• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUGAS HUKUM LINGKUNGANNN DAN ID

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TUGAS HUKUM LINGKUNGANNN DAN ID"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Lingkungan hidup merupakan anugerah terbesar yang telah diberikan oleh Allah SWT dan wajib dilestarikan serta dikembangkan kemampuannya agar tetap dapat menjadi sumber penunjang hidup bagi manusia dan makluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri. Oleh karena itu diperlukan pembangunan yang selaras dengan alam semesta ini.

Manusia sejak dilahirkan dunia ini, telah berada pada suatu lingkungan hidup, lingkungan hidup adalah bagian mutlak yang tidak dapat terlepas dari kehidupan manusia. Manusia dengan segala aktivitas hidupnya mencari makan, minum serta memenuhi kebutuhan lainnya, adalah karena terdapatnya lingkungan hidup sebagai sumber pertama dan terpenting bagi pemenuhan berbagai kebutuhan tersebut. Oleh karena itu, seharusnya manusia menjaga dan melestarikan lingkungan dengan baik, serta tidak melakukan hal-hal yang dapat menyebabkan kerusakan pada lingkungan, karena lingkungan adalah bagian terpenting dari kehidupan manusia, berkaitan dengan lingkungan hidup diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Penegakan pembangunan di sektor industri, di samping telah memperbesar usaha pendayagunaan sumber daya alam, baik langsung maupun tidak langsung, juga mempengaruhi perubahan rona lingkungan fisik yang seringkali kurang menguntungkan bagi kelestarian fungsi dan kesinambungan lingkungan hidup, walaupun pembangunan lingkungan hidup telah mendapatkan perhatian dalam pelaksanaan pembangunan selama ini. Menurunnya fungsi lingkungan hidup dipengaruhi pula oleh semakin meningkatnya satuan limbah industri maupun domestik yang menimbulkan pencemaran air, tanah dan udara.

(2)

masalah yang sangat mendesak untuk segera ditangani bagi kehidupan manusia, karena dalam hal ini manusia menjadi pelaku sekaligus sebagai korbannya. Keadaan semacam ini membuat lingkungan terancam oleh potensi krisis lingkungan.

Tragedi bencana lumpur Lapindo terjadi 7 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2006, namun permasalahannya belum terselesaikan hingga saat ini, ini para korban lumpur Lapindo belum mendapatkan semua hak-haknya dari PT Lapindo. Berdasarkan Perpres Nomor 68 tahun 2011, pembayaran ganti rugi sudah selesai pada 2011. Perpres tentang lumpur lapindo mengalami beberapa kali perubahan yaitu Perpres No 14/2007, kemudian Perpres No. 40/2009. Bencana Lumpur Lapindo tidak hanya merugikan warga masyarakat Porong Sidoarjo, namun juga merugikan pemerintah yang mengalokasikan aggaran dari APBN untuk menenggulangi bencana serta membayar ganti rugi kepada masyarakat. Ketika, dana APBN digunakan untuk menanggulangi kerugian yang terjadi tentunya, semua masyarakat Indonesia menanggung akibat dari lumpur Lapindo karena dana APBN berasal dari hasil pajak yang dibayarkan oleh warga masyarakat kepada negara.

Berlarutnya proses penyelesaian lumpur Lapindo menambah daftar panjang lemahnya Pemerintahan SBY dalam menghadapi berbagai permasalahan besar di negeri ini. Lemahnya pemerintah menghadapi korporasi besar menunjukkan bukti bahwa sebuah korporasi dapat mempengaruhi kebijakan politik suatu negara. Korporasi dengan kemampuan finansial yang besar akan menjadi ancaman stabilitas suatu negara apabila negara tersebut tidak membuat suatu sistem kontrol dan regulasi yang tepat tentang korporasi. Korporasi menjadi pedang bermata ganda, disatu sisi mempunyai kemampuan meningkatkan kesejahteraan dan ekonomi suatu negara, disisi lain korporasi mempunyai potensi untuk merugikan negara yang bersangkutan.

Tujuh tahun sudah lumpur panas Lapindo merendam ribuan rumah warga di Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Tanda-tanda lumpur akan berhenti menyembur dari permukaan tanah juga tidak terlihat. Sementara para korban yang harus merelakan harta bendanya terendam, hingga kini nasibnya masih terkatung-katung.1[2] Meski sudah tujuh tahun berlalu, proses ganti rugi oleh PT Minarak Lapindo Jaya, anak perusahaan PT Lapindo, belum juga terselesaikan. Tujuh tahun berlalu seakan penegakan hukum terhadap PT. Lapindo tidak terdengar.

Untuk itulah kelompok kami mengambil kajian penegakan hukum lingkungan dalam kasus PT Lapindo. Selain sebagai tugas struktural kajian ini diharapkan dapat

(3)

mengembangkan wawasan hukum lingkungan terutama dalam permasalahan penegakan hukum lingkungan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah penegakan hukum lingkungan terhadap kasus PT. Lapindo yang

menimbulkan kerugian bagi masyarakat Sidoarjo ?

2. Faktor-faktor apa sajakah yang menghambat penegakan hukum lingkungan terhadap kasus PT. Lapindo ?

BAB II PEMBAHASAN

2.1

Penegakan Hukum Lingkungan Terhadap Kasus PT. Lapindo Yang

Menimbulkan Kerugian Bagi Masyarakat Sidoarjo

(4)

sikap tindak sebagai rangkaian pejabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan memepertahankan kedamaian pergaulan hidup.

Penegakan hukum terjadi apabila nilai, kaidah dan pola perilaku tidak berjalan seiring sejalan. Sehingga penegakan hukum bukan hanya bicara mengenai pelaksanaan peraturan perundang-undangan tetapi keseluruhan komponen komperhensif yang mendukung penegakan hukum. Penegakan hukum terkait sebuah sistem terdiri dari sub-sub sistem atau elemen yang menentukan bagaimana suatu hukum bekerja sebuah sinergi. Meminjam pendapat dari Lawrence M Friedman, yang menyatakan bahwa dalam bekerjanya sistem hukum dipengaruhi oleh 3 elemen (Three Elements of Legal System), yaitu:

1. Komponen struktur, yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut. Komponen ini dimungkinkan untuk melihat bagaimana sistem hukum itu memberikan pelayanan terhadap penggarapan bahan-bahan hukum secara teratur.

2. Komponen Substantif, yaitu sebagai output dari sistem hukum, berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur.

3. Komponen kultural, yaitu terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum atau oleh Lawrence M Friedman disebut sebagai kultur hukum. Kultur hukum inilah yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara peraturan hukum dengan tingkah laku hukum seluruh warga masyarakat.

(5)

Penggunaan sanksi-sanksi hukum pidana hanya dapat dilakukan oleh instansi-instansi pemerintah. Penggunaan instrumen hukum perdata, yaitu gugatan perdata, dapat dilakukan oleh warga, badan hukum perdata dan juga instansi pemerintah. Namun, jika dibandingkan di antara ketiga bidang hukum, sebagian besar norma-norma hukum lingkungan termasuk ke dalam wilayah hukum administrasi negara.

Berdasarkan dua konsepsi penegakan hukum secara umum dan penegakan hukum lingkungan secara khusus, maka kami sepakat bahwa, penegakan hukum lingkungan dalam kasus PT. Lapindo adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaiadah yang mantap dan mengejawantah serta sikap tindak sebagai rangkaian pejabaran nilai atau penggunaan atau penerapan instrumen-instrumen dan sanksi-sanksi dalam lapangan hukum administrasi, hukum pidana dan hukum perdata dalam kasus PT. Lapindo.

Semburan lumpur panas itu muncul pertama kalinya pada 29 Mei sekitar pukul 05.00. Terjadinya di areal persawahan Desa Siring, Kecamatan Porong. Kabupaten Sidoarjo sekitar 150 meter barat daya sumur Banjar Panji 1 yang dikerjakan oleh Lapindo Brantas Inc.Selama tiga bulan Lapindo Brantas Inc, melakukan pengeboran vertikal untuk mencapai formasi geologi yang disebut Kujung pada kedalaman 10.300 kaki. Sampai semburan lumpur pertama itu, yang dalam dunia perminyakan dan gas disebut blow out, telah dicapai kedalaman 9.297 kaki (sekitar 3,5 kilometer). Kedalaman ini dicapai pukul 13.00 dua hari sebelum blow out.Sesuai kelaziman pada pengeboran di kedalaman tersebut, lumpur berat masuk pada lapisan, disebut loss, yang memungkinkan terjadinya tekanan tinggi dari dalam sumur ke atas atau kick, antisipasinya menarik pipa untuk memasukkan casing yang merupakan pengaman sumur. Ketika penarikan pipa hingga 4.241 kaki, pada 28 Mei, terjadi kick. Penanggulangan ini adalah dengan penyuntikan lumpur ke dalam sumur. Ternyata bor macet pada 3.580 kaki, dan upaya pengamanan lain dengan disuntikan semen. Bahkan pada hari itu dilakukan fish, yakni pemutusan mata bor dari pipa dengan diledakan. Kemudian yang terjadi adalah semburan gas dan lumpur pada subuh esok harinya.

(6)

peristiwa ini, sebagian penduduk Dusun Siring Tangunan dan Dusun Renomencil berjumlah 188 KK atau 725 Jiwa terpaksa mengungsi ke Balai Desa Renokenongo dan Pasar Baru Porong.

Melihat dampak yang begitu besar dari semburan lumpur Lapindo, maka dilakunanlah penegakan hukum dalam ranah pindana. Kepolisian mencoba menangani kasus lumpur lapindo dengan menggunakan peraturan lingkungan yang lama yaitu Undang-Undang 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup dan KUHP. Hal ini dikarenakan kasus yang terjadi ada di tahun 2006 yang meluas hingga tahun-tahun berikutnya, hingga sekarang.

Polri sebagai penyidik dalam kasus pelanggaran korporasi ini tentu tidak mempunyai kapasitas atau kemampuan terkait dengan teknik dan mekanisme pengeboran. Pencarian alat bukti yang dapat dilakukan oleh Polri adalah dengan melakukan pemeriksaan terhadap para saksi yang terlibat atau terkait dengan bencana lumpur lapindo, memeriksa dokumen pendukung hasil pemeriksaan para saksi dan tentunya mempedomani pendapat ahli untuk mengetahui atau mengkonfirmasi hasil penyidikan dengan ahli terkait bidang tersebut. Pendapat ahli terkait peristiwa lumpur lapindo bukan merupakan hal yang sulit bagi Polri untuk mendapatkannya karena peristiwa tersebut telah menarik perhatian para ahli baik dalam lingkup nasional maupun internasional sebagai bahan kajian keilmuan, karena peristiwa tersebut langka terjadi dan menjadi referensi mereka (para ahli) untuk memperoleh pengetahuan yang baru terkait ilmu geologi.

(7)

penyebab semburan adalah kesalahan operasi yang dilakukan oleh Lapindo. Lapindo telah lalai memasang casing, dan gagal menutup lubang sumur ketika terjadi loss dan kick, sehingga Lumpur akhirnya menyembur.

Proses pidana dilakukan oleh penyidik kepolisian dari POLDA Jawa Timur, dalam kasus ini, Polda Jawa Timur telah menetapkan 13 tersangka, yaitu 5 orang dari PT Medici Citra Nusantara, 3 orang dari PT Lapindo Brantas, 2 orang dari PT Energi Mega Persada dan 3 orang dari PT Tiga Musim Jaya. Para tersangka dijerat Pasal 187 dan Pasal 188 KUHP dan UU No 23/1997 Pasal 41 ayat 1 dan Pasal 42 tentang pencemaran lingkungan, dengan ancaman hukum 12 tahun penjara. Adapun nama-nama tersangka yang ditetapkan adalah sebagai berikut:

1. Ir. EDI SUTRIONO selaku Drilling Manager PT. Energy Mega Persada, Tbk;

2. Ir. NUR ROCHMAT SAWOLO, MESc selaku Vice President Drilling Share Services PT. Energy Mega Persada, Tbk.;

3. Ir. RAHENOD selaku Drilling Supervisor PT. Medici Citra Nusa; 4. SLAMET BK selaku Drilling Supervisor PT. Medici Citra Nusa; 5. SUBIE selaku Drilling Supervisor PT. Medici Citra Nusa;

6. SLAMET RIYANTO selaku Project Manager PT. Medici Citra Nusa; 7. YENNY NAWAWI, SE selaku Dirut PT. Medici Citra Nusa

8. SULAIMAN Bin H.M. ALI selaku Rig Superintendent PT. Tiga Musim Mas Jaya; 9. SARDIANTO selaku Tool Pusher PT. Tiga Musim Mas Jaya

10. LILIK MARSUDI selaku Driller PT. Tiga Musim Mas Jaya. 11. WILLEM HUNILA selaku Company Man Lapindo Brantas, Inc;

12. Ir. H. IMAM PRIA AGUSTINO selaku General Manager Lapindo Brantas, Inc: dan 13. Ir. ASWAN PINAYUNGAN SIREGAR selaku mantan General Manager Lapindo

Brantas, Inc.

Proses penyidikan tentang dugaan tindak pidana oleh polda Jawa timur berujung pada penerbitan Surat penghentian Penyidikan (SP3) yang dikeluarkan Kepolisian Daerah Jawa Timur (Polda Jatim) kasus Lumpur Lapindo pada Jum’at 7 Agustus 2009 dengan alasan: 1) Dikarenakan keluarnya penolakan dua putusan gugatan perdata YLBHI dan Walhi di PN

Jakpus dan PN Jaksel yang menyatakan tak ada perbuatan melawan hukum dalam kasus Lapindo.

(8)

3) Belum ada ahli yang bisa membuktikan korelasi antara sebab semburan lumpur dan keberadaan sumur pengeboran.

Dikeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) oleh Polda Jatim, 5 Agustus 2009: memperhatikan karena tidak cukup bukti setelah empat kali berkas perkara dikembalikan kejaksaan karena kepolisian tidak bisa memenuhi petunjuk formil dan materiil serta memperhatikan putusan perkara perdata yang sudah inkracht, yang pertama antara Walhi dengan Pemerintah RI dan Lapindo yang kedua antara YLBHI dengan Pemerintah RI dan Lapindo, maka pada para tersangka tidak ditemukan unsur perbuatan melawan hukum dan perbuatan/peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana.

Kemudian Sidang putusan Pengadilan Surabaya: Tanggal 30 Maret 2010, No: 07/PRAPER/2010/PN.SBY, menolak gugatan Pra Peradilan atas putusan SP3 Polda Jatim, dengan konsekuensi hukum: SP3 tersebut menjadi kokoh atas putusan pengadilan tersebut, sehingga secara pidana, Lapindo Brantas, Inc tidak bersalah. Hal inilah yang mengakibatkan penegakan hukum pidana terhadap permasalahan ingkungan PT. Lapindo berhenti.

Penegakan hukum yang bersifat keperdataan pun dilaksanakan yaitu dengan melakukan gugatan legal standing. Pada 27 November 2007, Pengadilan Jakarta Selatan menolak gugatan legal standing Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) terhadap pihak-pihak yang dinilai bertanggung jawab atas menyemburnya lumpur panas. Hakim menyatakan munculnya lumpur akibat fenomena alam. Pengadilan Jakarta Pusat menolak gugatan korban yang diajukan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Hakim beralasan, Lapindo sudah mengeluarkan banyak dana untuk mengatasi semburan lumpur dan membangun tanggul. Terakhir, Mahkamah Agung juga menolak permohonan uji materi atas Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007.

Putusan PT Jakarta 13 Juni 2008 Menguatkan putusan PN Jakarta Pussat 27 November 2007 bahwa adanya kejadian Lumpur Sidoarjo karena kecenderungan gejala alam lebih dominan, bukan kesalahan manusia. Putusan Kasasi MA 3 April 2009 Menolak permohonan Kasasi YLBHI , bahwa semburan lumpur merupakan fenomena alam dan bukan kesalahan industri dan putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht).

(9)

Panitera PN Jakarta Selatan 14 Januari 2009 yang menyatakan masing-masing pihak tidak mengajukan Kasasi, sehingga secara hukum Putusan PT Jakarta 27 Oktober 2008 mempunyai kekuatan hukum tetap (Inkracht).

Manusia mempunyai hubungan timbal balik dengan lingkungannya. Aktifitasnya mempengaruhi lingkungannya. Sebaliknya, manusia juga dipengaruhi oleh lingkungannya. Hubungan timbal balik demikian terdapat antara manusia sebagai individu atau kelompok atau masyarakat dan lingkungan alamnya. Perkembangan selanjutnya pada abad ke-20, dalam waktu yang relatif singkat, keseimbangan antara kedua bentuk lingkungan hidup manusia tersebut mengalami gangguan, secara fundamental mengalami konflik. Inilah yang dianggap sebagai awal krisis lingkungan, karena manusia sebagai pelaku sekaligus menjadi korbannya.

Sangat sulit jika sesama manusia mengklaim benar atau salah terhadap lingkungan, sehingga alternatif solusi yang dikedepankan ialah bagaimana cara memperbaiki lingkungan. Secara administratif permasalahan hukum lingkungan tidak dapat berdiri sendiri-sediri antara pihak korban dan pelaku, selalu ada peranan pemerintah di dalamnya. Atas kejadian semburan Lumpur Lapindo, Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2007, Lapindo Brantas bertanggung jawab membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena dampak luapan lumpur lapindo. Berdasarkan hal tersebut maka Lapindo mau bertanggungjawab terhadap kerugian yang ditimbulkan dengan cara membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena dampak luapan lumpur lapindo.

(10)

Kedua, progres pembelian tanah dan bangunan oleh BPLS di wilayah 3 (tiga) desa yaitu Kedungcangkring, Besuki, dan Pejarakan, termasuk untuk fasilitas umum/sosial, sesuai Perpres Nomor 48 tahun 2008 mengikuti tahapan pembayaran PT MLJ. Dalam hal ini realisasi per April 2012 mencapai Rp. 508.097.357.976 atau 80,94 % dari target penyelesaian sebesar RP. 627.782.942.810. Artinya masih tersisa 19,06 % yang belum terealisasi, namun pemerintah tetap optimis terhadap penyelesaian sisa pembayaran karena penanganan masalah sosial kemasyarakatan ini direncanakan selesai pada tahun anggaran 2012. Tambahan lagi, bahwa penanganan pembelian tanah dan bangunan warga dengan satuan yang telah dijelaskan tersebut meliputi 70 Ha, 1.790 Kepala keluarga, dan 6.094 jiwa.

Ketiga, Perpres Nomor 40 Tahun 2009 dan Perpres Nomor 68 tahun 2011 tentang PAT 9 (sembilan) Rukun Tetangga (RT) melalui penanganan BPLS per Maret 2012 telah menyalurkan bantuan uang jaminan bulan ketiga kepada warga 9 RT dan pembayaran 20 % pembelian tanah dan bangunan di wilayah 3 RT di Kelurahan Siring dan Jatirejo direncanakan pada pertengahan Maret 2012. Sedangkan pembayaran 20 % pembelian tanah dan bangunan di wilayah 3 RT di Kelurahan Mindi belum dapat dilaksanakan karena masih adanya resistensi warga 18 RT di Kelurahan Mindi. Dalam konteks kasus ini, BPLS merencanakan pembayaran 80 % akan dilakukan pada Mei 2012. Secara keseluruhan persoalan penanganan masalah sosial kemasyarakatan direncanakan selesai pada tahun anggaran 2012 dengan total biaya Rp. 436.797.455.650 dan bantuan sosial berupa kontrak rumah 2 tahun, tunjangan hidup 6 bulan, dan biaya evakuasi Rp. 15.954.468.000. Perlu pula diketahui bahwa pertimbangan sebagai daerah yang dianggap tidak layak huni didasarkan pada rekomendasi gubernur setempat dari hasil studi Tim Kajian Kelayakan Permukiman yang meliputi 9 RT dan 3 Desa, yaitu Siring Barat, Jatirejo, dan Mindi serta mencakup 31 Ha, 761 KK, dan 2.942 jiwa.

(11)

sehingga ada optimism bahwa masalah penanganan pembayaran bantuan sosial oleh BPLS dapat diselesaikan pada tahun anggaran 2012 ini.

Berdasarkan data yang diungkapkan di atas, jelas bahwa pemerintah sangat serius dan konsisten dalam penanganan lumpur Lapindo, di mana kewajiban pihak swasta yang bertanggungjawab terhadap terjadinya masalah lumpur Lapindo telah dipagari dengan norma peraturan yang cukup tegas dan mengikat. Namun, pemerintah juga menyadari bahwa tuntutan masyarakat terhadap pemerintah untuk penyelesaian penanganan lumpur Lapindo dengan segera dapat dipahami dan diterima, tetapi di lain pihak, publik diharap dapat menyadari bahwa terapi penyelesaian lumpur Lapindo memerlukan kecermatan dan pendekatan komprehensif agar setiap tahapan penanganan tidak menimbulkan persoalan baru dari aspek hukum, ekonomi, sosial-budaya, dan hak-hak warga negara itu sendiri.

Berdasarkan pembahasan di atas dapat diketahui bahwa, penegakan hukum lingkungan terhadap kasus PT. Lapindo yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat Sidoarjo tidak hanya dilakukan dalam ranah hukum pidana, tetapi juga bidang hukum lainnya. Hukum pidana maupun hukum perdata terbukti tidak dapat menanggulangi kerugian korban lumpur lapindo. Atas kejadian semburan Lumpur Lapindo, Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2007, Lapindo Brantas bertanggung jawab membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena dampak luapan lumpur lapindo. Berdasarkan hal tersebut maka Lapindo mau bertanggungjawab terhadap kerugian yang ditimbulkan dengan cara membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena dampak luapan lumpur lapindo.

2.2 Faktor-Faktor Yang Menghambat Penegakan Hukum Lingkungan Terhadap

Kasus PT. Lapindo

Soerjono Soekanto menyatakan bahwa masalah penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya.Faktor faktor tersebut adalah sebagai berikut :

a. Faktor Hukum/ Undang-undang

(12)

diamanatkan demikian, kemudian adapula undang-undang yang tidak diikuti asas-asas berlakunya undang-undang serta ketidakjelasan arti kata-kata dalam undang-undang yang mengakibatkan kesimpangsiuran dalam penafsiran dan penerapannya.

Pada saat bencana lumpur lapindo, Pemerintah belum memiliki aturan yang jelas mengenai bencana yang disebabkan manusia yang juga merupakan bencana alam, sehingga Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang BPLS. Kendala terbesar dalam proses penyidikan lumpur lapindo adalah adanya celah yang menguntungkan dengan terjadinya bencana gempa di Yogyakarta dengan peristiwa tersebut, sehingga ada alasan berlindung bagi korporasi untuk tidak bertanggung jawab sehingga ketika dianggap menjadi sebuah bencana alam maka pemerintah yang bertangunggjawab. Kedua persepsi antara bencana alam dan bencana teknologi yang dimanfaatkan oleh korporasi untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dan proses hukumnya.

b. Faktor Penegak Hukum

Ruang lingkup suatu penegakan hukum adalah sangat luas, karena mencakup mereka yang secara langsung maupun tidak langsung berkecimpung dalam penegakan hukum.

Untuk membatasi hal yang luas tersebut maka mengartikan penegakan hukum skala subjektif penegakan hukum haruslah tertentu yaitu polisi, jaksa, hakim, dan pengacara. Faktor penegak hukum memegang peran dominan. Beberapa permasalahan yang dihadapi penegak hukum antara lain:

1) Tingkat aspirasi yang belum tinggi

2) Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi.

3) Belum adanya kemampuan menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan materil.

4) Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.

5) Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi.

Polri sebagai penyidik dalam kasus pelanggaran korporasi ini tentu tidak mempunyai kapasitas atau kemampuan terkait dengan teknik dan mekanisme pengeboran. Berdasarkan hal tersebut maka terlihat ada kekurangan atau kelemahan dalam bidang struktural, yaitu penguasaan pembuktian terhadap tindak pidana yang memerlukan teknologi tinggi.

(13)

telah dilanggar. Instrumen penting dalam penegakan hukum preventif adalah penyuluhan, pemantauan dan penggunaan kewenangan yang bersifat pengawasan (pengambilan sampel, penghentian mesin dan sebagainya). Dengan demikian izin penegak hukum yang utama di sini adalah pejabat atau aparat pemerintah yang berwenang memberi izin dan mencegah terjadinya pencemaran lingkungan. Penegakan hukum represif dilakukan dalam hal perbuatan yang melanggar peraturan.

Dalam rangka efektifitas tugas negara, Pasal 25 U.U.P.L.H No.23 Tahun 1997 dan UU 32 Tahun2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memungkinkan Gubernur untuk mengeluarkan paksaan pemerintah untuk mencegah dan mengakhiri pelanggaran, untuk menanggulangi akibat dan untuk melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan dan pemulihan. Disamping paksaan pemerintah, upaya lain yang dapat dilakukan pemerintah adalah melalui audit lingkungan. Audit lingkungan merupakan suatu instrumen penting bagi penanggung jawab usaha dan atau kegiatan untuk meningkatkan efisiensi kegiatan dan kinerjanya dalam menaati persyaratan lingkungan hidup yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Audit lingkungan hidup dibuat secara sukarela untuk memverifikasi ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan lingkungan hidup yang berlaku, serta dengan kebijaksanaan dan standar yang diterapkan secara internal oleh penanggung jawab usaha atau kegiatan yang bersangkutan. Seharusnya Kepala daerah dapat melakukan pengawaasan yang baik, namun keenangan tersebut tidak dilaksanakan.

c. Faktor Sarana atau Fasilitas

Tanpa adanya fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan lainnya.

Penegakan hukum lingkungan terhadap kasus lingkungan di pengaruhi juga oleh teknologi yang kurang mendukung. Penegakan hukum lingkungan terhadap kasus lingkungan menemui hambatan apabila berkaitan dengan proses pembuktian, apakah lumpur lapindo di pengaruhi kesalahan manusia atau kehendak alam. Hal ini tentunya diperlukan alat-alat atau tekhnologi canggih.

(14)

Kebudayaan pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianut) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus diserasikan.

Pada beberapa kasus, kejahatan lingkungan terjadi karena masih kentalnya budaya korupsi, kolusi dan nepotisme antara perusahaan-perusahaan, pemerintah maupun DPR. Korupsi dana jual beli lahan lapangan sepak bola oleh pihak desa kepada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) segera dituntaskan proses hukumnya.

Budaya korup inilah yang menyengsarakan rakyat di samping bencana semburan lumpur yang menimbulkan kerugian. Budaya korupsi ini menghambat penegakan hukum lingkungan, karena pelaksanaan ganti rugi berupa jual beli tanah terdampak tidak berjalan sebagaimana mestinya.

BAB III PENUTUP

3.1 Simpulan

Berdasarkan hasil temuan dan pembahasan, maka di dapatkan simpulan sebagai berikut:

(15)

bertanggungjawab terhadap kerugian yang ditimbulkan dengan cara membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena dampak luapan lumpur lapindo.

2. Faktor faktor yang menghambat penegakan hukum lingkungan dalam kasus Lapindo antara lain faktor Hukum/ Undang-undang yaitu, pada saat bencana lumpur lapindo, Pemerintah belum memiliki aturan yang jelas mengenai bencana yang disebabkan manusia yang juga merupakan bencana alam, sehingga Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang BPLS. Faktor Penegak Hukum yaitu, Polri sebagai penyidik dalam kasus pelanggaran korporasi ini tentu tidak mempunyai kapasitas atau kemampuan terkait dengan teknik dan mekanisme pengeboran. Selain itu kepala daerah seharusnya dapat melakukan pengawaasan yang baik, namun keenangan tersebut tidak dilaksanakan. Sarana dan prasarana juga mempengaruhi penegakan hukumhal ini dikarenakanbelum adanya alat-alat atau tekhnologi caanggih. Budaya korupsi juga ikut menghambat penegakan hukum lingkungan, karena pelaksanaan ganti rugi berupa jual beli tanah terdampak tidak berjalan sebagaimana mestinya.

3.2 Saran

1. Sebaiknya dilakukan pengawasan terhadap pelaksanaan ganti rugi Lapindo terhadap korban oleh pemerintah.

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini didasarkan hasil wawancara dengan Bapak Riyadi selaku Kepala Madrasah MTs Surya Buana Malang : “Tentunya sangat berdampak sekali dengan adanya reward dan punishment,

aplikasi pupuk organik cair berpengaruh nyata terhadap semua parameter yang diukur Hasil analisis data menunjukkan bahwa tanaman kedelai yang tumbuh pada media

assignment. Pada penelitian ini, peneliti ingin menganalisis pengaruh penerapan pendekatan CTL berbantuan media powerpoint terhadap peningkatan hasil belajar siswa

Berdasarkan analisis dan pembahasan hasil penelitian cerpen Eka Kurniawan yang berjudul Teman Kencan , Kisah dari Seorang Kawan, dan Hikayat Si Seorang Gila, ditemukan

dapat memberikan informasi strategik yang dapat mendukung proses evaluasi dan perencanaan akademik di bidang akademik kemahasiswaan yang dibutuhkan oleh pihak manajemen dalam

Dari hasil yang diperoleh, maka dapat dikatakan bahwa Spirulina dapat digunakan sebagai immunostimulator, yang dapat membentuk/meningkatkan atau merangsang timbulnya

Hasil analisis data menunjukkan bahwa pembelajaran matematika menggunakan metode guided discovery learning dengan setting kolaboratif dapat meningkatkan keingintahuan

Pengamatan lebih mendalam terhadap karakter pola ikatan pembuluh terkait dengan perannya sebagai bahan baku pulp dan kertas terlihat bahwa bambu pada pola 1 mempunyai ciri