ABSTRAK
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENCURIAN
DENGAN KEKERASAN DISERTAI PENGANIAYAAN (Studi Kasus di Polresta Bandar Lampung)
Oleh
Deddyta Sitepu, Tri Andrisman, Gunawan Jatmiko Email : deditasitepu@gmail.com
No. Hp : 081215353902
Narkotika adalah zat yang bisa menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakannya dan memasukkannya ke dalam tubuh. Efek dari pemakaian Narkotika sering kali menjurus kearah tindakan krimimal yang menyebabkan kerugian bagi orang lain. Rumusan masalah dalam penulisan ini adalah bagaimanakah penegakan Hukum pidana terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika dan apakah faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap pelaku penyalahgunaan Narkotika yang melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan disertai penganiayaan. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan yaitu data primer dan data sekunder. Penentuan sample menggunakan purposive sampling, setelah data terkumpul, maka diolah dengan cara seleksi data kemudian dilakukan klasifikasi data dan sistematisasi data. Analisis data dilakukan dengan cara kualitatif dan berdasarkan hasil analisis kemudian ditarik kesimpulan melalui metode induktif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, didapatkan (1) upaya penegakan hukum terhadap upaya represif yang dapat ditempuh antara lain mencakup tindakan penyelidikan, penyidikan penindakan, pemberantasan, penumpasan dengan berpedoman pada Hukum Acara Pidana (KUHAP), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), serta peraturan perundang-undangan lainnya. (2) Faktor penghambat dalam penegakan hukum terhadap penyalahgunaan narkotika melakukan pencurian dengan kekerasan yaitu : adalah karena kurangnya biaya untuk membeli narkotika. Masyarakat enggan untuk melaporkan tindakan penyalahgunaan narkotika yang melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan, karena merasa takut dan tidak peduli terhadap lingkungan sekitarnya. pergaulan yang kurang baik memungkinkan seseorang melakukan suatu tindak pidana, antara lain penyalahgunaan narkotika yang melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan. Saran dalam penelitian ini adalah perlu adanya upaya untuk memperbaiki keadaan dan perlunya meningkatkan patroli oleh penegak hukum dan bagi masyarakat untuk meningkatkan kehati-hatian serta kewaspadaan.
ABSTRACT
THE LAW ENFORCEMENT AGAINST THE PERPETRATOR OF DRUGS ABUSE BY COMMITTING A CRIMINAL THEFT WITH
VIOLENCE AND PERSECUTION
(A Case Study at Bandar Lampung Police Jurisdiction) By
Deddyta Sitepu, Tri Andrisman, Gunawan Jatmiko Email : deditasitepu@gmail.com
Narcotics are substances that cause certain effects for those who use and consume them for the body. The effects of the use of narcotics often lead to criminal actions that cause harm to others. The formulation of the problem in this research are as follows: how is the enforcement of the criminal law against the perpetrators of narcotics abuse? And what are the inhibiting factors of criminal law enforcement against the perpetrators of narcotics abuse by committing a criminal theft with violence and persecution? This research used normative and empirical approaches. The data sources consist of primary and secondary data. The sample was determined using purposive sampling; the completion of the data collection was followed by the data selection, data classification, and data systematization. The analysis of the data was done using qualitative analysis; and based on the result of the analysis, the conclusion was drawn through inductive method. Based on the result of the research and discussion, it showed that: (1) the law enforcement through the repressive effort included: investigation, prosecution investigation, eradication, combatment based on Criminal Procedure Code, The Book of Criminal Conduct, And other laws and regulations. (2) The inhibiting factors in law enforcement against narcotics abuse by committing a criminal theft with violation was triggered by the need of money to buy narcotics. The society were also reluctant to report the acts of drugs abuse which was done by committing criminal theft and violence, either because they were afraid or being ignorant about the surroundings. The bad peer influence also allows a person to commit an offense, including narcotics abuse by committing a criminal act of theft with violence. The researcher suggests that it is important to fix the situation and the need to increase the patrol by law enforcers and the society should become more aware towards the surroundings.
I. PENDAHULUAN
Permasalahan narkotika di Indonesia masih merupakan sesuatu yang bersifat urgen dan kompleks. Dalam kurun waktu yang begitu cepat permasalahan narkotika semakin
marak. Terbukti dengan
bertambahnya jumlah
penyalahgunaan atau pecandu narkotika sudah mewabah hampir semua negara di dunia, akibatnya
jutaan jiwa mengalami
ketergantungan narkotika. Bahkan banyak sekali yang ingin menjadi bandar narkotika di karenakan keuntungan yang sangat fantastis sehingga kejahatan ini sering dilakukan. Kemajuan perkembangan kejahatan atau penyalahgunaan narkotika dari waktu ke waktu menunjukan kecenderungan yang semakin meningkat. Di Indonesia penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang semakin hari
semakin memperhatikankan,
peningkatan dari tahun ke tahun
semakin banyak jumlah
penyalahguna narkotika dan obat-obatan terlarang (narkotika) di Provinsi Lampung pada 2016 mengalami peningkatan sebanyak dari tahun 2011.
Tabel 1. Data Penyalahguna Narkotika Tahun 2011 - 2016
No Tahun Jumlah
Penyalahgunaan Narkotika
1 2011 55.606 orang
2 2012 32.470 orang
3 2013 45.673 orang
4 2014 63.098 orang
5 2015 83.457 orang
6 2016 89.046 orang
Sumber Data: Polresta Bandar Lampung Tahun 2016
Angka ini menjadikan Lampung berada pada urutan 10 dari 34 provinsi, Demikian data yang tertuang dalam Laporan Akhir Survei
Nasional Perkembangan
Penyalahguna Narkotika Tahun 2016. Sebagai contoh kasus di Bandar Lampung, Faris, tersangka jambret, mengaku baru empat kali melakukan jambret di wilayah Bandar Lampung. Menurut dia, ia melakukan penjambretan bersama rekannya Rahman, yang ditembak mati polisi. Faris mengatakan, ia hanya mengikuti ajakan Rahman. "Baru empat kali. Itu juga diajak Rahman," ucap dia, Selasa (16/8/2016). Faris mengatakan, ia hanya bertugas membawa sepeda motor. "Si Rahman yang menodong korban gunakan senjata tajam," tutur Faris. Faris mengutarakan, uang hasil jambret dibagi dua dengan Rahman. "Uangnya saya gunakan untuk beli sabu-sabu dan mabuk minuman keras," ujarnya. Petugas Polresta
Bandar Lampung menangkap
Rahman dan Faris usai beraksi. Rahman tewas kehabisan darah akibat tembakan polisi.1
Kejadian di atas, menunjukan bahwa penyalahgunaan narkotika dilakukan oleh semua kalangan masyarakat, mulai dari anak-anak sekolah yang notabenenya dari golongan terpelajar, pengusaha-pengusaha, bahkan pejabat-pejabat negara dan aparat penegak hukum pun ikut terjerat dalam kasus penyalahgunaan Narkotika. Sangat memprihatinkan ketika melihat generasi-generasi kita yang telah terjerumus mengkonsumsi Narkotika yang lambat laun akan merugikan dirinya sendiri, keluarga,
1
masyarakat bahkan negara. Untuk itu pemakaian narkotika memerlukan pengawasan dan pengendalian. Pemakaian di luar pengawasan dan
pengendalian dinamakan
penyalahgunaan narkotika yang akibatnya sangat membahayakan kehidupan manusia baik perorangan maupun masyarakat dan negara. Untuk pengawasan dan pengendalian penyalahgunaanan narkotika dan pencegahan, pemberantasan dalam
rangka penanggulangannya
diperlukan kehadiran hukum yaitu hukum narkotika yang sarat dengan tuntutan perkembangan zaman.2
Apabila tidak ada upaya-upaya preventif maka cepat atau lambat generasi-generasi muda pemilik masa depan akan mulai hancur. Transaksi transnasional ialah transaksi lintas batas di antara dua negara atau lebih negara, penyalahgunaanan narkotika pada dewasa ini tidak lagi digunakan
untuk tujuan kepentingan
pengobatan atau kepentingan ilmu pengetahuan melainkan bertujuan unuk memperoleh untung yang besar. Tujuan tersebut diatas tercapai melalui lalu lintas perdagangan narkotika illegal baik transaksi yang bersifat transnasional maupun transaksi yang bersifat internasional. sedangkan transaksi internasional ialah bentuk transaksi yang sudah bersifat global baik lingkup maupun jaringannya.
Letak geografis Indonesia secara tidak langsung telah meningkatkan perkembangan tindak pidana transnasional pada umumnya dan pada khusunya, tindak pidana
2 Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Narkotika
Indonesia, Alumni, Bandung, 1986, hlm 3-4
narkotika.3 Begitu pula tindak pidana narkotika sekarang ini tidak lagi dilakukan secara perseorangan melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional.4
Narkotika atau sering distilahkan sebagai drug adalah sejenis zat. Zat narkotik ini merupakan zat yang memiliki ciri-ciri tertentu.
Penyalahgunaan narkotika dan obat-obat berbahaya (narkotika) di Indonesia beberapa tahun terakhir ini menjadi masalah serius dan telah mencapai masalah keadaan yang memperihatinkan sehingga menjadi
masalah nasional. Korban
penyalahgunaan narkotika telah meluas sedemikian rupa sehingga melampaui batas-batas strata sosial, umur, jenis kelamin. Merambah tidak hanya perkotaan tetapi merambah sampai pedesaan dan melampaui batas negara yang akibatnya sangat merugikan perorangan, masyarakat, negara, khususnya generasi muda. Bahkan dapat menimbulkan bahaya lebih besar lagi bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya dapat melemahkan ketahanan nasional.
Hukum berfungsi untuk mengatur hubungan antara manusia yang satu dengan manusia lainnya dan
3
Romli Atmasasmita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm 1-2
4
hubungan antara manusia dan negara agar segala sesuatunya berjalan dengan tertib. Oleh karena itu, tujuan hukum adalah untuk mencapai kedamaian dengan mewujudkan kepastian hukum dan keadilan di dalam masyarakat. Kepastian hukum menghendaki adanya perumusan kaedah-kaedah dalam peraturan perundang-undangan yang jelas dan tegas.
Larangan–larangan dan perintah tersebut telah dimuat dalam Buku II dan Buku III KUHPidana, berupa rumusan tentang perbuatan-perbuatan tertentu baik aktif maupun pasif. Adanya ancaman pidana terhadap orang yang melanggar aturan tersebut merupakan ciri khas yang membedakannya dengan peraturan perundang–undangan lainnya. Suatu kejahatan umumnya terjadi karena didorong atau dimotivasi oleh pemenuhan kebutuhan hidup yang relatif sulit dipenuhi.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memberi peluang kejahatan makin tinggi volumenya dan meningkat kualitasnya termasuk pelanggaran pidana yang makin bervariasi. Untuk menanggulangi kejahatan dibutuhkan kebijakan penindakan dan antisipasi yang baik dan tepat, penegakan hukum terhadap ketentuan undang-undang hukum pidana tujuannya untuk
mendukung kesejahteraan
masyarakat dengan menekan peningkatan peristiwa pelanggaran hukum dan tindak pidana yang merugikan masyarakat, baik moril maupun materil. Para pelaku kejahatan dapat melakukan aksinya dengan berbagai upaya dan berbagai cara. Keadaan seperti itu yang disebut dengan istilah “modus
operandi” (model pelaksanaan
kejahatan). Dengan kemajuan teknologi dewasa ini, modus operandi para penjahat juga mengarah kepada kemajuan ilmu dan teknologi. Faktor-faktor yang melatarbelakangi kejahatan, menurut Mulyana W. Kusumah pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam 4 (empat) golongan faktor, yaitu:5 1. Faktor dasar atau faktor
sosio-struktural, yang secara umum mencakup aspek budaya serta aspek pola hubungan penting di dalam masyarakat.
2. Faktor interaksi sosial, yang meliputi segenap aspek dinamik dan prosesual di dalam masyarakat, yang mempunyai cara berfikir, bersikap dan bertindak individu dalam hubungan dengan kejahatan. 3. Faktor pencetus (precipitating
factors), yang menyangkut aspek
individu serta situasional yang berkaitan langsung dengan dilakukannya kejahatan.
4. Faktor reaksi sosial yang dalam ruang lingkupnya mencakup keseluruhan respons dalam bentuk sikap, tindakan dan kebijaksanaan yang dilakukan secara melembaga oleh unsur-unsur sistem peradilan pidana khususnya dan variasi respons,
yang secara “informal”
diperlihatkan oleh warga masyarakat.
Berdasarkan uraian diatas adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan skripsi adalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah penegakan hukum
pidana terhadap pelaku
5
penyalahgunaan narkotika yang melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan disertai penganiayaan?
b. Apakah Faktor Penghambat
Penegakan Hukum Pidana
terhadap pelaku penyalahgunaan Narkotika yang melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan disertai penganiayaan?
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan meliputi data primer yaitu dengan melakukan wawancara dengan responden yang terkait dengan permasalahan pada skripsi ini. Data sekunder yang berasal dari penelitian kepustakaan. Penentuan
sample menggunakan metode
purposive sampling, setelah data
terkumpul, maka diolah dengan cara seleksi data kemudian dilakukan klasifikasi data dan sistematisasi data. Analisis data dilakukan dengan cara kualitatif dan berdasarkan hasil analisis kemudian ditarik kesimpulan melalui metode induktif.
II. PEMBAHASAN
A. Penegakan Hukum pidana terhadap pelaku penyalah-gunaan narkotika yang melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan
Menurut Josep Goldstain
sebagaimana dikutip Mardjono
Reksodiputro6 membedakan
penegakan hukum pidana menjadi 3, pertama “total enforcement concep”. kedua full enforcement concep,dan
6
Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi, Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta, 1994, hlm.76.
yang ketiga actual enforcement
concep. Menurutnya dalam
penegakkan hukum pidana
diharapkan agar semua nilai yang ada di belakang norma hukum ditegakkan tanpa kecuali atau dapat ditegakkan secara total, berarti penegak hukum wajib menegakkan semua ketentuan- ketentuan yang ada. Penegakkan secara total ini tidak mungkin dilakukan, kemungkinan dilakukan secara penuh sebab para penegak hukum dibatas secara ketat oleh hukum acara pidana maupun peraturan lainnya demi kepentingan individu. Namun dalam kenyataanya juga penegakan hukum secara penuh pun sangat dipengaruhi banyak faktor seperti: substansi hukumnya, penegak hukumnya, maupun kultur dan masyarakat di tempat hukum itu ditegakkan oleh karena itu dibutuhkan penyesuaian–penyesuain dan adaptasi maka penegakkan hukum yang dianggap mungkin dapat dicapai adalah penegakkan hukum secara aktual atau yang lebih dikenal dengan actual enforcement concep.7
Jika dikaitkan dengan teori Goldstein yaitu full enforcement (penyeleng-garaan penuh) yaitu penegakan hukum dengan tata cara pemenuhan penuntutan yang baik, penegakan hukum secara maksimal ini belum bisa terlaksana dengan baik. Mengatasi berbagai permasalahan dalam penegakan hukum pidana dalam usahanya menanggulangi kejahatan, maka dalam kebijakan penangulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah “politik
criminal”. Upaya penaggulangan
kejahatan, dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
7
a. Penal (hukum pidana), yaitu lebih menitikberatkan pada sifat repressive (penindasan/ pemberantasan/ penumpasan) sesudah kejahatan terjadi.
b. Non penal (diluar hukum
pidana), yaitu lebih
menitikberatkan pada sifat
preventive (pecegahan/
penangkalan/ pengendalian) sebelum kejahatan terjadi8
Jika dilihat dari actual enforcement (penyelenggaraan nyata) upaya penegakan hukum lewat jalur penal (hukum pidana) hanya bisa di lakukan dengan cara adanya laporan dari pihak korban, maka proses hukum akan dapat berjalan sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang berlaku, dan jika korban mencabut gugatan atau laporan pengaduan dalam kasus pencurian dalam keluarga ini maka secara otomatis proses hukum yang sedang berlangsung akan berhenti dan dianggap gugur . Sedangkan jika dilihat dari upaya penegakkan hukum lewat jalur non penal (bukan hukum pidana ) maka seorang pelaku dalam kasus pencurian dalam keluarga ini dapat di bimbing agar tidak mengulangi perbuatannya tersebut dengan cara di beri pengertian tentang hukum yang berlaku, cara membedakan antara perbuatan baik dan perbuatan buruk, memberikan perhatian khusus, dan lain sebagainya.
Contoh kasus nyata dalam penelitian ini di Bandar Lampung, Faris, tersangka jambret, mengaku baru empat kali melakukan jambret di wilayah Bandar Lampung. Menurut
8
Arief Barda nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Jakarta. Kencana. 2008. hlm 42.
dia, ia melakukan penjambretan bersama rekannya Rahman, yang ditembak mati polisi. Faris mengatakan, ia hanya mengikuti ajakan Rahman. "Baru empat kali. Itu juga diajak Rahman," ucap dia, Selasa (16/8/2016). Faris mengatakan, ia hanya bertugas membawa sepeda motor. "Si Rahman yang menodong korban gunakan senjata tajam," tutur Faris. Faris mengutarakan, uang hasil jambret dibagi dua dengan Rahman. "Uangnya saya gunakan untuk beli sabu-sabu dan mabuk minuman keras," ujarnya. Petugas Polresta
Bandar Lampung menangkap
Rahman dan Faris usai beraksi. Rahman tewas kehabisan darah akibat tembakan polisi.9
Pada kasus penelitian ini adanya
hukum pidana perbarengan
(concursus). Perbarengan
(samenloop van strafbaar feit atau
concursus) merupakan gabungan
tindak pidana dimana dalam waktu tertentu seseorang telah melakukan beberapa tindak pidana dimana dtindak tersebut belum ada putusanya dan didakwakan sekaligus. dan dapat disimpulkan batas-batas
concursus adalah :
1. Yang melakuan tindak pidana seseorang.Ini membedakan Concursus dengan penyertaan 2. Seseorang melakukan tindak
pidana lebih dari satu tindak pidana
3. Bahwa dua atau lebih tindak pidana tersebut belum ada yang diadili.
Menunjukkan bahwa penyertaan beda dengan pengulangan bahwa dua
9
atau lebih tindak pidana tersebut akan didakwakan. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia concursus diatur di dalam Pasal 63 sampai dengan pasal 71 KUHP.
Beberapa kasus Concursus dapat
memberatkan dan dapat
meringankan. Concursus
memperberat ketika dikaitkan dengan pasal 18 ayat (2) “ jika ada pemberatan pidana yang disebakan
karena perbarengan karena
ketentuan pasal 52 dan pasal 52a, kurungan dapat ditambah satu tahun
empat bulan.” Concursus
memperingan jika dikaitkan dengan sistem pemidaan absorbsi murni dalam pasal 65 ayat (1) ” Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu peraturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu: jika berbeda-beda
yang dikenakan yang memuat
ancaman pidana pokok yang
terberat.”
Pada kasus penelitian ini pelaku melakukan Tindak pidana pencurian dengan kekerasan adalah suatu kejahatan di mana obyek yang dituju adalah barang yang dicuri dan kejahatan terhadap tubuh korban. Hal tersebut sangat meresahkan masyarakat dan menciptakan iklim yang kondusif dalam masyarakat. Tindak pidana pencurian dengan kekerasan sangat merasahkan masyarakat yang hendak keluar malam. Dari hal di atas sangat jelas yang dimaksud adalah akibat dari tindak pidana pencurian dengan kekerasan membuat masyarakat merasa tidak aman. Adanya rasa ketakutan pada tempat tempat tertentu yang rawan kejahatan.
Penegakan hukum pidana dalam tindak pidana pencurian dengan kekerasan dapat dilakukan melalui 3 tahap yaitu : 1. Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum “ in
abstracto “ oleh pembuat
undang-undang tahap ini dapat pula disebut tahap kebijakan legislatif. Dalam tahap ini untuk tindak pidana pencurian dalam keluarga diatur dalam pasal 367 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sehingga untuk kasus pencurian dengan kekerasan para penegak hukum dapat menggunakan Undang-Undang ini dalam menangani tindak pidana pencurian dengan kekerasan. 2. Tahap aplikasi, yaitu penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai Pengadilan. Tahap ini dapat pula disebut tahap kebijakan. Dalam tahap ini aparat
penegak hukum bertugas
menegakkan serta menerapkan peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat Undang-Undang. 3. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkrit oleh aparat-aparat pelaksana pidan. Dalam tahap ini aparat-aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang melalui penerapan pidana yang telah ditetapkan dalam keputusan pengadilan. Tahap ini dapat disebut tahap kebijakan eksekutif atau administratif.
Pelaku selain melakukan pencurian dengan kekerasan pelaku sendang
terpengaruh di dibawah
penyalahgunaanan narkotika jenis sabu, bila dikaji dari optik hukum
Narkotika/Psikotropika mempunyai beberapa sistem jenis perumusan sanksi pidana (strafsoort) dan beberapa sistem perumusan lamanya saksi pidana (strafmaat). Pada dasarnya, menurut ilmu pengetahuan hukum pidana maka dikenal beberapa sistem jenis perumusan sanksi pidana (strafsoort) yaitu sistem perumusan tunggalfimperatif, sistem perumusan altematif, sistem perumusan kumulatif, sistem perumusan kumulatif-altematif (campuran/ gabungan) dan sistem perumusan buta/blanc. Begitu pula hanya terhadap sistem perumusan lamanya sanksi pidana (strafmaat) dikenal adanya definite sentence system berupa ancaman lamanya pidana yang sudah pasti, fixed/indefinite sentence 55 system atau sistem maksimum yaitu berupa ancaman lamanya pidana secara maksimum, kemudian determinate sentence system berupa ditentukan batas minimum dan maksimum ancaman pidana dan indeterminate sentence system berupa tidak dftentukan batas maksimum pidana, badan pembuat UU menyerahkan sepenuhnya kepada kebijakan
(deskresi) pidana kepada
aparat-aparat pelaksana pidana yang berada pada tingkatan yang lebih rendah, misalnya dalam menetapkan ukuran, sifat atau lamanya pidana untuk pelaku kejahatan tertentu.
Berikutnya pada UU Narkotika dan UU Psikotropika (UU 35/2009 dan UU 5/1997) untuk "penyalahgunaan" dikenal adanya tiga jenis sistem perumusan sanksi pidana (strafsoort) yaitu sistem perumusan kumulatif antara pidana penjara dan pidana denda (Pasal 126 UU Narkotika dan Pasal 62 UU Psikotropika), kemudian sistem perumusan
kumulatif-altematif (campuran/ gabungan) antara pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara dan pidana denda (Pasal 116,121 UU Narkotika dan Pasal 59 UU Psikotropika) dan sistem perumusan altematif antara pidana kurungan atau denda (Pasal 128,134 UU Narkotika), Kemudian untuk sistem perumusan lamanya saksi pidana (strafmaat) dalam UU Narkotika/Psikotropika juga terdapat dua perumusan yaitu fixed/indefinite
sentence system atau sistem
maksimum (Pasal 128,134 UU Narkotika dan Pasal 62 UU Psikotropika) dan determinate
sentence system (Pasal 116,121,126
UU Narkotika dan Pasal 59 UU Psikotropika).
Mengenai bentuk-bentuk tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang sering terjadi di wilayah hukum
Bandar Lampung adalah
dimulai dari dimasukkan surat tuntutan, penentuan waktu sidang dan pelaksanaan sidang sampai dengan putusan Hakim. Pada tahap ketiga adalah pelaksanaan putusan Hakim yang diserahkan Hakim oleh Jaksa. Kemudian dari Jaksa kewenangan diberikan pada pihak-pihak sesuai dengan jenis pemidanaannya. Untuk pidana mati dilaksanakan oleh Brimob, untuk pidana penjara dan kurungan
diserahkan pada Lembaga
Pemasyarakatan dan untuk pidana denda diserahkan Kejaksaan.
Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika bukanlah hal yang baru di Indonesia. Tindak pidana Narkotika merupakan bentuk pelanggaran hukum dan pelanggaran norma sosial yang telah ada sejak lama. Masalah Narkotika ini merupakan ancaman yang begitu hebat melanda indonesia, dalam media massa hampir setiap hari terdapat berita
penyalahgunaan Narkotika.
Penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika semakin meningkat dari tahun ke tahun. Telah banyak yang menjadi korban tanpa memandang umur dan status sosial. Ironisnya, penyalahgunaan dan peredaran Narkotika sudah merambah sampai kesemua kalangan menjadi korban. Tidak hanya masyarakat atau remaja biasa saja yang telah menjadi korban penyalahgunaan narkotika, bahkan aparat kepolisian yang notabene merupan penegak hukum yang seharunya memberantas peredaran gelap Narkotika justru melakukan tindak pidana narkotika. Tindak pidana Narkotika merupakan bentuk pelanggaran hukum dan pelanggaran norma sosial yang telah ada sejak lama. Masalah Narkotika ini merupakan ancaman yang begitu
hebat melanda indonesia. Penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana narkotika tidak terlepas pada
asas-asas hukum pidana guna
mewujudkan suatu kepastian hukum dari setiap bentuk penyelesaian perkara tindak pidana narkotika berdasarkan sistem hukum indonesia.
Upaya represif adalah sebagai bentuk dari Penegakan hukum terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika yang melakukan tindak pidana pencurian disertai penganiayaan yang dengan upaya represif. Penegakan hukum dilakukan secara represif oleh aparat penegak hukum, berupa penjatuhan sanksi oleh pelaku kejahatan, dalam hal ini dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, dan lembaga
pemasyarakatan. Represif sebagai upaya penegakan hukum terhadap gangguan nyata atau ancaman faktual berupa penindakan, pemberantasan, penumpasan sasudah kejahatan terjadi atau pelanggaran hukumyang bertujuan untuk memberikan contoh
social learning dan menimbulkan
efek deterence agar dapat mengantisipasi para pelaku mengulangi perbuatannya. Penegak hukum yang diharapkan masyarakat
tentunya mampu melakukan
perlindungan dan penegakan hukum secara tegas dan proporsional.
Berdasarkan analisis bahwa penegakan hukum tindak pidana narkotika dilakukan dengan upaya penal, jika upaya non penal sudah tidak dapat dilakukan lagi. Upaya penal merupakan upaya yang bersifat reprensif yaitu dengan cara pemebrantasan dan penumpasan sesuai dengan hukum yang berlaku.
hukum in abstracto (proses pembuatan produk perundang-undangan) melalui proses legislasi/ formulasi/ pembuatan peraturan
perundang-undangan, pada
hakikatnya merupakan proses penegakan hukum in abstract. Proses legislasi/ formulasi ini merupakan tahap awal yang sangat strategis dari proses penegakan hukum in concreto. Oleh karena itu, kesalahan/kelemahan pada tahap kebijakan legislasi/ formulasi merupakan kesalahan strategis yang dapat menghambat upaya penegakan hukum in concreto.
Upaya aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya dalam menegakkan hukum secara materiil. Penegakan hukum pidana terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika yang melakukan tindak pidana pencurian disertai penganiayaan,10 Upaya Polri dalam melakukan penegakan hukum terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika yang melakukan tindak pidana pencurian disertai penganiayaan sejauh ini sudah berjalan efektif, terdapat beberapa kasus penangkapan dan penyitaan terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika yang melakukan tindak pidana pencurian disertai penganiayaan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang kitab Undang-Undang Hukum acara Pidana (KUHAP) maka wewenang yang diberikan Undang-Undang ini kepada aparat kepolisian adalah kewenangan dalam hal melaksanakan tugas sebagai penyelidik dan penyidik.
Penyelidikan dalam Pasal 1 butir 5 KUHAP adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
10
Barda Nawawi Arief. Op.Cit. hlm. 60
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Menurut John M.S Sirait11, Bahwa pada kasus ini tersangka akan dijerat Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika meskipun kasus tersebut tersangka melakukan pencurian juga. kasus ini kita harus melihat asas consusrsus idealis bahwa jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.
Sehingga dapat simpulkan pada kasus ini meskipun tersangka melakukan tindak pidana umum pencurian dengan kekerasan tetapi tersangka juga terbukti saat melakukan tindak pidana sedang berada dibawah pengaruh narkotika. seperti yang dijelaskan diatas bahwa penyalahgunaanan narkotika adalah masuk kedalam delik khusus dan berdasarkan asas consusrsus itu pula maka tersangka dijerat menggunakan Undang-Undang Narkotika yang murupakan tindak pidana khusus.
B. Faktor Penghambat Penegakan Hukum Pidana terhadap pelaku penyalahgunaan Narkotika yang melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan disertai penganiayaan
Didalam melakukan Proses
penanganan perkara tindak pidana pencurian dengan kekerasan Polri terlebih dahulu melakukan
11
Penyelidikan. Dan yang dimaksud dengan Penyelidikan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah :
“Penyelidikan adalah Serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.” Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 4 disebutkan bahwa : “Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia.”
Setelah melakukan Penyelidikan dan
menemukan Peristiwa yang
merupakan tindak pidana dan dapat dilakukannya penyidikan maka Polri
dapat meningkatkan tahap
Penyelidikan ketahap Penyidikan, Sebagaimana yang dimaksudkan dengan penyidikan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah
“serangkaian tindakan penyidik
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya”.
Berdasarkan wawancara dan analisis yang dilakukan oleh penulis, maka yang menjadi faktor-faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana pencurian dengan kekerasan adalah :
1. Faktor hukumnya
Ardiyansyah mengatakan bahwa peran kepolisian dalam penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana pencurian dengan kekerasan ini adalah melakukan penyelidik dan penyidikan.12 Selain itu ketika menerima laporan oleh setiap orang atau masyarakat proses pertama yang harus dilakukan adalah memastikan terlebih dahulu unsur-unsur tindak pidana yang dilanggar, apakah ada atau tidak unsur-unsur tindak pidana didalamnya, guna untuk mengetahui apakah benar telah menemui rumusan tindak pidana, unsur–unsur tersebut yaitu:
a. Perbuatan manusia
b. Memenuhi rumusan undang – undang (syarat formil)
c. Bersifat melawan hukum (syarat materiil)
Bila memenuhi ketiga unsur tersebut di atas barulah pihak kepolisian akan menindaklanjuti kasus tersebut dengan cara melakukan penyidikan. Jika dilihat dari ketiga unsur tindak pidana tersebut kasus yang telah diuraikan diatas merupakan suatu tindak pidana, dan proses penyidikan dapat dilakukan karena bersifat melawan hukum dan telah melanggar peraturan perundang-undangan.
2. Faktor Penegak Hukum
Mentalitas petugas penegak hukum adalah hal yang sangat penting, karena sebaik apapun hukumnya jika mentalitas apararat penegak hukumnya kurang baik maka akan terjadi gangguan pada sistem penegakan hukum. Faktor penegak hukum merupakan pihak-pihak yang membentuk maupun pihak yang menerapkan ketentuan hukum yang
12
berlaku dan berpedoman kepada kode etik serta batasan- batasan yang telah ditentukan. Para penegak hukum tidak dapat melakukan suatu tindakan hukum sesuai dengan kehendaknya sendiri. Dalam kasus pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh penyalahgunaan narkotika ini, seorang penegak hukum dapat menjalankan tugasnya atas dasar pengaduan dari pihak korban.
3. Faktor Masyarakat
Faktor masyarakat sangat
mempengaruhi dalam proses penegakan hukum pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh penyalahgunaan narkotika karena masyarakat dapat menilai baik dan buruknya suatu tindakan yang telah terjadi dilingkungan tempat tinggal mereka, sehingga masyarakat enggan untuk melaporkan tindakan penyalahgunaan narkotika yang melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan, karena merasa takut dan tidak peduli terhadap lingkungan sekitarnya. Faktor masyarakat inilah yang menjadi salah satu faktor penghambat yang paling dominan dalam penegakan hukum tindak pidana pencurian dengan kekerasan.
4. Faktor Sarana Dan Fasilitas Jika dilihat dari faktor sarana dan fasilitas, penegakan hukum dalam kasus pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh penyalahgunaan narkotika ini tidak memerlukan sarana ataupun fasilitas yang menjadi penghambat dalam penegakan hukumnya.
5. Faktor Kebudayaan
Faktor lain yang mempengaruhi penegakan hukum di dalam kasus
pencurian yang dilakukan oleh penyalahgunaan narkotika ini adalah faktor kebudayaan yakni sebagai hasil karya cipta rasa didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Pergaulan hidup yang baik akan membawa dampak yang positif, sebaliknya pergaulan hidup yang kurang baik akan membawa dampak yang negatif. Maka pergaulan yang kurang baik memungkinkan seseorang melakukan suatu tindak pidana, antara lain pencurian dengan kekerasan.
III. PENUTUP A.Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut :
1. Penegakan hukum pidana
terhadap penyalahgunaan
narkotika yang melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan tidak mungkin dilakukan secara total (total
enforcement concept) ataupun
dilakukan secara penuh (full
enforcement concept), sebab para
penegak hukum dibatas secara ketat oleh hukum acara pidana maupun peraturan lainnya demi kepentingan individu. Namun
dalam kenyataanya juga
penegakan hukum secara penuh pun sangat dipengaruhi banyak faktor seperti: substansi hukumnya, penegak hukumnya, maupun kultur dan masyarakat di tempat hukum itu ditegakkan oleh
karena itu dibutuhkan
penyesuaian–penyesuain dan adaptasi. Maka dalam hal ini
penegakkan hukum yang
aktual atau yang lebih dikenal dengan actual enforcement
concept. Penegakan hukum
tersebut dilakukan dengan upaya penal, jika upaya non penal sudah tidak dapat dilakukan lagi. Upaya penal merupakan upaya yang bersifat represif yaitu dengan cara pemberantasan dan penumpasan sesuai dengan hukum yang berlaku.
2. Faktor-faktor penghambat
penegakan hukum pidana
terhadap penyalahgunaan
narkotika yang melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan adalah : Faktor Penegak Hukum karena sebaik apapun hukumnya jika mentalitas apararat penegak hukumnya kurang baik maka akan terjadi gangguan pada sistem penegakan hukum., Faktor Masyarakat yaitu masyarakat enggan untuk melaporkan tindakan penyalah-gunaan narkotika yang melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan, karena merasa takut dan tidak peduli terhadap lingkungan sekitarnya, dan Faktor Kebudayaan yaitu pergaulan yang kurang baik memungkinkan seseorang melakukan suatu tindak
pidana, antara lain
penyalahgunaan narkotika yang melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan.
B.Saran
Adapun saran yang diberikan penulis sebagai berikut :
1. Perlu adanya upaya untuk memperbaiki keadaan atau mengurangi dan menekan kasus kejahatan pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh penyalahgunaan narkotika di wilayah Bandar Lampung
2. Perlu dilakukan upaya yang optimal terhadap kejahatan pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh penyalahgunaan narkotika
3. Perlunya meningkatkan patroli oleh penegak hukum dan bagi masyarakat untuk meningkatkan kehati-hatian serta kewaspadaan.
DAFTAR PUSTAKA
Atmasasmita Romli. 1997. Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum Pidana
Indonesia. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti
Daniel, AR Bony dan Sujono. 2011.
Komentar dan Pembahasan
Undang-Undang Nomor35
Tahun 2009 tentang Narkotika,
Jakarta timur: Sinar Grafika
Dirdjosisworo, Soedjono, 1986. Hukum Narkotika Indonesia, Alumni, Bandung.
Mulyana, W. Kusumah, 1991, Clipping Service Bidang Hukum, Majalah Gema
Nawawi, Arief Barda Dan Muladi. 1986. Teori-teori dan Kebijakan
Hukum Pidana, Bandung:
Alumni.
Reksodiputro, Mardjono. 1994.
Sistem Peradilan Pidana
Indonesia, Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam
Batas-Batas Toleransi, Pusat
Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta.
http://lampung.tribunnews.com/2016/0
8/
16/breaking-news-pria-ini- gunakan-uang-hasil-jambret-buat-beli-narkotika-dan-miras
http://lampung.tribunnews.com/2016/0
8/