• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA (EXTERNAL FREEDOM) DIHUBUNGKAN IJIN PEMBANGUNAN RUMAH IBADAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PELAKSANAAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA (EXTERNAL FREEDOM) DIHUBUNGKAN IJIN PEMBANGUNAN RUMAH IBADAH"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Nella Sumika Put ri

Fakult as Hukum Universit as Padj adj aran E-mail: nellasumikaput ri@yahoo. com

Abst r act

Recent l y, Indonesi a f aced i ssues about f r eedom of r el i gi on, i n par t i cul ar f or const r uct ion t he house of wor shi p. It i s par t of f r eedom of wor shi p whi ch i s el ement f r om f r eedom of r el i gion and i t shoul d pr ot ect ed by St at e. event hough St at e i n impl ement at i on t hose r i ght can make some l imi t at ion. Joi nt Decr ee 2006 is a f or m of r est r i ct i on pr ovi ded by t he St at e t o maint ai n publ i c or der . The i mpl ement at ion of f r eedom of r el i gion i s hi ghl y depend on t he t ol er ance among r el i gi ous communit y, par t i cul ar l y in t he scope of f or um ext er num. Cooper at ion beet wen al l par t i es, i . e St at e as pol i cy maker s and i mpl ement er s, r el i gious l eader s as a r ole model f or t he f ol l ower s and soci et y pl ays an i mpor t ant r ol e i n mai nt aini ng i nt er -r el i gious har mony.

Keywor ds: human r i ght s, f r eedom of r el i gion, const r uct i on t he house of wor shi p

Abst rak

Permasalahan kebebasan beragama akhir-akhir ini sedang menghinggapi masyarakat Indonesia, khususnya t ent ang pembangunan rumah ibadah. Pembangunan rumah ibadah adalah bagian dari kebebasan unt uk beribadah yang merupakan bagian dari hak kebebasan beragama dan waj ib dilindungi oleh negara, meskipun negara dalam melakukan perlindungan dapat melakukan pembat asan. SKB 2 Ment eri t ahun 2006 adalah bent uk pembat asan yang diberikan oleh negara dengan t uj uan unt uk menj aga ket ert iban umum. Pelaksanaan kebebasan beragama sangat t ergant ung pada t oleransi ant ara umat beragama khususnya dalam lingkup f or um ext er num. Kerj asama ant ara semua pihak yait u negara sebagai pembuat kebij akan dan pelaksana, pemuka agama selaku t eladan bagi umat nya, dan masyarakat berperan pent ing dalam menj aga keharmonisan ant ar umat beragama.

Kat a kunci: hak asasi manusia, kebebasan beragama, pembangunan rumah ibadah.

Pendahuluan

Indonesia merupakan suat u negara yang memiliki keberagaman baik dari suku, bahasa maupun agama. Keberagaman ini t elah disadari oleh para pendiri negara kit a sehingga melahir-kan suat u semboyan yait u Bhineka Tunggal Ika yang dapat diart ikan sebagai berbeda-beda akan t et api t et ap sat u. Hal t ersebut merupakan konsep yang t elah ada bahkan sebelum Indone-sia merdeka. Prinsip Bhineka Tunggal Ika di-maksudkan agar semua komponen negara dapat menyadari bahwa keberagaman yang ada dapat menimbulkan suat u dampak baik posit ip mau pun negat if . Secara posit ip keberagaman meru-pakan suat u kekuat an yang apabila dapat di-gunakan dengan baik merupakan suat u pot ensi bagi kemaj uan negara akan t et api bila

kebera-gaman t ersebut mengakibat kan suat u perpe-cahan dan kebencian maka keberagaman ini menj adi suat u kekuat an negat if yang dapat menghancurkan bangsa Indonesia.

(2)

dan masyarakat .1 Meskipun begit u dalam prak-t iknya, Indonesia hanya mengakui keberadaan enam agama yang dikenal sebagai agama “ res-mi” yait u Islam, Prot est an, Kat olik, Hindu, Bu-dha dan Konghucu,2 sert a sat u aliran keperca-yaan t erhadap Tuhan Yang Maha Esa. Keenam agama t ersebut berada di bawah Depart emen Agama, sedangkan diluar enam agama t ersebut pembinaan berada dibawah Depart emen Pari-wisat a. Agama-agama dan kepercayaan-keper-cayaan asli nusant ara j uga t idak dimaksukkan ke dalam kat egori agama.3

Sampai dengan Tahun 2000 berdasarkan sensus penduduk diket ahui bahwa sebagian be-sar masyarakat Indonesia adalah Muslim yait u sebanyak 88 % sedangkan sisanya adalah Prot est ant , Kat olik, Hindu dan kurang dari 1 % penduduk Indonesia adalah penganut Budha, Yahudi dan agama-agama t radisional lainnya.4 Jika dilihat dari kuant it as penganut agama ma-ka ama-kan t erlihat adanya agama yang t ergolong dalam kelompok mayorit as dan agama-agama yang t ermasuk dalam kelompok minorit as.

Perbedaan yang cukup signif ikan ant ara golongan mayorit as dan minorit as ini menim-bulkan berbagai permasalahan yang dapat me-ngakibat kan pelanggaran kebebasan beragama. Salah sat u permasalahan yang t erj adi di Indo-nesia akhir-akhir ini adalah masalah ij in pem-bangunan rumah ibadah. Permasalahan t ent ang pembangunan rumah ibadah merupakan salah sat u mot if dari berbagai t indakan anarkis yang dilakukan at as dasar agama yang mengat as na-makan kuant it as dari penganut agama t ert ent u. Agama-agama yang t ergolong minorit as sepert i Prot est an, Kat olik maupun Hindu seringkali mendapat kan hambat an unt uk menj alankan dan melaksanakan ibadah mereka, diant aranya

1 Sigit Ardiant o, 2009, Fr om Secul ar i sm i nt o Modi f ed Pl ur al i sm: Compr ehensi ve Appl i cat i on of John Rawl s's Just i ce as Fai r ness Theor y i n Def i ni ng St at e and Rel i gi on Rel at i onshi p, Cornel l l aw Libr ary

2 Konghucu baru diakui sebagai agama r esmi pada t ahun

2006, pada masa kepemi mpinan Presi den Abdurrahman Wahid.

3 Zaki yuddi n Bai dhawi, 2005, Kr edo Kebebasan Ber agama, Jakart a: PSAP Muhammadiyah, hl m xxii i.

4 ht t p: / / www. st at e. gov/ g/ drl / rl s/ irf / 2009/ 127271. ht m

di akses t anggal 12 Januari 2011

adanya suat u ket ent uan t ent ang pembangunan rumah ibadah.

“ Set ara” mengindikasikan selama t ahun 2009 saj a t erdapat lebih dari 200 pelanggaran t erhadap kebebasan menj alankan ibadah. Jika dif okuskan pada pelanggaran yang t erkait de-ngan pembangunan rumah ibadah t erj adi pe-ningkat an yang cukup signif ikan dari 2008 se-banyak 17 pelanggaran kemudian meningkat menj adi 18 pelanggaran pada t ahun 2009 dan menj adi 28 pelanggaran sampai dengan per-t engahan 2010.5 Pada pert engahan 2010 bebe-rapa kej adian yang cukup menimbulkan konf lik ant ar umat beragama ant ara lain perist iwa penyerangan penganut HKBP Ciket ing Bekasi, Jawa Barat , penyegelan Gerej a HKBP Fialdelf ia di Desa Jej alen, Tambun Ut ara, Kabupat en Be-kasi oleh Pemerint ah Daerah BeBe-kasi, penyegel-an gerej a Blok I No. 7-8 Perumahpenyegel-an Sepat penyegel-an Residen Desa Pisangan Jaya, Kec. Sepat an Ka-bupat en Tangerang dan lain-lain. Unt uk t ahun 2011 saj a t elah t erj adi beberapa kasus yang diant aranya adalah t erj adinya suat u aksi anar-kis yang mengakibat kan t erbunuhnya penganut Ahmadiyah di Pandeglang Jawa Barat dikarena-kan serangan dan kelompok t ert ent u, dan hal ini j uga t erkait dengan pembangunan rumah ibadah dan pelaksanaan kegiat an beribadah. Di awal Februari 2011, 500 siswa dari Pondok Pe-sant ren Sinarmiskin, Kecamat an Boj ongloa Ki-dul melakukan demonst rasi (damai) dalam rangka penolakan pembangunan gerej a di ling-kungan sekit ar sekolah mereka.6

Apabila dilihat dari korban yang menj adi obj ek dari pelanggaran kebebasan beragama dalam hal ini t ent ang pembangunan rumah iba-dah pada umumnya adalah kaum minorit as, kaum minorit as ini seringkali didiskriminasikan dan mendapat penyerangan oleh kelompok-kelompok lain sepert i FPI dan Hizbut Thahir dan bahkan ada yang dilakukan dengan bant uan dari pemerint ah it u sendiri. Penganut Ahmadiyah,

5 ht t p: / / www. wahi dinst it ut e. org/ Program/ Det ail / ?i d=

437/ hl =id/ Memot ret _Pel anggaran_Kebebasan_Beragam a_Di_Wil ayah_Raw an, di akses t anggal 28 Januari 2011.

6 Det ik. 2011. Aksi menol ak pembangunan r umah i badah,

(3)

Syi’ ah and al Qiyadah al Islamiyah mendapat -kan perlakuan diskriminasi dan penyerangan dari kelompok-kelompok massa yang mengat as-namakan Islam.

Berbagai konf lik dan kekerasan yang ber-lat ar belakang agama menunj ukkan bahwa Indonesia masih belum dapat menj alankan dan memberikan perlindungan t erhadap hak asasi manusia khususnya t ent ang kebebasan ber-agama dalam hal ini t erkait dengan hak warga negara unt uk mendirikan rumah ibadah. Per-lindungan t erhadap kebebasan beragama pada dasarnya t elah dinyat akan dan diat ur secara j elas dalam pasal 28 dan 29 UUD 1945 sert a dipert egas melalui UU No 39 t ahun 1999 t en-t ang Hak Asasi Manusia dan melalui peraen-t if ika-sian berbagai konvensi int ernasional ant ara lain ICCPR. Berbagai pembat asan dan pelanggaran t ermasuk penyegelan, pembakaran, penyerang-an at as nama agama adalah pelpenyerang-anggarpenyerang-an hak asasi manusia sepert i yang t erdapat dalam Pasal 18 ayat (3) Int er nat i onal Covenant On Ci vi l And Pol it i cal Ri ght s. Khususnya t erkait dengan pembangunan rumah ibadah yang meru-pakan manif est asi dari pelaksanaan kepercaya-an dari pengkepercaya-anut suat u agama.

Berdasarkan uraian di at as, art ikel ini di-maksudkan unt uk menj elaskan t ent ang peng-at uran ij in pembangunan rumah ibadah t idak bert ent angan dengan hak kebebasan beragama dan upaya yang harus dilakukan sehingga pem-bangunan rumah ibadah di Indonesia t idak men-j adi dasar t imbulnya konf lik di kemudian hari.

Pengert ian Agama

Sangat banyak def inisi yang dapat disam-paikan t ent ang pengert ian dari agama ant ara lain pengert ian agama menurut Aust ralia High Court yait u compl ex of bel i ef s and pr act i ces whi ch poi nt t o a set of val ues and an under -st andi ng of t he meaning of exi -st ence.7 PBB sendiri menyat akan bahwa agama adalah suat u at ribut pribadi yang sama dengan ras, et nis dan j enis kelamin. Hal ini dipandang sebagai f

7 Rebbeca Wil son dan Marry R Power, 2004, Conf l i ct Resol ut i on St yl es among Aust r al i an Chr i st i an and Mosl em, Bond Uni versit y: Humani t y and Social Science Papers, hl m 60

mena alami yang dapat menyebabkan suat u diskriminasi yang mengakuinya sebagai hak dan kebebasan.8 Def inisi lain t ent ang agama adalah berdasarkan put usan pengadilan Amerika ant a-ra Davis v Beason, 133 U. S. , 333, 342, 10 S. Ct 229, 33 L. Ed. 637 (1890)9 yang mendef inisikan agama sebagai:

“ t o one’ s vi ews of hi s r el at ions t o hi s Cr eat or , and t o t he obl i gat i ons t hey i mpose of r ever ences f or hi s being and char act er , and of obedience t o hi s wi l l ” .

(pandangan seseorang at as hubungan dirinya dengan pencipt anya dan kewaj i-ban unt uk menghormat i karakt ernya dan menj alankan perint ahnya)

Def inisi lain t ent ang agama adalah dida-pat dari Unit ed St at es v Seeger, 380 U. S. 163, 165-66, 85 S. Ct . 850, 13 L. Ed. 2d 733 (1965)10 menyat akan bahwa “ agama” adalah:

“ whet her a gi ven bel ief e t hat i s si ncer e and meaningf ul occupi es a pl ace i n t he l i f e of i t s possessor par al l el t o t hat f i l l ed by t he or t hodox bel i ef in God of one who cl ear l y qual i f i es f or t he exempt i on. Whe-r e such bel i ef s have paWhe-r al l el posit i ons in t he l i ves of t heir r espect ive hol der s we cannot say t hat one ‘ i s i n r el at i on t o Supr eme bei ng’ and t he ot her i s not ”

(kepercayaan yang diberikan secara t ulus dan bermakna didalam kehidupan pararel dari pemeluknya at as kepercayaan t er-hadap Tuhan secara ort odox yang dilaku-kan unt uk mendapat dilaku-kan kebebasan. Yang mana keyakinan t ersebut sej aj ar dalam set iap pemeluknya sehingga dapat dikat a-kan bahwa t idak ada yang lebih t inggi dibandingkan yang lainnya)

Deklarasi 1981 t ent ang Penghapusan Se-gala Bent uk Int oleransi dan Diskriminasi at as Dasar Agama at au Kepercayan mendef inisikan agama t ermasuk didalamnya adalah kepercaya-an yait u keyakinkepercaya-an non agama, misalnya at

8 Brice Dickson “ The Unit ed Nat ions and Freedom of

Rel igion” , The Int er nat i onal and Compar at i ve Law Quar t er l y, , 44 (2) Apr il , 1995, hl m 327-357, Cam-bri dge Univer sit y Press on behal f of t he Brit ish Inst it ut e of Int ernat ional andComparat ive LawSt abl e URL: ht t p: / / www. j st or. org/ st abl e/ 760754 diakses pada: 25/ 08/ 2010 03: 42

9 Frank S Ravit ch, 2008, Law And Rel i gi on A Reader : Cases, Concept s, And Theor y, Ameri can Case Book Series, Second Edit ion, hl m 580

10

(4)

me, agnot isme dan kepercayaan lain asalkan kepercayaan t ersebut berhubungan dengan agama. Berdasarkan berbagai def inisi t ent ang agama di at as, pada dasarnya t idak ada suat u bat asan t ent ang agama it u sendiri sepanj ang it u merupakan keyakinan yang t erdapat dalam diri seseorang dalam hubungannya dengan Tuhan. Jadi berdasarkan hal ini t idak ada pem-bat asan apa yang disebut dengan agama sepan-j ang dia memiliki kepercayaan dan hubungan dengan Tuhan (at au bukan) maka dapat dikat egorikan sebagai agama.

Kebebasan Beragama

Semua agama berdasarkan konst it usi me-miliki hak unt uk menikmat i segala bent uk hak asasi unt uk bebas dari segala bent uk diskrimi-nasi at as dasar agama, memiliki perlindungan hukum yang sama dan perlakuan yang sama berdasarkan undang-undang dan unt uk bebas dari diskriminasi dalam memperoleh perlin-dungan hukum.11 Perlindungan t erhadap kebe-basan beragama di Indonesia t elah diat ur seca-ra t egas dalam konst it usi yait u Pasal 29 UUD 1945 menyat akan, "Negara menj amin kemerde-kaan t iap-t iap penduduk unt uk memeluk agamanya masing-masing dan unt uk beribadat menurut agama dan kepercayaannya it u." Hal ini j uga sesuai dengan ket ent uan Pasal 28 E UUD Negara RI 1945:

1) Set iap orang bebas memeluk agama dan ber-ibadat menurut agamanya, memilih pendi-dikan dan pengaj aran, memilih pekerj aan, memilih kewarga-negaraan, memilih t empat t inggal diwilayah negara dan meninggalkan-nya, sert a berhak kembali.

2) Set iap orang berhak at as at as kebebasan meyakini kepercayaan, menyat akan pikiran dan sikap, sesuai dengan hat i nuraninya.

Kebebasan beragama adalah hak yang diakui dalam hukum int ernasional dan di semua sist em hak asasi manusia yang ada di dunia. Indonesia j uga t elah merat if ikasi ket ent uan

11

Louis Henki n, “ Rel igion, Rel igions, and Human Right s” ,

The Jour nal of Rel i gi ous Et hi cs, 26 (2) Fal l , 1998, hl m. 229-239, Journal of Rel igious Et hics, Inc St abl e URL: ht t p: / / www. j st or. org/ st abl e/ 40008655 di akses pada: 25/ 08/ 2010 05: 12

t ernasional yang t erkait dengan perlindungan kebebasan beragama melalui UU No 12 t ahun 2005 t ent ang perat if ikasian ICCPR. Pasal 18 ayat (1) Kovenan Hak-hak Sipil dan Polit ik me-nyebut kan bahwa, “ Set iap orang berhak at as kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan unt uk menet ap-kan agama at au kepercayaan at as pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di t empat umum at au t ert ut up, unt uk men-j alankan agama dan kepercayaannya dalam ke-giat an ibadah, pent aat an, pengamalan, dan pe-ngaj aran” .

Deklarasi t ent ang Penghapusan Semua Bent uk Int oleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama at au Kepercayaan 1981 menyat akan bahwa, “ Set iap orang memiliki hak at as kebe-basan berpikir, berkeyakinan dan beragama hak ini meliput i kebebasan unt uk mengubah agama at au kepercayaannya, dan kebebasan baik sen-diri at au dalam bersama dengan orang lain, baik secara publik maupun pribadi unt uk me-manif est asikan agama at au kepercayaannya dalam pengaj aran, prakt ek, ibadah dan ket aat -an” .

Jadi j ika kit a bicara t ent ang kebebasan beragama kit a t idak hanya membahas t ent ang kebebasan beragama dalam hal memeluk aga-ma saj a akan t et api kebebasan set iap pemeluk agama unt uk dapat menj alankan agamanya masing-masing.12 Kebebasan beragama sendiri dapat dit af sirkan secara berbeda-beda oleh berbagai kebudayaan yang mana hal ini t elah mewarnai pada saat penyusunan UDHR t erkait dengan hak-hak yang harus dilindungi.13 Menu-rut Pasal 9 ECHR, keebebasan beragama at au kepercayaan dapat t erbagi menj adi dua bagian yait u kebebasan unt uk memilih at au menganut agama at au kepercayaan at as keinginannya sendiri (f or um i nt er num) dan kebebasan unt uk

12 Brice Dickson, op. ci t

(5)

memanif est asikan agama dan kepercayaan yang dianut nya (f or um ekst er num).14

Kebebasan beragama merupakan hak yang f undament al yang merupakan salah sat u hak dari 16 hak yang t idak dapat dikurangi da-lam keadaan apapun (non-der ogabl e r i ght s).15 Hak unt uk beragama merupakan hak yang t idak dapat diambil oleh siapapun (unal i enabl e) karena hak unt uk beragama dit ent ukan oleh dirinya sendiri dan t anpa ada paksaan dan di-paksakan oleh orang lain.16 Oleh karena it u dalam pelaksanaanya negara dalam hal ini t idak boleh melakukan int ervensi t erhadap hak kebe-basan bergama akan t et api harus dapat mem-berikan suat u j aminan kepada warga negaranya unt uk dapat menj alankan agamanya t anpa ada gangguan dari pihak manapun.17

Sepert i yang t elah dij elaskan di at as bah-wa kebebasan beragama sendiri t erbagai men-j adi 2 yait u f or um i nt er num dan f or um eks-t er num, pada dasarnya kebebasan yang bersif at absolut dan t idak memperkenankan adanya suat u int ervensi dari negara adalah kebebasan beragama dalam kont eks f or um i nt er num. Se-dangkan dalam kont eks f or um ekst er num bu-kanlah suat u hak yang absolut sehingga dalam pelaksanaannya masih dapat dibat asi oleh ne-gara (Pasal 9 ayat 2 ECHR). Unt uk dapat men-j amin ini negara men-j uga harus memast ikan bahwa t idak ada diskriminasi t erhadap seseorang at au sekelompok orang yang dilakukan at as nama agama.18 Negara harus melakukan berbagai upaya baik melalui undang-undang at aupun ke-bij akan yang melarang segala bent uk diskri-minasi dan perbuat an int oleran yang didasarkan at as agama at au kepercayaan (Pasal 4 ayat (2)

14

Meril in Ki viorg, 2010, Col l ect i ve Rel i gi ous Aut onomy under Eur opean Convent i on on Human Ri ght s: The UK Jewi sh Fr ee School Case i n Int er nat i onal Per spect i ve, European Uni versit y Inst i t ut e Fl orence , Max Weber Programme, hl m 3, ht t p: / / cadmus. eui. eu/ bit st ream/ handl e/ 1814/ 15236/ MWP_2010_40. pdf diakses pada 18 Mei 2011.

15 Par is Mini mum St andards of 1984

16 McConnel l , Gar vey dan Berg, 2006, Rel i gi on and The Const i t ut i on, 2nd Edi t ion, New York: Aspen Publ isher,

hl m 49

17 Brice Dickson, op. ci t .

18 Pasal 4 ayat (1) Decl ar at ion on t he El i minat ion of Al l

Forms of Int ol er ance and of Di scr iminat ion Based on Rel igion or Bel ief 1981

Decl ar at ion on t he El i mi nat i on of Al l For ms of Int ol er ance and of Di scr i minat i on Based on Re-l i gi on or BeRe-l ief 1981). Pelaksanaan kebebasan beragama sendiri pada dasarnya t idak dapat t erlepas dari ket ent uan Pasal 19, Pasal 20 ayat 2 dan Pasal 27 ICCPR.

Pembat asan-Pembat asanTerhadap Kebebasan Beragama

Hak-hak sipil dan polit ik adalah hak yang dilindungi berdasarkan ICCPR begit u j uga dalam berbagai konvensi lain sepert i t he European Convent ion, dan t he American Convent ion. Da-lam beberapa hal para pembent uk ket ent uan ini mencoba unt uk memberikan suat u peluang bagi pemerint ah unt uk dapat membent uk suat u pembat asan at as berbagai hak-hak sipil dan polit ik. Terdapat beberapa ket ent uan yang memperkenankan dibat asinya suat u hak t er-masuk hak t ent ang kebesan berpindah, agama, berekspresi, berkumpul dan berpendapat yang mana t idak dapat dibat asi kecuali unt uk me-lindungi keamanan nasional, keamanan masya-rakat , ket ert iban umum, kesehat an at au moral at au hak-hak dan kebebasan lainnya.19 Oleh karena it u pembat asan t erhadap kebebasan beragama diperkenankan berdasarkan ket ent u-an Pasal 18 ayat (3) bahwa kebebasu-an unt uk memanif est asikan agama at au kepercayaan da-pat dibat asi hanya oleh hukum dan hanya di-perlukan unt uk melindungi keamanan masyara-kat , kepent ingan, kesehat an at au moral at au hak-hak f undament al lainnya.

Dapat disimpulkan bahwa pembat asan ini diperkenankan dan dibat asi secara sempit yait u hanya t erhadap lima ket ent uan. Per t ama, pem-bat asan-pempem-bat asan demi perlindungan keama-nan publik; kedua, pembat asan-pembat asan unt uk melindungi t at anan/ ket ert iban publik;

ket i ga, pembat asan-pembat asan dalam rangka perlindungan kesehat an publik; keempat, pem-bat asan-pempem-bat asan dalam rangka perlindung-an moral; dperlindung-an kel i ma, pembat asan-pembat asan

19 ICCPR, supra not e 41, Art s. 12(3), 18(3), 1 9 (3), 2 1, 22

(6)

demi melindungi hak-hak dan kebebasan f un-dament al orang-orang lain.

Selain it u pembat asan t erkait dengan ma-nif est asi agama at au keyakinan seseorang ini hanya diperbolehkan j ika pembat asan t ersebut t idak diskriminat if .20Terkait dengan hal ini In-donesia sendiri memiliki suat u pengat uran yang merupakan suat u pembat asan yait u t ent ang ij in pendirian rumah ibadah. Mengapa dikat akan sebagai pembat asan karena pemeluk agama t idak dapat secara langsung membangun se-buah rumah ibadah yang dimaksudkan sebagai manif est asi kepercayaannya t anpa ada ij in dari pemerint ah set empat t ermasuk j uga penduduk disekit ar rumah ibadah t ersebut akan didirikan.

Perat uran t ent ang ij in pembangunan ru-mah ibadah ini diat ur dalam Perat uran Bersama Ment ri Agama dan Ment ri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 t ahun 2006 t ent ang Pedoman Pelaksanaan Kepala Daerah/ Wakil Kepala Dae-rah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Ber-agama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah. Berda-sarkan ket ent uan ini unt uk membangun sebuah rumah ibadah pemeluk agama harus memenuhi persyarat an berupa:

(1) Adanya keperluan nyat a dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi j umlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkut an di wilayah kelurah-an/ desa (Pasal 13 ayat (1) SKB 2 Ment eri No. 9 Tahun 2006).

(2) Pendirian rumah ibadah sendiri harus pen-dirian rumah ibadat harus memenuhi per-syarat an khusus meliput i :

a. daf t ar nama dan Kart u Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disah-kan oleh pej abat set empat sesuai de-ngan t ingkat bat as wilayah sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3);

20

Manf red Nowak dan Tanj a Vospernik, 2010,

Pembat asan-Pembat asan yang Di per bol ehkan t er hadap Kebebasan Ber agama at au Ber keyaki nan, dal am

Kebebasan Ber agama at au Ber keyaki nan Seber apa Jauh?, Yogyakart a: Kani sius, hl m 230

b. dukungan masyarakat set empat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang di-sahkan oleh lurah/ kepala desa;

c. rekomendasi t ert ulis kepala kant or de-part emen agama kabupat en/ kot a; dan d. rekomendasi t ert ulis FKUB kabupat en

/ kot a.

(3) Dalam hal persyarat an sebagaimana di-maksud pada ayat (2) huruf a t erpenuhi se-dangkan persyarat an huruf b belum t er-penuhi, pemerint ah daerah berkewaj iban memf asilit asi t ersedianya lokasi pemba-ngunan rumah ibadat .

Analisis Terhadap SKB Pendirian Rumah Iba-dat

Pendirian rumah ibadat apabila dilihat dalam kont eks kebebasan beragama masuk ke dalam ranah f or um ekst er num yang dapat di-art ikan bahwa negara dapat membat asi pelak-sanaanya (Lihat Pasal 18 ayat 3 ICCPR, Pasal 9 ayat (2) European Convent ion on Human Right s dan pasal 12 ayat (3) American Convent ion on Human Right s), akan t et api pembat asan harus dilakukan dengan Undang-Undang. UU No. 39 t ahun 1999 t ent ang Hak Asasi Manusia j uga me-ligit imasi pembat asan ini yang diat ur dalam Pa-sal 70.21 Pembangunan rumah ibadah adalah sa-lah sat u bent uk penganut suat u agama unt uk mewadahi kegiat an keagamaan. Pembangunan rumah ibadah t ermasuk dalam salah sat u ben-t uk kebebasan yaiben-t u kebebasan unben-t uk beriba-dah (f r eedom of wor shi p).22 Pembangunan ru-mah ibadah t ent unya berkait an dan dapat ber-bent uran dengan hak-hak asasi lainnya ant ara lain t ent ang ket ert iban umum.

21

“ Dal am menj al ankan hak dan kebebasannya, set iap orang waj i b t unduk kepada pembat asan yang dit et apkan ol eh Undang-undang dengan maksud unt uk menj amin pengakuan sert a penghor mat an at as hak dan kebebasan orang l ain dan unt uk memenuhi t unt ut an yang adil sesuai dengan pert imbangan mor al , keamanan, dan ket ert i ban umum dal am suat u masyarakat demokrat is. ”

(7)

Jika dilihat dari perspekt if pemerint ah, dapat dipahami mengapa pemerint ah mencoba membuat suat u pengat uran t erkait dengan pembangunan rumah ibadah melalui SKB Pen-dirian Rumah Ibadah t ahun 2006, yait u unt uk menj aga ket ert iban umum, mengingat negara Indonesia adalah negara yang pluralis yang memiliki berbagai agama dan kepercayaan. Pada dasarnya ket ent uan ini adalah prosedur administ rat if , yang berart i sepanj ang at uran administ rat if dipenuhi sej ogj anya t idak akan menimbulkan konf lik. Pengat uran t ent ang ij in pembangunan rumah ibadah ini apabila dit inj au dari kont eks ham pada dasarnya diperkenankan sepanj ang unt uk mencegah kekacauan publik.23 Sehingga secara regulasi SKB Pendirian Rumah Ibadah t ahun 2006 adalah sesuat u yang diperkenankan oleh prinsip-prinsip hak asasi manusia. Akan t et api dalam penerapannya mengalami berbagai hambat an. Penyegelan rumah ibadah yang t erj adi di Bekasi dan Tang-gerang menunj ukkan bahwa meskipun at uran administ rat if t elah t erpenuhi t idak menj amin pembangunan rumah ibadah dapat dij alankan dengan baik. Beberapa alasan yang dikemu-kakan oleh pemerint ah set empat adalah bahwa pembangunan rumah ibadah (gerej a) t ersebut mengganggu ket ert iban umum masyarakat seki-t ar. Perseki-t anyaannya adalah meskipun seki-t elah men-dapat perset uj uan secara administ rat if dari warga sekit ar t empat pembangunan gerej a t er-sebut akan t et api pembangunan gerej a j uga t idak dapat dilaksanakan.

Bagaimana dengan agama/ aliran yang t i-dak t ermasuk salah sat u dari agama resmi di Indonesia apakah akan mendapat kan hak unt uk membangun rumah ibadahnya? Secara konst it u-sional hal ini t ent u diperkenankan karena UUD 1945 t idak melarang hal t ersebut akan t et api j ika melihat pada persyarat an yang dibut uhkan unt uk pembangunan rumah ibadah berdasarkan SKB Ment eri t ent ang pembangunan rumah iba-dah, t ent u saj a hal t ersebut t idak dimungkin-kan dan hal ini t erj adi pada kasus Ahmadiyah. Karena ij in pembangunan rumah ibadah t er-sebut sudah dipast ikan t idak akan dikeluarkan,

23

Manf red Nowak dan Tanj a Vospernik, op. ci t , hl m 208

at au dengan kat a lain agama yang t idak resmi t idak akan memperoleh hak unt uk membangun rumah ibadah.24

Jadi meskipun pembat asan t ersebut dit u-j ukan unt uk ket ert iban umum namun pada ak-hirnya pembat asan ini melanggar hak asasi manusia it u sendiri t erkait dengan pembat asan kebebasan beragama.25 Karena meskipun ber-dasar Pasal 18 ayat 3 ICCPR dan Pasal 70 UU No 39 t ahun 1999 t ent ang HAM pembat asan oleh pemerint ah diperkenankan t et api hal ini harus dipahami bersama-sama dengan prinsip non int ervensi dan non diskriminasi (Pasal 4 ayat (2) Declarat ion on t he Eliminat ion of All Forms of Int olerance and of Discriminat ion Based on Re-ligion or Belief 1981) dimana negara harus men-j amin hak set iap warga negara unt uk memani-f est asikan at au agama at au kepercayaannya t anpa mendapat kan suat u diskriminasi baik oleh pemeluk agama lain maupun oleh kebij ak-an yak-ang dibuat oleh pemerint ah sendiri. Dalam membuat suat u pembat asan negara t i-dak bo-leh mengut amakan salah sat u agama/ keperca-yaan dibandingkan dengan agama yang lain, sert a mengambil kebij akan yang lebih mengun-t ungkan salah samengun-t u agama/ kepercayaan diban-dingkan yang lain.26

Permasalahan pembangunan rumah iba-dah di Indonesia mempermasalahkan berbagai f akt or yait u agama mayorit as dan agama mi-norit as, agama yang resmi dan agama yang t idak resmi. Apabila dilihat dari indikat or t er-sebut di at as maka t erlihat suat u diskriminasi yang mana perlakuan t erhadap agama mayori-t as mayori-t enmayori-t u akan berbeda dengan agama minori-t as. Ij in pembangunan rumah ibadah bagi aga-ma aga-mayorit as t ent u bukan suat u peraga-masalahan, akan t et api t idak berlaku sebaliknya.

Apabila suat u agama/ kepercayaan t idak diakui sebagai salah sat u agama maka dia akan kehilangan haknya sebagai penganut agama di Indonesia, kecuali memilih salah sat u dari

24 Caveat , “ Freedom of Rel igion in Indonesi a: Mul t i pl e

Choices not Short Answers” , Indonesi an Mont hl y Human Ri ght s Anal ysi s, 09 (II) Febr uary 2010, hl m 4.

25 Lihat kasus Mannousaki s v Greece dan Tsavaehi di s v.

Greece.

26 J. Raz, 1988, The Mor al i t y of Fr eedom, OUP, Oxf or d,

(8)

enam agama yang ada dan t ent u saj a pemeluk agama ini t idak akan diberikan haknya ant ar lain sepert i hari libur keagamaan apalagi unt uk membangun rumah ibadah. Unt uk kasus Ahma-diyah, sudah dapat dipast ikan bahwa umat nya t idak dapat mendirikan rumah ibadah karena Ahmadiyah sendiri t idak diakui sebagai salah sat u agama resmi di Indonesia sehingga t idak mendapat kan haknya unt uk membangun rumah ibadah.

Pada dasarnya pembat asan kebebasan beragama diperkenankan sepanj ang berkait an dengan f or um ext er num apabila dit uj ukan un-t uk menj aga keun-t erun-t iban umum dan dilaksana-kan t anpa ada diskriminasi. Adilaksana-kan t et api pemba-t asan ini hanya boleh didasarkan pada undang-undang. SKB 2 Ment eri t ahun 2006 t ent ang pen-dirian rumah ibadah, bukanlah merupakan pro-duk undang-undang sehingga dapat dikat akan bahwa SKB t ersebut merupakan produk yang inkonst it usional27 oleh karena it u t idak dapat dij adikan sebagai dasar pembat asan kebebasan beragama dalam hal ini dalam hal pendirian rumah ibadah, meskipun dit uj ukan unt uk men-j aga ket ert iban umum. Oleh karena it u men-j ika pe-merint ah ingin melakukan pembat asan dalam pembangunan rumah ibadah maka pemerint ah harus membat asi hal t ersebut melalui per-at uran perundang-undangan sehingga memiliki kekuat an hukum yang sah.

Solusi Penegakan Kebebasan Menj alankan Ibadah

Pembangunan rumah ibadah sendiri pada dasarnya adalah bagian dari hak unt uk men-j alankan agama at au kepercayaan28. Permasa-lahan t ent ang kebebasan menj alankan ibadah ini menurut saya t idak akan pernah selesai hanya dengan mengeluarkan ket ent uan undang-undang saj a t anpa ada komit men yang j elas dari seluruh pemangku kepent ingan khususnya di Indonesia dengan keberagamannya ini.

27 Meril in Ki viorg, “ The Per mi si bl e Scope of Legal

Limit at ions on t he Freedom of Rel igionor Bel ief in Est oni a” , Emor y Int er nat i onal Law Revi ew, 19 year 2005, hl m 757.

28 Asma Jahangir, Impl ement at i on Of Gener al Assembl y Resol ut i on 60/ 251 Of 15 Mar ch 2006 Ent i t l ed “ Human Ri ght s Counci l ”, A/ HRC/ 4/ 21/ Add. 1, 8 Maret 2007

pert i dij elaskan sebelumnya agama pada dasar-nya adalah hubungan yang pribadi ant ara sese-orang dengan Tuhannya yang mana hal ini sej aj ar dengan bagaimana dia berhubungan de-ngan manusia lainnya. Karena t anpa ada hubu-ngan yang baik secara pararel maka t idak akan t erwuj ud hubungan yang baik dengan Tuhan se-cara vert ikal.

Meskipun negara Indonesia mengakui ada-nya kebebasan beragama akan t et api pemba-t asan-pembapemba-t asan yang diberikan oleh negara t erhadap kebebasan beragama ini sangat ba-nyak. Pembat asan ini diawali dengan adanya ket ent uan t ent ang agama yang diakui hanya 6 (enam) agama dan sat u aliran kepercayaan. apabila melihat ket ent uan t ersebut maka hanya agama-agama t ersebut yang akan mendapat kan perlindungan dan j aminan dari pemerint ah se-dangkan bagi penganut agama di luar agama yang diakui akan mendapat kan kesulit an unt uk mendapat kan hak-haknya sebagai warga nega-ra. Hal ini dapat dilihat dari kasus Ahmadiyah yang mana t idak diakui sebagai agama. Menurut penulis hal ini t ent u saj a bert ent angan dengan konst it usi it u sendiri sert a ket ent uan int er-nasional yang t elah dirat if ikasi oleh Indonesia yang t ent unya mewaj ibkan Indonesia unt uk menghormat i perj anj ian t ersebut unt uk mema-t uhinya.

(9)

diskriminasi at au bahkan menghilangkan hak-hak yang dimiliki oleh kaum minorit as. Per-at uran pembangunan rumah ibadah sendiri di-t uj ukan undi-t uk menj amin kedi-t erdi-t iban dan kehar-monisan ant ar umat beragama. Secara sudut pandang hukum hal ini lebih kepada at uran ad-minist rat if unt uk memberikan suat u keadilan. Tet api pada pelaksanaannya meskipun at uran adminst rat if t erpenuhi bukan berart i pem-bangunan rumah ibadah dapat dilaksanakan.

Penyelesaian t erhadap konf lik keberaga-man di Indonesia sendiri pada dasarnya t idak cukup hanya dilakukan melalui undang-undang at au melalui j alur hukum semat a. Jika hanya mekanisme it u yang diambil, maka persoalan konf lik keagamaan ini akan t et ap berlangsung dan berpot ensi semakin meluas dan meruncing. Pemerint ah selama ini selalu bert indak pada saat pelanggaran t elah t erj adi (represif ) dan t ent u saj a set elah ada desakan dari masya-rakat . Agama seringkali dij adikan sebagai sara-na polit is dari kelompok-kelompok t ert ent u un-t uk melancarkan j alur poliun-t ik mereka. Solusi yang t erbaik adalah pada proses pencegahan (prevent if ). Dalam hal ini diperlukan kerj asama yang opt imal dari para pemangku kepent ingan dan adanya kesadaran dari masing-masing pihak unt uk mau menj alin komunikasi sert a meng-hargai umat lainnya.

Pengat uran kebebasan beragama melalui hukum int ernasional merupakan sesuat u yang abst rak dan akan sangat t ergant ung pada ke-inginan masing-masing negara unt uk melaksanakannya. Indonesia meskipun t elah merat if i -kasi dan mengakui kebebasan beragama t et ap belum bisa mengakomodasi kebebasan ini dengan baik.

Penulis sependapat dengan apa yang di-nyat akan oleh Tore Lindholm,29 bahwa yang t erpent ing bukanlah para pemeluk agama menghargai kepercayaan dan pengamalan aga-ma lain at au apakah mereka mengakui j alan keselamat an alt ernat ive akan t et api apakah

29

Tore Lindhol m, 2010, Just i f i kasi Fi l osof i s dan Keagamaan t er hadap Kebebasan Ber agama at au Ber keyaki nan dal am Kebebasan Ber agama at au Ber keyaki nan Seber apa Jauh?, Yogyakart a: Kanisius, hl m 141

para pihak dapat mendukung dokt rin publik t ent ang mart abat inheren set ara dan kebeba-san semua manusia yang t idak dapat dicabut t anpa t ergant ung dengan pandangan agama, pandangan hidup at au perbedaan lain pada diri mereka dan masing-masing pihak mau me-mahami dan mempercayai bahwa pihak lain j uga sama-sama mendukung kebebasan ber-agama at au berkeyakinan yang umum.

Permasalahan pembangunan rumah iba-dah t idak akan pernah selesai sepanj ang set iap pihak t idak mau memahami bahwa set iap orang memiliki hak yang sama unt uk melaksanakan agamanya, sebaik apapun at uran yang dibuat apabila orang yang menj alankan t idak memaha-minya maka at uran t ersebut t idak akan guna. Pemerint ah dalam kasus kebebasan ber-agama di Indonesia merupakan akt or kunci30 dalam kebij akan-kebij akan yang bersif at diskri-minat if dengan cara memihak salah sat u kelom-pok agama dan menerapkan diskriminasi t er-hadap agama, kepercayaan dan f ilosof i-f ilosof i lainnya.

Terhadap pembangunan rumah ibadah j e-las t erlihat bahwa pemerint ah bersikap berat sebelah dan lebih memihak pada golongan ma-yorit as. Karena kebij akan yang diambil selalu berdasarkan desakan dari kelompok yang meng-at asnamakan kelompok mayorit as. Pemerint ah j uga t erkesan membiarkan para pelaku unt uk t idak mendapat kan suat u penegakan hukum yang sesuai. Hal pent ing yang harus dilakukan oleh pemerint ah t idak hanya menyelesaikan masalah pert ikaian konf lik keagamaan ini se-t elah perisse-t iwa se-t erj adi akan se-t ese-t api bagaimana kit a menj aga kerukunan umat beragama ini dimasa yang akan dat ang. Hal yang t erpent ing adalah mendorong saling pengert ian, t oleransi dan penghormat an sehubungan dengan kebe-basan beragama dalam rangka menj amin t er-laksananya prinsip perlindungan hak asasi ma-nusia yang t elah diat ur dalam konst it usi.31

30 Manf red Nowak dan Tanj a Vospernik, op. ci t , , hl m 201. 31

(10)

Pemerint ah t idak dapat menganggap ringan permasalahan ini, karena banyak kej ahat -an berskala besar y-ang didasark-an at as mot if agama sepert i halnya genosida. Jika pemerin-t ah pemerin-t idak mengambil langkah serius maka ke-khawat iran bahwa akan t erj adi suat u konf lik yang berkepanj angan di kemudian hari sepert i halnya yang t erj adi ant ara Israel dan Palest ina, dimana Indonesia pernah mengalami ini melalui kej adian di Maluku dan Poso.

Dialog pada saat ini bukan j alan keluar karena hanya menj angkau golongan at as saj a t idak sampai ke golongan akar rumput . Dialog yang selama ini dilakukan hanya sebat as disku-si, seminar dan t ent u saj a t idak akan memberi-kan suat u perubahan yang signif memberi-kan. Perubahan sampai ke akar rumput t idak cukup hanya de-ngan dialog t et api but uh hal yang lebih pent ing yait u pendidikan yang dapat mengubah pola pikir masyarakat , unt uk lebih menghargai per-bedaan.

Jika pemerint ah berani mengambil lang-kah t egas unt uk menegakkan hukum t erhadap para pelanggar kebebasan beragama ini me-rupakan suat u langkah yang baik yang dapat memberikan suat u ef ek j era bagi para pelaku kekerasan. Upaya lain t erkait dengan represif adalah membubarkan dan menindak t egas or-ganisasi kemasyarakat an yang bersif at anarkis dan berbau SARA.

Toleransi memegang peranan pent ing khususnya dalam pembangunan rumah ibadah. Toleransi yang berasal dari bahasa lat in t ol e-r ae-r e memiliki pengert ian membiarkan mereka yang berpikiran lain at au berpandangan lain t anpa dihalang-halangi. Menurut UNESCO dalam

Decl ar at ion of Pr i nci pl es in Tol er ance pasal 1 menj elaskan bahwa t oleransi adalah penghor-mat an, penerimaan dan apresiasi t erhadap perbedaan yang ada di dunia. Toleransi adalah harmonis dalam perbedaan, yang bukan saj a suat u kewaj iban moral akan t et api suat u hal yang diperpersyarat kan dalam bidang polit ik dan hukum. Toleransi harus dilaksanakan oleh individu, kelompok dan masyarakat .32

32 Cal ros Val derrama Adri ansén, 3 April 2007; Tol er ance and Rel i gi ous Fr eedom: The St r uggl e i n Per u To

Toleransi sendiri t erbagi dua yait u t ole-ransi f ormal dan t oleole-ransi mat erial. Toleole-ransi f ormal berart i membiarkan pandangan-pan-dangan dan prakt ik-prakt ik polit ik at au agama yang t idak sesuai dengan pandangan kit a sej auh t idak mengganggu.33 Toleransi bukan berart i kit a bersikap sangat apat is menj adi t idak pe-duli. Toleransi sangat diperlukan dalam kebe-basan beragama karena set iap orang yang me-miliki agama at au kepercayaan t ent unya memi-liki hak dan kewaj iban unt uk menj alankan aga-manya t ersebut . j ika t idak ada t oleransi t ent u akan t erdapat pihak-pihak yang haknya t idak t ersampaikan dan pada umumnya dapat dipast i-kan bahwa yang ai-kan menj adi korban adalah kelompok minorit as.

SKB Pendirian Rumah Ibadah hanyalah ke-t enke-t uan yang bersif ake-t mengake-t ur dan pelaksana-anya sangat t ergant ung dari t oleransi masing-masing pihak unt uk dapat menerima pendirian rumah ibadah di suat u daerah t ert ent u. Adanya penyerangan t erhadap pendirian rumah ibadah menunj ukkan suat u f enomena bahwa sudah berkurangnya budaya t oleransi di Indonesia dan kurangnya pemahaman masyarakat t ent ang kehidupan yang maj emuk.

Meskipun di beberapa daerah upaya membangun t oleransi ini masih ada sepert i di daerah Mopuya, desa di Kecamat an Dumoga Ut ara, Kab Bolmong, Provinsi Sulawesi Ut ara yang mana masalah pembangunan rumah iba-dah bukanlah suat u persoalan. Di desa pemba-ngunan rumah ibadah dilakukan dalam sat u komplek dari lahan yang disediakan oleh Pe-merint ah.34

Persoalan penyegelan dan penyerangan gerej a dan t empat beribadah Ahmadiyah pada dasarnya dapat dipandang sebagai dua hal yang Tol er at e Mul t i pl e Cul t ur es i n Li ght of Pr i nci pl es of Rel i gi ous Fr eedom. Br i gham Young Uni ver si t y Law Revi ew [ ser ial onl ine] . hl m 776-777.

33 Andr eas A Yewangoe, 2009, Regul asi Tol er ansi dan Pl ur al i sme Agama di Indonesi a, dal am Merayakan Kebebasan Ber agama “ Bunga Rampai Menyambut 70 t ahun Dj ohan Ef f endi ” , Jakart a: ICRP dan Kompas, hl m 80-81.

34

(11)

sama t et api berbeda. Persamaannya adanya pembat asan unt uk menj alankan ibadah, per-bedaannya adalah unt uk penyegelan dan pe-nyerangan gerej a bahwa gerej a adalah t empat beribadah umat Krist iani yang merupakan salah sat u dari agama resmi di Indonesia sedangkan Ahmadiyah merupakan agama yang t idak diakui sebagai salah sat u agama resmi. Secara regulasi maka pada kasus yang pert ama dapat dikat akan meskipun merupakan agama resmi akan t et api j aminan yang diberikan negara t erhadap hak unt uk menj alankan ibadah t et ap t idak t erpe-nuhi. Unt uk Ahmadiyah, pada dasarnya t idak di akui secara hukum sehingga memang Ahma-diyah t ent unya t idak dapat j aminan dari negara unt uk melaksanakan ibadahnya meskipun j ika dilihat dari kont eks kebebasan beragama hal ini merupakan suat u pelanggaran.

Jadi penyelesaian t erhadap kasus penye-gelan gerej a masih ada kemungkinan penyele-saian secara hukum, akan t et api unt uk Ahma-diyah t ent unya lebih sulit karena AhmaAhma-diyah bukanlah agama yang legal berdasarkan hukum Indonesia. Unt uk mengat asi ini diperlukan suat u kedewasaan dari set iap warga negara dan t en-t unya pemerinen-t ah unen-t uk lebih dapaen-t bersikap bij aksana. Ket erbukaan menj adi kat a kunci se-kaligus prasyarat an pert emuan agama yang sehat dan dinamis sert a j alan t ercipt anya perdamaian global ant ar umat beragama.35

Jika kit a melihat kondisi yang ada maka kurangnya t oleransi ini harus diperbaiki sese-gera mungkin dan hal ini sej alan dengan apa yang t erdapat dalam Commission on Human Right s resolut ion 2003/ 54 t ent ang El i mi nat ion Of Al l For ms Of Rel i gious Int ol er ance dimana hasil rekomendasi berupa mendorong negara unt uk memast ikan bahwa konst it usi negara dan sist em legislat if memberikan j aminan t erhadap kebebasan beragama, dalam hal ini menurut pandangan penulis Indonesia pada dasarnya se-cara konst it usi t elah memberikan j aminan akan t et api ada beberapa perundang-undangan dan perat uran di bawah undang-undang yang ber-t enber-t angan dengan konsber-t iber-t usi iber-t u sendiri seperber-t i

35

Ibi d, hl m 193.

adanya pembat asan t ent ang agama resmi yang diakui oleh pemerint ah.

Negara j uga sampai saat ini belum bisa menj amin unt uk memberikan perlindungan ke-pada set iap warganegaranya t erkait dengan kebebasan beragama dan masih banyak t er-dapat prakt ik-prakt ik pembiaran t erkait dengan pelanggaran kebebasan beragama.36 Pengakuan t erhadap hak-hak warga negara unt uk dapat beribadah dengan memperoleh t empat ber-ibadah yang layak j uga belum dapat t erpenuhi perat uran t ent ang pendirian rumah ibadah yang dit uj ukan unt uk menj aga ket ert iban umum se-baliknya dij adikan sebagai sarana pembat asan unt uk pembangunan rumah ibadah it u sendiri.37

Upaya pemerint ah unt uk mengurangi rasa kebencian dan meningkat kan t oleransi ant ar umat beragama j uga belum memadai pemerin-t ah hanya selalu menggunakan dialog pemerin-t anpa ada t indak lanj ut .38 Tanggung j awab unt uk menj a-min kebebasan beragama/ kepercayaan t idak hanya menj adi t anggung j awab pemerint ah se-mat a-se-mat a akan t et api merupakan t anggung j awab penuh dari para pemimpin agama ma-sing-masing. Para pemimpin agama seharusnya dapat memberikan t eladan sert a membawa pemeluknya unt uk lebih dapat menghargai dan mengembangkan t oleransi ant ar pemeluk aga-ma unt uk dapat hidup berdampingan secara damai.39

Upaya yang dilakukan oleh pemerint ah sej auh ini hanyalah sebagai mengeluarkan ke-t enke-t uan-keke-t enke-t uan di ake-t as kerke-t as saj a seperke-t i halnya ket ent uan yang t erbaru yait u t ent ang Inst ruksi Ment eri Agama Nomor 2 t ahun 2011 t ent ang Ant isipasi Terhadap Timbulnya Ke-rawanan/ Konf lik Kerukunan Umat Beragama.

36

Commission on Human Right s resol ut ion 2003/ 54 t ent ang El iminat ion of al l f orms of rel igious int ol erance, Pasal 4 point b

37 Commission on Human Right s resol ut ion 2003/ 54

t ent ang El iminat ion of al l f orms of rel igious int ol erance, Pasal 4 point d

38 Commission on Human Right s resol ut ion 2003/ 54

t ent ang El iminat ion of al l f orms of rel igious int ol erance, Pasal 4 point c

39 Freedom t o Bel ieve: Uphol ding t he St andard of t he

(12)

Ket ent uan ini hanyalah berisi imbauan unt uk berkoordinasi dan mensosialisasikan kerukunan ant ar umat beragama.

At uran pembangunan rumah ibadah me-nurut penulis masih diperlukan unt uk mewuj ud-kan suat u ket ert iban umum, aud-kan t et api yang t erpent ing bukanlah at uran melainkan bagai-mana para pihak dapat saling menghormat i dan menghargai kebebasan pemeluk agama lain unt uk dapat menj alankan ibadahnya. Oleh ka-rena it u memupuk t oleransi merupakan hal yang harus dilakukan saat ini oleh seluruh warga Indonesia dengan didukung oleh semua pihak yait u pemerint ah, pemimpin agama sert a lingkungan pendidikan. Pemerint ah j uga harus memberikan j aminan yang t egas t anpa mendis-kriminasikan kelompok t ert ent u unt uk selalu menindak t egas pelanggaran-pelanggaran yang t erkait dengan kebebasan menj alankan ibadah t erkait dengan pembangunan rumah ibadah.

Penut up Simpulan

SKB 2 ment eri t ahun 2006 t erkait pem-bangunan rumah ibadah yang mana dit uj ukan unt uk menj aga ket ert iban umum secara hak asasi manusia diperkenankan karena pem-bangunan rumah ibadah merupakan bagian dari

f or um ekst er num dimana kebebasan beragama bukan dipandang sebagai sesuat u yang absolut . Akan t et api pelaksanaan f or um ekst er num sen-diri t ent u harus dengan t et ap memperhat ikan prinsip-prinsip non-diskriminasi dan mencegah int oleransi ant ar umat beragama. Akan t et api pada pelaksanaanya SKB t ersebut melanggar prinsip-prinsip HAM yang lain, karena SKB t er-sebut bukanlah merupakan undang-undang yang dihasilkan oleh lembaga legislat if sehingga da-pat dikat egorikan merupakan suat u hal yang inkonst it usional. Pada t at aran pelaksanaanya SKB t ersebut menimbulkan suat u diskriminasi t erhadap kelompok agama t ert ent u khususnya minorit as dan menimbulkan berbagai konf lik yang dit imbulkan karena kurangnya t oleransi ant ar umat beragama.

Upaya yang harus dilakukan unt uk men-cegah konf lik t erkait dengan pendirian rumah

ibadah adalah dengan memupuk rasa t oleransi ant ar umat beragama yang dimulai sej ak dini yang dimulai dari kelompok t erkecil dalam ma-syarakat yait u keluarga. Di samping it u peme-rint ah j uga harus bert indak lebih t egas sert a non-diskriminat if t erhadap pemeluk agama dan kepercayaan baik golongan mayorit as maupun minorit as dalam rangka menj aga ket ert iban dan penghormat an hak asasi manusia khususnya ke-bebasan bergama dan menj alankan ibadah.

Saran

Adapun saran penulis dalam hal ini adalah bahwa pembat asan yang dilakukan oleh negara t erkait dengan pembangunan rumah ibadah di masa yang akan dat ang masih diperlukan se-panj ang kebij akan yang dibuat didasarkan at as prinsip non-diskriminasi dan net ral begit u j uga pada pelaksanaanya. Pembat asan yang t erkait dengan kebebasan beragama dalam hal ini pembangunan rumah ibadah harus didasarkan pada perundang-undangan yang dihasilkan oleh lembaga legislat if .

Selain adanya suat u j aminan dan perlin-dungan yang diberikan oleh negara t erkait de-ngan kebebasan beragama, adalah menj adi t ugas set iap pemangku kepent ingan dan j uga warga negara unt uk semakin memupuk kesa-daran dan meningkat kan t oleransi ant ar umat beragama.

Daft ar Pust aka

Adriansén, Calros Valderrama. 3 April 2007. To-l er ance and ReTo-l i gi ous Fr eedom: The St r uggl e in Per u To Tol er at e Mul t i pl e Cul t ur es i n Li ght of Pr i nci pl es of Rel i -gi ous Fr eedom. Br i gham Young Uni ver -si t y Law Review [ serial online] ;

Ardiant o, Sigit . 2009. Fr om Secul ar i sm i nt o Mo-di f ed Pl ur al i sm: Compr ehensi ve Appl i ca-t i on of John Rawl s's Jusca-t i ce as Fai r ness Theor y i n Def i ning St at e and Rel i gion Rel at ionshi p. Cornell law Library; Baidhawi, Zakiyuddin. 2005. Kr edo Kebebasan

Ber agama. Jakart a: PSAP Muhamma-diyah;

(13)

Indonesi an Mont hl y Human Ri ght s Ana-l ysi s, 09 (II) February 2010;

Dickson, Brice. “ The Unit ed Nat ions and Free-dom of Religion” . The Int er nat i onal and Compar at i ve Law Quar t er l y, 44 (2) Ap-ril, 1995;

Henkin, Louis. “ Religion, Religions, and Human Right s” . The Jour nal of Rel i gious Et hi cs,

26 (2) Fall, 19989, URL: ht t p: / / www. j s-t or. org/ ss-t able/ 40008655 diakses pada: 25/ 08/ 2010 05: 12;

Jahangir, Asma. Impl ement at i on Of Gener al As-sembl y Resol ut ion 60/ 251 Of 15 Mar ch 2006 Ent i t l ed “ Human Ri ght s Counci l ”, A/ HRC/ 4/ 21/ Add. 1, 8 Maret 2007;

Kiviorg, Merilin. “ The Permisible Scope of Legal Limit at ions on t he Freedom of Religionor Belief in Est onia” . Emor y Int er nat i onal Law Revi ew, 19 year 2005;

Kiviorg, Merilin. 2010. Col l ect i ve Rel i gi ous Au-t onomy under Eur opean ConvenAu-t i on on Human Ri ght s: The UK Jewi sh Fr ee School Case in Int er nat ional Per spec-t i ve. European Universit y Inst it ut e Flo-rence, Max Weber Programme, ht t p: / / cadmus. eui. eu/ bit st ream/ handle/ 1814/ 15236/ MWP_2010_40. pdf diakses pada 18 Mei 2011;

Lindholm, Tore. 2010. Just i f i kasi Fi l osof i s dan Keagamaan t er hadap Kebebasan Ber aga-ma at au Ber keyaki nan dalam Kebebasan Ber agama at au Ber keyaki nan Seber apa Jauh?. Yogyakart a: Kanisius;

McConnell, Garvey dan Berg. 2006. Rel i gi on and The Const it ut ion, 2nd Edit ion, New York: Aspen Publisher;

Nowak, Manf red dan Tanj a Vospernik. 2010.

Pembat asan-Pembat asan yang Di per bo-l ehkan t er hadap Kebebasan Ber agama at au Ber keyaki nan, dalam Kebebasan Ber agama at au Ber keyaki nan Seber apa Jauh?. Yogyakart a: Kanisius;

Qurt uby, Sumant o Al. 2009. Pl ur al i sme, Di al og, dan Peacebui l di ng Ber basi s Agama di Indonesi a, dalam Merayakan Kebebasan Beragama “ Bunga Rampai Menyambut 70 t ahun Dj ohan Ef f endi” . Jakart a: ICRP dan Kompas;

Ravit ch, Frank S. 2008. Law And Rel i gi on A Reader : Cases, Concept s, And Theor y.

American Case Book Series, Second Edit ion;

Raz, J. 1988. The Mor al it y of Fr eedom. Oxf ord: OUP;

Scolnicov, Anat . 2011. The Ri ght t o Rel i gi ous Fr eedom i n Int er nat i onal Law Bet ween Gr oup Ri ght s and Indivi dual Ri ght s. New York: Rout ledge;

Wilson, Rebbeca dan Marry R Power. 2004. Con-f l i ct Resol ut i on St yl es among Aust r al i an Chr i st i an and Mosl em. Bond Universit y: Humanit y and Social Science Papers;

Referensi

Dokumen terkait

Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri Lubuk Pakam, tahun 1999.. Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Nias Selatan,

Kegiatan Belanja Hibah, Belanja Bantuan Sosial, Belanja Bagi Hasil Kepada Pemerintah Desa, Belanja Bantuan Keuangan Kepada Pemerintahan Desa dan Belanja Tidak Terduga Kabupaten

Penelitian ini berawal dari kenyataan bahwa banyak siswa kelas IV SD kesulitan memahami pecahan, terutama pada pembelajaran penjumlahan pecahan berpenyebut tidak sama. Hal

Proses-proses dalam pendekatan scientifik meliputi beberapa tahapan (gambar 3) yaitu: mengamati, hipotesis atau menanya, mengasosiasikan atau eksperimen, mengumpulkan

[r]

[r]

Namun, penerapan itu dapat juga berwujud : Bagaimana saya menilai perilaku saya dan orang lain dalam bidang kegiatan dan kehidupan khusus yang dilatarbelakangi oleh

Kramer (2000, pp.2,3) menyaran- kan bahwa perkawinan antara tulisan kreatif dan jurnalistik mengggunakan teknik ber- cerita (storytelling techniques) yang dapat digunakan pada