelayan, merujuk pada hasil permodelan logit (metode stepwise), bahwa kegiatan nelayan mencari informasi teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat adopsi. Upaya peningkatan dan pengembangan informasi perikanan tangkap yang berkelanjutan perlu dilakukan untuk memudahkan nelayan dan kelompok nelayan mendapatkan informasi yang diperlukan. Proses pengembangan ini bisa dilakukan melalui program peningkatan peran penyuluhan dan sosialisasi kepada kelompok nelayan. Selain itu, dengan mengoptimalkan penyebaran informasi melalui siaran-siaran radio daerah, proses penyebaran informasi dirasa akan sangat membantu pemerintah daerah dalam menyampaikan program-programnya. Untuk memperkuat posisi dan terjalinnya komunikasi antar nelayan dengan kelompok nelayan, pemerintah juga perlu membentuk gapokyan (gabungan kelompok nelayan) agar mereka dapat saling berbagi informasi dan kerjasama dengan kelompok nelayan lainnya.

Penyebaran informasi yang tepat sasaran, cepat dan menarik akan mempercepat proses adopsi teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan kepada nelayan. Mardikanto (1993) menyatakan bahwa adopsi teknologi merupakan hasil dari kegiatan penyampaian pesan penyuluhan yang berupa inovasi maka proses adopsi itu dapat digambarkan sebagai suatu proses komunikasi yang diawali dengan penyampaian inovasi sampai dengan terjadinya perubahan prilaku baik berupa pengetahuan (cognitif), sikap (affectif) maupun keterampilan (psicomotor) pada diri seseorang setalah menerima inovasi yang disampaikan penyuluh kepada sasarannya. Oleh sebab itu, pengembangan dan peningkatan informasi teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan itu sebaiknya terintegrasi didalam program penguatan dan pengembangan kelompok nelayan untuk memudahkan nelayan saling bertukar informasi dan bekerjasama. Hal ini digunakan untuk memudahkan pemerintah menyampaikan program- programnya dan mempermudah kegiatan penyuluhan.

Untuk mempermudah proses komunikasi, hendaknya dalam penyampaian informasi, penyuluh dapat bersinergi dan membangun kedekatan dengan tokoh masyarakat adat setempat. Kedekatan dengan tokoh masyarakat adat setempat menjadi penting dilakukan untuk mendapatkan perhatian dan respon positif dari masyarakat nelayan setempat. Adapun strategi dalam menyampaikan informasi kepada nelayan, hendaknya informasi yang disebarkan dapat menarik minat nelayan, dengan materi yang mudah dipahami nelayan, disampaikan dengan bahasa yang mudah dipahami (bahasa lokal), dapat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat, serta informasi yang diberikan merupakan informasi yang diperlukan oleh nelayan untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang dialami nelayan melalui pengalamannya dilapangan. Hal ini mutlak dilakukan agar dalam menyampaikan informasi, nelayan termotivasi untuk terus mengikutinya untuk kemudian didiskusikan dengan teman kelompoknya dan dicoba diaplikasikan dilapangan.

5.5 Kesimpulan

Berdasarkan analisis data dari penelitian ini, dapat diambil kesimpulan bahwa:

1) Proses adopsi teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis kearifan lokal di Kabupaten Aceh Jaya sangat dipengaruhi oleh perkembangan zaman (tuntutan kehidupan), dan juga dipengaruhi oleh adanya penggunaan teknologi baru oleh nelayan lain.

2) Karakteristik internal umur nelayan, pengalaman nelayan, pendapatan nelayan, persepsi nelayan terhadap teknologi dan karakteristik eksternal dukungan penyuluh perikanan, dukungan kelompok nelayan dan dukungan kelembagan nelayan (Panglima Laôt) memiliki peran yang cukup besar dalam meningkatkan adopsi teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis kearifan lokal di Kabupaten Aceh Jaya.

6 PENGEMBANGAN TEKNOLOGI DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL

DI KABUPATEN ACEH JAYA 6.1 Pendahuluan

Upaya pengembangan perikanan harus dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan. Sistem perikanan mencakup tiga subsistem yaitu: 1) sumberdaya ikan dan lingkungannya, 2) sumberdaya manusia beserta kegiatannya, dan 3) manajemen perikanan. Sumberdaya ikan dan lingkungannya meliputi tiga komponen yaitu ikan, ekosistem dan lingkungan biofisik. Sumberdaya manusia meliputi empat komponen yaitu nelayan dengan kegiatan memproduksi ikan; kegiatan pasca panen, distribusi, pemasaran dan konsumen; rumah tangga nelayan dan masyarakat perikanan; serta kondisi sosial, ekonomi dan budaya. Subsistem manajemen perikanan meliputi tiga komponen yaitu perencanaan dan kebijakan perikanan; pengelolaan perikanan; serta pengembangan dan penelitian. Sistem perikanan bersifat dinamis, komponen-komponennya mengalami perubahan sepanjang waktu (Charles 2001). Selanjutnya Charles (2001) juga menyatakan, perhatian penting dalam hal keberlanjutan (sustainability) tidak terbatas hanya pada penentuan jumlah tangkapan dan ketersediaan stok, melainkan mencakup keseluruhan aspek perikanan mulai dari ekosistem, struktur sosial dan ekonomi, sampai kepada masyarakat perikanan dan kelembagaan pengelolaan. Keberlanjutan secara ekologi terkait dengan keberlanjutan penangkapan dan perlindungan terhadap sumberdaya. Keberlanjutan sosial ekonomi, terkait dengan manfaat makro bagi penyerapan tenaga kerja dan distribusi pendapatan secara layak bagi pelaku pemanfaat sumberdaya. Keberlanjutan masyarakat menekankan pada perlindungan atau pengembangan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Keberlanjutan kelembagaan terkait dengan kelembagaan keuangan, penatausahaan yang tepat dan kemampuan kelembagaan dalam jangka panjang.

Seperti telah disebutkan dalam UU 31/2004, bahwa perikanan adalah suatu kegiatan bisnis atau usaha, dengan cakupan mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran. Berdasarkan cara produksinya perikanan dikelompokkan menjadi dua, yaitu penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan. Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.

Pola pengembangan pembangunan perikanan tangkap berkelanjutan menuntut adanya partisipasi aktif dari masyarakat, sehingga peran pemerintah sebagai otoritas pembangunan harus terfokus untuk memastikan bahwa seluruh sumberdaya di dalam Negara dapat berkembang secara optimal, dan membangun keunggulan kompetitif dari negara tersebut (Osborne and Gaebler 1992; Drucker 1994). Lebih lanjut dikemukakan bahwa, dalam kaitan ini ada tugas-tugas pemerintah yang tidak dapat tergantikan, yaitu membuat kebijakan publik serta pada tingkat tertentu melaksanakan kebijakan publik dan melakukan evaluasi termasuk monitoring kebijakan.

Lebih lanjut, yang perlu disadari adalah bahwa setiap kebijakan dalam kenyataannya memerlukan sumberdaya (resources). Dalam kaitan ini, mengingat ketersediaan sumberdaya yang terbatas, maka akan memaksa setiap kebijakan

dibangun atas dasar prioritas. Keban (2001) diacu dalam Dwidjowijoto (2006) memperkenalkan kategori kebijakan dalam bentuk pemetaan isu kebijakan pembangunan menjadi 4 zone, yang masing-masing memerlukan penanganan berbeda. Keempat zone dimaksud, dapat dilihat melalui Gambar 30.

C A R A Y A N G D IG U N A K A

N NILAI YANG DIKEJAR

Mudah disetujui Sulit disetujui

Muda h 1. Zona Perhitungan (computation zone) 2. Zona Negosiasi (negotiating zone) S ul it 3. Zona Penentuan (judgement zone) 4. Zona Inspirasi (inspiration zone)

Gambar 30 Zona kategori kebijakan pembangunan

Pada zone satu (computation zone), kebijakan terbatas pada perhitungan matematika. Zone ini merupakan sisi kebijakan yang mudah disetujui nilainya, dan mudah pula untuk melaksanakannya. Sementara zone kedua adalah negosiasi (negotiating zone), yang konteksnya sulit untuk disetujui, akan tetapi caranya masih mudah. Namun demikian, masalah terbesar, terbanyak, terberat dan mendasar berada pada zone ketiga (judgement zone) dan zone ke empat (inspiration zone). Masalah kemiskinan pada umumnya menjadi masalah utama di sektor perikanan khususnya masyarakat nelayan, justru berada pada zone ketiga. Kita tahu dan setuju bahwa kemiskinan harus dihapus, tetapi kriteria kemiskinan dan cara untuk mengatasi kemiskinan ternyata sangat beragam dan tidak mudah untuk menentukan yang terbaik.

Dengan pendekatan yang lebih sederhana, Dwidjowijoto (2006) memperkenalkan zoning isu kebijakan secara makro untuk melihat prioritas pembangunan dengan menggunakan model Time Matrix Management sebagai berikut :

Gambar 31 Penentuan prioritas kebijakan pembangunan

Tugas seorang pemimpin pada hakekatnya harus mampu memilih prioritas serta menentukan mana kebijakan pembangunan yang berada pada kuadran I, kuadran II, kuadran III dan kuadran IV. Setelah itu, baru kemudian menyusun tata urutan manajemen yang dimulai dari visi hingga ke implementasi.

Kelembagaan menurut Saptomo (2010) merupakan suatu perangkat perundang-undangan yang mengatur tata kelembagaan (institutional arrangement) dan mekanisme tata kerja kelembagaan (institutional framework). Kelembagaan memiliki kapasitas yaitu kapasitas potensial (potential capacity), kapasitas daya

PENTING

KURANG PENTING

MENDESAK

Kuadran I

Kuadran II

dukung (carrying capacity) dan kapasitas daya tampung atau daya lentur (absorptive capacity). Kinerja dari suatu kelembagaan merupakan fungsi dari tata kelembagaan, mekanisme, dan kapasitas kelembagaan yang dimilikinya. Kelembagaan dapat diartikan dalam dua pengertian yaitu 1) kelembagaan sebagai institusi, merupakan organisasi berbadan hukum untuk mengelola suatu kegiatan, dan 2) kelembagaan sebagai pelembagaan nilai atau institutionalized. Kelembagaan sebagai organisasi merupakan kumpulan orang yang tergabung dalam suatu wadah yang disatukan untuk bekerjasama mencapai suatu tujuan. Kelembagaan sebagai organisasi mencakup beberapa komponen yaitu 1) orang, sebagai pelaksana tugas, 2) teknologi, yang digunakan untuk melaksanakan tugas, 3) informasi, sebagai pengetahuan untuk melaksanakan tugas, 4) struktur, merupakan peraturan dan pembagian tugas, serta 5) tujuan, merupakan alasan dan tujuan dari pelaksanaan tugas organisasi. Kelembagaan sebagai pelembagaan nilai merupakan nilai-nilai yang dilembagakan yang dihasilkan lembaga, misalnya peraturan perundang-undangan (Soepanto 2010).

Perumusan konsep pengembangan teknologi, dalam pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis kearifan lokal, diinginkan berisikan upaya-upaya atau strategi-strategi yang dapat ditempuh dalam pengembangan perikanan berkelanjutan di Kabupaten Aceh Jaya, sehingga konsep pengembangan tersebut akan lebih mampu untuk memecahkan permasalahan di bidang ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan, agar pemanfaatan sumberdaya ikan yang bertanggung jawab dapat diwujudkan berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal yang ada. selanjutnya dibuat suatu kegiatan yang terencana (implementasi) dari suatu kebijakan dalam pengembangan teknologi pemanfaatan sumberdaya ikan yang tepat sehingga berguna bagi para pengambil keputusan di sektor kelautan dan perikanan di Kabupaten Aceh Jaya.

Oleh karena itu, diperlukan suatu analisis kebijakan pembangunan perikanan tangkap yang bersifat menyeluruh, dengan tetap memperhatikan masalah spesifik kemasyarakatan nelayan. Dengan demikian, pemecahan yang menyeluruh meliputi aspek biologi dan ekonomi, teknologi, kelembagaan, sosial,

Dokumen terkait