Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)
Oleh :
Anjarwati Kusuma Ningrum NIM : 1111070000029
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
v
C) Anjarwati Kusuma Ningrum
D) Parenting Self Efficacy pada Ibu Bekerja dengan Anak Usia Pra-Sekolah E) xii + 116 Halaman
F) Penelitian ini menguji pengaruh fatigue, dukung sosial (dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan informasional, dan dukungan kebersamaan), dan work family conflict (time based conflict, strain based conflict, and behavior based conflict) terhadap parenting self efficacy pada ibu bekerja dengan anak usia pra-sekolah. Subjek penelitian ini berjumlah 164 ibu bekerja yang memiliki anak berusia 2-5 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh secara bersama-sama dari fatigue, dukungan sosial (dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan informasional, dukungan kebersamaan), dan work family conflict (time based conflict, strain based conflict, behavior based conflict)
terhadap parenting self efficacy pada ibu bekerja dengan anak usia pra-sekolah sebesar 31,6% dan hanya fatigue dan dukungan informasional yang memiliki pengaruh yang signifikan terhadap parenting self efficacy. Sementara itu, dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan kebersamaan, time based conflict, strain based conflict, dan behavior based conflict tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap parenting self efficacy akan dibahas pada bagian diskusi dan saran penelitian.
Kata kunci: fatigue, dukungan sosial, work family conflict, parenting self efficacy,
ibu bekerja.
vi
A) Faculty of Psychology B) November 2015
C) Anjarwati Kusuma Ningrum
D) Parenting Self Efficacy Among Working Mothers with Pre-school Aged Children
E) xii + 116 pages
F) The aim of this study is to examine the effect of fatigue, social support (emotional support, instrumental support, informatonal support, companionship support), and work family conflict (time based conflict, strain based conflict, behavior based conflict) toward parenting self efficacy among working mothers with pre-school aged children. The sample in this study were 164 working mothers. The result showed that fatigue, social support (emotional support, instrumental support, informational support, companionship support), and work family conflict (time based conflict, strain based conflict, behavior based conflict) have an effect (31,6%) toward parenting self efficacy among working mothers with pre-school aged children and indicated that only fatigue and informational support have a significant effect on parenting self efficaccy. Meanwhile, emotional support, instrumental support, companionship support, time based conflict, strain based conflict, and behavior based conflict have no significant effect on parenting self efficacy and it will be discussed in the discussion and suggestion on this paper.
Keywords: fatigue, social support, work family conflict, parenting self efficacy, working mothers
vii
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang
berjudul “Parenting Self Efficacy pada Ibu Bekerja dengan Anak Usia
Pra-Sekolah”. Penulis mengucapkan terimakasih atas bantuan dari berbagai pihak
dalam kelancaran penulisan skirpsi ini. Untuk itu, perkenankanlah penulis
mengucapkan rasa terimakasih yang tak terhingga kepada:
1. Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag, M.Si., Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk menuntut ilmu di fakultas ini.
2. Ibu Zulfa Indira Wahyuni, M.Psi, Psi., selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu dan pikiran, memberikan bimbingan, arahan, nasihat,
motivasi serta masukan yang sangat berarti, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
3. Ibu Dr. Yunita Faela Nisa, M.Psi., selaku penasihat akademik yang telah
memberikan semangat dan membimbing penulis selama masa perkuliahan.
4. Seluruh dosen, staf akademik, dan petugas perpustakaan Fakultas Psikologi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan begitu banyak ilmu
pengetahuan, pelajaran dan dengan tulus membantu penulis dan teman-teman
viii
6. Untuk semua responden yang telah turut berpartisipasi dalam mengisi
kuesioner dalam penelitian ini, semoga Allah SWT membalas segala
kebaikan kepada para responden.
7. Teman-teman seperjuangan skripsi, Fadilah, Mia, dan Tama yang telah
memberikan semangat dan selalu memberikan masukan dan saran serta
menjadi teman berkeluh kesah selama masa bimbingan.
8. Sahabat-sahabat tercinta Dara, Adani, Rizka, Uyay, Uyuy, Dwi, Ega, Ana,
terkhusus untuk Faisal dan tentunya untuk keluarga besar kelas A 2011 yang
selalu memberikan saran dan nasihat serita memberikan berbagai kenangan
dan cerita yang tidak terlupakan selama masa perkuliahan.
9. Pihak terkait lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu yang juga
membantu penulis dalam penyusunan tugas akhir ini.
Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan karunia dan membalas
segala kebaikan-kebaikan untuk pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam
penyusunan tugas akhir ini. Semoga laporan penelitian ini dapat memberikan
sumbangan serta memberikan manfaat bagi semua pihak. Aamiin.
Jakarta, Januari 2016
ix
1.2 Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 12
1.2.1 Pembatasan Masalah ... 12
1.2.2 Perumusan Masalah ... 13
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 14
1.5.1 Tujuan Penelitian ... 14
1.5.2 Manfaat Penelitian ... 15
BAB 2 LANDASAN TEORI ... 16-38 2.1 Parenting Self Efficacy ... 16
2.1.1 Definisi parenting self efficacy ... 16
2.1.2 Indikator dan Pengukuran parenting self efficacy ... 20
2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi parenting self efficacy ... 21
2.2 Fatigue ... 22
2.2.1 Definisi fatigue ... 22
2.2.2 Jenis-jenis fatigue ... 24
2.2.3 Pengukuran fatigue ... 25
2.3 Dukungan Sosial ... 25
2.3.1 Definisi dukungan sosial ... 25
2.3.2 Dimensi dukungan sosial ... 27
2.3.3 Pengukuran dukungan sosial ... 28
2.4 Work Family Conflict ... 29
2.4.1 Definisi work family conflict ... 29
2.4.2 Dimensi work family conflict ... 30
2.4.3 Pengukuran work family conflict ... 32
2.5 Kerangka Berfikir ... 32
2.6 Hipotesis Penelitian ... 36
2.6.1 Hipotesis mayor ... 36
2.6.2 Hipotesis minor ... 37
x
3.6.1 Uji validitas parenting self efficacy ... 46
3.6.2 Uji validitas fatigue ... 47
3.6.3 Uji validitas emotional support ... 49
3.6.4 Uji validitas instrumental support ... 50
3.6.5 Uji validitas informational support ... 51
3.6.6 Uji validitas companionship support ... 52
3.6.7 Uji validitas time based conflict ... 54
3.6.8 Uji validitas strain based conflict ... 55
3.6.9 Uji validitas behavior based conflict ... 56
3.7 Teknik Analisis Data ... 57
3.8 Prosedur Penelitian ... 60
BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 62-75 4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 62
4.2 Hasil Analisis Deskriptif ... 64
4.2.1 Kategorisasi variabel ... 66
4.3 Hasil Uji Hipotesis ... 68
4.3.1 Uji hipotesis mayor ... 68
4.3.2 Uji hipotesis minor ... 70
4.4 Analisis Proporsi Varians pada Tiap Independent Variable ... 72
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ... 76-83 5.1 Kesimpulan ... 76
5.2 Diskusi ... 76
5.3 Saran ... 80
5.3.1 Saran teoritis ... 81
5.3.2 Saran praktis ... 82
xi
Tabel 3.3 Blue Print Alat Ukur Fatigue ... 43
Tabel 3.4 Blue Print Alat Ukur Dukungan Sosial ... 44
Tabel 3.5 Blue Print Alat Ukur Work Family Conflict ... 44
Tabel 3.6 Muatan Faktor Item Variabel Parenting Self Efficacy ... 47
Tabel 3.7 Muatan Faktor Item Variabel Fatigue ... 48
Tabel 3.8 Muatan Faktor Item Variabel Emotional Support ... 50
Tabel 3.9 Muatan Faktor Item Variabel Instrumental Support ... 51
Tabel 3.10 Muatan Faktor Item Variabel Informational Support ... 52
Tabel 3.11 Muatan Faktor Item Variabel Companionship Support ... 53
Tabel 3.12 Muatan Faktor Item Variabel Time Based Conflict ... 55
Tabel 3.13 Muatan Faktor Item Variabel Strain Based Conflict ... 56
Tabel 3.14 Muatan Faktor Item Variabel Behavior Based Conflict ... 57
Tabel 4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 62
Tabel 4.2 Deskripsi Statistik Variabel Penelitian ... 65
Tabel 4.3 Rumus Kategorisasi ... 66
Tabel 4.4 Kategorisasi Variabel ... 67
Tabel 4.5 R-Square ... 69
Tabel 4.6 Uji F ... 69
Tabel 4.7 Koefisien Regresi ... 70
1 BAB 1 PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Pada era modern yang seiring dengan perkembangan zaman, sudah
banyak hal mengalami kemajuan ataupun perubahan baik itu di bidang teknologi,
pendidikan, sosial, ataupun budaya. Salah satu perubahan yang jelas terlihat dan
semakin bertumbuh pesat adalah jumlah wanita bekerja.
Dalam satu dekade ini, partisipasi wanita di dunia kerja bertumbuh pesat
(Barker dalam Opie & Henn, 2013). Tren ini juga berlaku di Indonesia, sudah
banyak wanita yang berbondong-bondong bekerja di berbagai perusahaan ataupun
mengikuti berbagai organisasi (Kompas, 2011). Dari total populasi 112 juta
jumlah pekerja di Indonesia (data Badan Pusat Statistik tahun 2012), saat ini ada
43 juta pekerja perempuan yang membantu pertumbuhan ekonomi Indonesia
(Kompas, 2013).
Tren ibu bekerja di Indonesia ini diakibatkan karena para ibu ingin
membantu perekonomian keluarganya. Namun, berdasarkan data dari Badan Pusat
Statistik dari tahun 2000-2014 menyebutkan bahwa meningkatnya jumlah ibu
bekerja seiring dengan semakin meningkatnya tingkat pendidikan yang di tempuh
oleh kaum wanita.
Dengan bekerja, seorang wanita bisa memenuhi kebutuhannya untuk
ketika anak mulai sekolah, serta bisa menambah biaya untuk kebutuhan pribadi
mereka tanpa harus bergantung pada suami (Papalia, Olds, & Feldman, 2009).
Seorang ibu yang bekerja melakukan tiga peran sekaligus yaitu sebagai
seorang istri, seorang ibu di rumah, dan juga seorang pekerja di luar rumah.
Disinilah peran sebagai seorang ibu yang juga memiliki pekerjaan di luar rumah
menjadi hal yang perlu diperhatikan karena tanggung jawab yang begitu besar
atas tiga peran yang dilakukan sekaligus karena rentan mengalami stres dan juga
konflik (Opie & Henn, 2013).
Oleh karena itu, ibu bekerja juga disebutkan sangat rentan mengalami
konflik peran. Misalnya saja, dalam tulisan yang dimuat di salah satu surat kabar
yang mewawancarai seorang ibu yang bekerja, A (26 tahun) memiliki anak usia 5
tahun yang baru masuk pra-sekolah, menyatakan kesulitannya untuk membagi
waktunya antara pekerjaan dengan keluarga dan seringkali ia merasa bersalah
karena merasa kurang berperan sebagai seorang ibu karena pekerjaannya
(Kompas, 2011).
Konflik peran ini tentunya akan berdampak pada perkembangan anak
khususnya bagi ibu yang baru memiliki anak usia di bawah lima tahun. Salah satu
penelitian yang dilakukan oleh National Institute of Child Health and Human
Development (NICHD) dan National Longitudinal Survey of Youth (NLSY)
menunjukkan bahwa terdapat efek negatif pada perkembangan kognitif anak dan
perilaku yang ibunya kembali bekerja secara penuh pada tahun-tahun awal setelah
Dalam tahapan perkembangan anak, peran orang tua sangat dibutuhkan,
terutama pada usia pra-sekolah dengan rentang usia 2-5 tahun (Berk, 2004). Hal
ini diperkuat oleh ahli psikologi anak dari Amerika Serikat, Elizabeth B. Hurlock
(1980) yang menyatakan bahwa masa kanak-kanak merupakan masa yang
terpanjang dalam rentang kehidupan-saat dimana individu relatif tidak berdaya
dan bergantung pada orang lain. Sebagian besar orang tua menganggap masa pada
kanak-kanak awal sebagai usia yang mengundang masalah atau usia sulit, karena
pada masa ini anak-anak sedang mengembangkan kepribadian yang unik dan
menuntut kebebasan yang pada umumnya kurang berhasil.
Hurlock (1980) juga menyatakan tentang sebutan masa kanak-kanak di
kalangan para pendidik sebagai usia pra-sekolah atau pre-school masa dimana
anak-anak mempelajari dasar-dasar perilaku sosial sebagai persiapan bagi
kehidupan sosial yang lebih tinggi yang diperlukan untuk penyesuaian diri pada
waktu mereka masuk kelas satu.
Menurut Hurlock (1980) banyak ahli psikologi yang melabelkan awal
masa kanak-kanak sebagi usia menjelajah, sebuah label yang menunjukkan anak
ini mengetahui keadaan lingkungannya. Salah satu cara yang umum dalam
menjelajah lingkungan adalah dengan bertanya, jadi periode ini adalah meniru
pembicaraan dan perilaku orang lain. Berbagai hasil penelitian menyebutkan
bahwa masa usia dini merupakan periode emas bagi perkembangan anak dimana
50% perkembangan kecerdasan terjadi pada usia 0 – 4 tahun, 30% berikutnya
hingga usia delapan tahun. Periode emas ini sekaligus merupakan periode kritis
berpengaruh terhadap perkembangan pada periode berikutnya hingga masa
dewasanya.
Dalam keluargalah anak pertama kali mendapatkan pengalaman
belajarnya, dimana diketahui bahwa keluarga merupakan tempat belajar di luar
sekolah. Di dalam kehidupan keluarga ini terjadi interaksi, di dalamnya berupa
transmisi pengetahuan, keterampilan, sikap, nilai, dan kebiasaan (Sudjana, 2001).
Untuk itu, orang tua diharapkan untuk memberikan pengasuhan yang terbaik
kepada anak-anak karena pada masa ini adalah masa mendidik yang paling
penting dan efektif di sepanjang kehidupan manusia.
Namun perlu diketahui, bahwa tidak semua ibu yang bekerja memiliki
dampak negatif bagi anak. Tidak sedikit kisah ibu bekerja yang sukses pada
pekerjaannya dan juga berhasil mendidik anak-anaknya hingga menjadi
orang-orang sukses. Disebutkan bahwa ibu bekerja yang memperhatikan kualitas waktu
bersama anak merupakan orang tua yang lebih baik dibandingkan ibu yang selalu
berada di rumah (Aiken, 2002).
Beberapa diantaranya menyebutkan bahwa ternyata mayoritas ibu yang
bekerja memiliki parenting style (pola asuh) yang lebih efektif karena bisa
memberikan kontribusinya secara intelektual dan juga finansial untuk anak
mereka serta merasa puas dengan waktu yang mereka habiskan saat bersama
dengan anak (Sultana et al., 2013).
Kapasitas ibu yang mampu beradaptasi dengan keterampilan-keterampilan
sebagai orang tua seperti responsif terhadap kebutuhan anak, menyediakan
erat dengan adanya parenting self efficacy yang tinggi (Coleman & Karraker,
2000).
Jonhston dan Marsh (1989) memberikan definisi parenting self efficacy
yaitu sejauh mana orang tua merasa kompeten dan yakin dalam menangani urusan
pengasuhan anak. Parenting self efficacy juga disebutkan sebagai suatu keyakinan
yang merujuk pada perasaan kompetensi dalam menjalankan peran sebagai orang
tua atau persepsi atas kemampuannya untuk memberikan pengaruh positif
terhadap perilaku dan perkembangan anak (Coleman & Karraker, 2000).
Cukup penting rasanya untuk mengetahui parenting self efficacy yang
dimiliki oleh para orang tua, karena berdasarkan penelitian yang dilakukan
menyebutkan bahwa parenting self efficacy mempengaruhi beberapa variabel
yang berhubungan dengan perkembangan anak.
Beberapa penelitian tersebut, antara lain menyebutkan bahwa parenting
self efficacy secara langsung mempengaruhi keberhasilan anak melalui meniru
sikap dan keyakinan orang tua (Ardelt & Eccles’, 2001). Kemudian, parenting self
efficacy juga menjadi indikasi penting dalam tingkat kualitas pengasuhan (Raikes
& Thompson, 2005).
Pada penelitian terdahulu oleh Coleman dan Karraker (1998) yang
kemudian diteliti ulang oleh Jones dan Prinz pada 2005 melaporkan bahwa
parenting self efficacy menjadi faktor utama yang menjadi prediktor perilaku
positif orang tua selama menjalankan peran pengasuhan anak. Selanjutnya,
untuk melakukan pengasuhan secara produktif bagi anak mereka (Ontai & Sano,
2008).
Parenting self efficacy juga dijelaskan menjadi faktor untuk meningkatkan
kemampuan pengasuhan dan juga dukungan dalam menjalankan peran sebagai
orang tua (Bloomfield & Kendall, 2005). Penelitian lain yang mendukung akan
pentingnya parenting self efficacy menyebutkan bahwa hal tersebut juga
mempengaruhi praktek pengasuhan yang benar (Finlayson et al., 2007).
Orang tua dengan parenting self efficacy yang tinggi memiliki
kemungkinan yang lebih besar untuk melihat proses membesarkan anak sebagai
tantangan, dibandingkan sebagai ancaman (Sansom, 2010). Mereka percaya pada
kemampuan yang dimilikinya, menunjukkan ketekunan dalam menghadapi
kesulitan, dan lebih jarang mengalami stres dalam menghadapi tuntutan sebagai
orang tua (Sansom, 2010). Disisi lain, orang tua yang memiliki parenting self
efficacy yang rendah berhubungan dengan tingkat stres orang tua dan persepsi
terhadap anak yang sulit (Coleman & Karraker, 2000).
Secara lebih khusus, penelitian yang membahas parenting self efficacy
pada ibu bekerja yang tentunya memiliki peran ganda belum banyak dilakukan
(Osman, 2009). Namun, salah satu penelitian menyebutkan bahwa ibu bekerja
yang memiliki keyakinan atas kemampuannya untuk menjalankan perannya
sebagai orang tua memiliki pengaturan rumah tangga yang baik dan dapat
memberikan pengaruh yang positif terhadap kemampuannya dalam mengasuh
anak, parenting self efficacy akan membuat ibu bekerja tidak mudah stres dalam
mendorong dan menuntun orang tua dalam menjalankan peran tersebut sehingga
mampu menjalankan tanggung jawabnya (Bandura, 1997 dalam Salonen et al.,
2009).
Dari beberapa penelitian yang menjelaskan tentang berbagai pengaruh dan
juga hubungan dari parenting self efficacy terhadap beberapa variabel lain, penulis
tertarik untuk melihat faktor-faktor apa saja yang bisa mempengaruhi parenting
self efficacy. Dengan melihat urgensi yang ada pada variabel parenting self
efficacy khususnya pada ibu bekerja dalam menjalankan peran pengasuhan,
menjadi hal mendasar untuk mengawali penelitian yang dilakukan.
Salah satu kajian tentang parenting self efficacy yaitu berhubungan
dengan fatigue. Fatigue itu sendiri merupakan salah satu variabel psikologi yang
dikonseptualisasikan sebagai suatu kelelahan yang mempengaruhi fungsi kognitif,
emosi, dan psikomotor seseorang (Cooklin et al., 2011). Salah satu penelitian
menyebutkan bahwa fatigue dilaporkan lebih banyak terjadi pada ibu daripada
ayah (Cooklin et al., 2011).
Berdasarkan beberapa literatur menyebutkan fatigue banyak terjadi pada
ibu diakibatkan pengasuhan anak yang lebih intensif setiap harinya, khususnya
bagi ibu yang memiliki anak kecil (Elek et al., 2002; Fisher et al., 2002 dalam
Cooklin et al., 2011), buruknya kesehatan fisik akibat terlalu banyak kegiatan dan
tanggung jawab (Cooklin et al., 2011), banyaknya pekerjaan rumah tangga
disertai tidak ada bantuan dukungan untuk mengerjakan hal tersebut (Fisher et al.,
mengalami fatigue khususnya bagi ibu bekerja karena adanya peran ganda yang
tentunya lebih menguras banyak pikiran dan tenaga.
Selanjutnya, disebutkan juga bahwa semakin tinggi fatigue maka akan
semakin tinggi pula parenting stress dan juga semakin rendahnya parenting sense
of competence (PSOC) atau rendahnya parenting self efficacy, berkurangnya
kehangatan pada anak, dan juga semakin lebih mudah marah (Cooklin et al.,
2011).
Fatigue dilaporkan lebih banyak terjadi pada ibu dibandingkan ayah dan
juga dilaporkan lebih tinggi terjadi pada ibu yang memiliki lebih dari satu anak di
bawah 5 tahun (Cooklin et al.,2011). Fatigue juga turut mempengaruhi ibu dalam
mendisiplinkan anak pada usia 1-4 tahun secara langsung ataupun dimoderatori
oleh parenting self efficacy (Lesniowska et al.,2014)
Fatigue, depresi, dukungan sosial, dan kualitas tidur secara signifikan
berhubungan dengan parenting self efficacy (Giallo et al., 2011). Hubungan antara
fatigue dengan parenting self efficacy disebutkan dimediasi oleh parenting stress
(Giallo & Dunninga, 2012).
Fatigue juga disebutkan berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan
(Cooklin et al., 2011). Dampak fatigue pada fungsi psikologis seseorang telah
didokumentasikan dalam literatur kesehatan dan keselamatan pekerja yang
menyatakan berdampak pada konsentrasi, planning, pengambilan keputusan dan
juga fungsi kognitif (Cooklin et al., 2011). Fatigue juga menganggu kapasitas
orangtua untuk menjalankan peran pengasuhan secara optimal (Cooklin et al.,
Faktor yang juga disebutkan turut meningkatkan parenting self efficacy
yaitu dukungan sosial di keluarga yang sangat penting dalam perkembangan anak
(Gavazzi, 2013). Dukungan sosial merupakan persepsi atau pengalaman dimana
seseorang merasa dicintai, diperhatikan, berharga, dan bernilai (Will dalam
Taylor, 2004).
Kemudian, dukungan sosial dikatakan mengacu pada kenyamanan,
perhatian, penghargaan atau bantuan yang diberikan orang lain atau kelompok
kepada individu (Uchino dalam Sarafino, 2011). Sarafino juga membagi
dukungan dukungan sosial ke dalam empat dimensi yaitu; emotional support,
instrumental support, informational support, dan companionship support
(Sarafino, 2011).
Dukungan sosial dinyatakan dapat melindungi parenting self efficacy dari
dampak negatif yang diakibatkan oleh sumber stres dalam hidup (Raikes &
Thompson dalam Young, 2011).
Penelitian sebelumnya mengidentifikasi dukungan sosial sebagai faktor
yang bisa meningkatkan pengasuhan anak pada ibu (Teichman et al., 2002). Lebih
spesifik lagi disebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
dukungan sosial dengan parenting practice dengan dimediasi oleh parenting self
efficacy ibu (Izzo et al., 2000).
Dukungan sosial sangat penting menjadi prediktor parenting behavior dan
hal ini dipengaruhi oleh parenting sel efficacy (Umana-Taylor et al., 2013). Pada
beberapa penelitian terdahulu juga telah disebutkan dukungan sosial secara positif
Lebih spesifik pada penelitian di Korea menemukan bahwa dukungan
sosial yang paling penting adalah dukungan instrumental dan emosional dari
suami (Phang & Lee, 2009). Dukungan sosial yang berasal dari suami merupakan
sumber dukungan yang memiliki hubungan paling besar dengan parenting self
efficacy (Halloway et al., 2005).
Selanjutnya, work family conflict merupakan topik yang bisa menjadi
faktor yang berhubungan dengan parenting self efficacy khususnya yang berkaitan
dengan keluarga –dalam hal ini perkembangan anak. Secara historis, work family
conflict menggambarkan keberfungsian satu pekerjaan dan berdampak negatif
pada pekerjaan lainnya (Haslam et al., 2014). Hal ini menjadi pembahasan
tersendiri bagi ibu bekerja.
Work family conflict didefinisikan sebagai kondisi yang dirasakan
seseorang karena salah satu peran (pekerjaan atau keluarga) menganggu peran
yang lain (keluarga atau pekerjaan) (Carlson et al., 2000). Work family conflict ini
terdiri dari tiga dimensi, yaitu; (Carlson et al., 2000)
Time based conflict, konflik yang terjadi karena waktu yang digunakan
untuk memenuhi satu peran tidak dapat digunakan untuk memenuhi peran lainnya
akibat adanya peran ganda. Kemudian, strain based conflict yaitu ketegangan
yang dihasilkan oleh salah satu peran membuat seseorang sulit untuk memenuhi
tuntutan peran yang lain sehingga menimbulkan tekanan, ketidakpuasan, dan
kelelahan. Terakhir adalah behavior based conflict yaitu konflik yang muncul
ketika suatu tingkah laku berperan secara efektif untuk satu peran tetapi tidak
Salah satu penelitian menyebutkan bahwa tingginya tingkat work family
conflict behubungan negatif pada kualitas pekerjaan dan keluarga (Byron, 2005
dalam Haslam et al., 2014). Orang tua yang rentan mengalami work family
conflict disebutkan terjadi pada orang tua yang memiliki anak usia dini dan
dilaporkan berpotensi menganggu keberfungsian peran antara pekerjaan dan
keluarga (Namaguchi, 1997 dalam Haslam et al., 2014)
Lebih spesifik lagi, work family conflict dijelaskan berhubungan negatif
dengan parenting self efficacy dan juga kualitas interaksi antara orang tua dengan
anak (Cinamon et al., 2007). Penulis belum menemukan penelitian yang
membahas tentang pengaruh work family conflict terhadap parenting self efficacy,
untuk itu penulis ingin meneliti pengaruh antara kedua variabel tersebut.
Hal ini didasarkan pada penelitian yang menyebutkan kesenjangan peran
ganda, khususnya yang dilakukan oleh ibu bekerja yang rentan terhadap work
family conflict memiliki banyak pengaruh pada efektivitas peran sebagai orang
tua, seperti yang disebutkan sebelumnya yang juga berkaitan dengan parenting
self efficacy (Coleman & Karraker, 2000).
Di awal penjelasan dalam latar belakang telah disebutkan beberapa
penelitian dan juga artikel yang berkaitan dengan ibu bekerja. Beberapa juga
disebutkan bahwa mayoritas masalah parenting self efficacy terjadi pada ibu
bekerja yang memiliki anak usiapra-sekolah.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah dikemukakan, maka
penulis tertarik untuk meneliti masalah parenting self efficacy pada ibu bekerja
1.2Pembatasan dan Rumusan Masalah 1.2.1 Pembatasan masalah
Masalah yang menjadi fokus pada penelitian ini dibatasi pada pengaruh fatigue,
dukungan sosial (emotional support, instrumental support, informational support,
companionship support), dan work family conflict (time based conflict, strain
based conflict, behavior based conflict) terhadap parenting self efficacy pada ibu
bekerja dengan anak usia pra-sekolah. Adapun pengertiannya adalah sebagai
berikut:
1. Parenting self efficacy yang akan diteliti yaitu sejauh mana orang tua merasa
kompeten dan yakin dalam menangani urusan pengasuhan anak dengan domain
yang akan diukur hanya general parenting self efficacy saja (Johnston & Mash,
1989).
2. Sampel yang akan diteliti adalah ibu yang bekerja dengan jam kerja penuh
waktu (full time) di kantor pemerintahan, sekolah, pabrik, ataupun perusahaan
yang memiliki anak usia pra-sekolah dengan rentang usia 2-5 tahun (Berk,
2004).
3. Fatigue dalam penelitian ini digambarkan sebagai suatu kelelahan bersifat
kumulatif dan ditunjukkan oleh penurunan kemampuan untuk melaksanakan
tugas serta penurunan perhatian terhadap stimulus dari lingkungan (Vries,
Michielsen, & Van Heck, 2003).
4. Dukungan sosial dalam penelitian diambil berdasarkan empat dimensi yang
dijelaskan oleh Sarafino (2011), yaitu; emotional support, instrumental
5. Work family conflict dalam penelitian ini diambil berdasakan tiga dimensi yang
ada yaitu time based conflict, strain based conflict, behavior based conflict
(Carlson, Kacmar, & Williams, 2000).
1.2.2 Perumusan masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah dalan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Apakah fatigue, dukungan sosial, dan work family conflict secara
bersama-sama signifikan mempengaruhi parenting self efficacy pada ibu bekerja yang
memiliki anak usiapra-sekolah?
2. Apakah fatigue signifikan mempengaruhi parenting self efficacy pada ibu
bekerja yang memiliki anak usiapra-sekolah?
3. Apakah emotional support signifikan mempengaruhi parenting self efficacy
pada ibu bekerja yang memiliki anak usiapra-sekolah?
4. Apakah instrumental support signifikan mempengaruhi parenting self
efficacy pada ibu bekerja yang memiliki anak usiapra-sekolah?
5. Apakah informational support signifikan mempengaruhi parenting self
efficacy pada ibu bekerja yang memiliki anak usia pra-sekolah?
6. Apakah companionship support signifikan mempengaruhi parenting self
efficacy pada ibu bekerja yang memiliki anak usia pra-sekolah?
7. Apakah time based conflict signifikan mempengaruhi parenting self efficacy
pada ibu bekerja yang memiliki anak usia pra-sekolah?
8. Apakah strain based conflict signifikan mempengaruhi parenting self efficacy
9. Apakah behavior based conflict signifikan mempengaruhi parenting self
efficacy pada ibu bekerja yang memiliki anak usia pra-sekolah?
Dalam penelitian ini, mengukur rumusan masalah melalui pengukuran
masing-masing variabel terhadap parenting self efficacy.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengaruh secara bersama-sama yaitu fatigue, dukungan
sosial, dan work family conflict terhadap parenting self efficacy pada ibu
bekerja yang memiliki anak usiapra-sekolah.
2. Untuk mengetahui pengaruh fatigue terhadap parenting self efficacy pada ibu
bekerja yang memiliki anak usiapra-sekolah.
3. Untuk mengetahui pengaruh emotional support terhadap parenting self
efficacy pada ibu bekerja yang memiliki anak usiapra-sekolah.
4. Untuk mengetahui pengaruh instrumental support terhadap parenting self
efficacy pada ibu bekerja yang memiliki anak usiapra-sekolah.
5. Untuk mengetahui pengaruh informational support terhadap parenting self
efficacy pada ibu bekerja yang memiliki anak usiapra-sekolah.
6. Untuk mengetahui pengaruh companionship support terhadap parenting self
efficacy pada ibu bekerja yang memiliki anak usiapra-sekolah.
7. Untuk mengetahui pengaruh time based conflict terhadap parenting self
8. Untuk mengetahui pengaruh strain based conflict terhadap parenting self
efficacy pada ibu bekerja yang memiliki anak usiapra-sekolah.
9. Untuk mengetahui pengaruh behavior based conflict terhadap parenting self
efficacy pada ibu bekerja yang memiliki anak usiapra-sekolah.
1.3.2 Manfaat penelitian
Manfaat penelitian ini dibagi menjadi dua hal, yaitu secara teoritis dan praktis:
1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya pada bidang kajian psikologi,
memberikan masukan dalam aplikasi teori-teori yang telah ada guna
memperluas wacana dalam bidang psikologi perkembangan, psikologi klinis,
dan juga psikologi industri organisasi.
2. Secara praktis, penelitian ini memiliki manfaat praktis, yakni untuk
memberikan informasi kepada ibu untuk meningkatkan self-efficacy dalam
menjalankan peran sebagai orang tua dan juga diharapkan para ibu bekerja
mampu menyeimbangkan peran mereka di rumah dan di lingkungan
pekerjaannya juga dapat memberikan saran kepada pemerintah, perusahaan,
kantor-kantor serta pihak terkait lainnya untuk memfasilitasi para ibu bekerja
dengan membuat program-program yang bisa meningkatkan kualitas
16
Dalam bab ini akan dibahas tentang teori-teori yang berkaitan dengan penelitian
yaitu: parenting self efficacy, fatigue, dukungan sosial, work family conflict,
definisi ibu bekerja, kerangka berfikir, dan hipotesis penelitian.
2.1 Parenting Self Efficacy
2.1.1 Definisi parenting self efficacy
Parenting self efficacy merupakan salah satu konsep yang berasal dari teori dasar
self efficacy (Sansom, 2010). Konsep umum self efficacy didefinisikan sebagai
keyakinan seseorang akan kemampuan yang dimiliki untuk menampilkan
keberhasilan suatu perilaku (Bandura, 1997 dalam Desjardin, 2003).
Menurut teori belajar sosial oleh Bandura, efficacy seseorang berasal dari
empat sumber utama (Desjardin, 2003). Pertama, pengalaman pribadi mengenai
keberhasilan atau kegagalan suatu perilaku, seperti tanggung jawab orang tua.
Kedua, yaitu vicarious experience seperti melihat orang lain mengerjakan atau
melakukan tugas-tugas pengasuhan. Ketiga, meliputi verbal persuation yaitu
menjelaskan tentang feedback secara verbal dalam hal pemberian informasi dari
seseorang agar suatu tugas ataupun perilaku dapat berhasil diselesaikan. Keempat,
yaitu emotional arousal berkaitan dengan psychological state, yaitu kondisi
perasaan individu yang muncul untuk mengantisipasi suatu kegagalan ketika
Bandura (dalam Desjardin, 2003) menyatakan bahwa self efficacy bukan
merupakan sesuatu yang umum, tetap, dan juga bukan sebuah trait kepribadian,
tetapi lebih dikonseptualisasikan sebagai suatu kompenen yang dinamis yang bisa
muncul secara otomatis.
Bandura (dalam Desjardin, 2003) mendefinisikan parenting self efficacy
sebagai persepsi orang tua akan kompetensinya dalam menjalankan peran orang
tua dan percaya bahwa kemampuannya bisa menyelesaikan tugas-tugas sebagai
orang tua. Definisi ini sejalan dengan konsep umum dari self efficacy yang
sebelumnya diungkapkan oleh Bandura, dimana orang tua yang merasa kompeten
mungkin memiliki tingkat motivasi yang lebih tinggi dalam menjalankan peran
pengasuhan (Desjardin, 2003). Berdasarkan definisi tersebut, secara implisit
dinyatakan bahwa seseorang yang memiliki pengetahuan tentang
perilaku-perilaku pengasuhan harus sejalan dengan kepercayaan akan kemampuan yang
dimilikinya untuk menampilkan perilaku tersebut secara efektif (Bandura dalam
Coleman & Karraker, 2003)
Perlu diketahui bahwa literatur yang berhubungan dengan self efficacy
sejalan dengan cara pandang dari Bandura (Desjardin, 2003). Selanjutnya dalam
konteks pengasuhan, Johnston dan Mash (1989) mendefinisikan parenting self
efficacy yaitu sejauh mana orang tua merasa kompeten dan yakin dalam
menangani urusan pengasuhan anak.
Parenting self-efficacy menjelasakan sejauh mana orang tua yakin tentang
kemampuan dan keefektifan mereka dalam menjalankan peran pengasuhan anak
keyakinan yang merujuk pada perasaan kompetensi dalam menjalankan peran
sebagai orang tua atau persepsi atas kemampuannya untuk memberikan pengaruh
positif terhadap perilaku dan perkembangan anak (Coleman & Karraker, 2000).
Coleman dan Karraker (2000) lebih banyak merujuk pada kemampuan diri
sebagai orang tua dari pihak ibu, atau biasa disebut sebagai maternal self efficacy.
Kemudian, parenting self efficacy dijelasakan sebagai perasaan kompeten
dalam peran parenting (Kuhn & Carter, 2006). Sedangkan, Ardelt dan Eccles
(2001) menyebutkan parenting self efficacy sebagai keyakinan orang tua terhadap
kemampuannya dalam mempengaruhi anak dan lingkungan yang akan
memberikan keberhasilam dan perkembangan anak.
Parenting self efficacy merupakan sebuah konstrak kognitif penting yang
berhubungan dengan keberfungsian anak dan keluarga yang kemudian
didefinisikan sebagai ekspektasi orang tua tentang kemampuan mereka untuk
menjadi orang tua yang berhasil menjalankan perannya (Jones & Prinz, 2005).
Dari beberapa definisi yang sudah dijelaskan oleh beberapa ahli tersebut,
maka penulis memilih definisi dari Johnston dan Mash (1989) yang mengartikan
parenting self efficacy yaitu sejauh mana orang tua merasa kompeten dan yakin
dalam menangani urusan pengasuhan anak.
Adapun parenting self efficacy yang dimaksud adalah parenting self
efficacy pada ibu bekerja yang memiliki anak usia pra-sekolah. Hal ini dapat
didefinisikan sejauh mana para ibu bekerja yang masih memiliki anak usia
pra-sekolah merasa kompeten dan yakin dalam menangani urusan pengasuhan anak
umur 0-18 tahun dan menjadi tenaga kerja (Lerner, 2001 dalam Widyasari &
Fridari, 2013).
Status sebagai ibu bekerja tentu saja memiliki dampak terhadap
pertumbuhan dan perkembangan anak, khususnya anak balita. Akibat jam kerja
yang full time, waktu kebersamaan atau quality time antara ibu dan anak pun akan
berkurang (Glick, 2002). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Soekirman
(dalam Glick, 2002), ibu yang bekerja selama lebih dari 40 jam perminggunya
memiliki dampak negatif bagi tumbuh kembang anak.
Menurunnya frekuensi waktu kebersamaan ibu dan anak juga disebabkan
oleh tipe kerja ibu. Ibu yang memiliki pekerjaan yang dikategorikan berat dengan
indikator tugas tugas-tugas yang dituntut di lingkungan kerja yang tinggi dan
banyak dapat mengalami kelelahan fisik. Akibatnya sesampainya ibu di rumah
terdapat kecenderungan mereka lebih memilih untuk berisitirahat daripada
mengurus anaknya terlebih dahulu.
Kriteria ibu bekerja yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu ibu yang
bekerja dan memiliki anak usia pra-sekolah, karena pada masa ini peran orang tua
khususnya ibu sangat dibutuhkan seperti yang dinyatakan oleh Elizabeth B.
Hurlock pada tahun 1980 bahwa masa kanak-kanak merupakan masa yang
terpanjang dalam rentang kehidupan-saat dimana individu relatif tidak berdaya
dan bergantung pada orang lain. Untuk itu, para ibu bekerja yang memiliki anak
dengan usia pra-sekolah dituntut untuk dapat memberikan pengasuhan yang
penting dan efektif di sepanjang kehidupan manusia dan hal ini berkaitan dengan
parenting self efficacy yang dimiliki ibu bekerja.
2.1.2 Indikator dan Pengukuran parenting self efficacy
Alat ukur parenting self efficacy yang telah banyak digunakan, antara lain adalah
1. Parenting Tasks Index—Toddler Scale (SEPTI—TS) digunakan untuk
mengukur parenting self efficacy pada domain-specific dengan target sampel
yaitu tooddler (1-4 tahun). Alat ukur ini dikembangkan oleh Coleman dan
Karraker (2003) yang terdiri dari tujuh dimensi yaitu; emotional availability,
nurturance, protection, dicipline, play, teaching, instrumental care. Tujuh
dimensi ini disajikan ke dalam 53 item. Setiap item diukur menggunakan
enam poin skala likert (Coleman & Karraker, 2003). Alat ukur ini digunakan
bersamaan dengan pengukuran domain general self efficacy didasarkan pada
studi yang dilakukan oleh Coleman dan Karraker (2003), untuk mengukur
domain general parenting self efficacy menggunakan alat ukur Parenting
Sense of Competence Scale (PSOC).
2. The Maternal Efficacy Questionnare (MEQ) yang dikembangkan oleh Teti
dan Gefland pada tahun 1991 yang terdiri dari 94 item yang dibuat untuk
mengukur self efficacy beliefs yang berhubungan dengan domain task spesific
dalam pengasuhan anak (Teti & Gefland, 1991; Coleman & Karraker, 2003).
3. Parenting Sense of Competence Scale (PSOC) yang pertama kali
dikembangkan oleh Gibaud-Wallson dan Wandersman pada tahun 1978 yang
kemudian diinterpretasi kembali oleh Johnston dan Mash pada tahun 1989
1989) dan sub skala efficacy digunakan untuk mengukur parenting self
efficacy secara general yang terdiri dari 7 item. Walaupun alat ukur dengan
sub skala efficacy ini diciptakan untuk orang tua yang memiliki kanak-kanak
madya, namun konten dari item yang ada cukup umum sehingga sesuai untuk
orang tua yang memiliki anak toodler sehingga pada studi yang dilakukan
Coleman dan Karraker (2003) menggunakan alat ukur ini untuk domain
general parenting self efficacy.
Dari beberapa alat ukur parenting self efficacy yang ada, peneliti
mengadaptasi intrumen Parenting Sense of Competence Scale (PSOC) yang
dikembangkan oleh Johnston dan Mash pada tahun 1989 dengan sub skala
efficacy untuk mengukur variabel parenting self efficacy secara general. Indikator
yang digunakan untuk mengukur parenting self efficacy berdasarkan keyakinan
tentang menjadi ibu yang kompeten dalam hal pengasuhan anak. Pemilihan alat
ukur ini juga didukung pada studi yang dilakukan oleh Coleman dan Karraker
pada tahun 2003 yang menggunakan PSOC sebagai alat ukur untuk mengukur
domain general parenting self efficacy.
2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi parenting self efficacy
Berikut ini merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan parenting
self efficacy berdasarkan tinjauan literatur, antara lain:
a) Fatigue
Fatigue dilaporkan menjadi faktor yang turut mempengaruhi parenting self
efficacy ibu yang kemudian berpengaruh dalam mendisiplinkan anak pada
(Lesniowska et al., 2014). Disebutkan juga bahwa fatigue pada orang tua
yang memiliki anak berumur 0-5 tahun memiliki skor yang tinggi dan
berhubungan dengan rendahnya parenting self efficacy (Cooklin et al.,, 2011
dalam Giallo & Dunninga, 2012).
b) Dukungan Sosial
Dukungan sosial disebutkan menjadi faktor yang mampu mempertahankan
parenting sel efficacy seseorang yang mungkin saja menurun akibat
sumber-sumber stres (Raikes & Thompson, 2005 dalam Young, 2011). Umana-Taylor
et al. (2003) juga menyebutkan dukungan sosial sebagai prediktor penting
dalam parenting behavior yang sebelumnya dipengaruhi oleh parenting self
efficacy.
c) Work Family Conflict
Work family conflict diesebutkan menjadi faktor yang mungkin turut
mempengaruhi parenting self efficacy. Namun penelitian sebelumnya hanya
menyebutkan bahwa work family conflict berhubungan negatif secara
signifikan dengan parenting self efficacy (Cinamon et al., 2007). Sebagian
besar penelitian hanya menggambarkan bahwa work family conflict
mempengaruhi keberfungsian peran antara pekerjaan dan keluarga
(Namaguchi, 1997 dalam Haslam et al., 2014).
2.2 Fatigue
2.2.1 Definisi fatigue
Pada dasarnya belum ada kriteria klinis ataupun definisi secara umum untuk
dikonseptualisasikan sebagai suatu kelelahan yang mempengaruhi fungsi kognitif,
emosi dan psikomotor seseorang (Cooklin et al., 2011).
Terjadinya Fatigue bukan diakibatkan oleh aktivitas sehari hari tetapi lebih
kepada berkurangnya kapasitas kerja baik mental ataupun fisik (Tidwell, 2008),
khususnya dialami oleh para pengasuh anak (Jensen & Given, 1991 dalam
Tidwell, 2008).
Tidwell (2008) juga menyatakan bahwa fatigue sering dialami oleh ibu
yang mengasuh anak yang sedang sakit karena takut akan terjadi penyakit yang
serius. Fatigue secara mental dan fisik ini kan berdampak pada pengasuhan yang
dilakukan oleh para ibu (Tidwell, 2008). Fatigue jugadisebutkan lebih berbahaya
dibandingan dengan kelelahan ‘tiredness’, karena tidak bisa hilang hanya dengan
beristirahat (North American Nursing Diagnosis Association, 2001 dalam
Dunning & Giallo, 2012).
Fatigue juga dikonseptualisasikan sebagai salah satu masalah kesehatan
yang berdampak pada fungsi kognitif, memori, dan juga pengambilan keputusan
(Hocket et al., 2000 dalam Giallo et al., 2011). Hal ini mengakibatkan fatigue
dianggap sebagai salah satu masalah kesehatan yang serius bagi orang tua,
khususnya bagi mereka yang sedang menjalankan pengasuhan anak (Fisher et al.,
dalam Giallo et al., 2011).
Institusi Kesehatan Nasional Amerika Serikat menggambarkan fatigue
sebagai merasa keletihan, kelelahan atau ketiadaan energi dan menyatakan bahwa
kelelahan yang terjadi berbeda dengan keadaan mengantuk sebagai suatu rasa
energi (Mubarok, 2007). Dinyatakan oleh institusi tersebut juga bahwa kelelahan
bisa merupakan tekanan emosional, kebosanan, atau kekurangan tidur (Mubarok,
2007).
Pada studi terdahulu penelitian tentang fatigue hanya dilakukan untuk
populasi yang spesifik seperti pasien kanker ataupun pasien sklerosis. Namun,
studi terbaru menunjukkan bahwa fatigue juga turut berperan pada populasi yang
umumnya sehat atau tidak ada penyakit tertentu (Michielsen et al., 2003).
Kelelahan yang dialami pada dasarnya merupakan suatu kelelahan bersifat
kumulatif dan ditunjukkan oleh penurunan kemampuan untuk melaksanakan tugas
serta penurunan perhatian terhadap stimulus dari lingkungan (Michielsen et al.,
2003). Michielsen et al. (2003) juga menyatakan bahwa bahwa fatigue merupakan
symptom kelelahan yang umum atau tidak spesifik yang bisa terjadi pada populasi
umum akibat dari aktivitas yang dilakukan.
Dari beberapa definisi yang telah dijabarkan mengenai fatigue, maka dapat
dijelaskan fatigue merupakan kelelahan bersifat kumulatif dan ditunjukkan oleh
penurunan kemampuan untuk melaksanakan tugas serta penurunan perhatian
terhadap stimulus dari lingkungan (Vries, Michielsen, Van Heck, 2003).
2.2.2 Jenis-jenis fatigue
Fatigue dibedakan menjadi dua jenis, yaitu (Grandjean, 1979);
1. Muscular Fatigue
Merupakan fenomena yang terjadi di otot yang mengalami stres dan
terlokalisasi di sana. Ketika otot manusia distimulasi berulang dalam periode
kontraksi) menjadi semakin panjang, kontraksi dan relaksasi menjadi
memendek, serta berkurangnya ketinggian pengangkatan beban.
2. Mental Fatigue
Yakni sensasi general bercampur aduk yang diikuti perasaan malas dan
enggan dalam melakukan aktivitas apapun. Perasaan ini akan menjadi
mengganggu apabila tidak ada kesempatan istirahat yang bisa menjadi
mekanisme pertahanan alami agar tidak terlalu lelah.
2.2.3 Pengukuran fatigue
Sampai saat ini penulis hanya menemukan satu alat ukur untuk mengukur fatigue
yang dikembangkan oleh Vries, Michielsen, dan Van Heck pada tahun 2003 yang
memiliki 10 item dan merupakan pengukuran unidimensional, yaitu Fatigue
Assesment Scale (FAS). Maka dari itu, penulis menggunakan FAS sebagai alat
ukur yang digunakan untuk mengukur fatigue pada penelitian ini.
2.3 Dukungan Sosial
2.3.1 Definisi dukungan sosial
Dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan, seseorang membutuhkan
dukungan sosial. Dukungan sosial dikatakan mengacu pada kenyamanan,
perhatian, penghargaan atau bantuan yang diberikan orang lain atau kelompok
kepada individu (Sarafino, 2006). Sarafino juga membagi dukungan dukungan
sosial ke dalam empat dimensi yaitu; emotional support, instrumental support,
informational support, dan compinionship support (Sarafino, 2011).
Menurut Will (dalam Taylor, 2004) dukungan sosial merupakan persepsi
bernilai. Sarason, Sarason & Pierce (1991) mendefinisikan dukungan sosial
sebagai kenyamanan fisik dan psikologis yang diberikan oleh orang-orang yang
memiliki hubungan spesifik. Dukungan sosial adalah pertukaran bantuan antara
dua individu yang berperan sebagai pemberi dan penerima (Shumaker & Browne,
1984 dalam Wong et al., 1984).
Senada dengan Will, Taylor (2004) mengatakan dukungan sosial merupakan
bentuk pemberian informasi serta merasa dirinya dicintai dan diperhatikan,
terhormat dan dihargai, serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi dan
kewajiban timbal balik dari orang tua, kekasih/kerabat, teman, jaringan
lingkungan sosial serta dalam lingkungan masyarakat.
Dukungan sosial yang kita terima dapat bersumber dari berbagai pihak.
Kahn & Antonoucci (dalam Orford, 1992) membagi sumber-sumber dukungan
sosial, yaitu:
a) Sumber dukungan sosial yang berasal dari orang-orang yang selalu ada
sepanjang hidupnya, yang selalu bersama dengannya dan mendukungnya.
Misalnya: keluarga dekat, pasangan (suami atau istri), atau teman dekat.
b) Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sedikit berperan
dalam hidupnya dan cenderung mengalami perubahan sesuai dengan waktu.
Sumber dukungan ini meliputi teman kerja, sanak keluarga, dan teman
sepergaulan.
c) Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sangat jarang
memberi dukungan dan memiliki peran yang sangat cepat berubah. Meliputi
Dari beberapa sumber dukungan sosial yang dijelaskan, dukungan yang bersal
dari kelurga yang dapat memberikan efek yang sangat besar bagi fungsi psikologi
seseorang (Taylor, 2004).
Sarason et al. (1990) lebih jauh lagi mengatakan bahwa dukungan sosial
selalu mencakup dua hal penting, yaitu persepsi bahwa ada sejumlah orang yang
dapat diandalkan oleh individu pada saat ia membutuhkan bantuan dan derajat
kepuasan akan dukungan yang diterima berkaitan dengan persepsi individu bahwa
kebutuhannya terpenuhi.
Dari beberapa definisi yang dijelaskan oleh para ahli maka peneliti memilih
teori dari Sarafino yang mendefinisikan bahwa dukungan sosial mengacu pada
kenyamanan, perhatian, penghargaan atau bantuan yang diberikan orang lain atau
kelompok kepada individu (Sarafino, 2011).
2.3.2 Dimensi dukungan sosial
Sarafino (2011) membagi dukungan sosial ke dalam empat bentuk, yaitu;
a) emotional support, dapat berupa ungkapan empati, perhatian, maupun
kepedulian terhadap individu yang bersangkutan.
b) instrumental support, yang merupakan dukungan berupa batuan secara nyata
yang bisa mendukung pekerjaan atau aktivitas sehari hari.
c) informational support, dukungan berupa nasihat, pengarahan, feed back,
mengenai hal-hal yang dilakukan oleh individu.
d) companionship support, yaitu dukungan yang berupa adanya kebersamaan,
2.3.3 Pengukuran dukungan sosial
Alat ukur dukungan sosialyang telah banyak digunakan, antara lain adalah:
1. Social Support Questionnaire (SSQ) yang dikembangkan oleh Sarason,
Levine, Basham, dan Sarason pada tahun 1981 dan paling banyak digunakan
untuk mengukur dukungan sosial. Alat ukur ini terdiri dari 27 item.
2. Berlin Social Support Scale (BSSS) yang dikembangkan oleh Schulz &
Schwarzer pada tahun 2003 terdiri dari delapan item yang dikukur melalui
empat poin skala likert (Shakespeare-Finch & Patricia, 2011).
3. 2-Way Social Support Scale (2-way SSS) yang dikembangkan oleh
Shakespeare-Finch dan Patricia pada tahun 2011 yang terdiri dari 29 item
yang dibentuk untuk mengukur emotional support, recieving intrumental
support, giving emotional support, dan giving instrumental support
(Shakespeare-Finch & Patricia, 2011).
Dari beberapa alat ukur yang ada, penulis memilih untuk mengkonstruk sendiri
alat ukur berdasarkan teori dari Sarafino (2011) dengan menggunakan empat
dimensi yang ada yaitu;
a) emotional support, dapat berupa ungkapan empati, perhatian, maupun
kepedulian terhadap individu yang bersangkutan.
b) instrumental support, yang merupakan dukungan berupa batuan seraca nayata
yang bisa mendukung pekerjaan atau aktivitas sehari hari.
c) informational support,dukungan berupa nasihat, pengarahan, feed back,
d) companionship support, yaitu dukungan yang berupa adanya kebersamaan,
kesediaan, dengan mengerjaan aktivitas secara bersamaan.
2.4 Work Family Conflict
2.4.1 Definisi work family conflict
Carlson, Kacmar, dan Williams (2000) menyatakan work-family conflict adalah
kondisi yang dirasakan seseorang karena salah satu peran (pekerjaan atau
keluarga) menganggu peran yang lain (keluarga atau pekerjaan).
Work-family conflict adalah salah satu dari bentuk interrole conflict yaitu
tekanan atau ketidakseimbangan antara peran di dalam pekerjaan dengan peran di
dalam keluarga (Greenhaus & Beutell, 1985).
Dalam teori peran menunjukkan bahwa sebagai karyawan yang loyal
kepada perusahaan, mereka cenderung memiliki sedikit waktu dan tenaganya
untuk mengabdi kepada pasangan dan tanggung jawab mereka di dalam keluarga
(Hochschild, 1997).
Menurut Greenhaus dan Beutell (1985) work-family conflict memiliki sifat
yang bidirectional. Tekanan dari peran pekerjaan dan keluarga bisa terjadi secara
simultan di kedua arah. Artinya, tuntutan peran yang berlebihan dari domain kerja
(yaitu jam kerja, jadwal kerja yang fleksibel, dll) dapat mengakibatkan konflik
dari tanggung jawab pekerjaan yang mengganggu tanggung jawab terhadap
keluarga (work-to-family conflict).
Demikian pula, peran yang di tuntut dari domain keluarga (yaitu mengurus
anak, pekerjaan rumah tangga, dll) dapat mengakibatkan konflik dari tanggung
family-to-work conflict). Oleh karena itu, efek gabungan dari work-to-family conflict dan
family-to-work conflict pada akhirnya menghasilkan keseluruhan tingkat
work-family conflict yang dialami oleh seseorang (Greenhaus & Beutell, 1985).
Meskipun konflik dari pekerjaan ke keluarga (work-to-family conflict) dan
konflik dari keluarga ke pekerjaan (family-to-work conflict) telah dibedakan
secara konseptual (Greenhaus & Beutell, 1985), namun sebagian besar penelitian
telah menilai bahwa hanya pekerjaan yang dapat mengganggu peran dalam
keluarga di bawah istilah umum work family conflict (Netemeyer, 1996).
Dari beberapa definisi tersebut dapat dijelaskan bahwa work family
conflict secara mendasar oleh Carlson, Kacmar, dan Williams (2000) yaitu kondisi
yang dirasakan seseorang karena salah satu peran (pekerjaan atau keluarga)
menganggu peran yang lain (keluarga atau pekerjaan).
2.4.2 Dimensi work-family conflict
Menurut Carlson, Kacmar, dan Williams (2000) work-family conflict terdiri dari
dimensi yaitu:
1. Time based conflict
Time based conflict adalah konflik yang terjadi karena waktu yang digunakan
untuk memenuhi satu peran tidak dapat digunakan untuk memenuhi peran
lainnya, artinya pada saat yang bersamaan seorang yang mengalami konflik peran
ganda tidak akan bisa melakukan dua atau lebih peran sekaligus. Menurut Staines
dan O'Connor (1980) peran ganda mungkin dapat menyulitkan dan seolah
berlomba mendapatkan prioritas dari seseorang yang mengalaminya. Time based
a. Tuntutan waktu dari peran yang satu membuat individu secara fisik tidak
dapat memenuhi ekspektasi dari peran yang lain.
b. Adanya tuntutan waktu dapat menyebabkan individu terokupasi dengan peran
yang satu pada saat seharusnya individu mencoba memenuhi tuntutan peran
yang lain (Bartolome & Evans, dalam Greenhaus & Beutell, 1985).
2. Strain based conflict
Strain based conflict yaitu ketegangan yang dihasilkan oleh salah satu peran
membuat seseorang sulit untuk memenuhi tuntutan peran yang lain sehingga
menimbulkan ketegangan bagi individu dalam bentuk ketidakpuasan, tekanan,
kecemasan, dan kelelahan.
Strain based conflict masuk dalam salah satu domain yang mengakibatkan
ketegangan baik fisik maupun psikologis sehingga menghambat kinerja peran
dalam domain lain.
3. Behavior based conflict
Behavior based conflict adalah konflik yang muncul ketika suatu tingkah laku
berperan secara efektif untuk satu peran namun tidak efektif digunakan untuk
peran yang lain. Sebagai contoh, perilaku agresif, konfrontatif dan asertif dalam
penyelesaian masalah yang yang diinginkan pada konteks pekerjaan mungkin
tidak pantas diterapkan dalam lingkungan keluarga di mana pendekatan penuh
kehangatan, pola asuh yang baik dan kolaboratif lebih diinginkan (Greenhaus &
2.4.3 Pengukuran work family conflict
Pengukuran work family conflict pada penelitian ini menggunakan skala yang
dikembangkan oleh Carlson, Kacmar, dan Williams (2000) yang terdiri dari 18
item.
2.5 Kerangka Berpikir
Kemampuan orang tua dalam menjalankan peran pengasuhan anak sangat
penting bagi tumbuh kembang anak, khususnya pada masa-masa awal
pertumbuhan atau biasa disebut golden age karena pada masa ini adalah masa
yang paling krusial dalam tumbuh kembang anak. Dalam tahapan perkembangan
anak, peran orang tua sangat dibutuhkan, terutama pada usia pra-sekolah. Hal ini
diperkuat oleh ahli psikologi anak dari Amerika Serikat, Elizabeth B. Hurlock
(1980) yang menyatakan bahwa masa kanak-kanak merupakan masa yang
terpanjang dalam rentang kehidupan-saat dimana individu relatif tidak berdaya
dan bergantung pada orang lain. Untuk itu, orang tua diharapkan untuk
memberikan pengasuhan yang terbaik kepada anak-anak karena pada masa ini
adalah masa mendidik yang paling penting dan efektif di sepanjang kehidupan
manusia.
Pada masa tersebut, orang tua dituntut untuk mempu beradaptasi dengan
keterampilan-keterampilan sebagai orang tua seperti responsif terhadap kebutuhan
anak, menyediakan stimulasi, mempersiapkan lingkungan pengasuhan yang
mendukung perkembangan anak. Hal ini sangat berkaitan erat dengan adanya
parenting self efficacy yang dimiliki oleh orang tua (Coleman & Karraker, 2000).
mana orang tua merasa kompeten dan yakin dalam menangani urusan pengasuhan
anak.
Dari beberapa penelitian yang mengungkap akan pentingnya parenting self
efficacy, setidaknya terdapat tiga faktor yang dapat mempengaruhinya, antara lain;
fatigue, dukungan sosial, dan juga work family conflict.
Fatigue secara umum didefinisikan sebagai suatu kelelahan. Fatigue
sebagai variable psikologi dikonseptualisasikan sebagai suatu kelelahan yang
mempengaruhi fungsi kognitif, emosi dan psikomotor seseorang (Cooklin et al.,
2011).
Menurut beberapa literatur menyebutkan fatigue banyak terjadi pada ibu
diakibatkan pengasuhan anak yang lebih intensif setiap harinya, khususnya bagi
ibu yang memiliki anak kecil (Fisher et al., 2002), buruknya kesehatan fisik akibat
terlalu banyak kegiatan dan tanggung jawab (Parks et al., 1999 dalam Bayer et al.,
2007), banyaknya pekerjaan rumah tangga disertai tidak ada bantuan dukungan
untuk mengerjakan hal tersebut (Fisher et al., 2002).
Berkaitan dengan parenting self efficacy disebutkan bahwa semakin tinggi
fatigue, maka semakin rendah parenting self efficacy yang dimiliki seseorang. Hal
ini diperkuat oleh penelitian lain bahwa fatigue mengganggu kapasitas orang tua
untuk menjalankan peran pengasuhan secara optimal (Cooklin et al., 2011).
Selanjutnya, berdasarkan beberapa penelitian, penulis berasumsi bahwa
dukungan sosial juga turut mempengaruhi parenting self efficacy. Menurut
penghargaan atau bantuan yang diberikan orang lain atau kelompok kepada
individu (Sarafino, 2011).
Sarafino juga membagi dukungan dukungan sosial ke dalam empat dimensi
yaitu; Emotional support, dapat berupa ungkapan empati, perhatian, maupun
kepedulian terhadap individu yang bersangkutan. Instrumental support, yang
merupakan dukungan berupa bantuan secara nyata yang bisa mendukung
pekerjaan atau aktivitas sehari hari. Informational support, dukungan berupa
nasihat, pengarahan, feedback, mengenai hal-hal yang dilakukan oleh individu.
Companionship support, yaitu dukungan yang berupa adanya kebersamaan,
kesediaan, dengan mengerjaan aktivitas secara bersamaan.
Salah satu literatur menyebutkan bahwa dukungan sosial dinyatakan dapat
melindungi parenting self efficacy dari dampak negatif yang diakibatkan oleh
sumber stres dalam hidup (Raikes & Thompson, 2005 dalam Young, 2011).
Penelitian sebelumnya mengidentifikasi dukungan sosial sebagai faktor
yang bisa meningkatkan pengasuhan anak pada ibu (Teichman et al., 2002). Lebih
spesifik lagi disebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
dukungan sosial dengan parenting behavior dengan dimediasi oleh parenting self
efficacy padaibu (Izzo et al., 2000).
Dukungan sosial sangat penting menjadi prediktor parenting behavior dan
hal ini dipengaruhi oleh parenting sel efficacy (Taylor et al., 2013). Pada beberapa
penelitian terdahulu juga telah disebutkan dukungan sosial secara positif
Lebih spesifik pada penelitian di Korea ditemukan bahwa dukungan sosial
yang paling penting adalah dukungan instrumental dan emosional dari suami
(Phang & Lee, 2009). Dukungan sosial yang berasal dari suami merupakan
sumber dukungan yang memiliki hubungan paling besar dengan parenting self
efficacy (Halloway et al., 2005).
Parenting self efficacy juga dipengaruhi oleh faktor work family conflict
yang lebih banyak menekankan pada peran ganda pada pekerjaan dan juga di
keluarga. Hal ini berkaitan dengan target penelitian yang dilakukan yaitu ibu
bekerja. Carlson, Kacmar, dan Williams (2000) menyatakan work family conflict
adalah kondisi yang dirasakan seseorang karena salah satu peran (pekerjaan atau
keluarga) menganggu peran yang lain (keluarga atau pekerjaan).
Work family conflict ini terdiri dari tiga dimensi, yaitu; time based conflict,
konflik yang terjadi karena waktu yang digunakan untuk memenuhi satu peran
tidak dapat digunakan untuk memenuhi peran lainnya akibat adanya peran ganda.
Kemudian strain based conflict, yaitu ketegangan yang dihasilkan oleh salah satu
peran membuat seseorang sulit untuk memenuhi tuntutan peran yang lain
sehingga menimbulkan tekanan, ketidakpuasan, dan kelelahan. Terakhir adalah
behavior based conflict, yaitu konflik yang muncul ketika suatu tingkah laku
berperan secara efektif untuk satu peran tetapi tidak efektif digunakan untuk peran
lainnya (Carlsonet al., 2000).
Berdasarkan literatur yang ada, penulis belum menemukan bagaimana
pengaruh work family conflict terhadap parenting self efficacy. Namun, salah satu
dengan parenting self efficacy dan juga kualitas interaksi antara orang tua dengan
anak (Cinamon et al., 2007).
Penelitian lain hanya menyebutkan bahwa tingginya tingkat work family
conflict behubungan negatif pada kualitas pekerjaan dan keluarga (Byron, 2005
dalam Haslam et al., 2014). Kemudian, orang tua yang rentan mengalami work
family conflict disebutkan terjadi pada orang tua yang memiliki anak usia dini dan
dilaporkan berpotensi menganggu keberfungsian peran antara pekerjaan dan
keluarga (Namaguchi, 1997 dalam Haslam et al., 2014)
Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti pengaruh work family
conflict terhadap parenting self efficacy secara spesifik bukan hanya secara umum
yang kebanyakan penelitian hanya menyebutkan bahwa work family conflict
berdampak pada keberfungsian peran di keluarga secara umum dengan melibatkan
dimensi yang ada.
Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti menduga bahwa fatigue,
dukungan sosial, dan work family conflict akan signifikan pengaruhnya terhadap
parenting slef efficacy, dalam hal ini pada ibu bekerja yang memiliki anak usia
pra-sekolah. (lihat gambar 1.1)
2.6 Hipotesis Penelitian 2.6.1 Hipotesis mayor
Ha : Ada pengaruh yang signifikan antara fatigue, dukungan sosial, dan work
family conflict terhadap parenting self efficacy pada ibu bekerja yang
Fatigue
Gambar 1.1
Kerangka Pengaruh Fatigue, Dukungan Sosial dan Work Family Conflict Terhadap Parenting Self Efficacy
2.6.2 Hipotesis minor
Ha1 : Ada pengaruh yang signifikan antara fatigue terhadap parenting self
efficacy pada ibu bekerja yang memiliki anak usiapra-sekolah.
Ha2 : Ada pengaruh yang signifikan antara emotional support terhadap parenting
self efficacy pada ibu bekerja yang memiliki anak usiapra-sekolah.
Ha3 : Ada pengaruh yang signifikan antara instrumental support terhadap
parenting self efficacy pada ibu bekerja yang memiliki anak usia
pra-sekolah.
Parenting Self Efficacy
pada Ibu Bekerja dengan Anak Usia Pra-Sekolah Dukungan Sosial
Emotional support
Instrumental support
Informational support
Companionship support
Work Family Conflict
Time based conflict
Strain based conflict
Ha4 : Ada pengaruh yang signifikan antara informational support terhadap
parenting self efficacy pada ibu bekerja yang memiliki anak usia
pra-sekolah.
Ha5 : Ada pengaruh yang signifikan antara companionship support terhadap
parenting self efficacy pada ibu bekerja yang memiliki anak usia
pra-sekolah.
Ha6 : Ada pengaruh yang signifikan antara time based conflict terhadap parenting
self efficacy pada ibu bekerja yang memiliki anak usiapra-sekolah.
Ha7 : Ada pengaruh yang signifikan antara strain based conflict terhadap
parenting self efficacy pada ibu bekerja yang memiliki anak usia
pra-sekolah.
Ha8 : Ada pengaruh yang signifikan antara behavior based conflict terhadap
parenting self efficacy pada ibu bekerja yang memiliki anak usia