• Tidak ada hasil yang ditemukan

PARENTING SELF EFFICACY PADA IBU BEKERJA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PARENTING SELF EFFICACY PADA IBU BEKERJA"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)

Oleh :

Anjarwati Kusuma Ningrum NIM : 1111070000029

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

v

C) Anjarwati Kusuma Ningrum

D) Parenting Self Efficacy pada Ibu Bekerja dengan Anak Usia Pra-Sekolah E) xii + 116 Halaman

F) Penelitian ini menguji pengaruh fatigue, dukung sosial (dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan informasional, dan dukungan kebersamaan), dan work family conflict (time based conflict, strain based conflict, and behavior based conflict) terhadap parenting self efficacy pada ibu bekerja dengan anak usia pra-sekolah. Subjek penelitian ini berjumlah 164 ibu bekerja yang memiliki anak berusia 2-5 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh secara bersama-sama dari fatigue, dukungan sosial (dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan informasional, dukungan kebersamaan), dan work family conflict (time based conflict, strain based conflict, behavior based conflict)

terhadap parenting self efficacy pada ibu bekerja dengan anak usia pra-sekolah sebesar 31,6% dan hanya fatigue dan dukungan informasional yang memiliki pengaruh yang signifikan terhadap parenting self efficacy. Sementara itu, dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan kebersamaan, time based conflict, strain based conflict, dan behavior based conflict tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap parenting self efficacy akan dibahas pada bagian diskusi dan saran penelitian.

Kata kunci: fatigue, dukungan sosial, work family conflict, parenting self efficacy,

ibu bekerja.

(6)

vi

A) Faculty of Psychology B) November 2015

C) Anjarwati Kusuma Ningrum

D) Parenting Self Efficacy Among Working Mothers with Pre-school Aged Children

E) xii + 116 pages

F) The aim of this study is to examine the effect of fatigue, social support (emotional support, instrumental support, informatonal support, companionship support), and work family conflict (time based conflict, strain based conflict, behavior based conflict) toward parenting self efficacy among working mothers with pre-school aged children. The sample in this study were 164 working mothers. The result showed that fatigue, social support (emotional support, instrumental support, informational support, companionship support), and work family conflict (time based conflict, strain based conflict, behavior based conflict) have an effect (31,6%) toward parenting self efficacy among working mothers with pre-school aged children and indicated that only fatigue and informational support have a significant effect on parenting self efficaccy. Meanwhile, emotional support, instrumental support, companionship support, time based conflict, strain based conflict, and behavior based conflict have no significant effect on parenting self efficacy and it will be discussed in the discussion and suggestion on this paper.

Keywords: fatigue, social support, work family conflict, parenting self efficacy, working mothers

(7)

vii

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan

rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang

berjudul “Parenting Self Efficacy pada Ibu Bekerja dengan Anak Usia

Pra-Sekolah”. Penulis mengucapkan terimakasih atas bantuan dari berbagai pihak

dalam kelancaran penulisan skirpsi ini. Untuk itu, perkenankanlah penulis

mengucapkan rasa terimakasih yang tak terhingga kepada:

1. Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag, M.Si., Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan

kepada penulis untuk menuntut ilmu di fakultas ini.

2. Ibu Zulfa Indira Wahyuni, M.Psi, Psi., selaku dosen pembimbing yang telah

meluangkan waktu dan pikiran, memberikan bimbingan, arahan, nasihat,

motivasi serta masukan yang sangat berarti, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

3. Ibu Dr. Yunita Faela Nisa, M.Psi., selaku penasihat akademik yang telah

memberikan semangat dan membimbing penulis selama masa perkuliahan.

4. Seluruh dosen, staf akademik, dan petugas perpustakaan Fakultas Psikologi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan begitu banyak ilmu

pengetahuan, pelajaran dan dengan tulus membantu penulis dan teman-teman

(8)

viii

6. Untuk semua responden yang telah turut berpartisipasi dalam mengisi

kuesioner dalam penelitian ini, semoga Allah SWT membalas segala

kebaikan kepada para responden.

7. Teman-teman seperjuangan skripsi, Fadilah, Mia, dan Tama yang telah

memberikan semangat dan selalu memberikan masukan dan saran serta

menjadi teman berkeluh kesah selama masa bimbingan.

8. Sahabat-sahabat tercinta Dara, Adani, Rizka, Uyay, Uyuy, Dwi, Ega, Ana,

terkhusus untuk Faisal dan tentunya untuk keluarga besar kelas A 2011 yang

selalu memberikan saran dan nasihat serita memberikan berbagai kenangan

dan cerita yang tidak terlupakan selama masa perkuliahan.

9. Pihak terkait lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu yang juga

membantu penulis dalam penyusunan tugas akhir ini.

Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan karunia dan membalas

segala kebaikan-kebaikan untuk pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam

penyusunan tugas akhir ini. Semoga laporan penelitian ini dapat memberikan

sumbangan serta memberikan manfaat bagi semua pihak. Aamiin.

Jakarta, Januari 2016

(9)

ix

1.2 Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 12

1.2.1 Pembatasan Masalah ... 12

1.2.2 Perumusan Masalah ... 13

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 14

1.5.1 Tujuan Penelitian ... 14

1.5.2 Manfaat Penelitian ... 15

BAB 2 LANDASAN TEORI ... 16-38 2.1 Parenting Self Efficacy ... 16

2.1.1 Definisi parenting self efficacy ... 16

2.1.2 Indikator dan Pengukuran parenting self efficacy ... 20

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi parenting self efficacy ... 21

2.2 Fatigue ... 22

2.2.1 Definisi fatigue ... 22

2.2.2 Jenis-jenis fatigue ... 24

2.2.3 Pengukuran fatigue ... 25

2.3 Dukungan Sosial ... 25

2.3.1 Definisi dukungan sosial ... 25

2.3.2 Dimensi dukungan sosial ... 27

2.3.3 Pengukuran dukungan sosial ... 28

2.4 Work Family Conflict ... 29

2.4.1 Definisi work family conflict ... 29

2.4.2 Dimensi work family conflict ... 30

2.4.3 Pengukuran work family conflict ... 32

2.5 Kerangka Berfikir ... 32

2.6 Hipotesis Penelitian ... 36

2.6.1 Hipotesis mayor ... 36

2.6.2 Hipotesis minor ... 37

(10)

x

3.6.1 Uji validitas parenting self efficacy ... 46

3.6.2 Uji validitas fatigue ... 47

3.6.3 Uji validitas emotional support ... 49

3.6.4 Uji validitas instrumental support ... 50

3.6.5 Uji validitas informational support ... 51

3.6.6 Uji validitas companionship support ... 52

3.6.7 Uji validitas time based conflict ... 54

3.6.8 Uji validitas strain based conflict ... 55

3.6.9 Uji validitas behavior based conflict ... 56

3.7 Teknik Analisis Data ... 57

3.8 Prosedur Penelitian ... 60

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 62-75 4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 62

4.2 Hasil Analisis Deskriptif ... 64

4.2.1 Kategorisasi variabel ... 66

4.3 Hasil Uji Hipotesis ... 68

4.3.1 Uji hipotesis mayor ... 68

4.3.2 Uji hipotesis minor ... 70

4.4 Analisis Proporsi Varians pada Tiap Independent Variable ... 72

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ... 76-83 5.1 Kesimpulan ... 76

5.2 Diskusi ... 76

5.3 Saran ... 80

5.3.1 Saran teoritis ... 81

5.3.2 Saran praktis ... 82

(11)

xi

Tabel 3.3 Blue Print Alat Ukur Fatigue ... 43

Tabel 3.4 Blue Print Alat Ukur Dukungan Sosial ... 44

Tabel 3.5 Blue Print Alat Ukur Work Family Conflict ... 44

Tabel 3.6 Muatan Faktor Item Variabel Parenting Self Efficacy ... 47

Tabel 3.7 Muatan Faktor Item Variabel Fatigue ... 48

Tabel 3.8 Muatan Faktor Item Variabel Emotional Support ... 50

Tabel 3.9 Muatan Faktor Item Variabel Instrumental Support ... 51

Tabel 3.10 Muatan Faktor Item Variabel Informational Support ... 52

Tabel 3.11 Muatan Faktor Item Variabel Companionship Support ... 53

Tabel 3.12 Muatan Faktor Item Variabel Time Based Conflict ... 55

Tabel 3.13 Muatan Faktor Item Variabel Strain Based Conflict ... 56

Tabel 3.14 Muatan Faktor Item Variabel Behavior Based Conflict ... 57

Tabel 4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 62

Tabel 4.2 Deskripsi Statistik Variabel Penelitian ... 65

Tabel 4.3 Rumus Kategorisasi ... 66

Tabel 4.4 Kategorisasi Variabel ... 67

Tabel 4.5 R-Square ... 69

Tabel 4.6 Uji F ... 69

Tabel 4.7 Koefisien Regresi ... 70

(12)
(13)

1 BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Pada era modern yang seiring dengan perkembangan zaman, sudah

banyak hal mengalami kemajuan ataupun perubahan baik itu di bidang teknologi,

pendidikan, sosial, ataupun budaya. Salah satu perubahan yang jelas terlihat dan

semakin bertumbuh pesat adalah jumlah wanita bekerja.

Dalam satu dekade ini, partisipasi wanita di dunia kerja bertumbuh pesat

(Barker dalam Opie & Henn, 2013). Tren ini juga berlaku di Indonesia, sudah

banyak wanita yang berbondong-bondong bekerja di berbagai perusahaan ataupun

mengikuti berbagai organisasi (Kompas, 2011). Dari total populasi 112 juta

jumlah pekerja di Indonesia (data Badan Pusat Statistik tahun 2012), saat ini ada

43 juta pekerja perempuan yang membantu pertumbuhan ekonomi Indonesia

(Kompas, 2013).

Tren ibu bekerja di Indonesia ini diakibatkan karena para ibu ingin

membantu perekonomian keluarganya. Namun, berdasarkan data dari Badan Pusat

Statistik dari tahun 2000-2014 menyebutkan bahwa meningkatnya jumlah ibu

bekerja seiring dengan semakin meningkatnya tingkat pendidikan yang di tempuh

oleh kaum wanita.

Dengan bekerja, seorang wanita bisa memenuhi kebutuhannya untuk

(14)

ketika anak mulai sekolah, serta bisa menambah biaya untuk kebutuhan pribadi

mereka tanpa harus bergantung pada suami (Papalia, Olds, & Feldman, 2009).

Seorang ibu yang bekerja melakukan tiga peran sekaligus yaitu sebagai

seorang istri, seorang ibu di rumah, dan juga seorang pekerja di luar rumah.

Disinilah peran sebagai seorang ibu yang juga memiliki pekerjaan di luar rumah

menjadi hal yang perlu diperhatikan karena tanggung jawab yang begitu besar

atas tiga peran yang dilakukan sekaligus karena rentan mengalami stres dan juga

konflik (Opie & Henn, 2013).

Oleh karena itu, ibu bekerja juga disebutkan sangat rentan mengalami

konflik peran. Misalnya saja, dalam tulisan yang dimuat di salah satu surat kabar

yang mewawancarai seorang ibu yang bekerja, A (26 tahun) memiliki anak usia 5

tahun yang baru masuk pra-sekolah, menyatakan kesulitannya untuk membagi

waktunya antara pekerjaan dengan keluarga dan seringkali ia merasa bersalah

karena merasa kurang berperan sebagai seorang ibu karena pekerjaannya

(Kompas, 2011).

Konflik peran ini tentunya akan berdampak pada perkembangan anak

khususnya bagi ibu yang baru memiliki anak usia di bawah lima tahun. Salah satu

penelitian yang dilakukan oleh National Institute of Child Health and Human

Development (NICHD) dan National Longitudinal Survey of Youth (NLSY)

menunjukkan bahwa terdapat efek negatif pada perkembangan kognitif anak dan

perilaku yang ibunya kembali bekerja secara penuh pada tahun-tahun awal setelah

(15)

Dalam tahapan perkembangan anak, peran orang tua sangat dibutuhkan,

terutama pada usia pra-sekolah dengan rentang usia 2-5 tahun (Berk, 2004). Hal

ini diperkuat oleh ahli psikologi anak dari Amerika Serikat, Elizabeth B. Hurlock

(1980) yang menyatakan bahwa masa kanak-kanak merupakan masa yang

terpanjang dalam rentang kehidupan-saat dimana individu relatif tidak berdaya

dan bergantung pada orang lain. Sebagian besar orang tua menganggap masa pada

kanak-kanak awal sebagai usia yang mengundang masalah atau usia sulit, karena

pada masa ini anak-anak sedang mengembangkan kepribadian yang unik dan

menuntut kebebasan yang pada umumnya kurang berhasil.

Hurlock (1980) juga menyatakan tentang sebutan masa kanak-kanak di

kalangan para pendidik sebagai usia pra-sekolah atau pre-school masa dimana

anak-anak mempelajari dasar-dasar perilaku sosial sebagai persiapan bagi

kehidupan sosial yang lebih tinggi yang diperlukan untuk penyesuaian diri pada

waktu mereka masuk kelas satu.

Menurut Hurlock (1980) banyak ahli psikologi yang melabelkan awal

masa kanak-kanak sebagi usia menjelajah, sebuah label yang menunjukkan anak

ini mengetahui keadaan lingkungannya. Salah satu cara yang umum dalam

menjelajah lingkungan adalah dengan bertanya, jadi periode ini adalah meniru

pembicaraan dan perilaku orang lain. Berbagai hasil penelitian menyebutkan

bahwa masa usia dini merupakan periode emas bagi perkembangan anak dimana

50% perkembangan kecerdasan terjadi pada usia 0 – 4 tahun, 30% berikutnya

hingga usia delapan tahun. Periode emas ini sekaligus merupakan periode kritis

(16)

berpengaruh terhadap perkembangan pada periode berikutnya hingga masa

dewasanya.

Dalam keluargalah anak pertama kali mendapatkan pengalaman

belajarnya, dimana diketahui bahwa keluarga merupakan tempat belajar di luar

sekolah. Di dalam kehidupan keluarga ini terjadi interaksi, di dalamnya berupa

transmisi pengetahuan, keterampilan, sikap, nilai, dan kebiasaan (Sudjana, 2001).

Untuk itu, orang tua diharapkan untuk memberikan pengasuhan yang terbaik

kepada anak-anak karena pada masa ini adalah masa mendidik yang paling

penting dan efektif di sepanjang kehidupan manusia.

Namun perlu diketahui, bahwa tidak semua ibu yang bekerja memiliki

dampak negatif bagi anak. Tidak sedikit kisah ibu bekerja yang sukses pada

pekerjaannya dan juga berhasil mendidik anak-anaknya hingga menjadi

orang-orang sukses. Disebutkan bahwa ibu bekerja yang memperhatikan kualitas waktu

bersama anak merupakan orang tua yang lebih baik dibandingkan ibu yang selalu

berada di rumah (Aiken, 2002).

Beberapa diantaranya menyebutkan bahwa ternyata mayoritas ibu yang

bekerja memiliki parenting style (pola asuh) yang lebih efektif karena bisa

memberikan kontribusinya secara intelektual dan juga finansial untuk anak

mereka serta merasa puas dengan waktu yang mereka habiskan saat bersama

dengan anak (Sultana et al., 2013).

Kapasitas ibu yang mampu beradaptasi dengan keterampilan-keterampilan

sebagai orang tua seperti responsif terhadap kebutuhan anak, menyediakan

(17)

erat dengan adanya parenting self efficacy yang tinggi (Coleman & Karraker,

2000).

Jonhston dan Marsh (1989) memberikan definisi parenting self efficacy

yaitu sejauh mana orang tua merasa kompeten dan yakin dalam menangani urusan

pengasuhan anak. Parenting self efficacy juga disebutkan sebagai suatu keyakinan

yang merujuk pada perasaan kompetensi dalam menjalankan peran sebagai orang

tua atau persepsi atas kemampuannya untuk memberikan pengaruh positif

terhadap perilaku dan perkembangan anak (Coleman & Karraker, 2000).

Cukup penting rasanya untuk mengetahui parenting self efficacy yang

dimiliki oleh para orang tua, karena berdasarkan penelitian yang dilakukan

menyebutkan bahwa parenting self efficacy mempengaruhi beberapa variabel

yang berhubungan dengan perkembangan anak.

Beberapa penelitian tersebut, antara lain menyebutkan bahwa parenting

self efficacy secara langsung mempengaruhi keberhasilan anak melalui meniru

sikap dan keyakinan orang tua (Ardelt & Eccles’, 2001). Kemudian, parenting self

efficacy juga menjadi indikasi penting dalam tingkat kualitas pengasuhan (Raikes

& Thompson, 2005).

Pada penelitian terdahulu oleh Coleman dan Karraker (1998) yang

kemudian diteliti ulang oleh Jones dan Prinz pada 2005 melaporkan bahwa

parenting self efficacy menjadi faktor utama yang menjadi prediktor perilaku

positif orang tua selama menjalankan peran pengasuhan anak. Selanjutnya,

(18)

untuk melakukan pengasuhan secara produktif bagi anak mereka (Ontai & Sano,

2008).

Parenting self efficacy juga dijelaskan menjadi faktor untuk meningkatkan

kemampuan pengasuhan dan juga dukungan dalam menjalankan peran sebagai

orang tua (Bloomfield & Kendall, 2005). Penelitian lain yang mendukung akan

pentingnya parenting self efficacy menyebutkan bahwa hal tersebut juga

mempengaruhi praktek pengasuhan yang benar (Finlayson et al., 2007).

Orang tua dengan parenting self efficacy yang tinggi memiliki

kemungkinan yang lebih besar untuk melihat proses membesarkan anak sebagai

tantangan, dibandingkan sebagai ancaman (Sansom, 2010). Mereka percaya pada

kemampuan yang dimilikinya, menunjukkan ketekunan dalam menghadapi

kesulitan, dan lebih jarang mengalami stres dalam menghadapi tuntutan sebagai

orang tua (Sansom, 2010). Disisi lain, orang tua yang memiliki parenting self

efficacy yang rendah berhubungan dengan tingkat stres orang tua dan persepsi

terhadap anak yang sulit (Coleman & Karraker, 2000).

Secara lebih khusus, penelitian yang membahas parenting self efficacy

pada ibu bekerja yang tentunya memiliki peran ganda belum banyak dilakukan

(Osman, 2009). Namun, salah satu penelitian menyebutkan bahwa ibu bekerja

yang memiliki keyakinan atas kemampuannya untuk menjalankan perannya

sebagai orang tua memiliki pengaturan rumah tangga yang baik dan dapat

memberikan pengaruh yang positif terhadap kemampuannya dalam mengasuh

anak, parenting self efficacy akan membuat ibu bekerja tidak mudah stres dalam

(19)

mendorong dan menuntun orang tua dalam menjalankan peran tersebut sehingga

mampu menjalankan tanggung jawabnya (Bandura, 1997 dalam Salonen et al.,

2009).

Dari beberapa penelitian yang menjelaskan tentang berbagai pengaruh dan

juga hubungan dari parenting self efficacy terhadap beberapa variabel lain, penulis

tertarik untuk melihat faktor-faktor apa saja yang bisa mempengaruhi parenting

self efficacy. Dengan melihat urgensi yang ada pada variabel parenting self

efficacy khususnya pada ibu bekerja dalam menjalankan peran pengasuhan,

menjadi hal mendasar untuk mengawali penelitian yang dilakukan.

Salah satu kajian tentang parenting self efficacy yaitu berhubungan

dengan fatigue. Fatigue itu sendiri merupakan salah satu variabel psikologi yang

dikonseptualisasikan sebagai suatu kelelahan yang mempengaruhi fungsi kognitif,

emosi, dan psikomotor seseorang (Cooklin et al., 2011). Salah satu penelitian

menyebutkan bahwa fatigue dilaporkan lebih banyak terjadi pada ibu daripada

ayah (Cooklin et al., 2011).

Berdasarkan beberapa literatur menyebutkan fatigue banyak terjadi pada

ibu diakibatkan pengasuhan anak yang lebih intensif setiap harinya, khususnya

bagi ibu yang memiliki anak kecil (Elek et al., 2002; Fisher et al., 2002 dalam

Cooklin et al., 2011), buruknya kesehatan fisik akibat terlalu banyak kegiatan dan

tanggung jawab (Cooklin et al., 2011), banyaknya pekerjaan rumah tangga

disertai tidak ada bantuan dukungan untuk mengerjakan hal tersebut (Fisher et al.,

(20)

mengalami fatigue khususnya bagi ibu bekerja karena adanya peran ganda yang

tentunya lebih menguras banyak pikiran dan tenaga.

Selanjutnya, disebutkan juga bahwa semakin tinggi fatigue maka akan

semakin tinggi pula parenting stress dan juga semakin rendahnya parenting sense

of competence (PSOC) atau rendahnya parenting self efficacy, berkurangnya

kehangatan pada anak, dan juga semakin lebih mudah marah (Cooklin et al.,

2011).

Fatigue dilaporkan lebih banyak terjadi pada ibu dibandingkan ayah dan

juga dilaporkan lebih tinggi terjadi pada ibu yang memiliki lebih dari satu anak di

bawah 5 tahun (Cooklin et al.,2011). Fatigue juga turut mempengaruhi ibu dalam

mendisiplinkan anak pada usia 1-4 tahun secara langsung ataupun dimoderatori

oleh parenting self efficacy (Lesniowska et al.,2014)

Fatigue, depresi, dukungan sosial, dan kualitas tidur secara signifikan

berhubungan dengan parenting self efficacy (Giallo et al., 2011). Hubungan antara

fatigue dengan parenting self efficacy disebutkan dimediasi oleh parenting stress

(Giallo & Dunninga, 2012).

Fatigue juga disebutkan berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan

(Cooklin et al., 2011). Dampak fatigue pada fungsi psikologis seseorang telah

didokumentasikan dalam literatur kesehatan dan keselamatan pekerja yang

menyatakan berdampak pada konsentrasi, planning, pengambilan keputusan dan

juga fungsi kognitif (Cooklin et al., 2011). Fatigue juga menganggu kapasitas

orangtua untuk menjalankan peran pengasuhan secara optimal (Cooklin et al.,

(21)

Faktor yang juga disebutkan turut meningkatkan parenting self efficacy

yaitu dukungan sosial di keluarga yang sangat penting dalam perkembangan anak

(Gavazzi, 2013). Dukungan sosial merupakan persepsi atau pengalaman dimana

seseorang merasa dicintai, diperhatikan, berharga, dan bernilai (Will dalam

Taylor, 2004).

Kemudian, dukungan sosial dikatakan mengacu pada kenyamanan,

perhatian, penghargaan atau bantuan yang diberikan orang lain atau kelompok

kepada individu (Uchino dalam Sarafino, 2011). Sarafino juga membagi

dukungan dukungan sosial ke dalam empat dimensi yaitu; emotional support,

instrumental support, informational support, dan companionship support

(Sarafino, 2011).

Dukungan sosial dinyatakan dapat melindungi parenting self efficacy dari

dampak negatif yang diakibatkan oleh sumber stres dalam hidup (Raikes &

Thompson dalam Young, 2011).

Penelitian sebelumnya mengidentifikasi dukungan sosial sebagai faktor

yang bisa meningkatkan pengasuhan anak pada ibu (Teichman et al., 2002). Lebih

spesifik lagi disebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara

dukungan sosial dengan parenting practice dengan dimediasi oleh parenting self

efficacy ibu (Izzo et al., 2000).

Dukungan sosial sangat penting menjadi prediktor parenting behavior dan

hal ini dipengaruhi oleh parenting sel efficacy (Umana-Taylor et al., 2013). Pada

beberapa penelitian terdahulu juga telah disebutkan dukungan sosial secara positif

(22)

Lebih spesifik pada penelitian di Korea menemukan bahwa dukungan

sosial yang paling penting adalah dukungan instrumental dan emosional dari

suami (Phang & Lee, 2009). Dukungan sosial yang berasal dari suami merupakan

sumber dukungan yang memiliki hubungan paling besar dengan parenting self

efficacy (Halloway et al., 2005).

Selanjutnya, work family conflict merupakan topik yang bisa menjadi

faktor yang berhubungan dengan parenting self efficacy khususnya yang berkaitan

dengan keluarga –dalam hal ini perkembangan anak. Secara historis, work family

conflict menggambarkan keberfungsian satu pekerjaan dan berdampak negatif

pada pekerjaan lainnya (Haslam et al., 2014). Hal ini menjadi pembahasan

tersendiri bagi ibu bekerja.

Work family conflict didefinisikan sebagai kondisi yang dirasakan

seseorang karena salah satu peran (pekerjaan atau keluarga) menganggu peran

yang lain (keluarga atau pekerjaan) (Carlson et al., 2000). Work family conflict ini

terdiri dari tiga dimensi, yaitu; (Carlson et al., 2000)

Time based conflict, konflik yang terjadi karena waktu yang digunakan

untuk memenuhi satu peran tidak dapat digunakan untuk memenuhi peran lainnya

akibat adanya peran ganda. Kemudian, strain based conflict yaitu ketegangan

yang dihasilkan oleh salah satu peran membuat seseorang sulit untuk memenuhi

tuntutan peran yang lain sehingga menimbulkan tekanan, ketidakpuasan, dan

kelelahan. Terakhir adalah behavior based conflict yaitu konflik yang muncul

ketika suatu tingkah laku berperan secara efektif untuk satu peran tetapi tidak

(23)

Salah satu penelitian menyebutkan bahwa tingginya tingkat work family

conflict behubungan negatif pada kualitas pekerjaan dan keluarga (Byron, 2005

dalam Haslam et al., 2014). Orang tua yang rentan mengalami work family

conflict disebutkan terjadi pada orang tua yang memiliki anak usia dini dan

dilaporkan berpotensi menganggu keberfungsian peran antara pekerjaan dan

keluarga (Namaguchi, 1997 dalam Haslam et al., 2014)

Lebih spesifik lagi, work family conflict dijelaskan berhubungan negatif

dengan parenting self efficacy dan juga kualitas interaksi antara orang tua dengan

anak (Cinamon et al., 2007). Penulis belum menemukan penelitian yang

membahas tentang pengaruh work family conflict terhadap parenting self efficacy,

untuk itu penulis ingin meneliti pengaruh antara kedua variabel tersebut.

Hal ini didasarkan pada penelitian yang menyebutkan kesenjangan peran

ganda, khususnya yang dilakukan oleh ibu bekerja yang rentan terhadap work

family conflict memiliki banyak pengaruh pada efektivitas peran sebagai orang

tua, seperti yang disebutkan sebelumnya yang juga berkaitan dengan parenting

self efficacy (Coleman & Karraker, 2000).

Di awal penjelasan dalam latar belakang telah disebutkan beberapa

penelitian dan juga artikel yang berkaitan dengan ibu bekerja. Beberapa juga

disebutkan bahwa mayoritas masalah parenting self efficacy terjadi pada ibu

bekerja yang memiliki anak usiapra-sekolah.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah dikemukakan, maka

penulis tertarik untuk meneliti masalah parenting self efficacy pada ibu bekerja

(24)

1.2Pembatasan dan Rumusan Masalah 1.2.1 Pembatasan masalah

Masalah yang menjadi fokus pada penelitian ini dibatasi pada pengaruh fatigue,

dukungan sosial (emotional support, instrumental support, informational support,

companionship support), dan work family conflict (time based conflict, strain

based conflict, behavior based conflict) terhadap parenting self efficacy pada ibu

bekerja dengan anak usia pra-sekolah. Adapun pengertiannya adalah sebagai

berikut:

1. Parenting self efficacy yang akan diteliti yaitu sejauh mana orang tua merasa

kompeten dan yakin dalam menangani urusan pengasuhan anak dengan domain

yang akan diukur hanya general parenting self efficacy saja (Johnston & Mash,

1989).

2. Sampel yang akan diteliti adalah ibu yang bekerja dengan jam kerja penuh

waktu (full time) di kantor pemerintahan, sekolah, pabrik, ataupun perusahaan

yang memiliki anak usia pra-sekolah dengan rentang usia 2-5 tahun (Berk,

2004).

3. Fatigue dalam penelitian ini digambarkan sebagai suatu kelelahan bersifat

kumulatif dan ditunjukkan oleh penurunan kemampuan untuk melaksanakan

tugas serta penurunan perhatian terhadap stimulus dari lingkungan (Vries,

Michielsen, & Van Heck, 2003).

4. Dukungan sosial dalam penelitian diambil berdasarkan empat dimensi yang

dijelaskan oleh Sarafino (2011), yaitu; emotional support, instrumental

(25)

5. Work family conflict dalam penelitian ini diambil berdasakan tiga dimensi yang

ada yaitu time based conflict, strain based conflict, behavior based conflict

(Carlson, Kacmar, & Williams, 2000).

1.2.2 Perumusan masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah dalan penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Apakah fatigue, dukungan sosial, dan work family conflict secara

bersama-sama signifikan mempengaruhi parenting self efficacy pada ibu bekerja yang

memiliki anak usiapra-sekolah?

2. Apakah fatigue signifikan mempengaruhi parenting self efficacy pada ibu

bekerja yang memiliki anak usiapra-sekolah?

3. Apakah emotional support signifikan mempengaruhi parenting self efficacy

pada ibu bekerja yang memiliki anak usiapra-sekolah?

4. Apakah instrumental support signifikan mempengaruhi parenting self

efficacy pada ibu bekerja yang memiliki anak usiapra-sekolah?

5. Apakah informational support signifikan mempengaruhi parenting self

efficacy pada ibu bekerja yang memiliki anak usia pra-sekolah?

6. Apakah companionship support signifikan mempengaruhi parenting self

efficacy pada ibu bekerja yang memiliki anak usia pra-sekolah?

7. Apakah time based conflict signifikan mempengaruhi parenting self efficacy

pada ibu bekerja yang memiliki anak usia pra-sekolah?

8. Apakah strain based conflict signifikan mempengaruhi parenting self efficacy

(26)

9. Apakah behavior based conflict signifikan mempengaruhi parenting self

efficacy pada ibu bekerja yang memiliki anak usia pra-sekolah?

Dalam penelitian ini, mengukur rumusan masalah melalui pengukuran

masing-masing variabel terhadap parenting self efficacy.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaruh secara bersama-sama yaitu fatigue, dukungan

sosial, dan work family conflict terhadap parenting self efficacy pada ibu

bekerja yang memiliki anak usiapra-sekolah.

2. Untuk mengetahui pengaruh fatigue terhadap parenting self efficacy pada ibu

bekerja yang memiliki anak usiapra-sekolah.

3. Untuk mengetahui pengaruh emotional support terhadap parenting self

efficacy pada ibu bekerja yang memiliki anak usiapra-sekolah.

4. Untuk mengetahui pengaruh instrumental support terhadap parenting self

efficacy pada ibu bekerja yang memiliki anak usiapra-sekolah.

5. Untuk mengetahui pengaruh informational support terhadap parenting self

efficacy pada ibu bekerja yang memiliki anak usiapra-sekolah.

6. Untuk mengetahui pengaruh companionship support terhadap parenting self

efficacy pada ibu bekerja yang memiliki anak usiapra-sekolah.

7. Untuk mengetahui pengaruh time based conflict terhadap parenting self

(27)

8. Untuk mengetahui pengaruh strain based conflict terhadap parenting self

efficacy pada ibu bekerja yang memiliki anak usiapra-sekolah.

9. Untuk mengetahui pengaruh behavior based conflict terhadap parenting self

efficacy pada ibu bekerja yang memiliki anak usiapra-sekolah.

1.3.2 Manfaat penelitian

Manfaat penelitian ini dibagi menjadi dua hal, yaitu secara teoritis dan praktis:

1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai

pengembangan ilmu pengetahuan khususnya pada bidang kajian psikologi,

memberikan masukan dalam aplikasi teori-teori yang telah ada guna

memperluas wacana dalam bidang psikologi perkembangan, psikologi klinis,

dan juga psikologi industri organisasi.

2. Secara praktis, penelitian ini memiliki manfaat praktis, yakni untuk

memberikan informasi kepada ibu untuk meningkatkan self-efficacy dalam

menjalankan peran sebagai orang tua dan juga diharapkan para ibu bekerja

mampu menyeimbangkan peran mereka di rumah dan di lingkungan

pekerjaannya juga dapat memberikan saran kepada pemerintah, perusahaan,

kantor-kantor serta pihak terkait lainnya untuk memfasilitasi para ibu bekerja

dengan membuat program-program yang bisa meningkatkan kualitas

(28)

16

Dalam bab ini akan dibahas tentang teori-teori yang berkaitan dengan penelitian

yaitu: parenting self efficacy, fatigue, dukungan sosial, work family conflict,

definisi ibu bekerja, kerangka berfikir, dan hipotesis penelitian.

2.1 Parenting Self Efficacy

2.1.1 Definisi parenting self efficacy

Parenting self efficacy merupakan salah satu konsep yang berasal dari teori dasar

self efficacy (Sansom, 2010). Konsep umum self efficacy didefinisikan sebagai

keyakinan seseorang akan kemampuan yang dimiliki untuk menampilkan

keberhasilan suatu perilaku (Bandura, 1997 dalam Desjardin, 2003).

Menurut teori belajar sosial oleh Bandura, efficacy seseorang berasal dari

empat sumber utama (Desjardin, 2003). Pertama, pengalaman pribadi mengenai

keberhasilan atau kegagalan suatu perilaku, seperti tanggung jawab orang tua.

Kedua, yaitu vicarious experience seperti melihat orang lain mengerjakan atau

melakukan tugas-tugas pengasuhan. Ketiga, meliputi verbal persuation yaitu

menjelaskan tentang feedback secara verbal dalam hal pemberian informasi dari

seseorang agar suatu tugas ataupun perilaku dapat berhasil diselesaikan. Keempat,

yaitu emotional arousal berkaitan dengan psychological state, yaitu kondisi

perasaan individu yang muncul untuk mengantisipasi suatu kegagalan ketika

(29)

Bandura (dalam Desjardin, 2003) menyatakan bahwa self efficacy bukan

merupakan sesuatu yang umum, tetap, dan juga bukan sebuah trait kepribadian,

tetapi lebih dikonseptualisasikan sebagai suatu kompenen yang dinamis yang bisa

muncul secara otomatis.

Bandura (dalam Desjardin, 2003) mendefinisikan parenting self efficacy

sebagai persepsi orang tua akan kompetensinya dalam menjalankan peran orang

tua dan percaya bahwa kemampuannya bisa menyelesaikan tugas-tugas sebagai

orang tua. Definisi ini sejalan dengan konsep umum dari self efficacy yang

sebelumnya diungkapkan oleh Bandura, dimana orang tua yang merasa kompeten

mungkin memiliki tingkat motivasi yang lebih tinggi dalam menjalankan peran

pengasuhan (Desjardin, 2003). Berdasarkan definisi tersebut, secara implisit

dinyatakan bahwa seseorang yang memiliki pengetahuan tentang

perilaku-perilaku pengasuhan harus sejalan dengan kepercayaan akan kemampuan yang

dimilikinya untuk menampilkan perilaku tersebut secara efektif (Bandura dalam

Coleman & Karraker, 2003)

Perlu diketahui bahwa literatur yang berhubungan dengan self efficacy

sejalan dengan cara pandang dari Bandura (Desjardin, 2003). Selanjutnya dalam

konteks pengasuhan, Johnston dan Mash (1989) mendefinisikan parenting self

efficacy yaitu sejauh mana orang tua merasa kompeten dan yakin dalam

menangani urusan pengasuhan anak.

Parenting self-efficacy menjelasakan sejauh mana orang tua yakin tentang

kemampuan dan keefektifan mereka dalam menjalankan peran pengasuhan anak

(30)

keyakinan yang merujuk pada perasaan kompetensi dalam menjalankan peran

sebagai orang tua atau persepsi atas kemampuannya untuk memberikan pengaruh

positif terhadap perilaku dan perkembangan anak (Coleman & Karraker, 2000).

Coleman dan Karraker (2000) lebih banyak merujuk pada kemampuan diri

sebagai orang tua dari pihak ibu, atau biasa disebut sebagai maternal self efficacy.

Kemudian, parenting self efficacy dijelasakan sebagai perasaan kompeten

dalam peran parenting (Kuhn & Carter, 2006). Sedangkan, Ardelt dan Eccles

(2001) menyebutkan parenting self efficacy sebagai keyakinan orang tua terhadap

kemampuannya dalam mempengaruhi anak dan lingkungan yang akan

memberikan keberhasilam dan perkembangan anak.

Parenting self efficacy merupakan sebuah konstrak kognitif penting yang

berhubungan dengan keberfungsian anak dan keluarga yang kemudian

didefinisikan sebagai ekspektasi orang tua tentang kemampuan mereka untuk

menjadi orang tua yang berhasil menjalankan perannya (Jones & Prinz, 2005).

Dari beberapa definisi yang sudah dijelaskan oleh beberapa ahli tersebut,

maka penulis memilih definisi dari Johnston dan Mash (1989) yang mengartikan

parenting self efficacy yaitu sejauh mana orang tua merasa kompeten dan yakin

dalam menangani urusan pengasuhan anak.

Adapun parenting self efficacy yang dimaksud adalah parenting self

efficacy pada ibu bekerja yang memiliki anak usia pra-sekolah. Hal ini dapat

didefinisikan sejauh mana para ibu bekerja yang masih memiliki anak usia

pra-sekolah merasa kompeten dan yakin dalam menangani urusan pengasuhan anak

(31)

umur 0-18 tahun dan menjadi tenaga kerja (Lerner, 2001 dalam Widyasari &

Fridari, 2013).

Status sebagai ibu bekerja tentu saja memiliki dampak terhadap

pertumbuhan dan perkembangan anak, khususnya anak balita. Akibat jam kerja

yang full time, waktu kebersamaan atau quality time antara ibu dan anak pun akan

berkurang (Glick, 2002). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Soekirman

(dalam Glick, 2002), ibu yang bekerja selama lebih dari 40 jam perminggunya

memiliki dampak negatif bagi tumbuh kembang anak.

Menurunnya frekuensi waktu kebersamaan ibu dan anak juga disebabkan

oleh tipe kerja ibu. Ibu yang memiliki pekerjaan yang dikategorikan berat dengan

indikator tugas tugas-tugas yang dituntut di lingkungan kerja yang tinggi dan

banyak dapat mengalami kelelahan fisik. Akibatnya sesampainya ibu di rumah

terdapat kecenderungan mereka lebih memilih untuk berisitirahat daripada

mengurus anaknya terlebih dahulu.

Kriteria ibu bekerja yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu ibu yang

bekerja dan memiliki anak usia pra-sekolah, karena pada masa ini peran orang tua

khususnya ibu sangat dibutuhkan seperti yang dinyatakan oleh Elizabeth B.

Hurlock pada tahun 1980 bahwa masa kanak-kanak merupakan masa yang

terpanjang dalam rentang kehidupan-saat dimana individu relatif tidak berdaya

dan bergantung pada orang lain. Untuk itu, para ibu bekerja yang memiliki anak

dengan usia pra-sekolah dituntut untuk dapat memberikan pengasuhan yang

(32)

penting dan efektif di sepanjang kehidupan manusia dan hal ini berkaitan dengan

parenting self efficacy yang dimiliki ibu bekerja.

2.1.2 Indikator dan Pengukuran parenting self efficacy

Alat ukur parenting self efficacy yang telah banyak digunakan, antara lain adalah

1. Parenting Tasks IndexToddler Scale (SEPTITS) digunakan untuk

mengukur parenting self efficacy pada domain-specific dengan target sampel

yaitu tooddler (1-4 tahun). Alat ukur ini dikembangkan oleh Coleman dan

Karraker (2003) yang terdiri dari tujuh dimensi yaitu; emotional availability,

nurturance, protection, dicipline, play, teaching, instrumental care. Tujuh

dimensi ini disajikan ke dalam 53 item. Setiap item diukur menggunakan

enam poin skala likert (Coleman & Karraker, 2003). Alat ukur ini digunakan

bersamaan dengan pengukuran domain general self efficacy didasarkan pada

studi yang dilakukan oleh Coleman dan Karraker (2003), untuk mengukur

domain general parenting self efficacy menggunakan alat ukur Parenting

Sense of Competence Scale (PSOC).

2. The Maternal Efficacy Questionnare (MEQ) yang dikembangkan oleh Teti

dan Gefland pada tahun 1991 yang terdiri dari 94 item yang dibuat untuk

mengukur self efficacy beliefs yang berhubungan dengan domain task spesific

dalam pengasuhan anak (Teti & Gefland, 1991; Coleman & Karraker, 2003).

3. Parenting Sense of Competence Scale (PSOC) yang pertama kali

dikembangkan oleh Gibaud-Wallson dan Wandersman pada tahun 1978 yang

kemudian diinterpretasi kembali oleh Johnston dan Mash pada tahun 1989

(33)

1989) dan sub skala efficacy digunakan untuk mengukur parenting self

efficacy secara general yang terdiri dari 7 item. Walaupun alat ukur dengan

sub skala efficacy ini diciptakan untuk orang tua yang memiliki kanak-kanak

madya, namun konten dari item yang ada cukup umum sehingga sesuai untuk

orang tua yang memiliki anak toodler sehingga pada studi yang dilakukan

Coleman dan Karraker (2003) menggunakan alat ukur ini untuk domain

general parenting self efficacy.

Dari beberapa alat ukur parenting self efficacy yang ada, peneliti

mengadaptasi intrumen Parenting Sense of Competence Scale (PSOC) yang

dikembangkan oleh Johnston dan Mash pada tahun 1989 dengan sub skala

efficacy untuk mengukur variabel parenting self efficacy secara general. Indikator

yang digunakan untuk mengukur parenting self efficacy berdasarkan keyakinan

tentang menjadi ibu yang kompeten dalam hal pengasuhan anak. Pemilihan alat

ukur ini juga didukung pada studi yang dilakukan oleh Coleman dan Karraker

pada tahun 2003 yang menggunakan PSOC sebagai alat ukur untuk mengukur

domain general parenting self efficacy.

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi parenting self efficacy

Berikut ini merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan parenting

self efficacy berdasarkan tinjauan literatur, antara lain:

a) Fatigue

Fatigue dilaporkan menjadi faktor yang turut mempengaruhi parenting self

efficacy ibu yang kemudian berpengaruh dalam mendisiplinkan anak pada

(34)

(Lesniowska et al., 2014). Disebutkan juga bahwa fatigue pada orang tua

yang memiliki anak berumur 0-5 tahun memiliki skor yang tinggi dan

berhubungan dengan rendahnya parenting self efficacy (Cooklin et al.,, 2011

dalam Giallo & Dunninga, 2012).

b) Dukungan Sosial

Dukungan sosial disebutkan menjadi faktor yang mampu mempertahankan

parenting sel efficacy seseorang yang mungkin saja menurun akibat

sumber-sumber stres (Raikes & Thompson, 2005 dalam Young, 2011). Umana-Taylor

et al. (2003) juga menyebutkan dukungan sosial sebagai prediktor penting

dalam parenting behavior yang sebelumnya dipengaruhi oleh parenting self

efficacy.

c) Work Family Conflict

Work family conflict diesebutkan menjadi faktor yang mungkin turut

mempengaruhi parenting self efficacy. Namun penelitian sebelumnya hanya

menyebutkan bahwa work family conflict berhubungan negatif secara

signifikan dengan parenting self efficacy (Cinamon et al., 2007). Sebagian

besar penelitian hanya menggambarkan bahwa work family conflict

mempengaruhi keberfungsian peran antara pekerjaan dan keluarga

(Namaguchi, 1997 dalam Haslam et al., 2014).

2.2 Fatigue

2.2.1 Definisi fatigue

Pada dasarnya belum ada kriteria klinis ataupun definisi secara umum untuk

(35)

dikonseptualisasikan sebagai suatu kelelahan yang mempengaruhi fungsi kognitif,

emosi dan psikomotor seseorang (Cooklin et al., 2011).

Terjadinya Fatigue bukan diakibatkan oleh aktivitas sehari hari tetapi lebih

kepada berkurangnya kapasitas kerja baik mental ataupun fisik (Tidwell, 2008),

khususnya dialami oleh para pengasuh anak (Jensen & Given, 1991 dalam

Tidwell, 2008).

Tidwell (2008) juga menyatakan bahwa fatigue sering dialami oleh ibu

yang mengasuh anak yang sedang sakit karena takut akan terjadi penyakit yang

serius. Fatigue secara mental dan fisik ini kan berdampak pada pengasuhan yang

dilakukan oleh para ibu (Tidwell, 2008). Fatigue jugadisebutkan lebih berbahaya

dibandingan dengan kelelahan ‘tiredness’, karena tidak bisa hilang hanya dengan

beristirahat (North American Nursing Diagnosis Association, 2001 dalam

Dunning & Giallo, 2012).

Fatigue juga dikonseptualisasikan sebagai salah satu masalah kesehatan

yang berdampak pada fungsi kognitif, memori, dan juga pengambilan keputusan

(Hocket et al., 2000 dalam Giallo et al., 2011). Hal ini mengakibatkan fatigue

dianggap sebagai salah satu masalah kesehatan yang serius bagi orang tua,

khususnya bagi mereka yang sedang menjalankan pengasuhan anak (Fisher et al.,

dalam Giallo et al., 2011).

Institusi Kesehatan Nasional Amerika Serikat menggambarkan fatigue

sebagai merasa keletihan, kelelahan atau ketiadaan energi dan menyatakan bahwa

kelelahan yang terjadi berbeda dengan keadaan mengantuk sebagai suatu rasa

(36)

energi (Mubarok, 2007). Dinyatakan oleh institusi tersebut juga bahwa kelelahan

bisa merupakan tekanan emosional, kebosanan, atau kekurangan tidur (Mubarok,

2007).

Pada studi terdahulu penelitian tentang fatigue hanya dilakukan untuk

populasi yang spesifik seperti pasien kanker ataupun pasien sklerosis. Namun,

studi terbaru menunjukkan bahwa fatigue juga turut berperan pada populasi yang

umumnya sehat atau tidak ada penyakit tertentu (Michielsen et al., 2003).

Kelelahan yang dialami pada dasarnya merupakan suatu kelelahan bersifat

kumulatif dan ditunjukkan oleh penurunan kemampuan untuk melaksanakan tugas

serta penurunan perhatian terhadap stimulus dari lingkungan (Michielsen et al.,

2003). Michielsen et al. (2003) juga menyatakan bahwa bahwa fatigue merupakan

symptom kelelahan yang umum atau tidak spesifik yang bisa terjadi pada populasi

umum akibat dari aktivitas yang dilakukan.

Dari beberapa definisi yang telah dijabarkan mengenai fatigue, maka dapat

dijelaskan fatigue merupakan kelelahan bersifat kumulatif dan ditunjukkan oleh

penurunan kemampuan untuk melaksanakan tugas serta penurunan perhatian

terhadap stimulus dari lingkungan (Vries, Michielsen, Van Heck, 2003).

2.2.2 Jenis-jenis fatigue

Fatigue dibedakan menjadi dua jenis, yaitu (Grandjean, 1979);

1. Muscular Fatigue

Merupakan fenomena yang terjadi di otot yang mengalami stres dan

terlokalisasi di sana. Ketika otot manusia distimulasi berulang dalam periode

(37)

kontraksi) menjadi semakin panjang, kontraksi dan relaksasi menjadi

memendek, serta berkurangnya ketinggian pengangkatan beban.

2. Mental Fatigue

Yakni sensasi general bercampur aduk yang diikuti perasaan malas dan

enggan dalam melakukan aktivitas apapun. Perasaan ini akan menjadi

mengganggu apabila tidak ada kesempatan istirahat yang bisa menjadi

mekanisme pertahanan alami agar tidak terlalu lelah.

2.2.3 Pengukuran fatigue

Sampai saat ini penulis hanya menemukan satu alat ukur untuk mengukur fatigue

yang dikembangkan oleh Vries, Michielsen, dan Van Heck pada tahun 2003 yang

memiliki 10 item dan merupakan pengukuran unidimensional, yaitu Fatigue

Assesment Scale (FAS). Maka dari itu, penulis menggunakan FAS sebagai alat

ukur yang digunakan untuk mengukur fatigue pada penelitian ini.

2.3 Dukungan Sosial

2.3.1 Definisi dukungan sosial

Dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan, seseorang membutuhkan

dukungan sosial. Dukungan sosial dikatakan mengacu pada kenyamanan,

perhatian, penghargaan atau bantuan yang diberikan orang lain atau kelompok

kepada individu (Sarafino, 2006). Sarafino juga membagi dukungan dukungan

sosial ke dalam empat dimensi yaitu; emotional support, instrumental support,

informational support, dan compinionship support (Sarafino, 2011).

Menurut Will (dalam Taylor, 2004) dukungan sosial merupakan persepsi

(38)

bernilai. Sarason, Sarason & Pierce (1991) mendefinisikan dukungan sosial

sebagai kenyamanan fisik dan psikologis yang diberikan oleh orang-orang yang

memiliki hubungan spesifik. Dukungan sosial adalah pertukaran bantuan antara

dua individu yang berperan sebagai pemberi dan penerima (Shumaker & Browne,

1984 dalam Wong et al., 1984).

Senada dengan Will, Taylor (2004) mengatakan dukungan sosial merupakan

bentuk pemberian informasi serta merasa dirinya dicintai dan diperhatikan,

terhormat dan dihargai, serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi dan

kewajiban timbal balik dari orang tua, kekasih/kerabat, teman, jaringan

lingkungan sosial serta dalam lingkungan masyarakat.

Dukungan sosial yang kita terima dapat bersumber dari berbagai pihak.

Kahn & Antonoucci (dalam Orford, 1992) membagi sumber-sumber dukungan

sosial, yaitu:

a) Sumber dukungan sosial yang berasal dari orang-orang yang selalu ada

sepanjang hidupnya, yang selalu bersama dengannya dan mendukungnya.

Misalnya: keluarga dekat, pasangan (suami atau istri), atau teman dekat.

b) Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sedikit berperan

dalam hidupnya dan cenderung mengalami perubahan sesuai dengan waktu.

Sumber dukungan ini meliputi teman kerja, sanak keluarga, dan teman

sepergaulan.

c) Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sangat jarang

memberi dukungan dan memiliki peran yang sangat cepat berubah. Meliputi

(39)

Dari beberapa sumber dukungan sosial yang dijelaskan, dukungan yang bersal

dari kelurga yang dapat memberikan efek yang sangat besar bagi fungsi psikologi

seseorang (Taylor, 2004).

Sarason et al. (1990) lebih jauh lagi mengatakan bahwa dukungan sosial

selalu mencakup dua hal penting, yaitu persepsi bahwa ada sejumlah orang yang

dapat diandalkan oleh individu pada saat ia membutuhkan bantuan dan derajat

kepuasan akan dukungan yang diterima berkaitan dengan persepsi individu bahwa

kebutuhannya terpenuhi.

Dari beberapa definisi yang dijelaskan oleh para ahli maka peneliti memilih

teori dari Sarafino yang mendefinisikan bahwa dukungan sosial mengacu pada

kenyamanan, perhatian, penghargaan atau bantuan yang diberikan orang lain atau

kelompok kepada individu (Sarafino, 2011).

2.3.2 Dimensi dukungan sosial

Sarafino (2011) membagi dukungan sosial ke dalam empat bentuk, yaitu;

a) emotional support, dapat berupa ungkapan empati, perhatian, maupun

kepedulian terhadap individu yang bersangkutan.

b) instrumental support, yang merupakan dukungan berupa batuan secara nyata

yang bisa mendukung pekerjaan atau aktivitas sehari hari.

c) informational support, dukungan berupa nasihat, pengarahan, feed back,

mengenai hal-hal yang dilakukan oleh individu.

d) companionship support, yaitu dukungan yang berupa adanya kebersamaan,

(40)

2.3.3 Pengukuran dukungan sosial

Alat ukur dukungan sosialyang telah banyak digunakan, antara lain adalah:

1. Social Support Questionnaire (SSQ) yang dikembangkan oleh Sarason,

Levine, Basham, dan Sarason pada tahun 1981 dan paling banyak digunakan

untuk mengukur dukungan sosial. Alat ukur ini terdiri dari 27 item.

2. Berlin Social Support Scale (BSSS) yang dikembangkan oleh Schulz &

Schwarzer pada tahun 2003 terdiri dari delapan item yang dikukur melalui

empat poin skala likert (Shakespeare-Finch & Patricia, 2011).

3. 2-Way Social Support Scale (2-way SSS) yang dikembangkan oleh

Shakespeare-Finch dan Patricia pada tahun 2011 yang terdiri dari 29 item

yang dibentuk untuk mengukur emotional support, recieving intrumental

support, giving emotional support, dan giving instrumental support

(Shakespeare-Finch & Patricia, 2011).

Dari beberapa alat ukur yang ada, penulis memilih untuk mengkonstruk sendiri

alat ukur berdasarkan teori dari Sarafino (2011) dengan menggunakan empat

dimensi yang ada yaitu;

a) emotional support, dapat berupa ungkapan empati, perhatian, maupun

kepedulian terhadap individu yang bersangkutan.

b) instrumental support, yang merupakan dukungan berupa batuan seraca nayata

yang bisa mendukung pekerjaan atau aktivitas sehari hari.

c) informational support,dukungan berupa nasihat, pengarahan, feed back,

(41)

d) companionship support, yaitu dukungan yang berupa adanya kebersamaan,

kesediaan, dengan mengerjaan aktivitas secara bersamaan.

2.4 Work Family Conflict

2.4.1 Definisi work family conflict

Carlson, Kacmar, dan Williams (2000) menyatakan work-family conflict adalah

kondisi yang dirasakan seseorang karena salah satu peran (pekerjaan atau

keluarga) menganggu peran yang lain (keluarga atau pekerjaan).

Work-family conflict adalah salah satu dari bentuk interrole conflict yaitu

tekanan atau ketidakseimbangan antara peran di dalam pekerjaan dengan peran di

dalam keluarga (Greenhaus & Beutell, 1985).

Dalam teori peran menunjukkan bahwa sebagai karyawan yang loyal

kepada perusahaan, mereka cenderung memiliki sedikit waktu dan tenaganya

untuk mengabdi kepada pasangan dan tanggung jawab mereka di dalam keluarga

(Hochschild, 1997).

Menurut Greenhaus dan Beutell (1985) work-family conflict memiliki sifat

yang bidirectional. Tekanan dari peran pekerjaan dan keluarga bisa terjadi secara

simultan di kedua arah. Artinya, tuntutan peran yang berlebihan dari domain kerja

(yaitu jam kerja, jadwal kerja yang fleksibel, dll) dapat mengakibatkan konflik

dari tanggung jawab pekerjaan yang mengganggu tanggung jawab terhadap

keluarga (work-to-family conflict).

Demikian pula, peran yang di tuntut dari domain keluarga (yaitu mengurus

anak, pekerjaan rumah tangga, dll) dapat mengakibatkan konflik dari tanggung

(42)

family-to-work conflict). Oleh karena itu, efek gabungan dari work-to-family conflict dan

family-to-work conflict pada akhirnya menghasilkan keseluruhan tingkat

work-family conflict yang dialami oleh seseorang (Greenhaus & Beutell, 1985).

Meskipun konflik dari pekerjaan ke keluarga (work-to-family conflict) dan

konflik dari keluarga ke pekerjaan (family-to-work conflict) telah dibedakan

secara konseptual (Greenhaus & Beutell, 1985), namun sebagian besar penelitian

telah menilai bahwa hanya pekerjaan yang dapat mengganggu peran dalam

keluarga di bawah istilah umum work family conflict (Netemeyer, 1996).

Dari beberapa definisi tersebut dapat dijelaskan bahwa work family

conflict secara mendasar oleh Carlson, Kacmar, dan Williams (2000) yaitu kondisi

yang dirasakan seseorang karena salah satu peran (pekerjaan atau keluarga)

menganggu peran yang lain (keluarga atau pekerjaan).

2.4.2 Dimensi work-family conflict

Menurut Carlson, Kacmar, dan Williams (2000) work-family conflict terdiri dari

dimensi yaitu:

1. Time based conflict

Time based conflict adalah konflik yang terjadi karena waktu yang digunakan

untuk memenuhi satu peran tidak dapat digunakan untuk memenuhi peran

lainnya, artinya pada saat yang bersamaan seorang yang mengalami konflik peran

ganda tidak akan bisa melakukan dua atau lebih peran sekaligus. Menurut Staines

dan O'Connor (1980) peran ganda mungkin dapat menyulitkan dan seolah

berlomba mendapatkan prioritas dari seseorang yang mengalaminya. Time based

(43)

a. Tuntutan waktu dari peran yang satu membuat individu secara fisik tidak

dapat memenuhi ekspektasi dari peran yang lain.

b. Adanya tuntutan waktu dapat menyebabkan individu terokupasi dengan peran

yang satu pada saat seharusnya individu mencoba memenuhi tuntutan peran

yang lain (Bartolome & Evans, dalam Greenhaus & Beutell, 1985).

2. Strain based conflict

Strain based conflict yaitu ketegangan yang dihasilkan oleh salah satu peran

membuat seseorang sulit untuk memenuhi tuntutan peran yang lain sehingga

menimbulkan ketegangan bagi individu dalam bentuk ketidakpuasan, tekanan,

kecemasan, dan kelelahan.

Strain based conflict masuk dalam salah satu domain yang mengakibatkan

ketegangan baik fisik maupun psikologis sehingga menghambat kinerja peran

dalam domain lain.

3. Behavior based conflict

Behavior based conflict adalah konflik yang muncul ketika suatu tingkah laku

berperan secara efektif untuk satu peran namun tidak efektif digunakan untuk

peran yang lain. Sebagai contoh, perilaku agresif, konfrontatif dan asertif dalam

penyelesaian masalah yang yang diinginkan pada konteks pekerjaan mungkin

tidak pantas diterapkan dalam lingkungan keluarga di mana pendekatan penuh

kehangatan, pola asuh yang baik dan kolaboratif lebih diinginkan (Greenhaus &

(44)

2.4.3 Pengukuran work family conflict

Pengukuran work family conflict pada penelitian ini menggunakan skala yang

dikembangkan oleh Carlson, Kacmar, dan Williams (2000) yang terdiri dari 18

item.

2.5 Kerangka Berpikir

Kemampuan orang tua dalam menjalankan peran pengasuhan anak sangat

penting bagi tumbuh kembang anak, khususnya pada masa-masa awal

pertumbuhan atau biasa disebut golden age karena pada masa ini adalah masa

yang paling krusial dalam tumbuh kembang anak. Dalam tahapan perkembangan

anak, peran orang tua sangat dibutuhkan, terutama pada usia pra-sekolah. Hal ini

diperkuat oleh ahli psikologi anak dari Amerika Serikat, Elizabeth B. Hurlock

(1980) yang menyatakan bahwa masa kanak-kanak merupakan masa yang

terpanjang dalam rentang kehidupan-saat dimana individu relatif tidak berdaya

dan bergantung pada orang lain. Untuk itu, orang tua diharapkan untuk

memberikan pengasuhan yang terbaik kepada anak-anak karena pada masa ini

adalah masa mendidik yang paling penting dan efektif di sepanjang kehidupan

manusia.

Pada masa tersebut, orang tua dituntut untuk mempu beradaptasi dengan

keterampilan-keterampilan sebagai orang tua seperti responsif terhadap kebutuhan

anak, menyediakan stimulasi, mempersiapkan lingkungan pengasuhan yang

mendukung perkembangan anak. Hal ini sangat berkaitan erat dengan adanya

parenting self efficacy yang dimiliki oleh orang tua (Coleman & Karraker, 2000).

(45)

mana orang tua merasa kompeten dan yakin dalam menangani urusan pengasuhan

anak.

Dari beberapa penelitian yang mengungkap akan pentingnya parenting self

efficacy, setidaknya terdapat tiga faktor yang dapat mempengaruhinya, antara lain;

fatigue, dukungan sosial, dan juga work family conflict.

Fatigue secara umum didefinisikan sebagai suatu kelelahan. Fatigue

sebagai variable psikologi dikonseptualisasikan sebagai suatu kelelahan yang

mempengaruhi fungsi kognitif, emosi dan psikomotor seseorang (Cooklin et al.,

2011).

Menurut beberapa literatur menyebutkan fatigue banyak terjadi pada ibu

diakibatkan pengasuhan anak yang lebih intensif setiap harinya, khususnya bagi

ibu yang memiliki anak kecil (Fisher et al., 2002), buruknya kesehatan fisik akibat

terlalu banyak kegiatan dan tanggung jawab (Parks et al., 1999 dalam Bayer et al.,

2007), banyaknya pekerjaan rumah tangga disertai tidak ada bantuan dukungan

untuk mengerjakan hal tersebut (Fisher et al., 2002).

Berkaitan dengan parenting self efficacy disebutkan bahwa semakin tinggi

fatigue, maka semakin rendah parenting self efficacy yang dimiliki seseorang. Hal

ini diperkuat oleh penelitian lain bahwa fatigue mengganggu kapasitas orang tua

untuk menjalankan peran pengasuhan secara optimal (Cooklin et al., 2011).

Selanjutnya, berdasarkan beberapa penelitian, penulis berasumsi bahwa

dukungan sosial juga turut mempengaruhi parenting self efficacy. Menurut

(46)

penghargaan atau bantuan yang diberikan orang lain atau kelompok kepada

individu (Sarafino, 2011).

Sarafino juga membagi dukungan dukungan sosial ke dalam empat dimensi

yaitu; Emotional support, dapat berupa ungkapan empati, perhatian, maupun

kepedulian terhadap individu yang bersangkutan. Instrumental support, yang

merupakan dukungan berupa bantuan secara nyata yang bisa mendukung

pekerjaan atau aktivitas sehari hari. Informational support, dukungan berupa

nasihat, pengarahan, feedback, mengenai hal-hal yang dilakukan oleh individu.

Companionship support, yaitu dukungan yang berupa adanya kebersamaan,

kesediaan, dengan mengerjaan aktivitas secara bersamaan.

Salah satu literatur menyebutkan bahwa dukungan sosial dinyatakan dapat

melindungi parenting self efficacy dari dampak negatif yang diakibatkan oleh

sumber stres dalam hidup (Raikes & Thompson, 2005 dalam Young, 2011).

Penelitian sebelumnya mengidentifikasi dukungan sosial sebagai faktor

yang bisa meningkatkan pengasuhan anak pada ibu (Teichman et al., 2002). Lebih

spesifik lagi disebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara

dukungan sosial dengan parenting behavior dengan dimediasi oleh parenting self

efficacy padaibu (Izzo et al., 2000).

Dukungan sosial sangat penting menjadi prediktor parenting behavior dan

hal ini dipengaruhi oleh parenting sel efficacy (Taylor et al., 2013). Pada beberapa

penelitian terdahulu juga telah disebutkan dukungan sosial secara positif

(47)

Lebih spesifik pada penelitian di Korea ditemukan bahwa dukungan sosial

yang paling penting adalah dukungan instrumental dan emosional dari suami

(Phang & Lee, 2009). Dukungan sosial yang berasal dari suami merupakan

sumber dukungan yang memiliki hubungan paling besar dengan parenting self

efficacy (Halloway et al., 2005).

Parenting self efficacy juga dipengaruhi oleh faktor work family conflict

yang lebih banyak menekankan pada peran ganda pada pekerjaan dan juga di

keluarga. Hal ini berkaitan dengan target penelitian yang dilakukan yaitu ibu

bekerja. Carlson, Kacmar, dan Williams (2000) menyatakan work family conflict

adalah kondisi yang dirasakan seseorang karena salah satu peran (pekerjaan atau

keluarga) menganggu peran yang lain (keluarga atau pekerjaan).

Work family conflict ini terdiri dari tiga dimensi, yaitu; time based conflict,

konflik yang terjadi karena waktu yang digunakan untuk memenuhi satu peran

tidak dapat digunakan untuk memenuhi peran lainnya akibat adanya peran ganda.

Kemudian strain based conflict, yaitu ketegangan yang dihasilkan oleh salah satu

peran membuat seseorang sulit untuk memenuhi tuntutan peran yang lain

sehingga menimbulkan tekanan, ketidakpuasan, dan kelelahan. Terakhir adalah

behavior based conflict, yaitu konflik yang muncul ketika suatu tingkah laku

berperan secara efektif untuk satu peran tetapi tidak efektif digunakan untuk peran

lainnya (Carlsonet al., 2000).

Berdasarkan literatur yang ada, penulis belum menemukan bagaimana

pengaruh work family conflict terhadap parenting self efficacy. Namun, salah satu

(48)

dengan parenting self efficacy dan juga kualitas interaksi antara orang tua dengan

anak (Cinamon et al., 2007).

Penelitian lain hanya menyebutkan bahwa tingginya tingkat work family

conflict behubungan negatif pada kualitas pekerjaan dan keluarga (Byron, 2005

dalam Haslam et al., 2014). Kemudian, orang tua yang rentan mengalami work

family conflict disebutkan terjadi pada orang tua yang memiliki anak usia dini dan

dilaporkan berpotensi menganggu keberfungsian peran antara pekerjaan dan

keluarga (Namaguchi, 1997 dalam Haslam et al., 2014)

Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti pengaruh work family

conflict terhadap parenting self efficacy secara spesifik bukan hanya secara umum

yang kebanyakan penelitian hanya menyebutkan bahwa work family conflict

berdampak pada keberfungsian peran di keluarga secara umum dengan melibatkan

dimensi yang ada.

Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti menduga bahwa fatigue,

dukungan sosial, dan work family conflict akan signifikan pengaruhnya terhadap

parenting slef efficacy, dalam hal ini pada ibu bekerja yang memiliki anak usia

pra-sekolah. (lihat gambar 1.1)

2.6 Hipotesis Penelitian 2.6.1 Hipotesis mayor

Ha : Ada pengaruh yang signifikan antara fatigue, dukungan sosial, dan work

family conflict terhadap parenting self efficacy pada ibu bekerja yang

(49)

Fatigue

Gambar 1.1

Kerangka Pengaruh Fatigue, Dukungan Sosial dan Work Family Conflict Terhadap Parenting Self Efficacy

2.6.2 Hipotesis minor

Ha1 : Ada pengaruh yang signifikan antara fatigue terhadap parenting self

efficacy pada ibu bekerja yang memiliki anak usiapra-sekolah.

Ha2 : Ada pengaruh yang signifikan antara emotional support terhadap parenting

self efficacy pada ibu bekerja yang memiliki anak usiapra-sekolah.

Ha3 : Ada pengaruh yang signifikan antara instrumental support terhadap

parenting self efficacy pada ibu bekerja yang memiliki anak usia

pra-sekolah.

Parenting Self Efficacy

pada Ibu Bekerja dengan Anak Usia Pra-Sekolah Dukungan Sosial

Emotional support

Instrumental support

Informational support

Companionship support

Work Family Conflict

Time based conflict

Strain based conflict

(50)

Ha4 : Ada pengaruh yang signifikan antara informational support terhadap

parenting self efficacy pada ibu bekerja yang memiliki anak usia

pra-sekolah.

Ha5 : Ada pengaruh yang signifikan antara companionship support terhadap

parenting self efficacy pada ibu bekerja yang memiliki anak usia

pra-sekolah.

Ha6 : Ada pengaruh yang signifikan antara time based conflict terhadap parenting

self efficacy pada ibu bekerja yang memiliki anak usiapra-sekolah.

Ha7 : Ada pengaruh yang signifikan antara strain based conflict terhadap

parenting self efficacy pada ibu bekerja yang memiliki anak usia

pra-sekolah.

Ha8 : Ada pengaruh yang signifikan antara behavior based conflict terhadap

parenting self efficacy pada ibu bekerja yang memiliki anak usia

Gambar

Gambar 1.1 Kerangka Pengaruh Parenting Self Efficacy Fatigue, Dukungan Sosial dan Work Family Conflict Terhadap
Tabel 3.1
Tabel 3.3 Blue Print Skala Fatigue
Tabel 3.5
+7

Referensi

Dokumen terkait

Coleman dan Karraker (2000) mengembangkan lima domain parenting self efficacy yang disesuaikan dengan tugas pengasuhan orang tua pada tahap perkembangan anak usia

Hasil penelitian Porter & Hui-Chin (2003) menemukan bahwa ibu yang memi- liki parenting self-efficacy tinggi memiliki kemampuan yang lebih baik dalam melaku- kan tugas

Hubungan yang rendah antara dukungan sosial dan parenting self-efficacy yang dimiliki orang tua anak dengan ASD menunjukkan bahwa ada faktor lain yang mempengaruhi

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara keberfungsian keluarga dengan parenting

Berdasarkan rumusan permasalahan utama, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan parenting self-efficacy yang signifikan pada ibu dengan status sosial ekonomi

Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antara parenting self-efficacy dan dukungan sosial namun dari sudut pandang lain, yaitu dukungan sosial secara

GAMBARAN BREASTFEEDING SELF-EFFICACY PADA IBU MENYUSUI USIA REMAJA SKRIPSI Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Skripsi Oleh ANNISSA SEPTIANPITA PUTRI

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa SEPP berbasis teknologi memiliki efektivitas dan meningkatkan parenting self efficacy Program pendidikan seperti itu sangat penting untuk