• Tidak ada hasil yang ditemukan

REPRESENTASI KESEHARIAN INDONESIA REPRESENTASI KESEHARIAN INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "REPRESENTASI KESEHARIAN INDONESIA REPRESENTASI KESEHARIAN INDONESIA "

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

REPRESENTASI KESEHARIAN INDONESIA DALAM KARYA SASTRA INDONESIA

SEBELUM BALAI PUSTAKA1

Oleh

Ibnu Wahyudi2

/1/

Dengan judul tulisan sebagaimana tertera pada makalah ini, kiranya jelas bahwa titik berangkat yang diambil di dalam memandang permasalahan “sejarah

kesusastraan” Indonesia di masa kolonial ini bukan bertumpu pada Balai Pustaka. Lembaga penerbitan yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda ini tidak akan lagi ditengarai sebagai penanda awal khazanah sastra Indonesia modern melainkan hanya sebagai suatu fase atau tahap dari perjalanan sastra Indonesia modern secara utuh. Dalam kaitan ini, menjadi perlu dimafhumi terlebih dahulu bahwa hingga beberapa tahun berselang, pandangan akan pentingnya peranan Balai Pustaka3 sebagai

cikal bakal sastra Indonesia modern harus diakui sebagai masih sangat kuat. Para pengamat sastra Indonesia yang sempat menyinggung atau yang semata-mata mengikuti begitu saja anggapan akan peranan istimewa Balai Pustaka dalam perjalanan sastra Indonesia modern itu dapat dikatakan cukup banyak. Di antara mereka itu adalah A. Teeuw dalam Sastra Baru Indonesia I (1980), Aning Retnaningsih dalam Roman dalam Masa Pertumbuhan Kesusastraan Indonesia Modern (1983), Fachruddin Ambo Enre dalam Perkembangan Puisi Indonesia dalam Masa Duapuluhan (1963), A. Brotherton dalam “Modern Indonesian Literature,”

Eastern World (1995), Boejoeng Saleh dalam “Perkembangan Kesusastraan

Indonesia,” Almanak Seni 1957 (1956), Liang Liji dalam “Sastra Peranakan Tionghoa dan Kehadirannya dalam Sastra Sunda,” Archipel (1987), Goenawan Mohamad dalam “Sebuah Sketsa Setengah Abad: Kesusastraan Indonesia 1917—1967,” Horison

(1968), dan Anthony H. Johns dalam “Genesis of a Modern Literature,” Indonesia

1 Makalah ini disajikan dalam seminar “Buku Langka Sebagai Sumber Referensi Kajian Budaya Indonesia” yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Nasional di Jakarta, 28 Oktober 2004. Judul makalah ini merupakan penyempitan dari topik yang ditawarkan oleh panitia, yang aslinya berjudul “Potret Budaya Indonesia dalam Literatur Jaman Kolonial”.

(2)

(1967). Dalam dunia pengajaran pun, kenyataan seperti itu malahan dan sungguh-sungguh lebih terasa.4 Buku-buku ajar yang berkaitan dengan bahasa dan sastra sangat

biasa dan tampak tanpa beban ketika menyebutkan bahwa awal sastra Indonesia modern bersamaan atau ditandai dengan diterbitkannya novel pertama oleh Balai Pustaka yaitu Azab dan Sengsara karya Merari Siregar. Padahal, melalui sejumlah kajian atau penelitian seperti pernah dilakukan oleh Nio Joe Lan,5 Watson,6 Sykorsky,7

maupun Salmon8 sudah semakin kentara bahwa awal sastra Indonesia modern

semestinya jauh sebelum didirikannya lembaga Balai Pustaka yang merupakan nama populer dari Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor voor de Volklectuur),9 pada tahun 1917

itu.

Bersesuaian dengan tema seminar, makalah ini sudah barang tentu tidak akan mempersoalkan perihal penting-tidaknya Balai Pustaka dalam lintasan sejarah sastra maupun sejarah budaya bangsa Indonesia melainkan hanya “meminjam” Balai Pustaka sebagai suatu penanda bahwa untuk kurun yang lumayan lama, lembaga penerbitan kolonial dan karya-karya yang diterbitkannya itu pernah begitu berwibawanya sampai-sampai puluhan karya yang terbit di luar dan sebelumnya, dinafikan begitu saja. Bukan merupakan suatu yang mengherankan apabila pernah muncul istilah-istilah bernuansa negatif seperti “bacaan liar” atau “roman picisan” untuk karya-karya yang tidak diterbitkan oleh Balai Pustaka itu.

Embel-embel atau label “liar” pada istilah “bacaan liar” itu sangat boleh jadi diukur dari kriteria kemapanan atau keadiluhungan yang melekat dan coba dibangun terus oleh Balai Pustaka. Demikian pun dengan kepicisan yang mengikuti kata “roman” itu tidak lain merupakan bentuk penistaan dari sudut Balai Pustaka. Istilah “bacaan liar”—seperti pernah dikemukakan oleh Ajip Rosidi10—ditujukan untuk

karya-karya sastra yang rendah moralitasnya dan kurang beradab. Karya-karya semacam ini terbit di luar Balai Pustaka, umumnya ditulis dengan bahasa Melayu Pasar dan bertema seputar masalah erotis, seksual, kriminal, pernyaian, atau

tema-4 Terlalu mudah untuk menunjukkan hal semacam ini dalam buku-buku pelajaran bahasa dan sastra Indonesia; dan oleh karena itu tidak perlu dinyatakan secara eksplisit di sini.

5 Nio Joe Lan, Sastera Indonesia-Tionghoa, Djakarta: Gunung Agung, 1962.

6 C.W. Watson, “Some Preliminary Remarks on the Antecedents of Modern Indonesian Literature,” Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde, 127 (4e), 1971.

7 W.V. Sykorsky, “Some Additional Remarks on the Antecedents of Modern Indonesian Literature,” Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde, 136 (4e), 1980.

8 Claudine Salmon, Literature in Malay by The Chinese of Indonesia: A Provisional Annotated Bibliography, Paris: Editions de la Maison des Sciences de l’Homme, 1981.

9 Sebelum menjadi Kantor Bacaan Rakyat, lembaga yang didirikan pata tahun 1908 ini bernama Komisi Bacaan Rakyat (Commissie voor de Inlndsche School en Volklectuur).

(3)

tema lain yang cenderung dinilai rendah dipandang dari sudut atau standar moral tertentu. Demikian pula dengan istilah “roman picisan”, sangat bertalian dengan kualitas karya yang rendah mutu dan penyajiannya, bergeser dari makna semula yang berarti karya-karya tipis yang murah harganya dan biasanya terbit di Medan dan Padang. Ditilik dari asal-muasalnya, istilah ini tidak dapat dipisahkan dari orang yang pernah menyebutkannya, yaitu Roolvink, yang pernah menulis artikel berjudul “De Indonesiase ‘Dubbeltjesroman’” yang telah diindonesiakan menjadi “’Roman Pitjisan’ Bahasa Indonesia” dan dimuat dalam buku A. Teeuw.11

/2/

Apapun nama atau sebutan yang pernah melekat pada karya-karya yang terbit di luar atau sebelum didirikannya Balai Pustaka, karya-karya semacam itu tetap sangat layak diperhitungkan dan diperbincangkan, istimewanya dari sisi sosiologisnya alih-alih dari sisi formal atau intrinsiknya. Sebagai karya sastra, karya-karya tersebut lebih tepat dikatakan sebagai karya sastra populer daripada karya sastra dengan “s” kapital, berdasarkan sejumlah kenyataan sosiologis yang melekat pada karya-karya itu.

Kenyataan bahwa karya-karya sastra tersebut cenderung ditulis secara apa adanya dan nyaris tanpa suatu pengolahan yang bersifat kreatif-imajinatif, bukan untuk mengatakan bahwa tidak ada sama sekali segi kreatif-imajinatif yang

diterapkan, melainkan untuk menyatakan bahwa para penulis ini terasa sekali sangat mengabdi pada realitas atau kenyataan yang ingin ditampilkan dengan bangunan alur yang serba berurut dan kompleksitas masalah yang beranak pinak. Hampir selalu, adanya penanda akan kefaktualan yang dinyatakan melalui anak judul seperti “Satoe tjerita jang betoel soedah terdjadi di tanah Preangan”,12 atau “Anak jang soeda boenoe

bapanja, lantaran perkara prampoean; satoe tjerita jang betoel soeda kadjadian di Batavia kampoeng Pantjoran”,13 atau “Satoe tjerita jang amat loetjoe, indah dan ramei

dan jang betoel soedah kadjadian kira-kira saratoes taoen laloeh di tanah Djawa Koeloen”,14 atau “Satoe kapala penjamoen di djaman dahoeloe tempo tahon 1840;

jang betoel soeda kadjadian di Batavia”,15 memberikan petunjuk kepada pembaca

11 A. Teeuw, Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru, Djakarta: Pembangunan, 1957, h. 159-173.

12 H. Kommer, Tjerita Siti Aisah atau Tjinta Hati jang Sabenar Tjinta, Batavia” W.P. Vasques, 1900.

13 Lie Tek Long, Tjerita Gouw Soei Hoo, Batavia: Lie Tek Long, 1913.

14 H. Kommer, Tjerita Kong Hong Nio: satoe toean tanah di babakan afdeeling Tangerang, Betawi, Batavia: W.P. Vasques, 1900.

(4)

bahwa apa yang dituliskan itu tidak lain merupakan semacam upaya mendokumentasi apa-apa yang pernah terjadi, kendati kualitas peristiwanya itu sendiri bisa sangat biasa, terbatas, atau hanya bersangkutan dengan peristiwa domestik.

Cara bercerita atau cara mengambil sudut penceritaan yang sedemikian itu, yang seolah-olah hanya memindahkan saja apa-apa yang pernah terjadi ke dalam karya sastra seperti tampak dari anak-anak judul yang sudah dicontohkan, selain sebagai kecenderungan yang bertolak dari konvensi bercerita masa itu, agaknya lebih bersandarkan pada realitas pembaca saat itu yang tingkat kemampuan membacanya masih sangat rendah sebagai akibat dari belum diperkenalkannya dunia dan sistem pendidikan secara bebas dan terbuka bagi orang Hindia Belanda pada umumnya.16

Hanya karya-karya yang cenderung dikategorikan sebagai karya-karya populer semacam itu saja yang cocok dikonsumsi oleh pembaca yang baru melek huruf dengan rata-rata tingkat pendidikan juga masih sangat rendah. Inilah kenyataan sosiologis yang ikut menegaskan bahwa karya-karya sastra pada masa sebelum Balai Pustaka itu adalah karya-karya populer; sebuah kecenderungan berkarya yang sangat mempertimbangkan faktor pembaca sebagai konsumen. Dengan kata lain, orientasi berkarya pada ketika itu tidak bisa lain adalah orientasi pasar atau pembaca alih-alih orientasi kualitas.

Masih dari sejumlah contoh anak judul yang sudah disebutkan, pembaca sesungguhnya sudah dapat menangkap arah cerita; dan segala sesuatunya pun sudah jelas. Anak-anak judul itu sudah memposisikan diri sebagai headlines yang tidak menyembunyikan kejutan atau hal-hal yang implisit. Dengan kenyataan seperti ini maka jelas bahwa karya-karya awal dalam khazanah sastra Indonesia modern ini adalah karya-karya populer.

Demikian pula dengan tokoh-tokoh yang ditampilkan—jika karya-karya itu dibaca secara lebih cermat—akan segera hadir di hadapan kita sejumlah tokoh yang sangat mewakili bayangan, harapan, atau ekspektasi kita mengenai sebuah identitas atau sosok. Misalnya, seorang penjahat cenderung ditampilkan sebagai orang yang

(5)

mempunyai codet di wajahnya serta berkelakuan sangar; atau seorang saudagar yang akan selalu berpakaian necis dan membawa cangklong ke mana-mana. Bentuk-bentuk yang bersesuaian dengan apa-apa yang kita bayangkan ini, atau yang telah menjadi suatu generalisasi tanggapan, lazim disebut sebagai stereotipe.

Kemudian alur ceritanya, kendati dari anak judulnya pembaca sesungguhnya sudah mampu menebak arah cerita, pengarang tampak perlu untuk menyusun alur serumit mungkin semata-mata untuk melibatkan emosi pembaca dan mengarahkan pembaca untuk sampai pada taraf katarsis atau taraf ketika rasa tegang memperoleh saluran penglepasannya. Dengan kata lain, pembaca “dipaksa” untuk terus mengikuti alur cerita karena pemecahan masalah selalu diulur dan digantung.

Dan yang tidak ketinggalan dan tidak kalah pentingnya, adalah adanya

kecenderungan kuat pada sejumlah besar cerita yang menyisipkan hal-hal yang serba mutakhir pada masanya atau untuk saat itu. Pada novel Nyai Ratna karya R.M. Tirto Adhi Soerjo misalnya, terdapat kutipan sebagai berikut ini.

Setelah jongos Parmi pulang, Sambodo lalu ganti pakaian menggunakan sarung sutera poleng, kebaya baru yang telah diseterika, rambut disisir dengan Eau de Chinin, lalu digulung dan mengenakan destar yang harum karena sudah diuukup dengan kertas wangi toko Parijs, kumis dilicinkan dengan pomade seharum minyak cendana dan sapu tangan diperciki klonyo H.S. Setelah selesai diambilnya rokok El Chombata lalu duduk di depan.17

Apa yang tersurat dan terpapar dalam kutipan ini hanya sekadar contoh bahwa ada kecenderungan untuk menampilkan hal-hal yang serba baru, mutakhir, atau kontemporer pada masanya, yang dalam istilah Abraham Kaplan disebut dengan

novelty. Selain novelty ini, kecenderungan umum yang mengikuti pola penulisan karya-karya populer sebagaimana sudah disebutkan secara sepintas dalam makalah ini sebagai titik tolak pengkategorian (pengaluran yang kompleks, stereotipe yang melekat pada tokoh-tokoh yang ditampilkan, formula sebagai dasar berkreasi), pada intinya dipinjam dari tulisan Abraham Kaplan yang berjudul “The Aesthetics of the Popular Arts”.18

/3/

17 R.M. Tirto Adhi Soerjo, Nyai Ratna dalam Sang Pemula yang disusun oleh Pramoedya Ananta Toer, Jakarta: Hasta Mitra, 1985, h. 329.

(6)

Dilihat dari identitas pengarangnya, karya-karya sastra Indonesia yang pernah terbit sebelum dan di luar Balai Pustaka dapat dipilah menjadi tiga kelompok besar. Kelompok pertama adalah para penulis Indo-Eropa, kemudian kelompok penulis Peranakan-Cina, dan terakhir adalah kelompok penulis pribumi. Namun demikian, perlu buru-buru dinyatakan di sini bahwa asal atau latar identitas itu tidak akan dipergunakan untuk menyebut mereka sebagai bukan pengarang Indonesia— utamanya kepada para penulis yang bukan pribumi itu.

Mengikuti apa yang pernah saya lakukan dalam tulisan yang berjudul

“Mempertimbangkan Kembali Awal Keberadaan Sastra Indonesia Modern”,19 ada dua

kriteria longgar tetapi mendasar (dari lima kriteria yang saya ajukan) untuk mengidentifikasi sesebuah karya sebagai bagian integral dari khazanah sastra Indonesia modern, yaitu (1) kriteria aksara dan (2) kriteria bahasa. Dengan kriteria aksara, dimaksudkan bahwa karya yang layak disebut sebagai warga sastra Indonesia modern adalah apabila karya itu menggunakan aksara latin, bukan aksara jawi atau aksara daerah lain meskipun bahasanya bisa saja adalah bahasa Melayu atau malahan bahasa Indonesia. Sedangkan dengan kriteria bahasa, adalah bahwa yang akan disebut sebagai karya sastra Indonesia itu selain beraksara latin, harus pula berbahasa Melayu atau Indonesia. Dalam hal ini, identitas pengarang menjadi tidak terlalu

dipermasalahkan mengingat bahwa pada masa itu belum ada suatu sistem identifikasi yang adil dan jelas terhadap mereka yang disebut sebagai “orang Indonesia”. Oleh karena hal yang sedemikian itu, para penulis Peranakan-Cina atau Indo-Eropa akan dinyatakan sebagai pengarang Indonesia apabila yang bersangkutan pernah

menghasilkan karya sastra asli dalam bahasa Indonesia/Melayu dengan huruf latin sebagai media penyampainya. Dengan demikian jelas bahwa sikap yang dipergunakan untuk menentukan “keindonesiaan” bukan dari identitas pengarangnya melainkan dari karya yang dihasilkannya. Hal semacam ini perlu ditempuh dan ditegaskan mengingat bahwa selama ini ada semacam penganaktirian terhadap karya-karya pengarang yang bukan pribumi dan apalagi kalau karya-karya mereka itu diterbitkan di luar Balai Pustaka. (Sementara itu, di dalam perkembangannya, khazanah sastra Indonesia modern secara faktual sesungguhnya tidak terlalu bermasalah dengan persoalan identitas ini, terbukti dengan tidak pedulinya para pengamat sastra Indonesia mutakhir

(7)

dengan para penulis “keturunan”. Kenyataan ini sungguh-sungguh sesuatu yang menggembirakan dan menyiratkan adanya semangat plural dan multikultural!)

Dari penetapan yang sedemikian ini maka diperoleh banyak karya yang dapat dikategorikan sebagai khazanah sastra Indonesia modern, baik berupa prosa, puisi, maupun drama. Dilihat dari usia penulisan dan juga penerbitannya, dapat dinyatakan di sini bahwa karya tertua yang pernah ada adalah puisi yang berjudul Sair

Kadatangan Sri Maharaja Siam di Betawi (1870)yang kemungkinan besar adalah karya Tan Teng Kie,20 kemudian Novel berjudul Njai Dasima (1896) karya G.

Francis,21 dan drama berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno (1901) yang ditulis

oleh F. Wiggers.22

/4/

Ada pendapat dari A.H. Johns melalui tulisannya yang berjudul “The Novel as a Guide to Indonesian Social History” yang bersesuaian dengan arah tulisan ini, yaitu pendapatnya yang kira-kira menyatakan bahwa di dalam sejumlah novel Indonesia tampak bahwa ada upaya pada diri para pengarang yang telah berusaha secara objektif menggambarkan suatu masyarakat yang sedang berproses, yang sedang mengalami perubahan dan pergeseran nilai-nilai. Pendapat Johns yang sedemikian ini merupakan tanggapannya atas karya-karya sastra pada masa-masa setelah Balai Pustaka berdiri, setelah dekade tahun 1920-an; maka dapat dibayangkan bagaimana kemungkinan “pembelaan”nya terhadap karya-karya sebelum Balai Pustaka yang dapat dikatakan hampir-hampir ditulis tanpa pretensi kesastraan itu.

Dengan pengertian lain, karya-karya yang ditulis tanpa suatu polesan imajinatif yang berarti—sebagaimana terungkap pada karya-karya awal dalam khazanah sastra Indonesia modern ini—akan sangat memberi kemungkinan untuk dipahami sebagai karya-karya yang masih setia mengungkapkan fakta atau realitas tanpa niatan pada dirinya untuk secara sadar mendokumentasi suatu dinamika atau pergerakan zaman. Artinya, dengan membaca karya-karya sebelum Balai Pustaka yang dihasilkan sebagai pemenuhan atas minat baca yang masih sangat terbatas itu maupun dari

20 Dikatakan “kemungkinan besar” karena hingga saat ini belum ditemukan identitas

pengarangnya. Namun dari gaya dan cara menyusun syair, karya ini ada kemiripannya dengan Sya’ir Jalanan Kreta Api yang ditulis oleh Tan Teng Kie pada tahun 1890. Kedua karya ini sudah diterbitkan lagi dan terhimpun dalam Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia 1, yang disunting oleh Marcus A.S. dan Pax Benedanto, Jakarta: KPG, 2000.

21 G. Francis, Tjerita Njai Dasima: Soewatoe Korban dari pada Pemboedjoek. Batavia: Kho Tjeng Bie & Co., 1896.

(8)

keinginan berbagi peristiwa-peristiwa nyata yang menggiriskan itu, secara tidak langsung karya-karya tersebut telah mampu merekam “keseharian”—untuk tidak terlalu gegabah menyatakannya sebagai “kebudayaan”—dari kehidupan Indonesia di masa kolonial itu. Tetapi tentu bukan hanya karya sastra yang berbentuk novel saja— seperti dikemukakan oleh Johns tadi—yang secara tidak langsung telah mampu merekam kehidupan atau keseharian di Hindia Belanda; puisi dan drama pun tentu saja mempunyai kemungkinan yang tidak jauh berbeda.23

Di dalam drama Lelakon Raden Beij Soerio Retno misalnya, kita kemungkinan besar akan memperoleh gambaran kehidupan pada tahun 1880-an secara lebih baik dan mengesankan dibandingkan dengan gambaran yang ada di dalam buku-buku sejarah yang biasanya cenderung ditulis secara kering. Salah satu gambaran itu misalnya sebagai berikut.

Djoeroetoelis (omong pada magang).

Mas! Apa staat-staat soedah abis ditarik?

Magang

Soedah, tinggal di isi sadja.

Djoeroetoelis (pada laen magang)

La, kowe Mo, tjoba priksa priksa oewang padjek, bantingin oewang peraknja, priksa djoega djangan ada jang tambelan.

Magang Kromo bangoen pegi preksa oewang padjek.

Mana soerat patokmoe kang loerah?

Loerah nommor 1

Ini, saija bawa sisa padjek sama sekali djadi loenas.

Magang banting-banting doewit padjek itoe.

Ach, loerah, ini satoe ringgit boedek, tida njaring, toekarlah.

Loerah

Aai, heran betoel saija trima padjek begitoe ati-ati masih djoega ada jang boedek, djangan-djangan embok loerah ini poenja boewatan toekar doewitnja jang tida lakoe sama ini padjek. [Maka loerah ganti itoe ringgit boedek].24

Dari kutipan ringkas ini saja, kita memperoleh banyak informasi mengenai kebiasaan para lurah, magang, dan jurutulis dalam suatu interaksi. Perihal uang yang tambalan atau yang palsu serta komentar-komentar atau aktivitas yang menyertainya, niscaya lebih mampu memberikan nuansa masa lalu secara lebih otentik dan apa

23 Sapardi Djoko Damono dalam Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979, h. 3), juga menyatakan bahwa novel atau prosa pada umumnya memang merupakan genre yang lebih mampu mengungkapkan situasi atau kondisi sosial secara lebih mendetail dibandingkan dengan puisi atau drama. Namun demikian, kenyataan di lapangan tidak selamanya harus demikian. Memang, secara populasi dan popularitas, prosa cenderung lebih dibaca dan disukai.

(9)

adanya dibandingkan dengan karya sastra yang dibuat dengan pretensi sastra pada umumnya maupun dengan risalah sosial yang pernah ada. Aktivitas “kecil” dan “sederhana” sebagaimana terungkap dalam kutipan tadi sangat boleh jadi tidak dianggap penting sebagai semacam data sejarah dari sebuah kehidupan di Indonesia, tetapi jelas sangat menyentuh pemahaman kita akan keseharian hidup di masa itu.

Demikian pula mengenai kemeriahan dalam menyambut kedatangan Sri Maharaja Siam digambarkan dengan biasa tetapi diwarnai oleh rincian yang mengesankan dalam Sair Kadatangan Sri Maharaja Siam di Betawi seperti terlihat pada cuplikan syair di bawah ini.

Pukul anam nyang pagi-pagi, Datang samua bala kompani; Dari Senen dan Meester lagi, Tambur dan musik pada berbunyi.

Bala itu sepanjang jalan, Di bariskan ada dengan aturan; Prenta itu dengan kabetulan, Samua ada dalam pelajaran.

Barisan kampung dengan tumbaknya, Tuan assistent ada kommandannya; Di Mangga besar betul jambatannya, Di situ mulai sambungannya.

Mayoor, kaptein dan luitenan cina, Samua bangsanya baris di sana; Kaiya, miskin dan nyang terhina, Hormat nyang patut dengan samporna.

Di ujung barisan cina ini, Soldadu policie satu kompani, Dapat prenta biar begini, Sapanjang barisan di sambungi.

Barisan slam dari kampung-kampung, Pegang tumbak tida bertudung;

Ada nyang pendek ada nyang jankung, Tetapi hatinya terlalu bingung.25

Informasi mengenai suasana dan situasi di sepotong daerah di Jakarta di masa lalu seperti terungkap dari syair ini, sangat mungkin tampil dengan lebih hidup dan

(10)

nyata dibandingkan dengan pemaparan historis yang mungkin saja mendetail tetapi kekurangan energi yang imajinatif.

/5/

Dengan pembahasan yang ala kadarnya dan belum menyinggung banyak karya sastra yang pernah terbit pada masa kolonial ini, utamanya karya-karya sebelum Balai Pustaka, dapat disimpulkan bahwa karya-karya sastra—khususnya yang dapat

dikategorikan sebagai karya sastra populer, secara tidak langsung telah mampu berperan sebagai semacam pendokumentasi atau perekam dinamika suatu zaman tanpa pretensi bagi beban semacam itu. Karya-karya populer mampu berperanan seperti itu karena tuntutan pembaca yang mengharapkan adanya sarana untuk “melarikan diri” maupun untuk “mengaktualisasi diri” di tengah situasi zaman atau kehidupan yang barangkali saja penuh dengan tekanan dan dan beban.

Karya-karya Hilman Hariwijaya atau Marga T., contoh untuk karya-karya tahun 1970-an sampai dewasa ini, mempunyai peranan yang sama pula dengan karya-karya di masa kolonial itu. Dengan membaca serial Lupus karya Hilman Hariwijaya, misalnya, secara tidak langsung pembaca diajak untuk menyimpan serpihan-serpihan kenangan atau kehidupan yang sangat mungkin tidak sempat direkam oleh risalah sosiologi atau antropologi karena signifikansinya yang dianggap rendah dari kaca mata keilmuan. Hal yang sama terjadi pula pada karya-karya yang dibahas ini; pembaca memperoleh banyak nuansa masa lalu yang terkonstruksi baik melalui kisahannya maupun melalui pemakaian bahasa yang secara diam-diam telah menyimpan anasir dokumentasi meski tanpa disadari, oleh diksi, kalimat, maupun imaji yang ada.

Namun bagaimanapun, tetap harus kita ingat dengan baik, bahwa karya sastra tetap saja karya fiksi. Dengan pengertian lain, karya sastra pun tidak selayaknya dibebani dengan peran yang memang bukan porsinya dan tidak perlu diposisikan sebagai sumber data atau sumber sejarah, melainkan hanya sebuah indikator yang akan menuntun pembaca kepada suatu pemahaman masa yang telah lewat secara lebih holistik atau menyeluruh. Dengan menempatkan karya sastra sebagaimana mestinya, kita sesungguhnya telah bertindak dewasa dan intelek dalam bersikap. Semoga.***

Referensi

Dokumen terkait

keadaannya atau kita sendiri yang memberikan keadaannya seperti yang kita terima dalam..

Hasil penelitian menunjukkan bahwa aliran permukaan pada areal pertanaman wortel dengan teknik konservasi tanah dan air dengan penutupan mulsa plastik lebih tinggi

perubahan keempat ini adalah Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden

Bab IV, Pembahasan meliputi: pendapat tokoh Muhammadiyah dan tokoh Al-Washliyah mengenai Kewajiban nafkah bagi suami yang di penjara terhadap isteri dan dalil yang

Seperti pada siklus pertama akumulasi yang diperoleh yaitu 32,5% persentase tersebut menujukan kategori nilai yang sangat kurang, namun kenaikan yang sangat

corethrurus yang diberi perlakuan insektisida karbofuran ternyata senyawa methylcarbomat sangat mempengaruhi hormon pada kokon sehingga jumlah dan daya tetas kokon menu- run.

Hal ini ditunjukkan dengan nilai signifikasi untuk kedua model Altman Modifikasi dan Springate sebesar 0,135 lebih besar dari tingkat signifikan sebesar 0,05

Dari hasil pengujian aktivitas antibakteri fraksi n -heksana, etilasetat dan metanol aktif terhadap bakteri uji yang ditunjukkan dengan terbentuknya zona hambat di se- kitar