• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM ISLAM (2)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM ISLAM (2)"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM ISLAM

(Studi Pemikiran M. Quraish Shihab)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana dalam Bidang Falsafah dan Agama

Disusun Oleh:

Fitriyani

210000005

PROGRAM STUDI FALSAFAH DAN AGAMA FAKULTAS FALSAFAH DAN PERADABAN

UNIVERSITAS PARAMADINA JAKARTA

(2)
(3)

iii

(4)

iv

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin. Segala puja dan puji penulis panjatkan ke hadirat Allah

SWT yang telah memberikan rahmat tak terhingga kepada penulis. Sholawat dan salam penulis sampaikan kepada sang pemimpin ideal sepanjang masa, Nabi Muhammad SAW. Puji

syukur, akhirnya penulis dapat merampungkan skripsi yang berjudul “Kepemimpinan

Perempuan dalam Islam (Studi Pemikiran M. Quraish Shihab)” sebagai syarat memperoleh gelar akademik di Universitas Paramadina. Tentunya, banyak pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibunda penulis, Komriyah, madrasah pertama dalam kehidupan penulis. Yang telah mengajarkan segalanya yang diperlukan dalam hidup kepada penulis, serta selalu mendoakan kelancaran studi dan kesuksesan penulis. Ayahanda Mustadi, yang telah berjasa membesarkan penulis dan memberikan pendidikan yang sangat “keras” agar penulis mampu bertahan dan tegar dalam mengarungi tantangan kehidupan yang sulit.

2. Saudara-saudara penulis. Jamaludin, kakak tertua yang selalu menjadi tauladan yang baik bagi adik-adiknya dan Rini Andriani, kakak ipar yang cantik dan baik hati beserta Akhdan Fatih Azizan, keponakan penulis yang selalu membuat hari menjadi lebih ceria dan bersemangat. Amrullah, kakak yang selalu jahil dan usil namun setia mengantar jemput penulis sejak penulis masih sekolah hingga penulis kuliah. Rizkiyana Dewi, adik yang beranjak dewasa, yang telah menggantikan peran penulis menjaga ibu dan adik-adik selama penulis menimba ilmu di Jakarta. Muhammad Abdul Muksit, adik lelaki yang sudah beranjak remaja yang nakal tapi penurut dan ringan tangan membantu orang tua dan saudara-saudaranya. Siti Fajriyati, yang selalu mengingatkan penulis tentang masa kecil yang begitu ceria dan menyenangkan. Zahrotusyita, si bungsu yang manja dan selalu memberi pelukan hangat penuh cinta jika penulis ada di rumah. Terima kasih untuk kehangatan cinta yang kalian berikan.

3. Universitas Paramadina dan PT Trikomsel Oke yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk mengenyam pendidikan tinggi di kampus peradaban ini melalui program Paramadina Fellowship 2010.

(5)

v

5. Mohammad Rahmatul Azis. Sahabat, guru, dan pembimbing pribadi penulis yang tak pernah henti memberikan support, membantu mencarikan referensi dan teman berdialog dalam wacana keilmuan kritis.

6. Program studi Falsafah dan Agama, tempat penulis menimba ilmu filsafat dan agama. Penulis mengucapkan terima kasih kepada para dosen yang telah berbagi ilmu kepada penulis sehingga penulis bisa merasakan manisnya lautan ilmu lewat tangan-tangan mereka, yakni; Aan Rukmana, MA, Mas Lukman Hakim, SS., M.Ag, M. Subhi-Ibrahim, M.Hum, Fuad Mahbub Siraj, Ph.D, Abdul Muis Naharong, MA, Prof. Dr. Abdul Hadi WM, Prof. Dr. Sukron Kamil, MA, A. Luthfi Assyaukanie, Ph.D, Dr. Abdul Moqsith Ghazali, MA, Ihsan Ali-Fauzi, MA, Novriantoni Kahar, Lc., M.Si, Dr. Asep Usman Ismail, MA, Muhammad Baqir, MA, Dr. Abdul Muid Nawawi, MA, Rani Anggraeni, MA, mbak Fitri dan mbak Dwi selaku staf Prodi FA.

7. Keluarga di Asrama Al Mustaqim yang menjadi tempat penulis berbagi suka duka, canda tawa, tempat diskusi segala macam pemikiran yang tak kenal batas waktu, serta tempat mencurahkan segala keluh kesah penulis selama empat tahun terakhir. Fidia Larakinanti, Deti Yulianita, Nida Ulfia, Zahra Rahmani Rahmiyah, Intan Dewi Karlita, Septi Diah Prameswari, Nurazizah Fadhilah, Asri Nuraeni, Julianti, Tsamrotul Aniqoh, Winner Fransisca Manik, Nazifatur Rahmi, dan Indah Riadiani. 8. Teman-teman Prodi Falsafah dan Agama 2010; Joko Arizal, Aa Saepuddin, Ahmad

Hayat Fathuroji, Deddy, Elmira Cahyanate, Firman, Fatimah Zahrah, Nurul Annisa Hamudy, Mahmud, Halim Miftahul Khoiri, Kusnandang, M. Luthfi Ghazali, M. Sholeh, Sholahuddin, Syaharbanu, Syamsul Rizal, dan Wandi yang telah mengajarkan penulis arti sesungguhnya kerukunan dalam perbedaan dan wadah penulis menemukan dialog peradaban.

(6)

vi

10.Teman-teman HIMAFA Paramadina, Taekwondo Paramadina, KOMPAK Paramadina, Kafha Paramadina, DKM Paramadina serta kawan-kawan volunteer di Transparency International Indonesia (TII) dan Peace Women Across The Globe Indonesia yang telah menorehkan warna-warni berbeda dalam sejarah hidup penulis.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu penulis menerima dengan terbuka segala saran, kritik dan masukan yang membangun. Harapan penulis, skripsi ini dapat memberikan manfaat yang besar bagi khazanah keilmuan islam, serta memperkaya wacana tentang gender dan perempuan di Indonesia.

Jakarta, Agustus 2014 Penulis,

Fitriyani

(7)

vii

Kepemimpinan Perempuan dalam Islam (Studi Pemikiran M. Quraish Shihab) (90 + xi)

Skripsi ini membahas pandangan Quraish Shihab mengenai konsep kepemimpinan perempuan dalam Islam untuk mencari jawaban tentang apakah perempuan dalam ajaran Islam dibolehkan menjadi pemimpin politik. Quraish Shihab merupakan salah satu ulama tafsir terbaik yang pernah dimiliki oleh Indonesia. Beliau juga masih tetap aktif menulis dan berceramah sampai saat ini. Selain itu pandangan-pandangan beliau menjadi pegangan banyak kalangan umat Islam Indonesia. Perbincangan mengenai kepemimpinan perempuan dalam konteks Islam merupakan topik yang selalu mengundang kontroversi. Ada yang pro dan ada yang kontra. Bagi mereka yang kontra terhadap kepemimpinan politik perempuan, banyak dalih yang diajukan untuk menentangnya. Salah satunya adalah dalil kitab suci, di mana dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang secara eksplisit sering diartikan bahwa lelaki adalah pemimpin bagi perempuan. Sedangkan yang pro, mereka mengajukan fakta-fakta dalam sejarah Islam dan penafsiran ajaran Islam yang berbeda yang menunjukkan bahwa Islam membolehkan perempuan untuk menjadi pemimpin politik atau berkiprah di ranah publik. Konsep kepemimpinan perempuan dalam Islam juga biasa dirujuk oleh mereka yang setuju dengannya pada konsep HAM yang memberikan hak sepenuhnya kepada setiap individu manusia untuk terjun ke wilayah politik praktis. Quraish Shihab sendiri menyatakan bahwa tidak ada dalil yang valid baik dalam ajaran Islam maupun akal pikiran (alasan rasional) yang bisa melarang perempuan untuk menjadi seorang pemimpin. Namun demikian Quraish Shihab menggarisbawahi kewajiban perempuan untuk mengasuh dan memberikan pendidikan kepada anak-anaknya agar tidak diabaikan jika perempuan menjadi pemimpin masyarakat. Oleh karena itu Pandangan Quraish Shihab tentang kepemimpinan perempuan dapat digolongkan sebagai moderat.

Dalam studi ini penulis menggunakan metode historis-kualitatif dan deskriptis-analitis yaitu penelitian kepustakaan (library research) dengan mempelajari, menggambarkan dan menganalisis tulisan-tulisan Quraish Shihab baik yang berbentuk buku mau pun hasil penelitian, dan tulisan-tulisan yang membahas tentang pemikiran Quraish Shihab mengenai kepemimpinan perempuan, serta buku-buku lain yang relevan dengan topik yang penulis bahas. Selain itu penulis juga melakukan wawancara (metode interview) dengan Quraish Shihab untuk lebih memahami dan mendalami pandangan-pandangannya. Studi tentang kepemimpinan perempuan dalam Islam merupakan salah satu subjek yang masih akan tetap "menantang" dan menarik karena berkaitan dengan problem bagaimana ajaran agama (Islam) dihadirkan dan bagaimana kaum Muslim melakukan respon dan terlibat dalam dinamika sosial-budaya yang semakin kompleks dan terbuka di era globalisasi dewasa ini.

(8)

viii

Women Leadership in Islam (A Study of M. Quraish Shihab Thoughts)

(90 + xi)

This thesis discusses the Quraish Shihab view of the concept of female leadership in Islam to seek an answer about whether women in Islam are allowed to become political leader. Quraish Shihab is one of the best interpreter of the Qur'an in Indonesia. He also still actively writes and gives lectures to this date. In addition, his views have had much influence among Indonesian Muslims. The discourse about women's leadership in Islamic context is a topic that always invites controversy. There are pros and cons. For those who cons of women's political leadership, many arguments were filed against it. One of the argument is sciptural, i.e. there is a verse in the Qur'an often interpreted explicitly that men is leaders of women. While the pros, they apply the facts in the history of Islam and the different interpretations of Islam which show that Islam permits women to become political leaders or to engage actively in the public domain. The concept of female leadership in Islam is also commonly referred to by those who support it with the concept of human rights that gives full rights to every individual human being to plunge into the sphere of practical politics. Quraish Shihab has said that there is no valid argument both in Islamic teaching and reasoning (rational arguments) which forbid women to become a leader. However, Quraish Shihab underlines the obligation of women to nurture and educate their children so as not to be ignored if women become public leaders. Therefore Quraish Shihab's view on women's leadership can be classified as moderate.

In this study the author uses historical, qualitative, and descriptive-analytical methods namely library research (library research) to study, describe and analyze the writings of Quraish Shihab either in the form of books or research reports, and writings that discuss the views of Quraish Shihab on women leadership, as well as other books that are relevant to the topics which the author discusses. Moreover, the author also conducted interviews (interview method) with Quraish Shihab to better understand and explore his views. The study of female leadership in Islam is one of the subjects that will remain "challenging" and interesting because it deals with the problem of how religion (Islam) is presented and how the Muslims responding and engaging in socio-cultural dynamics in increased complex and more open global world.

Keywords: Leader, Female, Quraish Shihab, Rights, Islam.

(9)
(10)
(11)

xi

3.1.2 Latar Belakang Pendidikan ... 3.1.3 Karir Intelektual dan Politik ... 3.2. Karya Intelektual M. Quraish Shihab ... BAB IV PEMIKIRAN M. QURAISH SHIHAB MENGENAI KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM ISLAM ... 4.1 Manusia dalam Pandangan M. Quraish Shihab ... 4.2 Perempuan dalam Pandangan M. Quraish Shihab ... 4.3 Pandangan Quraish Shihab Tentang Kepemimpinan Perempuan dalam Islam ... 4.4 Tinjauan Kritis Pemikiran M. Quraish Shihab ... BAB V PENUTUP ... 5.1 Kesimpulan ... 5.2 Saran ... DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ... DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...

25 27 28

30 34 34 45 50 58 66 66 69 70 76 83

(12)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dewasa ini, pembahasan mengenai gender begitu sering tampil di permukaan, terutama soal penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, kesadaran perempuan Indonesia untuk mengangkat derajatnya sudah semakin tumbuh. Hampir di setiap kota di Indonesia muncul organisasi atau komunitas yang bergerak di isu gender dan perempuan. Contohnya, Aceh Women For Peace Foundation yang memperjuangkan kesejahteraan perempuan di Aceh, Fahmina Institute yang aktif mengadakan diskusi mengenai gender di Cirebon, Peace Women Across The Globe Indonesia yang berpusat di Jakarta juga aktif melakukan serangkaian kegiatan yang mengusung tema pembebasan perempuan, dan lain-lain. Serta masih banyak lagi yang lainnya.

Kosakata gender berasal dari bahasa Inggris yang artinya jenis kelamin. Gender adalah sifat dan prilaku yang dibentuk secara sosial yang disematkan pada perempuan dan laki-laki1. Konsep gender yang dipahami di Indonesia umumnya mengacu kepada peranan sosial dalam masyarakat yang dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Peranan sosial ini juga tidak serupa di semua tempat karena disesuaikan oleh keadaan budaya dan tradisi masyarakat setempat.

Dalam kajian di Indonesia, istilah gender sering dikaitkan dengan kata feminin. Istilah feminin digunakan untuk membedakan konsep gender antara laki-laki dan perempuan. Feminin merupakan kata serapan dari bahasa inggris feminine yang memiliki makna perempuan atau bersifat keperempuanan. Feminin diartikan sebagai suatu sifat lemah lembut, halus dan penuh perasaan yang melekat pada diri perempuan secara kodrati, serta tabu bagi lelaki untuk memiliki sifat feminin ini.

Gerakan yang mengusung pembebasan perempuan disebut feminisme, yang akar katanya bersinionim dengan kata feminine. George Ritzer2 menjabarkan tiga gelombang

1Liza Hadiz. kata pengantar dalam buku Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru: Kumpulan Artikel Prisma (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2004) hlm. x-xi.

(13)

2

feminisme awal yang muncul di Amerika Serikat pada dekade 80-an hingga era 90-an. Gelombang pertama dimulai pada era 1830-an, agendanya berfokus pada perjuangan anti perbudakan, hak-hak politis perempuan terutama hak untuk memilih. Gelombang pertama ini berhasil membuat terjadinya konvensi pertama yang membicarakan mengenai hak-hak perempuan pada tahun 1848 bertempat di Seneca Falls, New York. Konstitusi Amerika tentang hak pilih perempuan akhirnya diamandemen dengan amandemen ke-19 pada tahun 1920, dengan adanya amandemen ini perempuan diberikan hak pilih untuk memilih dalam pemilihan umum. Feminisme gelombang kedua (1960-1990) merumuskan ulang mengenai konsep hubungan antara lelaki dan perempuan dalam konsep gender agar tercapai kesetaraan ekonomi dan kesetaraan sosial. Feminisme gelombang ketiga menyuarakan aspirasi dari para perempuan kulit berwarna, lesbian, dan perempuan kelas pekerja yang merupakan respon dari ide-ide yang digaungkan oleh para perempuan kulit putih yang menyatakan diri sebagai feminisme gelombang kedua. Feminisme gelombang ketiga ini juga mewakili gagasan dari pada perempuan dewasa yang akan menjalani abad kedua puluh satu di mana tantangan yang akan dihadapi jelas berbeda dengan perempuan-perempuan di abad sebelumnya.

Menurut Husein Muhammad, feminisme adalah gerakan yang berusaha memperjuangkan martabat kemanusiaan dan kesetaraan sosial (gender), yang diarahkan untuk merubah sistem yang diskriminatif terhadap perempuan3. Yanti Muchtar sebagaimana dikutip oleh Nuruzzaman, Jalal, dan J. Ardiantoro4 menulis dalam Jurnal Perempuan bahwa ada tiga pandangan dalam mendefinisikan feminisme. Yang pertama, feminisme adalah teori yang mempertanyakan pola hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Yang kedua menyatakan bahwa seseorang dapat dikatakan feminis jika pandangan dan pemikirannya sesuai dengan kategori feminisme yang telah ada sebelumnya, yakni Feminis Radikal, Feminis Marxis, Feminis Liberal atau Feminis Sosialis. Yang ketiga adalah pandangan yang berpendapat bahwa feminisme merupakan sebuah gerakan atas dasar kesadaran tentang penindasan terhadap perempuan yang bergerak untuk melawan penindasan tersebut.

Konstruksi budaya mengenai perempuan tak pernah lepas dari ideologi patriarki yang menganggap bahwa laki-laki lebih superior daripada perempuan. Penulis mengambil contoh

3Husein Muhammad. Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiai Pesantren (Yogyakarta: Lkis, 2004) hlm. 98.

(14)

3

kultur di jazirah Arab dan negara Arab. Di sini penulis membedakan antara jazirah Arab dan negara Arab, jazirah Arab meliputi semenanjung Arabia dimana agama Islam turun dan berkembang pertamakali yakni Arab Saudi, sedangkan negara Arab ialah wilayah dimana negara yang menggunakan bahasa Arab serta kultur universal Arabisme diterapkan dalam segi sosial kemasyarakatan dan mempengaruhi kebijakan politik pemerintahan seperti di Mesir dan sekitarnya.

Negara Arab Saudi, negara yang menerapkan syariat Islam secara legal dan formal dengan menjadikan Islam sebagai agama negara. Negara tersebut dikenal sebagai satu-satunya negara yang memberlakukan hukum larangan mengemudi bagi perempuan, bahkan perempuan di Arab Saudi tidak dibolehkan pergi kemanapun tanpa seijin wali atau tanpa muhrim yang mendampinginya. Hak untuk terjun di bidang politik dan ekonomi bagi kaum perempuan di Arab Saudi bukanlah suatu hal yang mudah untuk dicapai. Bahkan hingga kini, perempuan di Arab Saudi tidak diberikan hak politik, baik untuk memilih, ataupun untuk dipilih5. Adanya aturan bahwa perempuan Saudi boleh memiliki peranan dalam wilayah publik tanpa menanggalkan kewajiban mereka mengurus rumah tangga membuahkan peran ganda yang membebani kaum perempuan Saudi.

Tidak berbeda jauh dengan Arab Saudi, negara Arab seperti Mesir memiliki predikat buruk dalam hal perlakuan terhadap perempuan. Perempuan Mesir diikat dengan begitu banyak norma sosial dan norma agama. Hak-hak mereka dibatasi. Meski pelayanan medis dan informasi mengenai kesehatan reproduksi sangat terbuka dan bisa diakses dengan mudah, namun perlindungan terhadap kaum perempuan di Mesir belum memadai6.

Kesamaan antara jazirah Arab seperti Arab Saudi dan negara Arab seperti Mesir terletak pada segi kulturalnya, dimana norma agama menjadi panutan dan posisi perempuan dinomorduakan setelah laki-laki. Kekerasan dalam rumah tangga yang sering dialami perempuan Mesir mendapat pembenaran dari agama melalui surah An-Nisa ayat 34 yang berbunyi:

5Quraish Shihab. Perempuan: Dari Cinta sampai Seks dari Nikah Mut'ah sampai Nikah Sunnah dari Bias Lama sampai Bias Baru (Jakarta: Lentera Hati, 2005) hlm. 378.

(15)

4

احلااصلاف ْم لا ْمأ ْ م ا ف أ ا بو ضْعب ٰىلع ْم ْعب اَ لا ف ا ب ءاسِ لا ىلع ن ماا ق لاجِللا

جا ْلا يف ا هولجْهاو ا ه ظعف ا هز ش ن فاخت يت اَلاو اَ ظفح ا ب بْيغْلِل اظفاح اي اق

اًلي ك اًيلع ناك اَ انإ ًَي س ا ْيلع ا غْ ت َف ْمك ْعطأ ْنإف ا ه بلْضاو

”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya

Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”

Sehingga jika terjadi pemukulan oleh suami terhadap istrinya maka hal tersebut dianggap wajar dan perempuan yang menjadi korban tak dapat berbuat apapun. Karena hukum di Mesir tidak ramah terhadap perempuan yang mengalami kasus kekerasan dalam rumah tangga. Pun bila sang perempuan mengajukan tuntutan cerai, maka akan dipersulit. Tidak saja dalam proses perceraiannya, bahkan setelah bercerai perempuan Mesir tetap kesulitan menjalani hidupnya disebabkan oleh sikap masyarakat Mesir yang tidak toleran terhadap perceraian dikarenakan adanya stereotip janda dalam masyarakat sebagai pemangsa seksual yang berkeliaran mencari laki-laki untuk memuaskan nafsunya. Yang mendapat stigma negatif atas terjadinya perceraian tentu saja pihak perempuan, mereka dipandang sebagai perempuan yang buruk, sedangkan pihak lelaki bisa melenggang dengan tenang dan menikah lagi7.

Seorang ulama besar Mesir yakni Syekh Muhammad al Ghazali sebagaimana yang dikutip oleh Husein Muhammad8 mengatakan:”Sekalipun dunia sudah berubah, ternyata hubungan laki-laki dan perempuan berikut hak-hak mereka, baik yang umum maupun yang

khusus belum menempuh jalan yang benar.”

Dalam konteks di Indonesia, masalah gender yang melingkupi peran antara laki-laki dan perempuan sudah terjadi jauh sebelum Islam menjadi agama mayoritas di Indonesia.

7Shereen El Feki. Seks & Hijab: Gairah dan Intimitas di Dunia Arab yang Beruba h. Diterjemahkan oleh Adi Toha. (Tangerang: Alvabet, 2013) hlm. 108-109.

(16)

5

Dalam budaya Jawa, kepemilikan atas perempuan merupakan atribut yang wajar dari kekuasaan9.

Pada era kolonialisme Belanda, berkembang institusi selir di antara para lelaki Belanda yang bertugas di Indonesia. Selir adalah perempuan yang digauli tanpa dinikahi, hal ini didorong oleh sedikitnya perempuan Belanda yang datang ke Indonesia, sehingga untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, para lelaki Belanda mengambil perempuan pribumi untuk digauli yang biasa disebut Nyai10. Perempuan-perempuan pribumi yang menjadi Nyai ini tak memiliki kuasa untuk menentukan nasibnya sendiri, bagi perempuan yang berasal dari kalangan miskin, ia akan diserahkan kepada orang Belanda untuk mendapatkan uang (dijual), sedangkan bagi perempuan yang berasal dari kalangan menengah dan orangtuanya memiliki jabatan di pemerintahan kolonial Belanda, ia diserahkan kepada orang Belanda untuk mengamankan jabatan atau agar orangtuanya bisa naik pangkat11. Para perempuan ini tak bisa melakukan apapun untuk menolak keinginan orangtuanya, tidak tersedianya pendidikan bagi kaum perempuan pada masa itu membuat mereka tak mampu berbicara untuk hak mereka sendiri. Kehidupan para perempuan pribumi yang menjadi Nyai ini mungkin berubah menjadi lebih baik dari segi ekonomi karena ditopang oleh pejabat Belanda yang memeliharanya. Namun setelah ia melahirkan anak dari pejabat tersebut, maka ia akan dibuang dari kehidupan orang Belanda yang dulu merawat dan menggaulinya. Berkembang luasnya pergundikan ini disebabkan oleh para pejabat Belanda yang bertugas di Indonesia tidak diperkenankan untuk menikahi wanita pribumi karena pernikahan mereka tidak akan diakui oleh institusi gereja di tempat asalnya12. Maka di sini, nasib perempuan pribumi hanya sebatas pemuas nafsu dan penghasil keturunan semata.

Pasca kemerdekaan Indonesia, peran perempuan masih terpinggirkan. Meski pada era Orde Baru ada organisasi Dharma Wanita yang mewadahi istri pegawai negeri dan pegawai negara di Indonesia, pada kenyataannya organisasi ini dibentuk dengan tujuan agar bisa

9Julia I Suryakusuma. Seksualitas dalam Pengaturan Negara. Dalam Liza Hadiz, ed. Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru (Jakarta: LP3ES, 2004) hlm. 361.

10Onghokham. Kekuasaan dan Seksualitas: Lintasan Sejarah Pra dan Masa Kolonial. Dalam Liza Hadiz, ed. Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru (Jakarta: LP3ES, 2004) hlm. 324.

11Linda Christanty. Nyai dan Masyarakat Kolonial Belanda. Dalam Liza Hadiz, ed. Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru (Jakarta: LP3ES, 2004) hlm. 340.

(17)

6

membentuk seorang istri yang patuh dan taat kepada suami13. Meski demikian, Dharma Wanita ampuh menjadi tempat keluh kesah para istri pejabat negara yang mendapatkan perlakuan kasar dari suaminya hingga pada tahun 1983, organisasi Dharma Wanita berhasil mendesak pemerintah untuk mengesahkan sebuah peraturan yang membatasi pejabat negara untuk memperlakukan istrinya dengan semena-mena. Peraturan Pemerintah Nomor 10 atau yang lebih popular di sebut PP 10 merupakan pelengkap Undang-Undang Perkawinan yang disahkan pada tahun 1974. Dengan adanya PP 10 ini, Pegawai Negeri yang hendak bercerai atau mengambil istri kedua harus mendapatkan izin dari atasannya, perceraian dapat membuat pegawai negara yang bersangkutan mendapatkan sanksi atau pemecatan jika alasan bercerai tidak sesuai dengan PP 1014. Sekilas, PP 10 ini tampak menguntungkan perempuan, namun dalam implementasinya, timbul masalah-masalah baru yang membuat para istri pegawai negara mengalami penderitaan dalam bentuk lain. Di antaranya ialah terjebak dalam perkawinan sandiwara, tidak mendapatkan nafkah batin, namun tak bisa bercerai karena konsekuensinya ialah suami akan kehilangan jabatan dan hidup mapan yang mereka rasakan akan berakhir. Akhirnya kaum perempuan ini tetap diam demi melanggengkan karir jabatan suaminya dan demi masa depan anak-anaknya. Kembali, perempuan tak memiliki daya untuk memperjuangkan nasib mereka sendiri. Karena meskipun ada di antara mereka berhasil membebaskan diri dari belenggu perkawinan yang tidak bahagia, maka mereka akan mendapatkan citra negatif sebagai seorang janda cerai15.

Begitu kompleks permasalahan tentang perempuan ini juga menarik perhatian kalangan ulama Islam di Indonesia untuk ikut merumuskan permasalahan dan mencari solusinya dari sudut pandang Islam. Sebut saja Kiai Husein Muhammad yang mengaku tertarik untuk mencari tahu lebih dalam permasalahan perempuan dalam Islam setelah mengikuti seminar tentang perempuan dalam pandangan agama-agama pada tahun 199316. Sejak itu Husein Muhammad mulai menelaah kitab-kitab kuning yang menjadi rujukan dalam

13Julia I Suryakusuma. Seksualitas dalam Pengaturan Negara. Dalam Liza Hadiz, ed. Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru (Jakarta: LP3ES, 2004) hlm. 359.

14Julia I Suryakusuma. Seksualitas dalam Pengaturan Negara. Dalam Liza Hadiz, ed. Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru (Jakarta: LP3ES, 2004) hlm. 361-362.

15Julia I Suryakusuma. Seksualitas dalam Pengaturan Negara. Dalam Liza Hadiz, ed. Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru (Jakarta: LP3ES, 2004) hlm. 367.

(18)

7

pendidikan di kalangan pesantren, dan beliau menemui cukup banyak bias gender yang ada dalam teks-teks tersebut.

Almarhum KH. Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur memandang perempuan sebagai mahluk yang luar biasa rumit dari segi psikologi, karena faktor emosinya yang lebih bervariasi dibandingkan laki-laki. Namun di situlah menurut Gus Dur, perempuan memiliki potensi untuk membuat capaian yang lebih besar daripada pria17.

M. Quraish Shihab, yang pemikirannya dijadikan topik kajian dalam skripsi ini memandang perempuan sebagai makhluk yang tercipta untuk menyempurnakan laki-laki. Maka dari itu, perempuan wajib dihormati dan dicintai. Karena ketidakhadiran perempuan dalam dunia ini akan menyebabkan kehancuran bagi laki-laki18.

Salah satu hal yang sering diperdebatkan ketika berbicara tentang perempuan ialah apakah perempuan bisa menjadi pemimpin suatu kelompok yang didalamnya mayoritas laki-laki. Pembicaraan mengenai persoalan kepemimpinan perempuan di Indonesia mulai menghangat ketika Megawati Soekarnoputri mencalonkan diri menjadi presiden. Banyak pihak yang menentangnya bukan karena meragukan kemampuan Megawati untuk memimpin, melainkan karena jenis kelaminnya perempuan. Meski pada Pemilu tahun 1999 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang dipimpin oleh Megawati memenangkan suara terbanyak, namun hal tersebut tidak otomatis membuat Megawati menduduki jabatan Presiden. Sebagian ulama bersikeras menentangnya, bahkan kalangan ulama NU pun menjadi terpecah saat mendiskusikan tentang apakah mungkin perempuan menjadi pemimpin19.

Beberapa ulama yang menentang perempuan menjadi pemimpin biasanya bersandar pada Qur’an Surat An-Nisa ayat 34 berikut ini:

ضْعب ٰىلع ْم ْعب اَ لا ف ا ب ءاسِ لا ىلع ن ماا ق لاجِللا

17M. N Ibad. Kekuatan Perempuan dalam Perjuangan Gus Dur -Gus Miek (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2011) hlm. 137.

18Quraish Shihab. Perempuan: Dari Cinta sampai Seks dari Nikah Mut'ah sampai Nikah Sunnah dari Bias Lama sampai Bias Baru (Jakarta: Lentera Hati, 2005) hlm. x.

(19)

8

Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)…”

Abbas Mahmud al-Aqqad menjadikan ayat ini sebagai afirmasi bahwa ada perbedaan mendasar antara laki-laki dan perempuan yang bersifat alamiah, yang dia sebut sebagai asas pembawaan alamiah dan asas tanggung jawab sosial. Oleh karena itu, hak atas kepemimpinan bersumber dari kesanggupan alamiah yang dimiliki oleh jenis kelamin laki-laki. Maka, bagi al-Aqqad, hak atas kepemimpinan hanya bisa didapat oleh laki-laki20. Selain itu, beberapa ahli fiqih klasik seperti Ibn Hazm, Abu Ya'la al Farra, dan al-Mawardi dalam menetapkan hukun tentang kepemimpinan mereka mensyaratkan agar seorang kepala negara tidak boleh perempuan. Alasannya ialah bahwa tugas seorang pemimpin sangatlah berat (menjaga eksistensi agama, ijtihad, mengimami shalat, dan lain-lain)21.

Husein Muhammad, dalam menafsirkan ayat ini meletakkannya dalam konteks sosial pada masa al-Qur’an diturunkan, dimana masyarakat Quraisy menempatkan perempuan dalam kelas sosial yang rendah bahkan hampir tak memiliki hak, maka ayat ini berbicara tentang realitas sosial yang ada dalam masyarakat Arab pada masa itu yang dihadapi oleh umat Islam. Husein Muhammad menyatakan bahwa ayat ini bukanlah ayat normatif yang berlaku di segala zaman, karena Al-Qur’an sendiri tidak mengharuskan laki-laki menjadi pemimpin baik dalam ranah domestik maupun ranah publik22.

Adapun Quraish Shihab menafsirkan ayat ini dalam konteks kepemimpinan dalam rumah tangga, walaupun ia tak menutup kemungkinan bahwa perempuan juga bisa menjadi kepala rumah tangga. Gus Dur sendiri dalam menafsirkan ayat ini berpegang pada pendapat bahwa laki-laki memiliki kelebihan dalam hal kekuatan fisik dibandingkan wanita sehingga laki-laki bertanggung jawab atas keselamatan perempuan, karena tanggung jawabnya inilah

20Abbas Mahmud al-Aqqad. Filsafat Al-Qur'an: Filsafat, Spiritual dan Sosial dalam Isyarat Al-Qur'an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986) hlm. 73-74.

21Sukron Kamil. Pemikiran Islam Tematik: Agama dan Negara, Demokrasi, Civil Society, Syariah dan HAM, Fundamentalisme, dan Antikorupsi (Jakarta: Kencana, 2013) hlm. 194-195.

(20)

9

laki-laki dijadikan sebagai pemimpin. Sedangkan dari segi yang lainnya tidak ada perbedaan antara laki-laki maupun perempuan23.

Sementara itu, Syaikh Mahmud Syaltut yang merupakan mantan pemimpin tertinggi Al Azhar seperti yang dikutip oleh Quraish Shihab24 menyatakan bahwa Allah telah menganugerahkan potensi yang cukup kepada laki-laki dan perempuan untuk mengemban tanggung jawab sosial dan kemanusiaan. Potensi ini juga termasuk dalam hal kepemimpinan. Karena pada akhirnya setiap manusia akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya kepada Allah SWT, maka tak ada alasan bagi pelarangan seorang perempuan menjadi pemimpin.

Keberagaman pendapat dari para ulama dan cendekiawan muslim inilah yang kemudian menarik minat penulis untuk mengangkat tema tentang kepemimpinan perempuan dalam Islam yang dikhususkan kepada pemikiran M. Quraish Shihab. Penulis memilih Muhammad Quraish Shihab untuk dijadikan sebagai objek pembahasan dalam skripsi ini dengan alasan bahwa beliau adalah seorang ulama tafsir terkemuka di Indonesia dan pemikiran-pemikirannya jauh lebih terbuka dibandingkan kebanyakan ulama di negeri ini. Sebagai ulama, beliau juga tidak hanya giat berdakwah, namun terjun langsung dalam pemerintahan dengan menjabat sebagai Menteri Agama pada tahun 1998. Beliau juga pernah menjabat sebagai Rektor IAIN Jakarta selama dua periode dan pernah pula menjabat sebagai Ketua MUI Pusat. Semua kesibukan dan aktifitas dalam kesehariannya tidak menghalani beliau untuk tetap produktif menulis. Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah Tafsir al-Mishbah. Tafsir al-Mishbah di tulis dalam bahasa Indonesia, sehingga memudahkan masyarakat muslim Indonesia untuk memahami makna yang terkandung dalam al-Qur’an melalui Kitab Tafsir al-Mishbah tanpa harus menerjemahkan dulu tafsirannya dari bahasa lain. Inilah salah satu keunggulan kitab tafsir karangan Quraish Shihab dibandingkan kitab tafsir lainnya yang beredar di Indonesia25.

23M. N Ibad. Kekuatan Perempuan dalam Perjuangan Gus Dur-Gus Miek (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2011) hlm. 57-58.

24Quraish Shihab. Perempuan: Dari Cinta sampai Seks dari Nikah Mut'ah sampai Nikah Sunnah dari Bias Lama sampai Bias Baru (Jakarta: Lentera Hati, 2005) hlm. 7.

(21)

10 1.2 Rumusan Masalah dan Batasan Masalah

Berdasarkan uraian yang penulis paparkan dalam latar belakang, muncullah permasalahan mengenai kepemimpinan perempuan dilihat dari sudut pandang agama Islam. Posisi perempuan yang subordinat dibanding laki-laki menyulitkannya untuk dapat memegang tampuk kepemimpinan atas laki-laki. Adapun batasan masalahnya ialah persoalan kepemimpinan perempuan dari sudut pandang agama Islam yang dikhususkan kepada pemikiran M. Quraish Shihab sebagai salah satu ulama tafsir Indonesia yang cukup terkenal dan diakui keahliannya dalam ilmu agama Islam. Adapun rumusan masalahnya ialah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah latar belakang sosial dan intelektual M.Quraish Shihab?

2. Bagaimanakah pandangan Quraish Shihab mengenai perempuan?

3. Bagaimanakah Quraish Shihab memandang persoalan kepemimpinan perempuan?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Dari permasalahan yang diuraikan di rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini sesungguhnya ialah untuk mengetahui pandangan M. Quraish Shihab mengenai kepemimpinan perempuan dalam Islam. Adapun tujuan penelitiannya secara khusus ialah untuk mengetahui:

1. Latar belakang sosial dan intelektual Quraish Shihab

2. Pandangan Quraish Shihab tentang perempuan

3. Pemikiran Quraish Shihab mengenai persoalan kepemimpinan perempuan dalam Islam

1.3.2 Manfaat Penelitian

(22)

11 1.3.2.1 Manfaat Teoritis

Dari segi teoritis, penulis mengharapkan skripsi ini bisa menjadi kontribusi dalam mengubah pandangan masyarakat yang kurang positif terhadap kepemimpinan perempuan dalam Islam. menambah khazanah keilmuan Islam, khususnya kajian tentang perempuan dan pemikiran Quraish Shihab. Juga memperkaya referensi tentang pembahasan gender di kalangan umat Islam.

1.3.2.2 Manfaat Praktis

Dari segi manfaat praktis, penulis mengharapkan skripsi ini bisa menjadi acuan studi dengan fokus kajian perempuan di Universitas Paramadina, mengingat bahwa studi yang membahas mengenai gender dan perempuan masih jarang dibahas di kampus ini.

1.4 Tinjauan Pustaka

(23)

12

Perbedaan Skripsi ini dengan karya Naqiyah Mukhtar tersebut terletak pada kekuatan sumber yang digunakan, Naqiyah Mukhtar hanya mendasarkan pada karya-karya Quraish Shihab yang telah diterbitkan dan mengungkap beberapa kemungkinan. Sedangkan penulis menyusun skripsi ini dengan mewawancarai langsung objek yang bersangkutan yakni Quraish Shihab untuk menanyakan pandangannya mengenai konsep kepemimpinan perempuan dalam Islam. Bila Naqiyah Mukhtar hanya melakukan analisis wacana terhadap penafsiran Quraish Shihab mengenai surah an Nisa ayat 34, penulis menyusun skripsi ini dengan menganalisa pandangan Quraish Shihab mengenai perempuan terlebih dulu melalui tafsirannya terhadap ayat-ayat lain yang diperkuat dengan beberapa hadits dan wawancara langsung yang dilakukan oleh penulis. Untuk mendapatkan gambaran bagaimana sebenarnya Quraish Shihab memandang sosok perempuan hingga pemikirannya tentang kepemimpinan perempuan bisa dijabarkan.

Beberapa tulisan lain mengenai pandangan-pandangan Quraish Shihab tentang masalah sehari-hari juga pernah dibuat. Salah satunya adalah skripsi dari salah satu mahasiswa di Fakultas Dakwah IAIN Walisongo bernama Supriyati yang mengangkat topik Jilbab Menurut Quraish Shihab dan Implikasinya terhadap Bimbingan Muslimah dalam Berbusana. Skripsi tersebut menjabarkan poin-poin mengenai konsep aurat dan jilbab yang ada dalam buku berjudul Jilbab Pakaian Wanita Muslimah karya Quraish Shihab.

Tulisan lain yang mengutip pendapat Quraish Shihab tentang perempuan adalah milik Dr. Ajat Sudrajat, seorang Dosen Filsafat Sejarah di Universitas Negeri Yogyakarta yang berjudul Beberapa Persoalan Perempuan Dalam Islam, beliau mengutip pandangan Quraish Shihab mengenai kepemimpinan perempuan dalam rumah tangga dan juga negara secara sekilas dalam salah satu penjelasan makalahnya.

(24)

13

Setelah mendeskripsikan pandangan Quraish Shihab, penulis menyajikan analisis kritis dari setiap pandangan yang dikemuakan oleh Quraish Shihab dengan cara membandingkan pendapat tersebut dengan pendapat-pendapat dari intelektual lain, baik intelektual yang muslim maupun non-Muslim. Penulis dapat memastikan bahwa karya tulis ini bebas dari plagiasi dan memiliki diferensiasi dengan karya sejenis yang juga membahas tokoh yang sama.

1.5 Metode Penelitian

Metode Penelitian ialah suatu cara kerja yang dilakukan untuk memperoleh pengetahuan yang dimulai dengan merumuskan masalah hingga menarik kesimpulan26. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini ialah kajian pustaka (library research) dengan menggabungkan sumber-sumber tertulis baik berupa buku, makalah, ataupun artikel di media massa yang sesuai dengan objek kajian penulis yakni kepemimpinan perempuan dalam Islam menurut pandangan Quraish Shihab. Kemudian dianalisis dengan cermat untuk memperoleh sebuah pemahaman baru mengenai konteks kepemimpinan perempuan dalam Islam.

1.6 Sistematika Penulisan

BAB 1, merupakan pendahuluan yang berisi uraian latar belakang yang memuat alasan-alasan mengapa penulis memilih topik kepemimpinan perempuan untuk dijadikan skripsi, rumusan dan batasan masalah membahas mengenai fokus kajian yang mencakup pemikiran Quraish Shihab tentang kepemimpinan perempuan, tujuan dan manfaat penelitian baik secara teoritis maupun praktis, tinjauan pustaka yang menyajikan tulisan-tulisan sejenis yang membahas pemikiran Quraish Shihab serta diferensiasi dengan topik yang diangkat oleh penulis, metode penelitian yang memaparkan metodologi pengambilan informasi dan data dalam penyusunan skripsi ini, dan sistematika penulisan yang menerangkan secara singkat pembahasan bab per bab dalam skripsi ini.

BAB 2, membahas tinjauan konsep kepemimpinan perempuan dalam Islam. Di sini akan dijelaskan pengertian Islam, kepemimpinan, perempuan, konsep feminisme, konsep kepemimpinan dalam Islam, perempuan dalam pandangan Islam, dan konsep kepemimpinan perempuan dalam Islam.

(25)

14

BAB 3, merupakan biografi M.Quraish Shihab yang berisi riwayat hidup dan rekam jejak sosial intelektual beliau dalam kiprahnya sebagai ulama tafsir di Indonesia. Juga akan dipaparkan karya-karya intelektual yang telah dihasilkan selama kurun waktu kehidupannya.

BAB 4, merupakan isi utama yang membahas pemikiran M. Quraish Shihab tentang konsep kepemimpinan perempuan dalam Islam. Diawali dengan penjelasan pandangan Quraish Shihab tentang perempuan, pandangannya mengenai konsep kepemimpinan, dan tema utama yakni kepemimpinan perempuan dalam Islam. Kemudian di akhir pembahasan disajikan tinjauan kritis atas pemikiran Quraish Shihab mengenai kepemimpinan perempuan dalam Islam dengan konteksnya di Indonesia masa kini.

(26)

15 BAB II

TINJAUAN KONSEP KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM ISLAM

Menurut J. Sudarminta, konsep adalah suatu representasi abstrak dan umum tentang sesuatu yang bersifat mental, merupakan medium yang menghubungkan subjek penahu dengan objek yang diketahui, yakni pikian dan kenyataan1. Dalam bab ini, akan dipaparkan tentang konsep kepemimpinan perempuan dalam Islam. Dengan lebih rinci penulis menghadirkan konsep dari setiap kata yang tercantum dalam judul skripsi ini, yakni Islam, kepemimpinan, perempuan dan juga konsep kepemimpinan dalam Islam dan konsep perempuan dalam Islam. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam atas semua konsep yang terkandung dalam kalimat kepemimpinan perempuan dalam Islam.

2.1 Konsep Islam

Kata Islam berasal dari bahasa Arab salama dari akar kata salima yang memiliki arti menyelamatkan, pasrah, tunduk, berserah diri2. Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Menurut ajaran Islam, sebelum Nabi Muhammad telah hadir nabi-nabi lainnya yang membawa ajaran dan seruan untuk menyembah Allah SWT seperti Nabi Nuh AS, Nabi Ibrahim AS, Nabi Musa AS, dan Nabi Isa AS. Ajakan yang mereka bawa adalah untuk menyembah hanya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Muhammad Isa Nuruddin, seorang filosof berkebangsaan Swiss sebagaimana yang dikutip oleh Mohammad Monib dan Fery Mulayana3 menyatakan bahwa Islam adalah konsep agama yang paling sempurna dari keseluruhan ajaran agama yang dibawa oleh Nabi Nuh AS hingga Nabi Isa AS. Sementara itu, Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa heterogenitas agama yang ada di dunia ini menjadi alasan logis mengapa ajaran Islam diturunkan ke bumi. Islam hadir untuk menyempurnakan ajaran-ajaran agama sebelumnya, mengukuhkan tauhid kepada umat

1J. Sudarminta. Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius, 2002) hlm. 87.

2Nanang Tahqiq. Islam Agama Pasrah dalam Tim Penerbit Dian Rakyat, ed. Mengenal Islam Jalan Tengah: Buku Daras Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi (Jakarta: Dian Rakyat, 2012) hlm. 9.

(27)

16

manusia, dan meluruskan kesalahpahaman yang terjadi di agama-agama sebelumnya karena kebodohan manusia itu sendiri4.

Nanang Tahqiq mengungkapkan bahwa Islam yang dipahami oleh masyarakat muslim pada umumnya adalah sesuai dengan apa yang tercantum dalam hadits Rasul SAW sebagai berikut.

“Melalui otoritas Abu 'Abd al-Rahman 'Abdullah, putra Umar bin Khattab berkata:

Aku dengar Rasulullah bersabda, “Islam telah dibangn di atas lima (tiang): bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan-Nya, mendirikan sholat, membayar zakat, pergi

haji dan puasa ramadhan.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)5.

Nurcholish, mendefinisikan kata Islam sebagai suatu sikap tunduk dan pasrah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu, masih menurutnya, jika dikembalikan pada asal muasalnya, semua agama mengajarkan ketundukan dan kepasrahan. Meski nama Islam baru muncul pada masa Nabi Muhammad SAW, pada dasarnya agama-agama samawi yang dibawa oleh para Nabi sebelumnya juga bisa disebut Islam. Karena mengajarkan ketundukan dan kepasrahan hanya kepada satu Tuhan6. Bagi Quraish Shihab, kata Islam dimaknai sebagai sebuah perdamaian. Seperti yang tercantum dalam ucapa Assalamu 'Alaikum (damai untuk anda), melalui kalimat ini Islam mendambakan kedamaian bagi diri sendiri dan orang lain. Lebih lanjut Quraish Shihab menyatakan bahwa perdamaian merupakan salah satu ciri utama agama Islam yang lahir dari pandangan ajaran tentang Allah Tuhan Yang Maha Esa. Di dalam hadits Rasulullah SAW juga disebutkan bahwa ciri seorang muslim adalah dia yang membuat orang lain merasa damai dari gangguan lidah dan tangannya7.

Quraish Shihab juga menolak pandangan yang menyatakan bahwa syariat Islam mewajibkan perempuan untuk diam di dalam rumah. Menurutnya, perempuan yang

4Mohammad Monib & Fery Mulyana. Pelita Hati Pelita Kemanusiaan (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009) hlm. 145.

5Nanang Tahqiq. Islam Agama Pasrah dalam Tim Penerbit Dian Rakyat, ed. Mengenal Islam Jalan Tengah: Buku Daras Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi (Jakarta: Dian Rakyat, 2012) hlm. 14.

6Mohammad Monib & Fery Mulyana. Pelita Hati Pelita Kemanusiaan (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009) hlm. 320-321.

(28)

17

semestinya dikurung di dalam rumah ialah mereka yang jika dibiarkan keluar rumah maka akan berbuat kerusakan. Akan tetapi, bila keluarnya si perempuan dengan tujuan baik dan tidak melakukan tindakan yang dapat menganggu kedamaian dalam masyarakat, maka tak seharusnya perempuan itu dikurung. Quraish Shihab memaknai al-Qur’an sebagai petunjuk agama Islam harus dipahami dalam konteks dan sebab-sebab turunnya sebuah ayat, agar kita terhindar dari sebuah penghakiman terhadap sesama manusia karena menganggap sebuah interpretasi terhadap ayat al-Qur’an berlaku di segala zaman. Islam yang dipahami oleh Quraish Shihab adalah ajaran yang membawa kemaslahatan bagi seluruh umat manusia, baik laki-laki maupun perempuan8.

2.2 Konsep Kepemimpinan

Secara umum, kepemimpinan adalah kemampuan yang dimiliki oleh seorang individu sehingga dapat mempengaruhi, mendorong, menggerakkan orang lain agar dapat berbuat sesuatu demi mencapai tujuan tertentu. Menurut Mangunhardjana seperti yang dikutip oleh Baharuddin dan Umiarso, kepemimpinan berasal dari kata dasar pemimpin. Dalam Bahasa Inggris, kepemimpinan dinamakan leadership, asal katanya adalah leader, dari akar kata to lead yang memiliki makna bergerak lebih awal, berjalan di awal, mengambil langkah awal, berbuat paling dulu, memelopori, membimbing, menuntun, mengarahkan pikiran atau pendapat orang lain, dan menggerakkan orang lain melalui pengaruhnya. Hendiyat Soetopo dan Waty Soemanto mendefinisikan kepemimpinan sebagai sebuah kegiatan untuk membimibing suatu golongan atau kelompok dengan cara sedemikian rupa hingga tercapai tujuan bersama dari kelompok tersebut. J. Salusu mengartikan kepemimpinan sebagai kekuatan dalam memengaruhi orang lain agar ikut serta dalam mencapai tujuan umum9.

Jadi, dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah suatu kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Kepemimpinan bisa terjadi sebagai bawaan lahir seseorang atau bisa juga dipelajari.

8Wawancara dengan Quraish Shihab.

(29)

18 2.3 Konsep Perempuan

Membicarakan tentang perempuan, tentunya kita tak bisa melepaskan diri dari pasangan jenisnya yakni laki-laki. Ada beberapa konsep yang mengatur hubungan antar dua jenis kelamin ini. Salah satunya adalah teori nature dan teori nurture10. Teori nature menyatakan bahwa secara biologis perempuan dan lelaki memiliki perbedaan sejak lahir dimana perbedaan ini tidak bisa dipertukarkan antara satu sama lain, contohnya, perempuan mengalami menstruasi, melahirkan dan menyusui sedangkan laki-laki tidak. Perbedaan ini menjadikan lelaki sering menjadi tokoh utama dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat, karena laki-laki dianggap lebih potensial untuk mengemban tugas-tugas kemasyarakatan. Keadaan biologis perempuan dianggap sebagai kelemahan yang membatasi ruang gerak mereka, sehingga ia tak mampu mengemban tugas-tugas sosial kemasyarakatan. Sedangkan teori nurture menyatakan bahwa perbedaan peran dalam masyarakat antara kedua jenis kelamin ini bukan disebabkan oleh perbedaan biologis, namun lebih banyak disebabkan oleh bangunan kultural yang melekat dalam masyarakat. Peran sosial yang diberikan oleh teori nature ditolak oleh penganut teori nurture, karena hal tersebut bukanlah kehendak Tuhan, ajaran agama, dan bukan pula karena faktor biologis, melainkan karena konstruksi budaya dalam masyarakat yang memandang perempuan lebih lemah dari laki-laki.

Selain teori nature dan teori nurture, ada pula konsep gender dan seks yang membedakan antara lelaki dan perempuan. Prinsip dari konsep gender dan seks kurang lebih sama dengan dua teori sebelumnya. Awalnya kata gender dipadankan dengan kata seks yang merujuk pada perbedan jenis kelamin. Hingga kemudian muncul karya dari Charlotte Perkins Gilman Women and Economics, yang menciptakan suatu konsep “pembedaan seks yang berlebihan” untuk merujuk kepada hal-hal yang sekarang ini disebut gender11. Nasaruddin Umar membatasi dua pengertian konsep ini dengan mengatakan bahwa gender adalah tentang

10Ajat Sudrajat. “Beberapa Persoalan Perempuan dalam Islam”. Makalah pdf diunduh dari

http://staff.uny.ac.id/dosen/prof-dr-ajat-sudrajat-mag diakses pada 25 Maret 2014 pukul 11.30 WIB. hlm. 1-2.

11George Ritzer. Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan terakhir Postmodern.

(30)

19

feminitas dan maskulinitas sedangkan konsep seksual adalah perbedaan berdasarkan komposisi kimia dalam tubuh12.

Oleh sebab itu, pembedaan terhadap perempuan dibandingkan dengan laki-laki lebih bersifat budaya daripada kodrati. Yang kemudian membuahkan peran berbeda antar dua jenis kelamin ini di masyarakat. Adapun penjelasan lebih lanjut mengenai perempuan dalam Islam akan dijabarkan pada pembahasan selanjutnya.

2.4 Konsep Kepemimpinan dalam Islam

Secara etimologis, kepemimpinan dalam Islam sering disebut sebagai khilafah, imamah atau imarah. Ketiga istilah tersebut memiliki makna yang sama, yaitu daya memimpin, kualitas seorang pemimpin, atau tindakan dalam memimpin. Secara terminologi, kepemimpinan diartikan sebagai suatu kemampuan untuk mengajak orang lain agar mencapai tujuan-tujuan tertentu yang telah ditetapkan13. Penulis hanya akan menjelaskan secara lebih rinci mengenai term khalifah.

Kata Khalifah, akar katanya terdiri dari tiga huruf, yaitu kha’, lam¸dan fa. Terma khalifah ini memiliki arti mengganti kedudukan, belakangan, dan perubahan. Pengertian mengganti bisa diartikan sebagai pergantian generasi, atau penggantian kedudukan pemimpin untuk periode yang akan datang. Dari akar kata tersebut, ada dua bentuk kata kerja berbeda yang ditemukan dalam Al-Qur’an, yaitu khalafa-yakhlifu yang dipergunakan untuk makna mengganti, dan kata kerja istakhlafa-yastakhlifu yang digunakan untuk arti kata menjadikan. Bentuk jamak dari kata khalifah adalah khalaif dan khulafa. Kata khalaif digunakan dalam pembicaraan mengenai orang mukmin, sementarakhulafa digunakan untuk pembicaraan yang ditujukan kepada orang-orang kafir. Sedangkan dalam konsep yang terkandung dalam kata kerja khalafa bermakna regenerasi kepemimpinan, dan dalam makna konotasinya diartikan sebagai seseorang yang diangkat sebagai pemimpin dan penguasa di bumi yang mengemban tugas-tugas tertentu14. Kepemimpinan dalam Islam memiliki misi untuk menuntun manusia

12Nasaruddin Umar. Kodrat Perempuan dalam Islam (Jakarta: Fikahati Aneska, 2000) hlm. 10-11.

13Baharuddin & Umiarso. Kepemimpinan Pendidikan Islam: Antara Teori dan Praktik (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012) hlm. 80.

(31)

20

mencapai tujuan bersama yang diridhai oleh Allah SWT. Tujuan itu ialah pengabdian kepada Sang Pencipta untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.

2.5 Konsep Perempuan dalam Islam

Dalam terminologi Islam, perempuan disebut sebagai al-Mar’ah, sedangkan bentuk jamaknya adalah an-Nisa yang sepadan dengan kata wanita, perempuan dewasa atau lawan jenis pria. Penjelasan mengenai perempuan dalam konteks Islam, kita perlu merujuk pada dua sumber utama hukum Islam yakni al-Qur’an dan Hadits. Maka, penjelasan ini akan dibagi menjadi dua, yakni wacana perempuan dalam Al-Qur’an yang ditemui dalam kitab tafsir dan wacana perempuan dalam teks-teks hadits.

2.5.1 Perempuan dalam al-Qur’an

Wacana tentang perempuan dalam al-Qur’an bisa kita temui dalam banyak ayat. Bahkan beberapa surat dalam Al-Qur’an juga menggunakan nama perempuan. Contohnya Surat An Nisa dan surat Maryam. Di dalam surat Maryam dikisahkan putri dari Imran yang memiliki derajat ketakwaan paling tinggi di antara semua perempuan di masanya, bahkan mengalahkan laki-laki. Hingga kemudian ia dipilih untuk melahirkan Nabi Isa AS meski tak pernah berhubungan dengan laki-laki. Satu-satunya ibunda Nabi yang namanya diabadikan dalam Al-Qur’an hanyalah Maryam. Sebelum ia melahirkan Nabi Isa, Maryam digambarkan sebagai seorang perempuan mulia yang kesehariannya dihabiskan untuk beribadah dan mengabdi kepada Allah SWT. Ketika ia dipilih untuk mengandung bayi Nabi Isa tanpa seorang suami yang mencampurinya, Maryam telah menyadari konsekuensi yang akan ia terima berupa celaan dari masyarakat. Namun Maryam tetap menjalaninya sebagai ketetapan dari Allah SWT dan bukti kepasrahannya terhadap Allah.

(32)

21

Balqis dan rakyatnya menyembah kepada Allah SWT, pada saat itu rakyat kerajaan Saba’ masih menyembah matahari15.

Selain Ratu Balqis dan Maryam ibu Nabi Isa AS, masih ada beberapa orang perempuan lagi yang kisahnya tercantum dalam al-Qur’an. Contohnya, ibu Nabi Musa AS, istri Imran, dan Zulaikha. Kecuali Zulaikha yang memperdaya Nabi Yusuf AS, kesemua perempuan yang diceritakan dalam al-Qur’an tersebut menempati posisi yang mulia, sebagai ibu atau istri dari laki-laki shalih yang mengabdi kepada Allah. Ada pula Istri dari Nabi Luth AS dan Nabi Nuh AS yang membangkang dari ajaran suaminya sehingga mendapatkan azab dari Allah.

Demikianlah, sekilas mengenai perempuan dalam pandangan al-Qur’an. Al Qur’an sebagai sumber hukum utama yang menjadi rujukan bagi umat muslim, memandang wanita sebagai makhluk yang mulia, baik dalam posisinya sebagai ibu maupun sebagai individu yang utuh. Dan apabila ia beriman dengan sebenar-benarnya iman, maka derajatnya bisa melebihi laki-laki.

2.5.2 Perempuan dalam Hadits

Badriyah Fayuni dan Alai Najib menjelaskan menjelaskan posisi perempuan dalam Islam melalui hadits-hadits Nabi SAW. Mereka membagi pembahasannya ke dalam empat perspektif gender dalam hadits, yakni sebagai berikut16.

 Secara esensial, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam masalah ibadah dan ajaran Islam. Semua hadits-hadits Nabi Muhammad SAW yang menyangkut ajaran Islam berlaku untuk semua jenis kelamin. Seruan untuk menuntut ilmu, berbuat amal sholeh, dan ajakan untuk bersodakoh ditujukan kepada semua jenis manusia, tanpa memandang laki-laki ataupun perempuan. Kesetaraan jenis kelamin berlaku untuk semua jenis ibadah seperti shalat, puasa, zakat, dan ibadah haji. Bahkan

15Nasaruddin Umar dan Amany Lubis. Hawa Sebagai Simbol Ketergantungan: Relasi Gender dalam Kitab Tafsir dalam Ali Munhanif, ed. Mutiara Terpendam: Perempuan dalam Literatur Islam Klasik (Jakarta: Gramedia, 2002) hlm. 9-11.

(33)

22

Nabi pun membolehkan perempuan untuk melakukan sholat Jum’at dan menganjurkan

untuk mengikuti shalat Ied. Ini menandakan bahwa kesempatan untuk mendapatkan pahala dan dosa, setara antara laki-laki dan perempuan.

 Dalam beberapa hadits Nabi, perempuan diperlakukan secara istimewa sesuai kodratnya, sebagaimana juga terdapat pengkhususan terhadap laki-laki sesuai dengan kodratnya. Perbedaan ini tidak dijadikan sebagai pembedaan yang mencolok yang bisa menimbulkan perpecahan. Tapi diakui sebagai keistimewaan masing-masing jenis kelamin.

 Perempuan diperlakukan secara khusus sesuai dengan kondisi-kondisi objektif yang menuntut terjadinya pengkhususan atas mereka. Kadang pula terjadi tawar-menawar antara Nabi dan kaum perempuan dalam hal yang khusus ini. Hingga kemudian dicari jalan keluar yang bersifat akomodatif di kedua belah pihak. Hal yang sama juga terjadi pada laki-laki.

(34)

23

Dari empat kategori perspektif gender dalam hadits yang diungkapkan oleh Badriyah Fayuni dan Alai Najib ini, ditemukan sebuah pemahaman bahwa Rasulullah tidak pernah membeda-bedakan antara umatnya. Pengkhususan satu jenis kelamin dari jenis kelamin yang lainnya dilakukan sesuai kebutuhan dari masing-masing jenis kelamin itu sendiri, dan bukan untuk memarginalkan satu jenis dari jenis lainnya. Adapun kelebihan dan kekurangan antara jenis kelamin yang satu dengan yang lainnya dibarengi dengan catatan-catatan penting yang tidak bisa diabaikan. Oleh karena itu, dapat kita simpulkan bahwa perempuan memiliki kedudukan yang setara dengan laki-laki dalam hadits-hadits Rasulullah SAW17.

2.6 Konsep Kepemimpinan Perempuan dalam Islam

Hal yang selalu menjadi kontroversi dalam perbincangan mengenai sosok perempuan ialah tentang boleh tidaknya seorang perempuan menjadi pemimpin. Konsep kepemimpinan perempuan dalam Islam yang akan dibahas dalam sub-bab ini dikhususkan pada pembahasan mengenai kepemimpinan dalam ranah publik di luar rumah tangga. Karena diskursus mengenai kepemimpinan perempuan di ranah publik ini lebih beragam dan kompleks dibandingkan dengan pembicaraan mengenai kepemimpinan perempuan dalam rumah tangga. Salah satu orang yang menolak kepemimpinan perempuan di ranah publik ini ialah Abbas Mahmud al-Aqqad. Dia menjadikan perbedaan fisik dan biologis sebagai landasan perbedaan tanggung jawab sosial yang diemban oleh kedua jenis kelamin. Dengan adanya perbedaan tanggung jawab sosial ini, maka laki-laki dinilai lebih berhak menjadi pemimpin karena laki-laki sudah terbiasa bertanggung jawab dalam keluarga dan masyarakat, sedangkan perempuan bertanggung jawab untuk menjaga keharmonisan rumah tangga. Ia menyatakan bahwa hak kepemimpinan bersumber pada kesanggupan alamiah yang tentu lebih dimiliki oleh kaum lelaki dibandingkan perempuan. Lebih jauh ia menyampaikan bahwa kerajaan seorang perempuan ada dalam rumah tangga, sedangkan kerajaan laki-laki ada di dalam perjuangan hidup18.

17Badriyah Fayuni dan Alai Najib. Perempuan yang Paling Mendapat Perhatian Nabi: Perempuan dalam Hadits dalam Ali Munhanif, ed. Mutiara Terpendam: Perempuan dalam Literatur Islam Klasik (Jakarta: Gramedia, 2002) hlm. 58.

(35)

24

Lain halnya dengan Nasaruddin Umar19, seorang cendekiawan muslim kontemporer yang menyatakan bahwa tidak ada satupun dalil, baik dari al-Qur’an maupun hadits yang melarang kaum perempuan aktif di dunia politik. Hal ini merupakan hak yang dimiliki oleh seorang perempuan untuk terjun ke dalam bidang politik baik sebagai pejabat atau pemimpin negara. Fakta sejarah mengungkapkan bahwa perempuan-perempuan di sekitar Nabi terlibat aktif dalam dunia politik. Nasaruddin Umar juga menegaskan bahwa kata khalifah pada surat al-Baqarah ayat 30 tidak merujuk hanya kepada satu jenis kelamin tertentu, laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki fungsi sebagai khalifah di muka bumi yang akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di hadapan Allah SWT20.

Hal yang serupa disampaikan oleh Husein Muhammad21, dengan terlebih dulu menjabarkan pandangan ulama-ulama klasik yang tidak memberikan peluang sama sekali untuk perempuan terlibat dalam dunia politik. Husein Muhammad kemudian menguraikan bahwa sejak awal abad ke-20, dengan terbukanya akses pendidikan bagi kaum perempuan, maka peluang partisipasi politik bagi kaum perempuan juga semakin terbuka. Hal ini ditandai dengan perubahan-perubahan dalam undang-undang yang lebih mengakomodasi kepentingan perempuan di ranah publik negara-negara Islam seperti Mesir, Sudan, Yordania, Tunisia, Irak, Iran, dan Suriah. Di Indonesia sendiri, aktivitas politik kaum perempuan telah memiliki landasan yuridis dalam UUD 1945. Apalagi sekarang, dengan adanya kebijakan 30% kursi di parlemen harus diisi oleh perempuan, maka tidak ada lagi alasan untuk melarang perempuan terjun langsung ke dalam politik. Husein Muhammad memandang hal ini sebagai hal yang menarik, mengingat pada pemilu tahun 1999, banyak partai politik yang menolak presiden perempuan sekarang langsung menyetujui affirmative action 30% kuota tersebut tanpa ada penolakan ataupun perdebatan.

Kepemimpinan Aisyah di Perang Jamal di mana sejumlah sahabat Nabi yang terkenal bersatu di bawah komandonya merupakan bukti nyata bahwa perempuan juga mampu

19Nasaruddin Umar. Kodrat Perempuan dalam Islam (Jakarta: Fikahati Aneska, 2000) hlm. 49.

20Fadlan. “Islam, Feminisme dan Konsep Kesetaraan Gender dalam Al-Qur'an” Dalam Karsa: Jurnal Budaya dan Sosial Keislaman Vol. 19 No. 2 STAIN Pamekasan. hlm. 115.

(36)

25

memimpin laki-laki. Kaukab Siddique22 menambahkan bahwa kepemimpinan Aisyah ini bukanlah suatu hal yang muncul tiba-tiba saat perang Jamal terjadi, karena jauh sebelum itu yakni pada masa awal Islam Aisyah adalah orang yang selalu dimintai fatwa oleh para sahabat Nabi SAW seperti Abu Bakar, Umar dan Utsman. Sebelum Aisyah terjun memimpin pasukan di perang Jamal, beliau telah lebih dulu menjadi seorang guru yang fatwanya diterima oleh semua kalangan baik laki-laki maupun perempuan. Banyak orang yang datang dari seluruh penjuru dunia Arab untuk mendapatkan pengajaran dari istri Nabi yang terkenal cerdas itu. Bahkan, tak sedikit ulama dan guru para imam yang terkenal pada masa itu yang dulunya merupakan murid Aisyah.

KH. Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur, seorang ulama NU yang pernah menjadi Presiden Republik Indonesia ini tidak menampik kemungkinan seorang perempuan menjadi pemimpin negara. Abdurrahman Wahid mengungkapkan bahwa sukses atau tidaknya perempuan menjadi seorang pemimpin sangat bergantung kepada penerimaan dari kaum laki-laki yang berada di bawah kepemimpinannya, apakah mereka bersedia bekerjasama di bawah komando perempuan tersebut atau tidak. Abdurrahman Wahid juga menyampaikan bahwa ungkapan ulama yang menyatakan bahwa perempuan lebih lemah dari laki-laki sehingga tidak bisa memimpin justru bertolak belakang dengan fakta sejarah bahwa banyak pemimpin negara yang sukses justru dari jenis kelamin perempuan. Misalnya Cleopatra, Ratu Balqis, Corie Aquino, Margaret Theatcher dan Benazir Butho. Bahkan Abdurrahman Wahid mengakui kemampuan Megawati Soekarnoputri untuk menjadi seorang presiden, di samping karena ia memiliki nasab dari Soekarno yang merupakan pemimpin negara, kesuksesannya memimpin PDIP membuktikan bahwa Megawati memiliki kecerdasan dalam memimpin. Menurut pandangan Abdurrahman Wahid, apa yang dimiliki Megawati yaitu nasab dan kecerdasan dalam memimpin adalah landasan yang bisa menjadikan seseorang sebagai pemimpin di masa depan23.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa pandangan ulama-ulama klasik mayoritas tidak menyetujui jika perempuan menjadi pemimpin dalam ranah publik yang kebanyakan

22Kaukab Siddique. Menggugat Tuhan Yang Maskulin. Diterjemahkan oleh Arif Maftuhin. (Jakarta: Paramadina, 2012) hlm. 50-53.

(37)

26

(38)

27 BAB III

BIOGRAFI DAN KARYA INTELEKTUAL M. QURAISH SHIHAB

3.1 Biografi M. Quraish Shihab

3.1.1 Latar Belakang Keluarga

Muhammad Quraish Shihab atau lebih dikenal dengan Quraish Shihab, lahir pada tanggal 16 Februari 1944 di Rappang, Kabupaten Sidenreng, Rappang, Sulawesi Selatan. Ia merupakan keturunan campuran Arab Quraisy dan Bugis dan berasal dari kaum terpelajar. Ayahnya bernama Abdurrahman Shihab, dan ibunya bernama Asma Aburisyi. Dia adalah anak keempat dari dua belas bersaudara. Dia memiliki tiga orang kakak bernama Nur, Ali dan Umar. Ia juga mempunyai delapan orang adik yakni Wardah, Alwi Shihab, Nina, Sida Nizar, Abdul Mutalib, Salwa, serta si kembar Ulfa dan Latifah.Ayah Quraish Shihab, yakni Prof. Abdurrahman Shihab adalah seorang ulama yang cukup terpandang di daerah Sulawesi Selatan1.

Selain sebagai ulama, Abdurrahman Shihab juga seorang pengusaha dan politikus yang memiliki reputasi baik di kalangan masyarakat yang mengenalnya. Beliau memiliki kontribusi dalam dunia pendidikan. Hal ini terlihat dalam usahanya membina dua perguruan tinggi besar di daerah Sulawesi Selatan yakni Universitas Muslim Indonesia (UMI) dan IAIN Alauddin Makassar. UMI adalah sebuah perguruan tinggi swasta terbesar di Indonesia bagian timur. Abdurrahman Shihab juga pernah menjabat sebagai rektor di UMI dari tahun 1959 hingga tahun 1965, kemudian menjadi rektor di IAIN Alauddin sejak tahun 1972 hingga tahun 19772. Dari sini terlihat bahwa Quraish Shihab berasal dari keluarga yang akrab dengan dunia pendidikan, hingga tak heran jika di kemudian hari beliau menjadi seorang cendekiawan besar karena sejak dini telah mengenal budaya akademik melalui atmosfer pendidikan yang diterapkan ayahnya di rumah.

1http://tafsiralmishbah.wordpress.com/biografi-m-quraish-shihab/ diakses pada tanggal 18 Mei 2014 pukul 22.42 WIB.

(39)

28

Quraish Shihab mendapatkan motivasi dan benih kecintaan terhadap studi tafsir

al-Qur’an dari sang ayah. Sejak dini, Abdurrahman Shihab telah membiasakan anak-anaknya untuk duduk bersama usai shalat Maghrib, saat-saat seperti ini Abdurrahman Shihab menyampaikan nasihat yang lebih sering berupa ayat-ayat Al-Qur’an. Quraish Shihab juga diwajibkan untuk mengikuti pengajian Al-Qur’an yang diadakan oleh ayahnya. Tidak hanya menyuruh anak-anaknya untuk rajin membaca Al-Qur’an, Abdurrahman Shihab juga kerap menguraikan kisah-kisah dalam Al-Qur’an kepada anak-anaknya secara sepintas. Dari sinilah benih-benih kecintaan terhadap Al-Qur’an mulai tumbuh dalam diri Quraish Shihab3.

Quraish Shihab memiliki seorang istri bernama Fatmawaty Assegaf yang dinikahinya pada bulan Februari tahun 1975 di Solo, Jawa Tengah. Keduanya dikaruniai lima orang anak, masing-masing ialah Najelaa (lahir pada tanggal 11 September 1976), Najwa (lahir 16 September 1977), Nasma (lahir tahun 1982), Ahmad (lahir 1 Juli 1983), dan Nahla (lahir Oktober 1986)4. Anak sulungnya Najelaa, menikah dengan Ahmad Fikri Assegaf pada tahun 1995 dan memberi tiga orang cucu kepada Quraish Shihab, yaitu Fathi, Nishrin, dan Nihlah. Putri kedua Quraish Shihab menikah dengan Ibrahim Syarief Assegaf pada tahun 1997 dan dikaruniai anak bernama Izzat dan almarhum Namiya (meninggal empat jam setelah dilahirkan karena prematur5). Putri ketiganya yakni Nasywa Shihab menikah dengan Muhammad Riza Alydrus pada tahun 2005 yang kemudian dikaruniai dua orang putri yaitu Naziha dan Nuha. Ahmad Shihab, yang merupakan satu-satunya anak lelaki dari Quraish Shihab, menikah dengan Sidah Al Hadad6.

Anak-anak Quraish Shihab yang telah menikah tinggal di rumah yang tidak berjauhan dengan rumah Quraish Shihab di Cilandak, Jakarta Timur. Setiap pagi semua anak-anaknya akan berkunjung ke rumah Quraish Shihab untuk mencium tangannya sebelum mereka beraktifitas, bila tak sempat melakukannya mereka akan pamit lewat telepon. Kebiasaan tersebut untuk menjaga hubungan antara orangtua dan anak agar tidak berjarak dan tetap dekat. Bahkan Quraish Shihab juga menugaskan seorang koki di rumahnya untuk memasak

3Rahmat Hidayat. Pemikiran Muhammad Quraish Shihab tentang Poligami. Skripsi S1 Program Studi Al-Ahwal Al-Syakhshiyah Fakultas Syariah UIN Malang tahun 2008. hlm. 62.

4Suliyah. Pemikiran Muhammad Quraish Shihab Tentang Makna dan Upaya Meraih Hidayah dalam Tafsir Al Misbah. Skripsi S1 Program Ushuludin IAIN Walisongo Semarang tahun 2007. hlm. 34.

5http://wowkeren.com/berita/tampil/00053646.htmldiakses pada 8 Agustus 2014 pukul 20.00 WIB.

(40)

29

dan mengirimkan makanan ke rumah anak-anaknya setiap hari. Hal ini dilakukan untuk menjaga kesehatan seluruh anggota keluarganya agar terhindar dari efek buruk makanan yang dibeli dari luar7.

Quraish Shihab memiliki prinsip untuk selalu memberikan keteladanan kepada anak-anaknya. Ia membebaskan anak-anaknya untuk menentukan jalan hidupnya, dengan tetap memberikan rambu-rambu agama yang bersifat tegas. Sejak kecil anak-anaknya dididik dengan ilmu agama yang kuat, sebagai bekal untuk kehidupan di masa depan. Kemudian dalam menentukan pasangan hidup pun, Quraish Shihab membebaskan anak-anaknya untuk memilih pendamping hidupnya sendiri. Bahkan dalam hal berpakaian, Quraish Shihab tidak memaksakan bahwa anak perempuannya harus berjilbab. Namun secara tegas ia menyatakan bahwa dalam hal berpakaian harus tetap berpegang pada norma-norma kesopanan dan kehormatan bagi seorang muslim8.

3.1.2 Latar Belakang Pendidikan

Selain mengikuti pengajian dan kultum (kuliah tujuh menit) yang diberikan sang ayah seusai shalat maghrib, yang bisa dikategorikan sebagai pendidikan informal dalam keluarga yang diterimanya, Quraish Shihab mendapatkan pendidikan formal di sekolah dasar hingga kelas dua sekolah menengah pertama di Ujungpandang. Pada tahun 1956, Quraish Shihab dikirim ayahnya untuk menimba ilmu di Pondok Pesantren Darul-Hadits Al-Faqihiyyah9.

Ketika pemerintah Mesir menawarkan program beasiswa, Quraish Shihab bersama adiknya Alwi Shihab mengikuti tes seleksi dan lolos ke Kairo. Quraish Shihab berangkat ke Mesir pada tahun 1958 dan diterima di kelas dua Tsanawiyah Al Azhar. Setelah menamatkan sekolah menengah, Quraish Shihab melanjutkan studinya di Universitas al-Azhar pada Fakultas Ushuluddin dengan Jurusan Tafsir Hadits. Tahun 1967 beliau berhasil meraih gelar Lc. Dua tahun berselang, yaitu tahun 1969, Quraish Shihab meraih gelar M.A di jurusan yang

sama dengan tesis berjudul “Al-I’jaz Al Tasyri’iy li Al-Qur'an Al-Karim” (Kemukjizatan Al

7http://www.tempo.co/read/news/2012/08/26/219425534/Quraish-Shihab-Si-Pengubah-Dunia diakses pada 25 Mei 2014 pukul 14.40 WIB.

8http://bio.or.id/biografi-najwa-shihab/ diakses pada 8 Agustus pukul 19.45 WIB.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan pandangan seperti itu, penafsiran Quraish Shihab dalam konteks ini tidak tampak dipengaruhi oleh al-Biqâ’î (Al-Biqâ’î, juz 5, t.th: 173-174), kecuali dalam hal

Dari diorama sejarah masa lalu hingga masa modern, mengindikasikan bahwa pandangan terhadap posisi perempuan atau wanita sangat dinamik sesuai dengan trend-trend yang

Kebolehan perempuan menjadi seorang pemimpin adalah karena pada hakikatnya manusia diciptakan di bumi ini adalah mempunyai hak dan kewajiban yang sama, akan

Di samping hak-hak yang telah diberikan kepada perempuan tadi, hal yang tidak boleh terlupakan adalah seorang perempuan mempunyai peran penting dalam mempengaruhi

Al-Qur‟an memberikan pandangan progresif dalam melihat posisi dan eksistensi perempuan dalam kehidupan, karena kedudukan pria dan wanita di hadapan Allah SWT adalah sama,

Dalam pandangannya, perempuan diidentik dengan sosok yang lemah, halus dan emosional. Pandangan ini telah memposisikan perempuan sebagai mahkluk yang seolah-olah harus dilindungi

Islam datang membawa ajaran yang egaliter, persamaan, dan tanpa ada diskriminasi antara jenis kelamin yang berbeda sehingga laki-laki tidak lebih tinggi dari perempuan.. 1

Berkaitan dengan hal tersebut, banyak pendapat yang berkembang mengenai kepemimpinan pendidikan yang dilakukan oleh kaum perempuan dalam wacana pemikiran Islam klasik dan sangat