1
HAK ASASI MANUSIA SIPIL DAN POLITIK TERKAIT
DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 Tahun 2015
(PEMILIHAN KEPALA DAERAH)
UNIVERSITAS INDONESIA
Audhilla Novieta Putri
16006959162
09
Kelas Hukum Kenegaraan (Reguler)
Fakultas Hukum Program Magister Hukum
2 KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rabbil’alamin segala puji bagi Allah
SWT Tuhan semesta alam, yang dengan rahmat, nikmat serta
keagungan-NYA memberikan kelancaran, kesabaran, dan
kekuatan untuk penulis dalam menyusun tugas makalah
matakuliah Hak Asasi Manusia. Dengan segala keterbatasan
waktu dan kemampuan penulis dapat menyelesaikan makalah
akhir ini dengan baik. Makalah akhir ini membahas tentang
HAK ASASI MANUSIA SIPIL DAN POLITIK TERKAIT DENGAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 8 Tahun 2015 (PEMILIHAN KEPALA
DAERAH). Terima kasih untuk pihak-pihak yang telah
membantu penulis, khususnya pengampu mata kuliah Politik
Hukum, Prof. Dr. Satya Arinanto., SH., MH. yang memberi
inspirasi kepada penulis dalam memberi materi untuk
mengangkat judul makalah ini.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca. Tulisan ini tentunya masih memiliki banyak
kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang membangun
dari berbagai pihak sangat penulis harapkan.
Hormat Saya,
3 DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………2
DAFTAR ISI………3
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……….5
B. Rumusan Masalah……….17
C. Maksud dan Tujuan Penulisan……….18
D. Kerangka Teori……….18
E. Metode Penelitian……….34
F. Sistematika Penulisan……….37
BAB II Latar latar belakang munculnya ketentuan Pasal 7 huruf s Undang-Undang nomor 8 Tahun 2015 tentang pemilihan kepala daerah (Pilkada)………39
BAB III Pertimbangan majelis hakim Mahkamah Konstitusi dalam putusannya No. 33/PUU-XIII/2015 menyatakan Pasal 7 huruf s sebagai pasal yang konstitusional bersyarat………50
BAB IV Hak Asasi Manusia Sipil dan Politik……….70
4
A. KESIMPULAN……….89
B. SARAN……….94
5 BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Demokrasi merupakan sebuah kata yang sudah tidak asing
lagi. Karena demokrasi merupakan suatu sistem yang telah
dijadikan alternatif dalam tatanan aktivitas
bermasyarakat dan bernegara. Demokrasi merupakan asas
yang fundamental dalam pemerintahan. Namun sebenarnya,
apa hakikat dari demokrasi itu sendiri? Secara
etimologis, demokrasi merupakan gabungan antara dua kata
dari bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat dan
cratein atau cratos yang berarti kekuasaan. Jadi,secara
terminologis demokrasi berarti kedaulatan yang berada di
tangan rakyat.1 Dengan kata lain, kedaulatan rakyat
mengandung pengetian bahwa sistem kekuasaan tertinggi
dalam sebuah Negara dibawah kendali rakyat.2
Salah satu prinsip negara demokratis adalah
terselenggaranya kegiatan Pemilihan Umum yang bebas.
Sebagai negara demokrasi, tentunya Indonesia harus
1 R.Masri Sareb Putra (ed), Etika dan Tertib Warga Negara, (Jakarta:
Salemba Humanika, 2010), hlm.148.
6
menerapkan prinsip-prinsip yang terdapat dalam demokrasi,
hal ini ditandai dengan dilaksanakannya Pemilihan Umum
yang melibatkan rakyat secara langsung. Pemilihan Umum
merupakan sarana politik untuk mewujudkan kehendak rakyat
dalam hal memilih wakil-wakil mereka di lembaga
legislatif serta memilih pemegang kekuasaan eksekutif
baik itu presiden/wakil presiden maupun kepala daerah.
Pemilihan Umum adalah sarana pelaksanaan asas
kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia.3 Dikatakan sebagai sarana
pelaksanaan asas kedaulatan rakyat (demokrasi), merujuk
pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
menyatakan “kedaulatan berada ditangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Indonesia sempat menerapkan dua sistem Pemilihan Umum
kepala daerah, yaitu pemilihan tak langsung dan pemilihan
langsung. Pasang surut politik telah melahirkan beberapa
variasi sistem pilkada tak langsung. Berdasarkan kajian
terhadap ketentuan-ketentuan perundangan, yakni sejak
UU No. 1 /1945 sampai UU No. 22/1999 telah digunakan 3
3 C.S.T. Kansil, Memahami Pemilihan Umum dan Referendum (Sarana
7
(tiga) jenis tak langsung.4 Awalnya pada permulaan Orde
Baru sistem pemilihan tak langsung memiliki karakteristik
tersendiri yaitu penunjukan dan/atau pengangkatan
pememerintah/pejabat pusat dan dijelaskan dalam Pasal 1
Undang-Undang No. 1/1945, Pasal 18 Undang-Undang No.
22/1948 dan Pasal 11 Undang-Undang No. 18/1965. Pada
pilkada Orde Baru di kenal sebagai pemilihan perwakilan
semu, karena seolah-olah dilakukan DPRD akan tetapi
penentu sesungguhnya berada di tangan pemerintah pusat
seperti presiden atau menteri dalam negeri. Hal tersebut
di tegaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.4
Tahun 1975 tentang perubahan Undang-Undang No. 15 Tahun
1969 tentang Pemilihan Umum Aanggota-Anggota Badan
Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat. Masa akhir orde baru
sebelum reformasi kepala daerah dipilih dengan sistem
perwakilan melalui DPRD berdasarkan Undang-Undang No.22
/1999. Undang-undang tersebut memberi kedudukan DPRD
sangat dominan dan sentral, presiden hanya sebatas
pengesahan pengangkatan atau pemberhentian kepala daerah.
Pemilihan Umum pada era reformasi beralih pada
pemilihan secara langsung yang dimana rakyat yang memilih
4 Joko J.Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Filosofi,
8
langsung para calon pemimpin mereka melalui Pemilihan
Umum. Di sini rakyat menjadi dominan dan berhak memilih
sesuai hati nurani masing-masing rakyat. Dengan lahirnya
undang No. 32 Tahun 2004 setelah itu lahir
undang No. 12 2008 tentang perubahan kedua atas
Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Yang
terakhir untuk mengatur Pemilihan Umum undang-undang No.
8 Tahun 2015 tentang perubahan atas Undang-undang No. 1
Tahun 2015 tentang penetetapan peraturan pemerintah
pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 2014 tentang
pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi
Undang-undang, sehingga undang-undang tersebut telah memberikan
hak politik rakyat untuk memilih Gubernur, Bupati, dan
Walikota secara langsung dan juga dapat ikut serta secara
langsung dalam pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Dengan demikian hak politik masyarakat untuk melakukan
partisipasi politik secara konvensional terbuka lebar.
Keikutsertaan setiap warga negara untuk membangun
negara juga tidak lepas dari hak asasi sipil politik yang
dimiliki oleh setiap warga negara. Hak asasi manusia
adalah hak–hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena
9
hukum positif.5 Indonesia mengenal adanya hak asasi
manusia sipil dan politik dan secara tersurat diatur
dalam UUD 1945 mulai Pasal 27 ayat (1) dan (2); Pasal 28,
Pasal 28D ayat (3), Pasal 28E ayat (3). Pengaturan ini
menegaskan bahwa negara harus memenuhi hak asasi setiap
warga negaranya, khusunya dalam keterlibatan pemerintahan
untuk dipilih dalam acara pesta demokrasi yang meliputi
Pemilu Legislatif, Pilpres dan Pilkada. Dari ketentuan di
atas dapat disimpulkan selain mendapatkan hak untuk
memilih masyarakat juga memiliki hak untuk dipilih dan
memiliki kedudukan yang sama dalam hak untuk dipilih
untuk menjadi kepala daerah.
Kepala Daerah adalah orang yang diberikan tugas oleh
pemerintah pusat untuk menjalankan pemerintahan di
daerah. Untuk menjadi kepala daerah harus melalui
Pemilihan Umum kepala daerah. Tugas Kepala Daerah yang
utama adalah memimpin penyelenggaraan dan bertanggung
jawab penuh atas jalannya pemerintahan daerah. Seperti
yang di sebutkan Pasal 160 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8
tahun 2015 pengesahan pengangkatan pasangan calon
Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih dilakukan oleh
5 Rhona K. M. Smith, at. al, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta:
10
Presiden, sedangkan calon Bupati dan calon Wakil Bupati
serta calon Walikota dan calon Wakil Walikota pengesahan
pengangkatan dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri di
jelaskan dalam Pasal 160 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8
tahun 2015. Oleh karena itu, kepala daerah bertanggung
jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.
Kepala daerah tidak bertanggung jawab kepada DPRD, tetapi
kewajiban kepala daerah memberikan keterangan pertanggung
jawaban mengenai pelaksanaan pemerintahan daerah yang
dipimpinnya kepada DPRD. Seorang Kepala Daerah memiliki
dua kedudukan, selain sebagai kepala daerah yang
merupakan wakil pemerintah pusat (Kepala wilayah) juga
sebagai kepala daerah otonom yang bersangkutan.
Sebagai kepala daerah memiliki tugas, wewenang,
kewajiban dan hak untuk menjalankan pimpinan pemerintahan
daerah sebagai kepala wilayah yang diatur dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintah Daerah. Sebagai pimpinan dan penanggung jawab
tertinggi di daerahnya serta bertanggung jawab kepada
Presiden melalui Menteri Dalam Negeri sesuai dengan
kedudukan Presiden sebagai penanggung jawab tertinggi
penyelenggaraan pemerintahan di seluruh wilayah di
11
Indonesia Nomor 23 Tahun 2014. Selain pada presiden,
kepala daerah memberikan keterangan pertanggung jawaban
kepada DPRD sekurang-kurangnya sekali setahun agar DPRD
dapat selalu mengikuti dan mengawasi jalannya
pemerintahan daerah diatur dalam Pasal 71 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014. Seorang kepala
daerah juga berkewajiban mewakili daerahnya di dalam dan
di luar pengadilan sehubungan dengan hak dan kewajiban
kepala daerah sebagai pimpinan daerah. Akan tetapi,
karena banyaknya tugas, apabila dipandang perlu, kepala
daerah dapat menunjuk seorang kuasa atau lebih untuk
mewakilinya dalam hal-hal tertentu di luar dan di dalam
pengadilan.
Dewasa ini jika kita melihat beberapa fenomena yang
terjadi, yaitu menjelang pelaksanaan pemilihan kepala
daerah banyak sekali anggota DPR, DPD, dan DPRD yang
mengikuti pemilihan kepala daerah (Pilkada). Berikut 10
orang anggota DPR yang mencalonkan diri di Pilkada 2015:6
1. Norbaiti Isran Noor (Demokrat), calon Bupati Kutai
Timur, diusung Gerindra, PDIP, dan PKPI.
6
12
2. Irna Narulita (PPP), calon Bupati Pandeglang, diusung
Gerindra, PKB, PKS, Nasional Demokrat, PBB, Hanura,
dan PAN.
3. Saan Mustopa (Demokrat), calon Bupati Karawang,
diusung Gerindra, Golkar dan Nasional Demokrat.
4. Willy Midel Yoseph (PDIP), calon Gubernur Kalimantan
Tengah, diusung PDIP.
5.Zairullah Azhar (PKB), calon Gubernur Kalimantan
Selatan, diusung PKB, Nasional Demokrat, dan Demokrat.
6. Hamid Noor Yasin (PKS), calon Bupati Wonogiri, diusung
PKS, PAN, Gerindra, dan Demokrat.
7. Neni Moerniaeni (Golkar), calon Walikota Bontang, maju
secara independen (non-parpol)
8. Abdul Hakim (PKS), calon Walikota Metro, diusung PKS
dan Gerindra.
9. Olly Dondokambey (PDIP), calon Gubernur Sulawesi
Utara, diusung PDIP.
10. Chusnunia Chalim (PKB), calon Bupati Lampung,
diusung PKB dan Partai Demokrat.
Sebenarnya hal tersebut sudah lazim terjadi akan
tetapi dalam hal hak kesamarataan dimata hukum karena
adanya keringanan bagi calon yang berstatus anggota
13
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Wali Kota dalam Pasal 7 huruf s menyebutkan
“memberitahukan pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil
Walikota kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kepada Pimpinan Dewan
Perwakilan Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Daerah,
atau kepada Pimpinan DPRD bagi anggota DPRD;”.
Sedangkan calon kepala daerah yang berasal dari
Pegawai Negeri Sipil, Tentara Nasional Indonesia,
Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat Badan Usaha
Milik Daerah, dan pejabat Badan Usaha Milik Negara
diwajibkan mengundurkan diri sejak di tetapkan sebagi
calon kepala daerah. Peraturan yang mewajibkan Pegawai
Negeri Sipil, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia wajib mengundurkan diri
tertulis dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 2015 pasal 7 huruf t menyebutkan “mengundurkan diri sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian
Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Negeri Sipil sejak
14
mewajibkan pejabat Badan Usaha Milik Daerah, dan pejabat
Badan Usaha Milik Negara berhenti dari jabatannya setelah
ditetapkan sebagai calon diatur dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 pasal 7 huruf u
menyebutkan “berhenti dari jabatan pada badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah sejak ditetapkan
sebagai calon.”
Berdasarkan realita ini Adnan Purichta Ichsan, anggota
DPRD Provinsi Sulawesi Selatan merasa adanya keistimewaan
terhadap calon yang berasal dari legislatif atau dewan
perwakilan dengan berlakunya Pasal 7 huruf s UU Nomor 8
Tahun 2015 tentang Pilkada7. Adapun beberapa pokok
permohonan dari pemohon sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 7 huruf s UU Pilkada Tahun 2015 hasil
revisi DPR justru memberikan keistimewaan atau keringanan
perlakukan kepada sebagian warga negara Indonesia dengan
jabatan tertentu terkait persyaratan memberitahukan
pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati,
Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota kepada
Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, kepada Pimpinan Dewan Perwakilan
7
15
Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau kepada
Pimpinan DPRD bagi anggota DPRD;
2.Hukum yang berlaku universal, seharusnya tidak lagi
membeda-bedakan antara calon yang berasal dari Anggota
Legislatif dengan calon lainnya yang menjabat sebagai
incumbent dan yang menjabat di BUMN/BUMD, maupun yang
berstatus PNS, dan Anggota TNI/POLRI;
3.Apabila filosofi pembatasan persyaratan bagi incumbent,
pejabat BUMN/BUMD serta PNS dan Anggota TNI/POLRI adalah
didasarkan pada dikhawatirkan akan terjadi penyalahgunaan
kekuasaan, maka seharusnya kekhawatiran yang sama juga
berlaku bagi calon dari Anggota Legistatif yang
berpotensi menyalahgunakan kekuasaannya, jika hanya
disyaratkan memberitahukan pencalonannya saja, tanpa
harus mengundurkan diri;
4. Untuk mengembalikan kedudukan semua warga negara yang
sama di mata hukum, maka seharusnya bagi calon yang
berstatus Anggota Legislatif juga disyaratkan
mengundurkan diri dari jabatannya selaku anggota
legislatif, atau jika tidak, baik calon incumbent,
pejabat BUMN/BUMD serta PNS dan Anggota TNI/POLRI
16
Pasal 7 huruf s UU Pilkada 2015 yang menyebutkan
“memberitahukan pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil
Walikota kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kepada Pimpinan Dewan
Perwakilan Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Daerah,
atau kepada Pimpinan DPRD bagi anggota DPRD;” tersebut
dinyatakan oleh Mahkamah telah berlaku diskriminatif,
karena tidak mengharuskan anggota DPR, DPD dan DPRD yang
mencalonkan diri sebagai kepala daerah untuk berhenti
dari jabatannya, melainkan cukup hanya memberitahukan
pencalonannya kepada pimpinan masing-masing.8 Dapat
dilihat hal tersebut terdapat ketimpangan dalam mengikuti
pemilihan kepala daerah antara anggota DPR, DPD dan DPRD
dengan PNS, Polri, TNI, Pejabat BUMN/BUMD yang diwajibkan
mengundurkan diri melepaskan jabatan terlebih dahulu
setelah di tetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai
calon pemilihan kepala daerah.
Melihat realita di atas apabila seorang calon kepala
daerah berasal dari anggota legislatif tentu timbul
pertanyaan apakah tidak mengganggu kinerja orang tersebut
dalam melaksanakan tugasnya sebagai anggota legislatif
8
17
jika mengikuti pemilihan kepala daerah. Karena sudah
jelas fungsi antara DPR atau DPRD dengan kepala daerah
sangat berbeda dan juga persiapan menjadi calon kepala
daerah sangat rumit dan memerlukan persiapan yang sangat
menyita waktu. Apa yang melatarbelakangi munculnya
ketentuan pasal 7 huruf s UU No. 8 2015 yang setelah itu
diubah menjadi pasal inkonstitusional bersyarat oleh
Mahkamah Konstitusi. Ini lah yang menjadi dasar pijakan
bagi penulis menganalisis penelitian ini dengan tema,
“HAK ASASI MANUSIA SIPIL DAN POLITIK TERKAIT DENGAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 8 Tahun 2015 (PEMILIHAN KEPALA
DAERAH”.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang melatarbelakangi munculnya ketentuan Pasal 7
huruf s Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Pilkada?
2. Apa pertimbangan majelis hakim Mahkamah Konstitusi
dalam putusannya No. 33/PUU-XIII/2015 menyatakan Pasal
7 huruf s sebagai pasal yang inkonstitusional
bersyarat?
3. Bagaimana pokok permasalahan tersebut bila dilihat
18 C. MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan manfaat penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui latar latar belakang munculnya
ketentuan Pasal 7 huruf s Undang-Undang nomor 8 Tahun
2015 tentang Pilkada.
2. Untuk mengetahui pertimbangan majelis hakim Mahkamah
Konstitusi dalam putusannya No. 33/PUU-XIII/2015
menyatakan Pasal 7 huruf s sebagai pasal yang
inkonstitusional bersyarat.
3. Untuk mengetahui bagaimana HAM memandang hal tersebut.
D. KERANGKA TEORI a) Teori Demokrasi
Kita mengenal bernacam-macam istilah demokrasi, ada
yang dinamakan demokrasi konstitusional, demokrasi
parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila,
demokrasi rakyat, demokrasi soviet, demokrasi nasional,
dan sebagainya. Semua konsep ini memakai istilah
demokrasi, yang menurut asal kata berarti “rakyat berkuasa” atau “government or rule by the people”.9 Kata demokrasi atau democracy dalam bahasa Inggris diadaptasi
9 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia
19
dari kata demokratie dalam bahasa Perancis pada abad
ke-16. Namun, asal kata sebenarnya berasal dari bahasa
Yunani demokratia, yang diambil dari kata demos berarti
rakyat, kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa
(memerintah)10
Perkataan demokrasi yang terbentuk dari dua pokok
kata Yunani di atas, maknanya adalah cara memerintah oleh
rakyat.11 Demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat
yang menggunakannya sebab dengan demokrasi hak masyarakat
untuk menentukan sendiri jalannya organisasi negara
dijamin.12 Oleh sebab itu hampir semua pengertian yang
diberikan untuk istilah demokrasi ini selalu memberikan
posisi penting bagi rakyat kendati secara operasional
implikasinya rakyat diletakkan pada posisi penting dalam
asas demokrasi ini.13
Diantara sekian banyak aliran pikiran yang
dinamakan demokrasi, ada dua kelompok aliran yang paling
penting, yaitu demokrasi konstitusional dan satu kelompok
aliran yang menamakan dirinya demokrasi, tetapi bersandar
pada komunisme. Perbedaan keduanya yaitu, demokrasi
10Ni’matul Huda, Ilmu Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm.
200.
11Ibid.
12Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2000), hlm. 19
20
konstitusional mencita-citakan pemerintah yang terbatas
kekuasaannya, suatu negara hukum (rechtsstaat), yang
tunduk pada rule of law. Sebaliknya demokrasi yang
mendasarkan dirinya pada komunisme mecita-citakan
pemerintah yang tidak boleh dibatasi kekuasaannya
(machtsstaat).14 Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara
memberi pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat
memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok yang
mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai
kebijaksanaan negara, oleh karena kebijakan tersebut
menentukan kehidupan rakyat.15
Dalam kaitan ini patut pula dikemukakan bahwa Hendry
B. Mayo memberikan defenisi sistem politik yang
demokratis ialah dimana kebijaksanaan umum ditentukan
atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara
efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala
yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan
diselenggarakan dalam suatu terjaminnya kebebasan
politik. 16
14Ni’matul Huda, op.cit, hlm. 202
15Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, (Jakarta: CV Rajawali,
1983), hlm. 207.
21
Lebih lanjut B. Mayo menyatakan bahwa demokrasi
didasari oleh beberapa nilai, yakni:17
1. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara
melembaga.
2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam
suatu masyarakat yang sedang berubah.
3. Menyelenggaran pergantian pimpinan secara teratur.
4. Membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum.
5. Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman
dalam masyarakat yang tercermin dalam keanekaragaman
pendapat, kepentingan, serta tingkah laku.
6. Menjamin tegaknya keadilan.
Untuk menjalankan demokrasi tentunya diperlukan berbabgai
lembaga yang dapat melaksanakan nilai-nilai tersebut,
yaitu:18
1. Suatu pemerintahan yang bertanggungjawab.
2. Suatu dewan perwakilan rakyat yang dapat mewakili
golongan-golongan dan kepentingan-kepentingan dalam
masyarakat yang dipilih dengan Pemilihan Umum yang
bebas dan rahasia dan atas dasar sekurang-kurangnya
dua calon untuk setiap kursi.
22
3. Suatu organisasi politik yang mencakup satu atau lebih
partai politik.
4. Pers dan media massa yang bebas untuk menyatakan
pendapat.
5. Sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak-hak
asasi dan mempertahankan keadilan.
Dari berbagai literatur yang mennelaah tentang
tolak-tarik antara peranan negara dan masyarakat tidak
dapat dilepaskan dari telaah demokrasi. Secara garis
besar dapat ditarik kesimpulan bahwa yang berkuasa penuh
yaitu rakyat. Rakyatlah yang akan menentukan arah
kebijakan ke depan. Dengan begitu rakyatlah yang berkuasa
dalam menilai kebijaksanaan negara, oleh karena
kebijaksanaan pemerintah tersebut menentukan kehidupan
rakyat itu sendiri. Untuk itu ditekankan kepada rakyat,
kedaulatan berada di tangan rakyat. Agar dapat
memaksimalkan perannya dalam menunjang sistem guna
keberlangsungan suatu Negara.
b) Teori Pemilihan Umum
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan salah satu media
demokrasi yang digunakan untuk mewujudkan partisipasi
23
kehidupan berbangsa dan bernegara, Pemilihan Umum
sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari suatu
negara demokrasi, jika kita melihat hampir seluruh
negara demokrasi melaksanakan Pemilihan Umum.
Dalam negara hukum yang demokratis, kegiatan memilih
orang atau sekelompok orang menjadi pemimpin idealnya
dilakukan melalui pemilu dengan berasaskan prinsip
pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan
adil (LUBERJURDIL). Adapun yang dimaksud dengan
pemilihan yang bersifat19 :
a. Langsung.
Bahwa rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara
langsung memberikan suaranya, menurut hati
nuraninya tanpa perantara dan tanpa tingkatan.
b. Umum.
Pada dasarnya semua warganegara yang memenuhi
persyaratan minimal dalam usia, yaitu telah berusia
17 tahun atau telah atau telah kawinn berhak dalam
pemilihan, dan telah berusia 21 tahun berhak
dipilih. Jadi pemilihan bersifat umum berarti
pemilihan yang berlaku menyeluruh bagi setiap/semua
24
warganegara, menurut persyaratan asasi (basic)
tertentu, seperti tersebut diatas. Persyaratan
lain-lain, yang teknis atau politis, tidaklah
dihubungkan dengan praktek pelaksanaannya dan
tujuan pemilihan serta fungsi badan/lembaga yang
disusun.
c. Bebas.
Tiap warganegara yang berhak memilih dalam
menggunakan haknya dijamin keamanannya untuk
melakukan pemilihan menurut hai nuraninya tanpa
adanya pengaruh, tekanan atau paksaan dari
siapapun/dengan apapun.
d.Rahasia.
Para pemilih dijamin oleh peraturan, tidak akan di
ketahui oleh pihak siapapun dan dengan jalan
apapun, siapapun siapa yang dipilihnya. Pemilih
memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak
dapat diketahui oleh orang lain kepada siapa
suaranya diberikan (secret ballot)
e. Jujur.
Dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum,
penyelenggara, pelaksana, pemerintah dan partai
25
pemilu, termasuk pemilih, serta semua pihak yang
terlibat secara tidak langsung, harus bersikap dan
bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku.
f. Adil
Dalam menyelenggarakan pemilu, setiap pemilih dan
partai politik peserta pemilu mendapatkan perlakuan
yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak
manapun.
Pengisian lembaga perwakilan dalam praktek
ketatanegaraan lazimnya dilaksanakan melalui Pemilihan
Umum. Pasca perubahan amandemen UUD 1945, semua anggota
lembaga perwakilan dan bahkan presiden serta Kepala
Daerah dipilih dengan mekanisme Pemilihan Umum. Pemilihan
Umum menjadi agenda yang diselenggarakan secara berkala
di Indonesia.
Menurut Ibnu Tricahyo dalam bukunya yang berjudul
Reformasi Pemilu, mendefinisikan Pemilihan Umum sebagai
berikut: Secara universal Pemilihan Umum adalah instrumen
mewujudkan kedaulatan rakyat yang bermaksud membentuk
26
aspirasi dan kepentingan rakyat.20 Definisi di atas
menjelaskan bahwa Pemilihan Umum merupakan isntrumen
untuk mewujudkan kedaulatan rakyat, membentuk
pemerintahan yang absah serta sebagai sarana
mengartikulasi aspirasi dan kepentingan rakyat.
Negara Indonesia mengikutsertakan rakyatnya dalam
rangka penyelenggaraan negara. Kedaulatan rakyat
dijalankan oleh wakil rakyat yang duduk dalam parlemen
dengan sistem perwakilan (representative democracy) atau
demokrasi tidak langsung (indirect democracy).
Wakil-wakil rakyat ditentukan sendiri oleh rakyat melalui
Pemilu (general election) Soedarsono mengemukakan lebih
lanjut dalam bukunya yang berjudul Mahkamah Konstitusi
Pengawal Demokrasi, bahwa yang dimaksud dengan Pemilihan
Umum adalah sebagai berikut: secara berkala agar dapat
memperjuangkan aspirasi rakyat. Pemilihan Umum adalah
syarat minimal bagi adanya demokrasi dan diselenggarakan
dengan tujuan memilih wakil rakyat, wakil daerah,
presiden untuk membentuk pemerintahan demokratis.21
Penjelasan di atas menyebutkan bahwa Pemilihan Umum
merupakan syarat minimal adanya demokrasi yang bertujuan
20Ibnu Tricahyo, Reformasi Pemilu Menuju Pemisahan Pemilu Nasional
dan Lokal, (Jakarta: Intrans Publishing, 2009), hlm. 6.
21Soedarsono, Mahkamah Konstitusi Sebagai Pengawal Demokrasi,
27
memilih wakil-wakil rakyat, wakil daerah, presiden untuk
membentuk pemerintahan demokratis. Kedaulatan rakyat
dijalankan oleh wakil-wakil rakyat yang duduk di dalam
lembaga perwakilan. Kedaulatan rakyat atas
penyelenggaraan pemerintahan dijalankan oleh presiden dan
Kepala Daerah yang juga dipilih secara langsung. Anggota
legislatif maupun Presiden dan Kepala Daerah karena telah
dipilih secara langsung, maka semuanya merupakan
wakil-wakil rakyat yang menjalankan fungsi kekuasaan
masing-masing. Kedudukan dan fungsi wakil rakyat dalam siklus
ketatanegaraan yang begitu penting dan agar wakil-wakil
rakyat benar-benar bertindak atas nama rakyat, maka wakil
rakyat tersebut harus ditentukan sendiri oleh rakyat,
yaitu melalui Pemilihan Umum.
Menurut Jimly Asshidiqqie pentingnya penyelenggaraan
Pemilihan Umum secara berkala tersebut dikarenakan
beberapa sebab diantaranya sebagai berikut: 1) pendapat
atau aspirasi rakyat cenderung berubah dari waktu ke
waktu; 2) kondisi kehidupan masyarakat yang dapat juga
28
dapat menggunakan hak pilihnya; 4) guna menjamin regulasi
kepemimpinan baik dalam cabang eksekutif dan legislatif.22
Berdasarkan pernyataan di atas bahwa beberapa sebab
pentingnya Pemilihan Umum diantaranya adalah aspirasi
rakyat cenderung berubah, kondisi kehidupan rakyat
berubah, pertambahan penduduk dan regulasi kepemimpinan.
Pemilihan Umum menjadi sarana untuk menyalurkan aspirasi
rakyat. Kondisi kehidupan rakyat yang cenderung berubah
memerlukan adanya mekanisme yang mewadahi dan mengaturnya
yaitu melalui proses Pemilihan Umum. Setiap penduduk dan
rakyat Indonesia yang telah dewasa memiliki hak untuk
menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Umum. Regulasi
kepemimpinan baik cabang eksekutif maupun legislatif akan
terlaksana secara berkala dengan adanya Pemilihan Umum.
c) Teori Hak Asasi Manusia Sipil dan Politik
Hak asasi adalah hak yang bersifat mendasar dan
pokok yang dimiliki manusia. Asal usul gagasan mengenai
hak asasi manusia bersumber dari teori hak kodrati
(natural rights theory) dan awal mula teori kodrati
mengenai hak itu bermula dari teori hukum kodrati
(natural law theory), dan dapat dirunut kembali sampai
jauh ke belakang hingga ke zaman kuno dengan filsafat
22Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta:
29
Stoika hingga ke zaman modern melalui tulisan hukum
kodrati Santo Thomas Aquinas. Dalam teori hukum
kodratinya, Santo Thomas Aquinas berpijak pada pandangan
thomistik yang mempotulasi hukum kodrati sebagai bagian
dari hukum Tuhan yang sempurna dan dapat diketahui
melalui penggunaan nalar manusia.23
Hak asasi merupakan perangkat asas-asas yang timbul
dari nilai-nilai yang kemudian menjadi kaidah-kaidah yang
mengatur perilaku manusia dalam hubungan dengan manusia
yang lain. Hak asasi adalah hak yang melekat secara
otomatis pada manusia itu sendiri. Dapat dilihat jika
secara struktural hak asasi masnusia merupakan kontrak
sosial antara negara dan warganegara. Pemenuhan hak asasi
manusia merupakan keharusan negara agar warganegaranya
dapat hidup sesuai dengan harkat martabat kemanusiaannya.
Hak asasi manusia yang di jamin oleh negara tertulis
dalam undang-undang nomor 39 Tahun 1999.
UUD 1945 sebelum diubah dengan Perubahan Kedua pada
tahun 2000, hanya memuat sedikit ketentuan yang dapat
dikaitkan dengan pengertian hak asasi manusia.
30
pasal yang biasa dinisbatkan dengan pengertian hak asasi
manusia adalah:24
1)Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi, “Segala warga negarabersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”;
2) Pasal 27 ayat (2) yang berbunyi, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan”;
3) Pasal 28 yang berbunyi, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang”;
4) Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu”;
5) Pasal 30 ayat (1) yang berbunyi, “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha
pembelaan negara”;
6) Pasal 31 ayat (1) yang berbunyi, “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”;
24Jimly Asshiddiqie, S.H, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta
31
7) Pasal 34 yang berbunyi, “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”.
HAM di dalam UUD 1945 dapat diklasifikasikan menjadi
empat kelompok, yaitu hak sipil dan politik; hak ekonomi,
sosial, dan budaya; hak atas pembangunan dan hak khusus
lain; serta tanggung jawab negara dan kewajiban asasi
manusia. Selain itu, terdapat hak yang dikategorikan
sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun (non-derogable rights) yang meliputi hak untuk hak
untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut.
Adapun hak sipil politk adalah hak yang bersumber
dari martabat dan melekat pada setiap manusia yang
dijamin dan dihormati keberadaannya oleh negara agar
manusia bebas menikmati hak-hak dan kebebasannya dalam
bidang sipil politik yang pemenuhannya ditanggung oleh
negara. Salah satu bentuk hak sipil politik adalah hak
untuk memperoleh kedudukan yang sama dalam pemerintahan,
hak tersebut mencakup hak untuk bebas memilih dan dipilh.
32
menjadi aparat pemerintah eksekutif, legislatif, dan
yudikatif. Secara historis, prinsip tanggung jawab negara
memiliki kaitan erat dengan hak asasi manusia. Hak asasi
manusia yang dewasa ini telah diatur dalam hukum hak
asasi manusia internasional pada awalnya dikembangkan
melalui (prinsip) tanggung jawab negara atas perlakuan
terhadap orang asing (state responsibility for the
treatment of aliens).25
Secara jelas undang-undang tidak menyebutkan
pengertian tentang hak sipil dan politik, namun dapat di
simpulkan bahwa hak-hak sipil dan politik adalah hak yang
bersumber dari martabat dan melekat pada setiap manusia
yang dijamin dan dihormati keberadaannya oleh negara agar
manusia bebas menikmati hak-hak dan kebebasannya dalam
bidang sipil dan politik yang pemenuhannya menjadi
tanggung jawab negara.26 Dengan kata lain, hak sipil dan
politik adalah hak asasi dan kebebasan dasar manusia yg
pemenuhan, penghormatan dan perlindungannya sangat
ditentukan ada atau tidaknya hukum yg menjamin dan
25Satya Arinanto, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PUSHAM UII,
2015), hlm 81.
33
kekuasaan yang taat hukum serta memberikan kepastian
hukum menjamin penegakannya jika ada pelanggaran.27
Indonesia pada 30 September 2005 meratifikasi dua
perjanjian internasional tentang hak–hak manusia, yaitu Kovenan Internasional tentang Hak–hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and
Cultural Rights–ICESCR) dan Kovenan Internasional tentang Hak–hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights-ICCPR).28 Ratifikasi ini
menimbulkan konsekuensi terhadap pelaksanaan hak-hak
manusia, karena negara Indonesia telah mengikatkan diri
secara hukum. Antara lain pemerintah telah melakukan
kewajiban untuk mengadopsi perjanjian yang telah
diratifikasi ini ke dalam perundang-undangan, baik yang
dirancang maupun yang telah diberlakukan sebagai UU.
Hak sipil dan politik membuka jalan bagi
terpenuhinya empat kebebasan dasar yang mencakup hak atas
kebebasan berekspresi dan berkomunikasi, hak atas
kebebasan berkumpul, hak atas kebebasan berorganisasi,
dan hak untuk turut serta dalam pemerintahan. Saat ini
27Suparman Marzuki, Hak Sipil dan Politik, (Yogyakarta: Pusham UII,
2010), hlm 17.
34
rakyat Indonesia telah menikmati juga kebebasan hak sipil
politik. Rakyat tidak hanya bebas mendirikan
partai-partai politik sebagai wahana untuk memperjuangkan
aspirasi politiknya. Rakyat bebas pula untuk mendirikan
perkumpulan masyarakat adat, dan lain sebagainya.
Perwujudan hak atas kebebasan berorganisasi ini sangat
vital bagi upaya rakyat untuk memperjuangkan kepentingan
bersama. Selain itu, tumbuhnya organisasi-organisasi
rakyat dari bawah ini akan memperkuat masyarakat sipil
yang diperlukan bagi berlangsungnya sistem politik dan
pemerintahan yang demokratis.
E. METODE PENELITIAN
1. Fokus Penelitian
Adapun fokus penelitian ini adalah menganalisis
secara yuridis dan politis calon kepala daerah yang
berasal dari anggota DPR dan DPRD dalam pemilihan kepala
daerah di Indonesia, khususnya analisis terhadap
undang-undang pilkada dan putusan mahkamah konstitusi No.
33/PUU-XIII/2015. Penelitian juga fokus pada bagaimana
HAM memandang hak-hak politik masyarakat yang ingin
35
Jenis Penelitian yang digunakan adalah penelitian
hukum normatif atau penelitian perpustakaan karena dalam
penelitian ini penulis mengkaji studi dokumen, yakni
menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan
perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum,
dan dapat berupa pendapat para sarjana.
2. Bahan Hukum.
1. Data Sekunder.
Data yang akan digunakan untuk membahas penelitian
ini, yang meliputi:
1. Bahan hukum primer, antara lain terdiri dari:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945.
b. Undang-Undang No. 8 tahun 2015 Perubahan atas
Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.
1 tahun2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota menjadi Undang-Undang.
c. Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia.
d. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 33/PUU-XIII/2015
36
2. Bahan hukum sekunder, antara lain terdiri dari:
a. Buku.
b.Pendapat para ahli.
c. Karya Tulis.
d. Literatur lainnya.
3. Cara Pengumpulan Bahan Hukum.
Data dikumpulkan dengan cara:
a) Studi pustaka, yakni dengan mengkaji jurnal,
hasil penelitian hukum, literature yang berkaitan
dengan objek penelitian, mengkaji tentang
berbagai dokumen resmi institusional yang berupa
peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan,
risalah sidang, dan lain-lain yang berhubungan
dengan objek penelitian.
4. Pendekatan yang Digunakan.
Pendekatan perundang-undangan karena bahan utama
yang akan dianalisis adalah pengaturan persyaratan
pencalonan anggota DPR, DPD, dan DPRD dalam pilkada
kepala daerah dan kasus, dipilih karena melakukan telaah
terhadap kasus yang berkaitan dengan masalah yang
dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan dan telah
37
5. Metode Analisis Data.
Metode analisis bahan hukum yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yaitu
pengelompokan dan penyesuaian data-data yang diperoleh
dari suatu gambaran sistematis yang didasarkan pada teori
dan pengertian hukum yang terdapat dalam ilmu hukum untuk
mendapatkan kesimpulan yang signifikan dan ilmiah. Bahan
hukum yang diperoleh dari penelitian disajikan dan diolah
secara kualitatif dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Bahan hukum yang diperoleh dari peneltian
diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan dalam
penelitian; b. Hasil klasifikasi bahan hukum selanjutnya
disistematisasikan; c. Bahan hukum yang telah
disistematisasikan kemudian dianalisis untuk dijadikan
sebagai dasar dalam pengambilan kesimpulan nantinya.
F. Sistematika Penulisan
Bab I tentang Pendahuluan terdiri dari 6 (enam) sub bab,
yaitu: Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Maksud dan
Tujuan Penelitian, Kerangka Teori, Metode Penelitian dan
Sistematika Penulisan.
38
2015 tentang pemilihan kepala daerah (Pilkada), berisikan
dasar hukum dan analisis terhadap ketentuan pasal
terkait.
Bab III Pertimbangan majelis hakim Mahkamah Konstitusi
dalam putusannya No. 33/PUU-XIII/2015 menyatakan Pasal 7
huruf s sebagai pasal yang konstitusional bersyarat,
berisikan analisis putusan Mahkamah Konstitusi yang
diteliti oleh penulis, dasar hukum serta fakta-fakta yang
berkaitan dengan putusan tersebut.
Bab IV Pembahasan mengenai hak asasi manusia sipil dan
politik terkait dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015.
BAB V Penutup tentang kesimpulan serta saran yang
berkaitan dengan penelitian ini. Kesimpulan merupakan
penyajian kembali secara singkat dan jelas yang merupakan
hasil penelitian dan pembahasan yang mengacu pada
pokok-pokok permasalahan yang ada. Sedangkan saran adalah
39 BAB II
Latar latar belakang munculnya ketentuan Pasal 7 huruf s Undang-Undang nomor 8 Tahun 2015 tentang pemilihan kepala
daerah (Pilkada)
Demokrasi punya keterkaitan yang erat dengan hak asasi
manusia karena makna terdalam dari demokrasi adalah
kedaulatan rakyat, yaitu rakyatlah sebagai pemegang
kekuasaan politik tertinggi dalam suatu negara. Posisi
ini berarti, secara langsung menyatakan adanya jaminan
terhadap hak sipil dan politik rakyat. Hak sipil politik
rakyat meliputi hak konstitusional untuk dipilih dan juga
hak konstitusional untuk memilih dalam pemilu.
Demokrasi mengisyaratkan kedaulatan rakyat dengan
dilaksanakannya mekanisme Pemilihan Umum dan Pilkada.
Prinsip kehidupan ketatanegaraan yang berkedaulatan
rakyat ditandai bahwa setiap warga negara berhak ikut
aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan
kenegaraan. Pemilu merupakan kegiatan politik yang sangat
penting dalam proses penyelenggaraan kekuasaan dalam
sebuah negara yang menganut prinsip demokrasi karena
40
pemerintahan yang demokratis.29 Dilaksanakannya Pemilu
juga dalam rangka pelaksanaan pemenuhan hak asasi manusia
Sipil Politik masyarakat. Karena dengan Pemilihan Umum,
masyarakat secara individu memiliki hak dipilih sebagai
pemimpin atau wakil rakyat maupun memilih pemimpin dan
wakilnya di lembaga legislatif. Berkenaan dengan
demokrasi dan hak asasi manusia, hal tersebut sudah
jelas-jelas diatur dan dijamin dalam konstitusi
Indonesia. Karena hak konstitusional warga negara
sebagaimana dijamin dalam UUD 1945, khususnya Pasal 27
ayat (1) serta Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945.
Pilkada adalah salah satu bentuk lain dari Pemilihan
Umum, dalam hal tersebut Pilkada juga wujud demokrasi
yang konkret, karena Pilkada diatur dalam bentuk
Undang-Undang. Adapun salah satu urgensi pengaturan pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota di dalam Undang-Undang
adalah untuk mengurangi adanya praktik kecurangan dalam
Pilkada, supaya Pilkada berjalan dengan pakem yang jelas
mulai dari syarat menjadi calon hingga syarat terpilihnya
seorang calon dan tugas wewenang lembaga penyelenggara
serta sanksi-sanksi apabila ada yang melakukan praktik
kecurangan. Pengaturan tentang pemilihan Gubernur,
41
Bupati, dan Walikota guna terlaksana secara demokratis
sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 18 ayat (4)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.30
Pengaturan tentang Pilkada secara langsung diawali
munculnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah. Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota mekanisme Pemilhan Kepala Daerah secara langsung
kembali lagi menjadi Pilkada melalui DPRD. Namun adanya
penolakan oleh masyarakat terhadap Undang-Undang tersebut
karena mekanisme Pemilihan Kepala Daerah kembali melalui
DPRD, Undang-Undang Pilkada tersebut akhirnya diganti
dengan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota. Pada intinya dalam Perpu
tersebut merubah mekanisme Pilkada dari tidak langsung
menjadi langsung .
Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota tersebut kemudian disahkan menjadi
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
30Bagian menimbang huruf a Peraturan Pemertintah Pengganti
42
Walikota menjadi Undang-Undang. Pengaturan terakhir
tentang Pilkada tidak berselang lama Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2015 tersebut direvisi menjadi Undang-undang
Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi
Undang-Undang .
Di dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 mengatur
syarat pencalonan untuk mengikuti Pilkada. Namun ada
syarat yang berbeda dalam pencalonan mengikuti Pilkada
tersebut, ada yang harus berhenti dan ada yang hanya
melaporkan keikutsertaannya dalam Pilkada kepada
pemimpinnya saja. Perbedaan tersebut berlaku bagi calon
Pilkada yang berasal dari DPR, DPD dan DPRD, calon yang
berasal dari anggota TNI/POLRI dan calon yang berasal
dari pejabat BUMN/BUMD. Berikut bunyi pasal-pasal yang
mengatur persyaratan pencalonan Pilkada:
Pasal 7 huruf s Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015:
“memberitahukan pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil
43
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kepada Pimpinan Dewan
Perwakilan Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Daerah,
atau kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bagi
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”
Pasal 7 huruf t Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015:
“mengundurkan diri sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan
Pegawai Negeri Sipil sejak mendaftarkan diri sebagai
calon.”
Pasal 7 huruf u Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015:
“berhenti dari jabatan pada badan usaha milik negara atau
badan usaha milik daerah sejak ditetapkan sebagai calon.”
Akan tetapi terjadi permohonan uji materiil kepada
Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 33/PUU-XIII/2015 untuk
meminta pengujian kepada Mahkamah Konstitusi terkait
Pasal 7 huruf s Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 yang
mengatur mengenai persyaratan menjadi calon kepala daerah
(baik calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon
bupati dan calon wakil bupati serta calon walikota dan
calon wakil walikota). Dengan pemohon Adnan Purichta
Ichsan yang merupakan anggota DPRD Provinsi Sulawesi
44
tersebut ada pertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945
dan secara nyata merupakan sebuah tindakan yang tidak
adil dan melanggar prinsip keadilan (fairness).31
Adapun yang menjadikan alasan pemohon terkait Pasal
7 huruf s adalah:32
1. Bahwa pasal yang diujikan memuat ketentuan yang
memberi perlakuan istimewa dan berbeda kepada anggota
DPR, DPD, dan DPRD dengan calon kepala dan wakil kepala
daerah yang berlatarbelakang pejabat atau pegawai
pemerintahan lainnya, seperti petahana, penjabat
petahana, anggota TNI, Polri, PNS, atau pejabat
BUMN/BUMD (sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf p,
huruf q, huruf t, dan huruf u UU 8/2015);
2. Bahwa Undang-Undang a quo telah menetapkan bahwa
hanya anggota DPR, DPD, dan DPRD yang tidak harus
mengundurkan diri atau berhenti pada saat akan
mendaftarkan diri sebagai calon dalam pemilihan kepala
atau wakil kepala daerah. Seharusnya anggota DPR, DPD,
dan DPRD tidak diperlakukan istimewa dan berbeda dengan
calon lainnya seperti anggota TNI, Polri, atau pejabat
31
http://www.ajnn.net/news/implikasi-putusan-mahkamah-konstitusi-no-33-puu-xiii-2015/index.html. Pada tanggal 20 Oktober 2016 pukul 21.03 WIB
32Lihat putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 33/PUU-XIII/2015,
45
BUMN/BUMD yang diwajibkan berhenti atau mengundurkan
diri karena mereka semua sama dengan pegawai
pemerintahan lainnya, dalam hal menerima gaji dan
fasilitas lainnya dari anggaran atau keuangan negara
(APBN atau APBD);
3. Bahwa ketentuan perubahan Pasal 7 huruf s UU Pilkada
2015 tersebut telah berlaku diskriminatif kepada sesama
Warga Negara Indonesia yang hendak mencalonkan diri
atau dicalonkan, membeda-bedakan perlakuan persyaratan
antara calon yang berkedudukan sebagai anggota DPR, DPD
dan DPRD dengan calon yang berkedudukan sebagai
petahana, calon yang berstatus PNS dan calon yang
berstatus anggota TNI/POLRI, serta pejabat BUMN/BUMD.
Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pihak membahas
Rancangan Undang-Undang bersama Presiden dan juga
menetapkan Undang-Undang bersama Presiden dalam munculnya
ketentuan Pasal 7 huruf s Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2015 memberikan penjelasannya mengapa harus ada pembeda
antara calon yang berstatus anggota DPR, DPD, dan DPRD
dengan calon yang berstatus PNS,TNI/POLRI, serta pejabat
BUMN/BUMD. Didik Mukrianto perwakilan DPR berpendapat
bahwa ketiga syarat pencalonan, yakni huruf s, huruf t,
46
calon yang berasal dari Anggota DPR, Anggota DPD, maupun
DPRD berbeda dengan posisi calon yang berasal dari TNI
dan Kepolisian Republik Indonesia, serta pegawai negeri
sipil. Hal yang sama juga berbeda untuk calon yang
memiliki jabatan pada BUMN atau BUMD.33
Didik Mukrianto mengemukakan diharuskan adanya
pembeda dikarenakan jabatan Anggota DPR, Anggota DPD,
maupun DPRD adalah jabatan politik yang diperoleh melalui
proses pemilihan umum secara langsung oleh rakyat,
sehingga mekanisme pengunduran dirinya pun harus
disebabkan oleh alasan-alasan yang bersifat khusus,
sedangkan jabatan TNI, Kepolisian Negara Republik
Indonesia, pegawai negeri sipil, Pejabat BUMN, atau BUMD
adalah jabatan profesi yang sifatnya profesional dan
merupakan pilihan karier.34
Pilkada juga merupakan suatu aktivitas dari proses
demokrasi yang tidak terlepas dari penyelenggaraan pemilu
karena Pilkada memiliki output yakni pejabat politik
bukan memilih pejabat administratif.35 Oleh karenanya
Didik Mukrianto merasa harus ada syarat yang berbeda
33Lihat risalah sidang perkara Nomor 33/PUU-XIII/2015, (Acara
mendengarkan keterangan Presiden dan DPR bertanggal Rabu. 22 April 2015), hlm, 7.
47
antara calon yang berasal dari Anggota DPR, Anggota DPD,
maupun DPRD dengan calon yang berasal dari TNI,
Kepolisian Negara Republik Indonesia, PNS, Pejabat BUMN,
atau BUMD.
Berbeda lagi pertimbangan dan alasan munculnya
Pasal 7 huruf s Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 dari
pihak pemerintah yang berwenang membentuk, memutus dan
mengundangkan pasal tersebut di wakili oleh Zudan Arif
Fakhrullah. Menurut Arif Fakhrullah Pemerintah
mempertimbangkan dilakukan perbedaan antara PNS, TNI,
POLRI, dan pegawai di BMUN, BUMD dengan anggota DPR, DPD,
dan DPRD. Sebab masa jabatan di PNS, TNI, POLRI, BUMN,
dan BUMD tidak ada jangka waktunya, tidak ada ditulis
secara eksplisit masa jabatan PNS itu berapa tahun TNI,
POLRI itu berapa tahun, tetapi untuk masa jabatan DPR,
DPD, dan DPRD adalah lima tahun. Pemerintah menghormati
masa jabatan yang sudah dirumuskan secara normatif di
dalam undang-undangnya.36
Zudan Arif Fakhrullah mengatakan alasan yang lainnya
karena sifat pekerjaan DPR, DPD, dan DPRD adalah kolektif
kolegial, sehingga ketika ditinggal oleh salah satu
36Lihat risalah sidang perkara Nomor 33/PUU-XIII/2015, (Acara
48
anggotanya, sistem besarnya tidak terganggu.37 Hal ini
berbeda dengan posisi PNS, TNI, dan POLRI yang jabatannya
terikat dengan pelaksanaan jabatan dan tugas secara
individual apabila ditinggal pasti untuk sementara waktu
akan terjadi persoalan di dalam institusinya.
Dalam kesempatan yang sama Zudan Arif Fakhrulloh
juga menjelaskan pertanyaan hakim ketua sidang perkara
Nomor 33/PUU-XIII/2015 Arief Hidayat yang menanyakan
letak keadilan dalam membuat pembeda antara calon kepala
daerah yang berasal dari DRP, DPD dan DPRD dengan calon
yang berasal dari PNS, TNI/POLRI, dan pejabat BUMN/BUMD.
Pemerintah mengakui pada saat pembahasan Undang-Undang
Pilkada ini, muncul pada waktu itu pemikiran PNS, TNI,
dan Polri, sesungguhnya tidak harus mundur pada saat
pencalonan, tetapi mundur pada saat sudah terpilih. Maka
tidak ada pemotongan hak untuk mengikuti Pilkada. Sama
halnya dengan DPRD, DPRD juga tidak harus mundur tapi
cukup memberitahukan. Pemerintah menganggap DPRD tidak
boleh rangkap jabatan sebagai pejabat negara atau sebagai
pejabat daerah, maka yang DPRD, DPD, dan DPR baru mundur
ketika terpilih. Pada waktu pembahasan, Pemerintah
37Lihat risalah sidang perkara Nomor 33/PUU-XIII/2015, (Acara
49
mengusulkan untuk PNS, TNI, dan Polri baru mundur juga
setelah yang bersangkutan ditetapkan sebagai pemenang
Pilkada untuk menjamin fairness dan keadilannya.38
Dalam alasan pemerintah masa jabatan yang berbeda
antara anggota DPR, DPD, dan DPRD yang hanya menjabat 5
tahun dengan PNS, TNI/POLRI, dan pejabat BUMN/BUMD yang
masa jabatannya lebih dari 5 tahun, hal tersebut
pemerintah berpendapat bahwa anggota DPR, DPD, dan DPRD
memiliki kontrak politik 5 tahun. Kalau ingin menjalani
etika politiknya, maka ketika dia sudah berkontrak sosial
dengan rakyat, sehingga anggota DPR, DPD, dan DPRD tidak
boleh mundur karena dia harus menyelesaikan yang dipilih
oleh rakyat itu secara penuh dalam waktu 5 tahun kecuali
dia mengundurkan diri karena sakit, karena alasan
keluarga, di luar alasan untuk pindah menduduki jabatan
yang lain. 39
38Lihat risalah sidang perkara Nomor 33/PUU-XIII/2015, (Acara
mendengarkan keterangan Presiden dan DPR bertanggal Rabu. 22 April 2015), hlm. 18
50 BAB III
Pertimbangan majelis hakim Mahkamah Konstitusi dalam putusannya No. 33/PUU-XIII/2015 menyatakan Pasal 7 huruf
s sebagai pasal yang konstitusional bersyarat.
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga
negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka
untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum
dan keadilan. Mahkamah Konstitusi RI mempunyai 4 (empat)
kewenangan dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk:40
1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Memutus Sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
3. Memutus pembubaran partai politik, dan
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
51
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga mengawal
konstitusi dan yang menjalan tugas kekuasaan kehakiman
danlam hal ini Mahkamah Konstitusi mengambil peran untuk
memecah persoalan Pilkada tentang berbedanya persyaratan
pencalonan bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD yang hendak
mencalonkan diri sebagai kepala daerah dengan cukup hanya
memberitahukan kepada pimpinannya masing-masing,
sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf s Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2015, dengan Pegawai Negeri Sipil, anggota
TNI, anggota POLRI, dan pejabat BUMN/BUMD yang harus
mengundurkan diri sejak saat pendaftaran jika hendak
mencalonkan diri sebagai kepala daerah, dimana
pengunduran diri tersebut tidak dapat ditarik kembali,
sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf t dan huruf u
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015. Kali ini penulis akan
mengulas ha-hal yang dijadikan pertimbangan maejelis
hakim.
Pertimbangan hakim setelah mendengarkan keterangan
Presiden yang disampaikan oleh Zudan Arif Fakhrullah pada
persidangan tanggal 22 April 2015, menjelaskan dasar
pemikiran dibuatnya pembedaan antara PNS, anggota TNI,
52
anggota DPD, dan anggota DPRD jika hendak mencalonkan
diri sebagai kepala daerah adalah:41
Pertama, jabatan-jabatan di PNS, TNI, Polri, BUMN, dan
BUMD tidak memiliki jangka waktu, sebaliknya untuk
anggota DPR, DPD, dan DPRD masa jabatannya ditentukan
lima tahun. Kedua, sifat pekerjaan DPR, DPD, dan DPRD
adalah kolektif kolegial, sehingga ketika ditinggal salah
satu anggotanya, sistem besarnya tidak terganggu. Hal itu
berbeda dengan posisi PNS, TNI, dan Polri yang jabatannya
terikat dengan pelaksanaan jabatan dan tugasnya secara
individual, sehingga apabila ditinggal untuk sementara
waktu akan terjadi persoalan dalam institusinya.
Namun Pemerintah juga mengakui perlunya ada kajian dan
mempertimbangkan kembali agar aspek fairness dan
equality antara PNS, TNI, Polri dengan anggota DPR,
anggota DPD, dan anggota DPRD. Di sisi lain DPR memiliki
pendapat tersendiri dalam menanggapi perbedaan
persyaratan pencalonan tersebut. DPR berpendapat
jabatan anggota DPR, anggota DPD, maupun anggota DPRD
adalah jabatan politik yang diperoleh melalui proses
pemilihan umum secara langsung oleh rakyat, sehingga
mekanisme pengunduran dirinya pun harus disebabkan oleh
53
alasan-alasan yang bersifat khusus, sedangkan jabatan
TNI, Polri, PNS, pejabat BUMN/BUMD adalah jabatan profesi
yang sifatnya profesional dan merupakan pilihan karier.42
DPR juga menggarisbawahi Pilkada merupakan aktivitas
proses demokrasi yang tidak terlepas dari penyelenggaraan
Pemilu karena Pilkada memiliki output yakni pejabat
politik bukan memilih pejabat administratif. Perihal
ketidakseragaman syarat dalam pencalonan Pilkada DPR pun
menyerahkan sepenuhnya kepada Mahkamah untuk
mempertimbangkan apakah hal itu dapat dikategorikan telah
menimbulkan aturan yang diskriminatif dan menciptakan
perlakuan yang berbeda kepada sesama warga negara
Indonesia.
Untuk mempertimbangakan lebih lanjut, Mahkamah
Konstitusi menganggap ada keadaan ipso facto dalam pasal
tersebut yang dimana di kalangan pembentuk Undang-Undang
belum terdapat kesatuan pandangan perihal dibedakannya
persyaratan bagi PNS, anggota TNI, anggota Polri, pejabat
BUMN/BUMD dengan anggota DPR, anggota DPD, dan anggota
DPRD jika hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah
maka Mahkamah Konstitusi merasa cukup menjadikan dasar
untuk menyatakan ketentuan tersebut bertentangan dengan
54
Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi juga
melihat bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 berasal
dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu), in casu Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, sehingga
menurut penalaran yang wajar dapat dimengerti bahwa
proses pembahasannya tidaklah seintensif pembahasan
Undang-Undang yang lahir melalui proses legislasi
“normal”43.
Pengunduran diri anggota PNS jika hendak mencalonkan
diri sebagai kepala daerah, Mahkamah Konstitusi secara
tidak langsung telah menyatakan pendapatnya lewat
putusannya tentang syarat mengundurkan bagi PNS yang
hendak mencalonkan diri sebagai calon legislatif,
sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor
45/PUU-VIII/2010, bertanggal 1 Mei 2012 yang kemudian dirujuk
dalam Putusan Nomor 12/PUU-XI/2013, bertanggal 9 April
2013, selanjutnya dirujuk kembali dalam Putusan Nomor
57/PUU-XI/2013, bertanggal 23 Januari 2014, dan terakhir
dirujuk pula dalam Putusan Nomor 41/PUU-XII/2014,
55
bertanggal 8 Juli 2015. Dalam ketiga putusan tersebut,
Mahkamah menyatakan pendiriannya bahwa:44
Ketika seseorang telah menjadi PNS maka ia telah
mengikatkan diri dalam ketentuan-ketentuan yang
mengatur birokrasi pemerintahan, sehingga pada saat
mendaftarkan diri untuk menjadi calon dalam jabatan
politik yang diperebutkan melalui mekanisme
pemilihan umum, dalam hal ini sebagai calon anggota
DPD, maka Undang-Undang dapat menentukan
syarat-syarat yang di antaranya dapat membatasi hak-haknya
sebagai PNS sesuai dengan sistem politik dan
ketatanegaraan yang berlaku pada saat ini. Dari
perspektif kewajiban, keharusan mengundurkan diri
tidak harus diartikan sebagai pembatasan HAM karena
tidak ada HAM yang dikurangi dalam konteks ini,
melainkan sebagai konsekuensi yuridis atas
pilihannya sendiri untuk masuk ke arena pemilihan
jabatan politik, sehingga wajib mengundurkan diri
dari PNS guna mematuhi peraturan perundang-undangan
di bidang birokrasi pemerintahan. Menurut Mahkamah,
perspektif manapun dari dua perspektif itu yang akan
dipergunakan dalam perkara a quo maka kewajiban