• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kosmologi Masyarakat - Nilai Budaya Legenda Tengku Raden Di Masyarakat Melayu Kualuh – Leidong

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kosmologi Masyarakat - Nilai Budaya Legenda Tengku Raden Di Masyarakat Melayu Kualuh – Leidong"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kosmologi Masyarakat

Kosmologi masyarakat Kabupaten Labuhanbatu Utara secara umum

dapat digambarkan sebagai Tanah Bertuah, masyarakat Multi Etnis yang beradab,

rukun dan mufakat menjunjung tinggi Adat Istiadat dan Budaya Melayu, taat

beragama dan menjujung tinggi nilai kemanusian.

2.1.1 Sejarah Singkat Kesultanan Kualuh – Leidong

Raja-raja Asahan, Bilah, Kotapinang, Kualuh dan Panai mempunyai

hubungan keluarga. Menurut cerita, Batara Sinomba dari Minangkabau menikah

dengan adiknya sendiri (mungkin maksudnya satu marga, yaitu Nasution). Batara

Sinomba dan istrinya diusir dan sampai di Tapanuli Selatan. Suami istri tersebut

menetap di Pinang Awan, dekat Sungai Barumun. Batara Sinomba dirajakan di

Air Merah. Mereka kemudian mempunyai dua putra dan seorang putri yang

bernama Siti Onggu.

Batara Sinomba menikah lagi dan istri mudanya berkeinginan agar

putranya ditunjuk sebagai pengganti ayahnya. Oleh karena itu, istri kedua

berusaha mengusir putra Batara Sinomba dari istri pertama. Usahanya berhasil.

Dua putra Batara Sinomba dari istri pertama dendam dan menemui rombongan

Sultan Aceh yang kebetulan lewat di situ. Tentara Aceh tersebut ternyata

(2)

terbunuh, kemudian diberi gelar Marhum Mangkat Di Jambu.

Siti Onggu dibawa orang Aceh dan diperistri Sultan Aceh. Lama-kelamaan putra

Batara Sinomba dari istri pertama rindu dan ingin mengetahui nasib Siti Onggu.

Oleh karena itu, mereka pergi ke Asahan menemui Haro-haro yang pandai

mengadu ayam. Mereka bertiga pergi ke Aceh untuk menebus Siti Onggu. Sultan

Aceh mengajak mereka untuk mengadu ayam. Ayam Sultan kalah dalam

pertandingan dan terpaksa melepaskan Siti Onggu yang sedang hamil tua. Siti

Onggu boleh dibawa pulang dengan syarat apabila bayi yang lahir laki-laki harus

menjadi raja di Asahan. Setelah mereka kembali, Siti Onggu melahirkan seorang

putra yang kemudian dirajakan di Asahan dengan gelar Sultan Abdul Jalil

(Marhum Mangkat Di Tangkahan Sitarak).

Selanjutnya Siti Onggu menikah dengan Haro-haro. Setelah masuk Islam,

Haro-haro bernama Raja Bolon. Dari pernikahan ini lahir putranya yang bernama

Abdul Karim, yang disebut bangsawan Bahu Kanan. Haro-haro menikah lagi

dengan putri Raja Siman Golong dan memperoleh dua putra, masing-masing

bernama Abdul Samad dan Abdul Kahar. Keturunan mereka disebut bangsawan

Bahu Kiri.

Cicit Sultan Asahan yang bernama Sultan Abdul Jalil II pernah membantu

Raja Ismail dalam merebut tahta Siak dari tangan Raja Alam (1771). Setelah

berhasil, maka Siak memberinya gelar “Yang Dipertuan”. Berdasarkan gelar ini,

Sultan Yahya dari Siak dalam suratnya kepada Gubernur Belanda di Melaka pada

tahun 1791 menyebutkan bahwa Asahan adalah jajahannya dan ini ditentang oleh

(3)

Cucu Sultan Abdul Jalil II adalah Raja Musa dan Raja Ali. Raja Musa

menjadi raja di Asahan. Ketika Raja Musa mangkat, putranya masih dalam

kandungan. Oleh karena itu pemerintahan digantikan oleh adiknya, Raja Ali. Raja

Ali mempunyai seorang putra yang bernama Husin dan seorang putri yang

bernama Raja Siti. Raja Siti menikah dengan Sultan Deli dengan mas kawin

daerah Bedagai, dan putra yang lahir dari pernikahan tersebut harus menjadi raja

di Bedagai.

Sultan Musa mempunyai putra bernama Raja Ishak. Ketika Sultan Musa

mangkat, di Asahan pecah perang saudara antara Raja Husin (putra Sultan Ali)

dengan Raja Ishak (putra Sultan Musa). Situasi ini ditemui John Anderson ketika

ia berkunjung ke Asahan pada tahun 1823. Perang saudara itu diakhiri dengan

perdamaian. Dalam perdamaian ditetapkan bahwa Raja Husin menjadi sultan dan

Raja Ishak menjadi Rajamuda Asahan merangkap Raja Kualuh-Leidong. Maka

dinobatkanlah Raja Ishak menjadi Sultan dinegeri Kualuh bergelar yang dipertuan

Muda, pada tahun 1829.

Ketika yang dipertuan Muda Ishak mangkat Baginda meninggalkan putra

dan putri. Untuk menggantikan marhum yang dipertuan Muda Ishak,

dinobatkanlah Tengku Ni’mat menjadi Sultan dinegeri Kualuh dan Leidong.

Setelah Tengku Ni’matsyah menikah dengan permaisuri dan mempunyai seorang

putra. Dinamai Tengku Biyong. Sesudah Tengku Biyong berumur lebih kurang 6

tahun, berangkatlah Baginda dan permaisuri membawa anakanda Baginda ke

Mekkah. Selain dari pada meyempurnakan rukun Islam yang kelima. Baginda

(4)

Sejak itu Baginda bergelar Tengku Alhaji Abdullahsyah dan putranya

Tengku Biyong bergelar Tengku Alhaji Muhammadsyah. Setelah selesai dari pada

mengerjakan haji kembalilah Baginda dan Permaisuri serta putranya ke Kualuh.

Tiada lama kemudian dari pada itu, mangkatlah Permaisuri (Tengku Tengah),

dimakamkan di Singgasana. Sesudah Permaisuri mangkat, Baginda beristri pula

dua orang. Dari kedua istri itu Baginda memperoleh empat orang putra. Tak lama

kemudian yang dipertuan Tengku Alhaji Abdullahsyah mangkat pada 29 hari

bulan Rabi’ul akhir 1299 H (1882 M) dimakamkan di Kampung Mesjid. Ketika

ayahandanya mangkat, Tengku Biyong bergelar Tengku Alhaji Muhammadsyah,

putra mahkota dari kerajaan Kualuh dan Leidong, masih muda, karena itu belum

ditetapkan Governement Hindia Belanda menjadi Raja.

Setelah diadakan musyawarah dengan orang – orang besar negeri Kualuh

serta menimbang menurut adat negeri maka diangkatlah Tengku Uda Negeri

Kualuh untuk menggantikan sementara Tengku Alhaji Muhammadsyah sembari

menunggunya setelah dewasa. Setelah dewasa, sesuai dengan hasil musyawarah

orang – orang besar Negeri Kualuh, maka digantikanlah tahta kerajaan oleh putra

mahkota yang dipertuan Tengku Alhaji Muhammadsyah. saat Baginda sudah

dinobatkan menjadi Raja Kualuh, baginda belum mempunyai Permaisuri. Di

dalam suatu musyawarah orang – orang besar di negeri Kualuh mempunyai suatu

ketetapan untuk meminang putri dari Tengku Pangeran Nara Deli (Tengku

Sulung Laut) Bedagai. Setelah selesai perkawinan Agung itu kembalilah Baginda

membawa Tengku Zubaidah dengan segala pengiringnya ke Kualuh. Seraya

(5)

Dikampung Mesjid sebelumnya kedudukan ke Sultanan pindah ke Tanjung

Pasir, dari Tengku Puan yang dipertuan Alhaji Muhammadsyah memperoleh putra

– putri, yaitu : Tengku Randlah kawin dengan Tengku Mahsuri dari Sultan

Mahmud Langkat. Tengku Mansyursyah, Tengku Besar Negeri Kualuh atau putra

Mahkota. Tengku Kamilah kawin dengan Tengku Sahmenan, Putra dari Tengku

Alang Yahya, Gep. Regent van Asahan. Tengku Salmah kawin dengan Tengku

Ibrahim, Tengku Seri Maharaja Binjei. Dan yang terakhir adalah Tengku

Darmansyah. Di masa kepemimpinan Tengku Alhaji Muhammadsyah lah ada

berkembang cerita tentang sosok Tengku Raden.

Putra yang tertua dari yang dipertuan, ialah Tengku Mansyursyah. Setelah

Tengku Mansyursyah tamat di H.I.S Tanjung Balai, beliau pergi ke Betawi

melanjutkan pelajaran. Dengan besluit Gubernement tgl 10 Mei 1916 No. 25

Tengku Mansyursyah diangkat menjadi Tengku Besar. Tengku Mansyursyah

merupakan Raja terakhir di Kerajaan Kualuh dan Leidong.

2.1.2 Sistem Sosial Budaya

Sistem sosial budaya masyarakat Kualuh pada zaman dahulu masih sangat

kental dengan mistis, dikarenakan pengetahuan masyarakat pada saat itu sangat

sederhana terhadap keyakinan beragama. Masyarakat Kualuh masih percaya pada

manusia yang luar biasa dengan kata lain disebut sakti. Masyarakat Kualuh pada

umumnya patuh dan menghormati seseorang yang ganjil dan gaib.Penduduk

(6)

Penghuni Kualuh belum banyak mengenal tentang tafsir Alquran, apalagi

kitab peraturan dan undang – undang. Masyarakat lebih banyak pasrah dari pada

berpikir, bilamana ada sesuatu malapetaka yang menimpa mereka. Kalau

masyarakat ditimpa bencana atau kejadian yang luar biasa, mereka tidak ada

tempat mengadukan halnya. Senantiasa mereka menyerah pada yang maha kuasa.

Seraya menantikan apa sebagai jawaban untuk menanggulangi hal – hal yang

terjadi. Mereka banyak mengenang dan mengingat – ingat pada masa yang silam

selama hidupnya yang silih berganti didatangi berbagai kejadian.

Kalau ingatan mereka kuat tentang peristiwa atau kejadian yang lalu maka

mereka cepat mencari akal untuk mengatasi bahaya atau kejadian yang

mengancam mereka. Hampir sebahagian besar dari penghuni daerah Kualuh

ketika itu masih serba darurat. Pemerintah waktu itu adalah pemerintahan Belanda

. yang menjalankan pemerintahan waktu itu ialah raja – raja yang takluk pada

Belanda. Pengadilan hanya ada pada kekuasaan suku. Rumah Sakit pun tidak

ada,dukun lah pengobat yang merangkap jadi bidan. Masyarakat mesti belajar dari

keadaan, keadaan lah yang menjadi guru masyarakat ketika itu.

Tapi seiring berkembangnya zaman, dan Indonesia telah merdeka dari

penjajahan Belanda, maka pola pikir masyarakat mulai berubah, mereka telah

melewati masa – masa sulit, dan mulai berpikir dengan realistis dan meniggalkan

hal – hal yang dianggap mistis, berpedoman atas Pancasila dan UUD 1945.

Meskipun demikian ritual – ritual adat yang ada masih banyak mengadopsi hal –

(7)

2.1.3 Sistem Kepercayaan dan agama

Masyarakat Melayu Kualuh yang saat ini disebut Kabupaten Labuhanbatu

Utara secara umum memiliki beragam suku.Dari jumlah penduduk keseluruhan

yaitu 334.776, mayoritas masyarakatnya bersuku Batak (45.50 persen) diikuti

Jawa (44.83 persen) Melayu (3.85 persen) Minang (0.81 persen) dan Aceh (0.21

persen) dan lainnya (4.80 persen).

Sementara itu kepercayaan dan agama mayoritas yang dianut

masyarakatnya adalah Islam dengan memiliki jumlah (83.71 persen) diikuti

Kristen Protestan (13.08 persen), Kristen Katolik (2.10 persen), Budha (1.01

persen), dan Hindu (0.06 persen) lain – lain (0.04 persen).

Berdasarkan data tersebut dapat kita ketahui Sistem Kepercayaan dan

Agama masih dipengaruhi oleh budaya etnis yang ada pada masyarakat

Labuhanbatu Utara secara umum dan masyarakat Kualuh Desa Kuala Beringin

secara khusus. Hal ini dapat dilihat dari ritual – ritual adat yang masih sering

dilakukan masyarakat Kualuh, antara lain : tolak bala, upah – upah, mandi air

pange sewaktu memasuki bulan Ramadhan, dan Bordah.

2.2Khazanah Sastra Tradisional

2.2.1 Ciri – Ciri

Kesusastraan masyarakat Melayu Kualuh – Leidong mempunyai

beberapa ciri tertentu. Ciri pertama yang paling ketara adalah cara ia disampaikan

(8)

dilisankan. Manakala ada juga yang dituturkan secara individu kepada individu

atau kepada sekumpulan yang lain. Kesusastraan Masyarakat Melayu Kualuh –

Leidong juga dipertuturkan untuk diperluas penggunaannya.

Berkaitan dengan isi kandungannya, ciri kesusastraan Masyarakat Melayu

Kualuh – Leidong telah menerima pengaruh Hindu-Budha dan Islam dan

kesusastraan Masyarakat Melayu Kualuh – Leidong ini ialah tersebar dikalangan

masyarakatnya. Dari berbagai pengaruh dan cara penyebarannya terdapat tiga hal

yang selalu terjadi yaitu, Pertama kesusastraan Masyarakat Melayu Kualuh –

Leidong mengalami penambahan sama ada dalam bentuk, isi maupun

pertuturannya. Kedua, kesusastraan Masyarakat Melayu Kualuh – Leidong

mengalami pengurangan sama ada dari segi isi, bentuk maupun cara

pertuturannya, dan yang Ketiga didalam masyarakat Melayu Kualuh – Leidong

sendiri ditemui berbagai genre dan variasi serta gaya penceritaan. Hal tersebut

terjadi disebabkan oleh penutur sama ada pencatat maupun perekam akan

penambahan tokoh cerita, bentuk serta penyampaiannya untuk menambah

kesedapan, kesesuaian cerita dengan suasana dan alam sekitar, dimana dia

dituturkan dan disampaikan serta dimana pula dia berkedudukan, hingga tidak

akan ada rasa ragu – ragu untuk membuang dan menambah isi serta bentuk dan

juga gaya penyampaiannya.

Disebabkan itulah ditemui beberapa karya sastra yang bersifat cerita dan

bukan cerita sama ada berbentuk prosa ataupun puisi mempunyai tajuk yang

sama. Namun begitu, tetapi terdapat perbedaan apabila dilihat dari segi isi ataupun

(9)

dengan bentuknya, dari sebuah tajuk diceritakan dalam genre yang berbeda- beda.

Ciri yang kedua melibatkan soal kelahiran daripada kesusastraan Masyarakat

Melayu Kualuh – Leidong yaitu lebih banyak lahir dan berkembang dalam

masyarakat yang sederhana.

Berkenaan dengan isi cerita – cerita yang berkembang dalam masyarakat

sederhana dan masyarakat bangsawan pada masa pengaruh Hindu – Budha, dia

bertemakan atau mengacu kepada kebesaran raja sebagai titisan dewa. Semasa

pengaruh Islam cerita – cerita yang berkembang berisi dan bertemakan kebesaran

Allah sebagai pencipta manusia, langit dan alam sekitar beserta isi – isinya.

Ciri ketiga ialah kesusastraan Masyarakat Melayu Kualuh – Leidong

mengandung ciri – ciri budaya asal masyarakat yang melahirkannya, hingga

menggambarkan suasana masyarakat Melayu yang tabii. Hal ini wujud dalam

karya sastra yang berbentuk cerita sama ada karya – karya dalam bentuk lisan

ataupun tulisan disebabkan oleh sastra rakyat merupakan ekspresi ataupun

pernyataan budaya, melalui kesusastraan rakyatlah masyarakat Melayu Kualuh –

Leidong dapat mewujudkan corak budaya asli atau tradisional, sehingga ciri

asalnya tetap terpelihara sebagai tunjangan walaupun terdapat unsur – unsur tokoh

tambahan. Hal tersebut menunjukan bahwa karya – karya sastra masyarakat

Melayu Kualuh – Leidong pada hakikatnya cagar budaya bangsa karena

kesemuanya tuangan pengalaman jiwa bangsanya dan turut meliputi pandangan

(10)

Ciri keempat menunjukan bahwa kesusastraan Masyarakat Melayu Kualuh

– Leidong kepunyaan bersama, sama ada dianggap sebagai milik masyarakatnya

ataupun bukan milik perseorangan. Dengan itu apabila disusurgalurkan dengan

kewujudan masyarakat Melayu Kualuh – Leidong kesusastraan rakyat

masyarakatnya ditemui mempunyai banyak perbedaan versi. Ini bermakna hasil

kesusastraan Masyarakat Melayu Kualuh – Leidong, sama ada yang bersifat lisan

maupun tulisan juga mempunyai gaya penceritaan dan bukan bersifat penceritaan.

Terdapat beberapa kelainan didalam isi, gaya pertuturan dan bentuknya walaupun

tajuknya sama.

Ciri kelima dan terakhir ialah dalam kesusastraan Masyarakat Melayu

Kualuh – Leidong terdapat unsur – unsur pemikiran yang luas tentang kehidupan

masyarakatnya. Pengajaran atau bersifat didaktif dan unsur sejarah. Ketiga - tiga

unsur ini berlaku dalam setengah susunan kata – kata yang puitis dan teratur

indah. Manakala susunan kata – kata demikian timbul apabila gambaran sesuatu

keadaan atau peristiwa dipaparkan. Ini menunjukan bahwa aspek pemikiran

masyarakat Melayu sangat luas mencakupi alam nyata dan alam gaib. Bentuk

pemikiran itu ada kaitan pula dengan sistem kepercayaan dan agama yang mereka

anuti seperti animisme, Hindu – Budha dan Islam.

2.2.2 Bentuk – Bentuknya

Kesusastraan Masyarakat Melayu Kualuh – Leidong, dilihat dari segi isi

dan sifat penceritaanya yang lahir dalam dua sifat, kedua – duanya diwujudkan

(11)

penceritaan yang dimaksudkan wujud dalam cerita rakyat legenda. Cerita rakyat

yang dimaksudkan merupakan cerita yang pada zamannya mempunyai isi bagi

tujuan pengajaran dan hiburan yang kadang kala berbentuk jenaka pula.

Legenda adalah cerita – cerita yang dianggap, atau dalam konsepsi yang

empunyanya sebagai peristiwa – peristiwa sejarah. Dundes didalam bukunya yang

bertajuk The Study of Folklore yang dipetik dari pada James Dananjaya (1986 :

67) menyatakan bahwa legenda adalah cerita prosa rakyat yang ditokohi manusia

yang ada kalanya memiliki sifat - sifat luar biasa dan dibantu oleh kuasa atau

makhluk ajaib. Cerita – cerita legenda juga dipercayai pernah benar – benar terjadi

oleh penuturnya dan masyarakatnya tetapi tidak dianggap suci. Legenda bersifat

keduniawian, terjadi pada masa yang belum begitu lama dan bertempat di dunia.

Selanjutnya jumlah legenda dalam suatu kebudayaan mungkin jauh lebih besar

daripada mitos karena setia zaman akan melahirkan legenda baru atau sekurang –

kurangnya varian baru bagi legenda yang telah ada.

Dan Awang juga menyatakan dalam Wan Syaifuddin (1995:44) Legenda

adalah sebuah uraian atau pernyataan yang biasanya bercorak cerita atau naratif,

yang berlatar belakang masa ataupun sejarah yang masih diingati oleh masyarakat

berkenaan, yang mungkin menghubungkan pengalaman masa lampau dengan

kekinian, yang biasanya dipercayai sebagai benar oleh mereka yang

menyampaikannya dan juga oleh mereka yang menerima penyampaian cerita itu

terutama apabila wujud tanda –tanda dimuka alam yang seolah – olah

(12)

Tokoh – tokoh yang dibawa dalam uraian legenda mungkin mempunyai

kebolehan atau sifat – sifat tertentu yang luar biasa, tetapi tokoh – tokoh itu

selalunya tidak boleh mengatasi hukum alam semula jadi. Ini bermakna legenda

tidak bersifat ritual atau kudus tetapi bersifat gaib seperti legenda Tengku Raden

di masyarakat Melayu Kualuh – Leidong.

2.2.3 Kedudukan dalam Masyarakat

Melihat kepada ciri, isi dan bentuknya, kesusastraan Masyarakat Melayu

Kualuh – Leidong mempunyai kedudukan yang tinggi di dalam kehidupan

masyarakatnya sama ada dalam masyarakat masa lalu maupun masa kini. Ia

merupakan salah satu warisan budaya yang mempunyai nilai kegunaan yang

tinggi. kesusastraan Masyarakat Melayu Kualuh – Leidong bukan saja menjadi

alat hiburan yang indah tetapi juga sebagai alat pengajaran yang memberikan yang

lebih berkesan. Disamping memancarkan nilai –nilai kehidupan Masyarakat

Melayu Kualuh – Leidong ia juga memancarkan segala pewarnaan jiwa,

semangat, sikap kepercayaan dan sejarah ideologi dan cerminan hidup hati nurani

masyarakatnya. Dalam hubungannya dengan kehidupan sosial budaya masyarakat

Melayu Kualuh – Leidong, kesusastraan rakyat tidak dapat diabaikan karena ia

(13)

2.3Landasan Teori

Secara etimologis, teori berasal dari kata theoria (Yunani), berarti

kebulatan alam atau realita. Teori diartikan sebagai kumpulan konsep yang telah

teruji keterandalannya, yaitu melalui kompetisi ilmiah yang dilakukan dalam

penelitian.

Pengertian teori menurut Pradopo, dkk (2001:35) ialah, “seperangkat

proposisi yang terintegrasi secara sintaksis dan berfungsi sebagai wahana untuk

meramalkan, atau menjelaskan suatu fenomena. Teori juga dapat dilepaskan dari

fakta. Atau menjelaskan suatu fenomena”. Untuk menjawab permasalahan yang

muncul dalam skripsi ini, penulis akan menggunakan teori struktural yaitu dengan

melihat unsur-unsur intrinsiknya dari segi tema, amanat, alur, perwatakan, dan

latar serta menggunakan teori budaya yaitu dengan melihat unsur-unsur

ekstrinsiknya, dalam hal ini akan dibatasi yakni hanya melihat nilai-nilai

budayanya saja.

2.3.1 Pengertian Nilai Budaya

Theodorson dalam Pelly (1994) mengemukakan bahwa nilai merupakan

sesuatu yang abstrak, yang dijadikan pedoman serta prinsip-prinsip umum dalam

bertindak dan bertingkah laku. Keterikatan orang atau kelompok terhadap nilai

menurut Theodorson relatif sangat kuat dan bahkan bersifat emosional. Oleh

(14)

Sedangkan yang dimaksud dengan nilai budaya itu sendiri sudah

dirumuskan oleh beberapa ahli seperti :

• Koentjaraningrat

Menurut Koentjaraningrat nilai budaya terdiri dari

konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam fikiran sebahagian besar warga masyarakat

mengenai hal-hal yang mereka anggap amat mulia. Sistem nilai yang ada dalam

suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Oleh karena

itu, nilai budaya yang dimiliki seseorang mempengaruhinya dalam menentukan

alternatif, cara-cara, alat-alat, dan tujuan-tujuan pembuatan yang tersedia.

• Clyde Kluckhohn

Clyde Kluckhohn mendefinisikan nilai budaya sebagai konsepsi umum

yang terorganisasi, yang mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan alam,

kedudukan manusia dalam alam, hubungan orang dengan orang dan tentang

hal-hal yang diingini dan tidak diingini yang mungkin bertalian dengan hubungan

orang dengan lingkungan dan sesama manusia.

• Sumatmadja

Sementara itu Sumatmadja mengatakan bahwa pada

perkembangan, pengembangan, penerapan budaya dalam kehidupan, berkemb

(15)

keselarasan, serta keseimbangan. Nilai tersebut dikonsepsikan sebagai nilai

budaya.

Selanjutnya, bertitik tolak dari pendapat diatas, maka dapat dikatakan

bahwa setiap individu dalam melaksanakan aktifitas sosialnya selalu berdasarkan

serta berpedoman kepada nilai-nilai atau sistem nilai yang ada dan hidup dalam

masyarakat itu sendiri. Artinya nilai-nilai itu sangat banyak mempengaruhi

tindakan dan perilaku manusia, baik secara individual, kelompok atau masyarakat

secara keseluruhan tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut

Suatu nilai apabila sudah membudaya didalam diri seseorang, maka nilai

itu akan dijadikan sebagai pedoman atau petunjuk di dalam bertingkahlaku. Hal

ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari, misalnya budaya gotong royong,

budaya malas, dan lain-lain. Jadi, secara universal, nilai itu merupakan pendorong

bagi seseorang dalam mencapai tujuan tertentu.

Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai budaya adalah suatu bentuk konsepsi

umum yang dijadikan pedoman dan petunjuk di dalam bertingkah laku baik secara

individual, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk,

benar salah, patut atau tidak patut.

2.3.2 Teori Struktural

Untuk melihat unsur-unsur yang terkandung dalam karya sastra diterapkan

teori struktural. Teori struktural diharapkan mendapakan suatu hasil yang optimal

(16)

Teeuw (1984:135) berpendapat, “Analisis struktural bertujuan untuk

membongkar dan memaparkan secara cermat keterkaitan dan keterjalinan semua

unsur dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang

menyeluruh”.

Berdasarkan pendapat diatas, teori struktural adalah pendekatan yang

bertujuan untuk menganalisis karya sastra berdasarkan unsur-unsur yang

membangun karya sastra tersebut dalam suatu hubungan antara unsur

pembentuknya.

Pada dasarnya penelitian struktur, yaitu suatu penelitian yang membahas

unsur-unsur karya sastra. Unsur-unsur yang dimaksud adalah tema, alur, latar, dan

penokohan.

1. Tema

Staton (1965:88), tema adalah makna yang dikandung sebuah cerita. Tema

juga merupakan gagasan umum yang menopang sebuah karya sastra yang

terkandung didalamnya menyangkut persamaan dan perbedaan. Tema disaring

dalam motif-motif yang terdapat dalam karya sastra. Kemudian Fananie (2000:84)

mengatakan, “Tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang

melatarbelakangi karya sastra”. Selanjutnya Sudjiman (1978:74), “tema adalah

gagasan, ide atau pemikiran utama didalam karya sastra yang terungkap ataupun

(17)

Dari pendapat diatas, jelas terungkap bahwa tema adalah suatu hal yang

penting dalam sebuah karya sastra. Tema adalah apa yang ingin diungkapkan

pengarang.

2. Alur atau Plot

Semi (1984:45), “Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam

cerita yang di susun sebagai buah interaksi khusus sekaligus menandai urutan

bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi”.

Alur atau plot terbentuk dari rangkaian kisah tentang peristiwa-peristiwa

yang disebabkan sesuatu dengan tahapan-tahapan yang melibatkan konflik atau

masalah. Alur dalam cerita dapat dibagi atas beberapa bagian, seperti yang

dikemukakan oleh Lubis (1981:17), yaitu :

1. “Situation (pengarang mulai melukiskan suatu keadaan)

2. Generating Circumtances (Peristiwa yang bersangkutan mulai bergerak) 3. Rising Action (keadaan mulai memuncak)

4. Climax (peristiwa mencapai puncak)

5. Denoument (pengarang memberikan pemecahan soal dalam semua peristiwa)”

3. Latar atau Setting

Daryanto (1997:35), “Latar atau setting adalah jalan (aturan, adap)

memanjang rangkaian peristiwa yang berlangsung dalam karya fiksi”.

Selanjutnya, Sumarjo dan Saini (1991:76), menjelaskan bahwa setting bukan

hanya berfungsi sebagai latar yang bersifat fisikal untuk memuat suatu cerita

(18)

menuansakan makna tertentu serta mampu menciptakan suasana tertentu yang

menggerakan emosi atau aspek kejiwaan pembacannya.

Latar atau setting adalah tempat-tempat kejadian suatu peristiwa atau

kejadian di dalam penceritaan karya sastra. Latar bukan hanya berupa daerah atau

tempat namun waktu, musim peristiwa penting dan bersejarah, masa

kepemimpinan seseorang di masa lalu dan lain-lain.

4. Perwatakan/Penokohan

Perwatakan atau karakter kadang-kadang disebut juga penokohan. Dalam

sebuah karya sastra, alur dan perwatakan tidak dapat dipisahkan. Hal ini

disebabkan alur meyakinkan watak-watak atau tokoh-tokoh beraksi dan bereaksi.

Hubungan perwatakan dan alur menjadi penting karena perwatakan adalah sifat

menyeluruh manusia yang disorot, termasuk perasaan, keinginan, cara berfikir,

dan cara bertindak.

Bangun, dkk (1993:21), “Perwatakan/tokoh cerita dapat dilihat melalui

tiga aspek yaitu aspek psikologis, visiologis dan sosiologis”.

Perwatakan adalah karakter dari tokoh. Dalam hal ini pengertian sifat atau

ciri khas yang terdapat pada diri tokoh yang dapat membedakan antara satu tokoh

dengan yang lainnya. Gambaran watak seorang tokoh dapat diketahui melalui apa

yang diperankan dalam cerita tersebut kemudian jalan pikirannya serta

(19)

Setiap cerita mempunyai tokoh dimana tokoh itu dianggap sebagai

pembentuk peristiwa alur dalam alur cerita. Oleh karena itu, setiap tokoh yang

mempunyai watak tersendiri yang dapat dianalisis dan diramalkan secara analisis

yaitu dapat diterangkan secara langsung watak tokohnya, sedangkan secara

dramatik yaitu dapat diterangkan secara tidak langsung tetapi mungkin melalui

tindakannya dan lain-lain. Aspek perwatakan (karakter) merupakan imajinasi

pengarang dalam membentuk suatu personalita tertentu dalam sebuah karya

sastra. Pengarang sebuah karya sastra harus mampu menggambarkan diri

seseorang tokoh yang ada dalam karyanya.

2.3.3 Teori Budaya

Analisis nilai budaya di dalam legenda Tengku Raden ini sudah di luar

teori struktural, tetapi mengarah pada sebuah makna teks sastra itu sendiri.

Koentjaraningrat (1980:15) berpendapat bahwa kebudayaan suatu bangsa

terwujud dalam tiga unsur yang dapat ditemukan dalam berbagai segi kehidupan

bangsa, yakni (1) kompleks gagasan, nilai, nama dan peraturan, (2) kompleks

aktivitas kelakuan berpola manusia dalam masyarakat, dan (3) benda hasil karya

manusia. Ketiga unsur itu sebagian di antaranya akan tersimpan di dalam sebuah

karya sastra, seperti ungkapan pikiran, cita – cita, serta renungan manusia pada

zaman silam. Lebih lanjut koentjaraningrat (1984:25) mengatakan bahwa nilai

budaya itu adalah tingkat pertama kebudayaan ideal atau adat.Nilai budaya adalah

lapisan paling abstrak dan luas ruang lingkupnya.Tingkat ini adalah ide – ide yang

mengonsepsikan hal – hal yang paling bernilai dalam kehidupan

(20)

pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal – hal yang harus mereka

anggap bernilai dalam kehidupan.Oleh karena itu, suatu sistem nilai budaya

biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Dalam

kaitan itu, dapat dipastikan bahwa etnis Melayu Kualuh – Leidong masih

memiliki warisan budaya, khususnya nilai – nilai kehidupan yang masih

tersimpan di dalam naskah sastra lama. Oleh sebab itu, penulis akan berusaha

menggali nilai – nilai budaya yang terkandung di dalam karya sastra legenda

Tengku Raden.

Kenyataan atau latar belakang nilai budaya yang tergambar dalam karya

sastra ini yakni :

1. Menghormati orang lain

2. Tanggung jawab

3. Kasih sayang

4. Keberanian

5. Cinta tanah air

6. Menuntut ilmu

7. Gotong Royong

8. Kepercayaan kepada takdir

Referensi

Dokumen terkait

rujuk ibu kepada kelompok tersebut ketika pulang dari Rumah Sakit/Rumah Bersalin/Sarana Pelayanan Kesehatan. Dalam peraturan ini pemerintah RI mengatur fungsi dan peranan

PROGRAM KONVERSI DETIK MENJADI JAM, MENIT, DAN DETIK {Mengkonversi waktu dalam satuan detik menjadi Jam, Menit, dan Detik

On the organic farm at Oberwil, in a more diver- sified landscape, the following habitats were exam- ined (Table 1): a winter wheat, an arable meadow, a ploughed wildflower strip

[r]

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI. SEKRETARIAT

Dengan penelitian ini peneliti ingin melihat seberapa tinggi efektifitas model pembelajaran Make a Match terhadap hasil belajar matematika siswa pada siswa yang

Dalam konteks akuntansi ESG dapat dilogikakan bahwa mahasiswa akuntansi merupakan individu yang telah memiliki modal sosial (bagian dari jejaring sosial bisnis dan akuntansi)

Kemampuan untuk memilah unit-unit mana yang akan dioperasikan pada berbagai level pembebanan menunjukkan bahwa program yang dibuat berdasarkan algoritma dalam penelitian ini