• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENUTUP

Dalam dokumen HAK ASASI MANUSIA SIPIL DAN POLITIK (Halaman 38-102)

penyajian kembali secara singkat dan jelas yang merupakan hasil penelitian dan pembahasan yang mengacu pada pokok-pokok permasalahan yang ada. Sedangkan saran adalah hal-hal yang diusulkan oleh penulis terkait penulisan ini.

39 BAB II

Latar latar belakang munculnya ketentuan Pasal 7 huruf s Undang-Undang nomor 8 Tahun 2015 tentang pemilihan kepala

daerah (Pilkada)

Demokrasi punya keterkaitan yang erat dengan hak asasi manusia karena makna terdalam dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat, yaitu rakyatlah sebagai pemegang kekuasaan politik tertinggi dalam suatu negara. Posisi ini berarti, secara langsung menyatakan adanya jaminan terhadap hak sipil dan politik rakyat. Hak sipil politik rakyat meliputi hak konstitusional untuk dipilih dan juga hak konstitusional untuk memilih dalam pemilu.

Demokrasi mengisyaratkan kedaulatan rakyat dengan dilaksanakannya mekanisme Pemilihan Umum dan Pilkada. Prinsip kehidupan ketatanegaraan yang berkedaulatan rakyat ditandai bahwa setiap warga negara berhak ikut aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan kenegaraan. Pemilu merupakan kegiatan politik yang sangat penting dalam proses penyelenggaraan kekuasaan dalam sebuah negara yang menganut prinsip demokrasi karena pemilihan umum merupakan salah satu ciri dari

40

pemerintahan yang demokratis.29 Dilaksanakannya Pemilu juga dalam rangka pelaksanaan pemenuhan hak asasi manusia Sipil Politik masyarakat. Karena dengan Pemilihan Umum, masyarakat secara individu memiliki hak dipilih sebagai pemimpin atau wakil rakyat maupun memilih pemimpin dan wakilnya di lembaga legislatif. Berkenaan dengan demokrasi dan hak asasi manusia, hal tersebut sudah jelas-jelas diatur dan dijamin dalam konstitusi Indonesia. Karena hak konstitusional warga negara sebagaimana dijamin dalam UUD 1945, khususnya Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945.

Pilkada adalah salah satu bentuk lain dari Pemilihan Umum, dalam hal tersebut Pilkada juga wujud demokrasi yang konkret, karena Pilkada diatur dalam bentuk Undang-Undang. Adapun salah satu urgensi pengaturan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota di dalam Undang-Undang adalah untuk mengurangi adanya praktik kecurangan dalam Pilkada, supaya Pilkada berjalan dengan pakem yang jelas mulai dari syarat menjadi calon hingga syarat terpilihnya seorang calon dan tugas wewenang lembaga penyelenggara serta sanksi-sanksi apabila ada yang melakukan praktik kecurangan. Pengaturan tentang pemilihan Gubernur,

41

Bupati, dan Walikota guna terlaksana secara demokratis sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.30

Pengaturan tentang Pilkada secara langsung diawali munculnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota mekanisme Pemilhan Kepala Daerah secara langsung kembali lagi menjadi Pilkada melalui DPRD. Namun adanya penolakan oleh masyarakat terhadap Undang-Undang tersebut karena mekanisme Pemilihan Kepala Daerah kembali melalui DPRD, Undang-Undang Pilkada tersebut akhirnya diganti dengan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Pada intinya dalam Perpu tersebut merubah mekanisme Pilkada dari tidak langsung menjadi langsung .

Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota tersebut kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan

30Bagian menimbang huruf a Peraturan Pemertintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota.

42

Walikota menjadi Undang-Undang. Pengaturan terakhir tentang Pilkada tidak berselang lama Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tersebut direvisi menjadi Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang .

Di dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 mengatur syarat pencalonan untuk mengikuti Pilkada. Namun ada syarat yang berbeda dalam pencalonan mengikuti Pilkada tersebut, ada yang harus berhenti dan ada yang hanya melaporkan keikutsertaannya dalam Pilkada kepada pemimpinnya saja. Perbedaan tersebut berlaku bagi calon Pilkada yang berasal dari DPR, DPD dan DPRD, calon yang berasal dari anggota TNI/POLRI dan calon yang berasal dari pejabat BUMN/BUMD. Berikut bunyi pasal-pasal yang mengatur persyaratan pencalonan Pilkada:

Pasal 7 huruf s Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015:

“memberitahukan pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi

43

anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”

Pasal 7 huruf t Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015:

“mengundurkan diri sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Negeri Sipil sejak mendaftarkan diri sebagai

calon.”

Pasal 7 huruf u Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015:

“berhenti dari jabatan pada badan usaha milik negara atau

badan usaha milik daerah sejak ditetapkan sebagai calon.”

Akan tetapi terjadi permohonan uji materiil kepada Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 33/PUU-XIII/2015 untuk meminta pengujian kepada Mahkamah Konstitusi terkait Pasal 7 huruf s Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 yang mengatur mengenai persyaratan menjadi calon kepala daerah (baik calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati serta calon walikota dan calon wakil walikota). Dengan pemohon Adnan Purichta Ichsan yang merupakan anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan Periode 2014-2019 menganggap Pasal 7 huruf s

44

tersebut ada pertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan secara nyata merupakan sebuah tindakan yang tidak adil dan melanggar prinsip keadilan (fairness).31

Adapun yang menjadikan alasan pemohon terkait Pasal 7 huruf s adalah:32

1. Bahwa pasal yang diujikan memuat ketentuan yang memberi perlakuan istimewa dan berbeda kepada anggota DPR, DPD, dan DPRD dengan calon kepala dan wakil kepala daerah yang berlatarbelakang pejabat atau pegawai pemerintahan lainnya, seperti petahana, penjabat petahana, anggota TNI, Polri, PNS, atau pejabat BUMN/BUMD (sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf p, huruf q, huruf t, dan huruf u UU 8/2015);

2. Bahwa Undang-Undang a quo telah menetapkan bahwa hanya anggota DPR, DPD, dan DPRD yang tidak harus mengundurkan diri atau berhenti pada saat akan mendaftarkan diri sebagai calon dalam pemilihan kepala atau wakil kepala daerah. Seharusnya anggota DPR, DPD, dan DPRD tidak diperlakukan istimewa dan berbeda dengan calon lainnya seperti anggota TNI, Polri, atau pejabat

31 http://www.ajnn.net/news/implikasi-putusan-mahkamah-konstitusi-no-33-puu-xiii-2015/index.html. Pada tanggal 20 Oktober 2016 pukul 21.03 WIB

32Lihat putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 33/PUU-XIII/2015, hlm. 35-38.

45

BUMN/BUMD yang diwajibkan berhenti atau mengundurkan diri karena mereka semua sama dengan pegawai pemerintahan lainnya, dalam hal menerima gaji dan fasilitas lainnya dari anggaran atau keuangan negara (APBN atau APBD);

3. Bahwa ketentuan perubahan Pasal 7 huruf s UU Pilkada 2015 tersebut telah berlaku diskriminatif kepada sesama Warga Negara Indonesia yang hendak mencalonkan diri atau dicalonkan, membeda-bedakan perlakuan persyaratan antara calon yang berkedudukan sebagai anggota DPR, DPD dan DPRD dengan calon yang berkedudukan sebagai petahana, calon yang berstatus PNS dan calon yang berstatus anggota TNI/POLRI, serta pejabat BUMN/BUMD.

Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pihak membahas Rancangan Undang-Undang bersama Presiden dan juga menetapkan Undang-Undang bersama Presiden dalam munculnya ketentuan Pasal 7 huruf s Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 memberikan penjelasannya mengapa harus ada pembeda antara calon yang berstatus anggota DPR, DPD, dan DPRD dengan calon yang berstatus PNS,TNI/POLRI, serta pejabat BUMN/BUMD. Didik Mukrianto perwakilan DPR berpendapat bahwa ketiga syarat pencalonan, yakni huruf s, huruf t, dan huruf u ini, memang dibedakan dengan alasan posisi

46

calon yang berasal dari Anggota DPR, Anggota DPD, maupun DPRD berbeda dengan posisi calon yang berasal dari TNI dan Kepolisian Republik Indonesia, serta pegawai negeri sipil. Hal yang sama juga berbeda untuk calon yang memiliki jabatan pada BUMN atau BUMD.33

Didik Mukrianto mengemukakan diharuskan adanya pembeda dikarenakan jabatan Anggota DPR, Anggota DPD, maupun DPRD adalah jabatan politik yang diperoleh melalui proses pemilihan umum secara langsung oleh rakyat, sehingga mekanisme pengunduran dirinya pun harus disebabkan oleh alasan-alasan yang bersifat khusus, sedangkan jabatan TNI, Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai negeri sipil, Pejabat BUMN, atau BUMD adalah jabatan profesi yang sifatnya profesional dan merupakan pilihan karier.34

Pilkada juga merupakan suatu aktivitas dari proses demokrasi yang tidak terlepas dari penyelenggaraan pemilu karena Pilkada memiliki output yakni pejabat politik bukan memilih pejabat administratif.35 Oleh karenanya Didik Mukrianto merasa harus ada syarat yang berbeda

33Lihat risalah sidang perkara Nomor 33/PUU-XIII/2015, (Acara

mendengarkan keterangan Presiden dan DPR bertanggal Rabu. 22 April 2015), hlm, 7.

34Ibid.

47

antara calon yang berasal dari Anggota DPR, Anggota DPD, maupun DPRD dengan calon yang berasal dari TNI, Kepolisian Negara Republik Indonesia, PNS, Pejabat BUMN, atau BUMD.

Berbeda lagi pertimbangan dan alasan munculnya Pasal 7 huruf s Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 dari pihak pemerintah yang berwenang membentuk, memutus dan mengundangkan pasal tersebut di wakili oleh Zudan Arif Fakhrullah. Menurut Arif Fakhrullah Pemerintah mempertimbangkan dilakukan perbedaan antara PNS, TNI, POLRI, dan pegawai di BMUN, BUMD dengan anggota DPR, DPD, dan DPRD. Sebab masa jabatan di PNS, TNI, POLRI, BUMN, dan BUMD tidak ada jangka waktunya, tidak ada ditulis secara eksplisit masa jabatan PNS itu berapa tahun TNI, POLRI itu berapa tahun, tetapi untuk masa jabatan DPR, DPD, dan DPRD adalah lima tahun. Pemerintah menghormati masa jabatan yang sudah dirumuskan secara normatif di dalam undang-undangnya.36

Zudan Arif Fakhrullah mengatakan alasan yang lainnya karena sifat pekerjaan DPR, DPD, dan DPRD adalah kolektif kolegial, sehingga ketika ditinggal oleh salah satu

36Lihat risalah sidang perkara Nomor 33/PUU-XIII/2015, (Acara

mendengarkan keterangan Presiden dan DPR bertanggal Rabu. 22 April 2015), hlm. 13.

48

anggotanya, sistem besarnya tidak terganggu.37 Hal ini berbeda dengan posisi PNS, TNI, dan POLRI yang jabatannya terikat dengan pelaksanaan jabatan dan tugas secara individual apabila ditinggal pasti untuk sementara waktu akan terjadi persoalan di dalam institusinya.

Dalam kesempatan yang sama Zudan Arif Fakhrulloh juga menjelaskan pertanyaan hakim ketua sidang perkara Nomor 33/PUU-XIII/2015 Arief Hidayat yang menanyakan letak keadilan dalam membuat pembeda antara calon kepala daerah yang berasal dari DRP, DPD dan DPRD dengan calon yang berasal dari PNS, TNI/POLRI, dan pejabat BUMN/BUMD. Pemerintah mengakui pada saat pembahasan Undang-Undang Pilkada ini, muncul pada waktu itu pemikiran PNS, TNI, dan Polri, sesungguhnya tidak harus mundur pada saat pencalonan, tetapi mundur pada saat sudah terpilih. Maka tidak ada pemotongan hak untuk mengikuti Pilkada. Sama halnya dengan DPRD, DPRD juga tidak harus mundur tapi cukup memberitahukan. Pemerintah menganggap DPRD tidak boleh rangkap jabatan sebagai pejabat negara atau sebagai pejabat daerah, maka yang DPRD, DPD, dan DPR baru mundur ketika terpilih. Pada waktu pembahasan, Pemerintah

37Lihat risalah sidang perkara Nomor 33/PUU-XIII/2015, (Acara

mendengarkan keterangan Presiden dan DPR bertanggal Rabu. 22 April 2015)

49

mengusulkan untuk PNS, TNI, dan Polri baru mundur juga setelah yang bersangkutan ditetapkan sebagai pemenang Pilkada untuk menjamin fairness dan keadilannya.38

Dalam alasan pemerintah masa jabatan yang berbeda antara anggota DPR, DPD, dan DPRD yang hanya menjabat 5 tahun dengan PNS, TNI/POLRI, dan pejabat BUMN/BUMD yang masa jabatannya lebih dari 5 tahun, hal tersebut pemerintah berpendapat bahwa anggota DPR, DPD, dan DPRD memiliki kontrak politik 5 tahun. Kalau ingin menjalani etika politiknya, maka ketika dia sudah berkontrak sosial dengan rakyat, sehingga anggota DPR, DPD, dan DPRD tidak boleh mundur karena dia harus menyelesaikan yang dipilih oleh rakyat itu secara penuh dalam waktu 5 tahun kecuali dia mengundurkan diri karena sakit, karena alasan keluarga, di luar alasan untuk pindah menduduki jabatan yang lain. 39

38Lihat risalah sidang perkara Nomor 33/PUU-XIII/2015, (Acara

mendengarkan keterangan Presiden dan DPR bertanggal Rabu. 22 April 2015), hlm. 18

50 BAB III

Pertimbangan majelis hakim Mahkamah Konstitusi dalam putusannya No. 33/PUU-XIII/2015 menyatakan Pasal 7 huruf

s sebagai pasal yang konstitusional bersyarat.

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi RI mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:40

1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Memutus Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3. Memutus pembubaran partai politik, dan

4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

51

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga mengawal konstitusi dan yang menjalan tugas kekuasaan kehakiman danlam hal ini Mahkamah Konstitusi mengambil peran untuk memecah persoalan Pilkada tentang berbedanya persyaratan pencalonan bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah dengan cukup hanya memberitahukan kepada pimpinannya masing-masing, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf s Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, dengan Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI, anggota POLRI, dan pejabat BUMN/BUMD yang harus mengundurkan diri sejak saat pendaftaran jika hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah, dimana pengunduran diri tersebut tidak dapat ditarik kembali, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf t dan huruf u Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015. Kali ini penulis akan mengulas ha-hal yang dijadikan pertimbangan maejelis hakim.

Pertimbangan hakim setelah mendengarkan keterangan Presiden yang disampaikan oleh Zudan Arif Fakhrullah pada persidangan tanggal 22 April 2015, menjelaskan dasar pemikiran dibuatnya pembedaan antara PNS, anggota TNI, anggota Polri, pegawai BUMN/BUMD dengan anggota DPR,

52

anggota DPD, dan anggota DPRD jika hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah adalah:41

Pertama, jabatan-jabatan di PNS, TNI, Polri, BUMN, dan BUMD tidak memiliki jangka waktu, sebaliknya untuk anggota DPR, DPD, dan DPRD masa jabatannya ditentukan lima tahun. Kedua, sifat pekerjaan DPR, DPD, dan DPRD adalah kolektif kolegial, sehingga ketika ditinggal salah satu anggotanya, sistem besarnya tidak terganggu. Hal itu berbeda dengan posisi PNS, TNI, dan Polri yang jabatannya terikat dengan pelaksanaan jabatan dan tugasnya secara individual, sehingga apabila ditinggal untuk sementara waktu akan terjadi persoalan dalam institusinya.

Namun Pemerintah juga mengakui perlunya ada kajian dan mempertimbangkan kembali agar aspek fairness dan

equality antara PNS, TNI, Polri dengan anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD. Di sisi lain DPR memiliki pendapat tersendiri dalam menanggapi perbedaan persyaratan pencalonan tersebut. DPR berpendapat jabatan anggota DPR, anggota DPD, maupun anggota DPRD adalah jabatan politik yang diperoleh melalui proses pemilihan umum secara langsung oleh rakyat, sehingga mekanisme pengunduran dirinya pun harus disebabkan oleh

53

alasan-alasan yang bersifat khusus, sedangkan jabatan TNI, Polri, PNS, pejabat BUMN/BUMD adalah jabatan profesi yang sifatnya profesional dan merupakan pilihan karier.42 DPR juga menggarisbawahi Pilkada merupakan aktivitas proses demokrasi yang tidak terlepas dari penyelenggaraan Pemilu karena Pilkada memiliki output yakni pejabat politik bukan memilih pejabat administratif. Perihal ketidakseragaman syarat dalam pencalonan Pilkada DPR pun menyerahkan sepenuhnya kepada Mahkamah untuk mempertimbangkan apakah hal itu dapat dikategorikan telah menimbulkan aturan yang diskriminatif dan menciptakan perlakuan yang berbeda kepada sesama warga negara Indonesia.

Untuk mempertimbangakan lebih lanjut, Mahkamah Konstitusi menganggap ada keadaan ipso facto dalam pasal tersebut yang dimana di kalangan pembentuk Undang-Undang belum terdapat kesatuan pandangan perihal dibedakannya persyaratan bagi PNS, anggota TNI, anggota Polri, pejabat BUMN/BUMD dengan anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD jika hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah maka Mahkamah Konstitusi merasa cukup menjadikan dasar untuk menyatakan ketentuan tersebut bertentangan dengan

54

Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi juga melihat bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 berasal dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), in casu Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, sehingga menurut penalaran yang wajar dapat dimengerti bahwa proses pembahasannya tidaklah seintensif pembahasan Undang-Undang yang lahir melalui proses legislasi

“normal”43.

Pengunduran diri anggota PNS jika hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah, Mahkamah Konstitusi secara tidak langsung telah menyatakan pendapatnya lewat putusannya tentang syarat mengundurkan bagi PNS yang hendak mencalonkan diri sebagai calon legislatif, sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor 45/PUU-VIII/2010, bertanggal 1 Mei 2012 yang kemudian dirujuk dalam Putusan Nomor 12/PUU-XI/2013, bertanggal 9 April 2013, selanjutnya dirujuk kembali dalam Putusan Nomor 57/PUU-XI/2013, bertanggal 23 Januari 2014, dan terakhir dirujuk pula dalam Putusan Nomor 41/PUU-XII/2014,

55

bertanggal 8 Juli 2015. Dalam ketiga putusan tersebut, Mahkamah menyatakan pendiriannya bahwa:44

Ketika seseorang telah menjadi PNS maka ia telah mengikatkan diri dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur birokrasi pemerintahan, sehingga pada saat mendaftarkan diri untuk menjadi calon dalam jabatan politik yang diperebutkan melalui mekanisme pemilihan umum, dalam hal ini sebagai calon anggota DPD, maka Undang-Undang dapat menentukan syarat-syarat yang di antaranya dapat membatasi hak-haknya sebagai PNS sesuai dengan sistem politik dan ketatanegaraan yang berlaku pada saat ini. Dari perspektif kewajiban, keharusan mengundurkan diri tidak harus diartikan sebagai pembatasan HAM karena tidak ada HAM yang dikurangi dalam konteks ini, melainkan sebagai konsekuensi yuridis atas pilihannya sendiri untuk masuk ke arena pemilihan jabatan politik, sehingga wajib mengundurkan diri dari PNS guna mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang birokrasi pemerintahan. Menurut Mahkamah, perspektif manapun dari dua perspektif itu yang akan dipergunakan dalam perkara a quo maka kewajiban

56

mengundurkan diri menurut undang-undang bagi PNS yang akan ikut pemilihan anggota DPD tersebut bukanlah pelanggaran hak konstitusional.

Mahkamah kostitusi juga menimbang konteks putusan di atas adalah putusan tentang pengunduran diri PNS yang hendak mencalonkan diri sebagai anggota DPD. Mahkamah kostitusi menganggap bahwa esensinya tidak berbeda dengan permohonan a quo karena baik DPD maupun kepala daerah adalah sama-sama merupakan jabatan politik yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan (elected official), artinya sama-sama melalui proses politik yang melibatkan rakyat sebagai pemilih. Mahkamah Konstitusi berpendapat sepanjang menyangkut pengunduran diri PNS an sich, pertimbangan Mahkamah di atas juga berlaku terhadap permohonan a quo. Artinya, tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Terkait pengunduran diri anggota TNI dan POLRI yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah, yang di dalamnya juga menyinggung kedudukan PNS, Mahkamah Konstitusi pun telah menyatakan pendiriannya sebagaimana dapat dilihat dalam Putusan Nomor 57/PUU-XI/2013 bertanggal 23 Januari 2014, yang merujuk pada pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor

57

67/PUU-X/2012, bertanggal 15 Januari 2013, yang antara lain menyatakan:45

Bahwa frasa “surat pernyataan pengunduran diri dari jabatan negeri” dalam Pasal 59 ayat (5) huruf g UU

12/2008, menurut Mahkamah adalah ketentuan persyaratan yang sudah jelas bagi anggota TNI maupun Polri yang akan mendaftarkan diri menjadi peserta Pilkada dalam menjaga profesionalitas dan netralitas. Dalam rangka penyelenggaraan pemilu dalam hal ini Pilkada yang demokratis, jujur, dan akuntabel, para peserta Pemilu, khususnya yang berasal dari PNS, anggota TNI dan anggota Polri tidak diperbolehkan untuk memanfaatkan jabatan, kewenangan, dan pengaruh yang melekat pada dirinya sebagai akibat jabatan yang disandangnya pada saat Pilkada berlangsung

Selanjutnya, dalam Putusan Mahkamah Nomor 57/PUU-XI/2013 di atas, Mahkamah Konstitusi menambahkan yang sekaligus menyimpulkan pendapatnya dengan menyatakan:46

Dari pertimbangan hukum putusan yang dikutip di atas, dapat disimpulkan bahwa Mahkamah berpendapat,

45Lihat putusan Mahkamah Konstitusi No. 33/PUU-XIII/2015, hlm. 154.

58

baik kepala daerah dan wakil kepala daerah, PNS, anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) merupakan jabatan yang perlu disyaratkan pengunduran dirinya jika hendak ikut serta sebagai calon anggota DPR, DPD, atau DPRD, dengan alasan yang masing-masing berbeda, namun intinya adalah jabatan-jabatan tersebut bersinggungan dengan kewenangan yang diemban, yang potensial disalahgunakan, sehingga mengurangi nilai fairness dalam pemilihan umum yang hendak diikuti, serta potensial pula mengganggu kinerja jabatannya jika yang bersangkutan tidak mengundurkan diri.

Berdasarkan uraian di atas Mahkamah Konstitusi menjelaskan sepanjang menyangkut syarat pengunduran diri anggota TNI atau anggota POLRI jika hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan jika hendak mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPD, atau DPRD hal itu tidak bertentangan dengan UUD 1945. Mahkamah Konstitusi menganggap syarat pengunduran diri PNS, anggota TNI, anggota Polri jika hendak mencalonkan diri sebagai kepala

Dalam dokumen HAK ASASI MANUSIA SIPIL DAN POLITIK (Halaman 38-102)

Dokumen terkait