BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lembaga Kemasyarakatan yang dikenal sebagai “notariat” timbul dari
kebutuhan dalam pergaulan sesama manusia, yang menghendaki adanya alat
bukti baginya mengenai hubungan hukum keperdataan yang ada dan atau
terjadi di antara mereka; suatu lembaga dengan para pengabdinya yang
ditugaskan oleh kekuasaan umum untuk di mana dan apabila Undang-Undang
mengharuskan sedemikian atau dikehendaki oleh masyarakat, membuat alat
bukti tertulis yang mempunyai kekuatan otentik.1
Kehadiran Notaris dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud
untuk membantu dan melayani masyarakat yang membuktikan alat bukti
tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan
hukum. Dengan dasar seperti ini mereka yang diangkat sebagai Notaris harus
mempunyai semangat untuk melayani masyarakat dan atas pelayanan tersebut,
masyarakat yang merasa telah dilayani oleh Notaris sesuai dengan tugas
jabatannya, dapat memberikan honorarium kepada Notaris. Oleh karena itu
Notaris tidak berarti apa-apa jika masyarakat tidak membutuhkannya.2
Menurut Pasal 1 Instructice voor de Notarissen in Indonesia, Notaris
adalah pegawai umum yang harus mengetahui seluruh perundang-undangan
yang berlaku, yang dipanggil dan diangkat untuk membuat akta-akta dan
1
G.H.S. Lumban Tobing, S.H, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992), hal.2
2
kontrak-kontrak, dengan maksud untuk memberikan kepadanya kekuatan dan
pengesahan, menetapkan dan memastikan tanggalnya, menyimpan asli atau
minutanya dan mengeluarkan grossenya, demikian juga salinannya yang sah
dan benar.3
Pasal 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 menyebutkan:
“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
Dalam pasal 1 tersebut tersirat hal penting, yaitu ketentuan yang
menyatakan bahwa Notaris adalah pejabat umum (openbaar ambtenaar),
dimana kewenangannya atau kewajibannya yang utama ialah membuat akta
otentik.
Dalam menjalankan jabatannya Notaris harus dapat bersikap
profesional dan mematuhi peraturan perundang-undangan serta menjunjung
tinggi Kode Etik Notaris. Notaris sebagai pejabat umum kepadanya dituntut
tanggung jawab hukum dan tanggung jawab moral terhadap akta yang
dibuatnya. Sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1868 KUHPerdata.
Menurut Habib Adjie, khusus berkaitan dengan Openbare
Ambtenaren yang diterjemahkan sebagai Pejabat Umum diartikan sebagai
pejabat yang diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang melayani
kepentingan publik, dan kualifikasi itu diberikan kepada Notaris.4
3
G.H.S. Lumban Tobing, S.H, Peraturan Jabatan Notaris, op. Cit. hal.20
4
Dalam pelaksanaan tugasnya, Notaris tunduk dengan aturan-aturan
yang ada seperti Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris, Kode Etik Notaris, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan
Peraturan Hukum lain yang berlaku umum.
Pasal 15 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 menyebutkan;
“Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang”.
Akta Otentik sebagai alat bukti kuat dan terpenuh, mempunyai
peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat.
Akta Otentik makin meningkat sejalan dengan perkembangan tuntunan akan
kepastian hukum dalam berbagai hubungan. Melalui akta otentik dapat
ditentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum dan
sekaligus diharapkan dapat menghindari terjadinya sengketa.
Untuk membuat akta yang bersifat otentik, diperlukan syarat-syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata “adanya kesepakatan
kedua belah pihak, kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, adanya
objek perjanjian dan adanya sebab yang halal.
Pengertian akta otentik sendiri adalah apa yang dirumuskan dalam
Buku IV KUHPerdata tentang hukum pembuktian yang mengatur mengenai
terdapat dalam Pasal 1868 KUHPerdata yang berbunyi “Suatu akta otentik
ialah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan Undang-Undang oleh
atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat akta
dibuat”.5
Apabila yang membuatnya pejabat yang tidak cakap atau tidak
berwenang atau bentuknya cacat, maka menurut Pasal 1869 KUHPerdata: Ketentuan pasal tersebut menunjukkan tanpa adanya kedudukan
sebagai pejabat umum, maka seseorang tidak mempunyai wewenang untuk
membuat akta otentik.
- Akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai akta otentik, oleh karena itu tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik. - Namun akta yang demikian, mempunyai nilai kekuatan sebagai akta di
bawah tangan, dengan syarat apabila akta itu ditanda tangani para pihak.
Keberadaan akta Notaris adalah akibat langsung yang merupakan
keharusan dari ketentuan perundang-undangan, bahwa harus ada akta-akta
otentik sebagai alat pembuktian dan dari tugas yang dibebankan oleh
Undang-Undang kepada pejabat-pejabat atau orang-orang tertentu. Dalam pemberian
tugas inilah terletak pemberian tanda kepercayaan kepada para pejabat itu dan
pemberian kekuatan pembuktian kepada akta-akta yang mereka buat.
Notaris dituntut tanggung jawab terhadap akta yang dibuatnya.
Apabila akta yang dibuatnya ternyata mengandung cacat hukum. Maka semua
kegiatan yang dilakukan oleh Notaris khususnya dalam membuat akta akan
selalu dimintakan pertanggungjawaban. Apabila Notaris melakukan kesalahan
atau kelalaian dalam membuat akta maka Notaris dapat diminta
5
pertanggungjawaban baik secara pidana maupun perdata. Oleh karenanya,
Notaris dituntut untuk selalu waspada dan berhati-hati dalam menjalankan
tugasnya.
Kelalaian Notaris bukan merupakan sebab utama pembatalan akta
Notaris. Pembatalan akta Notaris dapat juga disebabkan kesalahan atau
kelalaian kedua belah pihak yang menimbulkan gugatan dari salah satu pihak
dalam akta.
Sesuai dengan syarat sahnya suatu perjanjian, yang diatur dalam pasal
1320 KUHPerdata, maka akta yang dimintakan pembatalannya tersebut dapat
dikatakan tidak memenuhi syarat subjektif, yaitu sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk membuat sesuatu, artinya pihak
yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak
yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas.6
Istilah batal demi hukum (nietig) merupakan istilah yang biasa
dipergunakan untuk menilai suatu perjanjian jika tidak memenuhi syarat
objektif, yaitu suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp) dan sebab yang
tidak dilarang (een geoorloofde oorzaak), dan istilah dapat dibatalkan jika
suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, yaitu sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya (de toetsemming van degenen die zich verbinden) dan
kecakapan untuk membuat suatu perikatan (de bekwaamheid om eene
verbindtenis aan te gaan).7
6
Prof. Subekti,SH, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 2005), hal.20 7
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas maka yang menjadi
pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah
1. Faktor apakah yang menyebabkan akta Notaris dapat dibatalkan?
2. Bagaimana pertanggungjawaban Notaris atas aktanya yang menjadi batal
demi hukum?
3. Bagaimana pertimbangan badan peradilan dalam membatalkan akta
Notaris?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan
a. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan akta Notaris
dapat dibatalkan
b. Untuk mengetahui pertanggungjawaban Notaris atas aktanya yang
menjadi batal demi hukum
c. Untuk mengetahui pertimbangan badan peradilan dalam
membatalkan akta Notaris
2. Manfaat
a. Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan secara
akademis dalam memberikan gambaran terhadap perkembangan
mengenai ilmu hukum bidang kenotariatan khususnya akta Notaris
b. Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan serta
pertimbangan dalam ilmu pengetahuan bagi kalangan praktisi
hukum dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan akta
Notaris yang batal demi hukum oleh putusan pengadilan.
D. Keaslian Penulisan
Berdasarkan hasil penelusuran yang telah dilakukan sebelumnya pada
perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara di Medan,
Penelitian tentang “Analisa Yuridis Putusan Pengadilan Terhadap Akta Notaris Yang Batal Demi Hukum Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan” merupakan hal yang baru, belum pernah dibahas oleh mahasiswa/i lain di
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sehingga skripsi ini dapat
dipertanggungjawabkan keasliannya dan kalaupun ada lokasinya berbeda
maka keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.
Dan juga terbuka untuk kritikan-kritikan yang sifatnya membangun
sehubungan dengan topik dan permasalahan dalam penelitian ini.
Dengan ini peneliti memberikan pernyataan apabila skripsi ini
kedapatan meniru atau mencuri ide (Plagiat) dari tulisan orang lain maka
penulis bersedia mempertanggungjawabkan perbuatannya yang merugikan
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian-Pengertian Notaris dan Tinjauan Tentang Suatu Akta Otentik
a. Menurut Reglement Op Het Notarisambt (Peraturan Jabatan Notaris)
Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris, Notaris adalah pejabat umum yang
satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian, penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum
atau oleh yang berkepentingan dikehendaki atau dinyatakan dalam suatu akta
otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan
grosse (salinan sah), salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan
akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan
kepada pejabat atau orang lain.
b. Menurut Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI
No.M.01-HT.03.01 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan dan
Pemindahan dan Pemberhentian Notaris
Dalam Pasal 1 ayat (1), Notaris adalah pejabat umum yang berwenang
untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya, sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Jabatan Notaris.
c. Menurut Undang-Undang RI No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
Pasal 1 ayat (1), yang dimaksud dengan Notaris adalah pejabat umum
yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya
d. Menurut Kamus Indonesia
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta
otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Peraturan Jabatan Notaris.
Dari pengertian-pengertian Notaris diatas, dapat disimpulkan bahwa
untuk membuat akta otentik, seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai
“Pejabat Umum”. Dari pengertian-pengertian diatas ada hal penting yang
tersirat, bahwa Notaris adalah pejabat umum (openbaar ambtenaar), dimana
kewenangannya atau kewajibannya yang utama ialah membuat akta-akta
otentik, jadi Notaris merupakan pejabat umum sebagaimana yang dimaksud
pada Pasal 1868 KUHPerdata.
Sedangkan pengertian akta otentik terdapat di dalam hukum
pembuktian yang diatur dalam Buku IV KUHPerdata, mengenai syarat-syarat
agar suatu akta berlaku sebagai akta otentik, hal ini diatur di dalam pasal 1868
KUHPerdata. Yang dimaksud dengan akta otentik adalah suatu akta yang
dalam bentuk yang ditentukan Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan
pejabat umum yang berkuasa untuk itu, ditempat dimana akta tersebut dibuat.
Akta otentik menurut Soepomo adalah surat yang dibuat oleh suatu
dimuka seorang pejabat umum yang mempunyai wewenang untuk membuat
surat itu, dengan maksud menjadikan surat tersebut sebagai surat bukti.8
8
Menurut Wiryono Projodikoro, pengertian akta otentik adalah surat
yang dibuat dengan maksud dijadikan bukti oleh atau dimuka seorang pejabat
umum yang berkuasa untuk itu.9
Berdasarkan pengertian akta otentik diatas, dapat dilihat beberapa
unsur untuk dikatakan sebagai akta otentik, Yaitu;
1. Bahwa akta itu dibuat dan diresmikan dalam bentuk menurut hukum
2. Bahwa akta itu dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum
3. Bahwa akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk
membuatnya di tempat di mana akta itu dibuat, jadi akta itu harus dibuat di
tempat wewenang pejabat yang membuatnya.
Dari pengertian akta otentik diatas juga dapat diambil kesimpulan
bahwa untuk membuat akta otentik, seseorang harus mempunyai kedudukan
sebagai pejabat umum.
Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang mutlak karena
akta tersebut memuat perjanjian yang mengikat kedua belah pihak yang
membuat perjanjian itu, jadi apabila terjadi sengketa antara pihak yang
membuat perjanjian, maka yang tersebut dalam akta itu merupakan bukti yang
sempurna dan tidak perlu dibuktikan dengan alat bukti lain, sepanjang pihak
lain tidak dapat membuktikan sebaliknya.
Akta sebagai alat bukti tertulis dalam hal-hal tertentu, merupakan bukti
yang kuat bagi pihak-pihak yang bersangkutan, mereka yang menandatangani
suatu akta bertanggung jawab dan terikat akan isi akta.10
9
Kekuatan pembuktian dari akta Notaris mempunyai tiga macam
kekuatan pembuktian;
1) Kekuatan pembuktian yang lahiriah
Yaitu syarat-syarat formal yang diperlukan supaya suatu akta Notaris
dapat berlaku sebagai akta otentik sesuai dengan Pasal 1868 KUHPerdata.
2) Kekuatan pembuktian formal
Yaitu kepastian bahwa suatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta,
benar-benar dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh para pihak yang
menghadap.
Akta otentik menjamin kebenaran mengenai:11
a. Tanggal akta dibuat
b. Semua tandatangan yang tertera dalam akta
c. Identitas yang hadir menghadap Notaris
d. Semua pihak yang menandatangani akta itu mengakui apa yang diuraikan
dalam akta itu
e. Tempat dimana akta tersebut dibuat
3) Kekuatan pembuktian materil
Yaitu kepastian bahwa apa yang disebut dalam akta itu merupakan
pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka
yang mendapat hak yang berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian
sebaliknya.
10
Komar Andasamita, Notaris I, (Bandung: sumur, 1984), hal.47 11
2. Kewenangan Notaris Membuat Akta Otentik dan Syarat Suatu Surat dapat
dikatakan Akta Otentik
Tugas yang paling pokok Notaris dapat juga dikatakan sebagai salah
satu penegak hukum, karena Notaris berwenang membuat alat bukti tertulis
yang mempunyai kekuatan pembuktian. Para ahli hukum berpendapat, bahwa
akta Notaris dapat diterima dalam pengadilan sebagai alat bukti yang mutlak
mengenai isinya, tetapi meskipun demikian dapat diadakan penyangkalan
dengan bukti sebaliknya oleh saksi-saksi yang dapat membuktikan, bahwa apa
yang diterangkan oleh Notaris dalam aktanya itu tidak benar.12
Berdasarkan ketentuan yang ditetapkan Pasal 1 ayat (1) Jo Pasal 15
ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, maka
Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang membuat akta otentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh
suatu peraturan umum atau dikehendaki oleh yang berkepentingan agar
dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kebenaran tanggalnya,
menyimpan minutanya, dan memberikan grosse, salinan dan kutipan akta,
semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh
Undang-Undang.
Notaris juga diberi hak dan wewenang untuk mengesahkan akta-akta
yang dibuat di bawah tangan serta dapat memberikan nasehat atau penyuluhan
hukum dan menjelaskan kepada pihak-pihak yang bersangkutan.
12
Dalam pembuatan akta yang dilakukan Notaris, setiap kata yang dibuat
dalam akta harus terjamin otentisitasnya, maka dalam proses pembuatan dan
pemenuhan persyaratan-persyaratan pembuatan akta memerlukan tingkat
kecermatan yang memadai. Jika kecermatan itu diabaikan, maka
memungkinkan adanya faktor-faktor yang menghilangkan otensitas akta yang
dibuat semakin tinggi.
Dari beberapa pengertian akta diatas, jelaslah tidak semua surat dapat
disebut akta, melainkan hanya surat-surat tertentu yang memenuhi
syarat-syarat yang dipenuhi. Maka untuk dapat dikatakan sebagai akta, suatu surat
harus memenuhi syarat-syarat:13
a. Surat itu harus ditandatangani
Keharusan ditandatangani suatu surat untuk dapat disebut akta
dikemukakannya dalam pasal 1869 KUHPerdata yang berbunyi:
“Suatu akta yang karena tidak berkuasa untuk atau tidak cakapnya pegawai termaksud diatas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya tidak diberlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan dibawah tangan, jika ditandatangani oleh pihak-pihak”.
Jelas tanda tangan berfungsi untuk memberikan ciri atau
mengindividualisir sebuah akta.
b. Surat itu harus memuat peristiwa yang menjadi dasar dari suatu hak atau
peristiwa.
Sesuai dengan peruntukkan sesuatu akta sebagai alat pembuktian demi
keperluan siapa surat itu, maka jelas bahwa surat itu harus berisikan
13
keterangan yang dapat dijadikan bukti yang dibutuhkan. Peristiwa hukum
yang disebut dalam surat itu dan yang dibutuhkan sebagai pembuktian harus
peristiwa hukum yang menjadi dasar dari suatu hak atau peristiwa.
c. Surat tersebut sengaja dibuat sebagai alat bukti
maksudnya dimana didalam surat tersebut dimaksudkan untuk
pembuktian suatu peristiwa hukum yang dapat menimbulkan hak atau
perikatan.
3. Perbuatan Melawan Hukum Merupakan Sebab Pembatalan Akta
Telah dibahas diatas, bahwa Notaris membuat akta sebagaimana
tercantum dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris, dijelaskan bahwa Notaris berwenang membuat akta
otentik mengenai perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh
yang berkepentingan, dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik,
maka wewenangnya berhubungan dengan perbuatan, perjanjian dan ketetapan
sebagaimana dimaksud dari ketentuan pasal diatas.
Notaris dapat digugat secara perdata maupun pidana. Dalam hal
apabila pembuatan aktanya menimbulkan kerugian bagi pihak yang dirugikan
oleh Notaris sebagai pejabat yang berwenang membuat suatu akta otentik
dalam hal perbuatan, perjanjian maupun ketetapan.
Dalam Pasal 84 Undang-Undang Jabatan Notaris No. 30 Tahun 2004,
tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap ketentuan
akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan
atau suatu akta menjadi batal demi hukum dapat menjadi alasan bagi pihak
yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan
bunga kepada Notaris.
Sedangkan dalam Pasal 1365 KUHPerdata, tiap perbuatan melanggar
hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, diwajibkan orang yang
karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
Unsur yang terkandung dalam Pasal 1365 KUHPerdata antara lain;
a. Harus adanya perbuatan
b. Perbuatan itu melanggar hukum
c. Harus ada mengakibatkan kerugian bagi orang lain
d. Adanya kesalahan dari si pembuat
M.A. Moegini Djojodiharjo, berpendapat bahwa Pasal 1365
KUHPerdata tidaklah memberikan perumusan, melainkan hanya mengatur
bilakah seseorang yang mengalami kerugian karena perbuatan hukum, yang
dilakukan oleh orang lain terhadap dirinya, akan dapat mengajukan tuntutan
ganti kerugian pada Pengadilan Negeri dengan sukses.14
M.A. Moegni Djojodiharjo, merumuskan bahwa perbuatan melawan
hukum diartikan suatu perbuatan atau kealpaan, yang atau bertentangan
dengan hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum sipelaku
atau bertentangan, baik dengan kesusilaan, maupun dengan keharusan yang
harus diindahkan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda,
14
sedang barang siapa karena salahnya sebagai akibat perbuatannya itu telah
mendatangkan kerugian pada orang lain, berkewajiban membayar ganti
kerugian.
Menurut Munir Fuady, rumusan-rumusan tentang perbuatan melawan
hukum diantaranya, suatu kesalahan perdata (civil wrong) terhadap mana
suatu ganti kerugian dapat dituntut yang bukan merupakan wanprestasi
terhadap kontrak, atau wanprestasi terhadap kewajiban trust, atau pun
wanprestasi terhadap kewajiban equity lainnya.15
a. Kesalahan, kesengajaan, kelalaian
Kesalahan yang dimaksud oleh Pasal 1365 KUHPerdata mengandung
“gradasi dari mulai perbuatan yang disengaja, sampai perbuatan yang tidak
disengaja.
b. Tanggung Gugat atau Pertanggung Jawaban
Seseorang dapat dimintai tanggung jawabnya untuk memberikan ganti
kerugian atas kesalahan yang dilakukan oleh orang lain yang berada dalam
tanggung jawabnya atau kerugian yang ditimbulkan oleh binatang atau benda
yang berada dalam tanggung jawabnya, karena itu istilah tanggung gugat
seiring juga disebut pertanggungjawaban.
c. Kerugian dan Ganti Rugi
Ganti rugi adalah suatu konsekuensi dari perbuatan kesalahan yang
menimbulkan kerugian. Dalam hukum perdata terdapat dua bidang hukum
yang terkait dengan ganti rugi yaitu:
15
1. Ganti rugi karena wanprestasi atas kontrak
2. Ganti rugi karena perikatan yang lahir, berdasarkan Undang-Undang
termasuk perbuatan melawan hukum.
Ganti rugi yang dimaksudkan adalah ganti rugi sebagai akibat
perbuatan melawan hukum dengan tujuan mengembalikan penderita pada
keadaan seandainya perbuatan melawan hukum tidak terjadi.
F. Metode Penelitian
Dalam pengumpulan data dan informasi untuk penulisan skripsi ini,
penulis telah mengumpulkan data-data yang diperlukan untuk dapat
mendukung penulisan skripsi ini dan hasil yang diperoleh dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Untuk memperkuat argumentasi dari penulisan skripsi ini, perlu
didukung oleh data-data yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya,
karena data-data ini merupakan suatu hal yang amat penting untuk mendukung
kebenaran ilmiah dari skripsi ini.
Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan, maka penulis
menerapkan metode pengumpulan data sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk kategori yang bersifat yuridis normatif.
Meneliti pada hakekatnya berarti mencari, yang dicari dalam penelitian hukum
adalah kaedah, norma atau Das Sollen, bukan peristiwa, perilaku dalam arti
dan sistematis tentang masalah yang akan diteliti. Analisis artinya
menganalisis secara teliti permasalahan berdasarkan gambaran dan fakta
sehingga mampu menjawab permasalahan yang berkaitan dengan Analisa
Yuridis Putusan Pengadilan Terhadap Akta Notaris Yang Batal Demi Hukum.
Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan
hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud
adalah mengenani asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundangan,
putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran).16
2. Jenis Data dan Sumber Data
Penelitian normatif ini dilakukan dengan batasan studi dokumen atau
bahan pustaka saja yaitu berupa data primer. Data sekunder yang digunakan
terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum
primer yang digunakan berupa norma dasar, peraturan dasar, peraturan
perundang-undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasikan dan bahan
hukum dari zaman penjajahan hingga kini masih berlaku. Sedangkan bahan
hukum sekunder yang digunakan berupa buku, makalah, dan hasil penelitian
di bidang hukum.
Bahan utama dari penelitian ini adalah Data Primer yang dilakukan
dengan menghimpun bahan-bahan berupa :
a. Bahan Hukum Primer
Yaitu berupa Undang-Undang dan peraturan-peraturan yang terkait
dengan objek penelitian.
16
Dr. Mukti Fajar ND, Yulianto Achmad, MH, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris,
b. Bahan Hukum Sekunder
Yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer
antara lain: tulisan atau pendapat para pakar hukum.
c. Bahan Hukum Tertier
Yaitu bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder.
3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data-data dari skripsi ini diperoleh dari Library
Research yaitu penelitian yang dilaksanakan melalui tinjauan kepustakaan
untuk memperoleh informasi dan data yang dapat dipergunakan sebagai dasar
dalam penelitian dan analisa terhadap masalah yang akan dibahas. Adapun
data-data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari
buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik
yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen
pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan.
4. Analisa Data
Analisa data dilakukan dengan metode analisis kualitatif, yaitu
penelitian dilakukan dengan menganalisis terhadap data-data. Selanjutnya,
ditarik kesimpulan dengan metode deduktif, yakni berfikir dari hal yang
umum menuju kepada hal yang khusus atau spesifik dengan menggunakan
perangkat normatif. Analisa data dilakukan setelah diperoleh data sekunder
berupa bahan hukum primer, sekunder dan tertier sehingga memberikan
G. Sistematika Pembahasan
Suatu gambaran dari isi skripsi ini, di sini dapatlah dikemukakan
sistematika penulisan dari skripsi ini yang meliputi:
BAB I : Pendahuluan
Pada bab ini penulis akan membahas mengenai Latar
Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan
Sistematika Penulisan.
BAB II : Tinjauan Umum Terhadap Akta Serta Kekuatan Pembuktian Akta Notaris
Pada bab ini akan dibahas tentang pengertian akta dan
macam-macam akta, bentuk-bentuk akta otentik, kekuatan
pembuktian akta Notaris, dan faktor-faktor yang
menyebabkan suatu akta dapat dibatalkan.
BAB III : Tinjauan Umum Terhadap Notaris Dan Kewenangannya
Pada bab ini akan dibahas tentang pengertian Notaris dan
syarat pengangkatan Notaris, kewenangan, kewajiban dan
larangan bagi Notaris, kode etik yang harus dipatuhi
Notaris serta pertanggungjawaban Notaris atas akta yang
BAB IV : Pertimbangan Pengadilan Dalam Membatalkan Akta Notaris Terhadap Kasus Perdata
No.Perk.297/Pdt.G/2009/PN.Mdn
Pada bab ini akan dibahas tentang kewenangan badan
peradilan dalam mempertimbangkan pembatalan akta
Notaris dan faktor-faktor pertimbangan hakim dalam
membatalkan akta Notaris pada kasus perdata
No.Perk.297/Pdt.G/2009/PN.Mdn
BAB V : Kesimpulan dan Saran
Bab ini merupakan bab terakhir yaitu sebagai bab penutup
yang berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai