• Tidak ada hasil yang ditemukan

LPRA Sebagai Solusi Kebuntuan TORA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "LPRA Sebagai Solusi Kebuntuan TORA"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

SUARA

PEMBARUAN AGRARIA

hal ... 2 hal ... 9 hal ... 21 hal ... 27

Edisi : XXI / April - Juni 2017

Nenek Siti Rahayu Dikriminalisasi

LPRA Sebagai Solusi Kebuntuan TORA

May Day 2017: Buruh Angkat Isu Perampasan Tanah

Peringatan Hari Nelayan Nasional

(2)

Daftar Isi

Laporan Utama

Kisah Cacing Sonari dan Didin yang Malang 2

Nenek Siti Rahayu Dikriminalisasi 5

Opini

LPRA Sebagai Solusi Kebuntuan TORA 9

Dunia Dalam

KPA Resmikan Training Center Serikat Tani Konawe Selatan 12

Konsolidasi LPRA Region Sulawesi 14

Pendidikan RA dan Pemetaan Partisipatif 17

KPA Wilayah Jawa Tengah Datangi Kanwil BPN 19

Dinamika

May Day 2017: Buruh Angkat Isu Perampasan Tanah 21

Rakyat Tanjung, Luwu Diusir Paksa 23

Kekerasan di Taliabu, Cermin Konflik Agraria Yang Terus Berulang 25

Peringatan Hari Nelayan Nasional 27

Profil

Dodi, Berjuang Dalam Barisan Kaum Tani 29

(3)

Penanggung Jawab:

Kompleks Liga Mas Indah Jl Pancoran Indah 1,

Pada edisi XXII ini SPA mengetengahkan bermacam

isu-isu agraria diantaranya mengenai kriminalisasi yang menimpa Didin dan nenek Siti Rahayu. Kedua orang ini dikriminalisasi karena mempertahankan hidup yang selama ini mereka jalani. Liputan ini kami angkat dalam rubrik Laporan Utama.

Dalam rubrik Opini kami mengangkat mengenai kebuntuan-kebuntuan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) dalam program reforma agraria pemerintah Jokowi-JK, sebagai solusi dari kebuntuan tersebut KPA menawarkan Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA). Dalam LPRA, KPA telah berhasil melakukan pendataan LPRA di 409 lokasi konflik dan tersebar di 19 provinsi dengan luasan 643.616 hektar dengan melibatkan 136.804 KK. Dengan asumsi satu KK rata-rata empat orang, artinya ada setengah juta lebih (petani) saat ini tengah menghadapi ketidakpastian terkait hak mereka atas tanah. Angka ini pun kemungkinan akan bertambah besar. Pasalnya, masih ada sedikitnya 1.502.600 hektar potensi LPRA untuk tahap kedua.

Kemudian dalam rubrik Dunia Dalam kami menyuguhkan mengenai kegiatan-kegiatan internal aggota-anggota KPA seperti peresmian Training Center serikat tani di Konawe Selatan, TC ini penting bagi peningkatan kapasitas dan perjuangan kaum tani. Selain itu juga konsolidasi LPRA di Sulawesi dan pendidikan reforma agraria di Kab. Sigi. SPA edisi ini juga bertepatan dengan peringatan aksi May Day, KPA turut terlibat dalam aksi tersebut dan berhasil mendorong kaum buruh untuk mengangkat isu perampasan tanah dan mendorong pemerintah agar melaksanakan program reforma agraria sejati. Terakhir dalam rubrik profil kami mengangkat seorang pemuda pejuang agraria dari Jambi

Selamat membaca!

Jalankan Reforma Agraria Sejati!!!

Edisi : XXII / April - Juni 2017 Tiada Demokrasi Tanpa REFORMA AGRARIA Sejati

(4)

Laporan Utama

N

asib malang menimpa Didin (48), seorang petani dan penjual jagung bakar yang tinggal di Kampung Rarahan RT 06/08, Desa Cimacan, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Didin menjadi tahanan titipan di Mapolres Cianjur oleh Polisi Kehutanan karena mengambil cacing di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP).

Tidak hanya itu, Didin juga dianggap bertanggung jawab atas perusakan lahan seluas 35 hektar melalui tuduhan pelanggaran Pasal 78 ayat 5 dan/atau ayat 12 junto Pasal 50 ayat 3 huruf e dan / atau huruf m UU No 41/1999 tentang Kehutanan dengan ancaman hukuman 10 tahun penjara.

Sementara dalam kesaksiannya, Didin mengungkapkan bahwa dirinya sama sekali tidak tahu dan terlibat dalam perusakan lahan tersebut. Hal ini menimbulkan pertanyaan sejumlah pihak, sebab menurut keterangan Kepala Polisi Hutan Balai Besar TNGGP, Adison, menyebut bahwa aksi perburuan cacing sonari olehnya dilakukan secara berkelompok sejumlah 40 orang, sementara hingga 2 bulan penahanan berselang, Didin masih menjadi tahanan tunggal.

TNGGP yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi tahun 1980, menempati posisi penting antara lain sebagai hulu DAS Citarum, Ciliwung, Cisadane, dan Cimandiri. Menurut data dari TNGGP, di tahun 1970 UNESCO telah menetapkan kawasan dengan luas 24.270 hektar ini sebagai salah satu cagar biosfer di Indonesia. Di kawasan tersebut juga terdapat 6 zonasi yang salah satunya adalah zona tradisional yang memberikan ruang pemanfaatan bagi masyarakat sekitar kawasan.

Keistimewaan Cacing Sonari

Peneliti menyebut nama ilmiah cacing sonari adalah Polyphheretima Elongata. Ada pula yang menyebut Metaphire longa. Ciri fisiknya serupa: berwarna abu-abu, hidup di tanah dan bawah pohon di

Kisah Cacing Sonari

(5)

Laporan Utama

kawasan pegunungan Jawa Barat. Panjang cacing sonari bisa mencapai 1,5 meter dan usia hidupnya sekitar 15 tahun. Cacing seukuran itu pernah ditemukan di salah satu pegunungan di Jawa Barat. Tubuh cacing sonari lembut dan terdiri dari cincin-cincin yang disebut ‘annuli’. Tapi cacing ini berbeda dengan cacing kalung atau cincin. Juga beda dengan cacing tanah di permukiman.

Cacing Sonari dipercaya memiliki keistimewaan tersendiri bermanfaat sebagai obat tradisional untuk mengobati berbagai penyakit diantaranya demam, tifus, meriang dan asma.

Atas keistimewaannya itu, cacing yang biasa hidup di tumbuhan Kadaka ini memiliki nilai ekonomi tinggi, yakni sekitar 40 ribu per-ekor atau per-ikat. Cacing ini juga biasa diekspor ke Tiongkok dan Jepang untuk berbagai keperluan dari mulai bahan kosmetik, obat-obatan hingga pakan utama tringgiling. Sementara bagi warga di sekitaran Gunung Pangrango, konsumsi cacing ini telah dilakukan secara turun-temurun.

Nasib malang bermula saat seseorang datang ke rumah Didin membeli cacing sonari untuk keperluan obat. Sehari setelahnya, Adi, sebut Didin, kembali menghubunginya melalui telepon untuk memesan lagi cacing tersebut. Tidak tanggung-tanggung, kali ini ia memesan cacing sonari sebanyak 400 ekor. Sejak saat itu, Didin selama 3 pekan mulai memburu cacing sonari di kawasan Gunung Gede, dimana habitat cacing tersebut berada. Hingga pada Jumat Malam (24/3), Istri Didin didatangi 10 orang aparat dari Polsek Pacet serta Gakkum Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Didin yang saat itu sedang berjualan jagung bakar, segera pulang setelah dihubungi istrinya dan ditangkap di rumah dengan barang bukti 77 ekor cacing sonari beserta peralatan yang digunakan.

Pembelaan Hukum dan Penangguhan Penahanan

Didin yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga, harus rela mendekam di penjara sebagai tanahan titipan sejak Maret. Selama dua bulan tersebut, istri Didin, Ela Nurhayati (43), menggantikan suaminya

(6)

Laporan Utama

dengan berkerja serabutan demi memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari.

“Ibu kerja serabutan, kadang-kadang cabuti rumput di kebun orang, kadang-kadang jualan bunga di depan” Sahut Ela. Sementara Karnaen (48), kuasa hukum Didin, dalam kesaksiannya yakin bahwa dalam kasus ini Didin tidaklah bersalah. Dirinya juga mencurigai adanya kasus besar yang ditutup-tutupi terkait dengan kerusakan lahan seluas 35 hektar yang dinilai mustahil dilakukan oleh Didin seorang.

“Tidak mungkin lah pak Didin seorang diri bisa merusak 35 hektar lahan hutan. Ini saya kira rekayasa kasus,” tuding Karnaen. Sementara itu, menanggapi Didin yang dinilai memasuki kawasan konservasi, dirinya pun menambahkan bahwa kasus yang sifatnya pelanggaran dan bukan tindak pidana seperti ini, mestinya dilakukan pembinaan, bukan langsung ditahan seperti pelaku kriminal.

Dikutip dari kabar24.com, dukungan terhadap Didin agar segera dibebaskan terus berdatangan, kali ini dari Joko Purwanto anggota DPR RI dari Fraksi PPP.

Bahkan anggota Komisi VII DPR RI itu, akan menggelar rapat khusus dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLH), Siti Nurbaya Bakar, hal tersebut diungkapnya, setelah mendapatkan keterangan dari Didin yang ditahan di Polres Cianjur. Kini, penahanan terhadap Didin telah ditangguhkan oleh Jaksa, meskipun masih berstatus sebagai tanahan kota dan kasusnya tetap berlanjut. Keluarga Didin bersyukur dengan hadirnya kembali Didin ke rumah.

Kasus serupa sebenarnya tidak hanya menimpa Didin, sudah banyak korban yang berjatuhan akibat dalih menegakkan peraturan untuk konservasi yang terkesan karet. Ironis, dalam kasus ini selalu biasanya yang menjadi korban ialah rakyat kecil. Tahun 2014, tiga nelayan Ujung Kulon yakni Damo, Rahmat, dan Misdan ditangkap karna dituduh mencuri biota laut di wilayah Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Sementara, 2016 lalu Goris seorang warga Lamalera, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur juga ditangkap dengan tuduhan melakukan aktivitas jual beli paus pari manta. Padahal, selama ini menangkap ikan pari manta merupakan budaya dan tradisi.

(7)

Laporan Utama

P

T. London Sumatera Indonesia atau biasa dikenal dengan Lonsum, salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit tertua di Indonesia. Di Sumatera Selatan Lonsum mengajukan izin di dua tempat yakni Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara) seluas 1.019 hektar dan Kabupaten Musi Rawas (Mura) dengan luas 2.705 hektar. Perusahan inilah yang saat ini sedang berkonflik dengan masyarakat Suku Anak Dalam (SAD).

Nenek Siti Rahayu (70), seorang nenek warga SAD Musi Rawas adalah korban kriminalisasi akibat konflik tersebut. Ia dikriminalisasi bersama dengan rekannya, Hendri Lukita (30). Dua orang warga Desa Tebing Tinggi, Kecamatan Nibung, Kabupaten Musi Rawas, Sumatra Selatan ditangkap oleh Satreskrim Polres Musi Rawas, pasca aksi yang digelar oleh warga Desa Tebing Tinggi Rabu, 10 Mei yang lalu.

Aksi ini sebagai bentuk kecaman warga terhadap vonis 4 bulan penjara yang dijatuhkan pihak Pengadilan Negeri Musi Rawas kepada 6 orang perempuan yang juga merupakan warga Desa Tebing Tinggi atas nama, Iin (34), Tatik (35), Susi Susanti, Nesi (36), Lina (26), dan Mehza (22). Enam orang perempuan di atas dikenai pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan dan perusakan saat terjadi konflik antara warga dengan pihak perusahaan pertengahan Januari lalu.

Sementara Siti Rahayu dituduh melakukan pengrusakan Polsek Nibung termasuk mobil patroli dan Polsek Rupit pada tanggal 17 di bulan yang sama.. Sedangkan Hendri Lukita ditangkap karena dituduh terlibat dalam aksi pembakaran kantor PT Lonsum empat hari setelahnya.

Nenek

Siti Rahayu

Dikriminalisasi

Nenek Siti Rahayu

ditangkap karena

diduga terlibat

perusakan

(8)

Laporan Utama

Menurut laporan tim KPA di lapangan, aksi penyerangan yang terjadi pertengahan Januari tersebut merupakan balasan warga atas tindakan yang dilakukan oleh PT. PP Lonsum terhadap lokasi pemukiman warga yang berada di dua titik berbeda. Pihak PT. PP Lonsum dengan dibantu aparat menghancurkan patok-patok batas dan pondok-pondok yang telah didirkan warga.

Berawal dari Penyerobotan Tanah Ulayat

Kriminalisasi yang menimpa Siti dan Hendri serta 6 orang warga desa Tebing Tinggi bukannlah peristiwa tunggal atau berdiri dengan sendirinya. Peristiwa ini merupakan buntut dari sengketa lahan yang terjadi antara warga SAD Musi Rawas dengan PT. PP Lonsum.

Sengketa lahan ini sudah berlangsung kurang lebih 22 tahun sejak PT. PP Lonsum melakukan penyerobotan lahan garapan warga desa. Berbagai upaya pun telah dilakukan warga untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di atas lahan mereka tersebut. Namun hingga saat ini berbagai upaya yang telah dilakukan masih nirhasil

sebab tidak pernah ditanggapi oleh pemerintah daerah maupun nasional. Berawal pada tahun 1995, ketika itu PT. PP Lonsum mendatangi desa untuk menawarkan program pola kemitraan antara warga dengan perusahaan. A. Hamid Subagar selaku ketua suku waktu itu menyambut baik tawaran perusahaan dengan menyerahkan tanah ulayat atas PT. PP Lonsum seluas 2500 hektar guna diajukan permohonan pembukaan plasma perkebunan kelapa sawit kepada PT. PP Lonsum. Tbk berdasar pola kemitraan yang ditawarkan kepada mereka.

Pola Kemitraan tersebut menetapkan bahwa warga akan memberikan lahan sejumlah 2500 hektar sebagai syarat mengajukan permohonan pembukaan plasma perkebunan. Nantinya pihak perusahaan akan memberikan masing-masing dua hektar lahan kepada warga dengan diikuti bantuan permodalan. Namun di sisi lain, muncul protes dari warga transmigrasi pada pada waktu itu yang merasa dirugikan karna kehilangan

(9)

Laporan Utama

lahan. Pemukiman transmigrasi ini berada di Desa Karya Makmur yang merupakan desa tetangga dari desa Tebing Tinggi. Desa Tebing Tinggi dulunya merupakan Desa Induk (red: desa pertama) di wilayah ini. Suku Anak Dalam merupakan masyarakat yang pertama bermukim di sana yang datang pada tahun 1948 guna menggarap lahan dan membangun pemukiman di atas lahan seluas 2500 hektar tersebut.

Tahun 1985, desa ini kedatangan warga transmigrasi melalui program pemerintah. Demi kebutuhan pemukiman warga transmigrasi yang saat ini berada di Desa Karya Makmur, warga suku anak dalam melalui kesepakatan membagikan lahan mereka seluas 1100 hektar.

Karna adanya protes dari warga transmigrasi terkait kerjasama pola kemitraan antara warga desa Tebing Tinggi dengan PT. PP Lonsum tersebut maka pada tanggal 22 Desember 1995 dan 25 Januari 1996 diadakan musyawarah antara kedua desa. Musyawarah ini menghasilkan beberapa poin kesepakatan, salah satunya warga transmigrasi yang berada di Desa Karya Makmur tetap menerima 1100 hektar lahan dan 1400 hektar dikembalikan ke warga Desa Tebing Tinggi.

Namun pihak perusahaan tidak mengindahkan hasil musyawarah tersebut dan terus melakukan aktivitas di atas lahan yang sudah disepakati warga tadi. Tindakan ini akhirnya melahirkan konflik berkepanjangan karna mendapat protes dan perlawanan dari warga.

Puncaknya, pertengahan Januari lalu terjadi aksi protes besar-besaran yang dilakukan oleh warga dengan cara menduduki kembali lahan mereka yang telah diserobot oleh pihak perusahaan. Tindakan ini akhirnya kembali menyulut

konflik di antara kedua belah pihak.

Sebelumnya, Senin, (16/1), warga telah mengirimkan surat pemberitahuan bahwa akan ada kegiatan pendudukan terhadap lahan yang diserobot oleh PT. PP Lonsum tersebut. Pemberitahuan tersebut dikirimkan semua pihak terkait, baik instansi pemerintah daerah maupun pihak perusahaan, termasuk media massa. Dua hari setelah itu, yakni Rabu, (18/5) hingga Kamis, (19/5) warga mulai melakukan pendudukan lahan dengan memasak patok-patok batas dan mendirikan pondok-pondok yang dikerjakan secara bersama.

Keesokan harinya, Jum’at (19/5) warga mendapati patok-patok batas dan pondok-pondok yang telah dirikan dirobohkan oleh aparat keamanan yang terdiri dari Polisi, TNI, dan perangkat perusahaan termasuk Manajer PT. PP Lonsum.

Situasi kembali memanas karna warga tidak terima dengan perlakuan tersebut sehingga kerusuhan hampir kembali terjadi. Terdapat satu mobil truk yang disandera oleh massa warga yang mulai tersulut. Keadaan bisa dikendalikan kembali setelah adanya informasi dari Sekdes bahwa Wakil Bupati Musi Rawas Utara akan mendatangai warga untuk mendudukan permasalahan

(10)

Laporan Utama

meminta agar hasil musyawarah disepakati dan dituangkan dalam bentuk hitam di atas putih (surat perjanjian). (4). Pada akhir musyawarah tersebut, Kepala Desa akan menyampaikan hasil pembicaraan kepada pihak perusahaan PT PP Lonsum Tbk. Tak kunjung mendapat jawaban atas hasil musyawarah di atas, keesokan harinya Sabtu, (21/5), massa warga kembali melakukan aksi di depan kantor PT. PP Lonsum. Massa yang marah kemudian membakar pos kecil dan kantor Divisi SKD Blok 295 PT Lonsum Sei Kepayang Estate. Kejadian tersebut kemudian ditanggapi oleh Dandim 0406 Musi Rawas bersama rombongan TNI-AD dan mengajak warga menggelar musyawarah serta tanya jawab yang berlangsung selama 1 jam. Disepakati bahwa warga desa dipersilahkan melanjutkan aktifitas membangun pondok dengan tidak lagi melakukan perusakan. Namun, pasca kesepakatan tersebut warga desa didatangi oleh Mobil Bupati Musi Rawas dan mobil Brimob diikuti kurang lebih 20 unit mobil lainnya dengan membawa 200 orang pasukan berseragam anti peluru dan berperalatan lengkap. Mereka melakukan pengeledahan ke seluruh rumah-rumah penduduk dan menangkapsecara paksa, baik laki-laki dan perempuan, bahkan anak-anak dibawah umur.

Aksi penggeledahan ini berlangsung selama tiga hari hingga Senin, (23/5). Sedikitnya 116 orang warga SAD menjadi korban selama aksi pengeledahan tersebut, termasuk diantaranya 5 anak di bawah umur serta kepala desa, Sekdes dan Ketua BPD Tebing Tinggi serta Ketua Pemangku Adat / Ketua LPMD Tebing Tinggi.

Ratusan warga tadi mengalami berbagai perlakuan diantaranya penganiayaan, intimidasi, hingga dikriminalisasi dengan

dijatuhi vonis hukuman penjara 4 bulan seperti yang dialami 6 orang perempuan warga desa Tebing Tinggi tersebut. Mereka dikenai pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan dan perusakan. Bahkan 300 orang warga diantaranya harus melarikan diri ke hutan karna takut akan teror dan intimidasi yang terus dilakukan aparat keamanan.

Kriminalisasi, Jalan Pintas Peminggiran Rakyat

Di berbagai kasus, konflik agraria kerap diikuti tindakan kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat keamanan maupun pihak perusahaan terhadap warga yang melakukan protes dan penolakan.

Kebanyakan warga yang berada di wilayah-wilayah konflik agraria tersebut hidup di bawah intimidasi dan teror dari aparat keamanan maupun preman yang disewa oleh pihak perusahaan yang akan mengambil lahan garapan mereka.

Ironisnya, kondisi seperti ini malah sering difasilitasi oleh pihak pemerintah baik daerah maupun nasional. Bahkan di beberapa kasus, pihak pemerintah terkesan acuh atau membiarkan konflik yang sedang berlangsung.

(11)

Opini

P

emerintahan Jokowi telah menempatkan reforma agraria sebagai prioritas nasional yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019, namun KPA menilai program pemerintah ini berjalan sangat lambat dan banyak yang tidak tepat sasaran.

Fokus program reforma agraria yang dicanangkan Presiden Joko Widodo adalah legalisasi dan redistribusi aset yang digolongkan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) seluas sembilan juta hektare. Dari luasan tersebut, ditargetkan 4,5 juta hektare untuk legalisasi aset yang terdiri dari 3,9 juta hektare untuk sertifikasi tanah-tanah warga dan 0,6 juta hektare untuk lahan transmigrasi.

Kemudian, sisanya seluas 4,5 juta hektar dialokasikan untuk redistribusi aset yang terdiri dari 0,4 juta hektare dari lahan HGU yang telah habis masa berlakunya dan tanah-tanah terlantar, dan 4,1 juta hektare dari pelepasan kawasan hutan negara.

Dalam pandangan KPA, program reforma agraria tersebut tidak mendekati tujuan sejati dari RA yaitu menata kembali struktur pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber-sumber agraria khususnya tanah oleh negara sebagai dasar pembangunan nasional untuk mewujudkan struktur agraria yang lebih adil untuk seluruh rakyat Indonesia.

LPRA Sebagai Solusi Kebuntuan TORA

Acara penyerahan 6.057 sertifikat kepada warga di Jawa Tengah oleh Menteri Puan Maharani, Jumat (26/5/2017).

(12)

Opini

Masalah di dalam TORA

Lokasi-lokasi yang direncanakan pemerintah dalam kerangka RA bukan merupakan lokasi yang selama ini mengalami: konflik berkepanjangan; ketimpangan struktur agraria; serta kemiskinan rakyat akibat ketiadaan kontrol dan hak atas tanah. Terdapat sejumlah masalah terkait TORA:

Pertama: Kriteria dan alokasi TORA pemerintah dibangun secara top-down dan sepihak tanpa melibatkan organisasi masyarakat sipil, lebih kriteria maupun alokasinya tidak berkesuaian dengan prinsip dan tujuan pokok reforma agraria. Kedua: Lokasi-lokasi

yang dialokasikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai TORA belum lah menyasar wilayah konflik agraria dan area tumpang-tindih kewilayahan masyarakat dengan klaim kawasan kehutanan/pertambangan. Ketiga: Penentuan TORA dengan menggunakan UU Kehutanan sebagai kiblat, menyebabkan Pulau Jawa, Lampung dan Bali “ditutup rapat” dari jalan reforma agraria. Dasar pengecualian adalah porsi tutupan hutan yang dinilai sama atau kurang dari 30%. Dengan demikian, tidak ada jalan juga untuk melakukan koreksi terhadap monopoli Perhutani atas hutan di Jawa, yang telah banyak menimbulkan konflik dan menyengsarakan petani.

Keempat: Kepentingan pembangunan perkebunan skala besar telah “bersembunyi” di dalam kriteria TORA kawasan hutan. Kelima: Wilayah perkebunan skala besar (termasuk milik BUMN/PTPN) yang selama ini bersengketa dan telah merampas tanah rakyat, perkebunan terlantar dan HGU bermasalah, tidak menjadi target reforma agraria kebijakan pemerintah.

Keenam: Orientasi utama TORA masih bersifat sektoral perkebunan, kehutanan dan pedesaan.

Ketujuh, Masalah legalisasi asset (sertipikasi). Tiga tahun ini pemerintah lebih giat melakukan sertifikasi tanah (saja). Komunikasi politik Presiden kepada publik pun dalam kesempatan-kesempatan seremonial pembagian sertifikat terdengar sumbang. “Bagi-bagi sertipikat” tanpa adanya proses pemeriksaan dan penataan ulang struktur penguasaan tanah terlebih dahulu, termasuk minus program pendukung (penataan produksi dan pengembangan ekonomi petani) pasca sertipikasi, promosi peluang mengagunkan sertifikat ke bank seolah menunjukkan pemerintah sebenarnya sedang mengamini ketimpangan yang terjadi, mendukung proses liberalisasi dan pasar tanah, yang pada gilirannya berpotensi memiskinkan petani.

“Reforma agraria adalah menata

kembali struktur pemilikan,

penggunaan, dan pemanfaatan

sumber-sumber agraria khususnya tanah oleh

negara sebagai dasar pembangunan

nasional untuk mewujudkan struktur

agraria yang lebih adil untuk seluruh

(13)

Opini

LPRA sebagai solusi

Menurut catatan BPN (2016) dikutip dari Buku Pelaksanaan Reforma Agraria Arahan Kantor Staf Presiden, total luas Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan sekitar 15 juta hektar dan Hak Guna Bangunan (HGB) seluas 29.584 hektar, Sementara itu, Sensus Pertanian 2013 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan di wilayah pertanian ada 2.452 badan usaha pertanian berskala besar, sementara 56 persen rumah tangga tani hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar.

Jumlah petani pada 2013 adalah 31,7 juta orang (petani tanaman pangan sebanyak 20,4 juta orang) yang bekerja di lahan seluas 13,7 juta hektar. Di wilayah pertanian ada 2.452 badan usaha pertanian berskala besar, sementara 56 persen rumah tangga tani hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar.

Dari data tersebut terlihat bahwa besaran lahan pertanian yang dikuasai oleh petani semakin berkurang seiring dengan berkurangnya jumlah rumah tangga petani (RTP), jumlah petani gurem dengan luasan kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar dan petani tak bertanah sebanyak 56 % (Indonesia) dan 78 % (Jawa). Namun uniknya, jumlah petani berkurang, tetapi jumlah lahan pertanian terus bertambah seiring bertambahnya luas lahan perusahaan pertanian dan perkebunan. Ini berarti terjadi peralihan lahan pertanian dari petani kecil kepada perusahaan besar.

Permasalah diatas harus segera diatasi oleh pemerintah dengan menggunakan cara yang tepat. Skema TORA yang dilaksanakan oleh pemerintah banyak terdapat kekurangan untuk mengatasi persoalan tersebut. KPA saat ini bersama dengan serikat-serikat tani baik yang anggota maupun non anggota sedang

melakukan pendataan subyek penerima dan obyek tanah reforma agraria. Program ini dinamakan Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA).

LPRA yang tengah didorong KPA ini merupakan solusi di tengah ketidakpastian pelaksanaan reforma agraria yang dijalankan oleh pemerintah. Sumber data LPRA merupakan lokasi-lokasi yang secara kategori telah memenuhi syarat reforma agraria, seperti status sedang berkonflik (antara perusahaan dan masyarakat), telah ada serikat/organisasi tani, telah digarap dan dikuasai secara penuh oleh petani penggarap.

KPA telah berhasil melakukan pendataan LPRA di 409 lokasi konflik dan tersebar di 19 provinsi dengan luasan 643.616 hektar dengan melibatkan 136.804 KK. Dengan asumsi satu KK rata-rata empat orang, artinya ada setengah juta lebih manusia (petani) saat ini tengah menghadapi ketidakpastian terkait hak mereka atas tanah. Angka ini pun kemungkinan akan bertambah besar. Pasalnya, masih ada sedikitnya 1.502.600 hektar potensi LPRA untuk tahap kedua.

Pendataan LPRA merupakan praktik reforma agraria dari bawah yang coba diidorong KPA, prosesnya langsung diinisiasi oleh 77 serikat tani dan organisasi masyarakat sipil anggota KPA di berbagai wilayah.

(14)

Dunia Dalam

S

etelah memakan waktu beberapa bulan dalam proses pembangunan, akhirnya TC Serikat Tani Konawe Selatan (STKS) resmi dibuka oleh KPA Rabu 17 Mei 2017. Peresmian ini langsung dihadiri oleh Sekjend KPA, Dewi Kartika yang langsung melakukan proses simbolis gunting pita sebagai penanda diresmikannya TC tersebut.

Turut hadir beberapa rombongan diantaranya tim seknas KPA, perwakilan KSP, Usep Setiawan, DN KPA, Kisran Makati , Korwil KPA Sultra, Torop Rudendi, Korwil KPA Sulsel, Risky Arimbi, Ketua Serikat Tani Sulawesi Utara, Simon Aling, Pengurus STKS dan pimpinan ranting STKS beserta anggota yang berjumlah sekitar 500 orang. Termasuk kepala UPT dan beberapa kepala desa.

Peresmian ini berlangsung pasca diselenggarakannya konsolidasi lokasi prioritas dan lokakarya percepatan pelaksanaan reforma agraria di region Sulawesi yang dilangsungkan dua hari sebelumnya di Kendari.

TC yang dibangun oleh KPA ini berlokasi di UPT Arongo, Desa Laikandonga, Kecamatan Landono, Konawe Selatan, Sultra. Di mana warga UPT Arongo yang saat ini tergabung dalam STKS

KPA Resmikan Training Center

Serikat Tani Konawe Selatan

(15)

Dunia Dalam

merupakan transmigran yang sejauh ini belum mendapati hak mereka berupa lahan masing-masing 2 hektar yang telah dijanjikan.

Acara yang berlangsung selama sehari tersebut di awali dengan proses gunting pita yang langsung dilakukan oleh Sekjend KPA, Dewi Kartika. Setelah peresmian, acara dilanjutkan dengan sesi dengar pendapat di sekretariat STKS antara KPA, KSP dan para petani yang bermukim di lokasi transmigrasi.

Seterusnya, ada Simon Aling yang bercerita tentang perjuangan petani di Sulawesi Utara. Kemudian, Sukinan dari PPAB Blitar, Jawa Timur yang pada kesempatan tersebut mencoba menceritakan pengalaman petani Aryo Blitar dari mulai perjuangan mereka dalam merebut hak atas hingga berhasil membangun sistem ekonomi kolektif.

Pusat Pelatihan dan Pendidikan Desa Maju Reforma Agraria

Pada Musyawarah Nasional KPA tahun 2013, dicanangkan bahwa ke depan KPA mempunyai mandat untuk membangun desa-desa maju yang mandiri dan berdaulat atas wilayah mereka sendiri sebagai suatu cita-cita organisasi.

Cita-cita ini dinamakan sebagai Desa Maju Reforma Agraria (DAMARA). Damara lahir dari kekhawatiran yang muncul dari beberapa pengalaman selama ini, di mana fenomenanya hampir semua gerakan agraria itu muncul akibat adanya kesamaan kepentingan di antara petani yakni perjuangan untuk merebut hak atas tanah. Dikarenakan kepentingan mereka hanya dalam persoalan untuk merebut kembali hak atas tanah tersebut. Maka setelah berhasil, tidak ada jaminan bahwa organisasi atau perjuangan petani akan terus berlanjut sehingga rentan melahirkan

konflik-konflik baru diantara sesama mereka

Sedangkan di sisi lain, desa sebagai pusat gerakan agraria selama ini adalah wilayah yang memiliki potensi besar secara sosial, ekonomi, budaya dan politik apabila bisa dikembangkan dengan baik dan telaten. Untuk menuju ke sana, KPA telah memulai beberapa langkah, salah satunya dengan menunjuk beberapa wilayah konflik sebagai lokasi percontohan DAMARA di mana salah satunya ialah UPT Arongo yang berada di desa Laikandonga ini.

Jalan menuju damara tidak bisa ditempuh secara instan. Mewujudkan sebuah desa maju, mandiri dan berdaulat, tidak hanya meliputi semata meningkatkan produktivitas usaha pertanian di pedesaan. Upaya yang dilakukan mesti melingkupi upaya penataan produksi pertanian termasuk peternakan secara kolektif, dengan penggunaan teknologi, benih/ bibit, pupuk yang selaras alam, serta keberagaman sumber pangan, keadilan akses atas pangan dengan mempertimbangkan pola produksi dan konsumsi setempat. Beberapa faktor ini juga harus diperkuat dengan penguasan pengetahuan dan keterampilan para petani.

Selain penguatan-penguatan di atas, pentng juga agar pejuang-pejuang agraria maupun serikat-serikat tani mampu membaca peluang-peluang politik agar bisa dimanfaatkan demi mempercepat terlaksananya reforma agraria.

(16)

Dunia Dalam

sebagai lokasi percontohan Desa Maju Reforma Agraria (DAMARA) untuk lokasi transmigrasi, Ujar Dewi Kartika di sela-sela kata sambutannya.

Sementara kedatangan Usep Setiawan sebagai salah satu perwakilan pemerintah coba dimanfaatkan oleh warga terutama terkait persoalan proses transmigrasi yang belum terselesaikan hingga saat ini. Menanggapi pertanyaan warga, Usep mengatakan bahwa dirinya akan menyampaikan aspirasi para petani kepada Presiden.

S

etelah menggelar konsolidasi lokasi prioritas reforma agrarian Jawa – Bali awal Maret lalu. Kali ini KPA kembali menggelar Konsolidasi Lokasi Prioritas Reforma Agraria Region Sulawesi. Agenda yang berlangsung selama dua hari dari Senin, (15/5) higga Selasa, (16/5) ini ditujukan dalam rangka menjalankan reforma agraria atas inisiatif rakyat (agrarian reform by leverage) di pulau Sulawesi.

Bertempat di Kendari, Sulawesi Tenggara, agenda yang berlangsung selama dua hari ini dihadiri oleh serikat-serikat tani anggota KPA se-Sulawesi untuk mengkonsolidasikan dan mengidentifikasi wilayah-wilayah garapan mereka yang saat ini sedang berkonflik baik itu dengan Negara maupun pihak swasta. Hadir juga dalam agenda ini perwakilan dari pemerintahan baik nasional maupun daerah, diantaranya Kantor Staf Presiden (KSP),Kementerian ATR, Kemetrian LHK,

Konsolidasi Lokasi Prioritas

Reforma Agraria Region Sulawesi

Kami di KSP sudah mengantongi beberapa dokumen bukti penguasaan tanah serta laporan tindakan perampasan tanah yang terjadi di lokasi transmigrasi UPT Arongo ini. Berkas tersebut nanti akan kami gunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penyelesaian konflik,” tegas Usep. Di akhir rangkaian kegiatan, Dewi kembali menyemangati anggota STKS dan memberikan beberapa arahan terkait apa yang harus dilakukan ke depan dalam rangka mengambil peluang kebijakan reforma agraria.

Kementrian Desa PDT dan intstansi-instansi pertanahan serta kehutanan se-Sulawesi.

Wilayah Konflik dan Penggarap Sebagai Prioritas Reforma Agraria

Hari pertama, Senin, (15/5) rangkaian acara difokuskan untuk konsolidasi internal antara KPA dengan serikat-serikat tani yang tersebar di seluruh Sulawesi guna menkonsolidasikan dan mengidentifikasi wilayah-wilayah garapan mereka yang akan diusulkan menjadi lokasi prioritas reforma agraria dalam skema kebijakan TORA pemerintah.

(17)

Dunia Dalam

seluas 119.385 Ha dan kawasan hutan seluas 60.531 Ha”.

Jokowi dalam kampanyenya telah menetapkan reforma agraria sebagai salah satu program prioritas dengan dimasukkan ke dalam program Nawacita melalui redistribusi tanah dan sertifikasi dengan target 9 juta hektar.

Bahkan agenda ini telah dikuatkan melalui Perpres No. 45 tahun 2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017 di mana reforma agraria menjadi salah satu prioritas nasional dalam pembangunan Indonesia dimulai tahun ini.

Namun sejauh ini, target tersebut masuh jauh dari harapan. Memasuki tiga tahun kepemimpinannya, tidak sampai 10 % yang telah terealisasi dari angka 9 juta hektar di atas. Reforma agraria sebagai prioritas pembangunan nasional dalam rangka mengurangi kemiskinan dan ketimpangan penguasaan lahan menjadi sangat relevan melihat konteks situasi nasional saat ini. Hal ini mengingat situasi ketimpangan dan kemiskinan di pedesaan dan perkotaan semakin dalam dan parah.

Per-Maret 2016, laporan BPS menunjukkan bahwa desa masih menjadi penyumbang angka kemiskinan di tanah air. Tercatat sebanyak 17,67 juta penduduk miskin hidup di desa. Sedangkan 10,34 juta penduduk miskin hidup di kota.

Sementara, Indeks Kedalaman Kemiskinan naik dari 2,40 di tahun 2015 menjadi 2,74 di tahun 2016. Kemudian Indeks Keparahan Kemiskinan naik dari 0,67 pada tahun 2015 menjadi 0,79 di tahun 2016.

Fenomena ini diperkuat dengan angka konflik agraria dalam dua tahun kepemimpinan Jokowi yang terus meningkat. KPA mencatat dari 252 angka konflik pada tahun 2015 naik siginifikan menjadi 450 di tahun 2016. Bahkan luasannya konflik naik 200 % dari 400.430 hektar tahun 2015 menjadi 1.265.027 hektar di tahun 2016.

Dari 450 kejadian konflik agraria di tahun 2016, 45 atau 10 % dari total konflik tersebut berada di Sulawesi. Meskipun angka konflik didominasi oleh Jawa dan Sumatra, bukan berart reforma agraria di Sulawesi tidak menjadi penting.

(18)

Dunia Dalam

Logikanya, dengan jarak yang sangat dekat pemerintahan nasional, konflik di Jawa masih tinggi tanpa ada proses penyelesaian yang memadai. Apalagi konflik agraria di Sulawesi yang sangat jauh dari pusat kebijakan nasional tersebut.

Kalau diperhatikan, hampir seluruh provinsi di pulau ini mengalami krisis agraria berupa perampasan tanah karena ekspansi perkebunan dan pertambangan. Situasi ini semakin runyam dengan program transmigrasi yang kerap melahirkan konflik baru karena tidak diurus dengan baik.

Konflik-konflik ini akhirnya menjadi kasus-kasus menahun karna tidak pernah menjadi prioritas untuk diselesaikan. Bisa dilihat beragam konflik bertebaran dari Utara hingga ke Selatan. Konflik PLTA Seko, Konflik Transmigrasi Arongo, Konawe Selatan, Kasus Tambang di Dongi-dongi, Konglik perkebunan Bohotokong, hingga terbaru konflik di Tiberias, Sulawesi Utara. Torop Rudendi, Koordinator KPA wilayah Sultra menyebutkan pentingnya melaksanakan reforma agraria di Sulawesi karena sudah terlalu banyak konflik dan tingginya monopoli sumber agraria oleh korporasi dan elit-elit daerah yang menyebabkan tingkat kemiskinan semakin tinggi. “Kondisi ini sudah bisa dikategorikan sebagai daerah darurat agraria”. tegasnya

Menjalankan Reforma Agraria Sejati di Sulawesi

Hari kedua, Selasa, (16/5), konsolidasi dilanjutkan dengan tema “Lokakarya Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria Region Sulawesi”. Rangkaian acara hari kedua ini merupakan kerjasama KPA dengan KSP dengan juga mengikutsertakan beberapa kementrian terkait, seperti Kementrian ATR/ BPN, KLHK, Kemendesa, BPN wilayah dan dinas kehutanan se-Sulawesi.

Pertemuan antara masyarakat sipil dengan lembaga pemeritahan ini dimaksudkan untuk mendorong agar pemerintah melaksanakan reforma agraria di lokasi-lokasi prioritas yang telah ditetapkan KPA bersama serikat-serikat tani yang merupakan hasil pendataan beberapa bula terakhir. Sekaligus menemukan model pelaksanaan reforma agraria di Sulawesi yang selaras dengan pembangunan pedesaaan, pertanian dan kehutanan. Konsolidasi dan lokakarya ini sangat penting agar bisa terhindar dari kesalahan yang selama ini dikhawatirkan pemerintah seperti praktek jual-beli tanah hasil redistribusi atau tidak dikelolah dengan baik oleh si penerima manfaat.

Kasus-kasus ini terjadi merupakan buntut dari kebijakan pemerintah sendiri yang selama ini tidak melibatkan masyarakat sipil dalam menentukan lokasi, penerima manfaat, dan model-model implementasi di lapangan yang tepat sasaran.

Sekjend KPA, Dewi Kartika mengatakan, penetapan lokasi TORA oleh pemerintah harus terus dikawal agar selaras dengan lokasi-lokasi prioritas dari KPA, sehingga tepat sasaran dan mampu menyelesaikan konflik.

Penetapan TORA yang cenderung minim pelibatan organisasi tani secara langsung akan membuka peluang salah sasaran saat diimplementasikan. Hal ini yang harus dipastikan dan terus dikawal agar TORA tepat sasaran.”

(19)

Dunia Dalam

D

alam rangka mensukseskan pelaksanaan reforma agraria kabupaten yang telah dicanangkan sebelumnya, pemerintah daerah Sigi mengadakan pendidikan reforma agraria dan pemetaan partisipatif dari tanggal 18 – 22 Mei 2017. Acara yang berlangsung selama empat hari ini terlaksana atas kerjasama tim gugus tugas reforma agraria kabupaten Sigi dengan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), dan masyarakat sipil lainnya yang berada di Sulawesi Tengah.

Sebagai kabupaten hasil pemekaran pada tahun 2008, pemerintah daerah dan elemen-elemen masyarakat sipil di daerah ini memahami bahwa Sigi harus memiliki strategi percepatan pembangunan yang mengarah pada pemenuhan hak-hak rakyat untuk mencapai kesejahteraan yang maksimal, merata dan berkeadilan.

Salah satu strategi yang dianggap penting untuk mencapai tingkat kesejahteraan rakyat yang maksimal, merata dan berkeadilan adalah dengan melakukan tata kelola hutan dan lahan secara partisipatif dalam kerangka reforma agraria.

Pendidikan RA

dan Pemetaan Partisipatif

di Sigi, Sulawesi Tengah

(20)

Dunia Dalam

Strategi ini berangkat dari kondisi geografis dan demografis daerah yang berimbas kepada kesejahteraan masyarakat, di mana tercatat kurang lebih 114 dari 157 desa dipastikan berbatasan dan berada dalam kawasan hutan. Dengan kondisi ini, maka dapat dipastikan sebagian besar dari 226.876 jiwa penduduk daerah ini menggantungkan hidupnya dari hasil pengelolaan hutan dan lahan.

Oleh sebab itu, atas peran serta bersama semua elemen reforma agrarian menjadi sangat penting untuk dilaksanakan di Sigi.

Guna mengawal

terlaksananya agenda di atas, pemerintah kabupaten Sigi telah membentuk gugus tugas reforma agraria sebagai lembaga ad-hoc yang beranggotakan pimpinan Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Sigi, BPN/ Kantor Pertanahan, BPKH 16 Palu, Balai TNLL, Organisasi Masyarakat

Sipil, Camat dan Kepala Desa se-Kabupaten Sigi.

Lembaga ini ditetapkan melalui Surat Keputusan Nomor 590-001 Tahun 2017 tentang Pembentukan Gugus Tugas Reforma Agraria Kabupaten Sigi pada tanggal 3 Januari lalu.

Sebagai wujud komitmen, sebelumnya pemerintah kabupaten Sigi telah menggelar sekaligus meluncurkan agenda Reforma Agraria pada acara “Desiminasi Publik Tata Kelola Hutan dan Lahan Partisipatif dalam Kerangka Reforma Agraria di Kabupaten Sigi” dan “Lokakarya Persiapan Pelaksanaan Reforma Agraria 31 Kabupaten di Indonesia”, bekerjasama dengan Tim Kerja Reforma Agraria Kantor Staf Presiden (KSP) dan Kementrian Agraria

dan Tata Ruang (ATR/BPN), pada tanggal 28 – 29 November 2016 lalu.

Sejauh ini, tim gugus tugas di atas telah melaksanakan penyusunan peta jalan Reforma Agraria Kabupaten Sigi yang terintegrasi dengan dokumen perencanaan daerah lainya seperti RPJMD dan sosialisasi peta jalan Reforma Agraria dan mengidentifikasi tanah-tanah yang potensial menjadi objek Reforma Agraria di 15 Kecamatan.

Acara yang berlangsung selama empat hari ini dikemas dalam dua bentuk, yakni in class dan out class

berupa pendidikan reforma agraria dan pemetaan secara teori dari hari pertama dan kedua. Kemudian dilanjutkan dengan praktek di lapangan yang berlangsung pada hari ketiga dan keempat. Adapun peserta pe-latihan ini berjumlah 40 orang dari 10 desa prioritas di dalam satu region. Mereka merupakan perwakilan dari pemerintah desa, BPD, tokoh adat dan masyarakat serta perempuan.

Terlihat peserta sangat antusias mengikuti pendidikan ini dengan alat-alat yang tersedia. Mengingat pendidikan ini akan mampu meningkatkan kapasitas para peserta dalam melakukan pengadvokasian di tingkat bawah.

Diharapkan, pendidikan dan pelatihan ini akan menghasilkan kader-kader maupun generasi yang menguasai dan memahami reforma agraria dan pemetaan partisipatif. Serta Terpetakannya wilayah administrasi desa dan lokasi prioritas wilayah reforma agraria di Kabupaten Sigi.

(21)

Dunia Dalam

M

enindaklanjuti agenda konsolidasi lokasi prioritas reforma agraria wiilayah Jawa dan Bali yang diselenggarakan awal Maret lalu oleh KPA dan Kantor Staf Presiden (KSP). Rabu, (12/4) KPA Wilayah Jawa Tengah kembali melakukan audiensi dengan Kanwil BPN Jawa Tengah.

Dalam audiensi tersebut, perwakilan KPA Jateng berjumlah 29 orang yang terdiri dari Purwanto, kordinator KPA Wilayah KPA Jateng dan beberapa perwakilan dari serikat tani anggota KPA seluruh Jateng, diantaranya FPPKS Sragen, SETAM Cilacap, STIP Pemalang, FPPB Batang, dan Hitambara. Sementara dari BPN Kanwil Jaten diwakili langsung oleh Heri sebagai Kakanwil BPN Jateng dan beberapa kepala bidang diantaranya Kepala bidang pengadaan tanah dan kepala bidang penyelesaian konflik. Pertemuan ini merupakan tindak lanjut dari agenda konsolidasi sebelumnya.

Awal Maret lalu, KPA bersama KSP telah mengadakan konsolidasi lokasi prioritas reforma agrarian di mana pada waktu itu juga mengundang Kementrian ATR/BPN dan KLHK. Pada kesempatan tersebut, KPA secara resmi memberikan data-data lokasi prioritas dengan luas 60 ribu hektar yang tersebar di Jawa dan Bali kepada pemerintah. Angka tersebut didapat dari hasil pengumpulan data-data serikat tani

KPA Wilayah Jawa Tengah

Datangi Kanwil BPN

Tindak Lanjut Konsolidasi Lokasi Prioritas Reforma Agraria

(22)

Dunia Dalam

anggota KPA yang saat ini sedang berkonflik dengan perusahaan Negara (Perhutani dan PTPN) maupun perusahaan swasta.

Harapannya, ke depan Kanwil BPN Jateng mampu menjadi mitra strategis KPA Jateng dalam menyelesaikan beberapa konflik agraria yang saat ini terjadi di Jawa Tengah guna mendorong dan mempercepat pelaksanaan reforma agraria di Jawa Tengah serta mengawal pelaksanaannya agar tepat sasaran.

Pada dasarnya, KPA membuat dua klarifikasi sebaga acuan

dalam melakukan inventarisir lokasi prioritas tersebut, yakni kawasan hutan dan non-hutan. Dari 60 ribu hektar luasan lokasi prioritas yang telah terdata tersebut, seluas 10.554 hektar berada di Jateng. Konflik tersebut berada di kawasa hutan dan non-hutan.

Dalam kawasan hutan

tercatat seluas 8.794 hektar lahan yang telah digarap warga berkonflik dengan Perhutani. Angka ini merupakan angka tertinggi untuk konflik kawasan hutan di wilayah Jawa. Sementara untuk kawasan non-hutan, terdapat 1760 hektar luas lahan saat ini tengah berkonflik. Rinciannya, 1251 hektar tengah berkonflik dengan perusahaan swasta. Sisanya, 509 hektar tengah berkonflik dengan PTPN.

Permasalahan di Jawa saat ini ialah di mana terdapat penerima manfaat (subjek) dengan angka yang cukup tinggi. Sementara, lahan (objek) yang tersedia sangat terbatas. Salah satu faktor yang membuat kondisi tersebut ialah luasnya lahan yang saat ini dikuasai perusahaan baik itu milik Negara maupun swasta. Kebanyakan diantaranya tumpang tindih dengan lahan garapan warga.

Laporan akhir tahun KPA 2016 mencatat dua provinsi di Jawa yakni Jawa Timur dan Jawa Barat menempati posisi tiga besar jumlah konflik agraria tertinggi di Indonesia. Jawa Timur berada di kedua dengan jumlah 43 konflik agrarian dan diikuti Jawa Barat dengan jumlah 38 konflik di urutan ketiga.

Kondisi tersebut berdampak angka ketimpangan yang semakin tinggi di Jawa. Mengacu laporan BPS tahun 2017, rasio gini pulau Jawa berkisar antara 0,37-0,42 di mana provinsi D.I. Yogyakarta tercatat sebagai provinsi dengan ketimpangan tertinggi. Angka tersebut termasuk angka ketimpangan yang tinggi di Indonesia. Sementara Jawa Timur dan Jawa Tengah tercatat sebagai dua provinsi yang memiliki penduduk miskin terbanyak di Indonesia. Jawa Timur di urutan pertama dengan jumlah 4.775.000, diikuti Jawa Tengah di posisi kedua dengan total 4.505.780 kaum berpenghasilan rendah. Kemiskinan tersebut merupakan dampak dari kehilangan lahan garapan yang dialami oleh rakyat sehingga tidak mampu lagi mencukupi kebutuhan hidup. Kebanyakan lahan garapan mereka beralih fungsi menjadi perkebunan maupun infrastruktur akibat proyek investasi modal yang diakomodir oleh Negara. Kondisi ini semakin langgeng akibat tumpang tindih kebijakan di lapangan agraria.

Melihat kondisi di atas, artinya pulau Jawa sangat relevan untuk dilaksanakan reforma agraria dengan memprioritaskan lahan-lahan yang saat ini tengah berkonflik untuk diredistribusikan kepada masyarakat. Reforma Agraria merupakan solusi dalam mengurangi ketimpangan tersebut.

Dari 60 ribu hektar luasan

lokasi prioritas yang telah

terdata tersebut, seluas

10.554 hektar berada di

Jateng. Konflik tersebut

berada di kawasa hutan dan

(23)

Dinamika

1

Mei 2017, puluhan ribu buruh bersama kelompok masyarakat lainnya, turun ke jalan melakukan aksi demonstrasi memperingati Satu Mei atau biasa disebut sebagai May Day, yang merupakan Hari Buruh Internasional, menjadi momentum bagi kaum buruh dan seluruh rakyat untuk menyatukan diri dalam perjuangan bersama.

Sekitar 10 ribu massa yang bergerak dari depan kampus UI Salemba, kemudian menyusuri jalanan hingga daerah Pasar Senen, lalu ke Patung Tani, dan nantinya bergabung dengan ratusan ribu massa buruh lainnya untuk mengepung Istana Negara. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bergabung dalam aksi ini bersama aliansi Gerakan Buruh Untuk Rakyat yang terdiri dari KPBI, SGBN, KSN, SP Bank Permata, SP Bank Danamon, Arus Pelangi, SP Jhonson, KPR, BMI, KPRI, PRP, KPA, Politik Rakyat, KPO PRP, SGBM, Perempuan Mahardhika, PPAS, FKI, serta Aliansi Mahasiswa Indonesia.

Grup Band Marginal yang kental dengan lagu-lagu perjuangannya turut serta dalam aksi Gerakan Buruh Untuk Rakyat ini, bersama dengan Red Squad— Band dari kalangan buruh sendiri. Barisan massa ini juga dimeriahkan oleh aksi Reog persembahan dari Serikat Pekerja Bank Danamon dan Serikat Pekerja Bank Permata.

Isu perampasan lahan

Ada enam persoalan yang diangkat antara lain masalah demokrasi partisipatif, penguasaan dan pengelolaan

sumber daya alam yang harus melibatkan partisipasi rakyat, penyelesaian konflik agraria termasuk mengembalikan tanah-tanah rakyat yang dirampas korporat maupun negara dan menghentikan segala upaya perampasan tanah rakyat.

Dalam aksi ini buruh berorasi mengenai perampasan tanah rakyat. “Kami, buruh juga menyadari bahwa

kasus-MAY DAY 2017:

(24)

Dinamika

kasus perampasan tanah yang semakin meningkat dalam pemerintahan Jokowi, selain menyingkirkan para petani di desa maupun rakyat miskin di perkotaan, justru menambah barisan pengangguran, dan itu membuat upah kaum buruh menjadi semakin murah. Untuk itu, kami berjuang untuk menghentikan perampasan-perampasan ruang hidup rakyat baik desa maupun perkotaan,” ujar salah seorang buruh.

Ilham Syah, Ketua Umum KPBI (Konfederasi Buruh Indonesia) menyatakan “Kaum buruh Indonesia adalah bagian dari kekuatan rakyat yang saat ini paling terorganisir. Kita pernah melakukan tiga kali aksi mogok nasional, yang melibatkan jutaan buruh. Ini bukan kekuatan yang kecil. Namun kami menyadari bahwa kekuatan buruh yang cukup besar ini mayoritas masih bergerak untuk kepentingan buruh saja. Padahal sejatinya persoalan yang dihadapi rakyat juga merupakan persoalan bagi kaum buruh,” ujar Ilham Syah

Aksi Tani Diantara Massa Buruh

Diantara aksi May Day ini juga terlihat aksi petani Teluk Jambe. Lima pria bertopi caping lantas berbaring di dalamnya.

Dengan posisi telentang, tubuh mereka dipendam dengan tanah. Hanya kepala saja yang dibiarkan terbuka. Bunga tujuh rupa lalu ditaburkan di atas peti mati berisi manusia itu. Aksi ini dinamai ‘Kubur Diri’ oleh petani Teluk jambe Barat, Karawang. “Aksi kubur diri ini merupakan simbol matinya keadilan bagi petani di tanah air, terutama bagi petani Teluk Jambee, di mana pemerintah nasional dan daerah selalu mengorbankan hak-hak petani demi mengakomodir kepentingan investasi perusahaan dan korporasi”, ujar Aris Wiyono, salah seorang perwakilan petani Teluk Jambee.

Dewi Kartika Sekjend KPA yang hadir meramaikan aksi May Day ini sempat berorasi di depan para petani Teluk Jambe tersebut. Dewi mangatakan buruh dan tani adalah sama-sama mengalami penindasan, jika buruh diupah rendah, maka petani dirampas lahannya seperti yang terjadi pada petani Teluk Jambe. “Puluhan petani telah ditangkap dan dipenjara sedangkan ratusan lainnya telah terusir dari kampung halaman. Situasi seperti di Teluk Jambe juga menunjukkan bahwa petani masih mengalami penindasan”, tegas Dewi dalam orasinya.

(25)

Dinamika

P

eristiwa 3 Mei 2017 menjadi hari sulit dilupakan oleh 1.411 jiwa (343 KK) penduduk Tanjung, Kelurahan Keraton, Kecamatan Luwuk, Kabupaten Banggai yang menjadi korban penggusuran paksa. Di hari itu terjadi penggusuran yang merobohkan setidaknya 300 unit rumah hingga bangunan milik warga rata hingga dengan tanah. Ibu-ibu dan anak-anak menangis meratapi puing-puing rumah bekas rumah yang telah menjadi tanah rata.

Dalam sekejap kerja keras buruh pelabuhan, para penjual emperan, dan para penjual jasa yang memanfaatkan posisi strategis lokasi Tanjung, hancur lebur dilibas buldozer dan excavator.

Pemilik modal, cukong tanah, dan aparat penerima perintah telah berhasil menunjukkan kuasa mereka atas hidup rakyat. Aparatur negara dapat berfungsi ganda menjadi aparatur kuasa modal, dan menjadi pelayan modal untuk mengusir paksa rakyat dari ruang hidup mereka. Egosentrisme elite pemerintahan lokal telah mengalahkan siapa pun yang menghalangi rencana-rencana panjang kuasa modal di atas tanah eksekusi.

Penggusuran paksa ini terjadi akibat perkara hukum perdata, alias perebutan hak kuasa atas tanah, yang telah melalui banyak persidangan dan telah sampai di tingkat Mahkamah Agung. Perlu

Rakyat Tanjung, Luwu Diusir Paksa

(26)

Dinamika

juga diketahui, dari semua keputusan itu, tidak dinyatakan secara tegas perintah eksekusi atas tanah yang berperkara. Ada dua keputusan Mahkamah Agung pada satu objek sengketa, dimana kedua-keduanya berkekuatan hukum tetap, yang memutuskan memenangkan pihak yang berbeda. Kasus ini seakan menyatakan ada dua persidangan hukum ditingkat Kasasi dengan objek yang sama, dengan pemenang yang berbeda. Meski kondisi ini sudah buruk, tetapi sepahit-pahitnya keputusan hukum tersebut bagi yang kalah, tidak ada perintah eksekusi atas tanah. Melihat adanya dua putusan yang saling kontradiktif, maka ketua Pengadilan Tinggi Sulteng yang berwenang mengawal KPN Luwuk dalam menjalankan eksekusi melalui suratnya tanggal 17 Okt. 2016 No. W21-U / 1590/ HK.02 / X/ 2016, yang ditandatangani oleh Ketua PT Sulteng Ida Baggus Djagra, S.H,M.H (tertera cap/ stempel), menyatakan pada point ke-4 “bahwa oleh karena terhadap objek sengketa yang sama terdapat 2 (dua) putusan Mahkamah Agung yang saling bertentangan, maka terhadap permasalahan ini kami akan memohon petunjuk lebih lanjut kepada yang mulia Ketua Mahkamah Agung RI di Jakarta”. Hingga saat ini petunjuk Ketua MA belum diturunkan namun rumah warga yang berada pada lahan objek eksekusi telah rata dengan tanah. Bahkan dari hasil pengukuran sementara oleh warga setempat dengan menggunakan GPS, ternyata lahan yang dieksekusi telah lebih dari 6 Ha, menjadi 7,5 Ha.

Jelaslah bahwa Eksekusi paksa yang dinahkodai oleh Pengadilan Negeri Luwuk dengan bantuan aparat POLRI, TNI, SAT POL-PP adalah cacat hukum dan melanggar Hak Asasi Manusia.

Setiap manusia berhak mendapatkan

perlindungan negara, terutama bagi warga yang tidak memiliki sumber-sumber kehidupan yang jelas, tempat tinggal yang pasti, sumber penghasilan yang pasti. Warga korban menggantungkan hidupnya pada sumber-sumber penghidupan di sekitar wilayah Tanjung dan pelabuhan, menjual jasa mereka untuk bertahan hidup. Mereka tidak sedikit, 1411 jiwa yang menggantungkan hidup di wilayah tanjung, sebagian besar mereka adalah anak-anak dan perempuan. Di antara mereka yang ikut tergusur bahkan yang telah memiliki sertifikat (55 KK). Mereka telah diusir dari ruang hidup itu, hak mereka dirampas oleh Aparatur Negara.

Negara telah melanggar HAM, setidaknya tidak mengindahkan prinsip-prinsip dasar HAM. Bahwa, pertama, HAM berlaku universal, kepada siapapun, terlebih pada yang rentan, lemah, kurang paham informasi dan kurang akses mendapatkan perlindungan hak dan keadilan. Kedua, menempatkan negara dan aparatusnya sebagai pemangku kewajiban penghormatan, pemenuhan dan perlindungan HAM. HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia bersifat universal dan langgeng. Oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun (UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM). Namun, prinsip dasar HAM itu telah dicederai oleh sejumlah institusi negara di Kabupaten Banggai.

(27)

Dinamika

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama dengan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mendesak pemerintah untuk menghentikan segala bentuk kekerasan dan kriminalisasi terhadap masyarakat Kabupaten Kepulauan Taliabu, Provinsi Maluku Utara berikut menyelesaikan persoalan konflik Sumber Daya Alam (SDA) yang diakibatkan oleh aktivitas usaha pertambangan milik perusahaan hingga merugikan masyarakat setempat.

Sebelumnya, KontraS telah menerima pengaduan dari masyarakat Kabupaten Kepulauan Taliabu terkait konflik SDA yang meliputi sengketa lahan dan pengrusakan lingkungan yang terjadi Kabupaten Kepulauan Taliabu, yang dilakukan PT. Adidaya Tangguh (PT AT) dengan peran serta aparat keamanan Polres Kepulauan Sula. Konflik di Taliabu ini bermula ketika PT. Adidaya Tangguh melakukan berbagai aktivitas di Kecamatan Taliabu Utara dan Lede.

Kekerasan Di Taliabu, Cermin Konflik

Agraria Yang Terus Berulang

(28)

Dinamika

PT. Adidaya Tangguh merupakan anak perusahaan atau sub-kontraktor dari Salim Group. Perusahaan ini mulai melakukan land clearing pada kawasan hutan dan lahan garapan warga beberapa desa di Kecamatan Lede, Pulau Taliabu, Maluku Utara sejak 2009, dengan mengantongi Surat Keputusan Pemerintah Provinsi Maluku Utara Nomor 01-04/IUP-OP/ DEPKS/2009.

Sejak awal masuknya PT. AT, masyarakat tidak pernah dilibatkan dan tidak ada sosialisasi terkait Kajian Analisis Dampak Lingkungan (KA AMDAL). Masyarakat juga menganggap, proses pemberian ganti rugi yang dilakukan pihak perusahaan dan pemerintah daerah, terkesan sepihak. Serta-merta Pemerintah Kabupaten menyatakan, tanah di wilayah Kepulauan Taliabu, milik negara. Masyarakat kemudian kian geram ketika tahu dan merasakan dampak kerusakan lingkungan seperti perubahan wilayah catachment area (hutan kayu tangkapan air) dan pencemaran sungai. Selain itu, sumber mata air seperti sungai Fango, sungai Samada dan sungai Wake tersedimentasi endapan lumpur merah. Tiga bulan terakhir terjadi banjir yang merusak tanaman produktif warga.

Aksi – aksi penolakan yang dilakukan masyarakat terkait aktivitas PT. AT sudah dilakukan selama 42 kali. Puncaknya, 23 Februari 2017. Ketika itu terjadi bentrokan yang melibatkan masyarakat Kepulauan Taliabu dengan aparat keamanan, sesaat setelah masyarakat menyelesaikan aksi di depan Port Gambose (pintu masuk perusahaan) untuk menuntut penutupan kegiatan tambang PT. AT. Pada peristiwa tersebut, 10 warga ditetapkan tersangka provokasi.

Kelompok masyarakat sipil melihat bahwa, banyaknya kasus terkait konflik SDA yang

muncul seperti di atas menjadi kesimpulan bahwa orientasi pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, semata – mata ingin mencari keuntungan, tanpa memikirkan keselamatan rakyat dan lingkungan hidup.

Tuntutan Penyelesaian Konflik

KontraS, KPA, IHCS dan JATAM menegaskan sejumlah hal di antaranya : Pertama, Kapolri harus mencegah anggota-anggotanya di lapangan agar tidak melakukan upaya kriminalisasi dan tindakan kekerasan terhadap masyarakat.

Kedua Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan segera melakukan second line enforcement, yakni melakukan pengawasan langsung dan audit lingkungan hidup terhadap aktivitas usaha perusahaan – perusahaan di Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga harus melakukan tindakan tegas hingga mencabut ijin jika perusahaan terbukti melanggar sejumlah aturan perundang – undangan, berikut mencabut izin lingkungan dan izin usaha. Pemerintah juga harus melakukan moratorium penerbitan berbagai izin yang merusak lingkungan, terhadap perusahaan – perusahaan yang akan beraktivitas di Indonesia hingga proses audit lingkungan selesai dilakukan.

(29)

Dinamika

M

emperingati Hari Nelayan Nasional 2017 yang setiap tahunnya jatuh pada tanggal 6 April. Sejumlah organisasi masyarakat sipil bersama organisasi nelayan diantaranya KNT Muara Angke, LBH Jakarta, KPA, KIARA, KRuHA, TuK, SP – SAINS – KNTI yang tergabung dalam Aliansi Hari Nelayan Nasional 2017 melakukan aksi turun ke jalan, Kamis, 6/4). Massa aksi melakukan aksi long march yang dimulai dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan berakhir di Istana Negara.

Momentum Hari Nelayan Nasional saat ini dimanfaatkan untuk menyuarakan sekaligus mengingatkan kembali kepada pemerintah Jokowi – JK dan Susi Pudjiastuti sebagai Menteri KKP bahwa saat banyak nelayan yang diterpa persoalan terkait kepastian ruang hidup dan sumber-sumber agraria mereka. Reklamasi, konservasi, wisata bahari hingga pemberian izin konsesi tambang di pulau-pula kecil merupakan beberapa proyek pembangunan pemerintah yang saat ini berpotensi menggusur bahkan menghilangkan sumber kehidupan mereka.

Salah satu contoh dampak buruk pembangunan ialah apa yang dihadapi oleh nelayan di Muara Angke, Jakarta Utara yang terancam akibat rencana pembangunan reklamasi Teluk Jakarta.

Hasil tangkapan tidak lagi melimpah, daerah tangkapan berjarak semakin jauh “saat ini lahan kami di teluk pesisir Muara Angke, teluk pesisir Jakarta Utara telah dihabiskan oleh pulau reklamasi,” Terang Kalil salah satu Nelayan Muara Angke.

Reklamasi membunuh anak cucu dan kehidupan nelayan, sangat menyedihkan, sangat menderita serta kemiskinan yang berlarut-larut. Kami menolak reklamasi di seluruh wilayah Indonesia demi kesejahteraan bangsa,” tegasnya.

Tidak hanya sampai disitu, seringkali nelayan maupun masyarakat pesisir pantai yang mencoba mempertahankan ruang hidup mereka harus berhadapan dengan aparat keamanan. Banyak diantara mereka yang ditangkap, ditembak dan dianiaya, bahkan ada yang hingga tewas.

Peringatan Hari Nelayan Nasional

Gabungan Nelayan dan Masyarakat Sipil Gelar Aksi di Jakarta

Nelayan diterpa

banyak persoalan

terkait kepastian

ruang hidup dan

sumber-sumber

agraria. Diantaranya

reklamasi,

(30)

Dinamika

Beberapa waktu lalu, enam nelayan Pulau Pari, Kepulauan Seribu dikriminalisasi oleh pihak kepolisian. Tiga diantaranya dijadikan tersangka. Hal ini merupakan dampak dari sikap aparat keamanan yang tidak pernah melihat aksi warga sebagai sebuah tindakan dalam mempertahankan ruang dan sumber-sumber kehidupan mereka.

Dalam orasinya, Benni Wijaya, Kepala Departemen Kampanye KPA memperingatkan para penagak hukum untuk tidak mengkriminalisasi nelayan, nelayan dikriminalisi karena mempertahankan hak dan ruang hidup mereka”, kecamnya.

Kepada bapak polisi yang selama ini sering berhadapan dengan warga di wilayah-wilayah konflik agraria. Mereka bukanlah aktor kriminal. Mereka adalah rakyat Indonesia yang berharap bangsa dan pemerintahan ini mampu mensejahterakan mereka dan bukan sebaliknya”, lanjut Benni Sementara Susan, Deputi Pengelolaan Program KIARA memfokuskan pada kondisi di mana masih belum diakuinya peran nelayan perempuan.

Faktanya perempuan nelayan adalah orang yang terlibat dan mengurus sektor perikanan mulai dari produksi sampai pasca produksi, sementara negara abai terhadap itu. Dalam UU No 7 Tahun 2016 perempuan nelayan hanya tertera dalam pasal 45 yang mempertegas bahwa perempuan nelayan termasuk pada persoalan rumah tangga nelayan artinya perempuan ditarik dan didomestifikasi oleh Negara”. ujar Susan. Dampak dari tidak diakuinya perempuan nelayan salah satunya perempuan sulit mengakses program-progam pemerintah. Mendapatkan kartu nelayan saja sulit, sementara untuk mengakses kapal mereka harus ada kartu nelayan” tutupnya.

Dalam kesempatannya, aliansi hari nelayan ini menuntut kepada pemerintahan Jokowi – JK agar mempriotaskan nelayan sebagai subjek dalam program poros maritim yang telah ia canangkan.Bukan memminggirkan dengan membangunan proyek-proyek mercusuar di sepanjang pesisir pantai dan pulau-pulau yang justru telah banyak meminggirkan mereka.

(31)

Profil

Dodi, Berjuang

Dalam Barisan

Kaum Tani

Frandody Taruna Negara, atau biasa dipanggil Dodi, Ketua Serikat Tani Tebo (STT). Pemuda tinggi jangkung ini memulai terlibat dalam gerakan tani sejak masih menjadi mahasiswa. Pada saat menjadi aktifis mahasiswa Doddy pernah ditahan akibat memprotes kebijakan pemerintah. Namun, hal tersebut tidak menyurutkan semangat Doddy untuk terus membela kaum tertindas. Dodi juga aktif membangun kontak dengan organisasi-organisasi rakyat di Sumatera.

Saat ada aksi demonstrasi petani yang tergabung dalam Persatuan Petani Jambi (PPJ), Dodi dan beberapa teman mahasiswanya pergi ke Jambi untuk terlibat dalam aksi ini. Setelah terlibat dalam aksi tani tersebut Dodi aktif menjadi pengurus PPJ. Dalam perjalannya terjadi perbedaan pendapat dalam tubuh PPJ sehingga Dodi dan beberapa kaum muda lain medorong kongres Luar biasa dan mendapatkan dukungan 50% + 1 suara. Pasca suksesi tersebut Dodi pergi ke wilayah Senyerang untuk mengorganisir masyarakat yang sedang berkonflik dengan perusahaan. Pada tanggal 3 maret 2010 aksi besar hingga menyegel DPRD Provinsi selama 21 hari. Aksi semakin diperhebat dengan pendudukan lahan pada tahun 2010 hingga Bupati Tanjabar datang ke lokasi.

Dalam perjuangannya bersama kaum tani, Dodi mengalami kisah-kisah tragis dan juga ada kisah keberhasilan perjuangan. Salah satu kisah yang menyedihkan diantaranya adalah ketika Dodi kehilangan seorang kawan seperjuangan bernama Ahmad Adam. Peristiwa ini terjadi pada saat pemblokiran sungai yang digunakan perusahaan untuk transportasi pada bulan November 2010. Pada saat aksi pemblokiran sungai tersebut berlangsung sebuah kapal tanker menerobos blokade warga. Di belakang kapal tersebut ada sebuah kapal penarik ponton yang mengangkut sekitar 30 personel Brimob bersenjata lengkap. Puluhan warga naik perahu ketek mendekati kapal tersebut agar berhenti, namun anggota Brimob malah melepaskan tembakan peringatan. Karena tembakan tersebut maka warga mundur. Saat warga mundur itu terjadilah penembakan yang menyebabkan Ahmad Adam tertembak di kepala. Selain Ahmad Adam, Dodi juga kehilangan seorang kawan bernama Indra Pelani yang meregang nyawa di tangan security PT Manggala Cipta Persapa (MCP) yang berkonflik dengan masyarakat di Tebo.

(32)

Referensi

Dokumen terkait

II -20 Apabila dilihat dari perbandingan jumlah penduduk antar kecamatan, jumlah penduduk Kecamatan Nanga Pinoh lebih besar dibandingakan dengan kecamatan-kecamatan lain

Pada kelompok masyarakat dengan kelas pengeluaran menengah (Rp. 749.999) proporsi pengeluaran perkapitanya sebagian besar masih dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan makanan,

Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT., yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya sehingga dapat terselesaikannya skripsi denan judul “ANALISIS PENGARUH MOTIVASI, KOMITMEN

• Semua pihak hendaklah bercakap mengikut giliran. • Apabila suatu pihak bercakap, pihak lain hendaklah mendengar dan memberi perhatian. • Apabila bercakap hendaklah dalam

Sebelum melakukan penelitian dengan menerapkan strategi metakognitif berbantuan metode PQ4R peneliti membandingkan prestasi belajar kognitif mahasiswa tanpa

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menggambarkan strategi pengadopsian konvergensi media yang dilakukan Koran Tribun dalam membangun pasar

Hakikat dari pembentukan portofolio yang efisien dan optimal adalah untuk mengurangi risiko dengan cara diversifikasi saham, yaitu mengalokasikan sejumlah dana investor pada