• Tidak ada hasil yang ditemukan

Realita Kebijakan Pengendalian Rokok Di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Realita Kebijakan Pengendalian Rokok Di"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Artikel ini, di Publikasikan pada 27 April 2015:

http://www.permataindonesia.ac.id/2015/realita-kebijakan-pengendalian-rokok-di-indonesia-komitmen-pemerintah-dan-kepedulian-masyarakat.html

Realita Kebijakan Pengendalian Rokok Di Indonesia: “Komitmen Pemerintah Dan Kepedulian Masyarakat”

Oleh: Fahmi Hakam, S.KM.

Hasil penelitian USPHS (United States Public Health Service) yang dimulai tahun 1955, dalam laporan yang dipublikasi tahun 1982, menyatakan bahwa “satu batang rokok akan memperpendek usia sekitar lima setengah menit terhadap para perokok”. Tingkat kematian orang yang merokok 10 s/d 19 batang per hari, 70% lebih tinggi dibanding dengan mereka yang bukan perokok. Ancaman kanker paru dan kanker lainnya akibat asap rokok terhadap generasi muda makin mengkhawatirkan. Hal itu terbukti dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional pada 2001 dan 2004 yang dilakukan Biro Pusat Statistik, yang memperlihatkan terjadinya peningkatan jumlah perokok di bawah 19 tahun.

Beberapa tahun terakhir, jumlah perokok Indonesia meningkat drastis. Generasi penerus bangsa menjadi pecandu rokok, menghabiskan uang yang harusnya digunakan untuk membeli makanan bergizi, pendidikan dan kesehatan, justru habis untuk membakar batang demi batang rokok. Disisi lain, pemerintah terkesan asyik mendorong peningkatan pajak bea cukai rokok dan kurang memperhatikan efek jangka panjang dari rokok yang dilihat dari segi kesehatan, perilaku masyarakat, ekonomi dan pendidikan. Padahal kenyataannya masyarakat miskin adalah kelompok yang paling menjadi korban dari industri tembakau karena menggunakan penghasilan mereka untuk membeli sesuatu yang justru membahayakan kesehatan.

Pemerintah perlu menetapkan kebijakan pengendalian tembakau yang lebih tegas jika tidak ingin anggaran jaminan kesehatan jebol oleh penyakit-penyakit terkait merokok. Oleh karena itu, upaya promotif dan preventif amat penting dilakukan. Percuma tarif cukai dan harga rokok dinaikkan jika iklan rokok masih bebas. Sebenarnya ada tiga langkah yang bisa ditempuh pemerintah untuk mengendalikan dampak buruk tembakau bagi kesehatan. Langkah itu adalah aksesi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC), penaikan cukai dan harga rokok, serta pelarangan iklan rokok.

Adanya tarik ulur dalam pembahasan rancangan undang-undang tentang pengendalian dampak produk tembakau terhadap kesehatan menjadikan regulasi rokok tidak terkendali. Produk tembakau dalam hal ini rokok, telah merambah ke berbagai tatanan kehidupan masyarakat, dari kelas atas hingga kelas bawah, dari pejabat hingga masyarakat. Bahkan tren merokok tidak hanya terjadi pada masyarakat kaya, tetapi masyarakat miskinpun juga banyak yang membakar uang untuk memenuhi syahwatnya terhadap rokok. Banyak studi tentang rokok mengungkapkan bahwa kepala keluarga miskin yang merokok, mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli rokok dibandingkan dengan yang dikeluarkan untuk pendidikan dan kesehatan. Dampaknya adalah masyarakat miskin tetap bertahan dalam kemiskinannya, sehingga untuk mencapai derajat kesehatan yang baik dan memperoleh pendidikan yang optimal tidak dapat diraih. Sungguh ironis dan menyedihkan, di tengah upaya pemerintah untuk menggratiskan pelayanan kesehatan dan pendidikan, tetapi masyarakat tidak menganggap bahwa kesehatan dan pendidikan merupakan hal penting dalam kehidupannya. Semua ini terjadi sebagai akibat dari derasnya iklan rokok yang membanjiri setiap sisi kehidupan kita.

(2)

rokok sangat gencar dalam beriklan, jangankan hanya menyeponsori even lokal, untuk beriklan secara nasional dan di berbagai media televisipun tidak diragukan lagi kehebatannya. Sehingga wajar, dampak iklan rokok terhadap peningkatan jumlah perokok sangat pesat, khususnya di kalangan generasi muda dan pelajar yang sedang mencari identitas diri.

Padahal, berbagai penelitian tentang rokok, tidak satupun yang menghasilkan bahwa seorang perokok menjadi orang yang hebat, bahkan kebanyakan hasilnya menyatakan bahwa perokok dan orang yang terpapar asap rokok mempunyai resiko penyakit 5 kali lebih berat dibandingkan orang yang tidak merokok. Banyak institusi berupaya meninggalkan ketergantungan terhadap rokok, terutama untuk sponsor kegiatan. Namun di sisi lain, pihak swasta lainnya tidak seberani dan tidak segencar rokok dalam menarik massa, sehingga untuk menyeponsori suatu kegiatan tertentu, pihak swasta non rokok terlihat masih setengah hati.

Fenomena Lokal dan Nasional

Seorang sastrawan nasional di dalam puisinya menyatakan bahwa Indonesia adalah surga bagi para perokok. Kita dapat menyaksikan seorang perokok dapat merokok seenak dan sepuasnya di manapun ia berada dan dalam kondisi apapun. Lihatlah, orang bebas merokok di kantor, pasar, angkot, kakus, pesta dan di manapun. Bahkan di ruang ber-AC yang bertulisan dilarang merokokpun, seorang perokok tidak segan-segan merokok.

Indonesia adalah salah satu negara yang tidak menandatangani kontrak kesepakatan framework convention of tobacco control (FCTC), sehingga tidak mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk melarang atau mengendalikan peredaran rokok di negaranya. Dampaknya adalah perokok pemula dan perokok aktif semakin meningkat, bahkan telah merambah remaja yang sebagian besar adalah pelajar. Setiap hari, kita dapat menyaksikan bagaimana seorang anak dengan seragam putih biru dengan bangganya mengisap rokok di jalanan. Bahkan yang sangat menyedihkan lagi adalah seorang balita perokok yang dijadikan tontonan dan hiburan oleh orang-orang di sekitarnya. Parahnya, kita sebagai bagian dari masyarakat tidak lagi mempunyai daya tawar atau kemampuan untuk menegur mereka. Padahal salah satu fungsi kita di masyarakat adalah menjadi kontrol berdasarkan norma yang berlaku di masyarakat.

Industri Rokok Dengan Ketenagakerjaan

Industri rokok di Indonesia merupakan industri yang banyak menyerap tenaga kerja (sumber daya manusia, SDM). SDM dibutuhkan mulai dari penanaman tembakau dan cengkeh di perkebunan, pengeringan tembakau dan cengkeh, perajangan tembakau dan pelintingan rokok di pabrik-pabrik sampai pedagang asongan yang memasarkan rokok di jalanan. Industri rokok di Indonesia menyerap tenaga kerja sekitar 500.000 karyawan, yang bekerja langsung pada pabrik dan pada seluruh level struktur organisasi (Swasembada, 2000).

Fakta-fakta yang menghubungkan industri rokok dengan tenaga kerja:

1. Kontribusi pertanian tembakau dalam ketenagakerjaan hanya 1,7 persen dari total tenaga kerja pertanian. Jika dibandingkan dengan seluruh sektor (66 sektor) dalam perekonomian, kontribusinya hanya 0,64 persen. Pada tahun 1986 ada 199.134 tenaga kerja di industri rokok, tahun 2004 jumlahnya menjadi 258.678. Kenaikannya hanya 57.544 selama 18 tahun!!! Padahal pendapatan pabrik rokok meningkatnya ratusan kali.

2. Upah pekerja di pertanian tembakau hanya setengah dari upah pekerja di pertanian tebu. Keuntungan dari usaha tanam tembakau juga lebih rendah dari cabai dan kentang. Fakta ini memperlihatkan bahwa sumbangan pertanian tembakau tidak substansial terhadap perekonomian Indonesia.

(3)

kali pengeluaran untuk pendidikan (1,47%) dan 6 kali pengeluaran untuk kesehatan (1,99). Pengeluaran rumah tangga untuk rokok pada perokok termiskin (12,6%) juga lebih tinggi dibandingkan pada rumah tangga perokok terkaya (8,3%).

4. Dalam simulasi yang dilakukan LDFEUI mereka menyimpulkan bahwa meningkatkan pendapatan masyarakat sebesar Rp 492 miliar serta menciptakan 281.135 lapangan pekerjaan baru secara nasional.

Industri rokok dengan peningkatan pajak

Rencana pemberlakuan pajak rokok sebesar 25 persen yang diusulkan DPR mendapat reaksi keras dari pengusaha rokok. Pengusaha rokok menilai pemberlakukan pajak tersebut kontraproduktif mengingat itu bukan cara yang tepat untuk mengontrol pertumbuhan pasar dan peredaran rokok pemberlakuan pajak berpengaruh terhadap kinerja industri rokok. Padahal, saat ini industri berbasis tembakau itu merupakan usaha padat karya dan mulai bergairah setelah beberapa tahun terakhir terpuruk akibat rokok ilegal. Selama ini, untuk mengendalikan pertumbuhan pasar rokok, pemerintah telah menetapkan cukai yang diberlakukan terhadap setiap batang rokok. Namun, cara itu masih sulit untuk mengontrol konsumsi rokok karena mobilitasnya sangat tinggi (Kompas, 2014).

Lingkungan dan Larang Merokok

Salah seorang ahli psikologi terkenal, B.F. Skinner, menekankan pengaruh lingkungan dalam membentuk pribadi seseorang. Bahwa kepribadian merupakan pola perilaku konsisten yang menggambarkan sejarah reinforcement (penguatan, ganjaran) yang kita alami. Selama ini, kita memiliki pola sikap dan perilaku tertentu dikarenakan kita mendapat reinforcement dari masyarakat untuk sikap dan perilaku tersebut (George Boeree. 2008: 226-229).

Mengadopsi kepada teori sistem yang mengemukakan bahwa pembuatan kebijakan tidak dapat dipisahkan dari lingkungan dimana kebijakan itu dibuat. Tuntutan-tuntutan itu timbul dalam lingkungan dan ditransmisikan ke dalam sistem politik. Pada saat yang sama, lingkungan menempatkan peranan penting yang dipakai oleh para pembuat kebijakan. Termasuk keadaan geografis, jumlah penduduk, budaya sosial dan politik serta ekonomi yang ada dalam lingkungan tersebut (Budi Winarno, 1989: 33).

Jadi lingkungan ini sangat berperan dalam proses pembuatan kebijakan, karena biasanya kebijakan itu lahir dari keadaan lingkungan yang semakin membahayakan bagi masyarakat sekitarnya. Untuk itu kebijakan ini lahir, karena dipandang bahwa Jakarta sebagai kota pusat ibu kota yang memiliki kepadatan penduduk yang besar dan dalam hal ini diperlukan regulasi tentang pencemaran udara melalui peraturan daerah dan gubernur untuk menanggulangi masalah pencemaran udara dari rokok.

Pemerintah Serius, Masyarakat Akan Peduli

Negeri ini masih tertinggal dibandingkan dengan sebagian besar negara berkembang lainnya, apalagi jika dibandingkan dengan negara maju, baik dari segi kebijakan, perlindungan terhadap rakyat, kesehatan maupun pendidikan. Kita sering kali menganggap suatu hal tiada artinya, padahal jika dibiarkan akan berpengaruh negatif dalam jangka panjang. Banyak kasus yang kita biarkan, tetapi lama-lama menjadi bom waktu yang menghancurkan masyarakat sekitarnya. Masalah rokok nampaknya juga demikian. Rokok, yang aslinya merupakan budaya suku Indian yang dilakukan pada acara ritual, telah diadopsi oleh suku-suku lainnya, tanpa memperhitungkan dampak negatif yang kemungkinan terjadi pada si perokok.

(4)
(5)

Daftar Pustaka

Boeree, George. 2008. Personality Theories: Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikolog Dunia. Yogyakarta: Prismasophie.

Lele, Gabriel, dkk. 2004. Menembus Ortodoksi Kajian Kebijakan Publik. Fisipol UGM; Yogyakarta.

N, Dunn, William. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publlik. Gadjah Mada University Press; Yogyakarta.

Winarno, Budi. 1989. Teori Kebijakan Publik. Universitas Gadjah Mada; Yogyakarta.

Anonim. 2009. efek Bahya Asap Rokok. http://organisasi.org – Mon, 07/05/2007 . Diakses tanggal 04 Desember 2014.

Anonim. 2009. Kandungan Rokok. Nusaindah.tripod.com. Diakses tanggal 04 Desember 2014.

Pringgoutama, Sudarto. 2002. Patologi I (Umum). Jakarta: Sagung Seto.

Surya. 2009. Akibat Peredaran rokok. http://www.surya.co.id/2009/05/25/negara-rugi-rp-2-triliun-akibat-peredaran-rokok-ilegal.html. Diakses tanggal 03 Desember 2014.

Swasembada. 2000. Suplemen Rokok: Era Baru Industri Rokok Indonesia, Edisi No 08/XVI/19 April – 3 Mei 2000.

Harian KOMPAS. 2014. Industri Rokok. Edisi Rabu 3 Desember 2014.

UU RPP Tembakau Pasal 116 UU No. 36/2009.

Handayani, Sri. 2011. Ilmu Politik Dalam Kebijakan Kesehatan. Yogyakarta: Gosyen Publishing.

Referensi

Dokumen terkait

Penilaian faktor profil risiko merupakan penilaian terhadap risiko inheren dan kualitas penerapan manajemen risiko dalam akivitas operasional bank (Ikatan Bankir

Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2008 ini adalah Desain Proses Perbaikan Kualitas Sari Buah Rambutan Melalui Modifikasi Proses

Buku ini dimaksudnya sebagai bagian dari upaya membangun tata kelola pendidikan menengah yang lebih baik di Provinsi Lampung, yang diharapkan dapat menjadi rujukan para pemangku

schedules ) mampu meningkatkan produktifitas kerja operator secara signifikan Taylor telah memberikan landasan dalam perancangan kerja ( work design ) dan formulasi

Setelah mengetahui biaya cetak dan komponen-komponen biaya lainnya (desain kaver, tata letak, editing, promosi), maka kita sudah bisa memperkirakan harga jual

(A) pentingnya pembiasaan berperilaku tertib lalu lintas, manfaat pembiasaan berperilaku tertib lalu lintas, bentuk pembiasaan berperilaku tertib lalu lintas, sasaran

Satu hal yang sangat penting diingat dalam kredit investasi plasma terdapat ketentuan akan dikonversi kepada petani plasma dalam bentuk kredit investasi kecil bersamaan