• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Hukum Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Ilmu Hukum Pidana Di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pelaksanaan Hukum Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Ilmu Hukum Pidana Di Indonesia"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PELAKSANAAN HUKUM PIDANA TINDAK PIDANA KORUPSI

DALAM PERSPEKTIF

ILMU HUKUM PIDANA INDONESIA

(Studi Kasus Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia)

Dunia hukum pidana kita saat ini mulai berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat dan perkembangan ilmu hukum pidana secara universal. Kasus-kasus pidana dari pencucian uang (money laundering), korupsi (corruption crime), penyuapan, pendanaan terorisme sampai pada white collar crime ibarat penyakit kanker sudah masuk dalam “stadium lanjut atau stadium keempat”.

Berbagai masalah diatas, menimbulkan berbagai perdebatan publik dan para ahli hukum, khususnya berkaitan dengan masalah penjebakan dalam kasus korupsi, asas opportunitas, hak dan kewajiban saksi, penegakan hukum diskriminatif, dan asas retroaktif, yang kesemuanya erat kaitannya dengan ilmu hukum pidana. Untuk lebih jelasnya, penyusun akan menguraikannya satu persatu.

Kegiatan Penjebakan dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pertanyaan, apakah cara penjebakan dapat digunakan untuk mendapatkan bukti atau mengungkap sebuah tindak pidana korupsi?. Dalam system Anglo-Saxon, cara-cara tersebut tidak dibenarkan, misalnya Kasus Abscam (1980), seorang agen FBI menyamar sebagai sheik Arab yang menyuap para Politisi. Di Indonesia yang menganut sistem

continental pada prinsipnya tidak dikenal sistem penyamaran di dalam mengungkap sebuah tindak pidana.

Cara-cara penjebakan dan penyamaran ( undercover ) dari sisi sosiologis adalah cara-cara yang secara-cara etika belum dapat diterima dari sisi kepatutan masyarakat. Disamping itu dari sisi yuridis perbuatan penjebakan boleh dikatakan sebagai kegiatan yang tidak sesuai dengan per-undang-undangan yang berlaku atau perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. Dalam kaitannya dengan aktivitas penjebakan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi juga tidak diatur secara jelas atau belum sejalan dengan Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal tersebut terkait dengan Pasal 12 Undang-Undang dimaksud yang tidak mengatur secara jelas mengenai aktivitas penjebakan atau penyamaran tersebut.

Berikut ini secara lengkap penyusun sampaikan isi dari pasal 12 dimaksud yang mengatur mengenai tugas KPK dibidang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan :

Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :

a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;

(2)

c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;

d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait;

e. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;

f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait;

g. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa;

h. Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri;

i. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.

Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia adalah penegak hukum, komisi ini bukanlah sebuah criminal honoratiores atau criminal prophets yang melakukan penciptaan atau pengadaan tindak pidana yang justru membahayakan posisinya sebagai penegak hukum. Dari sisi hukum, sebuah penyamaran dalam rangka penjebakan dapat menjadi sebuah alasan peniadaan hukuman karena Komisi Pemberantasan Korupsi dianggap melakukan illegal secured evidence.

Penjebakan dan penyamaran tidak berbeda dengan apa yang disebut orang eksperimentasi kejahatan. Eksperimentasi kejahatan korupsi hanyalah merupakan suatu pembenaran dari suatu ketidakberdayaan. Pertanyaannya adalah apakah Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berdaya? Tidak juga karena sudah ada beberapa kasus korupsi yang dilakoni oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sampai ke pengadilan. Namun, masyarakat merasa prihatin dengan cara-cara konspirasi dan penjebakan, sehingga wajar saja pemberantasan korupsi yang digalakkan oleh Pemerintah saat ini tidak membuat masyarakat lebih berhati-hati, tetapi justru menjadi hantu yang membuat takut masyarakat untuk bekerja.

Oleh karena itu, untuk sementara kalangan berpendapat bahwa cara-cara penyelidikan dan penyidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai sebuah komisi yang memiliki kewenangan yang besar akan menimbulkan kesewenang-wenangan.

Akan tetapi terlepas dari teori tersebut diatas, sangat disadari dan dipahami oleh semua elemen bangsa ini, bahwa kejahatan korupsi sudah merupakan kejahatan / tindak pidana yang bersifat luar biasa (extraordinary crime), sehingga upaya-upaya pencegahan, penanganannya serta pemberantasan korupsi juga harus dilakukan dengan

(3)

Berkaitan dengan hal tersebut agar cara-cara yang dijalankan tidak dianggap melanggar hukum, maka sudah selayaknya langkah-langkah yang diambil oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus tetap berpegang pada koridor UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidanan Korupsi dan UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta peraturan per-undang-undangan yang berlaku di negara Republik Indonesia

Kewajiban dan Hak Warga Negara Sebagai Saksi

Dalam suatu kesempatan, Guru Besar Universitas Padjajaran, Prof. Romli Atmasasmita berpendapat bahwa menjadi saksi tidaklah wajib. Dia berpandangan, kesaksian setiap orang dalam hal mencegah kejahatan adalah hak, bukan kewajiban. Menurutnya, apabila suatu kesaksian menjadi suatu kewajiban, dinilainya kurang ada pemberdayaan. Sebagai hak menurutnya, saksi akan berlomba-lomba menyampaikan haknya, sesuai dengan kebebasan menyampaikan informasi, yang diatur dalam UUD 1945. Dengan demikian, tidak perlu ada ketentuan pemberian sanksi, bagi orang yang menolak menjadi saksi.

Pendapat beliau di atas tentu saja agak mengacaukan dan membuat bingung para praktisi hukum karena selama ini yang diketahui sebagai saksi adalah kewajiban setiap warga negara. Ada perbedaan mendasar antara kewajiban menjadi saksi dan hak untuk memberikan keterangan sebagai saksi. Sebagai saksi jelas itu merupakan kewajiban hukum, tetapi untuk memberikan kesaksian sebagai saksi merupakan hak yaitu hak untuk memberikan keterangan sesuai dengan apa yang dilihat, didengar dan dirasakan, sehingga tidak memiliki kewajiban untuk memberikan keterangan sebagaimana yang diminta. Sebagai saksi, seseorang dapat menjawab tahu ataupun tidak tahu bahkan untuk tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan kepadanya.

Dalam KUHAP sendiri memang terdapat kekacauan di dalam pengertian “hak” dan “kewajiban”. Misalnya Pasal 157 dan 220 KUHAP jelas menyebutkan tentang adanya “kewajiban mengundurkan diri” bagi pejabat pemeriksa perkara yang mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda dengan terdakwa atau penasihat hukum. Namun ternyata, Keputusan Menteri Kehakiman No. M 14-PW 07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan pedoman Pelaksanaan KUHAP menyebutkan kewajiban tersebut sebagai “hak ingkar” artinya pejabat dimaksud boleh atau tidak mengundurkan diri seandainya mereka mempunyai hubungan atau kepentingan dengan perkara yang ada.

(4)

Sebagai kewajiban saja orang begitu enggan menjadi saksi, apalagi sebagai hak yang boleh memilih. Sikap tersebut dipengaruhi oleh anggapan / pemahaman secara filosofis, bahwa sejak dahulu manusia memiliki kecenderungan untuk tidak mau terlibat di dalam perkara-perkara hukum, sehingga di dalam hukum acara pidana anglo-saxon maupun

continental termasuk KUHAP diselipkan ketentuan yang bersifat paksaan terhadap orang yang tidak mau menjadi saksi.

Penerapan Azas Opportunitas

Mengenai azas opportunitas yang memungkinkan tidak diajukannya suatu perkara ke muka pengadilan dengan alasan “demi kepentingan umum”. Ada pendapat bahwa azas opportunitas ini supaya dihapuskan saja karena tidak ada tempatnya dalam suasana ketatanegaraan Indonesia. Asas ini merupakan peninggalan penjajah yang bersifat politis. Azas ini merupakan tindakan pemerintah (bestuursdaad) yang didasarkan atas kepentingan umum dan bukan masalah peradilan (rechtspraak). Jaksa Agung hanya diberi wewenang melaksanakan azas ini dengan seizin Presiden setelah Presiden meminta pertimbangan penasihatnya.

Dalam keputusan pen-deponeeran / deponeering perkara yang berdasarkan azas opportunitas ini harus dinyatakan bahwa perkara ini terdapat cukup alasan untuk diajukan ke muka pengadilan, tetapi untuk kepentingan umum tidak dilakukan penuntutan di depan pengadilan. Dalam hubungan ini harus dijelaskan secara terperinci apa yang dimaksud dengan Kepentingan Umum itu, in concerto.

Dalam hal penjelasan mengenai untuk Kepentingan Umum, harus memeprtimbangkan banyak hal dengan hati nurani para penegak hukum. Hal tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :

1. Terkait mengenai informasi dari kalangan masyarakat sehubungan dengan tindak pidana korupsi, harus diperhatikan hal-hal sebagaiberikut :

- Informasi mengenai telah dilakukannya perbuatan korupsi dari mana pun datangnya informasi itu, apakah dari perorangan, gerakan-gerakan mahasiswa/ pelajar anti korupsi ataupun pers hendaknya ditanggapi secara wajar oleh alat-alat penegak hukum, yakni hendaknya digarap dengan pengusutan sampai dengan penuntutan perkara di muka pengadilan.

- Jika berita dalam pers tentang perbuatan korupsi ternyata tidak benar setelah diusut/diperiksa, maka alat penegak hukum, hendaknya dengan/tanpa pengaduan dari pejabat yang terkena melakukan penuntutan, harus segera melakukan rehabilitasi karena hal itu tidak memerlukan pengaduan yang merupakan syarat untuk dilakukan penuntutan.

(5)

2. Terkait dengan persoalan terlibatnya seorang pejabat dalam tindak pidana korupsi atau penyelewengan lainnya, harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

- Terhadap perbuatan tindak pidana korupsi/penyelewengan lainnya yang karena satu dan lain sebab belum/tidak diajukan ke muka pengadilan harus sekurang-kurangnya dilakukan tindakan-tindakan administratif, misalnya pemindahan, penurunan pangkat dan lain sebagainya.

- Khusus terhadap pelanggaran hukum administratif seperti pelanggaran terhadap Perpu Nomor 19 tahun 1960 yang mengatur Penyelenggara Negara hendaknya dilakukan tindakan administratif berupa pencopotan dari jabatan atau pemindahan.

- Khusus untuk pejabat-pejabat tinggi hendaknya dilakukan tindakan-tindakan administratif pula atas pelanggaran norma-norma etik dan moral. Integritas pejabat tinggi haruslah “beyond question”. Ini dalam rangka menciptakan “the first clean few at the top” (orang-orang bersih pertama di puncak pemerintahan yang menjadi pembantu-pembantu terdekat Presiden / Kepala Negara).

Praktek Penegakan Hukum Yang Diskriminatif

Kerja cepat Komisi Pemberantasan Korupsi dalam memberantas Korupsi boleh jadi merupakan langkah yang menggembirakan sekaligus merupakan harapan bagi masyarakat akan berjalan mulusnya proses penegakan hukum yang ada. Namun demikian, disisi lain kita masih melihat bahwa masih banyak kasus-kasus lain baik itu kasus korupsi maupun kasus-kasus kekerasan sipil, bahkan kejahatan dan pelanggaran tersebut terus saja berlangsung tanpa ada yang menghentikannya. Sementara itu, penahanan para tersangka kasus-kasus korupsi terkesan hanya untuk orang-orang terkenal saja, sedangkan mereka-mereka yang telah menyelewengkan begitu banyak uang rakyat dalam beberapa kasus masih saja berkeliaran dengan bebas.

Sementara itu, hak-hak “tahanan” untuk meminta penangguhan penahanan, atau untuk mendapatkan jaminan bagi penahanan rumah atau kota sepertinya kurang terlindungi atau terabaikan dengan alasan akan menghilangkan barang bukti, melakukan tindak pidana lagi dan untuk memudahkan penyidikan. Hak-hak mereka semestinya tidak dapat begitu saja dipersulit hanya karena tekanan public (public pressure) atau tekanan dari siapapun. Pemberian penangguhan tahanan atau apapun namanya bukan karena tersangka adalah seorang tokoh masyarakat atau seorang konglomerat, tetapi karena memang dimungkinkan oleh undang-undang.

(6)

Kaburnya beberapa tersangka/terdakwa/terpidana kasus korupsi harus dilihat secara cerdas bukan mengenai persoalan terang atau redupnya pemberantasan korupsi, tetapi merupakan persoalan kondisi hukum dan aparat hukum kita yang menyebabkan para tersangka/terdakwa/terpidana korupsi tersebut kabur. Kaburnya para terpidana korupsi tersebut dipicu adanya beberapa alasan, yaitu paling tidak ada 3 (tiga) alasan besar :

Pertama, adanya kondisi sejak awal dari tahap penyelidikan, penyidikan sampai tahap penuntutan, dan pengadilan, perlakuan aparat hukum dan hukum itu sendiri yang tidak memberikan rasa keadilan kepada masyarakat khususnya bagi tersangka dan terdakwa korupsi. Sejak ditingkat awal penyidikan, tersangka atau terdakwa mungkin mengalami pemerasan dan dirampas kemerdekaannya tanpa disertai dan didukung dengan bukti-bukti yang jelas dan cukup. Pemaksaan oleh aparat hukum ini selain karena tidak profesional, juga di dorong dan dipicu oleh pembentukan opini oleh para elite dan masyarakat tentang pemberantasan KKN tersebut secara “sembrono atau terburu-buru atau latah” , yaitu dilakukan tanpa melalui pemilahan terhadap kasus-kasus yang ada, sehingga mau tidak mau aparat hukum juga mengambil sikap untuk memuaskan pendapat masyarakat ataupun keinginan dan kepentingan dari para elite politik, dengan cara menangkap dan menahan para tersangka korupsi yang terkadang tanpa diperlukan bukti-bukti permulaan yang cukup.

Sementara sebagian para ahli hukum beranggapan bahwa hal itu wajar sebagai suatu efek kejutan (detterent effect) atau untuk memberikan ‘efek jera’ agar masyarakat tidak berani melakukan korupsi. Namun, hal ini memberikan kondisi ketidakadilan bagi para tersangka korupsi karena tidak semua para tersangka itu benar-benar seorang

”koruptor”. Sebagai contoh, bahwa seorang pejabat negara / publik pada saat masih menjabat dia menjalankan kebijakan berdasarkan suatu aturan yang jelas, namun disaat kebijakkan tersebut sudah dijalankan ternyata ketentuan yang melandasi kebijakannya tersebut berubah, sehingga dia dianggap telah melanggar ketentuan yang ada, disini akan timbul masalah apabila si pejabat tersebut tidak mampu menunjukkan bukti-bukti yang akurat atau karena system pemerintahan yang ada ternyata telah terjadi ada “sedikit penyimpangan “yang terjadi, maka penyimpangan kecil tersebut akan menjadi pemicu “bom waktu” apabila kemudian “dikorek-korek” oleh lembaga yang merasa mempunyai kewenangan. Hal inilah yang membuat para tersangka koruptor yang merasa dirinya tidak bersalah ataupun kebersalahannya tidak begitu berat dipaksa harus diputus bersalah dengan hukuman yang berat, tentu saja lebih memilih untuk melarikan diri alias kabur.

Kedua, adanya kondisi dan peluang yang diberikan oleh aparat hukum sejak awal dari tingkat penyelidikan dan penyidikan di setiap tingkatan (kepolisian, kejaksaan, pengadilan sampai di lembaga pemasyarakatan) kepada para tersangka korupsi untuk tidak ditahan atau ditangguhkan penahanannya. Bagi seorang koruptor sejak itu pula ia telah berpikir bagaimana bisa kabur dan menikmati hasil korupsinya.

Menurut pendapat penyusun, seharusnya sejak awal itu pula para tersangka korupsi yang demikian harus ditahan dan tidak diberi kesempatan untuk dilepas atau ditangguhkan penahanannya.

(7)

Kasus para tersangka pembobol beberapa bank di Indonesia misalnya adalah contoh bagaimana para tersangka yang telah diduga kuat melakukan korupsi tetapi kemudian dilepas dan ditangguhkan penahanannya tanpa ada kontrol yang ketat dari pihak penyidik sehingga dengan mudahnya mereka kabur keluar negeri, setelah itu baru instansi terkait mengumumkan bahwa mereka sudah mengeluarkan SK-Cekal, yang menjadi pertanyaan adalah keluarnya Surat Keputusan Cekal dengan kaburnya tersangka/terdakwa/terpidana keluar negeri lebih dulu yang mana?.

Ketiga, adanya peluang yang diberikan oleh hukum yaitu Pasal 78 KUHP mengenai lembaga kedaluwarsa yang pada pokoknya menyatakan hak untuk melakukan tuntutan pidana itu gugur karena kedaluwarsa dalam waktu 1 tahun untuk semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan mempergunakan alat cetak; dalam waktu 6 tahun

untuk kejahatan-kejahatan yang diancam dengan hukuman denda, kurungan atau hukuman penjara yang tidak melebihi waktu 3 tahun; dalam waktu 12 tahun untuk semua kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lebih dari 3 tahun; dan dalam waktu 18 tahun untuk semua kejahatan yang diancam dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup. Kemudian Pasal 84 menyatakan kewajiban untuk menjalankan hukuman hapus karena kedaluwarsa yaitu 2 tahun untuk pelanggaran, 5 tahun untuk kejahatan dengan alat cetak, dan 1/3 lebih lama dari tenggang waktu kedaluwarsa untuk melakukan tuntutan pidana.

Dengan adanya lembaga kedaluwarsa dalam KUHP, maka percaya atau tidak, suka atau tidak suka, hukum juga memberikan peluang kepada para terpidana untuk melarikan diri atau melepaskan diri dari tuntutan pidana. Oleh karena itu, saat ini kita harus berpikir untuk tidak melihat kaburnya seorang terpidana koruptor sebagai suatu yang luar biasa dari ketidakpatuhan atas hukum saja, tetapi harus dilihat sebagai suatu hal yang bisa dijadikan alasan untuk instrospeksi terhadap keberlakuan hukum kita apakah telah memberikan rasa keadilan kepada masyarakat atau tidak. Selain itu, lembaga kedaluwarsa ini juga perlu ditinjau ulang. Jikalau dahulu lembaga kedaluwarsa ini dianggap dapat sebagai pengganti hukuman karena pengucilan dan kondisi kehidupan yang sulit, maka saat ini lembaga kedaluarsa ini sudah tidak tepat lagi karena waktu yang pendek untuk kedaluwarsa kejahatan korupsi sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini dimana orang dapat menikmati hasil korupsi kapan dan dimana saja tanpa merasa dikucilkan.

(8)

Penerapan Asas Retroaktif

Dari sisi ilmu hukum, pemberlakuan asas retroaktif dapat dipahami sepanjang diberlakukan secara rigid dan darurat limitative sifatnya, artinya hanya akan diterapkan apabila negara dalam keadaan darurat (abnormal) dengan prinsip-prinsip hukum darurat (abnormal recht), karenanya sifat penempatan asas ini hanya bersifat temporer dan dalam wilayah hukum yang sangat limitative, dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip hukum universal sehingga tidak terkontaminasi unsur-unsur yang dapat dikategorikan abuse of power.

Semangat untuk tetap memberlakukan eksistensi asas retroaktif sekarang ini menurut pendapat penyusun, justru negara bisa dianggap sebagai kemunduran apabila dikaitkan dengan asas Lex Tallionis sebagai sumber primaritas, tetapi lain soal semangat untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi bagi para pelaku yang telah menikmati hasil korupsi di masa lalu bukanlah sebagai semangat “tallionis” tetapi merupakan

tindakan pemulihan dan menyelamatkan harta kekayaan Negara yang telah diselewengkan oleh para pelaku korupsi yang tidak bertanggung jawab.

Pemberlakuan asas retroaktif untuk kejahatan korupsi yang kami anggap sebagai kejahatan terhadap masyarakat (crimes against society) adalah suatu hal dimungkinkan selain dapat mematahkan upaya-upaya “impunity”, juga agar dapat menyelesaikan secara tuntas dan adil setiap kejahatan korupsi yang telah menyengsarakan masyarakat.

Masalah korupsi di Indonesia merupakan persoalan bangsa yang bersifat “recurrent” dan “darurat” yang telah dihadapi bangsa Indonesia dari masa ke masa dalam rentang waktu yang relative lama, sehingga Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi diharapkan dapat membantu menyelesaikan sejumlah kejahatan korupsi masa lalu untuk mengembalikan harta kekayaan Negara yang hilang. Apalagi masalah kejahatan korupsi juga merupakan masalah yang muncul sebagai “burning issues” yang berdimensi luas yang selain dapat merusak tatanan hidup masyarakat, juga dijadikan isu-isu untuk merongrong kewibawaan Pemerintah dan alat Penegak Hukum.

Selain itu perbuatan-perbuatan korupsi masa lalu seringkali baru dapat diketahui dan ditemukan indikasinya di masa sekarang, sehingga apabila sempat muncul wacana untuk melakukan pembatasan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi didalam menangani kasus korupsi masa lalu sulit untuk diterima, namun dengan catatan dalam menjalankan tugasnya Komisi Pemberantasan Korupsi harus tetap pada koridor hukum yang memayunginya.

(Makalah Disampaikan Dalam Panel Diskusi Program Pasca Sarjana Magister Hukum – UPH 2008)

Penyusun :

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan nilai daya dukung lereng pasir tanpa perkuatan dengan lereng pasir yang diberi perkuatan Geogrid serta

Pengamatan tangkai buah nenas sangat penting karena pada karakter tangkai buah dengan diameter sempit dan ukuran tangkai tinggi serta karakter bagian buah yang besar

harganya diperkirakan mencapai 20 Miliyar. Dengan besarnya biaya investasi yang dibutuhkan, cukup sulit untuk perusahaan pelayaran dalam negeri untuk melakukan

Daerah pengambilan data pada lintasan 1 berada dekat dengan kolam lindi dan kolam rawa yang bersebelahan dengan bentangan lintasan dengan panjang lintasan 220

Dari hasil analisis data kuesioner tentang ganguan komunikasi akibat kebisingan suara dapat disimpulkan bahwa sebanyak 36,2 % lebih responden sering mengalami gangguan

PENGARUH MEKANISME GOOD CORPORATE GOVERNANCE DAN KINERJA KEUANGAN PERUSAHAAN TERHADAP TINGKAT..

Proses kerja redirect server dijelaskan pada gambar 2.18, redirect server berfungsi sebagai perantara dan membelokkan panggilan, bilamana alamat yang dipanggil oleh user agent

ROM aktif dan variabel yang dipengaruhi adalah pemulihan peristaltik usus pasca operasi sectio caesaria dengan anestesi spinal pada pasien di Bangsal An-Nisaa’ RSU PKU