Summary Ekonomi Politik Internasional (2) Putri Larasati (HI 4 C/11141130000043)
Investasi Asing dan Perusahaan Multinasional
Pada awal dan pertengahan dekade pasca Perang Dunia II, muncul kekuatan baru yang berasal dari aktor non-negara, yaitu perusahaan multinasional atau multi-national corporation (MNC). MNC menjadi kekuatan yang diandalkan karena MNC memiliki berbagai hal yang tidak dimiliki oleh negara (khususnya negara miskin dan berkembang) seperti kapital, teknologi, kemampuan manajerial, akses ke pasar global, dan sumber daya lainnya. Meski pada kenyataannya hubungan antara MNC dengan negara cukup dilematis, keduanya memiliki motif tersendiri untuk melakukan sinergisitas ini.1
Di era globalisasi dengan teknologi yang semakin mutakhir ini, MNC menyebarkan pengaruhnya dengan bentuk investasi langsung ke negara lain melalui Foreign Direct Investment (FDI). Dengan melakukan FDI ke sejumlah negara, itu berarti MNC terlibat secara langsung dalam proses produksi hingga proses pemasaran. FDI memang menguntungkan pihak MNC dengan mengurangi berbagai hambatan dan resiko produksi serta mengurangi biaya produksi. Di sisi lain, negara juga merasa diuntungkan karena mendapatkan devisa.2
Namun begitu, investasi langsung yang dilakukan oleh MNC terhadap sebuah negara justru dianggap lebih banyak merugikan negara. MNC dianggap memiliki agenda kapitalisme monopolistik yang akan dilakukan secara besar-besaran ke seluruh negara yang menjadi targetnya. Masuknya investasi langsung dari MNC dapat membuka kesempatan MNC untuk mencampuri urusan kedaulatan negara lain, salah satunya dengan cara menentukan harga produk di pasaran.3
Dalam menanggapi hal tersebut, terdapat beberapa sudut pandang yang membagi pola hubungan antara MNC dan negara menjadi pola hubungan ketergantungan, pola hubungan kesalingtergantungan, dan pola hubungan konfrontasi. Pada pola hubungan ketergantungan, MNC berperan sebagai hegemoni yang berada di suatu negara terbelakang. Pola hubungan ini menggambarkan ketergantungan negara miskin terhadap MNC dalam rangka memenuhi modal produksi dan pembangunan ekonomi. Pola hubungan ini menempatkan negara menjadi memiliki posisi tawar yang sangat lemah.4
1 Shah M. Tarzi, “Third World Governments and Multinational Corporations: Dynamics of Host’s Bargaining Power”,
dalam Jeffry A. Frieden & David A. Lake, International Political Economy: Perspective on Global Wealth and Power, 4th edition, New York & London: Routledge, 2000, hlm. 156-157.
2 Loc. Cit.
3 Loc. Cit.
4 Robert Gilpin, “The State and The Multinationals”, dalam Global Political Economy: Understanding the
Pola hubungan selanjutnya yaitu pola hubungan kesalingtergantungan. Dalam pola hubungan ini, MNC dan negara dianggap sejajar dan saling membutuhkan. Pembagian keuntungan dalam pola hubungan ini juga cukup adil sehingga di antara kedua pihak memiliki potensi atau kapabilitas yang sama kuatnya. Pola hubungan ini menyebabkan posisi tawar suatu negara menjadi cukup memadai. Kemudian pola hubungan lainnya yaitu pola hubungan yang konfrontatif. Mungkin pada awalnya, hubungan MNC dengan negara baik-baik saja. Namun karena alasan tertentu, terjadi ketidakserasian antara MNC dan negara. Pola hubungan ini biasanya ditandai dengan negara yang menjadi terlalu interventif dan proteksionis.5
Adanya MNC di suatu negara tidak serta-merta lepas dari unsur politis. MNC dianggap dapat berpengaruh dalam pelemahan kebijakan nasional. Seperti contoh kasusnya yaitu intervensi perusahaan Shell dalam pemerintahan Nigeria. Dengan dalih melancarkan pembangunan Nigeria, akhirnya Shell mendapatkan kontrol untuk memilih dan mengganti staf-staf pemerintah Nigeria yang sebenarnya bukanlah wewenangnya.6 Namun fenomena seperti ini
memang sering terjadi tidak hanya karena desakan MNC, namun juga keterbukaan diri dari negara untuk mau diperlakukan seperti itu. Rezim imperialisme baru tidak akan bisa masuk jika “gerbang” suatu negara tidak dibuka dari “dalam”.7
Untuk menanggulangi eksploitasi yang mungkin dilakukan oleh MNC terhadap negara, sebuah negara harus mencari solusi terbaik. Salah satu caranya yaitu dengan meningkatkan kontrol terhadap MNC diiringi oleh peningkatan kapasitas terutama dalam segi sumber daya manusia dan penguasaan teknologi. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan kemungkinan renegosiasi dan posisi tawar negara, sehingga MNC tidak bisa semena-mena dalam menjalankan praktiknya.8 Namun jika hendak melakukan cara yang radikal, suatu negara dapat dengan berani
memutuskan untuk menasionalisasi MNC seperti yang dilakukan oleh Venezuela pada rezim Hugo Chavez. Akan tetapi, nasionalisasi perusahaan asing tersebut juga memiliki konsekuensi tersendiri bagi negara. Maka diharapkan solusi peningkatan kontrol dapat lebih dipilih daripada melakukan proteksi.9
5 Loc. Cit.
6 Jonah Rexler, Beyond the Oil Curse: Shell, State Power, and Environmental Regulation in the Niger Delta, 2010,
hlm. 27.
7 David Fieldhouse, ‟A New Imperial System? The Role of the Multinational Corporations Reconsidered”, dalam
Jeffry A. Frieden & David A. Lake, International Political Economy: Perspective on Global Wealth and Power, 4th edition, New York & London: Routledge, 2000, hlm. 178.
8 Shah M. Tarzi, op. cit., hlm. 158.