• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN MAZHAB PEREMPUAN DAN LAKI L

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERBANDINGAN MAZHAB PEREMPUAN DAN LAKI L"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN MAZHAB : PEREMPUAN DAN

LAKI-LAKI (Personal, Keluarga, Publik)

Oleh:

Muhammad Darmawan Ardiansyah

Dosen Pengampu

Dr. Sri Mulyati, MA

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

Kata Pengantar

Puji syukur saya haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat ihsan dan Islam kepada saya, sehingga berhasil menulis dan menyelesaikan makalah ini yang Alhamdulillah tepat pada waktunya. Tak lupa saya panjatkan sholawat ke Baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membawa manusia menuju zaman terang benderang seperti yang kita rasakan sekarang.

Makalah ini berisikan tentang pandangan para ulama Islam tentang laki-laki dan perempuan dilihat dari aspek personal, keluarga, dan publik. Selain itu, penulis juga menjelaskan mengenai persamaan dan perbedaan laki-laki dan perempuan serta hubungan yang menyangkut diantara keduanya. Tak hanya itu, penulis juga menjelaskan bagaimana posisi laki-laki dan perempuan dalam Islam. Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang indahnya keserasian hubungan diantara laki-laki dan perempuan.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga Allah SWT senantiasa me-ridhai segala usaha kita, Amin.

Ciputat, 16 Desember 2012

(3)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kedudukan wanita dalam pandangan umat-umat sebelum Islam sangat rendah dan hina, mereka tidak menganggapnya sebagai manusia yang mempunyai roh, atau hanya menganggapnya dari roh yang hina. Bagi mereka, wanita adalah pangkal keburukan dan sumber bencana. Adapun bangsa Arab pada masa Jahiliyyah, menganggap wanita hanya sebagai budak atau barang. Pada masa itu wanita tidak mempunyai hak apapun dan tidak mewarisi apapun, bahkan wanita dianggap sebagai sumber aib dan kehinaan. Kemudian datanglah Nabi Muhammad SAW membawa ajaran agama Islam dan mengangkat derajat wanita. Islam memberi wanita derajat setara dengan pria adapun yang membedakan di antara keduanya hanyalah taqwa, hal ini sesuai dengan firman-Nya :

Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al-Hujuraat : 13) Islam telah mengatur urusan kehidupan antara wanita dan pria. Islam memandang pria dan wanita memiliki kedudukan yang sama dimata Allah. Pria dan wanita mempunyai nilai yang sama sesuai dengan kehendak dan perbuatan yang mereka lakukan, sesuai dengan firmannya:



“sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.* (Ali-Imran : 195)

*Maksudnyasebagaimanalaki-lakiberasaldarilaki-lakidanperempuan, Makademikian pula halnyaperempuanberasaldarilaki-lakidanperempuan. Kedua-duanyasama-samamanusia, takadakelebihan yang satudari yang lain tentangpenilaianimandanamalnya.

1.2 RumusanMasalah

Adapunhal-hal yang akansayabahasantaralain :

1. Bagaimana kedudukan personal pria dan perempuan dalam Islam? 2. Bagaimana kedudukan pria dan wanita dalam keluarga?

(4)

5. Bolehkan wanita memimpin sebuah negara menurut hukum Islam?

1.3 TujuanPenulisan

Adapuntujuanpenulisanuntuk kali iniadalah :

1. Pengetahuan tentang persamaan dan perbedaan pria dan wanita. 2. Pemahaman tentang kedudukan wanita dalam keluarga.

3. Pengertian pembagian warisan dalam Islam.

4. Pengetahuan tentang kepemimpinan wanita dalam Islam.

1.4 ManfaatPenulisan

Adapunmanfaat yang ingindicapaidalampenulisaniniadalah : 1. Agar pembaca memahami bahwa Islam memuliakan wanita. 2. Supaya pembaca mengerti tugas serta hak wanita dalam keluarga.

3. Agar pembaca memahami konsep besarnya pembagian warisan dalam Islam. 4. Menghilangkan paradigma bahwa wanita tidak boleh memimpin negara.

BAB II

KEDUDUKAN PERSONAL PRIA DAN WANITA DALAM ISLAM

(5)

persepsi yang peka atau sensitif1. Namun, dalam hal tertentu pria dan wanita memiliki

kewajiban dan hak yang berbeda.

Persamaan hak dan kewajiban antara pria dan wanita adalah : pertama, hukum-hukum yang menyeru keduanya ke jalan keimanan; kedua, hukum-hukum ibadah: shalat, zakat, shaum, dan haji; ketiga, mengemban dakwah; keempat, hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak; kelima, hukum-hukum yang berkaitan dengan muamalat (jual beli, perwakilan, kafalah, dll); keenam, hukum-hukum yang berkaitan dengan berbagai sanksi hudud, jinayat, dan ta,zir; terakhir, kewajiban aktivitas belajar mengajar.Padahukum-hukumini, Islam menetapkanhakdankewajiban yang samabagikaumpriadanwanita.

Adapun perbedaan hak dan kewajiban antara pria dan wanita adalah: pertama, kesaksian dua orang wanita sebanding dengan kesaksian satu orang pria dalam kaitannya dengan sejumlah hak tertentu dan muamalat di dalam komunitas pria (kehidupan umum), sedangkan di kehidupan komunitas wanita, kesaksian 1 orang wanita bisa diterima; kedua, hak wanita dalam pembagian harta warisan separuh dari pria dalam berbagai keadaan; ketiga, Islam memerintahkan agar wanita mengenakan pakaian yang berbeda dengan pakaian pria, Islam melarang satu sama lain untuk tasyabuh dalam pakaian; keempat, Islam telah menetapkan bahwa mahar adalah kewajiban pria terhadap wanita, dan sebaliknya merupakan hak bagi wanita; kelima, Islam menetapkan bahwa usaha untuk mencari nafkah adalah kewajiban bagi seorang pria, sebaliknya tidak diwajibkan bagi kaum wanita, tetapi hanya sekedar mubah; keenam, Islam telah menetapkan urusan kepemimpinan (qawam) di dalam rumah tangga pada pria; ketujuh, Islam menetapkan bahwa seorang istri memiliki hak untuk menyusui anaknya; kedelapan, Islam juga menetapkan bagi wanita untuk memberikan nafkah secara langsung kepada anaknya, jika ayahnya tidak pernah mengunjungi mereka atau kikir, sedangkan pria dalam kondisi ini terlarang.

Negara adalah suatu “entitas”, suatu yang ada atau kenyataan yang bersifat politik dan yuridis, yang terdiri dari suatu masyarakat manusia yang merupakan suatu golongan yang bebas dalam suatu daerah bersama yang kompak (bersatu padu), dan yang tunduk kepada seorang penguasa tertinggi2.Pekembangan pemikiran politik pada zaman pertengahan

sangatlah pesat. Para khalifah sangat besar perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan, tak terbatas hanya ilmu agama dan sosial, tetapi juga ilmu pasti dan ilmu alam. Pada zaman

1 Hashemi Rafsanjani, “Kemerdekaan Wanita Dalam Keadilan Sosial Islam” ( Jakarta, CV.

Firdaus), h. iv

(6)

pertengahan Islam mencapai masa keemasannya dan kemajuan pengetahuan, para khalifah menugaskan para ulama untuk belajar buku-buku asing yang kemudian diterjemahkan ke bahasa arab. Oleh sebab itu, lahirlah para pemikir politik Islam yang membahas tentang kenegaraan dan mengemukakan gagasannya melalui karya tulis. Mereka adalah Ibnu Ar-Rabi, Farabi, Mawardi, Imam Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun dan lain-lain. Sekarang marilah meninjau pandangan para ulama mengenai asal usul negara.

Menurut pendapat Ibnu Ar-Rabi, negara timbul karena pada dasarnya manusia diciptakan untuk berkumpul dan bermasyarakat, serta mereka tak mampu memenuhi segala kebutuhan sendiri tanpa bantuan orang lain. Pendapatnya ini tak jauh berbeda dengan pandangan Plato tentang asal mula negara. Namun, sebagai seorang muslim beliau menambahkan tiga butir pengertian lain: pertama, kecenderungan manusia untuk berkumpul dan bermasyarakat itu watak yang diciptakan oleh Tuhan pada manusia; kedua, Tuhan telah meletakkan peraturan tentang hak dan kewajiban masing-masing anggota masyarakat sebagai rujukan yang harus dipahami; ketiga, Allah telah mengangkat penguasa-penguasa yang bertugas menjaga berlakunya peraturan Tuhan berdasarkan petunjuk Ilahi3.

Hal senada juga di katakan Ibnu Farabi, bahwa negara berasal dari sifat alami manusia untuk bermasyarakat. Adapun tujuan bermasyarakat, menurut Farabi, tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup, tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan hidup yang akan memberikan manusia kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat kelak4.

Sebagaimana Plato, Aristoteles, dan Ibnu Abi Rabi’, Mawardi juga berpendapat bahwa manusia itu adalah makhluk sosial, tetapi Mawardi memasukan unsur agama dalam teorinya. Menurut Mawardi Allah yang menciptakan kita supaya tidak sanggup memenuhi kebutuhan kita seorang diri, tetapi butuh bantuan orang lain. Hal ini bertujuan agar manusia sadar bahwa Allah-lah pencipta kita dan pemberi rezeki, serta kita selalu butuh bantuan-Nya dan pertolongan-Nya.

Tak jauh berbeda dengan Farabi, Imam Ghozali juga berpendapat bahwa manusia itu makhluk sosial.Pendapat Ghozali tersebut disebabkan dua faktor : pertama, kebutuhan akan keturunan demi kelangsungan hidup umat manusia; kedua, saling membantu dalam penyediaan bahan makanan, pakaian, dan pendidikan anak. Adanya kedua faktor tersebut mendorong manusia untuk mendirikan negara demi kebutuhan bersama5. Pendapat serupa

juga diungkapkan oleh Ibnu Khaldun, munculnya negara merupaka tabiat asli manusia

3 Ibid., hlm. 45.

4 Ibid., hlm. 53.

(7)

sebagai mahkluk sosial dan organisasi masyarakat merupakan keharusan bagi hidup manusia. Selain faktor tersebut, ia juga mengemukakan bahwa upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, serta upaya untuk aman dan pembelaan diri terhadap makhluk hidup lain mendorong manusia untuk berkerjasama, itulah sebabnya mengapa organisasi kemasyarakatan merupakan suatu keharusan bagi manusia. Setelah membahas mengenai pembentukan negara, dapat disimpulkan bahwa adanya negara merupakan hasil dari sifat asli manusia sebagai makhluk sosial untuk hidup bermasyarakat, jadi untuk mencapai kesejateraan di dunia dan akhirat perlu diciptakan sebuah negara.

BAB III

KEPEMIMPINAN DAN SYARAT-SYARAT PEMIMPIN

Setelah membahas mengenai asal mula negara, tidak ada pertentangan dalam memahaminya. Pada dasarnya, Allah telah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Namun, dalam kepemimpinan terdapat beberapa perbedaan pandangan ulama akan syarat-syarat menjadi seorang pemimpin dan bagaimana pemimpin dalam islam. Adapun ayat yang menjelaskan bahwa manusia adalah seorang pemimpin yakni :

ماعأنلا) ِضْرلنلا لفِئ لللخ ْمُكلللعلج ْيِذللا لوُه لو

165

(

“Dan Dia-lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi”) Al-An’aam : 165)







“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."(Al-Baqarah : 30)

(8)

menjadikan muslimin mengangkat “Abu Bakar Ash-Shidiq” menjadi khalifah pertama mengantikan Rasulullah S.A.W ialah karena pada waktu Rasulullah sakit, beliau menyuruh Abu Bakar mengantikannya sebagai imam sholat. Para sahabat berkata, “Kalau sekiranya Rasulullah sudah menyerahkan pimpinan urusan agama kepada Abu Bakar, maka beliau juga pasti menyerahkan pimpinan dunia juga kepadanya. Oleh karena itu, menjadi pemimpin dalam Islam tidaklah jauh berbeda dengan menjadi imam dalam shalat6.

Menurut pandangan Ibnu Abi Rabi’ seorang pemimpin haruslah orang yang mulia di Negara atau kota itu, sebab seorang yang menangung amanah besar di pundaknya haruslah orang yang tidak hanya bisa berucap, tapi juga dapat memberikan contoh. Adapun mengenai sistem pemerintahan, Rabi’ lebih memilih sistem monarki, penyebab utamanya adalah sedikitnya kepala yang ikut campur dalam urusan negara, sebaliknya jika banyak kepala ikut campur, maka negara tersebut akan kacau dan sukar membina persatuan7.

Berbedadengan Rabi’, menurutkacamataFarabi, pemimpinnegaraadalahanggotamasyarakat yang tertinggidantersempurna, tentunyaberasaldarikelastertinggi, denganbantuandari orang-orang sekelas.Jadimenurutnya, sebuahnegaraharusdiciptakandaripemimpindahulubarukemudianrakyat,

makaFarabibertujuanmendirikannegarabarudariawal.

Farabimengibaratkanyasepertijantungyangterbentukdahulubarulahkemudianterbentuk organ-organ lainnya8.

Pendapat lain juga dikemukakan oleh Mawardi, ia berpendapat seorang imam harus memiliki tujuh syarat : pertama, sikap adil dengan segala persyaratannya; kedua, ilmu pengetahuan yang memadai; ketiga, sehat pendengaran, pengelihatan, dan lisannya; keempat, utuh anggota tubuhnya; kelima, wawasan yang memadai untuk mengatur kehidupan rakyat dan mengelola kepentingan umum; keenam, keberanian; terakhir, keturunan suku Quraisy9.

Menurut Ghozali, mengangkat seorang kepala negara tidak berdasarkan rasio, tetapi berdasarkan keharusan agama. Hal ini disebabkan, dunia adalah ladang untuk mengumpulkan pembekalan bagi kehidupan di akhirat nanti, dunia merupakan wahana unutk mencari ridho Allah, dan dunia bukan merupakan tempat persinggahan terakhir. Sehingga, seorang pemimpin negara harus mampu melindungi kepentingan rakyat untuk beribadah kepada-Nya dan menggapai ridho-Nya, baik di dunia dan akhirat kelak. Hal ini didasarkan bahwa

6 Fuad Muhd. Fachruddin “Pemikiran Politik Islam” (Jakarta,Pedoman Ilmu Jaya), h. 18.

7 Ibid., hlm. 46.

8 Ibid., hlm. 55.

(9)

keberadaan pemimpin negara merupakan keharusan bagi ketertiban dunia, ketertiban dunia merupakan keharusan bagi ketertiban agama, dan ketertiban agama merupakan keharusan bagi tercapainya kesejahteraan akhirat nanti10.

Setelah membahas mengenai pemimpin menurut pandangan Rabi’, Farabi, Mawardi, dan Ghozali, maka sekarang saatnya membahas kepemimpinan menurut Ibnu Taimiyah. Menurutnya, seorang pemimpin harus bisa menegakkan keadilan sedemikian kuat, sehingga dia beranggapan bahwa kepala negara yang adil meskipun kafir adalah lebih baik daripada kepala negara yang tidak adil meskipun Islam, dengan mengatakan bahwa Allah mendukung negara yang adil meskipun kafir, dan bahwa Allah tidak mendukung negara tidak adil sekalipun Islam11.

Ibnu Khaldun sebagai seorang filsuf muslim juga mengemukakan pendapatnya mengenai kepemimpinan dan syarat-syarat menjadi pemimpin. Menurut Khaldun, seorang pimpinan negara harus memiliki superioritas atau keunggulan dan kekuatan fisik untuk memaksa kehendak dan keputusannya sehingga keputusannya merupakan kata akhir. Selain itu dia juga harus memiliki tentara yang kuat dan loyal kepadanya, guna menjamin keamanan negara terhadap ganguan dari luar. Adapun syarat-syarat pemimpin menurutnya adalah : berpengetahuan luas, adil, mampu, sehat badan serta untuh semua panca inderanya, dan terakhir dari keturunan Quraisy12.

10 Ibid., hlm. 76.

11 Ibid., hlm. 90.

(10)

BAB IV

SISTEM PEMERINTAHAN

Setelah membahas mengenai kepemimpinan dan syarat menjadi pemimpin dalam Islam, maka saatnya membahas bagaimana sistem pemerintahan yang terbaik berserta alasannya. Hal ini sangatlah penting, karena sistem merupakan jalan yang dituju negara untuk mencapai kemakmuran rakyatnya serta kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat kelak. Berikut akan disajikan pendapat para ulama mengenai sistem pemerintahan.

Banyak sekali sistem pemerintahan di dunia ini, namun Ibnu Abi Rabi’ memilih sistem monarki atau kerajaan di bawah pimpinan seorang raja serta penguasa tunggal sebagai bentuk terbaik. Rabi juga menolak sistem pemerintahan aristokrasi, oligarki, demokrasi, dan demagogi, yang menurutnya akan menimbulkan kekacauan atau anarki. Alasanya mengapa Ibnu Abi Rabi’ memilih monarki sebagai bentuk pemerintahan yang terbaik adalah keyakinan bahwa dengan banyak kepala, maka politik negara akan terus kacau dan sukar membina kesatuan.

Farabi mempunyai pendapat lain mengenai negara, menurutnya negara terbaik dan terunggul adalah negara sempurna kecil atau negara kota (polis)13. Pendapat ini sejalan

dengan pemikiran Aristoteles yang menganggap negara kota merupakan sistem perpolitikan terbaik. Hal ini disebabkan, idealisasi pola politik menurut dia, negara nasional kadang-kadang tidak memperdulikan kepentingan politik negara kota, maka dengan negara kota yang lebih kecil, rakyat mudah menuju kesejahteraan. Berbeda dengan Farabi, Mawardi lebih menekankan untuk sistem monarki, ia juga menekankan bahwa khalifah harus berbangsa

(11)

Arab dari suku Quraisy,dan bahwa wazir tafwidhatau pembantu utama khalifah dalam penyusunan kebijakan harus berbangsa Arab14.

Allah S.W.T berfirman :







“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu*. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”(Ali-Imran : 159)

*Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya.

Menurut Ibnu Taimiyah, maksud dari ayat di atas adalah seorang kepala negara tidak boleh meninggalkan musyawarah. Nabi Muhammad S.A.W sendiri amat terkenal gemar bermusyawarah. Kalau saja Nabi diperintahkan oleh Allah untuk bermusyawarah, apa lagi manusia biasa. Oleh karena itu, kepala negara harus bermusyawarah dan meminta pendapat para ahli, dia harus mengikuti pendapat mereka selama pendapat itu sejalan dengan Al-Quran, Sunnah Nabi dan konsensus antara umat Islam15. Menarik di sini adalah kata-kata

konsensus yang sesuai dengan demokrasi, maka kami berpendapat Ibnu Taimiyah lebih cenderung ke demokrasi.

14 Ibid., hlm. 63.

(12)

Watak manusia adalah agresif dan bersifat tidak adil, maka dibutuhkan seorang penengah yang mempunyai pengaruh kuat atas anggota masyarakatitu sendiri. Penengah tersebut harus mempunyai kekuasaan otoriter atas mereka, sehingga tak ada anggota masyarakat dapat menggangu dan menyerang anggota masyatakat lain. Tokoh tersebut secara tak langsung adalah seorang raja atau kepala negara16. Secara tak langsung, Ibnu Khaldun

berpendapat bahwa sistem pemerintahan terbaik adalah monarki.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Pada dasarnya para ulama sependapat bahwa asal mula lahirnya suatu negara tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan lahiriah manusia saja, tetapi juga kebutuhan rohaniah dan ukhrawiyah. Sedangkan dalam kepemimpinan para ulama lebih cenderung memilih pemimpin yang mempunyai kredibilitas tinggi, kompeten, dan dapat membimbing masyarakatnya dalam beribadah kepada Allah SWT. Sehingga kebutuhan batiniyah dan lahiriyah seorang manusia bisa tercukupi.

Dari pembahasan mengenai sistem pemerintahan para ulama lebih cenderung memilih sistem monarki, karena pada saat itu sistem monarki adalah sistem pemerintahan yang terbaik pada masanya. Namun, seiring perkembangan zaman, globalisasi, dan dibentuknya DUHAM, maka manusia lebih cenderung meninggalkan sistem monarki dan menjunjung tinggi persamaan hak yang diusung oleh sistem demokrasi.

Sebagaimana dikemukakan oleh Nurcholis Majid, pidato Abu Bakar sesaat setelah dirinya diangkat menjadi khalifah mengambarkan sebuah “kekuasaan konstitusional” bukan mutlak perorangan dan unsur struktural politik Islam klasik merupakan sistem perpolitikan yang sangat modern17. Pemilihan khalifah pada zaman Abu Bakar merupakan contoh sistem

pemilihan yang demokratis berdasarkan musyawarah. Maka, sistem perpolitikan Indonesia sudah benar mengunakan demokrasi, hanya dalam beberapa hal berbeda dengan sistem

16 Ibid., hlm. 101.

17 Nurcholish Majid, “Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi” (Jakarta, Paramadina 1999),

(13)

politik Islam. Perbedaan ini disebabkan, demokrasi dikembangkan di Barat maka ia terkesan bertentangan dengan Islam, padahal nilai yang digunakan sama.

4.2 Saran

Dengan penjelasan-penjelasan diatas diharapkan dapat memberikan pengertian yang jelas terhadap kepemimpinan dalam islam. Islam sebagai agama syumuli bukan hanya menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah sebuah agama yang sempurna dan lengkap dengan peraturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara. Hendaknya kita sebagai umat Islam menginstropeksi diri sebelum menjadikan khilafah sebagai sistem pemerintahan dalam negara. Khilafah runtuh bukan karena Islam akan tetapi runtuhnya disebabkan karena tidak dijalankan sesuai dengan apa yang telah dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW.

Referensi

Dokumen terkait

Keuntungan bagi pengembang, antara lain, (1) aplikasi yang ber-VBA merupakan apikasi open-system, melalui model obyek, dan komponen berbasis Active-X, akan dapat berguna bagi

Persoalan tentang begaimanakah pandangan syariat terhadap pembatan kelahiran dijelaskan Syaltût dengan mengedapankan surat al Nahl ayat 72, kemudian ia mengemukakan

Diketahui tingkat kematangan dari proses evaluasi yang dilakukan COBIT 5 dengan menggunakan proses DSS01, DSS02, DSS04, APO08 dan BAI04 rata-rata pada tingkat 2

Meskipun pada tingkat tertentu Dewan Adat sering dituduh sebagai kekuatan separatis (Pro-M) di Fakfak, namun mereka telah menjadi katalisator yang baik bagi

Setelah penulis memberikan kesimpulan dari hasil penelitian tentang pengaruh kualitas pelayanan dan citra perusahaan terhadap loyalitas nasabah pada AJB Bumiputera

Shalat dhuha dilakukan secara bersama-sama yang di teliti kelas 1 sebanyak 33 siswa, yang aktif dalam melaksanakan shalat dhuha 27 siswa maka yang

Jika umur David saat ini adalah 14 tahun, atau sama dengan ½ dari jumlah umur Alex dan Cheryl, maka jumlah umur mereka berempat pada 5 tahun yang.. akan datang adalah

Kajian yang berbentuk kuasi-eksperimen ini bertujuan menilai keberkesanan aktiviti ‘Brain Gym’ terhadap perkembangan kognitif kanak-kanak prasekolah secara keseluruhan, dan