• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II - Masyarakat Tionghoa Benteng di Tangerang (1978 – 1998)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II - Masyarakat Tionghoa Benteng di Tangerang (1978 – 1998)"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

Asal Mula Datangnya Masyarakat Tionghoa ke

Indonesia

.

II.1 Kedatangan Masyarakat Tionghoa ke Pulau Jawa

Kedatangan masyarakat Tionghoa ke Indonesia sudah lama diketahui,

sebelum bangsa Eropa masuk pun sudah banyak pedagang Tionghoa yang datang

untuk berdagang di Nusantara. Para pedagang ini, berdagang ke Indonesia dan

menetap, yang tentunya bisa berbulan-bulan lamanya di Nusantara menunggu

perubahan angin musim. 3

Lama sebelum VOC muncul, orang Tionghoa sudah berdagang di

Jayakarta, beberapa bahkan sudah menetap di wilayah tersebut cukup lama untuk

menanam tebu dan menyuling arak yang terkenal di kalangan pelaut yang datang.

Ketika VOC mulai menjejakan kakinya di wilayah ini, perusahaan tersebut Pada abad ke-14 ditemukan sumber yang menyatakan

adanya perkampungan orang-orang Tionghoa Islam di Muara Sungai Brantas Kiri

atau yang sekarang sering disebut Kali Porong. Pada awal abad ke-18, ketika

Surabaya berada dibawah kekuasaan Mataram, di antara keraton dan benteng

Kompeni terdapat sebuah pasar yang luas yang sekarang disebut daerah Pasar

Beras. Di tempat inilah orang Tionghoa menjual hasil bumi terutama beras,

dengan harga yang murah. Mereka bertempat tinggal di sebuah perkampungan di

sebelah utara keraton dan di luar benteng Kompeni. Perkampungan ini

diperkirakan menjadi awal dari perkampungan Tionghoa di Surabaya.

(2)

menjalin hubungan baik dengan orang Tionghoa. 4Pada sensus penduduk Batavia

tahun 1673 yang dilakukan oleh VOC, orang Tionghoa justru lebih banyak dari

pada orang Belanda dengan kisaran 2.747 jiwa. Sedangkan orang Belanda hanya

berkisar 2.024 jiwa. Orang Belanda di Batavia sangat bergantung pada tenaga

kerja Tionghoa dan barang-barang yang dibawa dari Asia Timur, barang-barang

ini dibawa oleh kapal-kapal Jung Tiongkok. 5

Pada awal kedatangan ke Semarang, masyarakat Tionghoa banyak tinggal

di daerah Gedung Batu, Simongan. Tempat yang terletak di tepi sungai Semarang

itu merupakan lokasi strategis karena berada di teluk yang menjadi bandar besar

dengan nama Pragota. Pemberontakan Tionghoa terhadap pendudukan Belanda

pada 1740, rupanya menjalar hingga ke Semarang. Orang Tionghoa yang selamat

melarikan diri ke arah Timur, hingga tiba di Semarang dan kembali melakukan

perlawanan namun berhasil ditumpas oleh Belanda. Sejak saat itu, semua warga

Tionghoa yang berada di Semarang dipindahkan ke tempat yang dikenal dengan

nama Pecinan. Hal tersebut bertujuan agar Belanda dapat lebih mudah mengawasi

agar tidak terjadi lagi pemberontakan. Di Semarang ada sebuah kelenteng yang

bernama Sam Po Kong, yang merupakan bukti peninggalan dari laksamana Besar

Tiongkok Cheng Ho yang beragama Islam pada pada masa Dinasti Ming.

Pada tahun 1625, armada Tiongkok

yang berdagang di Batavia memiliki minimal tonase yang sama besar dengan

seluruh armada VOC yang kembali ke Eropa.

Masyarakat Tionghoa yang datang ke Jawa adalah para pedagang dan

secara bertahap menjadi pemukim mapan di sepanjang pantai Utara Jawa. Mereka

(3)

menjadikan Jawa sebagai batu lompatan menuju Timur Tengah. Ketika Belanda

datang ke Pulau Jawa, interaksi masyarakat Tionghoa dan pribumi telah berjalan

baik. Masyarakat Tionghoa tidak hanya terkonsentrasi di kota-kota pelabuhan,

tapi juga di desa-desa dan menjalin hubungan timbal balik tanpa konflik.

Berpindahnya kekuatan Dinasti Ming ke selatan pada abad ke-17 karena

dipaksa mundur oleh orang Manchu itulah menjadi salah satu faktor penyebab

banyak masyarakat Tionghoa yang berpindah, antara lain ke Jawa melalui

Taiwan, sehingga penduduk Tionghoa di Jawa pun meningkat.Selain itu ada

6

6 Teguh Setiawan, Cina Muslim dan Runtuhnya Republik Bisnis, Jakarta: Republika, 2012, hal. 61.

empat pola migrasi masyarakat Tiongkok, yang pertama pola Huashang atau

perdagangan. Hal ini sudah terjadi sejak lama tentunya, karena pada masa abad

ke-14 pun masyarakat Tionghoa sudah banyak melakukan perdagangan di

Nusantara khususnya Pulau Jawa. Para saudagar dan pedagang ini, selalu

membuat basis-basis sistem ekonomi di tempat mereka tinggal. Bahkan tidak

sedikit dari mereka yang akhirnya menjadi tuan tanah, dan membuka banyak

lahan swasta atau pertambangan di luar dari naungan Pemerintah Kolonial

Belanda. Kebanyakan para pedagang tersebut memperkerjakan sanak saudara

mereka, agar lebih mudah dalam memantau kondisi pekerjaan dan ongkos yang

lebih murah. Kebanyakan yang menjadi pedagang dan saudagar ini adalah

orang-orang Tionghoa Hokkian, mereka merupakan pedagang terdidik dari Tiongkok.

Sektor perdagangan yang mereka kuasai adalah, hasil bumi, pertanian, kelontong,

(4)

antara kelompok pribumi yang menjadi produsen hasil perkebunan dengan para

eksportir Belanda atau India.

Yang kedua adalah pola Huagong atau kuli/ buruh. Pola ini mulai

berlangsung di Indonesia pada akhir abad ke-19, dan orang-orang Tionghoa ini

dibawa oleh bangsa Eropa khususnya Belanda. Sebab Belanda sangat

membutuhkan tenaga kerja untuk dipekerjakan di perkebunan melalui sistem

kontrak. Setelah kontrak selesai, masyarakat Tionghoa yang menjadi tenaga kerja

tersebut kembali ke Tiongkok dan menceritakan tentang Indonesia dan hal itu

menyebabkan bertambahnya migrasi masyarakat Tionghoa ke Indonesia. Selain

itu pembangunan dan impian akan hidup lebih layak di Indonesia, menyebabkan

banyak dari masyarakat Tiongkok yang miskin bermigrasi ke Indonesia.

Kebanyakan yang menjadi buruh Tionghoa di Indonesia adalah orang Hakka dan

Teo Chiu, mereka adalah petani tanpa tanah, pekerja miskin di perkotaan, dan

para pengangguran yang tidak mempunyai harapan hidup di negara asal. Para kuli

Tionghoa ini tersebar ke beberapa tempat di Indonesia seperti, Kalimantan

khususnya Singkawang, Sumatera Timur dan, Jawa.

Yang ketiga adalah pola Huaqiao, merupakan pola perantau yang hampir

sama dengan pola Huagong, hanya saja jenis individu perantau yang berbeda.

Pada pola Huagong para perantau adalah yang tidak mampu dan bekerja kasar

seperti buruh dan kuli, maka dalam pola Huaqiao para perantau cenderung lebih

profesional. Para perantau ini kebanyakan bekerja sebagai guru, jurnalis, koki,

akuntan dan jenis profesi lainnya. Para perantau ini selain mencari kehidupan

(5)

dijalankan keluar dari wilayah Tiongkok. Ambisi ini untuk meningkatkan

kesadaran akan kebesaran budaya Tionghoa dan berfungsi untuk menunjukan

tujuan nasionalisme itu sendiri. Mereka datang dengan kesadaran dan tekad untuk

hidup jauh di luar tanah kelahiran, tapi tidak ingin melepaskan keterkaitan dengan

tanah leluhur. Mereka berusaha memelihara bahasa, adat-istiadat, dan

mengaktifkan pengajaran tentang Tionghoa kepada anak-anak mereka. Mereka

mendorong emansipasi dan kemajuan kepada warganya, mendukung

pemerintahan negeri yang pernah mereka tinggali. Dengan kehadiran migrasi

Tionghoa yang lebih profesional, maka kedudukan orang Tionghoa pada masa

pemerintahan kolonial Belanda sangatlah penting di sektor administrasi. Tidak

heran dalam strata sosial pada masa kolonial Belanda, orang Tionghoa menempati

urutan kedua setelah orang Belanda atau orang kulit putih.

Pola yang keempat adalah Huayi, yang bisa diartikan terlahir untuk

menjadi warga negara setempat. Huayi merupakan pola migrasi yang mempunyai

visi yang sama, yaitu mencari kehidupan baru yang lebih baik di luar wilayah

Tiongkok tetapi misi mereka berbeda yaitu tidak mengikuti ajaran atau

kebudayaan asli bangsa Tiongkok. Bisa dikatakan para perantau Tionghoa

tersebut, akan berbaur menjadi satu dengan negara yang ditempati. Pola Huayi,

disebabkan diskrimasi etnis atau atau peperangan dalam negeri, sehingga pola

huayi dekat dengan alasan politis. Di Indonesia, mereka adalah generasi yang

kesekian peranakan Tionghoa. Mereka relatif tidak bisa berbahasa Tionghoa dan

telah sepenuhnya menjadi modern dan menyatu dengan masyarakat di negara

(6)

sekarang masih banyak masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia yang

mempertahankan kebudayaan dan keyakinan para leluhur. Pola ini bahkan lebih

banyak terjadi di Amerika Serikat, Australia dan Inggris, yang masyarakat

keturunan Tionghoanya lebih mempunyai sisi pemikiran barat yang modern dan

telah meninggalkan adat-istiadat leluhur.

II.2 Perbauran Masyarakat Tionghoa Dengan Masyarakat

Pribumi di Jawa.

Setiap imigran yang datang ke suatu negara, pastinya harus menghadapi

persoalan klasik, yaitu adaptasi dan bisa berbaur dengan masyarakat lokal atau

pribumi. Hal ini tak terlepas dari masyarakat keturunan Tionghoa. Dalam

prosesnya, integrasi antara masyarakat Tionghoa dengan masyarakat peribumi

banyak mengalami hambatan. Baik dari segi bahasa, kebudayaan, bahkan

pandangan sosial terhadap kedua belah pihak.

Dalam kegiatannya di kota Batavia menurut 7

7 Susan Blackburn, op cit., hal. 34.

Valentijn pada abad ke-18,

orang-orang Tionghoa sangat pintar, sopan, giat dan penurut, serta sangat berjasa

bagi Batavia. Mereka tidak hanya berdagang dalam segala macam hal barang

kebutuhan tapi juga barang-barang yang membutuhkan ilmu teknik seperti pandai

besi, tukang kayu, pembuat kursi. Banyak hal yang mereka lakukan di Batavia

baik dari segi jasa bahkan perkebunan, mereka membangun kota tersebut menjadi

kota yang sangat pesat perkembangannya. Bahkan Valentijn menyimpulkan “jika

tidak ada orang Tionghoa, Batavia akan sangat sepi dan kehilangan banyak

(7)

Tionghoa, dengan memberikan gelar Kapiten dan Letnan kepada para pemimpin

masyarakat Tionghoa tersebut. Pemimpin-pemimpin masyarakat Tionghoa yang

mendapatkan gelar tersebut, akan membuat perayaan yang sangat meriah. Bagi

orang Tionghoa pengangkatan ini berarti menandakan hubungan yang setara

dengan orang Belanda, selain itu mereka juga menganggap gelar ini setara dengan

mereka jika diangkat sebagai pejabat kekaisaran Tiongkok. Pada tragedi

pembantaian masyarakat Tionghoa oleh VOC pada tahun 1740 yang disebabkan

represi VOC terhadap harga gula dan mengakibatkan bangkrutnya pabrik gula

yang mempunyai banyak buruh orang Tionghoa. Selain itu penetapan harga arak

yang ditetapkan dengan sewenang-wenang oleh VOC, mengakibatkan banyak

pedagang Tionghoa mendapat kerugian dan mengakibatkan pemberontakan oleh

masyarakat Tionghoa. Setelah kejadian tersebut banyak orang Tionghoa mulai

beragama Islam untuk meleburkan dirinya dengan masyarakat pribumi.

Dikarenakan setelah tragedi tersebut, masyarakat Tionghoa tidak lagi menjadi

anak emas bagi VOC, sehingga banyak masyarakat Tionghoa berusaha mencari

perlindungan kepada masyarakat pribumi.

Salah satu cara perbaurannya dengan pekawinan campuran dan masuk

agama Islam, hal ini diyakini dapat membantu mereka untuk mendapatkan

perlindungan dari pihak pribumi. Selain itu banyak masyarakat Tionghoa telah

Muslim, mengganti namanya dengan nama yang bersifat Indonesia, agar menjadi

suatu penanda peleburan mereka terhadap masyarakat pribumi. 8

8 Ong Hok Ham, Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa, Jakarta: Komunitas Bambu, 2005, hal. 7.

Orang Belanda

(8)

atau yang berarti orang Tionghoa yang dicukur, karena salah satu penanda orang

Tionghoa itu telah menjadi Muslim adalah dengan mencukur kuncirnya yang

menjadi salah satu ciri khas laki-laki Tionghoa pada masa itu. Pada 1766, Jumlah

masyarakat Tionghoa yang beragama Islam semakin lebih banyak, sehingga

kepemimpinan pribumi terhadap kaum ini mulai susah dipantau. Maka

diangkatlah seorang kapitein Tionghoa Muslim, yang bertugas memimpin

masyarakat ini. 9Kapitein Tionghoa Muslim yang terakhir adalah Kapitein

Mohammad Japar yang meninggal pada tahun 1827. Selain itu hal ini juga untuk

memudahkan mereka mendekati para bangsawan pribumi. Dengan masuk Islam

dan membuat jasa-jasa bagi kaum bangsawan, yang pada akhirnya mereka akan

diangkat kedalam golongan ningrat. 10

Masyarakat Tionghoa di Indonesia bukan merupakan masyarakat

homogen. Dilihat dari segi kebudayaan, orang-orang Tionghoa terbagi atas

peranakan dan totok. Peranakan adalah orang Tionghoa yang sudah lama tinggal

di Indonesia dan sudah berbaur dengan masyarakat pribumi. Mereka mampu

secara fasih berbahasa Indonesia sebagai bahasa keseharian. Sedangkan totok

adalah pendatang atau imigran baru yang datang dari Tiongkok, umumnya masih

sangat fasih berbahasa Tiongkok. Akan tetapi seiring waktu, imigran yang datang

mulai menurun bahkan sudah berhenti. Tionghoa peranakan sudah banyak Seperti contoh Kapitein Tionghoa beragama

Islam di Yogyakarta, Kapitein Tan Djien Sing yang diangkat sebagai Raden

Toemenggoeng Setjodiningrat dan diangkat menjadi bangsawan keraton

Yogyakarta.

(9)

mengalami perbauran dengan masyarakat pribumi dan keturunan totok pun sudah

menjadi peranakan. Karena itu, generasi muda Tionghoa di Indonesia sebetulnya

sudah menjadi peranakan. Dalam hal adat-istiadat, Masyarakat Tionghoa totok

lebih kuat memegang tradisi nenek moyangnya dari pada masyarakat Tionghoa

peranakan. Sedangkan masyarakat Tionghoa peranakan, nilai tradisi dari nenek

moyangnya telah meluntur akibat dari proses asimilasi kepada masyarakat

pribumi Indonesia. Namun disaat tertentu kekhasannya sebagai orang Tionghoa

akan muncul juga. Biasanya terjadi pada acara-acara yang memang mengikuti

pola kebudayaan atau penanggalan Tiongkok seperti kelahiran, pernikahan,

kematian. Sedangkan pada masa penanggalan Tiongkok seperti Tahun baru

Tiongkok atau Imlek.

Proses asimilasi Masyarakat Tionghoa di Indonesia dengan masyarakat

pribumi, sering menemui penghalang-penghalang yang telah diciptakan orang

Tionghoa secara sadar atau tidak sadar. Keunggulan masyarakat Tionghoa pada

selama masa penjajahan, baik dari segi hukum maupun pangsa ekonomi telah

membuat kenyataan yang menyakitkan bagi sebagian masyarakat pribumi di

Indonesia. Selain itu masyarakat pribumi juga sering menganggap masyarakat

Tionghoa itu sebagai bangsa lain, bukan merupakan suku. Masyarakat Tionghoa

cenderung hidup berkelompok dan tetap berpegang teguh terhadap kebudayaan

negeri leluhur mereka. Sisi eksklusif diri inilah yang membuat adanya

kesenjangan sosial antara masyarakat pribumi dengan masyarakat Tionghoa.

Setelah diberi kedudukan oleh Belanda, masyarakat Tionghoa mendominasi

(10)

masyarakat Tionghoa melakukan penindasan terhadap masyarakat pribumi dan

menghalang-halangi golongan pengusaha nasional atau pribumi. Pada awal abad

ke-20, terjadilah perpecahan di kalangan masyarakat Tionghoa. Sebagian orang

Tionghoa peranakan merasa nyaman dengan konsesi yang mereka dapatkan dari

Pemerintahan Kolonial Belanda, kebanyakan dari mereka tidak menyukai gerakan

nasionalis Indonesia. Mereka takut derajat kewarganegaraan mereka akan turun,

jika Pemerintahan Republik Indonesia terbentuk menggantikan Pemerintahan

Kolonial Belanda. Salah satu orang Tionghoa yang sangat mendukung kekuasaan

Pemerintah Kolonial Belanda adalah 11

11 Leo Suryadinata, Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002, Jakarta: LP3ES Indonesia, 2005, hal. 5.

H.H. Kan, seorang tuan tanah yang sangat

kaya. Ia belajar di sekolah Belanda di Batavia. Selain itu dia H.H. Kan juga

merupakan pendiri dan ketua Chung Hwa Hui (CHH), sebuah partai Tionghoa

yang mendukung gerakan barat dalam dewan perwakilan atau sering disebut

Volksraad. Kan dan partai Chung Hwa Hui cukup berpengaruh di dalam

Volksraad. Lobi yang dilakukannya cukup kuat untuk mendirikan lebih banyak

lagi sekolah-sekolah Belanda-Tionghoa. Dimana bahasa Belanda menjadi bahasa

pengantar dan banyak anak-anak Tionghoa yang dimasukkan ke dalam

sekolah-sekolah anak Eropa. Selain itu, penghapusan hukum-hukum diskriminatif dan

memperluas hak-hak politik bagi orang Tionghoa, juga merupakan hasil kerja lobi

partai Chung Hwa Hui terhadap Pemerintahan Kolonial Belanda. Pada tahun

1918, Kan memasukkan laporan yang mendukung status quo. Sampai tahun 1941,

Kan masih mendukung pemerintahan Belanda, Kan menyatakan dengan jelas

(11)

banyak mengkritik partai-partai yang menentang Belanda dan yang mendukung

kemerdekaan Indonesia. 12Bahkan kan mengatakan dengan sangat jelas “Ini

adalah perkara hidup mati rakyat di sini. Kita harus berjuang bersama Belanda

dan pemerintahan Belanda harus ditegakkan di negara ini”.Di samping ada orang

Tionghoa yang berpihak pada Belanda, ada juga yang berlandaskan nasionalisme

Tiongkok. Gerakan aliran ini terlihat jelas pada surat kabar 13

12 Leo Suryadinata, Negara Dan Etnis Tionghoa: Kasus Indonesia, Jakarta: LP3ES Indonesia. 2002, hal. 34.

Sin Po yang

didirikan pada tahun 1910. Aliran orientasi nasionalisme Tiongkok ini

menyerukan anti kolonialisme, hampir sama seperti gerakan nasionalisme

Indonesia. Walau pun bisa dikatakan antikolonialisme di Indonesia, namun

mereka tidak memiliki kesamaan dengan nasionalisme Indonesia karena

menganggap bahwa Tiongkok adalah tanah air mereka. Bagi para pendukung

aliran Sin Po, negara Tiongkok adalah pelindung mereka dan semua masyarakat

Tionghoa perantauan. Bagi mereka, masyarakat Tionghoa peranakan akan selalu

dapat hidup kalau mereka mempunyai ikatan dengan Negeri Tiongkok. Kaum ini

menganjurkan persatuan antara kaum peranakan Tionghoa dengan kaum

Tionghoa totok, selain itu menuntut status hukum sama dengan orang Eropa bagi

kaum masyarakat Tionghoa lokal serta pendidikan adat dan tradisional Tionghoa

terhadap anak-anak kaum peranakan Tionghoa. Padahal tidak semua masyarakat

Tionghoa yang seperti itu, bahkan ada yang sangat mendukung nasionalisme

bangsa seperti Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Sekelompok orang Tionghoa

yang pro-Indonesia juga ada, mereka merupakan kalangan masyarakat Tionghoa

yang menganggap bahwa masyarakat Tionghoa di Indonesia harus menjadi

(12)

Indonesia. Pada tahun 1932, seorang jurnalis Tionghoa peranakan Liem Koen

Hian dan pengacara yang juga Tionghoa peranakan Ko Kwat Tiong, mendirikan

Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Aliran partai ini menganut nasionalisme

kebangsaan Indonesia, Indonesia bagi Liem Koen Hian yang menjadi presiden

pertama partai, merupakan Tanah Air dan negeri bagi setiap insan yang telah lama

tinggal di Indonesia dari generasi ke generasi. PTI giat menganjurkan akan

identitas politik Indonesia, kepada setiap masyarakat Tionghoa di Jawa. Akan

tetapi kegiatan ini hanya dijalani oleh sebagian kecil dari masyarakat Tionghoa itu

sendiri, Sebagian besar masih memperkuat identitas Tiongkoknya. Orang

Tionghoa banyak memberikan kontribusi yang berbeda-beda terhadap kehidupan

di Jawa pada masa awal abad ke-20. Keuntungan yang diberikan Belanda

terhadap Masyarakat Tionghoa telah banyak disalah gunakan. Oportunisme

semacam ini adalah ciri khas dari orang yang hanya mementingkan uang,

perdagangan, dan bisnis. Bagi sebagian besar masyarakat Tionghoa yang pro

Tiongkok atau pun pro Belanda, gerakan nasionalis Indonesia seakan-akan tidak

pernah ada. Mereka juga berpikir tidak ada alasan untuk mempersiapkan diri

untuk menghadapi kemerdekaan Indonesia.

Penjajahan Belanda di Indonesia telah banyak menimbulkan perbedaan

ras. Akibat perbedaan dan sisi eksklusif yang didapatkan masyarakat Tionghoa

pada masa Belanda, maka tidak heran banyak warga Tionghoa hidup menyendiri,

terpisah dari pribumi lainnya. Adat-istiadat, rumah sekolah Tionghoa sendiri dan

(13)

Banyak rakyat Indonesia asli berpendapat, bahwa merekalah yang

berjuang dan berkorban untuk mencapai Indonesia merdeka. Masyarakat

Indonesia asli umumnya tidak dapat membedakan Masyarakat Tionghoa totok

dengan masyarakat Tionghoa peranakan yang telah menjadi warga negara

Indonesia. Bagi kebanyakan rakyat asli Indonesia, masyarakat Tionghoa baik

totok maupun yang peranakan adalah sama saja, karena bagi masyarakat

Indonesia, masyarakat Tionghoa merupakan sosok penguasa lapangan ekonomi di

Indonesia. Oleh sebab itu banyak individu-individu di Indonesia meminta kepada

pemerintah Indonesia memperlindungi ekonomi nasional dan memberi

kesempatan bagi pengusaha nasional memperoleh kedudukan yang layak dalam

perekonomian masyarakat.

Akan tetapi tidak selamanya perbauran masyarakat Tionghoa di Jawa

mengalami hambatan. Nilai-nilai kebudayaan antara masyarakat Indonesia di

Jawa dengan masyarakat Tionghoa peranakan di Jawa, bukan yang dari luar Jawa,

karena pada batas-batas tertentu ada perbedaan situasi dan kondisi di tiap daerah.

Banyak nilai-nilai sosial budaya yang sama di kalangan masyarakat Jawa dan

masyarakat Tionghoa, seperti misalnya pandangan tentang hakekat hidup.

Tempat tinggal masyarakat Tionghoa di Jawa kebanyakan mempunyai

wilayah tempat tinggal bersama, atau bisa dikatakan masyarakat Tionghoa lebih

banyak memilih hidup berkelompok dengan etnisnya. Bagi Masyarakat keturunan

Tionghoa hal ini sudah biasa, karena etnis asing yang lain pun seperti itu seperti

contoh etnis India dan Arab. Setelah tahun 1930, pola hidup berkelompok ini

(14)

Kehidupan masyarakat etnis Tionghoa yang hidup berkelompok pada masa itu,

telah memberikan cikal bakal adanya Chinatown di Indonesia, seperti yang terjadi

di Amerika Serikat. Pada perbaurannya, mulai terbentuk komunitas-komunitas

masyarakat Tionghoa itu sendiri. Setiap komunitas masyarakat Tionghoa, mulai

terbentuk. Seperti contoh dengan Masyarakat Tionghoa Benteng di Kota

Tangerang, yang sudah menjadi suatu ikon hasil proses asimiliasi yang cukup

lama.

II.3 Terbentuknya Masyarakat Tionghoa Benteng.

Masyarakat Tionghoa pada awalnya tinggal di pesisir pantai Batavia, atau

lebih tepatnya Jakarta Utara pada masa kini. Pelabuhan Sunda Kelapa yang

menjadi salah satu pelabuhan ternama di kawasan Batavia, dan menjadi salah satu

saingan pelabuhan Banten, menjadikan kawasan utara Batavia ini cukup ramai

untuk ditinggali oleh masyarakat pada umumnya, tidak terkecuali masyarakat

Tionghoa. Pada awal pembangunan Batavia. Banyak sekali masyarakat Tionghoa

yang tinggal di daerah ini. Kedatangan orang Tionghoa untuk pertama kali ke

Tangerang terjadi pada tahun 1407, tepatnya berada di muara sungai Cisadane

yang sekarang bernama Teluk Naga. Kejadian ini telah tercatat dalam kitab

sejarah Sunda yaitu Tina layang Parahyangan. Pemimpin daerah tersebut pada

waktu itu adalah Sanghyang Anggalarang dari Kerajaan Parahyangan yang pusat

pemerintahannya berada disekitar Kota Tangerang. Tangerang sendiri berasal dari

kata Tangren dalam bahasa mandarin yang berarti orang dari dinasti Tang. Inilah

yang merupakan gelombang pertama kedatangan masyarakat Tionghoa ke

(15)

Gelombang kedua diperkirakan berawal dari pemberontakan Tionghoa

pada VOC tahun 1740 di Batavia. Pemberontakan yang dipimpin Kapitein Nie

Hoe Kong, direspon dengan sangat keji oleh Gubernur Jenderal VOC Adrian

Valkenier. Kurang lebih 10 ribu orang tewas, sementara ratusan lainnya terluka.

Nie Ho Kong yang merupakan kapitein Tionghoa memimpin pelarian ke Jawa

Tengah dan sampai Solo. Kapitein Tionghoa yang lain yaitu Ma Uk memimpin

rombongan pelarian menyusuri pantai utara Tangerang dan berhenti di wilayah

yang sekarang dinamai seperti nama sang kapitein, yaitu Mauk. Sedangkan

rombongan yang lainnya menyusuri sungai Cisadane, sebagian berhenti di Sewan,

Neglasari, dan wilayah-wilayah sekitar. Mereka yang belum aman di Sewan dan

Neglasari, melanjutkan perjalanan lebih ke pedalaman Tangerang, hingga

mencapai tanah yang tidak ditinggali yaitu Karawaci. Nama Benteng pada

Tionghoa Benteng sendiri berasal dari benteng Belanda yang berada di

Tangerang, dibuat untuk mengantisipasi pemberontakan Masyarakat Tionghoa

dan serangan Kesultanan Banten.

Perjanjian Damai 10 Juli 1659 antara Kesultanan Banten dan VOC,

menyebutkan bahwa tapal batas Kesultanan Banten dan VOC adalah sungai

Cisadane. Sebelah timur sungai Cisadane masuk wilayah VOC dan sisi barat

sungai merupakan wilayah kekuasaan Kesultanan Banten. Hal ini jugalah

membuat para pelarian Tionghoa yang telah sampai di Karawaci, untuk

menyeberangi sungai Cisadane dan menetap di sisi barat sungai yang menjadi

kekuasaan Kesultanan Banten. Itulah yang dilakukan oleh leluhur dari masyarakat

(16)

Curug, Legok, Balaraja, dan lainnya. Para pelarian Tionghoa yang telah

menyeberang ke daerah kekuasaan Kesultanan Banten, dilindungi oleh Sultan

Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin.

Bermukim di wilayah tanpa penduduk dan diberi kebebasan membangun

pemukiman, mengolah lahan, dan membangun persawahan. Hampir tidak ada

gangguan atau intervensi dari anggota keamanan Kesultanan. Mereka yang telah

tiba di sisi barat sungai, mendapat perlindungan penuh dari prajurit Kesultanan

Banten yang Memang biasa berpatroli ke wilayah itu untuk melakukan

pengintaian. Dari sisi barat sungai Cisadane terutama di daerah Panongan, prajurit

Banten bisa mengontrol garis dan zona demarkasi, juga untuk melihat pergerakan

tentara VOC yang di sisi timur sungai Cisadane. Pemukiman awal di daerah sisi

barat sungai Cisadane, banyak melakukan kegiatan bercocok tanam dan beternak

untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Hampir seluruh hasil panen, padi dan sayuran

juga ternak dikonsumsi oleh mereka. Ada juga yang disisihkan untuk dibawa

keluar daerah, bisa ditukar dengan garam atau gula. Selain itu, dengan

dibangunnya benteng Belanda disebelah timur Cisadane, mulai banyak

penyebutan terhadap masyarakat Tionghoa yang mayoritas bermukim disekitar

Cisadane dengan sebutan Tionghoa Benteng. Sebutan ini akibat dari banyaknya

masyarakat Tionghoa yang bermukim dekat dengan Benteng Belanda tersebut.

Kesultanan Banten pada akhirnya terus melemah, dan akhirnya berhasil

dikalahkan oleh VOC dengan di tandai dihancurkannya Istana Surosan. Sultan

Banten yang memerintah pada saat itu, Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq

(17)

Gubernur Jenderal Hindia Belanda yaitu Herman Willem Daendels

mengumumkan dari markasnya di Serang bahwa wilayah Kesultanan Banten telah

diserap ke dalam wilayah Hindia Belanda.

Jatuhnya Kesultanan Banten membuat Masyarakat Tionghoa Benteng

merasa terancam dan hidup tanpa perlindungan. Ancaman pencurian,

perampokan, pemerkosaan dan pembunuhan menghantui mayoritas masyarakat

Tionghoa Benteng. Apalagi kalau mereka membawa hasil bumi ke luar kampung.

VOC yang telah memberlakukan sistem mata uang, untuk menarik semua elemen

masyarakat ke dalam ekonomi pasar. Dalam perjalanan ke luar kampung pun

bukan tanpa bahaya, ancaman perampokan di tengah jalan juga menghantui

mereka. Maka ditemukan solusi untuk menjamin keamanan mereka, dengan

menyewa jawara sebagai pengaman. Yang dimaksud jawara adalah individu yang

mempunyai kekuasaan untuk melakukan pengamanan. Jawara menjamin

keselamatan pemukiman mereka dan mengawal mereka apa bila akan melakukan

perjalanan ke luar kampung untuk menjual hasil bumi. Daerah yang menjadi

perhatian penjualan mereka adalah pasar Curug dan Cikupa.

Adanya jawara ini bukan tidak serta merta munculnya perdamaian di

Pemukiman masyarakat Tionghoa Benteng.Terkadang para jawara ini pun

melakukan intimidasi terhadap masyarakat Tionghoa Benteng dengan

memerintahkan anak buahnya untuk meneror mereka. Masyarakat Tionghoa

Benteng pun melakukan banyak upaya untuk mengamankan diri sendiri, karena

merasa dirugikan oleh para jawara tersebut. Tapi usaha itu selalu digagalkan oleh

(18)

pemukiman masyarakat ini. Banyak daerah di Tangerang yang masyarakat

Tionghoa Benteng mengalami hal ini, seperti Panongan, Cengklong dan Kosambi.

Lambat laun para jawara ini juga bukan merupakan solusi yang tepat bagi

keamanan masyarakat Tionghoa. Di saat penjagaan longgar, orang dari luar

kampung akan masuk, dan kemudian mereka akan mencuri atau merampok,

bahkan hanya sekadar buat mencari masalah. Cerita perampokan dan diselingi

pemerkosaan, juga kerap menghantui masyarakat ini.

Setelah kejatuhan Kesultanan Banten, Belanda mendirikan pemukiman

Tionghoa di Tegal Pasir atau yang sekarang bernama Kali Pasir. Pemukiman ini

cukup dekat dengan pusat Kota Tangerang, Belanda menamakan perkampungan

Tionghoa itu dengan nama Petak Sembilan. Perkampungan ini dengan seiring

waktu cukup berkembang dan menjadi pusat perdagangan di Kota Tangerang.

Masyarakat Tionghoa Benteng, merupakan hasil bentukan perpaduan kebudayaan

Tiongkok dengan pribumi. Ciri-ciri fisik masyarakat Tionghoa Benteng sendiri,

tidak seperti masyarakat Tionghoa pada umumnya. Suku Tionghoa di Indonesia

pada umumnya berkulit putih, tapi masyarakat Tionghoa Benteng mempunyai

kulit yang hitam gelap, mereka pun tidak memiliki mata yang sipit. Maka hal ini

Referensi

Dokumen terkait

SO2 Continuing With APEX Transformation Cycle 6 Services based on Research, Academic and Knowledge Transfer. 1 Shifting to service to community and building industrial linkages 2

Hasil analisis ragam pengamatan bobot kering total tanaman munujukkan nilai tertinggi 91,25 gram pada perlakuan penyiangan + pupuk ZA 200 kg ha-1 Tabel 8.Peningkatan hasil pada

Nilai koefisien regresi yang positif tersebut berarti terdapat pengaruh positif dari variabel risiko tidak sistematis terhadap expected return, atau semakin tinggi

Dilihat dari hasil persentase tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa di Rusunawa Universitas Tanjungpura Pontianak Rusun Ruai memiliki sikap berwirausaha yang lebih

Kesimpulan dari penelitian ini dapat dijelaskan bahwa Pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling dalam meminimalisir kecemasan berbicara siswa dilaksanakan dengan cara

(lingkungan tempat bekerja), validity (pedoman atau petunjuk dalam uraian tugas), dan evaluation (adanya umpan balik hasil kerja) (Notoatmodjo, 2009: 21). Penelitian ini

Dan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh trust yang berorientasi pada (B2C) terhadap beriklan di e-commerce Jawa Pos Surabaya. Populasi dalam penelitian ini adalah

• Tari Klana Alus untuk tingkat 2 /Muda ini menitikberatkan pada penguasaan aspek wiraga, dimana ketiga bagian di atas dapat ditarikan secara tepat dan benar sesuai dengan