PRIVILESE DAN
MARJINALITAS
:
Persoalan Dalam Penguasaan Sumber
Daya Alam Serta Konteks Kebijakannya
Grahat Nagara
, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas
Indonesia / Yayasan Auriga
Potret umum (kutukan) sumber
daya alam Indonesia
Reklamasi yang berujung pada
komersialisasi pesisir
, di 19 kawasan
pesisir, 14 ribu nelayan yang meliputi 18 ribu
nelayan terusir (Kiara).
Pencurian ikan terjadi secara masif
.
Terjadi di semua jenis dan sektor
sumber daya alam
71% wilayah Kota Samarinda untuk tambang
batubara
Ruang yang berisi prasyarat kehidupan warga yakni air, lahan dan pangan warga semakin sempit, di samarinda saja ada 63 IUP yang mengkapling 50.742,76 hektar atau 71 % dari luas kota (Johansyah, Jatam Kaltim).
Ratusan lubang bekas tambang
Tata pemerintahan berubah, persoalan
masih terjadi? Apa yang sebenarnya terjadi?
Semuanya berubah
sejak masa orde baru, namun
tidak ada yang
berubah
!
Setidaknya ada 4 (empat) genre yang sering disebut
menjadi pokok persoalan pengelolaan sumber daya
alam
•
Masyarakat sebagai manusia entitas
hedonistik dan inferioritas warga
negara dunia ketiga.
•
Homo homini lupus.
•
Feudalisme, post-kolonialisme.
•
Ketidaksesuaian teori-teori
administrasi dan pengelolaan
sumber daya alam serta bagaimana
negara harus menguasainya.
•
Negara integralistik, birokrasi
Weberian.
•
Conservationism
versus
developmentalism
, komodifikasi
SDA (
timber primacy
, dll).
“Kalau kami memiliki uang
bermilyar-milyar untuk membayar sanksi, untuk
apa kami cari makan ke hutan?” –
•
Lemahnya pemerintah sebagai institusi
sosial untuk melaksanakan fungsinya.
•
Pemerintah memiliki punya segala
alat, tetapi tidak mampu menjadi
solusi. Kapasitas, konflik kepentingan,
dan formalistik.
•
Persoalan lintas sektoral dan rumit.
•
Persoalan kebijakan yang salah kaprah.
Tidak sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan masyarakat.
•
Privatisasi ruang publik, dan campur
tangan urusan privat.
•
Distribusi pembangunan yang tidak
merata.
Sumatera Jawa Bali Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku Papua 0
Klaim kawasan hutan Perambahan kawasan hutan Masyarakat dengan perusahaan Antar pemegang izin Pemerintah dengan pemerintah Perusahaan dengan pemerintah
Salah satu yang tidak
berubah adalah
ketimpangan
•
43 ribu orang terkaya di Indonesia (1%),
menguasai 25% dari GDP (Winters,
2011).
•
25 taipan kuasai 31% sawit dengan luas
5 juta hektar lahan di Indonesia (TuK
Indonesia, 2015).
•
128 juta hektar kawasan hutan yang
tumpang tindih dengan 33 ribu desa,
dibebankan kepada konsesi
pengusahaan hutan skala besar seluas
45 juta hektar – hutan menjadi ruang
konflik (KLHK, 2014).
Proses penguasaan dan pengelolaan SDA
yang membangun
marjinalitas
dan
privilese!
Konsesi untuk mengakses
SDA
Produksi dan pengolahan
•
Mendapatkan porsi
terbesar dari rente
ekonomi terbesar.
•
Penguasaan struktur
ekonomi dan politik
(hukum) (
too big to
fail
).
•
Konsentrasi kekayaan
melalui subsidi.
Marjinalitas
•
Menanggung
eksternalitas.
•
Alienasi dari sumber
daya yang menjadi
ruang hidup.
•
Terbatasnya akses
terhadap
legal
security
atas tenurial
dan sumber daya
alam.
Eksternalitas tidak masuk biaya
eksploitasi
Moral hazzard, pasar yang tidak sehat,
konsentrasi kekayaan
Pemutusan akses terhadap sumber daya alam yang
bersifat publik (alienasi, overkriminalisasi,
dll)
Siapa yang mendapat
privilese
dan
siapa yang menjadi
marjinal
?
• Perikanan. Pengesahan rencana tata ruang
wilayah/zona perikanan tidak terbuka kepada publik.
• Kehutanan. Perencanaan hutan dilakukan tanpa
melibatkan masyarakat (PP 44/2004).
• Perikanan. Alokasi ruang untuk reklamasi
menghalangi hak masyarakat untuk mengakses pesisir.
• Kehutanan. Akses hanya untuk kebutuhan subsisten dan di luar hutan lindung (UU 18/2013). Alokasi wilayah kelola rakyat harus
berdasarkan mekanisme perhutanan sosial, tanpa pengakuan hak atas tanah.
• Lahan budidaya. Perubahan tata ruang lebih banyak berdasarkan masukan untuk usaha skala besar, bukan didasarkan kebutuhan riil masyarakat.
• Kehutanan. Administrasi perencanaan hutan dianggap dilakukan hanya untuk hutan negara, sehingga hasilnnya
hanya untuk dimanfaatkan pemegang konsesi (Put. MK 35/2012).
• Perikanan. Kegiatan reklamasi tidak hanya untuk perbaikan daerah pesisir tetapi juga peralihan kuasa atas ruang-ruang pesisir.
• Kehutanan. Akses untuk pemegang izin tanpa ada batasan luas dengan waktu hingga 100 tahun, di dalam seluruh kawasan hutan - dianggap hutan negara (PP 44/2004, PP 6/2007 jo. PP 3/2008).
Perencanaan
dan
penguasaan
• Kehutanan. Tidak ada kompensasi kepada masyarakat atas lahan, sumber penghidupan, maupun potensi bencana yang terjadi (Psl. 68 (4) hanya menyebutkan ketika hilangnya akses).
• Kehutanan. Pasar domestik lebih banyak terkonsolidasi untuk pulp. Kayu mahal dijual untuk dijadikan pulp
dengan harga yang rendah.
• Kehutanan. Penggantian atas ekonomi hutan yang hilang hanya terhadap nilai intrinsik kayu (UU 41/1999).
• Perikanan. Pengaturan formulasi PNBP perikanan rentan untuk diakali dengan memanipulasi data
sebenarnya tentang produktivitas kapal (PP 19/2006).
• Kehutanan. Vertikal integrasi dari hulu sampai ke hilir tanpa
pembatasan.
• Infrastruktur. Rencana pembangunan infrastruktur
didasarkan pada alat-alat produksi usaha skala besar (mis. MP3EI).
Produksi dan
beban
sosial-lingkungannya
• Perikanan. Pembatasan tata cara penangkapan, tidak dikelola untuk
diarahkan pada kapal skala besar terlebih dahulu.
• Kehutanan. Kriminalisasi terhadap masyarakat yang hidup di dalam hutan
kenyataannya tidak memperhatikan
pengecualian subsisten (Psl. 4 UU 18/2013).
• Perikanan. 1) Insentif untuk
membiarkan manipulasi data hasil tangkapan ikan, karena pemerintah hanya menilai PNBP berdasarkan perkiraan pra penangkapan. 2) Masuk ke dalam sektor yang dapat dimintakan keringanan pajak (tax allowance).
• Kehutanan. Manipulasi data produksi kayu, pemerintah tidak memiliki satu pun data pembanding yang kredibel untuk memverifikasi data produksi yang dihasilkan
pemegang konsesi (PP 6/2007 jo. PP 3/2008 dan PP 10/2010 jo. PP
60/2012).
• Kehutanan. Meskipun pasalnya tersedia, pelanggaran pasal
perusakan hutan oleh pemegang konsesi jarang diberlakukan (Psl. 50 ayat (2) UU 41/1999).