• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERKEMBANGAN PENYELESAIAN TANAH GARAPAN PADA AREAL EKS HGU PTPN II KEBUN HELVETIA A. Masa Pemerintahan Belanda - Hambatan-Hambatan Hukum Dalam Penyelesaian Tanah Garapan Pada Areal Eks HGU PTPN II Kebun Helvetia : Atas Adanya SK KBPN Nomor 42/HGU/B

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II PERKEMBANGAN PENYELESAIAN TANAH GARAPAN PADA AREAL EKS HGU PTPN II KEBUN HELVETIA A. Masa Pemerintahan Belanda - Hambatan-Hambatan Hukum Dalam Penyelesaian Tanah Garapan Pada Areal Eks HGU PTPN II Kebun Helvetia : Atas Adanya SK KBPN Nomor 42/HGU/B"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERKEMBANGAN PENYELESAIAN TANAH GARAPAN PADA AREAL EKS HGU PTPN II KEBUN HELVETIA

A. Masa Pemerintahan Belanda

Politik Hukum Agraria dalam kasus Indonesia apabila dilihat dari segi aspek

kesejarahannya ternyata melalui perkembangan yang panjang sebelum berdirinya

Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 cenderung tidak berpihak

pada kepentingan masyarakat melainkan sangat menguntungkan bagi kepentingan

kaum penjajah.57

Penjajahan Belanda yang dimulai sejak VOC melakukan perebutan daerah

demi daerah di Indonesia sehingga sejak itulah timbul kegoyahan dalam hak-hak

kepemilikan tanah rakyat Indonesia karena pihak Belanda mengabaikan hak-hak

rakyat dengan memungut hasil bumi dari tanah-tanah milik rakyat, kecuali terhadap

hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Belanda dalam hal ini KUHPerdata (BW)

yang di dalamnya Buku II ada mengatur mengenai hak-hak atas tanah antara lain

Eigendom,Erfpacht danOpstal. Khusus terhadap penguasaan tanah untuk luas tanah

yang besar bagi perkebunan diberikan HakErfpacht.58

Pemerintah Hindia Belanda tidak mewariskan suatu pendaftaran tanah di

Indonesia, khusus untuk seluruh hak-hak atas tanah adat yang terdapat di Indonesia,

57H. Muchsin,dkk,Hukum Agraria Indonesa Dalam Perspektif Sejarah, Bandung : PT Refika

Aditama, 2007, hal 38.

58G Kartasapoetra,dkk, Hukum Tanah Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan

(2)

sebagaimana yang dilakukan oleh Inggris terhadap jajahannya. Hal ini lah yang

menyebabkan di Indonesia lebih dari 80% tanah-tanah tidak bersurat sama sekali atau

pun kalau ada suratnya hanya berupa surat-surat bermaterai yang ditandatangani oleh

pihak-pihak dan oleh kepala desa atau lurah atau kepala marga dan sebagainya,59

samping itu sifat Hukum Adat adalah umumnya tidak tertulis, demikian juga dalam

hukum adat tanah, umumnya pemilikan tanah adat seseorang atau masyarakat hukum

adat tidak ada bukti tertulis, dalam hal ini pemilik hak atas tanah cukup dibuktikan

dengan penguasaan fisik oleh yang bersangkutan dengan adanya pengakuan dari

pengetua adat, adanya penguasaan dan pengakuan tersebut dapat menimbulkan hak

atas tanah. Jadi tidak cukup hanya dengan mengerjakan (menggarap) tanah tertentu

akan dapat melahirkan hak atas tanah harus ada prosedur tertentu yakni beberapa

pengakuan dari pihak yang berwenang.

Oleh karena itu, hak garap tidak ada dalam hukum tanah. Menurut hukum

penguasaan tanah, yang menggarap tidak ada landasan haknya jika tidak ada

legalisasi dari pihak yang berwenang. Justru penguasaannya yang melanggar hak

pada pihak pemilik tanah atau hak Negara jika yang diduduki itu tanah Negara.

Kalaupun ada pemberian biaya pindah, hal tersebut semata kebijaksanaan

Bupati/Walikotamadya dalam menyelesaikan kasusnya60.

59

AP Parlindungan,Hukum Agraria Beberapa Pemikiran Dan Gagasan, Medan : USU Press, 1998, hal 101.

60

(3)

Penguasaan atas tanah yang diikuti dengan formalitas berupa pengakuan atas

penguasaan ataupun pemberian hak atas tanah oleh pejabat yang berwenang akan

melahirkan hak atas tanah. Salah satu hak atas tanah yang dapat diberikan kepada

seseorang atau badan hukum menurut UUPA adalah Hak Guna Usaha. HGU tersebut

dari segi sejarahnya berasal dari konsep Hak Barat yaitu Hak Erfpacht yang diatur

dalam Buku II KUHPerdata (BW) kemudian diadopsi dalam UUPA dengan nama

Hak Guna Usaha selain itu dikenal Hak Konsesi yang khususnya ada di daerah

Swapraja seperti di wilayah Kesulatanan Deli di Residen Sumatera Timur. Hak

Erfpacht dan Hak Konsesi tersebut sejak berlaku UUPA dapat dikonversi menjadi

HGU. HGU di areal PTPN II Kebun Helvetia semula berasal dari Hak Konsesi dari

Sultan Deli kepada NV. Deli Batavia Masstschappij dengan Akta Konsesi Nomor 3

tanggal 4 Oktober 1982 dan disahkan oleh Residen Sumatera Timur dengan

Registrasi Nomor 354 tanggal 15 Oktober 1892 untuk waktu 75 tahun dengan luas

tanah 2567 Ha.61

Ketika masa pemerintahan Belanda , masyarakat Melayu yang pada saat itu

diberi ijin Pemerintah untuk mengusahakan tanah pertanian setelah masa panen

tembakau dengan sistem rotasi, dimana setelah masa panen tembakau Pengusaha

Swasta Asing pada masa Pemerintahan Belanda tersebut berpindah-pindah tempat

dan masyarakat Melayu dapat menggunaka tanah tembakau tersebut setelah selesai

masa panen dengan menanami tanaman semusim seperti padi dan hal tersebut diakui

61Direktorat Agraria Provinsi Sumatera Utara,Risalah Perkebunan dan Perkembangan Hak

(4)

sebab adanya Akta Konsesi yang menunjukkan bahwa orang Melayu dapat

mengelolah tanah tersebut setelah selesai masa panen tembakau. Mereka yang

menunggu panen tembakau disebut Rakyat Penunggu sedangkan tanah bekas panen

tembakau yang dikelola Rakyat Penunggu disebut tanah Djaluran yang mereka yakini

seperti tanah ulayat.

B. Masa Pemerintahan Jepang

Sejak perkebunan kolonial beroperasi sampai runtuhnya Pemerintah Belanda

di Sumatera Timur, Rakyat Penunggu tetap memperoleh tanah djaluran. Akan tetapi

setelah kekuasaan Belanda digantikan Jepang peluang Rakyat Penunggu untuk

mendapat tanah djaluran mulai terganggu. Awal terjadinya garapan pada areal

perkebunan di Sumatera Timur ini terjadi sejak pada masa pendudukan Jepang di

Indonesia, dimana pada saat itu untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam

perjuangan Kemerdekaan Indonesia, yang menimbulkan keadaan darurat sehingga

banyak rakyat mengusahai tanah-tanah perkebunan. Maka sejak saat itu penggarapan

atas areal perkebunan di Sumatera Timur mulai berkembang. Namun kekuasaan

Jepang tidak bertahan lama, maka pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia

diploklamirkan, tidak lama sejak berdirinya Republik Indonesia di Sumatera Timur

terbentuk partai politik dan laskar-laskar.

C. Masa Sekarang

Dalam kenyataannya, Hak Guna Usaha merupakan hak atas tanah yang

(5)

dunia usaha semakin pesat, seiring dengan adanya kebijakan Pemerintah

mengembangkan dunia usaha di bidang agrobisnis dan agroindustri, maka salah satu

persyaratan yang harus tersedia adalah adanya tanah luas yang mendukung lokasi

usaha tersebut. Oleh karena itu, adanya Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996

tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, maka dapat

memberikan kemudahan kepada pemegang Hak Guna Usaha untuk mendapatkan atau

melakukan perpanjangan apabila jangka waktu Hak Guna Usaha berakhir.62

Setelah berakhirnya jangka waktu Hak Guna Usaha dalam waktu 35 tahun

dengan perpanjangan 25 tahun atau seluruhnya berjumlah 60 tahun, maka Hak Guna

Usaha akan hapus demi hukum. Hapusnya Hak Guna Usaha ini bukan berarti tidak

dapat diperbaharui. Sesuai dengan ketentuan Pasal 9 dan Pasal 10 Peraturan

Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, bahwa Hak Guna Usaha yang telah berakhir atau

hapus tersebut dapat di perpanjang kembali.63

Hak Guna Usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, yang

dimaksud dengan pihak lain ini adalah warga Negara Indonesia, jadi tidak dapat

diberikan kepada orang asing, akan tetapi bagi badan-badan hukum yang bermodal

asing mungkin dapat diberikan dengan pembatasan yang disebutkan dalam Pasal 55

UUPA (Hak Guna Usaha hanya terbuka kemungkinannya untuk diberikan kepada

badan-badan hukum yang untuk sebagian atau seluruhnya bermodal asing jika hal ini

diperlukan oleh Undang-Undang yang mengatur pembangunan nasional semesta

62Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta : Sinar Grafika, 2007, hal 112.

63

(6)

berencana). Menurut Pasal 14 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang

Penanaman Modal Asing, bahwa untuk keperluan perusahaan-perusahaan modal

asing dapat diberikan tanah dengan Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak

Pakai menurut peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.64

Negara bukan pemilik (owner) tanah, tetapi di dalam kedudukannya sebagai

personifikasi rakyat/bangsa Indonesia mempunyai kewenangan-kewenangan tertentu.

Untuk melaksanakan kewenangannya, Negara mempunyai kewajiban untuk menjaga

keseimbangan antara kepentingan umum dan perseorangan, termasuk kepentingan

pemegang Hak Guna Usaha. Adanya pembatasan jangka waktu Hak Guna Usaha

tersebut memungkinkan Negara/Pemerintah secara berkala melakukan pengawasan

apakah keseimbangan tersebut masih dapat dipertahankan.65

Apabila Hak Guna Usaha tersebut berakhir dan tidak diperpanjang lagi oleh

pemegang hak nya atau tidak diberikan lagi perpanjangan oleh Pemerintah di

sebabkan beberapa hal, misalnya tidak sesuai lagi dengan rencana penggunaan

tanahnya atau diperlukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, maka Pemerintah

akan menetapkan tanah tersebut sebagai tanah Negara yang akan di distribusikan

kepada rakyat dan kepentingan lain yang mengkehendaki sesuai ketentuan yang

berlaku.

Redistribusi tanah pada umumnya dilatar belakangi oleh suatu keadaan

dimana terdapat sebagian besar tanah pertanian dimiliki oleh beberapa orang saja,

64G. Kartasapoetra,Masalah Pertanahan di Indonesia, Jakarta : PT Rineka Cipta, 1992, hal 8.

65

(7)

tanah-tanah bekas perkebunan dan lain-lain, dan ini terjadi terutama di

Negara-Negara berkembang yang tekanan penduduknya pada umumnya sangat tinggi dan

fasilitas industri untuk menampung kelebihan penduduk pedesaan terbatas.66

Secara prakteknya, selama ini telah begitu banyak tanah pertanian/perkebunan

diredistribusikan kepada para petani penggarap/buruh tani dengan pembayaran uang

ganti rugi kepada Negara dengan pelunasan jangka panjang (15 tahun). Karena

administrasi belum berjalan begitu baik sehingga banyak hambatan yang dialami

terutama pada waktu menjelang tahun 1965 dan beberapa tahun sesudah itu, maka

pembayaran uang ganti rugi kepada Pemerintah dan Pemerintah kepada ex pemilik

tanah sampai saat ini belum rampung. Sehingga perlu adanya pengawasan ketat dari

aparat agraria kabupaten/kotamadya terhadap tanah-tanah yang sudah

diredistribusikan terutama yang belum dilunasi uang ganti ruginya harus di

indahkan.67

Redistribusi tanah pertanian/perkebunan tersebut terkecuali terjadi juga pada

areal perkebunan di Sumatera Utara termasuk pada areal PTPN II, namun pembagian

tanah tersebut tidak berjalan mulus baik menyangkut ganti rugi kepada bekas

pemegang hak, pembayaran ganti rugi (harga) tanah kepada Negara, sampai kepada

pendaftaran tanah, sehingga banyak ditemukan ketidakpastian hukum atas

pemilikan/penggarapan tanah tersebut hingga saat ini.

66

H. Affan Mukti,Pembahasan Undang-Undang Pokok Agraria, Medan : Usupress, 2010, hal 50. 67

(8)

Tidak adanya kepastian hukum sebagai pengaruh era reformasi

mengakibatkan adanya tindakan masyarakat yang bertentangan dengan hukum

sehingga perusahaan perkebunan menjadi korban karena lahan tanah perkebunan

diambil oleh masyarakat dengan berbagai dalih antara lain klaim Hak Ulayat,

Penggarapan, Tuntutan Perkembangan Kota dengan Perubahan Tata Ruang dan

Tuntutan lainnya, termasuk pada areal PTPN II. Klaim terhadap hak ulayat ini antara

lain disebabkan areal perkebunan PTPN II ini umumnya berada di wilayah etnis

melayu dan dahulu tanah PTPN II adalah tanah hak ulayat (masyarakat adat

melayu)68.

Hak ulayat masih diakui adanya, namun hak tersebut tidak dapat dibenarkan

untuk menghalang-halangi pemberian hak guna usaha dan tidak dapat dibenarkan jika

sesuatu masyarakat hukum berdasarkan hak ulayat menolak begitu saja karena

kepentingan masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara

yang lebih luas.69

Tentang pengakuan terhadap keberadaan hak ulayat, UUPA tidak memberikan

kriteria. Boedi Harsono menyebutkan alasan para perancang dan pembentuk UUPA

untuk tidak mengatur tentang hak ulayat karena pengaturan hak ulayat, baik dalam

penentuan kriteria eksistensi maupun pendaftarannya akan melestarikan keberadaan

hak ulayat, sedangkan secara alamiah terdapat kecenderungan melemahnya hak

ulayat. Dalam kenyataannya ketiadaan kriteria persyaratan eksistensi hak ulayat

68

Ediwarman,Perlindungan Hukum Bagi Korban Kasus-Kasus Pertanahan, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2003, hal 193.

69

(9)

merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap marjinalisasi hak masyarakat

hukum adat.70

Salah satu hasil dari reformasi yang telah terjadi yakni munculnya situasi

dimana masyarakat tidak punya rem menggunakan dan malah menguasai tanah yang

bukan miliknya, karena mereka menganggap secara sah bahwa secara syarat formal

hukum yang mereka tau di tanah itu melekat hak mereka secara terus menerus tanpa

menghiraukan hukum tanah yang mereka anggap telah memporak porandakan hak

mereka tanpa menyadari bahwa hukum itu memberikan keadilan bagi penggunanya.

Bila seandainya masyarakat melepaskan diri dari aturan pertanahan yang ada bisa jadi

lebih parah dan lebih kacau. Sebab pada prinsipnya tidak ada aturan yang

menyengsarakan rakyat.71

Hingga kini perbuatan melawan hukum ini terpaksa diselesaikan dengan

berdamai, yaitu dengan pemberian ganti-rugi atas tanaman yang telah ditanam secara

tidak sah oleh si penyerobot. Untuk mencegah perluasan perbuatan semacam ini

diharapkan dengan sangat agar pihak yang berwenang dapat bertindak dengan tegas

terhadap pihak yang mengadakan perbuatan hukum tersebut.72

Perkembangan penyelesaian tanah garapan masyarakat belakangan ini baik

disebabkan oleh adanya klaim atas tuntutan hak ulayat, adanya tanah redistribusi

70

Maria S. W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya, Jakarta : Buku Kompas, 2008, hal 171.

71

Muhammad Yamin,Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2003, hal 47.

72

(10)

yang tidak tuntas, adanya tindakan penguasaan/pendudukan secara tidak sah oleh

masyarakat atas tanah perkebunan dan lain-lain sebab telah menimbulkan persoalan

yang rumit saat ini ditambah lagi ketidak tegasan Pemerintah dalam menerbitkan ijin

pelepasan asset atas tanah-tanah yang tidak diperpanjang HGU nya sesuai dengan

ketentuan dalam SK KBPN Nomor 42/HGU/BPN/2002.

Berdasarkan Surat Keputusan KBPN Nomor 42/HGU/BPN/2002 menyatakan

bahwa terhadap areal Eks HGU yang tidak diperpanjang maka penyelesaian tersebut

diserahkan kepada Gubernur Sumatera Utara untuk mengatur P4T yaitu mengatur

penguasaan, pemilikan, penggunanaan dan pemanfaatan tanah setelah mendapat ijin

pelepasan asset dari Menteri yang berwenang. Hingga saat ini belum ada ijin

pelepasan asset dari Menteri yang berwenang sehingga Gubernur belum dapat

mendistribusikan baik dalam hal ini kepada tuntutan rakyat, garapan rakyat, rumah

pensiunan karyawan dan bahkan RUTR/RUTW.73

Agar penanganan tanah garapan pada areal Eks HGU PTPN II tersebut dapat

diselesaikan dari pada menunggu ijin pelepasan asset dari Menteri yang berwenang,

sesungguhnya Gubernur Sumatera Utara harus berperan aktif dengan cara

membentuk kelompok kerja untuk meneliti kembali dengan melakukan penelitian

langsung ke lapangan apakah sesuai nama-nama rakyat penggarap yang dilindungi

oleh Undang-Undang dengan identitas penggarap berdasarkan dokumen-dokumen

yang sah seperti salah satunya SIM (Surat Izin Menggarap) yang ada di lapangan

73

(11)

serta bukti-bukti yang konkrit yang benar-benar menyatakan bahwa si pemegang hak

memperoleh ijin menggarap pada masa itu, namun kenyataan dilapangan yang

ditunjukan hanyalah fotocopy-fotocopy, jika sesuai dan akurat data-data di lapangan

maka tanah tersebut dapat dikeluarkan dari areal Eks HGU PTPN II dan apabila

tuntutan garapan tersebut ternyata penggarap yang tidak dilindungi oleh

Undang-Undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954 maka tuntutan tersebut ditolak dan penggarap

tersebut diperintahkan oleh aparat untuk meninggalkan areal Eks HGU PTPN II.

Selanjutnya tanah yang dimohonkan menjadi tanah yang dikeluarkan dari areal HGU

PTPN II antara lain apabila tanahnya atau obyeknya maupun subyeknya (penggarap)

maupun ahli waris penggarap dilindungi oleh Undang-Undang Darurat Nomor 8

Tahun 1954 sedang ijin pelepasan asset dari Menteri yang berwenang jika

dikeluarkan harus ada kejelasan kepada siapa tanah tersebut diberikan, sebab

penerbitan ijin pengeluaran dari asset oleh Menteri yang berwenang tanpa terlebih

dahulu adanya penelitian kepada siapa yang berhak justru akan menimbulkan bentrok

fisik antar pihak-pihak yang menginginkan tanah areal Eks HGU PTPN II tersebut.

Menurut Muhammad Zamkani, selaku Deputi Bidang Usaha Industri Primer

Kementerian BUMN, makna pelepasan asset lahan tersebut juga belum ada

persamaan persepsi, sebab menurut versi Kementerian BUMN, jika HGU habis maka

tidak serta merta lahan itu menjadi milik masyarakat atau milik Negara cq.Pemda.

Jika PTPN II sebagai pihak lama yang mengelola nya masih mau, maka HGU

diperpanjang lagi untuk PTPN II. Namun tidak dipungkiri, jika sudah ada putusan

(12)

juga melepaskannya, akan tetapi kewenangan pelepasan asset tersebut harus melalui

Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan setiap jajaran direksi juga sudah

mempersiapkan solusi, serta harus berhati-hati karena menyangkut tanggung jawab

menjaga asset. Menurut Sekretaris Utama Badan Pertanahan Nasional (BPN)

Managam Manurung, bahwa lahan di PTPN II sudah tidak lagi menjadi ranah BPN

untuk memproses penyelesaiannya, sebab pihak BPN sudah memutuskan tidak lagi

memperpanjang HGU untuk PTPN II di lahan-lahan yang bermasalah, dan hal

tersebut dibenarkan oleh Kementerian BUMN telah menerima surat permintaan

pelepasan asset. Akan tetapi Kementerian BUMN belum mau melepaskan asset,

samping itu BUMN belum puas dengan hasil pemetaan Tim Khusus yang dibentuk

oleh Gubsu Gatot Pujo Nugroho berdasarkan SK Gubsu tanggal 23 September 2011

sebab PTPN II itu sendiri tidak masuk dalam tim tersebut.74

Gubsu Gatot Pujo Nugroho bersama Forum Koordinasi Pimpinan Daerah

(FKPD) menyerahkan sejumlah dokumen diantaranya permohonan pelepasan asset

atas tanah 5.873.06 Ha eks PTPN II serta menyerahkan hasil kerja Tim Khusus

Penanganan Areal eks HGU PTPN II yang dibentuk FKPD Plus pada September

2012, yang tugas Tim Khusus tersebut adalah mengiventarisasi tanah eks HGU PTPN

II sekaligus juga melaporkan tentang HGU yang telah diperpanjang dan hasil tersebut

dilaporkan ke Menteri BUMN.

74 BUMN Ogah Lepas Lahan Eks HGU PTPN,

(13)

Berbagai langkah telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara

terkait dengan permasalahan eks HGU PTPN II yang sudah cukup panjang sejak

tahun 1999 sampai sekarang, namun kemajuan yang telah dilakukan terlihat pada

tahun 2010 hingga 2012 setelah terbentuknya tim khusus yang menangani tentang

pemetaan atas tanah-tanah yang saat ini di atas lahan eks HGU. Dalam hal ini

Gubernur juga meminta kepada Menteri BUMN sesuai ketentuan yang diatur oleh

Keputusan Kepala BPN bahwa lahan-lahan eks HGU yang habis masanya sebelum

diberikan peruntukannya harus secara langsung dilepas oleh Menteri BUMN yang

kemudian diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara sesuai

peruntukannya. Langkah-langkah yang telah dilakukan Gubernur bersama FKPD dan

Tim disambut baik oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan, karena upaya yang dilakukan

tersebut adalah bertujuan untuk mencari win-win solution yang terbaik bagi

kepentingan masyarakat. Akan tetapi hingga saat ini, belum ada penyelesaian yang

tuntas mengenai masalah tanah Eks HGU PTPN II tersebut.75

Sementara itu, salah satu pihak yang mengajukan tuntutan dan

penggarapan atas areal PTPN II dengan klaim hak ulayat adalah Badan Perjuangan

Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) menurut pendapat Buyung salah satu penggarap

Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia pada awalnya areal Kebun Helvetia

keseluruhannya adalah tanah perkampungan. Menurut beliau bahwa dalam

Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 33 ayat (3) menyatakan bumi dan air serta kekayaan

75Sengketa Lahan Sumut : Konflik Lahan Bekas HGU PTPN II Agar Dituntaskan Secara

(14)

alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, hal ini menurut Buyung bahwa UUD 1945 tanah yang

dimaksud bukan milik Negara namun diplesetkan seakan-akan menjadi tanah Negara,

padahal sesungguhnya tanah tersebut pada awalnya sebelum merdeka rakyat yang

lebih dulu menguasai tanah tersebut, sehingga menjadi sengketa dikarenakan

Pemerintah menguasai tanah rakyat. Maka bagi rakyat penunggu di areal tersebut

menuntut agar tanah ulayat mereka dikembalikan yang telah diambil oleh pihak

perusahaan. Sebab menurut rakyat penunggu bahwa Pemerintah tidak mempedulikan

nasib rakyat yang asli penduduk pribumi yang dahulu di jaman Belanda diakui

hak-haknya untuk bercocok tanam dan sebelum perang dunia II adanya sebuah perjanjian

akta konsesi dengan Sultan atas nama rakyat.

Pada awalnya tanah tembakau ini berupa tanah djaluran76, menurut Buyung

dahulu setelah masa panen tembakau maka tanah dilepas lalu rakyat di ijinkan untuk

mengelola tanah sehabis panen tembakau tersebut untuk menanam tanaman semusim

selama 1 tahun setelah itu dihutankan kembali selama 7 tahun (sistem rotasi) namun

sistem ini telah berhenti sekitar tahun 1975. Pemerintah tidak memberi ijin kepada

rakyat untuk bercocok tanam kembali sebab pihak perkebunan menanam tanaman

76Tanah Djaluran juga perwujutan dari hak ulayat dari pada masyarakat hukum yang terdapat

(15)

tebu setelah habis panen tembakau, hingga pada akhirnya rakyat penunggu menuntut

atas tanah ulayat mereka apalagi terlebih rakyat penunggu ini mayoritas adalah

bertani. Negara Indonesia merupakan negara agraris, sehingga bagi rakyat penunggu

hanya bertumpu pada tanah.

Pengacara demi pengacara telah dibentuk oleh pihak rakyat penunggu untuk

melakukan penyelesaian sengketa tanah garapan pada areal Kebun Helvetia. Namun

hingga saat ini menurut Buyung penanganan sengketa tanah garapan tersebut tidak

terselesaikan sebab adanya pihak-pihak yang berkepentingan memanfaatkan situasi

sehingga menjadi alasan bahwa daerah Sumatera Utara sudah tidak kondusif

disebabkan tidak terselesainya permasalahkan tentang sengketa tanah garapan pada

areal Kebun Helvetia.77

77Wawancara dengan Buyung selaku pemangku adat Masyarakat Adat di bawah Badan

Referensi

Dokumen terkait

Dilihat dari keterlibatan kerja dalam kategori yang tinggi, yaitu partisipasi aktif, Pekerjaan sebagai yang utama dan pekerjaan sebagai sesuatu yang

Hasil analisis data menunjukkan bahwa pembelajaran matematika menggunakan metode guided discovery learning dengan setting kolaboratif dapat meningkatkan keingintahuan

Kurangnya penalaran pada anak akan menjadi penghambat dalam setiap pemasukan pembelajaran dari guru ke anak termasuk pada penanaman akhlak anak. Seperti yang

SKRIPSI ANALISIS PERTIMBANGAN KONSUMEN BERDASARKAN .... DWI

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kesulitan siswa dalam belajar matematika dan mendeskripsikan peran guru dalam mengatasi kesulitan belajar siswa pada

Guru berkeliling mengajukan pertanyaan dan memberikan bantuan agar siswa dapat menemukan penyelesaian soal tersebut. Secara acak guru menunjuk satu orang siswa untuk

Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat bahwa pada siklus I terjadi peningkatan pada siswa dalam melakukan penjumlahan deret ke samping dengan hasil lebih dari 10.. Dari data yang

Mengarahnya tren ke depan untuk meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik di kalangan masyarakat Indonesia, hal ini didukung oleh kondisi ekonomi yang relatif stabil serta