BAB II
PERKEMBANGAN PENYELESAIAN TANAH GARAPAN PADA AREAL EKS HGU PTPN II KEBUN HELVETIA
A. Masa Pemerintahan Belanda
Politik Hukum Agraria dalam kasus Indonesia apabila dilihat dari segi aspek
kesejarahannya ternyata melalui perkembangan yang panjang sebelum berdirinya
Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 cenderung tidak berpihak
pada kepentingan masyarakat melainkan sangat menguntungkan bagi kepentingan
kaum penjajah.57
Penjajahan Belanda yang dimulai sejak VOC melakukan perebutan daerah
demi daerah di Indonesia sehingga sejak itulah timbul kegoyahan dalam hak-hak
kepemilikan tanah rakyat Indonesia karena pihak Belanda mengabaikan hak-hak
rakyat dengan memungut hasil bumi dari tanah-tanah milik rakyat, kecuali terhadap
hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Belanda dalam hal ini KUHPerdata (BW)
yang di dalamnya Buku II ada mengatur mengenai hak-hak atas tanah antara lain
Eigendom,Erfpacht danOpstal. Khusus terhadap penguasaan tanah untuk luas tanah
yang besar bagi perkebunan diberikan HakErfpacht.58
Pemerintah Hindia Belanda tidak mewariskan suatu pendaftaran tanah di
Indonesia, khusus untuk seluruh hak-hak atas tanah adat yang terdapat di Indonesia,
57H. Muchsin,dkk,Hukum Agraria Indonesa Dalam Perspektif Sejarah, Bandung : PT Refika
Aditama, 2007, hal 38.
58G Kartasapoetra,dkk, Hukum Tanah Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan
sebagaimana yang dilakukan oleh Inggris terhadap jajahannya. Hal ini lah yang
menyebabkan di Indonesia lebih dari 80% tanah-tanah tidak bersurat sama sekali atau
pun kalau ada suratnya hanya berupa surat-surat bermaterai yang ditandatangani oleh
pihak-pihak dan oleh kepala desa atau lurah atau kepala marga dan sebagainya,59
samping itu sifat Hukum Adat adalah umumnya tidak tertulis, demikian juga dalam
hukum adat tanah, umumnya pemilikan tanah adat seseorang atau masyarakat hukum
adat tidak ada bukti tertulis, dalam hal ini pemilik hak atas tanah cukup dibuktikan
dengan penguasaan fisik oleh yang bersangkutan dengan adanya pengakuan dari
pengetua adat, adanya penguasaan dan pengakuan tersebut dapat menimbulkan hak
atas tanah. Jadi tidak cukup hanya dengan mengerjakan (menggarap) tanah tertentu
akan dapat melahirkan hak atas tanah harus ada prosedur tertentu yakni beberapa
pengakuan dari pihak yang berwenang.
Oleh karena itu, hak garap tidak ada dalam hukum tanah. Menurut hukum
penguasaan tanah, yang menggarap tidak ada landasan haknya jika tidak ada
legalisasi dari pihak yang berwenang. Justru penguasaannya yang melanggar hak
pada pihak pemilik tanah atau hak Negara jika yang diduduki itu tanah Negara.
Kalaupun ada pemberian biaya pindah, hal tersebut semata kebijaksanaan
Bupati/Walikotamadya dalam menyelesaikan kasusnya60.
59
AP Parlindungan,Hukum Agraria Beberapa Pemikiran Dan Gagasan, Medan : USU Press, 1998, hal 101.
60
Penguasaan atas tanah yang diikuti dengan formalitas berupa pengakuan atas
penguasaan ataupun pemberian hak atas tanah oleh pejabat yang berwenang akan
melahirkan hak atas tanah. Salah satu hak atas tanah yang dapat diberikan kepada
seseorang atau badan hukum menurut UUPA adalah Hak Guna Usaha. HGU tersebut
dari segi sejarahnya berasal dari konsep Hak Barat yaitu Hak Erfpacht yang diatur
dalam Buku II KUHPerdata (BW) kemudian diadopsi dalam UUPA dengan nama
Hak Guna Usaha selain itu dikenal Hak Konsesi yang khususnya ada di daerah
Swapraja seperti di wilayah Kesulatanan Deli di Residen Sumatera Timur. Hak
Erfpacht dan Hak Konsesi tersebut sejak berlaku UUPA dapat dikonversi menjadi
HGU. HGU di areal PTPN II Kebun Helvetia semula berasal dari Hak Konsesi dari
Sultan Deli kepada NV. Deli Batavia Masstschappij dengan Akta Konsesi Nomor 3
tanggal 4 Oktober 1982 dan disahkan oleh Residen Sumatera Timur dengan
Registrasi Nomor 354 tanggal 15 Oktober 1892 untuk waktu 75 tahun dengan luas
tanah 2567 Ha.61
Ketika masa pemerintahan Belanda , masyarakat Melayu yang pada saat itu
diberi ijin Pemerintah untuk mengusahakan tanah pertanian setelah masa panen
tembakau dengan sistem rotasi, dimana setelah masa panen tembakau Pengusaha
Swasta Asing pada masa Pemerintahan Belanda tersebut berpindah-pindah tempat
dan masyarakat Melayu dapat menggunaka tanah tembakau tersebut setelah selesai
masa panen dengan menanami tanaman semusim seperti padi dan hal tersebut diakui
61Direktorat Agraria Provinsi Sumatera Utara,Risalah Perkebunan dan Perkembangan Hak
sebab adanya Akta Konsesi yang menunjukkan bahwa orang Melayu dapat
mengelolah tanah tersebut setelah selesai masa panen tembakau. Mereka yang
menunggu panen tembakau disebut Rakyat Penunggu sedangkan tanah bekas panen
tembakau yang dikelola Rakyat Penunggu disebut tanah Djaluran yang mereka yakini
seperti tanah ulayat.
B. Masa Pemerintahan Jepang
Sejak perkebunan kolonial beroperasi sampai runtuhnya Pemerintah Belanda
di Sumatera Timur, Rakyat Penunggu tetap memperoleh tanah djaluran. Akan tetapi
setelah kekuasaan Belanda digantikan Jepang peluang Rakyat Penunggu untuk
mendapat tanah djaluran mulai terganggu. Awal terjadinya garapan pada areal
perkebunan di Sumatera Timur ini terjadi sejak pada masa pendudukan Jepang di
Indonesia, dimana pada saat itu untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam
perjuangan Kemerdekaan Indonesia, yang menimbulkan keadaan darurat sehingga
banyak rakyat mengusahai tanah-tanah perkebunan. Maka sejak saat itu penggarapan
atas areal perkebunan di Sumatera Timur mulai berkembang. Namun kekuasaan
Jepang tidak bertahan lama, maka pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia
diploklamirkan, tidak lama sejak berdirinya Republik Indonesia di Sumatera Timur
terbentuk partai politik dan laskar-laskar.
C. Masa Sekarang
Dalam kenyataannya, Hak Guna Usaha merupakan hak atas tanah yang
dunia usaha semakin pesat, seiring dengan adanya kebijakan Pemerintah
mengembangkan dunia usaha di bidang agrobisnis dan agroindustri, maka salah satu
persyaratan yang harus tersedia adalah adanya tanah luas yang mendukung lokasi
usaha tersebut. Oleh karena itu, adanya Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996
tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, maka dapat
memberikan kemudahan kepada pemegang Hak Guna Usaha untuk mendapatkan atau
melakukan perpanjangan apabila jangka waktu Hak Guna Usaha berakhir.62
Setelah berakhirnya jangka waktu Hak Guna Usaha dalam waktu 35 tahun
dengan perpanjangan 25 tahun atau seluruhnya berjumlah 60 tahun, maka Hak Guna
Usaha akan hapus demi hukum. Hapusnya Hak Guna Usaha ini bukan berarti tidak
dapat diperbaharui. Sesuai dengan ketentuan Pasal 9 dan Pasal 10 Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, bahwa Hak Guna Usaha yang telah berakhir atau
hapus tersebut dapat di perpanjang kembali.63
Hak Guna Usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, yang
dimaksud dengan pihak lain ini adalah warga Negara Indonesia, jadi tidak dapat
diberikan kepada orang asing, akan tetapi bagi badan-badan hukum yang bermodal
asing mungkin dapat diberikan dengan pembatasan yang disebutkan dalam Pasal 55
UUPA (Hak Guna Usaha hanya terbuka kemungkinannya untuk diberikan kepada
badan-badan hukum yang untuk sebagian atau seluruhnya bermodal asing jika hal ini
diperlukan oleh Undang-Undang yang mengatur pembangunan nasional semesta
62Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta : Sinar Grafika, 2007, hal 112.
63
berencana). Menurut Pasal 14 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing, bahwa untuk keperluan perusahaan-perusahaan modal
asing dapat diberikan tanah dengan Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak
Pakai menurut peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.64
Negara bukan pemilik (owner) tanah, tetapi di dalam kedudukannya sebagai
personifikasi rakyat/bangsa Indonesia mempunyai kewenangan-kewenangan tertentu.
Untuk melaksanakan kewenangannya, Negara mempunyai kewajiban untuk menjaga
keseimbangan antara kepentingan umum dan perseorangan, termasuk kepentingan
pemegang Hak Guna Usaha. Adanya pembatasan jangka waktu Hak Guna Usaha
tersebut memungkinkan Negara/Pemerintah secara berkala melakukan pengawasan
apakah keseimbangan tersebut masih dapat dipertahankan.65
Apabila Hak Guna Usaha tersebut berakhir dan tidak diperpanjang lagi oleh
pemegang hak nya atau tidak diberikan lagi perpanjangan oleh Pemerintah di
sebabkan beberapa hal, misalnya tidak sesuai lagi dengan rencana penggunaan
tanahnya atau diperlukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, maka Pemerintah
akan menetapkan tanah tersebut sebagai tanah Negara yang akan di distribusikan
kepada rakyat dan kepentingan lain yang mengkehendaki sesuai ketentuan yang
berlaku.
Redistribusi tanah pada umumnya dilatar belakangi oleh suatu keadaan
dimana terdapat sebagian besar tanah pertanian dimiliki oleh beberapa orang saja,
64G. Kartasapoetra,Masalah Pertanahan di Indonesia, Jakarta : PT Rineka Cipta, 1992, hal 8.
65
tanah-tanah bekas perkebunan dan lain-lain, dan ini terjadi terutama di
Negara-Negara berkembang yang tekanan penduduknya pada umumnya sangat tinggi dan
fasilitas industri untuk menampung kelebihan penduduk pedesaan terbatas.66
Secara prakteknya, selama ini telah begitu banyak tanah pertanian/perkebunan
diredistribusikan kepada para petani penggarap/buruh tani dengan pembayaran uang
ganti rugi kepada Negara dengan pelunasan jangka panjang (15 tahun). Karena
administrasi belum berjalan begitu baik sehingga banyak hambatan yang dialami
terutama pada waktu menjelang tahun 1965 dan beberapa tahun sesudah itu, maka
pembayaran uang ganti rugi kepada Pemerintah dan Pemerintah kepada ex pemilik
tanah sampai saat ini belum rampung. Sehingga perlu adanya pengawasan ketat dari
aparat agraria kabupaten/kotamadya terhadap tanah-tanah yang sudah
diredistribusikan terutama yang belum dilunasi uang ganti ruginya harus di
indahkan.67
Redistribusi tanah pertanian/perkebunan tersebut terkecuali terjadi juga pada
areal perkebunan di Sumatera Utara termasuk pada areal PTPN II, namun pembagian
tanah tersebut tidak berjalan mulus baik menyangkut ganti rugi kepada bekas
pemegang hak, pembayaran ganti rugi (harga) tanah kepada Negara, sampai kepada
pendaftaran tanah, sehingga banyak ditemukan ketidakpastian hukum atas
pemilikan/penggarapan tanah tersebut hingga saat ini.
66
H. Affan Mukti,Pembahasan Undang-Undang Pokok Agraria, Medan : Usupress, 2010, hal 50. 67
Tidak adanya kepastian hukum sebagai pengaruh era reformasi
mengakibatkan adanya tindakan masyarakat yang bertentangan dengan hukum
sehingga perusahaan perkebunan menjadi korban karena lahan tanah perkebunan
diambil oleh masyarakat dengan berbagai dalih antara lain klaim Hak Ulayat,
Penggarapan, Tuntutan Perkembangan Kota dengan Perubahan Tata Ruang dan
Tuntutan lainnya, termasuk pada areal PTPN II. Klaim terhadap hak ulayat ini antara
lain disebabkan areal perkebunan PTPN II ini umumnya berada di wilayah etnis
melayu dan dahulu tanah PTPN II adalah tanah hak ulayat (masyarakat adat
melayu)68.
Hak ulayat masih diakui adanya, namun hak tersebut tidak dapat dibenarkan
untuk menghalang-halangi pemberian hak guna usaha dan tidak dapat dibenarkan jika
sesuatu masyarakat hukum berdasarkan hak ulayat menolak begitu saja karena
kepentingan masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara
yang lebih luas.69
Tentang pengakuan terhadap keberadaan hak ulayat, UUPA tidak memberikan
kriteria. Boedi Harsono menyebutkan alasan para perancang dan pembentuk UUPA
untuk tidak mengatur tentang hak ulayat karena pengaturan hak ulayat, baik dalam
penentuan kriteria eksistensi maupun pendaftarannya akan melestarikan keberadaan
hak ulayat, sedangkan secara alamiah terdapat kecenderungan melemahnya hak
ulayat. Dalam kenyataannya ketiadaan kriteria persyaratan eksistensi hak ulayat
68
Ediwarman,Perlindungan Hukum Bagi Korban Kasus-Kasus Pertanahan, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2003, hal 193.
69
merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap marjinalisasi hak masyarakat
hukum adat.70
Salah satu hasil dari reformasi yang telah terjadi yakni munculnya situasi
dimana masyarakat tidak punya rem menggunakan dan malah menguasai tanah yang
bukan miliknya, karena mereka menganggap secara sah bahwa secara syarat formal
hukum yang mereka tau di tanah itu melekat hak mereka secara terus menerus tanpa
menghiraukan hukum tanah yang mereka anggap telah memporak porandakan hak
mereka tanpa menyadari bahwa hukum itu memberikan keadilan bagi penggunanya.
Bila seandainya masyarakat melepaskan diri dari aturan pertanahan yang ada bisa jadi
lebih parah dan lebih kacau. Sebab pada prinsipnya tidak ada aturan yang
menyengsarakan rakyat.71
Hingga kini perbuatan melawan hukum ini terpaksa diselesaikan dengan
berdamai, yaitu dengan pemberian ganti-rugi atas tanaman yang telah ditanam secara
tidak sah oleh si penyerobot. Untuk mencegah perluasan perbuatan semacam ini
diharapkan dengan sangat agar pihak yang berwenang dapat bertindak dengan tegas
terhadap pihak yang mengadakan perbuatan hukum tersebut.72
Perkembangan penyelesaian tanah garapan masyarakat belakangan ini baik
disebabkan oleh adanya klaim atas tuntutan hak ulayat, adanya tanah redistribusi
70
Maria S. W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya, Jakarta : Buku Kompas, 2008, hal 171.
71
Muhammad Yamin,Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2003, hal 47.
72
yang tidak tuntas, adanya tindakan penguasaan/pendudukan secara tidak sah oleh
masyarakat atas tanah perkebunan dan lain-lain sebab telah menimbulkan persoalan
yang rumit saat ini ditambah lagi ketidak tegasan Pemerintah dalam menerbitkan ijin
pelepasan asset atas tanah-tanah yang tidak diperpanjang HGU nya sesuai dengan
ketentuan dalam SK KBPN Nomor 42/HGU/BPN/2002.
Berdasarkan Surat Keputusan KBPN Nomor 42/HGU/BPN/2002 menyatakan
bahwa terhadap areal Eks HGU yang tidak diperpanjang maka penyelesaian tersebut
diserahkan kepada Gubernur Sumatera Utara untuk mengatur P4T yaitu mengatur
penguasaan, pemilikan, penggunanaan dan pemanfaatan tanah setelah mendapat ijin
pelepasan asset dari Menteri yang berwenang. Hingga saat ini belum ada ijin
pelepasan asset dari Menteri yang berwenang sehingga Gubernur belum dapat
mendistribusikan baik dalam hal ini kepada tuntutan rakyat, garapan rakyat, rumah
pensiunan karyawan dan bahkan RUTR/RUTW.73
Agar penanganan tanah garapan pada areal Eks HGU PTPN II tersebut dapat
diselesaikan dari pada menunggu ijin pelepasan asset dari Menteri yang berwenang,
sesungguhnya Gubernur Sumatera Utara harus berperan aktif dengan cara
membentuk kelompok kerja untuk meneliti kembali dengan melakukan penelitian
langsung ke lapangan apakah sesuai nama-nama rakyat penggarap yang dilindungi
oleh Undang-Undang dengan identitas penggarap berdasarkan dokumen-dokumen
yang sah seperti salah satunya SIM (Surat Izin Menggarap) yang ada di lapangan
73
serta bukti-bukti yang konkrit yang benar-benar menyatakan bahwa si pemegang hak
memperoleh ijin menggarap pada masa itu, namun kenyataan dilapangan yang
ditunjukan hanyalah fotocopy-fotocopy, jika sesuai dan akurat data-data di lapangan
maka tanah tersebut dapat dikeluarkan dari areal Eks HGU PTPN II dan apabila
tuntutan garapan tersebut ternyata penggarap yang tidak dilindungi oleh
Undang-Undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954 maka tuntutan tersebut ditolak dan penggarap
tersebut diperintahkan oleh aparat untuk meninggalkan areal Eks HGU PTPN II.
Selanjutnya tanah yang dimohonkan menjadi tanah yang dikeluarkan dari areal HGU
PTPN II antara lain apabila tanahnya atau obyeknya maupun subyeknya (penggarap)
maupun ahli waris penggarap dilindungi oleh Undang-Undang Darurat Nomor 8
Tahun 1954 sedang ijin pelepasan asset dari Menteri yang berwenang jika
dikeluarkan harus ada kejelasan kepada siapa tanah tersebut diberikan, sebab
penerbitan ijin pengeluaran dari asset oleh Menteri yang berwenang tanpa terlebih
dahulu adanya penelitian kepada siapa yang berhak justru akan menimbulkan bentrok
fisik antar pihak-pihak yang menginginkan tanah areal Eks HGU PTPN II tersebut.
Menurut Muhammad Zamkani, selaku Deputi Bidang Usaha Industri Primer
Kementerian BUMN, makna pelepasan asset lahan tersebut juga belum ada
persamaan persepsi, sebab menurut versi Kementerian BUMN, jika HGU habis maka
tidak serta merta lahan itu menjadi milik masyarakat atau milik Negara cq.Pemda.
Jika PTPN II sebagai pihak lama yang mengelola nya masih mau, maka HGU
diperpanjang lagi untuk PTPN II. Namun tidak dipungkiri, jika sudah ada putusan
juga melepaskannya, akan tetapi kewenangan pelepasan asset tersebut harus melalui
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan setiap jajaran direksi juga sudah
mempersiapkan solusi, serta harus berhati-hati karena menyangkut tanggung jawab
menjaga asset. Menurut Sekretaris Utama Badan Pertanahan Nasional (BPN)
Managam Manurung, bahwa lahan di PTPN II sudah tidak lagi menjadi ranah BPN
untuk memproses penyelesaiannya, sebab pihak BPN sudah memutuskan tidak lagi
memperpanjang HGU untuk PTPN II di lahan-lahan yang bermasalah, dan hal
tersebut dibenarkan oleh Kementerian BUMN telah menerima surat permintaan
pelepasan asset. Akan tetapi Kementerian BUMN belum mau melepaskan asset,
samping itu BUMN belum puas dengan hasil pemetaan Tim Khusus yang dibentuk
oleh Gubsu Gatot Pujo Nugroho berdasarkan SK Gubsu tanggal 23 September 2011
sebab PTPN II itu sendiri tidak masuk dalam tim tersebut.74
Gubsu Gatot Pujo Nugroho bersama Forum Koordinasi Pimpinan Daerah
(FKPD) menyerahkan sejumlah dokumen diantaranya permohonan pelepasan asset
atas tanah 5.873.06 Ha eks PTPN II serta menyerahkan hasil kerja Tim Khusus
Penanganan Areal eks HGU PTPN II yang dibentuk FKPD Plus pada September
2012, yang tugas Tim Khusus tersebut adalah mengiventarisasi tanah eks HGU PTPN
II sekaligus juga melaporkan tentang HGU yang telah diperpanjang dan hasil tersebut
dilaporkan ke Menteri BUMN.
74 BUMN Ogah Lepas Lahan Eks HGU PTPN,
Berbagai langkah telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara
terkait dengan permasalahan eks HGU PTPN II yang sudah cukup panjang sejak
tahun 1999 sampai sekarang, namun kemajuan yang telah dilakukan terlihat pada
tahun 2010 hingga 2012 setelah terbentuknya tim khusus yang menangani tentang
pemetaan atas tanah-tanah yang saat ini di atas lahan eks HGU. Dalam hal ini
Gubernur juga meminta kepada Menteri BUMN sesuai ketentuan yang diatur oleh
Keputusan Kepala BPN bahwa lahan-lahan eks HGU yang habis masanya sebelum
diberikan peruntukannya harus secara langsung dilepas oleh Menteri BUMN yang
kemudian diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara sesuai
peruntukannya. Langkah-langkah yang telah dilakukan Gubernur bersama FKPD dan
Tim disambut baik oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan, karena upaya yang dilakukan
tersebut adalah bertujuan untuk mencari win-win solution yang terbaik bagi
kepentingan masyarakat. Akan tetapi hingga saat ini, belum ada penyelesaian yang
tuntas mengenai masalah tanah Eks HGU PTPN II tersebut.75
Sementara itu, salah satu pihak yang mengajukan tuntutan dan
penggarapan atas areal PTPN II dengan klaim hak ulayat adalah Badan Perjuangan
Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) menurut pendapat Buyung salah satu penggarap
Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia pada awalnya areal Kebun Helvetia
keseluruhannya adalah tanah perkampungan. Menurut beliau bahwa dalam
Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 33 ayat (3) menyatakan bumi dan air serta kekayaan
75Sengketa Lahan Sumut : Konflik Lahan Bekas HGU PTPN II Agar Dituntaskan Secara
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, hal ini menurut Buyung bahwa UUD 1945 tanah yang
dimaksud bukan milik Negara namun diplesetkan seakan-akan menjadi tanah Negara,
padahal sesungguhnya tanah tersebut pada awalnya sebelum merdeka rakyat yang
lebih dulu menguasai tanah tersebut, sehingga menjadi sengketa dikarenakan
Pemerintah menguasai tanah rakyat. Maka bagi rakyat penunggu di areal tersebut
menuntut agar tanah ulayat mereka dikembalikan yang telah diambil oleh pihak
perusahaan. Sebab menurut rakyat penunggu bahwa Pemerintah tidak mempedulikan
nasib rakyat yang asli penduduk pribumi yang dahulu di jaman Belanda diakui
hak-haknya untuk bercocok tanam dan sebelum perang dunia II adanya sebuah perjanjian
akta konsesi dengan Sultan atas nama rakyat.
Pada awalnya tanah tembakau ini berupa tanah djaluran76, menurut Buyung
dahulu setelah masa panen tembakau maka tanah dilepas lalu rakyat di ijinkan untuk
mengelola tanah sehabis panen tembakau tersebut untuk menanam tanaman semusim
selama 1 tahun setelah itu dihutankan kembali selama 7 tahun (sistem rotasi) namun
sistem ini telah berhenti sekitar tahun 1975. Pemerintah tidak memberi ijin kepada
rakyat untuk bercocok tanam kembali sebab pihak perkebunan menanam tanaman
76Tanah Djaluran juga perwujutan dari hak ulayat dari pada masyarakat hukum yang terdapat
tebu setelah habis panen tembakau, hingga pada akhirnya rakyat penunggu menuntut
atas tanah ulayat mereka apalagi terlebih rakyat penunggu ini mayoritas adalah
bertani. Negara Indonesia merupakan negara agraris, sehingga bagi rakyat penunggu
hanya bertumpu pada tanah.
Pengacara demi pengacara telah dibentuk oleh pihak rakyat penunggu untuk
melakukan penyelesaian sengketa tanah garapan pada areal Kebun Helvetia. Namun
hingga saat ini menurut Buyung penanganan sengketa tanah garapan tersebut tidak
terselesaikan sebab adanya pihak-pihak yang berkepentingan memanfaatkan situasi
sehingga menjadi alasan bahwa daerah Sumatera Utara sudah tidak kondusif
disebabkan tidak terselesainya permasalahkan tentang sengketa tanah garapan pada
areal Kebun Helvetia.77
77Wawancara dengan Buyung selaku pemangku adat Masyarakat Adat di bawah Badan