• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENCARI FORMAT PEMILIHAN UMUM YANG IDEAL (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MENCARI FORMAT PEMILIHAN UMUM YANG IDEAL (1)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

MENCARI FORMAT PEMILIHAN UMUM YANG IDEAL DI INDONESIA 1

Oleh : Endang Sulastri2

Pendahuluan

Ketika kita sepakat bahwa sistem politik demokrasi menjadi sistem yang terbaik dalam pengelolaan politik dan pemerintahan, maka terdapat beberapa syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis. Sebagaimana rumusan dalam Konferensi Hukum Asia Tenggara dan Pasifik tahun 1965, dikemukakan bahwa syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis adalah : perlindungan konstitusional atas hak-hak warganegara, badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak, pemilihan umum yang bebas, kebebasan untuk menyatakan pendapat, kebebasan untuk berserikat/ berorganisasi dan beroposisi, dan pendidikan kewarganegaraan. Lebih lanjut Meriam Budiardjo menyampaikan untuk melaksanakan nilai-nilai demokrasi perlu diselenggarakan beberapa lembaga sebagai berikut : pertama, adanya pemerintahan yang bertanggungjawab, kedua, adanya suatu dewan perwakilan rakyat yang mewakili golongan-golongan dan kepentingan-kepentingan masyarakat yang dipilih melalui pemilu, ketiga, adanya partai politik lebih dari satu, keempat, pers dan media massa yang bebas dan kelima, adanya lembaga peradilan untuk menjamin hak-hak azasi dan mempertahankan keadilan.3

Persyaratan demokrasi secara empirik tersebut di atas, diwujudkan melalui proses demokrasi perwakilan. Hal ini mengingat, dalam perkembangan negara modern, demokrasi bergeser ke unit berskala besar seperti bangsa atau negara, sehingga persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana partisipasi secara efektif dapat diwujudkan jika jumlah warga negara terlalu banyak dan secara geografis terlalu tersebar luas (atau keduanya, terjadi pada beberapa negara) satu-satunya solusi yang memungkinkan, demokrasi perwakilan yang diwujudkan melalui proses pemilihan umum.

1disampaikan dalam Lokakarya Sistem Pemilihan Umum Nasional dan Daerah Menurut UUD 1945, yang diselenggarakan

oleh Pusat Kajian Hukum dan Kemitraan Daerah (PKHKD) Univ, Jenderal Soedirman, Purwokerto, tanggal 7 Desember 2013)

(2)

Lembaga yang menjadi perwakilan rakyat ini diinstitusionalisasikan lewat mekanisme yang kita kenal dengan demokrasi prosedural. Pemilihan Umum (pemilu) merupakan demokrasi prosedural yang dilakukan sebagai sarana melembagakan suara rakyat untuk memilih anggota legislatif dan eksekutif. Dalam pemilu, masyarakat sebagai individu memiliki hak politik untuk terlibat dalam memilih pemimpinnya. Masyarakat memiliki kebebasan dan jaminan untuk menyuarakan pilihannya. Keterlibatan masyarakat ini merupakan salah satu bentuk partisipasi dalam proses politik.

Begitu pentingnya pemilihan umum sebagai mekanisme demokrasi prosedural, Abdul Gaffar Karim menyatakan, bahwa sangat boleh jadi, pemilihan umum pada taraf tertentu menjadi sebuah token of membership bagi sebuah negara jika ingin bergabung dalam sebuah mars peradaban bernama demokrasi.4 Lebih lanjut dikatakannya bahwa pemilu adalah salah satu ornamen paling penting dalam modernitas politik, semenjak demokrasi dan manifestasi proseduralnya menjadi

pilihan yang nyaris tunggal bagi penyelenggara negara. 5 Oleh karenanya bagi negara-negara yang menginginkan disebut sebagai

negara demokrasi, maka penyelenggaraan pemilihan umum sebagai sebuah keniscayaan. Kerap kali penyelenggaraan pemilihan umum dilaksanakan sekedar cara untuk menunjukkan atau mengklaim sebagai negara demokratis. Pemilihan umum adalah tanda keanggotaan yang penting untuk dimiliki oleh banyak negara ketika mereka ingin diakui sebagai bagian dari masyarakat demokrasi dunia. Meskipun, dalam kondisi tertentu, seringkali sebuah prosedur demokrasi itu membutuhkan biaya yang sangat mahal, tetapi tidak dianggap sebagai sebuah masalah berarti mengingat kebutuhan akan identifikasi diri sebagai negara demokratis.

Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia

Demikianpun Indonesia, sebagai negara yang telah menjatuhkan pilihan pada demokrasi sebagai sistem politik, maka sepertinya pemilihan umum menjadi suatu keharusan sejarah. Sejarah mencatat, Indonesia pertama kali berpengalaman dalam penyelenggaraan pemilu pada tahun 1955 yang dianggap sebagai pemilu yang demokratis untuk memilih anggota DPR dan Dewan Konstituante. Pemilu ini

(3)

dilaksanakan pada masa demokrasi parlementer di bawah kekuasaan pemerintahan Burhanudin Harahap.

Pemilu berikutnya adalah pemilu pada masa rezim baru, yang sering dianggap sebagai pemilu “rekayasa” dan hanya untuk kepentingan mencari legitimasi saja. Pemilihan umum Orde Baru ini dilaksanakan untuk memilih anggota DPR, DPRD tingkat I dan DPRD tingkat II. Sedangkan untuk pemilihan Presiden dilakukan oleh MPR yang keanggotaannya terdiri atas anggota DPR, utusan golongan maupun daerah. Sayang sekali dalam pemilihan presiden ini selalu dikondisikan untuk calon tunggal, sehingga dianggap tidak demokratis dan penuh rekayasa. Apalagi ketika didapatkan fakta bahwa dalam 6 kali pemilihan umum Orde Baru terdapat dominasi pada satu kekuatan politik melalui berbagai upaya mobilisasi dan tidak adanya sirkulasi kepemimpinan di tingkat pusat, sehingga pemerintahan Suharto dinilai otoriter.

Pasca Suharto turun setelah gerakan reformasi pada tahun 1998, pemilu berikutnya berhasil dilakukan pada tahun 1999. Penyelenggaraan pemilu pada tahun ini dilaksanakan untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Periode ini dikenal sebagai masa reformasi yang ingin mengembalikan Indonesia pada sistem politik demokrasi dari sistem otoriter Orde Baru. Pada tahun ini pemilihan Presiden tetap dilaksanakan oleh MPR, namun nuansa demokrasi lebih kental terlihat ketika terdapat beberapa alternatif calon Presiden, yang akhirnya memilih Gus Dur sebagai Presiden dan Megawati sebagai wakilnya.

Tuntutan demokrasi pada masa reformasi kemudian melahirkan semangat untuk melakukan amandemen UUD 1945 terhadap pasal-pasal yang dianggap tidak mendukung demokrasi dan menambahkan beberapa ketentuan yang belum diatur. Salah satu ketentuan dalam amandemen UUD 1945 adalah Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui sebuah pemilihan umum. Selain itu, amandemen juga mengatur bahwa selain DPR sebagai lembaga perwakilan di tingkat pusat juga terdapat lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang mewakili masing provinsi sebanyak 4 orang.

(4)

pada masa yang berbeda tetapi dalam tahun yang sama diselenggarakan pula pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam amandemen UUD 1945 ini berhasil dilaksanakan dengan cukup demokratis pada tahun 2004. Keberhasilan pemilu Presiden secara langsung ini, mendorong adanya keinginan untuk melakukan pemilihan langsung pula untuk pemimpin-pemimpin daerah, yang selama ini dilakukan melalui DPRD. Keinginan tersebut terwujud dengan disyahkannya Undang-undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan ketentuan pemilihan kepala daerah melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Maka, sejak Juni 2005 semua Gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati dan walikota serta wakilnya harus dipilih secara langsung oleh rakyat yang akan dipimpinnya. Dan mulai saat itulah masyarakat sepertinya senantiasa disibukkan dengan penyelenggaraan pemilu.

Bagaimana sibuknya penyelenggaraan pemilu tersebut dapat digambarkan dengan mencoba melihat seberapa banyak pemilu kepala daerah yang harus diselenggarakan. Dengan jumlah kabupaten/kota sebanyak 523 (semula 497) dan Provinsi sebanyak 33, maka setidaknya terdapat 556 pemilukada yang harus diselenggarakan. Karena ada ketentuan bahwa pada tahun pemilu nasional tidak boleh diselenggarakan pemilukada, maka pemilukada dilaksanakan dalam kurun waktu 4 tahun yang ada, sehingga dapat dihitung rata-rata setiap tahun terdapat kurang lebih 139-an pemilukada. Dan apabila satu tahun terdiri atas 365 hari maka rata-rata setiap 2,5 hari ada pemilihan umum. Meskipun disadari bahwa masing-masing tahun tidak mesti sama jumlah penyelenggaran pemilunya karena tergantung pada akhir masa jabatan masing-masing kepala daerah. Untuk memberikan gambaran yang lebih nyata, dapat diperhatikan data berikut ini: Pada tahun 2010 terdapat 244 pemilukada yang terdiri atas 7 pemilu gubernur dan 237 pemilu bupati/walikota, tahun 2011 terdapat 84 pemilukada yang terdiri atas 5 pemilu gubernur dan 79 pemilu Bupati/ walikota; tahun 2012 terdapat 61 pemilukada dengan pemilu gubernur sebanyak 6 dan tahun 2013 sebanyak 112 dengan pemilu gubernur sebanyak 14 (data KPU, 2012).

(5)

pengajuan anggaran yang belum juga disetujui oleh pemerintah daerah, konflik internal partai politik dalam pengusungan calon, keterlibatan PNS dalam pemenangan calon, maraknya politik uang sampai kepada persoalan konflik dalam penghitungan suara.

Kelemahan dan Kelebihan Pemilukada Secara Langsung

Dari penyelenggaraan pemilu kada secara langsung yang telah dilaksanakan sejak tahun 2005 tersebut, terdapat beberapa kelemahan yang dapat dicatat. Karena diselenggarakan secara serempak dan masif di seluruh daerah, biaya pemilukada tidaklah sedikit. Di samping biaya secara financial yang harus dikeluarkan oleh pemerintah, partai politik dan calon, biaya politik pun, tidak murah. Mobilisasi suara oleh berbagai tim sukses, bisa berimplikasi pada perpecahan, dan bukan mustahil mengarah pada konflik horizontal. Sejumlah daerah telah membuktikan asumsi di atas. Meski pun hanya terjadi di sebagian kecil wilayah Indonesia, namun dapat melahirkan citra negatif terhadap fenomena pilkada.

Di sisi lain, terlalu seringnya penyelenggaraan pemilu juga dapat menyebabkan kejenuhan pada masyarakat. Hal ini terbukti dalam penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah terjadi kemerosotan jumlah partisipasi masyarakat. Apabila pada pemilu legislatif 2009 tingkat partisipasi mencapai 71 % dan pemilu presiden 72 %, maka pada pemilu kepala daerah rata-rata hanya mencapai angka 64 %. Bahkan pemilukada kota Medan pada tahun 2011 tingkat partisipasi masyarakat hanya mencapai angka 38 %.

(6)

kemampuannya dalam mengatasi masalah yang dihadapi daerahnya. Janji-janji kampanye tetap tinggal janji, dan rakyat pemilih belum merasakan banyak manfaat dari kepemimpinan hasil pemilukada seperti ini.

Persoalan penting lainnya adalah pemilukada telah melahirkan kompleksitas tersendiri dalam penyelenggaraan pemerintahan. Bila di masa lalu, karena DPRD lah yang memilih kepala daerah, bentuk pertanggungan jawab kepala daerah dapat secara konkrit ditujukan kepada wakil rakyat tersebut. DPRD dapat dengan langsung menggugat kepala daerah yang tidak menunjukkan kinerjanya dengan baik, bahkan sampai melengserkannya (impeachment). Sekarang, karena dipilih langsung oleh rakyat, kepala daerah dapat bersembunyi di balik suara rakyat, ketika berhadapan dengan DPRD, bahkan juga terhadap pejabat negara siapa pun, termasuk Presiden RI. Gangguan terhadap kinerja pemerintahan daerah pun terganggu manakala sang pemenang pemilukada berasal dari calon non partai (independen). Karena penyelenggaraan pemerintahan daerah harus dilaksanakan bersama oleh Legislatif dan Eksekutif, maka menjadi sebuah keharusan bila kepala daerah dan wakilnya didukung oleh kekuatan riil di lembaga perwakilan rakyat (DPRD).

Bentuk kelemahan lainnya dalam penyelenggaraan pemilukada langsung ini adalah ketika terjadi rivalitas antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagai akibat koalisi antar dua partai atau lebih untuk pemenuhan dukungan pasangan calon. Potensi rivalitas yang sudah dibawa semenjak proses pencalonan ini, berangsur jadi kenyataan ketika pasangan tersebut memperoleh kemenangan dalam pemilukada. Apa yang bisa diharapkan dari kinerja pimpinan daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan dan demokrasi di daerah, jika kedua tokoh itu saling berlomba untuk mendemonstrasikan kekuasaan untuk kepentingan pemilukada berikutnya. Data dari Kemendagri menunjukkan bahwa dari hasil pemilu tahun 2010 diketahui ada sekitar 94% pasangan Kepala Daerah dan wakilnya pecah kongsi pada Pemilu berikutnya.

Di luar kelemahan yang diurai sebagaimana tersebut di atas, pemilukada secara langsung juga mengandung sejumlah kelebihan yang tidak dapat diabaikan. Kelebihan dari pemilukada adalah sebagai berikut: Pertama, sesuai dengan konstitusi kita yang menyatakan bahwa “kedaulatan ada di tangan rakyat”,6 model

(7)

pemilukada langsung ini sungguh-sungguh memberi penghargaan kepada suara rakyat. Siapa pun dia, sejauh telah memenuhi ketentuan administratif, memiliki hak yang sama dalam menentukan siapa yang layak menjadi pemimpin mereka di daerah. Dengan menggunakan prinsip OPOVOV (One Person One Vote One Value), pemilukada mengundang partisipasi publik lewat kontes politik secara terbuka dan massif ini.

Kedua, pemilukada memberi kemungkinan pada lahirnya pemimpin daerah dari berbagai lapisan dan golongan dalam masyarakat. Sesuai dengan prinsip demokrasi yang menghargai kemajemukan dan kesetaraan, siapa pun dapat mencalonkan diri untuk ikut serta dalam pemilukada. Terutama setelah jalur perseorangan dibuka lewat UU No 12/2008 yang merupakan hasil amandemen UU No 32.2004 tentang Pemerintahan Daerah, prinsip tersebut telah secara legal diakomodasi.

Ketiga, lewat pemilukada, rakyat akan secara langsung pula memperoleh pendidikan politik. Kampanye - baik secara terbuka maupun tertutup – dari para kandidat, akan dapat dijadikan bahan pertimbangan pemilih dalam menyerahkan suaranya. Secara implicit pula, di sana mulai ditanamkan prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi dari pemimpin terhadap yang dipimpinnya. Kalau pun manfaat ini masih belum dirasakan, yang pasti proses kampanye itu sendiri seringkali disertai dengan aneka kegiatan yang bernada “vote buying”.

Mencari Format Penyelenggaraan Pemilukada ke Depan

(8)

Bahwa praktik pemilukada mendatangkan sisi positif dan negatif, ini merupakan sebuah keniscayaan. Tidak ada satupun sistem yang bebas dari persoalan. Demokrasi, pada prinsipnya mengandung unsur penghargaan terhadap perbedaan dan kompetisi. Dan permasalahan bisa bersumber dari dua hal tersebut. Di satu sisi demokrasi mentolerir atas perbedaan yang ada dan juga memberikan ruang yang luas terjadinya kompetisi, namun pada sisi yang lain kadang menimbulkan kerunyaman tersendiri, bahkan pada tataran terbatas bisa menimbulkan kegaduhan politik. Oleh karena itu, sebagaimana politik pada umumnya, proses yang demokratik pun tidak mustahil dapat menciptakan konflik, di samping konsensus. Apalagi untuk masyarakat yang belum terlalu lama dibiasakan untuk berbeda pendapat seperti kita saat ini, tidak terlalu mengherankan bila praktik demokrasi ini membawa pada polarisasi antar kekuatan yang ada dalam masyarakat.

Akan tetapi, karena kita telah sepakat untuk memilih demokrasi sebagai sistem politik yang diharapkan dapat meneruskan proses state formation – memelihara persatuan dan kesatuan – maka bukan kembali ke sistem otoriter atau feodalistik yang harus dijadikan solusinya, melainkan memperbaiki kualitas demokrasi yang mesti dipilih. Untuk itu, penyelenggarakan pemilu di Indonesia sebagai pengejawantahan demokrasi prosedural ke depan perlu dirumuskan kembali.

(9)

juga bisa menjadi salah satu solusi. Bahkan, pemilu serentak juga memberikan ruang untuk optimalisasi petugas keamanan secara nasional dan akan menghemat energi dan perhatian dalam menyikapi kegaduhan politik sebagai akibat atas penyelenggaraan pemilu. Bagi masyarakat, pemilu serentak juga mengurangi kejenuhan dalam mengikuti pesta demokrasi.

Terkait pemilihan umum serentak ini, terdapat beberapa pendapat yang lebih menyetujui apabila keserentakan pemilu didasarkan atas pemilu nasional dan daerah, dimana pemilu nasional dilaksanakan untuk memilih Presiden, DPR dan DPD secara serentak, baru kemudian ada pemilu daerah untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota. Alasan yang dikemukakan dalam penyelenggaraan pemilu seperti ini adalah diharapkan ada konsistensi pilihan partai dengan pilihan eksekutifnya sehingga efektifitas pemerintahan lebih bisa dijaga dengan asumsi mayoritas anggota dewan berasal dari partai yang sama dengan eksekutif yang terpilih. Namun perlu disadari, dengan sistem pemilihan umum legislatif yang bersifat proporsional terbuka, tetap memberi ruang bagi masyarakat untuk memilih wakil rakyat yang berasal dari partai politik berbeda dengan partai politik pengusung kepala pemerintahannya. Masing-masing format pemilukada –baik serentak untuk pemilu legislatif dan eksekutif maupun serentak untuk pemilu nasional dan daerah- memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing, tetapi pelaksanaan pemilu serentak merupakan salah satu alternatif yang perlu dipikirkan untuk pelaksanaan pemilu ke depan.

Kedua, dalam upaya untuk perbaikan kualitas pemilu secara substansi, maka Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah atau Pemilu Kepala Daerah harus mencantumkan syarat yang bisa diukur terkait kualitas calon yang diajukan oleh partai politik. Disamping itu perlu diatur pula tentang kampanye politik yang lebih mengutamakan kampanye dialogis, interaktif dalam rangka mendukung proses pendidikan politik daripada cara kampanye yang lebih mengutamakan mobilisasi suara dan popularitas seperti saat ini. Ketentuan mengenai dana dan cara kampanye, pada khususnya, mesti dirumuskan secara eksplisit dengan tujuan untuk menghindari pemborosan dan pesta demokrasi yang tidak berurusan dengan peningkatan kualitas demokrasi.

(10)

dipikirkan bahwa calon yang diusung partai politik hanya untuk Kepala Daerah saja, sedangkan Wakil Kepala Daerah berasal dari jabatan karier yang memenuhi syarat eselonisasi. Selain itu, perlu adanya aturan yang lebih jelas dan tegas terkait dengan pembagian tugas dan kewenangan antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah.

Keempat, Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, pemilukada mesti ditujukan untuk lebih memberdayakan daerah dalam menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Dengan demikian, pelaksanaannya, mesti lebih efisien dan efektif. Sementara dalam kaitannya dengan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pemilukada tidak boleh melahirkan defisit demokrasi, di mana DPRD tidak dapat dengan efektif mengawasi penyelenggaraan pemerintahan dan kinerja kepala daerahnya, dengan alasan kepala daerah pun dipilih secara langsung oleh rakyat. Bahkan karena dipilih oleh sebagian besar konstituen di daerahnya, mereka merasa lebih memiliki legitimasi ketimbang anggota DPRD yang dipilih dan mewakili daerah tertentu.

Kelima, dalam upaya kelancaran pelaksanaan pemilukada serentak dan untuk menghindari politisasi anggaran oleh pasangan calon petahana, maka sudah semestinya seluruh anggaran pemilu disiapkan pemerintah pusat yang bersumber dari APBN. Hal ini dilakukan untuk menghindari bargaining politik dalam proses pencairan anggaran oleh penyelenggara pemilu dengan pemerintah daerah.

Keenam, seandainya pemerintah provinsi lebih mencerminkan fungsi dekonsentrasi ketimbang desentralisasi, maka terlalu mahal bila gubernur dan wakilnya dipilih melewati pemilukada seperti sekarang. Jika DPRD Provinsi masih diperlukan, maka merekalah yang mesti memilih dan mengawasi pihak eksekutif. Dengan demikian, sebagian anggaran pemerintah yang mestinya dibelanjakan untuk pemilihan gubernur, dapat dimanfaatkan untuk keperluan lainnya yang secara langsung dirasakan masyarakat. Hal ini dimungkinkan mengingat UUD tidak secara eksplisit memerintahkan pemilukada dilaksanakan secara langsung. Dalam pasal 18 UUD 1945 hanya menjelaskan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih secara demokratis

Penutup

(11)

sebelum bangsa ini merdeka. Demikian, beberapa pandangan yang dapat disampaikan dalam lokakarya ini, semoga memberi manfaat dan dapat menjadi bahan diskusi.

DAFTAR BACAAN

Aspinall, Edward dan Greg Fealy., eds. Local power and politics in Indonesia. Singapore: ISEAS, 2003

Budiarjo, Meriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000 Crook, Richard C., and Manor, James, Democracy and Decentralization in South Asia and West Asia. Cambridge: Cambridge UP., 1998.

Haris, Samsuddin, ed., Pemilu Langsung di tengah oligarki partai. Jakarta: Gramedia, 2005

Hill, Dilys M., Democratic Theory and Regional Government, London: George Allen and Unwin Ltd., 1974.

Lipset, Seymour Martin dan Jason M. Lakin, The Democratic Century. Norman: University of Oklahoma Press, 2004.

Niessen, Nicole, Municipal Government in Indonesia, The Netherlands: Research School CNWS, 1999

Pamungkas, Sigit, Perihal Pemilu, Yogyakarta: JIP FISIPOL UGM, 2009

Powell, Bingham G., Jr., “Election as of Democracy: majoritarian and Proportional Visions. New Haven: Yale University Press, 2000

Smith, BC., Decentralization in the Territorial Dimension of the State, London: George Allen and Unwin, 1985.

Surbakti, Ramlan, “Pemilu Kepala Daerah dan Calon perseorangan: Urgensinya dalam Demokrasi”, Jurnal Ilmu Pemerintahan, Edisi 26 Tahun 2008 hlm. 15-23

Tomagola, Tamrin Amal, “Polarisasi Politik Lokal dan Konflik Pilkada”, Jurnal Ilmu Pemerintahan, ibid., hlm. 38-48.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil Uji Statistik–Pengaruh Realisasi DAU dan PAD Tahun 2009 terhadap Anggaran Belanja Daerah Tahun 2010 (dengan lag ).. Hasil Uji Statistik Deskriptif–Pengaruh Realisasi DAU dan

The high soil N levels in the second season can increase the absorption and efficiency of fertilizer N in the third season (organic waste biochar).. Up to the third season, the

Penelitian ini melakukan evaluasi kuat sinyal yang diterima (RSSI) antar node pada jaringan sensor nirkabel dengan memanfaatkan perangkat IQRF pada topologi

Definisi operasional digunakan untuk menyamakan persepsi mengenai beberapa istilah yang digunakan dalam judul penelitian ini. Pengaruh masalah yang signifikasi penggunaan

Faktor yang mempengaruhi mortalitas pasien ARDS yang di RSCM adalah tidak menggunakan ventilator mekanik dalam 48 jam sejak diagnosis ARDS, ARDS karena sepsis, dan skor APACHE

Hasil yang didapat dari kegiatan ini adalah terbentuknya taman TOGA di Dusun Parakan Wetan, Parakan Kulon dan Plembon Desa Sendangsari serta keberhasilan peserta

7,8 Hasil positif didapatkan dari 45 sediaan (100%) dengan pewarnaan CSB, baik yang dibaca oleh peneliti maupun analis medis.Hal itumenunjukkan bahwa pada

Antara kaedah yang terdapat dalam pengajaran sains adalah penyediaan meja atau sudut sains di dalam kelas, sediakan kotak sains mudah alih, merancang pembelajaran dalam