TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman
Tanaman delima diklasifikasikan sebagai berikut kingdom: Plantae,
divisio : Spermatophyta, subdivisio : Angiospermae, kelas : Dicotyledonae,
ordo : Myrtales, famili : Punicaceae, genus : Punica, spesies : Punica granatum L. (United States Department of Agriculture, 2011).
Sistem perakaran delima terbagi dua, yaitu perakaran yang tumbuh vertikal dan horizontal. Bagian akar yang aktif adalah pada kedalaman 20 - 90 cm,
tergantung pada perbedaan kedalaman tanah dan kelembaban (Levin, 1999). Cabang-cabang muda dari pertumbuhan vegetatif pada awal pertumbuhan berukuran kecil. Warna kulit cabang muda tergantung pada varietas. Beberapa
tanaman delima memiliki warna cabang merah muda ke unguan, selain itu ada yang berwarna hijau muda dengan bintik-bintik merah muda-ungu atau garis-garis. Cabang muda kadang-kadang memiliki duri di ujung yang sudah terlihat
pada saat muda. Batang yang muda memiliki cabang poligonal (segi empat). Daun muda cenderung memiliki warna kemerahan yang berubah menjadi hijau saat
dewasa (Holland et al., 2009).
Daun delima berukuran panjang sekitar 0,75-3,5 inc dan lebar 0,4-1,2 inc. Memiliki tangkai daun (petiolus) yang pendek. Terdapat tiga daun dalam satu
kelompok yang tersusun pada 110-1300. Daun muda berwarna kemerahan dan akan berubah menjadi hijau ketika dewasa. Bagian atas daun berwarna hijau lebih
Delima merupakan tanaman menyerbuk sendiri sehingga pada satu bunga
terdapat alat kelamin jantan dan betina. Bunga delima berbentuk pir, melengkung dan berdaging dengan kaliks yang berbentuk lonceng (mahkota). Terdapat 5-8
daun mahkota yang berkerut (Aston et al., 2006).
Buah delima tergolong dalam buah berry dengan pericarp luar kasar dan banyak biji. Bentuk buah kurang lebih bulat dengan diameter 8-18 cm (hingga
2 cm dalam bentuk kerdil). Buah kadang-kadang bisa lebih atau kurang bergaris. Warna kulit buah bervariasi dari kehijauan sampai merah tua, sangat jarang
mendekati hitam. Warna kulit buah bervariasi tergantung pada varietas tanaman (Levin, 1999).
Dormansi Benih
Benih dikatakan dorman apabila benih tersebut sebenarnya hidup tetapi tidak berkecambah walaupun diletakkan pada keadaan yang secara umum dianggap telah memenuhi persyaratan bagi suatu perkecambahan. Dormansi pada
benih dapat berlangsung selama beberapa hari, semusim, bahkan sampai beberapa tahun tergantung pada jenis tanaman dan tipe dari dormansinya (Sutopo, 2012).
Ahli fisiologi benih menyatakan ada empat tahap perkecambahan : (1) hidrasi atau imbibisi, selama periode tersebut air masuk ke dalam embrio dan
membasahi protein dan koloid lain, (2) pengaktifan enzim, yang menyebabkan
peningkatan aktivitas metabolik, (3) pemanjangan sel radikel diikuti munculnya radikel dari kulit biji (perkecambahan yang sebenarnya), dan (4) pertumbuhan
Lapisan itu pun bertindak sebagai penghalang mekanis agar radikula tidak muncul
(Salisbury and Ross, 1992).
Dormansi pada beberapa jenis benih disebabkan oleh: 1) struktur benih,
misalnya pada kulit benih, braktea, gluma, perikap, dan membran, yang mempersulit keluar masuknya air dan udara; 2) kelainan fisiologis pada embrio; 3) penghambat (inhibitor) perkecambahan atau penghalang lainnya; 4) gabungan
dari faktor-faktor diatas (Justice and Louis, 1994).
Dormansi yang penyebabnya berada dalam benih, ada yang morfologis
dan fisiologis, dimana: 1) morfologis yang disebabkan oleh embrio yang rudimenter dan 2) fisiologis dikarenakan misalnya kematangan benih tidak terjamin sehingga kemampuannya untuk membentuk zat-zat yang diperlukan bagi
perkecambahan menjadi kurang efektif (Kartasapoetra, 2003).
Dipandang dari segi ekonomis terdapatnya keadaan dormansi pada benih dianggap tidak menguntungkan. Oleh karena itu diperlukan cara agar dormansi
dapat dipecahkan atau sekurang-kurangnya lama dormansinya dipersingkat. Beberapa cara yang telah diketahui adalah perlakuan mekanis, perlakuan kimia,
perlakuan perendaman dengan air, perlakuan pemberian temperatur tertentu dan perlakuan dengan cahaya (Sutopo, 2012).
Perlakuan Pematahan Dormansi
Dormansi dapat diatasi dengan melakukan perlakuan sebagai berikut : 1) pemarutan atau penggoresan (skarifikasi ) yaitu dengan cara menghaluskan
fisiologis dikarenakan rendah selama waktu tertentu agar benih dapat aktif
kembali; 3) perubahan suhu (alternating) dengan tujuan untuk mempercepat perkecambahan dilakukan teknik dengan perubahan-perubahan suhu, artinya
direndahkan derajatnya (5oC – 10oC) tergantung dari jenis benih atau ditinggikan derazatnya (20oC – 35oC); 4) penggunaan zat kimia dalam perangsangan perkecambahan benih (Kartasapoetra, 2003).
Faktor-faktor yang menyebabkan hilangnya dormansi pada benih sangat bervariasi tergantung pada jenis tanaman dan tentu saja tipe dormansinya, antara
lain yaitu: menipisnya kulit biji. Perlakuan dengan menggunakan bahan-bahan kimia sering pula dilakukan untuk memecahkan dormansi pada benih. Tujuannya adalah menjadikan kulit biji lebih mudah dimasuki oleh air pada waktu proses
imbibisi. Larutan asam kuat seperti asam sulfat dan asam nitrat dengan konsentrasi pekat membuat kulit biji menjadi lebih lunak sehingga dapat dilalui oleh air dengan mudah. Bahan kimia lain yang juga sering digunakan adalah :
potassium hydroxide, asam hidrochlorit, potassium nitrat, dan thiourea (Sutopo, 2012).
Pada beberapa keadaan, penyimpanan dapat mempengaruhi dormansi. Dormansi pada beberapa spesies tanaman dapat menghilang, bila disimpan selama beberapa bulan pada kondisi suhu dan kelembaban nisbi lingkungan terkendali,
asal saja suhunya berada diatas suhu titik beku. Ahli fisiologi benih faham benar akan metode terbaik untu mempertahankan dormansi pada benih, yaitu dengan
Pematahan Dormansi dengan Berbagai Konsentrasi Asam Sulfat (H2SO4)
Penyebab dan mekanisme dormansi merupakan hal yang sangat penting diketahui untuk dapat menentukan cara pematahan dormansi yang tepat sehingga
benih dapat berkecambah dengan cepat dan seragam. Masa dormansi tersebut dapat dipatahkan dengan skarifikasi mekanik maupun kimia (Fahmi, 2012).
Perlakuan kimia seperti H2SO4 pada prinsipnya adalah membuang lapisan
lignin pada kulit biji yang keras dan tebal sehingga biji kehilangan lapisan yang permiabel terhadap gas dan air dapat berdifusi masuk sehingga senyawa-senyawa
inhibitor perkecambahan seperti fluoride dan kaumarin larut ke dalam H2SO4
selama proses perendaman (Sadjad et al., 1975).
Perlakuan perendaman dengan H2SO4 tidak mempengaruhi panjang
hipokotil, panjang radikula, dan berat kering kecambah dikarenakan biji yang mampu berkecambah setelah perlakuan H2SO4 hanya terpengaruh pada pelunakan
kulit benih dan tidak sampai ke embrio sehingga embrio tetap dapat tumbuh
dengan normal. Tetapi apabila perlakuan H2SO4 sampai pada embrio benih, maka
embrio tidak akan mengalami pertumbuhan sehingga tidak sampai terjadi
perkecambahan (Suyatmi et al., 2011).
Penelitian pematahan dormansi secara kimia pada benih delima dengan konsentrasi yang berbeda menghasilkan perlakuan terbaik pada 70% H2SO4 yang
direndam selama 15 menit yang menghasilkan persentase perkecambahan benih delima normal sebesar 90% dengan laju perkecambahan 14,04 hari dibandingkan
dengan perlakuan yang lainnya (Ramadhani, 2014).
Perendaman benih jati dalam H2SO4 pada konsentrasi 70%, 80%, dan 90%
tinggi dari kontrol. Hal ini dikarenakan kombinasi perlakuan ini lebih optimal dan
lebih cepat untuk melunakkan kulit benih dari pada benih yang hanya direndam dalam air pada lama perendaman yang sama (Suyatmi et al., 2011).
Pematahan Dormansi dengan Lama Perendaman Asam Sulfat (H2SO4)
Secara kimia pemecahan dormansi dapat dilakukan dengan cara merendamkan benih pada larutan asam kuat dengan waktu perendaman yang
berbeda tergantung pada bentuk benih, dimana asam kuat sangat efektif untuk mematahkan dormansi pada biji yang memiliki struktur kulit keras dan tebal,
asam sulfat (H2SO4) sebagai asam kuat dapat melunakkan kulit biji sehingga dapat
dilalui oleh air dengan mudah (Gardner, 1991 dalam Hedty et al., 2014).
Perlakuan konsentrasi asam sulfat yang dikombinasikan dengan lama
perendaman akan mempengaruhi banyaknya larutan H2SO4 yang terserap kedalam
benih. Semakin pekat asam sulfat yang digunakan maka perendaman sebaiknya dilakukan semakin cepat karena dapat menyebabkan kerusakan pada benih itu
sendiri (Harjadi, 1979).
Perbedaan hasil persentase daya kecambah dan kecepatan tumbuh pada
perlakuan lama perendaman H2SO4 di jelaskan pada penelitian Dewir et al. (2011)
dimana perlakuan pematahan dormansi pada benih Sabal palmetto dalam perendaman 97% H2SO4 selama 5 menit menghasilkan persentase rataan
perkecambahan benih tertinggi yaitu sebesar 85 % dengan rataan kecepatan tumbuh benih 4,44 %/etmal sedangkan dengan perendaman 97% H2SO4 selama
persentase rataan perkecambahan benih Sabal palmetto terendah yaitu sebesar
60 % dengan rataan kecepatan tumbuh benih 3,67 %/etmal.
Pada pematahan dormansi benih angsana dengan perlakuan perendaman
dengan H2SO4 1% selama 10 menit memiliki nilai perkecambahan terbesar yaitu
sebesar 1,13 (%/hari)atau sekitar 2 kecambah setiap hari selama pengamatan. Hal ini menunjukkan bahwa pematahan dormansi perendaman dengan H2SO4 1%
selama 10 menit paling efektif dalam mematahkan dormansi benih angsana, yaitu dengan melunakkan kulit benih, sehingga air dapat dengan mudah masuk ke
dalam benih. Namun, apabila berlebihan dalam hal konsentrasi dan lama waktu pematahan dormansi dapat menyebabkan kerusakan kulit benih atau jaringan embrio seperti halnya nilai perkecambahan pada pematahan dormansi benih
angsana pada perendaman H2SO4 1% selama 15 menit yaitu hanya sebesar 0,55
(%/hari) atau sekitar 1 kecambah setiap hari selama pengamatan (Lensari, 2009).
Viabilitas Benih
Viabilitas benih atau daya hidup benih dicerminkan oleh dua informasi masing-masing daya kecambah dan kekuatan tumbuh dapat ditunjukkan melalui
gejala metabolisme benih dan atau gejala pertumbuhan. Uji viabilitas benih dapat dilakukan secara tak langsung, misalnya dengan mengukur gejala-gejala metabolisme ataupun secara langsung dengan mengamati dan membandingkan
unsur-unsur tumbuh penting dari benih dalam suatu periode tertentu. Struktur
pertumbuhan yang dinilai terdiri dari akar, batang, daun dan daun lembaga
(Sutopo, 2012).
sesudah panen, namun berdasarkan dari penelitian yang mendalam diketahui
bahwa biji bisa berkecambah jauh sebelum tercapai kemasakan fisiologis (Physiological maturity) atau sebelum tercapai berat kering maksimum (maximum
dry weigth). Daya kecambah (viability) ini kian meningkat dengan bertambah tuanya biji dan mencapai berat kering maksimum jauh sebelum masak fisiologis. Sampai masak fisiologis tercapai “maximum germination” (100%) ini konstan,
tetapi sesudah itu akan menurun dengan kecepatan yang sesuai dengan keadaan yang tidak menguntungkan di lapangan (Kamil, 1993).
Berdasarkan pada kondisi lingkungan pengujian viabilitas benih dapat dikelompokkan ke dalam viabilitas benih dalam kondisi lingkungan sesuai (favourable) dan viabilitas benih dalam kondisi lingkungan tidak sesuai
(unfavourable). Pengujian viabilitas benih dalam kondisi lingkungan tidak sesuai termasuk kedalam pengujian vigor benih. Perlakuan dengan kondisi lingkungan sesuai sebelum benih dikecambahkan tergolong untuk menduga parameter vigor
daya simpan benih sedangkan jika kondisi lingkungan tidak sesuai diberikan selama pengecambahan benih maka tergolong dalam pengujian untuk menduga
parameter vigor kekuatan tumbuh benih (Mugnisjah et al., 1994).
Untuk menjaga viabilitas benih yang sebaik-baiknya maka benih harus sehat, cukup masak, dipanen dengan hati-hati, dan pada saat cuaca kering. Cara
panen harus saksama mungkin untuk menghindari kerusakan mekanis terhadap benih. Benih yang rusak akan mudah terserang cendawan, bakteri, dan serangga