• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konflik Minoritas dan Hak Asasi Manusia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Konflik Minoritas dan Hak Asasi Manusia"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

I. Pendahuluan

Suatu negara dinilai pada bagaimana negara itu memperlakukan kelompok minoritasnya.

– Gandhi

Kebenyakan pendekatan terhadap kajian konfik etnis berpusat pada personal, geopolitik dan berbagai faktor lain. Hanya sedikit pertimbangan analisis yang berpusat pada hukum internasional dan hak asasi serta hak minoritas untuk mengidentifikasi kebijakan dan perundang-undangan suatu negara yang bisa saja menjadi kontribusi langsung bagi meletusnya konfik etnis.

Seperti yang akan diuraikan berikut ini, mempertimbangkan hak minoritas akan bisa membantu memberikan suatu pendekatan yang bermanfaat untuk menggeser miskonsepsi tentang sebab-sebab dan alasan-alasan terjadinya konfik, khususnya dalam kaitan dengan preferensi/ favoritisme negara dan keseimbangan yang ingin dicapai melalui konsep hak asasi manusia. Diantara pokok kajian yang ingin dibahas adalah sampai sejauh mana pemerintah negara telah bertindak netral dalam konteks fovoritisme etnik di mana terdapat konfik etnis dan bagaimana standar hak asasi manusia internasional telah menjadi faktor “penengah” dalam konfik tersebut.

II. Prekondisi Suatu Konfik

Meskipun dianggap sebaliknya, konfik etnis bukanlah suatu fenomena yang umum. Sekalipun terdapat puluhan ribu kelompok etnis yang hidup berdampingan diseluruh bagian dunia, pada kenyataannya relatif sedikit saja situasi di mana terdapat konfik kekerasan yang nyata. Dengan kata lain, kaidah umum yang ada sepertinya bahwa terbanyak dari kelompok masyarakat tersebut secara relatif hidup harmonis dengan kelompok etnis di sekitarnya, walaupun tentunya terdapat juga beberapa kaidah pengecualian, seperti yang bisa terlihat pada beberapa konfik etnis yang meminta korban jiwa yang terjadi di beberapa bagian dunia ini.

Tulisan ini difokuskan pada dimensi hukum tentang bagaimana timbulnya konfik-konfik etnis dan bagaimana konfik-konfik-konfik-konfik tersebut bisa dihindari dengan mengacu pada aturan-aturan hukum internasional. Namun ada juga faktor-faktor lain yang harus diperhatikan yang dapat digambarkan sebagai prekondisi dalam arti bahwa faktor-faktor tadi dalam kebanyakan kasus konfik etnis cenderung untuk terjadi kembali.

1. Konfik etnis lebih memungkinkan timbul di mana terdapat kelompok etnis minoritas yang persentasi dari keseluruhan penduduk cukup besar.

2. Konfik etnis lebih memungkin timbul jika satu kelompok etnis terkonsentrasi pada satu wilayah tertentu yang dianggap “wilayah tradisional” atau tanah leluhur/pusaka.

3. Konfik etnis yang terjadi cenderung melibatkan satu kelompok etnis tertentu yang merupakan suku asli atau masyarakat minoritas.

4. Konfik etnis yang terjadi cenderung melibatkan kelompok etnis tertentu yang memiliki keunggulan demografis, ikatan yang kuat dengan bahasa asli mereka, agama, budaya, atau yang memiliki tradisi hukum khusus baik terhadap anggota

(2)

kelompok dan juga wilayah, dan penguasa mengabaikan atau merendahkan faktor-faktor ini.

5. Semakin pemerintah memperlakukan kelompok masyarakat mayoritas secara lebih khusus baik melalui perundang-undangan maupun kebijakan, semakin besar risiko timbulnya konfik kekerasan, khususnya yang datang dari kelompok masyarakat asli yang cukup besar atau warga negara minoritas.

III. Cikal Bakal Sejarah dan Akar Hukum Suatu Konfik Etnis

Konfik etnis- atau pembersihan etnis- bukanlah fenomena yang baru. Konfik-konfik seperti ini mungkin sudah setua umur manusia itu sendiri, meskipun bukan berarti sering terjadi.

Banyak contoh yang bisa diberikan di sini, mulai dari pembantaian umat Kristen di abad XVI di Jepang sampai ke upaya mengeliminasi kaum Muslim di semenanjung Iberia sesudah Reconquista orang Katolik. Orang bisa juga menyebut beberapa akar konfik yang melibatkan kelompok Muslim Moro di Filipina yang sejak kira-kira abad XVI telah berjuang menentang penjajah Spanyol dan kelompok Kristen Filipina.

Situasi di sana tidak sekedar berupa konfik satu etnik dengan etnik lainnya. Konfik tersebut melibatkan penguasaan tanah/wilayah tradisional mereka di Mindanao, tidak diakuinya sistem hukum kebiasaan yang berlaku bagi orang Moro, penerapan hukum kolonial Spanyol dan hukum agama Katolik Filipina.

Pemerintah Spanyol waktu itu dan untuk seterusnya pemerintah Filipina telah bertindak secara langsung untuk menghapus hukum kebiasaan masyarakat Moro, merampas tanah yang secara tradisional milik mereka, menghukum orang-orang yang melakukan pelanggaran atas aturan hukum kolonial dan Katolik, mengupayakan agar masyarakat meninggalkan agama dan kebudayaan Islam dan memaksa anak-anak Moro untuk bersekolah di sekolah-sekolah yang kebanyakan di bawah kontrol orang Kristen.

Jadi apa yang kita lihat pada masa kurang lebih 400 tahun yang lalu adalah praktek-praktek kenegaraan, hukum, ketetapan-ketetapan dan kebijakan-kebijakan yang pada tingkat paling rendah berusaha untuk membuat orang-orang tunduk dan menerima preferensi negara yang merupakan preferensi kelompok mayoritas yang menguasai pemerintahan.

Banyak kesamaannya terjadi juga pada kelompok-kelompok etnis sepanjang sejarah di banyak bagian dunia lainnya seperti kelompok masyrakat Basque di Spanyol, masyrakat kulit hitam di Sudan, masyarakt asli di Amerika utara dan selatan dan juga seperti yang terjadi pada orang Aborijin di Australia.

(3)

yang disebut terra nullius, yang menentukan bahwa tidak ada hukum lain yang diterapkan selain hukum Inggris di atas benua Australia karena secara hukum seluruh tanah dan wilayah di Australia kosong (tidak bertuan).

Dengan diterapkannya hulum kolonial dan kemudian hukum negara Australia ini, orang-orang Aborijin kehilangan hak mereka atas tanah, dipaksa berbicara bahasa Inggris, dilarang menjalankan kebiasaan dan praktek keagamaan serta kebudayaan mereka (kecuali akhir-akhir ini mulai diizinkan lagi). Hukum kolonial dan kemudian hukum negara Australia itulah yang memberikan kepada orang Australia putih hak atas tanah dan pada saat yang bersamaan menghalangi orang-orang Aborijin berburu, menangkap ikan dan menduduki tanah yang selama ribuan tahun merupakan tanah pusaka mereka. Dengan sarana-sarana legislasi dan pengaturan pemerintah memberikan lisensi penambangan di atas lokasi-lokasi keramat/suci dan secara esensial memusnahkan hak-hak dan praktek-praktek tradisional orang Aborirjin yang selama ini dinikmati berdasarkan hukum komunal mereka.

Bagi orang-orang Moro di Filipina, penduduk asli Amerika dan orang Aborijin di Australia serta banyak lagi kelompk etnis lainnya di dunia ini, konfik kekerasan sering terjadi dan telah berlangsung ratusan tahun. Dalam konfik-konfik tersebut sering kali melibatkan aparat hukum negara atau penguasa kolonial yang dibantu oleh militer dan keunggulan teknis dengan tujuan untuk menundukkan dan menguasai kelompok-kelompok etnis tersebut dan akhirnya mengambil alih tanah dan sumber alam milik mereka.

Namun berdasarkan kenyataan ini tidak dimaksudkan untuk menyatakan bahwa konfik-konfik etnis ini bisa dijelaskan dengan hanya melihat pada faktor-faktor hukum, perundang-undangan dan kebijakan negara semata yang menjadi penyebabnya. Kiranya lebih tepat jika dikatakan bahwa faktor-faktor ini merupakan unsur-unsur penting dan merupakan penyebab utama ditambah dengan sejumlah faktor lain yang ikut menjadi faktor pendukung timbulnya konfik, termasuk di dalamnya unsur sosiologis, politik dan bahkan faktor psikologis.

IV. Negara dan Netralitas Etnis

Kadang-kadang terdapat kecenderungan untuk menganggap bahwa suatu negara modern, yang dicirikan dengan adanya lembaga dan konsep hukum dan politik Barat seperti partisipasi demokrasi, liberalisme ekonomi, dst., entah bagaimana sepertinya dapat terluput (atau meluputkan dirinya) dari masalah-masalah etnis. Juga ada pandangan yang mengatakan bahwa negara-negara yang di perbatasannya terjadi konfik etnis berbuat yang sama dengan alasan penduduknya bertindak “irasional”. Biasanya isyu etnis seperti ini dimanfaatkan untuk tujuan dan keuntungan politis.

Pandangan semacam ini lebih bersifat simplistik dan mengabaikan beberapa unsur krusial. Filsuf Yael Tamir menggambarkan tentang hal ini sebagai berikut:

(4)

dipandang sebagai suatu perwujudan dari humanitas abstrak, yang mewakili citra kemanusiaan universal yang mempersatukan semua manusia.1

Sekalipun bisa terdapat beberapa elemen kebenaran dalam pandangan ini, namun dalam pengertian ini ada satu premis yang harus digarisbawahi, yaitu bahwa pemikiran semacam ini menganggap bahwa di dalam suatu masyarakat yang modern, maju dan demokratis kita tidak perlu merasa prihatin dengan isyu-isyu etnis.

Suatu hal yang luput dari pandangan tentang kemanusiaan ini adalah bahwa manusia bukan hanya sekedar unit produksi ekonomi: setiap individu mengejar tujuan hidupnya dan mempunyai cita-cita yang tidak terbatas hanya pada mengejar kesenangan dan menghindari kesakitan. Manusia dan juga masyarakat mempunyai gagasan tentang adil dan tidak adil. Konfik-konfik etnis sangat sering melibatkan tujuan-tujuan yang non-utilitarian karena bagi banyak individu hal-hal seperti agama, bahasa dan bahkan budaya bisa merupakan sesuatu yang sama pentingnya dengan, atau bahkan dalam kondisi tertentu lebih penting dari pada, upaya-upaya mendapat kesenangan hedonistis.

Di mana ada komunitas, di situ anggota-anggotanya akan memiliki kepentingan atas hakekat kolektif yang akan diusahakan pengembangannya sebagian karena hal tersebut membantu mereka untuk bertahan hidup sebagai suatu komunitas dan melanggengkan apa yang dinilai sesuai dengan yang telah ditentukan, dan sebagian lagi demi kepentingan pribadi atau individu dari setiap anggota masyarakat tersebut.

Namun demikian hubungan antara pemerintah dan individu dalam suatu negara modern sering ditempatkan berbeda, khususnya dalam kaitan dengan demokrasi. Pemerintahan yang representatif dalam suatu negara yang demokratis dikatakan harus mewakili semua masyarakat karena setiap anggota masyarakat berhak ikut serta dalam pembentukan pemerintahan, baik melalui pemilihan umum bebas atau mekanisme lain, dan mereka dapat secara bebas menyuarakan keprihatinan dan ketidakpuasan mereka. Oleh karena semua individu turut ambil bagian dalam hal ini tanpa memandang latar belakang etnis, maka negara itu sendiri dipandang sebagai sesuatu yang netral dan universal, dalam mana aturan-aturan hukum dan kebijakan-kebijakannya berlaku bagi setiap individu tanpa perbedaan. Itulah sebabnya secara esensial suatu negara itu seharusnya bukanlah suatu kesatuan etnis atau komunitas politis.

Akan tetapi, pandangan tentang individu dalam suatu negara modern seperti ini adalah merupakan abstraksi yang memiliki kaitan yang kecil saja dengan cara individu-individu itu berinteraksi dengan pemerintahnya. Kemusykilan pandangan atau fiksi semacam ini telah banyak dituding oleh sejumlah pakar. Sebagai contoh, Tamir menekankan bahwa pada kenyataannya tidak terdapat jalan untuk menghindari, setidaknya secara tidak langsung, identifikasi negara, lembaga-lembaga dan hukum-hukumnya dengan kepentingan kolektif dari kelompok manapun yang menguasai negara tersebut. Biasanya, ini berarti juga bahwa kelompok masyarakat mayoritas akan bisa menikmati penggunaan bahasa mereka yang dijadikan sebagai bahasa resmi dalam lingkungan pemerintahan, agama mereka akan di-“institusionalisasi”kan oleh negara baik itu secara resmi maupun tidak, dan secara langsung atau tidak, dalam berbagai cara dan jalan, budaya, bahasa, tradisi dan bahkan agama dari kelompok mayoritas ini secara “alamiah” akan lebih difavoritkan.:

(5)

budaya yang oleh mereka tidak dapat dihindari akan terbawa ke dalam domain politik, sehingga pemisahan antara negara dan budaya menjadi sesuatu yang tidak mungkin. Yang terjadi kemudian adalah anggota masyarakat minoritas merasa diasingkan…kelompok minoritas …akan dikalahkan dalam pemungutan suara atau penentuan pendapat mengenai isyu-isyu yang genting bagi kelangsungan hidup komunitas mereka, suatu ancaman yang tidak dihadapi oleh kelompok masyarakat mayoritas. Hasilnya, “mereka terpaksa harus menggunakan segala sumber daya yang ada di tangan mereka untuk mengamankan keanggotaan budaya mereka yang memberikan makna bagi kehidupan mereka, sementara kelompok masyarakat mayoritas mendapatkan semua ini secara cuma-cuma.”2

Pandangan ini dapat dikatakan didukung oleh seorang pakar hukum yang juga menulis tentang masalah konfik etnis. Donald Horowitz bahkan lebih jauh mengatakan bahwa kontrol negara sering merupakan isyu sentral dalam konfik etnis. “… karena jumlah menentukan siapa yang memegang kekuasaan dominan atas politik …Jumlah merupakan indikator tentang siapa yang menguasai negara.” Yang mungkin lebih baik penggambarannya tentang isyu sentral ini adalah bahwa di kebanyakan negara-negara di dunia, “pemerintahan oleh mayoritas” biasanya juga berarti pemerintahan kelompok mayoritas, yang konsekwensinya bahwa kelompok etnis minoritas didominasi oleh kelompok mayoritas yang menguasai negara, seperti dikatakan oleh Horowitz:

Di Sri Lanka pernah dicoba diputuskan dalam suatu perundingan apakah negara tersebut “milik” kelompok Sinhala atau Tamil… Asumsi dasar di atas mana persoalan ini diletakkan ialah bahwa kekuasaan politik suatu kelompok akan dipakai untuk kepentingan eksklusif kelompok tersebut dan untuk menggeser kelompok yang lain…Di setiap tempat dominasi berarti kontrol politik. Di mana-mana dipertanyakan tentang siapa “pemilik sesungguhnya dari negara” dan dipersoalkan tentang siapa akan menguasai siapa.3

Dalam hal ini kontrol politik suatu kelompok etnis tertentu penting karena negara ternyata tidak netral. Kebanyakan anggota-anggota kelompok minoritas menyadari bahwa negara, terutama dalam tatanan demokratis, akan cenderung melayani kepentingan kelompok mayoritas yang memilih dan membentuk pemerintahan secara lebih khusus dan dengan cara tertentu akan mengenyampingkan kelompok minoritas.

Seseorang dapat mengilustrasikan kenyataan ini dengan melihat kondisi yang terjadi pada masyarakat Aborijin di Australia. Seandainya orang Aborijin masih merupakan mayoritas di Australia, maka sangat mungkin mereka akan mampu mempertahankan apa yang menjadi bagian dari agama, budaya, bahasa dan kepentingan mereka terhadap tekanan institusi dan aturan hukum negara Australia yang didominasi oleh kulit putih/orang Eropah. Segera sesudah orang Eropah menjadi kelompok mayoritas di Australia, pilihan tersebut hilang, karena dalam suatu negara yang mayoritasnya orang Eropah, maka sudah tentu hukum negara tersebut akan merefeksikan budaya, kebiasaan dan kepercayaan agama kelompok mayoritas tersebut, sementara kebudayaan, hukum dan agama kelompok minoritas Aborijin akan tersingkir.

Orang bisa memperluas pandangan ini dengan mengatakan bahwa negara modern tidak akan pernah secara etnis bersikap netral sepenuhnya apabila melihat contoh tentang agama negara di dalam satu negara modern dan sekular seperti Australia.

2 Lihat catatan kaki no. 1, hal. 149

(6)

Australia sebenarnya tidak memiliki agama resmi negara, dan sistem hukum dan politiknya berdasarkan pada prinsip pemisahan antara negara dan gereja. Sekalipun sebagai satu negara sekuler Australia tidak memiliki agama resmi negara, namun di sejumlah daerah pedesaan (country) pada tingkat pemerintahannya, agama Kristen diperlakukan lebih khusus melalui penatapan aturan-aturan hukum dan kebijakan-kebijakan pemerintah.

Sebagai contoh ketentuan hukum yang menetapkan bahwa pada hari Minggu dan hari libur Kristen (misalnya Natal) pekerja/buruh mendapat bayaran sekalipun tidak bekerja. Kelompok lain seperti masyarakat Yahudi dan Islam tidak menikmati keuntungan seperti ini. Kalau salah satu dari hari-hari penting kelompok mereka jatuh tidak bersamaan dengan hari Natal Kristen/Australia, mereka tidak secara atomatis memiliki pilihan untuk tidak bekerja dengan tetap mendapat bayaran. Karena mereka akan harus mengganti hari tersebut dengan hak mereka untuk berlibur/cuti atau upah mereka akan dipotong. Jadi kelompok non-Kristen akan dirugikan sementara kelompok Kristen menikmati keuntungan tersebut secara cuma-cuma.

Dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan dengan cara-cara lain, satu negara modern dan sekuler tidak pernah bersikap netral termasuk dalam hal keagamaan. Seperti argumentasi Tamir, adalah sesuatu yang tidak mungkin bahwa satu negara akan bersikap netral menghadapi isyu-isyu yang berkaitan dengan etnis/ kesukuan. Budaya, bahasa, agama atau preferensi lain yang dimiliki oleh kelompok mayoritas yang mengontrol jalannya pemerintahan dan politik negara termasuk institusi hukumnya akan selalu dijabarkan atau diperlakukan lebih khusus di dalam kelembagaan politik dan hukum suatu negara.

V. Negara, Preferensi Etnis dan Hak Asasi Manusia

[Adalah sesuatu] yang tidak sulit untuk menentukan bahwa pelanggaran terhadap hak-hak atas kebebasan dan non-diskriminasi akan memperburuk konfik di dalam masyarakat yang secara etnis terbelah, dan juga tidak sulit untuk mengetahui bahwa pelaksanaan dan ketaatan pada norma-norma tersebut akan mengurangi konfik.4

Sejak kira-kira bad XVII di Eropah dan kemudian di beberapa bagian dunia lain, konsep tentang negara dan pemerintah telah bergeser ke arah pemusatan kekuasaan. Kalau sebelumnya masih bisa dilihat adanya bentuk-bentuk kontrol/pengawasan atas kebijakan negara yang dilaksanakan oleh pemimpin-pemimpin agama dan masyarakat setempat, saat ini suatu nation-state secara bertahap telah berevolusi menjadi negara yang bersifat inclusive” dan “all-intrusive”, artinya negara ikut serta dan turut campur tangan dalam semua segi kehidupan masyarakat). Hampir di semua negara sekarang ini para pemimpin agama dan tokoh masyarakat telah kehilangan peran dan pengaruhnya terhadap negara. Dengan kata lain, suatu nation-state modern sekarang ini secara bertahap telah atau sedang mengganti atau menguasai banyak segi dan bentuk kehidupan sosial masyarakat atau paling tidak mengaturnya.

Fenomena modern ini mempunyai dampak yang mengancam terutama terhadap keberadaan kelompok minoritas. Semakin suatu negara ikut campur dalam kehidupan individu suatu masyarakat, semakin terbuka kemungkinan bahwa negara tersebut akan menjalankan kebijakan yang menguntungkan kelompok mayoritas dalam hal agama, bahasa dan budaya.

4 Little, David. 1996. Belief, Ethnicity, and Nationalism. Washington, D.C. United States Institute of Peace.

(7)

Sebagai contoh, kurang lebih satu abad yang lalu di Myanmar tidak ada sistem pendidikan umum yang wajib. Hal ini berarti kebanyakan anak-anak suku minoritas akan dididik di dalam dan menurut kebiasaan kelompok tersebut baik dalam hal bahasa, budaya dan kepercayaan yang berlaku dalam masyarakat Karen dan Chin, dan kelompok lainnya. Bahkan pada masa pemerintahan Ingrris dan kelompok mayoritas Burma, hal pendidikan tidak menjadi persoalan, karena pemerintah waktu itu termasuk aturan hukumnya tidak mempunyai pengaruh atau peran yang berarti terhadap eksistensi dan aktivitas orang-orang Karen dan Chin. Pada masa itu juga sangat sedikit keterlibatan pemerintah atau negara dalam masalah-masalah ekonomi dan pemanfaatan tanah.

Namun pada saat ini apa yang terjadi di Myanmar berbeda sekali dengan yang dulu. Sejalan dengan berkembangnya Myanmar menjadi suatu negara yang modern, banyak hukum dan program pemerintah yang mengatur dan mencampuri hampir setiap aspek kehidupan masyarakat termasuk kehidupan kelompok minoritas. Pada saat pemerintahan menjadi lebih modern, maka mulailah pemerintah ikut terlibat di dalam lebih banyak lagi segi kehidupan masyarakat. Jasa pelayanan umum menjadi semakin besar yang juga berarti penciptaan kesempatan kerja di sektor publik. Hal ini berarti pula meningkatnya campur tangan kelompok mayoritas melalui pemerintah dalam hal bahasa, budaya dan agama: Budisme menjadi agama resmi negara, pendidikan umum wajib diterapkan, bahasa resmi negara adalah bahasa kelopmok mayoritas, yang kesemuanya mencerminkan budaya mayoritas, bahkan kesempatan kerja di sektor publik dan pemerintahan kebanyakan diberikan kepada masyarakat yang mempunyai budaya, bahasa dan agama seperti yang dimiliki oleh kelompok mayoritas.

Tamir, dalam bagian lain mengatakan:

Suatu negara minimal, oleh karena “kekecilannya”, masih dapat dilihat sebagai netral, bahkan meskipun negara tersebut menentukan konsepsi tentang baik-buruk, asalkan negara tersebut dalam batas-batas tertentu menahan diri dari ikut campur tangan di dalam kehidupan anggota masyarakatnya. Yang dibutuhkan hanyalah bahwa negara minimal tadi bisa menunjukkan toleransi dan dapat menahan diri untuk tidak ikut campur tangan dalam urusan mereka yang memiliki konsepsi tentang baik dan buruk (budaya, bahasa, agama) yang berbeda. Tapi dalam negara kesejahteraan yang dikenal dengan welfare state (negara modern yang lebih “usil”) yang komitmennya ialah menjamin agar setiap anggota masyarakat memperoleh kesempatan yang sama dan adil dalam mengejar kebahagiaan hidup dan dalam mengembangkan konsepsi baik-buruk, netralitas harus lebih dari sekedar menahan diri dan toleransi.5

Di beberapa bagian dunia lain seperti Asia dan Afrika, pandangan seperti ini mungkin hanya mengena sebagian pada saat kita mengamati bahwa akhir-akhir ini jumlah konfik etnis yang terjadi semakin besar dibandingkan abad sebelumnya.

Namun bagaimana sebenarnya norma-norma atau standard hak asasi manusia dan minoritas ini dapat membantu mencegah konfik etnis? Jawabannya adalah bahwa norma-norma tersebut dapat berperan sebagai mercu suar atau rambu-rambu tanda bahaya yang memberikan peringatan dini kepada negara akan adanya bahaya meletusnaya konfik etnis dan meunjukkan arah yang sebaiknya diambil apabila konfik tersebut telah meletus. Dalam kaitan berfungsinya norma-norma hak asasi dan hak minoritas ini Stavenhagen mengatakan:

(8)

Konfik etnis umumnya merupakan perselisihan tentang kepentingan (interest) atau perjuangan menuntut hak: hak atas tanah, pendidikan, penggunaan bahasa, perwakilan dalam politik, kebebasan beragama, pengakuan dan pelestarian identitas etnis, hak otonomi, hak menentukan nasib sendiri dan sebagainya. Pada waktu-waktu tertentu, kelompok minoritas merasa dirugikan secara ekonomi dan politik oleh kelompok mayoritas yang lebih unggul dalam hal ekonomi dan politik. Apabila ini terjadi, maka kelompok mayoritas mulai mengatur barisan untuk mempertahankan kepentingan dan hak-hak mereka dari ancaman kelompok mayoritas yang pada saat bersamaan justru berbicara soal hak, kepemilikan bersama dan kepentingan nasional.6

Norma hak asasi manusia akan menjadi garis pertahan pertama menghadapi penyimpangan negara dan dalam fungsi seperti itu norma HAM dapat juga membatasi penerapan preferensi etnis mayoritas oleh penguasa negara. Kesimpulan seperi ini mungkin mengejutkan, namun sebenarnya hal itu tidaklah luar biasa. Salah satu prinsip HAM yang pertama-tama diakui dan diterima sebagai prinsip hukum kebiasaan internasional adalah kebebasan beragama (freedom of religion). Norma HAM ini dirumuskan sebagai reaksi dari prinsip yang sebelumnya diterapkan yaitu cuius regio, eius religio yang pada prinsipnya berarti satu penguasa satu agama. Dengan prinsip ini dimungkinkan adanya penerapan agama resmi negara (yang biasanya merupakan agama kelompok mayoritas) terhadap semua penduduk (termasuk kelompok minoritas yang biasanya beragama lain), prinsip mana, jika terus dipaksakan penerapannya, pada gilirannya akan menciptakan ketegangan dan konfik. Oleh karena itu pengakuan tentang kebebasan beragama yang di Eropah telah diterima sejak lima abad yang lalu itu adalah merupakan pengakuan atas prinsip bahwa negara seharusnya tidak lagi mempunyai “carte blanche” (kekuasaan penuh) di dalam aspek kehidupan tertentu warganya.

Dalam konteks inilah norma-norma hak asasi dan hak minoritas tersebut harus dipahami. Bagi anggota kelompok masyarakat minoritas, pengakuan atas hak-hak tersebut berarti memiliki garis pertahanan menghadapi tindakan negara yang opresif, intoleran dan indifferent. Kebebasan beragama, kebebasan menyatakan pendapat dan non-diskriminasi dalam hal agama, budaya, bahasa dan ras serta etnis –hak untuk menggunakan bahasa, menjalankan ajaran agama dan budaya serta hak untuk menguasai tanah leluhur/tradisional- dari kelompok minoritas jika diakui dan dihormati oleh negara, maka ini merupakan kemenangan bagi usaha-usaha untuk mencegah kelompok mayoritas menguasai dan menjalankan pemerintahan negara yang hanya dipakai untuk memberikan keuntungan begi kelompok mayoritas tersebut. Norma-norma tersebut berpotensi untuk mengekang negara dalam menerapkan preferensi-preferensi etnis.

Interaksi antara penggunaan bahasa dan kebebasan mengeluarkan pendapat merupakan contoh konkrit mengenai relevansi hak-hak asasi individu ini khusus bagi anggota masyarakat minoritas. Di beberapa negara, antara lain Turki dan Indonesia, terdapat peraturan yang melarang penggunaan bahasa tertentu. Hanya baru-baru ini saja larangan tersebut dicabut dengan pemberitahuan biasa atau melalui media massa. Di Indonesia dengan Keppres bulan Mei 1999 ditetapkan pencabutan larangan menggunakan bahasa Cina di hadapan umum.

6 Stavenhagen, R. 1988. “Ethnic Conflict and Human Rights: Their Interrelationship”, dalam K.

(9)

Pemerintahan di negara-negara seperti ini menganggap bahwa ketentuan-ketentuan yang melarang seperti itu dibutuhkan untuk pengembangan dan perlindungan bahasa nasional mereka yang pada kenyataanya adalah merupakan bahasa kelompok mayoritas negara tersebut. Dan justru hal semacam inilah yang dilihat oleh kelompok minoritas, yang secara jumlah cukup besar, sebagai suatu tindakan yang menyerang identitas budaya dan etnis mereka dan juga merupakan campur tangan negara yang tidak sah di dalam upaya pelestarian identitas mereka serta merupakan tindakan yang tidak menghormati atau menghargai eksistensi kelompok minoritas tersebut.

Hak asasi manusia internasional dalam hal ini menjadi semacam batu petunjuk arah dan jalan yang akan mencegah diterapkannya bentuk-bentuk peraturan yang tidak akseptabel dan bersifat preferensi terhadap etnis tertentu dan dengan demikian dapat menghindari masuknya unsur tambahan yang akan menimbulkan kemarahan dan frustrasi etnis.

Sekalipun mungkin hak-hak ini tidak secara spesifik ditujukan untuk melindungi kelompok minoritas, namun secara tidak langsung hak-hak tersebut menyediakan perlindungan bagi kelopmpok minoritas dalam menghadapi serangan negara atas karakteristik-karakteristik minoritas yang berkaitan dengan agama, bahasa dan budaya. Bentuk-bentuk serangan negara terhadap karakteristik-karakteristik tersebut dapat digolongkan sebagai berikut:

1. Menerapkan secara paksa nilai-nilai kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas.

2. Pembatasan penggunaan bahasa, praktek keagamaan dan penyebaran nilai-nilai budaya kelompok minoritas, bahkan sekalipun hal ini hanya dilakukan di dalam lingkungan kelompok tersebut.

3. Penerapan secara tidak sah dan tidak adil syarat-syarat yang berkaitan dengan agama, budaya dan bahasa terhadap kelompok masyarakat tertentu (minoritas) terutama pada waktu meng-claim jasa-jasa pelayanan umum dan bantuan-bantuan yang sebenarnya oleh negara disediakan bagi seluruh warga masyarakat.

Inilah beberapa dari norma-norma internasional khususnya yang berkaitan dengan hak asasi dan hak minoritas yang harus diperhatikan oleh negara dalam memperlakukan kelompok minoritasnya. Meskipun norma-norma dan standar ini hanya bersifat umum, namun dengan itu dapat juga dikonstruksi suatu teori yang merupakan blueprint yang akan memberikan pengertian tentang bagaimana suatu konfik etnis itu bisa terjadi:

1. Dalam kadar tertentu, negara sering menunjukkan pilihan pertamanya (preferensi) khususnya dalam kaitan dengan bahasa, agama dan budaya. Dengan menggunakan sarana seperti kelembagaan, kebijakan dan hukum, negara lebih mangakui dan melindungi karakteristik dan kepentingan kelompok masyarakat tertentu (mayoritas) dan bahkan menganggap bahwa karakteristik kelompok mayoritas itulah yang merupakan karakteristik negara. Sikap negara ini berdampak pada kelompok minoritas setidaknya dalam dua cara/dimensi: secara emosi/perasaan atau simbolis dan dalam hal materi.

2. Dengan menunjukkan sikap preferensi, atau merugikan atau mengenyampingkan kelompok lain dalam memperoleh kesempatan atau keuntungan seperti ini, dapat mempunyai konsekwensi materi dan ekonomi.

(10)

4. Dalam banyak kasus konfik etnis di Asia dan juga bagian dunia lainnya, terdapat cukup bukti bahwa kelompok etnis minoritas merasa “ditekan” atau “didiskriminasi”. Dalam situasi seperti ini peran kebijakan negara ikut terlibat di dalamnya yang dapat digolongkan sebagai pengingkaran terhadap hak-hak asasi dasar individu dalam bidang agama, budaya dan bahasa.

5. Kemungkinan penyelesaian “terbaik” atas kasus konfik etnis adalah mengupayakan cara-cara yang didasarkan pada model atau contoh yang cenderung mampu membatasi sikap preferensi negara yang diarahkan untuk menentang kepentingan kelompok minoritas, termasuk di dalamnya penetapan aturan hukum dan konstitusi negara yang membatasi penggunaan bahasa dan ajaran agama minoritas serta sistem pendidikan/persekolahan bagi kelompok minoritas.

Garis-garis besar pedoman di atas menunjukkan bahwa ada kaitan antara pelanggaran hak asasi dalam bidang agama, bahasa dan budaya dengan konfik-konfik etnis, seperti yang akan diuraikan di bawah ini.

VI. Preferensi Etnis dan Meletusnya Konfikk Kasus Sri Lanka

Satu-satunya pendekatan konstruktif terhadap nasionalisme yang dikaitkan dengan kecemasan kelompok minoritas bahwa secara budaya dan politik mereka akan diasimilasi oleh kelompok mayoritas adalah perlindungan yang memadai atas hak-hak minoritas. Untuk tujuan ini, setidaknya persyaratan berikut ini harus dipenuhi: perlindungan aktif terhadap kelompok minoritas, dengan tujuan tidak hanya sekedar toleransi namun juga secar aktif mengembangkan identitas minoritas, hak otonomi yang luas atas budaya seperti dalam hal bahasa, pendidikan dan media, terjaminnya hak-hak untuk ikut dalam politik dan pemerintahan, seperti perwakilan yang proporsional di dalam pemungutan suara atau pemilu, adanya jaminan hak veto, jaminan perlakuan hukum sesuai prosedur yang sah dan perlindungan hukum lainnya.7

Situasi di Sri Lanka adalah salah satu contoh di mana banyak terdapat sumber konfik dan akhirnya akan menjadi konfik jika pemerintah tidak berhati-hati dalam sikap preferensinya dan dengan itu melanggar hak asasi. Kelompok masyarakat Tamil yang kebanyakan menempati wilayah di utara dan timur negara tersebut, mewakili kira-kira 18% jumlah penduduk dalam mana 5 di antara 6% merupakan “imigran” yang dibawa oleh penguasa kolonial Inggris dulu dan sampai sekarang oleh pemerintah Sri Lanka tidak diakui sebagai warga negara .

Pada masa penjajahan Inggris di negara yang waktu itu disebut Ceylon, orangorang Tamil –atau setidaknya sebagian kelompok elitnya- mampu untuk secara relatif menghidupi dirinya dengan sangat baik. Mereka dulu mempunyai akses yang lebih besar ke pusat-pusat pelayanan dan jasa umum di bawah pemerintahan penjajah Ingrris dari pada kelompok Sinhala, karena orang Tamil lebih bisa berbahasa Inggris dari pada orang Sinhala. Lagi pula, kebijakan seperti ini memang merupakan politik Inggris untuk mencegah kemungkinan usaha perlawanan yang akan dilakukan oleh kelompok mayoritas, yang tentunya akan lebih sulit diatasi.

Pada masa itulah kelompok Sinhala yang merupakan 74% dari penduduk merasa bahwa kepentingan mereka tidak diperhatikan dan bahkan dirugikan, terlebih dalam hal pekerjaan. Keadaan ini perlahan-lahan mulai berubah sejalan dengan makin banyaknya orang Sinhala yang ikut dalam pemerintahan. Pada waktu penguasa Inggris menerapkan prinsip pemungutan suara universal di dalam Dewan Negara

7 Senghaas, Dieter. 1993. Les conflits etniques ou le retour des nationalismes. Paris. Institute for Security

(11)

pada tahun 1931, kelompok-kelompok minoritas khususnya Tamil, berkeberatan dengan mengatakan bahwa harus ada perlindungan kelompok minoritas dalam konstitusi. Namun hal ini ditolak oleh penguasa Inggris.

Dengan presentase sebesar 74% dari jumlah penduduk, maka tidak heran jika jabatan “dewan menteri” menjadi hak ekslusiv orang Sinhala. Keadaan ini tidak menjadi lebih baik pada waktu negara ini merdeka dari kekuasaan penjajah Inggris dan memiliki pemerintahan demokratis. Salah satu dari undang-undang negara pertama yang dibuat di negara Sri lanka pada tahun 1948 adalah undang-undang yang menghapus hak suara kelompok minoritas orang Tamil (yang berjumlah 5%) yang dulu di bawa oleh penguasa Inggris, karena dianggap bukan warga negara Sri Lanka.

Walalupun isyu kewarganegaraan ini dalam hukum internasional sangat sensitif, namun jelas bahwa prinsip non-diskriminasi berlaku juga bagi proses naturalisasi, sehingga undang-undang kewarganegaraan 1948 negara Sri Lanka ini, untuk saat ini, dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap pasal 26 International Covenant on Civil and Political Rights (Konvensi Internasional untuk Hak-hak Sipil dan Politik).

Dan ini bukan satu-satunya tindakan negara yang menunjukkan adanya preferensi etnis yang merupakan kontribusi bagi merosotnya situasi yang secara bertahap menuju konfik etnis, yang mana hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia internasional.

Kondisi ini masih diikuti dengan yang lain. Sekalipun telah disepakati dan menjadi komitmen negara bahwa bahasa Tamil dan Sinhala akan menjadi bahasa resmi di samping Inggris, pemerintah saat ini mulai melakukan upaya untuk mengenyampingkan penggunaan bahasa Tamil dan hanya mengakui bahasa Sinhala dan Inggris sebagai bahasa resmi negara. Keadaan ini bahkan lebih dipertegas (diperburuk) setelah pada tahun 1956 pemerintahan baru terbentuk yang sangat dekat dan bahkan diidentikkan dengan etnis mayoritas Sinhala. Pada waktu itu bahkan bahasa Inggrispun dihapus sebagai bahasa resmi, dan yang tinggal hanyalah bahasa Sinhala.

Praktisnya, orang-orang Tamil digeser dari banyak, kalau tidak kebanyakan, posisi dalam pemerintahan dan pekerjaan hanya karena preferensi bahasa, yang pada tahun 1970-an kelompok Tamil ini hanya terwakili sedikit sekali dalam pemerintahan dan kepegawaian.

Dalam artian hukum, tindakan negara/pemerintah semacam ini, dalam mana kelompok masyarakat minoritas yang sebenarnya cukup besar ini dirugikan dan dikesampingkan dalam hal pekerjaan, pemerintahan, dan kepegawaian berdasarkan preferensi bahasa seperti yang dialami orang Tamil ini, sudah merupakan pelanggaran terhadap ketentuan internasional seperti yang terkandung dalam pasal 26 Konvensi Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik.

(12)

menduduki tanah-tanah yang diberikan pemerintah/negara kepada mereka. Kebijakan ini tentu saja dilihat oleh orang Tamil sebagai suatu tindakan yang akan mengancam eksistensi dan integritas etnis serta budaya mereka. Sekali lagi, tindakan negara ini dilihat dari sudut pandang hukum internasional bisa merupakan pelanggaran atas prinsip non-diskriminasi.

Sebenarnya, konfik etnis yang meminta korban jiwa di Sri Lanka baru betul-betul terjadi pada sekitar tahun 1956 sebagai reaksi kemarahan dan frustrasi yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang melanggar hak asasi manusia, terutama yang berkaitan dengan prinsip non-diskriminasi dalam hal bahasa dan ras, dalam kaitan dengan pekerjaan, pendidikan, pemanfaatan tanah dan kewarganegaraan. Bentuk-bentuk diskriminasi lain yang terjadi sesudah tahun 1956 adalah:

 Pegawai negeri orang Tamil yang diangkat sebelum tahun 1956 dikecualikan dari

persyaratan penggunaan bahasa Sinhala. Namun demikian beberapa dari mereka ternyata harus kehilangan pekerjaan.

 Kenaikan upah tidak diberikan kepada pekerja yang tidak terlalu lancar

nerbahasa Sinhala, atau bahkan sebagian dipaksa untuk mengundurkan diri (pensiun).

 Pengangkatan pegawai baru terutama diperuntukan bagi orang-orang Sinhala

dan beragama Budha.

 Orang Tamil diberi tenggang waktu tertentu untuk bisa berbicara Sinhala secara

lancar, kalau tidak akan dipecat dari pekerjaan.

 Individu dilarang berkomunikasi dalam bahasa Tamil dengan pemerintah pusat.  Urusan-urusan resmi dianggap tidak sah jika dilakukan dalam bahasa Tamil.

Terjadi proses bertahap dalam bertambahnya frustrasi yang dirasakan oleh kelompok minoritas yang secara demografis tidak memiliki wilayah dan pengaruh yang cukup luas untuk dapat melakukan bargain dengan politisi yang lebih berkonsentrasi untuk memperoleh dukungan dari kelompok mayoritas Sinhala. Secara esensial tidak ada perlindungan hak asasi dalam konstitusi bagi etnis minoritas di Sri Lanka. Karena tidak ada cara atau jalur yang tersedia bagi kaum minoritas untuk mengedepankan situasi tersebut, juga karena ketidaksanggupan kaum minoritas untuk menghasilkan bentuk perlindungan yang nyata sekalipun di bawah sistem pemerintahan yang demokratis, tingkat frustrasi makin meningkat.

Dipandang dari perspektif hak asasi manusia, sebab-sebab terjadinya konfik etnis di Sri lanka sangat jelas: diskriminasi yang terus menerus seperti “pengaturan hanya oleh orang Sinhala”, dikombinasikan dengan peran enterpreneur politik, mencuatnya intoleransi terhadap etnik lain dan polarisasi dalam seluruh tatanan etnis, membawa Sri Lanka ke perang saudara. Berbagai kebijakan pemerintah dan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan standar hak asasi manusia internasional terutama yang berkaitan dengan diskriminasi bahasa dan agama, merupakan faktor-faktor penyebab timbulnya kekerasan etnis di negara tersebut.

Berhubung persentasi penduduk suku Tamil cukup besar yang secara teritorial terkonsentarsi dan secara budaya, agama dan bahasa berbeda dari kelompok mayoritas Sinhala, maka praktek-praktek diskrimansi yang terus dijalankan oleh negara dalam bidang agama, bahasa dan budaya serta tidak mampunya rezim yang demokratis merespons tuntutan kaum minoritas, semua ini ibaratnya seperti undangan bagi datangnya kekerasan dan pada akhirnya muncul tuntutan pemisahan diri.

(13)

Bagaimana premis-premis atau dalil-dalil dan prinsip-prinsip yang disebutkan di atas bisa diterapkan di Indonesia? Hal ini mungkin dapat dilihat secara lebih jelas dengan memfokuskan perhatian pada contoh spesifik yang terjadi di Aceh.

Orang Aceh dulu ikut berperang untuk kemerdekaan Indonesia sebagian dengan harapan Indonesia akan menjadi negara federal. Ini sempat menjadi kenyataan ketika berlakunya Konstitusi RIS tahun 1949/1950. Namun konstitusi ini segera diganti dengan UUDS 1950 dan akhirnya dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 diganti lagi dengan UUD 1945, dan dengan demikian Indonesia kembali menjadi, dan sampai sekarang, negara kesatuan yang sangat sentralistis.

Sekalipun beberapa ahli meng-claim bahwa etnik konfik di Aceh baru mulai terjadi pada akhir 1980-an, namun sebenarnya hal itu telah terjadi sedikit lebih awal. Secara esensial, terdapat tiga bidang utama yang menjadi isyu dalam ketegangan etnis di Aceh. Ketiga-tiganya melibatkan kebijakan dan praktek-praktek negara yang secara mendasar merupakan pelanggaran atas hak-hak internal orang Aceh.

Yang pertama yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan negara tersebut adalah program transmigrasi. Sejak kira-kira akhir tahun 1950-an, dengan bantuan negara-negara donor Barat dan Bank Dunia senilai jutaan dolar, Jakarta secara hurufiah telah dan masih terus mengirim transmigran asal pulau Jawa yang merupakan pulau utama dan sangat dipadati penduduk ke Aceh dengan alasan untuk tujuan-tujuan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan.

Memang pada kenyataannya, dan hal ini bukan suatu kebetulan, kebanyakan transmigran asal Jawa dikirim ke daerah-daerah yang merupakan wilayah yang potensial untuk terjadinya konfik, termasuk Aceh.

Yang kemudian terjadi adalah bahwa tanah-tanah leluhur yang secara tradisional merupakan hak pusaka penduduk asli setempat direbut dan hak-hak mereka atas tanah tersebut tidak diakui. Tanah-tanah ini oleh pemerintah diberikan kepada para transmigran.

Tidak diakuinya hak kepemilikan atas tanah tradisional atau dengan cara tertentu dihilangkan atau diambilalihnya hak-hak tersebut dan kemudian diserahkan kepada kelompok etnis lain adalah merupakan tindakan diskriminasi.

Bidang atau area kedua yang memberikan kontribusi bagi kemarahan orang Aceh dan akhirnya meletus menjadi kekerasan etnis adalah yang berkaitan dengan kesempatan kerja di sektor privat. Harap diingat bahwa Sumatra bagian utara adalah suatu daerah yang terisolasi dari Indonesia dan penduduknya 90% orang Aceh. Di samping kesempatan kerja di sektor privat ini, pemerintah juga banyak terlibat dalam urusan pengembangan industri penting di Aceh.

(14)

Indonesia seperti orang Aceh, dirugikan dan bahkan dikesampingkan dalam proses pengangkatan pegawai. Sekali lagi, dalam kaitan dengan kasus Aceh yang penduduknya lebih dari 3 juta orang yang terkonsentrasi di dalam satu wilayah tertentu, kenyataan ini dapat dianggap sebagai pelanggaran atas prinsip non-diskriminasi.

Hal lain, dan ini yang ketiga, yang menjadi isyu dalam konfik di Aceh, , adalah agama. Orang Aceh meninginkan adanya pengakuan yang lebih luas dalam hal agama Islam. Keinginan ini digabung dengan pelanggaran atas hak-hak kaum minoritas Aceh seperti yang saya gambarkan di atas, merupakan suatu kombinasi yang penting yang menyebabkan meningkatnya kekerasan menentang kekuasaan negara yang, kiranya tepat jika dipandang merupakan atau digunakan sebagai alat untuk menguntungkan orang-orang Jawa. Situasi terus bereskalasi sampai pada tahap unjuk kekuatan yang menurut Palang Merah Internasional dalam satu kesempatan rapat akbar untuk menuntut kemerdekaan (Kongres Rakyat Aceh) telah melibatkan kurang lebih satu juta orang Aceh yang berarti sepertiga dari keseluruhan kelompok minoritas ini. Suatu jumlah yang sangat besar, yang menunjukkan bahwa ada sesuatu yang fundamental sedang terjadi di Aceh.

Orang Aceh di Indonesia, suku Tamil di Sri Lanka, orang Albania di Yugoslavia, suku Maya di Chiapas Mexico, suku Kurdi di Turki, orang Korsika di Perancis, orang Basque di Spanyol dan Uighurs di Cina, semua tentu tidak senang membunuh masyrakat tetangganya. Jalan kekerasan diambil karena mereka frustrasi dan karena tidak sanggup merubah kebijakan pemerintah yang disebabkan oleh karena mereka selalu kalah dalam pemungutan suara untuk mengambil keputusan. Mereka biasanya bereaksi demikian karena dalam lingkungan politik dan pemerintahan mereka tidak mempunyai atau kurang sekali pengaruhnya.

Bahkan sering dalam perjuangan untuk melindungi kepentingannya, mereka menuntut kemerdekaan dari kekuasaan pemerintah nasional. Mereka tidak percaya pada pemerintah nasional karena pemerintah ini dikuasai oleh kaum mayoritas. Dominasi dan preferensi etnis mayoritas di negara-negara yang tercabik-cabik konfik etnis biasanya terkait dengan pelanggaran hak asasi dalam bidang agama, bahasa dan budaya. Kegagalan untuk menghormati hak asasi dalam bidang budaya, agama dan bahasa ini merupakan kontributor utama bagi memanasnya hubungan antara negara dengan etnis minoritas yang presentasenya cukup besar, terutama jika kelompok minoritas tersebut merupakan suku asli atau kelompok minoritas nasional. Kondisi seperti inilah yang menyebabkan merebaknya konfik-konfik etnis di berbagai bagian dunia ini.

Hak asasi manusia kaum minoritas, terutama yang dijabarkan dalam dokumen hukum seperti Konvensi Kerangka Kerja untuk Perlindungan Kaum Minoritas Nasional, menyodorkan suatu formulasi umum yang jika di negara-negara seperti Sri Lanka secara konsisten dihormati, kemungkinan besar tidak akan terjadi konfik etnis yang meminta banyak korban jiwa.

Hak asasi manusia kaum minoritas menawarkan suatu keseimbangan yang baik antara kebutuhan akan kesatuan, kepentingan kaum mayoritas dan kenyataan akan kehadiran kaum minoritas di perbatasan yang secara etnis berbeda dan yang mungkin saja tidak mendapat perlakuan yang sama dari negara seperti terhadap kaum mayoritas.

(15)

dibolehkan menjalankan agama dan budaya mereka, atau tuntutannya tidak didengar oleh penguasa negara, sedangkan kelompok tersebut menempati suatu wilayah dan secara jumlah cukup besar, maka dalam situasi seperti ini konfik etnis biasanya tidak dapat dihindari.

VIII. Kesimpulan

Sayangnya, pemerintahan oleh rakyat dapat berubah menjadi pemerintahan yang cenderung menunjukkan preferensi atau favoritisme dalam hal budaya, agama dan bahasa etnis mayoritas. Pada gilirannya, pada satu titik tertentu atau lainnya, satu etnis yang kebetulan minoritas dalam negara akan menderita kerugian sebagai akibat preferensi etnis yang diterapkan dalam struktur yang beroperasi di dalam suatu negara yang secara etnis mestinya netral.

Kegagalan dalam menghormati dan menjamin hak asasi manusia dalam bidang bahasa, budaya dan agama menjadi kontribusi bagi terciptanya ketegangan antara negara dan kelompok minoritas yang ujung-ujungnya menuju kepada pertikaian atau konfik etnis. Kenyataan-kenyataan yang digambarkan di sini semuanya menunjuk pada suatu rangkaian tindakan negara yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran atas norma hukum internasional. Hal-hal seperti tidak diakuinya (non-recognition) atau diambilalihnya (expropriation) hak-hak atas tanah pusaka, atau pelarangan penggunaan bahasa asli dalam bidang pendidikan/di sekolah dan tempat kerja, dsb., akan mengakibatkan terjadinya diskriminasi yang tidak sesuai dengan standar atau norma yang terkandung dalam konvensi atau perjanjian internasional seperti pasal 26 Konvensi Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik.

Dalam hal ketidakhadiran beberapa bentuk hak otonomi, kelompok minoritas akan merasa dirinya dalam situasi yang terancam vis-à-vis (diperhadapkan dengan) bahasa, budaya dan agama kelompok mayoritas yang mengontrol aparatur negara. Bahkan negara-negara demokratis yang secara umum menghormati hak asasi manusia pun tidak terlepas dari masalah preferensi etnis atau intoleransi atau prasangka buruk yang dikenakan terhadap sekelompok tertentu dalam masyarakat negara-negara tersebut. Seperti sudah diuraikan sebelumnya, adalah salah untuk percaya pada pendapat yang mengatakan bahwa suatu negara modern yang demokratis dapat selalu berlaku tidak memihak/netral dalam hal etnis.

Penghormatan atas hak asasi dan hak minoritas dapat menjaga agar preferensi atau karakteristik negara seperti ini tidak menjadi beban bagi sekelompok individu yang merupakan anggota masyarakat minoritas. Atau sebaliknya, dengan tidak tersedianya suatu sistem yang menjamin dihormatinya hak-hak tersebut berarti kelompok minoritas hanya bisa berharap pada belas kasihan kelompok mayoritas yang kita tahu semua sangat susah dijamin dan bervariasi kadarnya.

Dengan demikian hak-hak dimaksud akan sanggup berperan dalam mencegah tibulnya ketegangan etnis. Apabila dimengerti dan diterapkan secara tepat, hak-hak ini menyodorkan suatu paket yang feksibel yang sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi tradisional dan merupakan kondisi yang kondusif bagi stabilitas negara dan perdamaian internasional.

(16)

Referensi

Dokumen terkait

parkir yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kota. Ada juru parkir nya, ada yang mengatur letak kendaraan yg diparkirkan agar tidak mengganggu pengguna jalan yang lainnya.

 Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada : badan usaha;

Dari data yang dihasilkan dalam penelitian bahwa Sekalipun adanya alasan khusus yang diterapkan hakim dalam menentukan pertanggungjawaban hukum terhadap wanita

The mechanical properties like flexural strength and the fracture toughness have been studied on a sintered silicon carbide, which is prepared by the pressureless sintering route

Taman Kanak-Kanak (TK) harus membimbing dan mengawasi anak dalam melakukan setiap gerakan yang dilakukan oleh anak dalam bermain sehingga semua aspek perkembangan

Hasil penelitian menyatakan bahwa faktor-faktor loyalitas karyawan yang mendukung loyalitas kerja karyawan SMA Al Ma’soem yaitu Pekerjaan yang Menantang,

Pada bab ini akan dianalisis mengenai pengaruh bilangan Reynolds dan jarak antar titik pusat sirip dalam arah aliran udara (streamwise direction) terhadap

kloropropiltrimetoksisilan mengalami reaksi kondensasi dengan spesies anion silikat dengan melepas metanol. Perkiraan tahap reaksi ini ditunjukkan pada Gambar 1. Proses