• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Parenting Self-Efficacy Pada Ibu dengan Status Sosial Ekonomi Menengah Ke Atas dan Bawah yang Memiliki Anak Usia Kanak-Kanak Madya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perbedaan Parenting Self-Efficacy Pada Ibu dengan Status Sosial Ekonomi Menengah Ke Atas dan Bawah yang Memiliki Anak Usia Kanak-Kanak Madya"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Perbedaan Parenting Self-Efficacy Pada Ibu dengan Status Sosial Ekonomi

Menengah Ke Atas dan Bawah yang Memiliki Anak Usia Kanak-Kanak Madya

Yufa Azmi Madieni, Erniza Miranda Madjid, Efriyani Djuwita Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

ABSTRAK

Penelitian bertujuan melihat ada tidaknya perbedaan parenting self-efficacy yang signifikan antara ibu dengan status sosial ekonomi menengah ke atas dan bawah yang memiliki anak usia kanak-kanak madya, baik secara keseluruhan maupun per domain. Partisipan penelitian in berjumlah 81 orang, yang terdiri dari ibu dengan status sosial ekonomi menengah ke atas (n= 40) dan ibu dengan status sosial ekonomi bawah (n= 41). Seluruh partisipan mengisi Self-Efficacy Parenting for Tasks Index (Coleman & Karraker, 2000). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara parenting self-efficacy ibu dengan status sosial ekonomi menengah ke atas dan bawah yang memiliki anak usia kanak-kanak madya (0.000 pada L.O.S 0.05). Ditinjau berdasarkan kelima domain parenting self-efficacy juga menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara ibu dengan status sosial ekonomi menengah ke atas dan bawah yang memiliki anak usia kanak-kanak madya. Domain tertinggi parenting self-efficacy, baik pada ibu dengan status sosial ekonomi menengah ke atas dan ibu dengan status sosial ekonomi bawah adalah domain kesehatan. Sedangkan domain terendah pada pada ibu dengan status sosial ekonomi menengah ke atas adalah domain prestasi dan domain terendah pada pada ibu dengan status sosial ekonomi bawah adalah domain disiplin. Analisis tambahan menemukan perbedaan yang signifikan antara parenting self-efficacy dan usia saat menikah, tingkat pendidikan ibu, tingkat pendidikan ayah, pekerjaan ayah, dan pengeluaran keluarga per bulan.

Kata Kunci: ibu dengan anak usia kanak madya; parenting self-efficacy; status sosial ekonomi

ABSTRACT

Study aims to investigate the difference of parenting self-efficacy between mothers of middle childhood children based on socioeconomic status, as a whole and each of its domain. Participants were 81 mothers of middle childhood children, that consisted of mothers with upper-middle socioeconomic status (n= 40) and mothers with low socioeconomic status (n= 41). All subjects completed Self-Efficacy Parenting for Tasks Index (Coleman & Karraker, 2000). The results of this research revealed significant difference between groups (0.000 on L.O.S 0.05). Based on each domain also revealed significant difference between groups. The highest domain of parenting self-efficacy on each group was discipline. Meanwhile the lowest domain in upper-middle SES group was achievement and the lowest domain in lower SES group was discipline. Additional findings include significant correlation between parenting self-efficacy and the age of married, mother’s education, father’s education, father’s occupation, and family outcome per month.

(2)

Pendahuluan

Status sosial ekonomi merupakan topik yang cukup sering disorot dalam beberapa studi terkait perkembangan manusia, termasuk studi mengenai parenting. Parenting adalah suatu rangkaian interaksi yang berkelanjutan di antara orangtua dan anak, yaitu sebuah proses yang menyebabkan perubahan pada kedua belah pihak. Orangtua sebagai figur yang memegang peran penting dalam proses perkembangan anak, dituntut untuk memelihara, melindungi, dan menuntun anak seiring dengan perkembangannya (Brooks, 2008). Dalam menjalankan tugas parenting, status sosial ekonomi, yang dibentuk berdasarkan tingkat pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan orangtua memiliki pengaruh dalam proses parenting. Status sosial ekonomi itu sendiri membentuk beragamnya kelompok berdasarkan tingkatan status sosial ekonominya. Adanya perbedaan status sosial ekonomi ini tentunya memengaruhi dinamika yang terjadi dalam keluarga. Beberapa literatur memaparkan hubungan antara status sosial ekonomi dengan beberapa aspek-aspek perkembangan, seperti hubungan status sosial ekonomi dengan tujuan (goal) orangtua terhadap anak, hubungan emosional antara orangtua dan anak, serta hal-hal lainnya terkait praktik orangtua dalam mengasuh anak (Hoff, Laursen, & Tardif, 2002).

Akan tetapi, faktanya, di Indonesia masih banyak penduduk yang berada pada golongan status sosial ekonomi bawah. Berdasarkan pencatatan Badan Pusat Statistik jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Mei 2012 mencapai 29,89 juta orang atau sekitar 12,36 persen dari total populasi penduduk (Badan Pusat Statistik, 2012). Keluarga miskin ini termasuk dalam golongan status sosial ekonomi bawah, yang pada umumnya mengalami kekurangan sumber daya materi yang memadai, seperti kesulitan makan, ketidakstabilan tempat tinggal, dan tidak adanya jaminan kesehatan (Gershoff et al, 2007).

Kekurangan sumber daya dapat menyebabkan orangtua mengalami peningkatan stress dalam menghadapi tantangan kehidupan sehari-hari, khususnya dalam mengasuh anak (Brooks, 2008). Adanya tekanan ekonomi ini membuat orangtua sulit untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, terutama kebutuhan anak dan kerap kali ditemukan menjadi penghalang utama bagi orangtua untuk melakukan tugas parenting terhadap anak dengan perhatian penuh. Padahal, orangtua berperan penting dalam mengasuh anak. Pada keluarga dengan status sosial ekonomi bawah, orangtua harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari demi kelangsungan hidup keluarganya. Hal tersebut menyebabkan mereka sering tidak memperhatikan pentingnya parenting (Ahmed, 2005).

(3)

Orangtua dengan status sosial ekonomi bawah kurang optimal dalam menyediakan sumber daya, baik berupa finansial ataupun waktu yang cukup bagi anak. Rendahnya tingkat pendidikan orangtua dengan status sosial ekonomi bawah menyebabkan mereka kesulitan mencari pekerjaan, yang tentunya berdampak pada kondisi ekonominya. Tekanan ekonomi pada orangtua dengan status sosial ekonomi bawah tidak saja berdampak pada kurangnya pemenuhan kebutuhan sumber daya bagi anak, namun juga dapat menyebabkan adanya ketegangan psikologis pada orangtua (Raver & Leadbeater, 1999). Keadaan tersebut membuat orangtua tidak dapat menjalankan tugas parenting secara optimal, sehingga dapat memengaruhi kualitas parenting yang dilakukan oleh orangtua.

Sementara itu, orangtua dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi pada umumnya tingkat pendidikan, pendapatan, dan pekerjaan orangtua lebih tinggi. Ketiga faktor tersebut, terutama tingkat pendidikan ibu memengaruhi strategi yang digunakan oleh ibu dalam mendidik dan berkomunikasi dengan anak pada saat menjalankan proses parenting (Hoff, Laursen, & Tardif, 2002). Dengan memiliki pendidikan dan pendapatan yang tinggi maka orangtua mampu menyediakan fasilitas dan kesempatan yang dapat menstimulasi anak dengan baik, seperti keamanan lingkungan, kualitas nutrisi, stimulus dalam lingkungan rumah, pakaian, perawatan anak diluar rumah, akses pendidikan dan sekolah. Hal tersebut juga dibuktikan dengan hasil penelitian Zevalkink dan Riksen-Walraven (2001) terhadap ibu di Indonesia, yang menunjukan bahwa ibu yang lebih berpendidikan dan memiliki pendapatan yang lebih tinggi cenderung lebih sensitif dan memberikan perhatian terhadap keluarganya. Selain itu kualitas lingkungan hidup mereka juga lebih baik ditunjukan dengan penyediaan fasilitas permainan yang relatif aman dan pengaturan bermain yang terstruktur bagi anak-anak mereka.

Disisi lain, terdapat kondisi lain pada orangtua dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi yang pada umumnya memiliki aktivitas pekerjaan yang lebih luas, karena tingginya tingkat pendidikan mereka. Dalam Collins (1987) disebutkan yang termasuk kedalam golongan kelompok ekonomi kelas menengah keatas antara lain manager pada perusahaan besar, profesional (pengacara, professor, doctor, scientists, arsitek), dan pegawai negeri pemerintah. Sebagian besar dari mereka cenderung memiliki tuntutan pekerjaan yang lebih tinggi dan bekerja pada dalam waktu yang lebih lama, dibandingkan dengan orang-orang yang bekerja di level bawah (Jackson, Choi, dan Bentler, 2009). Hal ini diperkuat pula berdasarkan data statistik di Indonesia (Kementrian Pembedayaan dan Pelindungan Anak, 2011) yang menyatakan bahwa rata-rata jam

(4)

kerja kepala rumah tangga miskin selama 37,7 jam seminggu. Sedangkan kepala rumah tangga tidak miskin bekerja selama 41,6 jam seminggu. Lebih lanjut, menurut Whitbeck, Simons, Conger, Wickrama, Ackley, dan Elder (1997) kondisi pekerjaan juga turut mempengaruhi efek psikologis pada orangtua, seiring dengan berkurangnya waktu dan energi mereka. Dengan begitu, kemungkinan keterlibatan orangtua dalam menjalankan proses parenting menjadi lebih terbatas karena adanya tuntutan dan waktu bekerja yang lebih lama sehingga dapat memberikan pengaruh negatif, yaitu masalah perilaku anak (Jackson, Choi, dan Bentler, 2009).

Dapat dilihat bahwa dalam menjalankan proses parenting, baik orangtua dengan status sosial ekonomi menengah ke atas maupun orangtua dengan status sosial ekonomi bawah memiliki kebutuhan serta tantangan yang berbeda. Untuk dapat memenuhi kebutuhan serta menghadapi tantangan tersebut, perlu adanya keyakinan individu mengenai kemampuannya dalam melakukan tingkah laku tertentu, yang berdasarkan teori Bandura disebut self efficacy. Self efficacy didefinisikan sebagai keyakinan seseorang terhadap kemampuannya dalam melakukan tingkah laku tertentu dengan baik (Bandura dalam Coleman & Karraker, 1997). Dalam konteks parenting, konstruk ini dikenal dengan parenting self-efficacy, yaitu penilaian orangtua mengenai kompetensi dan kemampuannya dalam menjalankan peran sebagai orangtua (Coleman & Karakker, 2000). Parenting self-efficacy merupakan komponen kognitif orangtua yang mendasari bentuk perilaku orangtua terhadap anaknya, yang akan memengaruhi perkembangan dan pertumbuhan anak. Dengan memiliki parenting self-efficacy orangtua akan merasa yakin bahwa dirinya mampu menerapkan praktik parenting yang efektif dan memberikan pengaruh positif terhadap anaknya. Beberapa penelitian dalam Coleman dan Karraker (2000) juga menunjukan ibu yang memiliki parenting self-efficacy yang tinggi akan memiliki kemampuan yang positif dalam memenuhi kebutuhan anak, memiliki interaksi orangtua dan anak yang positif, dapat membantu anak dalam menghadapi masalah, dan dapat memerankan perannya sebagai ibu yang baik.

Pembentukan parenting self-efficacy itu sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya yaitu tingkat kognitif yang dimiliki oleh orangtua (Coleman & Karraker, dalam Saracho & Spodek, 2005). Faktor kognitif orangtua berkaitan dengan pendidikan yang juga memiliki keterkaitan dengan pekerjaan dan penghasilan orangtua. Berdasarkan penelitian Coleman dan Karraker (2000), dilaporkan ibu dengan tingkat pendidikan dan penghasilan yang lebih tinggi, memiliki parenting self-efficacy yang cenderung lebih tinggi. Hal ini dikarenakan ketika ibu memiliki pendapatan yang tinggi mereka memiliki kemampuan yang lebih besar untuk

(5)

menyediakan fasilitas, pengalaman, dan kesempatan yang lebih baik bagi anak dalam menjalankan kegiatan sehari-harinya. Sementara itu terkait dengan pendidikan, semakin tingginya pendidikan ibu maka semakin tinggi pula keyakinan dalam memandang kemampuan dirinya untuk menjalankan pengasuhan anak. Hal ini disebabkan karena mereka memiliki pemahaman yang lebih dan dapat berkomunikasi dengan gurunya secara mudah, membantu tugas sekolah anak, dan membantu kesuksesan aktivitas anak (Allison; Yamamoto, dalam Holloway, Suzuki, Yamamoto, & Behrens, 2002).

Kompetensi orangtua untuk dapat menjalankan tugas parenting tidak lepas dari faktor status sosial ekonomi keluarga. Hal ini sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya, yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukan adanya hubungan antara status sosial ekonomi dan parenting self-efficacy (Brody et al, 1999;. Penatua et al, 1995;. Jackson, 2000, Jackson & Huang, 2000, dalam Holloway, Suzuki, Yamamoto, & Behrens, 2002).

Secara umum, tugas perkembangan yang penting bagi anak usia kanak-kanak madya adalah seputar mempelajari kemampuan dasar dalam bidang akademis, yaitu melalui pengalaman di sekolah, dan secara sosial dihargai oleh orang lain, yaitu melalui hubungan dengan peer (Coleman & Karraker, 2000). Berdasarkan tugas perkembangan anak tersebut, orangtua perlu memiliki kecakapan untuk dapat mengajari dan memfasilitasi anak dalam konteks kehidupan yang lebih luas, khususnya terkait sekolah, mengajarkan nilai-nilai moral dan disiplin yang tepat pada anak, dan juga orangtua perlu menjelaskan sudut pandangnya sendiri pada anak (Martin & Colbert, 1997). Maka penting bagi orangtua untuk memiliki parenting self-efficacy agar mereka memiliki keyakinan untuk dapat memenuhi tugas pengasuhan dengan baik dan dapat memberikan pengaruh positif bagi perkembangan anak.

Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa dalam menjalankan proses parenting, parenting self-efficacy merupakan hal yang penting untuk dimiliki oleh para orangtua, khususnya ibu, agar dapat memberikan pengasuhan yang positif. Adanya perbedaan kondisi parenting berdasarkan status sosial ekonomi, maka dalam penelitian ini masalah yang dirumuskan adalah 1. Apakah terdapat perbedaan parenting self-efficacy pada ibu dengan status sosial ekonomi

menengah ke atas dan bawah yang memiliki anak usia kanak-kanak madya?

2. Apakah terdapat perbedaan domain-domain parenting self-efficacy pada ibu dengan status sosial ekonomi menengah ke atas dan bawah yang memiliki anak usia kanak-kanak madya?

(6)

Tinjauan Teoritis

Parenting Self-Efficacy

Parenting self-efficacy adalah penilaian orangtua terhadap kompetensi diri mengenai perannya sebagai orangtua atau persepsi orangtua tentang kemampuan mereka dalam memberikan pengaruh yang positif terhadap perilaku dan perkembangan anaknya (Coleman & Karraker, 2000). Dalam konsep parenting self-efficacy, khususnya pada anak usia sekolah menurut Coleman dan Karraker (2000) orangtua perlu memiliki keyakinan dalam lima domain tugas parenting. Kelima domain tersebut terkait dengan tugas perkembangan anak usia kanak-kanak madya yang meliputi domain discipline (disiplin), domain achievement (prestasi), domain recreation (rekreasi), domain nurturance (pengasuhan), dan domain health (kesehatan).

Pembentukan parenting self-efficacy itu sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor (Coleman & Karraker, dalam Saracho & Spodek, 2005), meliputi pengalaman masa kecil orangtua, budaya dan komunitas (lingkungan sekitar), pengalaman orangtua dengan anak-anak, tingkat kesiapan kognitif maupun perilaku untuk menjadi orangtua, dan dukungan sosial dan pernikahan.

Parenting Task Anak Usia Kanak-Kanak Madya

Anak pada masa ini lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah serta diluar pengawasan orangtua. Oleh karena itu tugas parenting orangtua menyesuaikan aktivitas dan perkembangan anak, (Brooks, 2008) antara lain: (1) Menjadi lebih penuh perhatian, tersedia serta responsif dan menjadi model perilaku yang diinginkan, (2) Mengatur rumah dan rutinitas sehari-hari sehingga anak-anak memiliki gaya hidup sehat, (3) Mengawasi dan membimbing perilaku anak-anak dari kejauhan, (4) Mendorong keterampilan baru, kegiatan baru, dan memunculkan minat dalam pertemananan, (5) Berpartisipasi dalam kegiatan anak-anak di luar rumah dengan cara yang mendukung, (6) Menjadi penerjemah bagi pengalaman anak di lingkungan sosial yang lebih luas, (7) Menjadi advokat bagi anak dengan otoritas pada saat berada di luar rumah, (8) Mempertahankan ritual keluarga, dan (9) Berbagi aktivitas santai yang menyenangkan.

Status Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi merupakan salah satu faktor utama yang berpengaruh dalam praktik parenting dan perkembangan anak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Status sosial pada orangtua memengaruhi sumber ekonomi dan kualitas material pada kehidupan anak, meliputi

(7)

keamanan lingkungan, kualitas nutrisi, stimulus dalam lingkungan rumah, pakaian, perawatan anak diluar rumah, akses pendidikan dan sekolah. Disamping itu, interaksi orangtua dengan anak, pola asuh, parenting belief, dan long-term socialization goal berhubungan dengan status sosial ekonomi. Perbedaan tingkat status sosial ekonomi akan menghasilkan pengalaman, prestasi akademik dan kemampuan kognitif anak, kesehatan, dan fungsi sosioemosional yang berbeda-beda (Duncan & Brooks-Gunn; McLyoyd, dalam Leyendecker, Harwood, Comparini, & Yalcinkaya, 2005). Adanya perbedaan status sosial ekonomi, maka berbeda pula konteks lingkungan orangtua tinggal. Hal tersebut memengaruhi pengalaman orangtua, terutama dalam hal parenting. Secara langsung maupun tidak langsung tentunya dapat memberikan dampak terhadap anak.

Terdapat beberapa pendekatan yang digunakan dalam mengklasifikasikan status sosial ekonomi di masyarakat. Schiffman & Kanuk (2010) mengklasifikasikan kelas sosial ekonomi menjadi enam kategori, yaitu: (1) Kelas sosial ekonomi sangat atas (elite); (2) Kelas sosial ekonomi atas; (3) Kelas sosial ekonomi menengah keatas; (4) Kelas sosial ekonomi menengah; (5) Kelas sosial ekonomi menengah kebawah; (6) Kelas sosial ekonomi bawah.

Metodologi Penelitian Subjek Penelitian

Karakteristik partisipan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Ibu yang memiliki anak usia kanak-kanak madya (usia anak 5-12 tahun)

2. Berasal dari golongan sosial ekonomi menengah keatas dengan kategori: (a) Pengeluaran orangtua diatas Rp 2,000,001 per bulan; (b) Pendidikan orangtua minimal D3; (c) Mempunyai kendaraan sendiri, memiliki alat elektronik primer, penghasilan keluarga ditabung dalam bentuk barang atau uang, semua anak bersekolah

3. Berasal dari golongan sosial ekonomi bawah dengan kategori: (a) Pengeluaran orangtua dibawah Rp 700,000 per bulan; (b) Pendidikan orangtua maksimal SMA atau sederajat

Alat Ukur

Alat ukur yang digunakan adalah SEPTI (Self-Efficacy for Parenting Tasks Index) yang dikembangkan oleh Coleman& Karraker (2000). Alat ukur SEPTI terdiri dari 36 item, mencakup kelima domain parenting self-efficacy pada orang tua yang memiliki anak usia madya, yaitu discipline, achievement, recreation, nurturance, dan health. Alat ukur ini sudah diterjemahkan oleh

(8)

Dra. Erniza Miranda Madjid, M.Si dan Nana Nisrina, kemudian dilakukan uji coba oleh kelompok penelitian payung parenting self-efficacy tahun 2012. Berdasarkan uji coba tersebut, alat ukur SEPTI ini telah terbukti reliabel, termasuk nilai reliabilitas tiap dimensinya. Secara keseluruhan diperoleh koefisien Cronbach’s alpha sebesar .918. Sementara itu hasil reliabilitas setiap dimensi adalah: prestasi = .791, rekreasi = .738, disiplin = .718, pengasuhan = .674, kesehatan = .865. Untuk mengukur respon yang dimunculkan, setiap item dalam alat ukur ini dinilai menggunakan 6 poin skala Likert, dengan pilihan respon yang bersifat kontinum dari Sangat Sesuai hingga Sangat Tidak Sesuai.

Variabel Penelitian

Variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah parenting self-efficacy. Secara konseptual, definisi dari parenting self-efficacy adalah penilaian orangtua terhadap kompetensi diri mengenai perannya sebagai orangtua atau persepsi orangtua tentang kemampuan mereka dalam memberikan pengaruh yang positif terhadap perilaku dan perkembangan anaknya. Secara operasional, definisi parenting self-efficacy adalah total skor dari seluruh dimensi parenting self-efficacy yang diperoleh dari pengisian kuesioner alat ukur SEPTI.

Pengumpulan Data

Proses pengambilan data dilakukan dengan dua metode yang berbeda. Untuk sampel ibu dengan status sosial ekonomi menengah ke atas, peneliti menyebarkan kuesioner dengan cara menitipkan kepada relasi yang mempunyai kenalan atau saudara yang sesuai dengan karakteristik partisipan penelitian. Selain itu peneliti juga menyebarkan kuesioner melalui pesan elektronik ( e-mail), serta meminta mereka untuk mengirimkan kembali kuesioner yang telah diisi. Sementara itu, untuk sampel ibu dengan status sosial ekonomi bawah peneliti membacakan serta menjelaskan tiap item satu per satu, dengan menggunakan panduan daftar istilah.

Analisa Data

Untuk menjawab masalah penelitian, maka seluruh kuesioner yang telah diisi disortir kedalam dua kelompok yaitu kelompok ibu dengan status sosial ekonomi menengah ke atas dan bawah (sesuai dengan karakteristik). Seluruh data kemudian diolah dengan metode statistik analisis diskriminan (Independent sample t-test) untuk melihat perbedaan skor rata-rata parenting

(9)

self-efficacy secara keseluruhan dan dalam setiap dimensi. Sementara itu, untuk mengetahui signifikansi perbedaan skor rata-rata parenting self-efficacy berdasarkan data demografis antara dua kelompok atau lebih sebagai satu variabel terhadap variabel yang lain menggunakan One-Way Analysis of Variance (ANOVA).

Hasil

Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan parenting self-efficacy yang signifikan antara ibu dengan status sosial ekonomi menengah ke atas dan ibu dengan status sosial ekonomi bawah (t = -4.924, p =0.000 < 0.05). Skor rata-rata parenting self-efficacy ibu dengan status sosial ekonomi menengah ke atas lebih tinggi secara signifikan daripada ibu dengan status sosial ekonomi bawah. Dengan demikian, hipotesis alternatif (Ha) diterima dan hipotesis null (Ho) ditolak. Berikut tabel hasil perhitungan perbedaan parenting self-efficacy ibu dengan status sosial ekonomi menengah ke atas dan ibu dengan status sosial ekonomi bawah.

Kelompok N Mean Signifikansi Keterangan

SES Menengah Ke Atas 40 170.70 p = 0.000

Signifikan SES Bawah 41 148.93 t = -4.924

Dibawah ini tabel perhitungan perbedaan parenting self-efficacy ibu dengan status sosial ekonomi menengah ke atas dan ibu dengan status sosial ekonomi bawah, ditinjau dari setiap domain.

Domain Kelompok N Mean Signifikan Keterangan

Discipline SES Menengah Ke Atas 40 34.75 p = 0.000 Signifikan SES Bawah 41 27.85 t = 4.723

Achievement SES Menengah Ke Atas 40 33.12 p = 0.001 Signifikan SES Bawah 41 28.54 t = 3.489

Recreation SES Menengah Ke Atas 40 33.58 p = 0.000 Signifikan SES Bawah 41 29.17 t = 4.377

Nurturance SES Menengah Ke Atas 40 33.72 p = 0.010 Signifikan SES Bawah 41 31.15 t = 2.643

Health SES Menengah Ke Atas 40 35.52 p = 0.002 Signifikan SES Bawah 41 32.22 t = 3.261

(10)

Hasil dari perhitungan setiap domain menunjukan terdapat perbedaan yang signifikan skor rata-rata parenting self-efficacy ibu dengan status sosial ekonomi menengah ke atas dan ibu dengan status sosial ekonomi bawah, ditinjau dari setiap domainnya. Pada kelima domain ibu dengan status sosial ekonomi menengah ke atas memiliki rata-rata skor yang lebih tinggi ibu dengan status sosial ekonomi bawah. Pada domain discipline didapatkan (t = 4.723, p = 0.000 < 0.05). Untuk domain achievement didapakan (t = 3.489, p = 0.001 < 0.05). Untuk domain recreation didapatkan (t = 4.377, p = 0.000 < 0.05). Untuk domain nurturance didapatkan (t = 2.643, p = 0.010 < 0.05). Dan, pada domain health didapatkan (t = 3.261, p = 0.002 < 0.05).

Sementara itu, berdasarkan hasil tambahan didapatkan terdapat perbedaan yang signifikan antara skor rata-rata parenting self-efficacy dengan usia ibu menikah (t = -4.086, p = 0.000 < 0.05), tingkat pendidikan ibu(F = 8.496, p = 0.000 < 0.05), tingkat pendidikan ayah (F = 6.887, p = 0.000 < 0.05), pekerjaan ayah (F = 2.212, p = 0.032 < 0.05), dan pengeluaran keluarga per bulan (F = 5.231, p = 0.000 < 0.05).

Pembahasan

Dari hasil dan analisis penelitian, diketahui bahwa parenting self-efficacy ibu dengan status sosial ekonomi menengah ke atas lebih tinggi secara signifikan dengan parenting self-efficacy ibu dengan status sosial ekonomi bawah. Hasil penelitian ini membuktikan pernyataan Coleman dan Karraker (2000) bahwa faktor konteks situasional dalam menjalankan proses parenting, meliputi status sosial ekonomi orang tua memiliki hubungan dengan parenting self-efficacy. Pernyataan tersebut diperkuat dengan hasil penelitian sebelumnya yang juga dilakukan di Indonesia, menemukan bahwa terdapat hubungan antara faktor ekonomi terhadap parenting self-efficacy (Meliala, 2012). Selanjutnya, penelitian yang dilakukan di Negara barat maupun Negara maju, seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang juga menemukan hubungan antara status sosial ekonomi dan parenting self-efficacy, yang menunjukkan bahwa pada ibu miskin ataupun status sosial ekonomi bawah memiliki parenting self-efficacy yang lebih rendah (Jackson, Choi, & Bentler, 2009; Jackson, 2000; Brody, Flor, & Gibson, 1999; Holloway, Yamamoto, Behrens, 2002).

Pada ibu dengan status sosial ekonomi bawah memiliki skor parenting self-efficacy yang lebih rendah seiring dengan tingginya tingkat stress yang dialami ibu (Jackson, 2000). Mereka menghadapi ketegangan psikologis karena berusaha memenuhi kebutuhan anak, namun dengan

(11)

sumber daya dan dukungan yang terbatas (Belle, dalam Raver & Leadbeater, 1999). Berdasarkan penelitian Bugental et al (dalam Coleman & Karraker, 1997) menunjukkan bahwa ibu dengan parenting self-efficacy yang rendah cenderung berfokus pada kesulitan yang dialaminya. Kesulitan yang dialami oleh ibu dengan status sosial ekonomi bawah antara lain, finansial yang kurang mencukupi, tempat tinggal yang kurang baik, lingkungan sekitar yang kurang aman (Raver & Leadbeater, 1999). Mereka mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti makanan, akomodasi, pakaian, pendidikan, perawatan kesehatan, transportasi, dan rekreasi (Ahmed, 2005). Hal ini juga didukung oleh hasil analisa tambahan penelitian ini yang mendapatkan bahwa terdapat hubungan antara pengeluaran ibu dengan parenting self-efficacy. Sebagian besar partisipan ibu dengan status sosial ekonomi bawah memiliki pengeluaran keluarga per bulan Rp 700 ribu – Rp 1,5 juta. Kondisi finansial yang terbatas ini menyebabkan ibu dengan status sosial ekonomi bawah pada umumnya memiliki keyakinan yang kurang dalam menjalankan kelima domain tugas parenting, meliputi discipline, achievement, recreation, nurturance, dan health (Coleman & Karraker, 2000). Sementara itu, pada partisipan ibu dengan status sosial ekonomi menengah ke atas, memiliki tingkat pendapatan keluarga yang lebih tinggi, yang dalam penelitian ini dilihat berdasarkan pengeluaran keluarga per bulan. Dengan tersedianya sumber daya finansial maka dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Mereka mampu menyediakan peralatan yang baik, pengalaman menyenangkan, dan juga kesempatan bagi anak. Dengan begitu, hal tersebut dapat meningkatkan parenting self-efficacy (Coleman & Karraker, 2000).

Adanya perbedaan parenting self-efficacy pada ibu dengan status sosial ekonomi menengah ke atas dan bawah tersebut disebabkan karena adanya perbedaan karakteristik antara ibu dengan status sosial ekonomi menengah ke atas dan ibu dengan status sosial ekonomi bawah, salah satunya tingkat pendidikan ibu. Berdasarkan hasil penelitian ini, partisipan ibu dengan status sosial ekonomi menengah ke atas memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi, yang berasal dari perguruan tinggi. Sedangkan tingkat pendidikan partisipan ibu dengan status sosial ekonomi bawah lebih rendah. Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan Coleman dan Karraker (dalam Saracho & Spodek, 2005) bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi parenting self-efficacy adalah tingkat kesiapan kognitif orangtua. Orang tua dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi dipengaruhi oleh perkembangan mengenai teori perkembangan anak. Mereka lebih cepat dalam merespon perkembangan informasi tersebut. Dengan adanya pengetahuan mengenai perkembangan anak, orang tua memiliki strategi yang lebih baik dalam menjalankan proses parenting (Hoff,

(12)

Laursen, & Tardif, 2002). Adanya kesiapan kognitif ini menyebabkan ibu dengan status sosial ekonomi menengah ke atas memiliki skor parenting self-efficacy yang lebih tinggi. Disisi lain, sebagian besar ibu dengan status sosial ekonomi bawah yang menjadi partisipan dalam penelitian ini tingkat pendidikannya adalah Sekolah Dasar (SD). Rendahnya tingkat pendidikan ini membuat mereka sering mengalami kesulitan dalam membimbing anak, terutama terkait dengan kegiatan akademik anak. Selain itu, dengan rendahnya tingkat kognitif ibu juga menyebabkan kurangnya penyediaan stimulasi kognitif bagi anak di lingkungan rumah, seperti dalam hal akademis dan bahasa (McLoyd, 1998).

Dari analisis gambaran domain parenting self-efficacy, skor rata-rata tertinggi baik pada ibu dengan status sosial ekonomi menengah ke atas maupun ibu dengan status sosial ekonomi bawah adalah domain health. Tingginya skor rata-rata pada domain ini di kedua kelompok karena kesehatan merupakan hal yang utama bagi manusia, begitu pula kesehatan anak bagi orangtua. Untuk dapat memenuhi tugas perkembangannya pada usia kanak-kanak madya, maka kesehatan pada anak sangat diperlukan. Ditambah lagi, pada tahapan ini anak juga lebih banyak terlibat dalam aktivitas fisik dan olahraga (Papalia, Old, & Feldman, 2009).

Pada ibu dengan status sosial ekonomi bawah, tingginya skor pada domain health ini kemungkinan juga disebabkan karena mayoritas mereka adalah ibu rumah tangga, sehingga mereka cenderung lebih dapat memperhatikan aspek kesehatan anak. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang di lakukan pada ibu dengan pendapatan rendah di Jakarta yang menunjukkan bahwa mereka memiliki maternal self-efficacy yang tinggi dalam menyediakan makanan untuk keluarganya. Ibu dengan status sosial bawah ini merasa tidak mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan makanan bagi keluarganya. Tingginya parenting self-efficacy pada domain ini karena mereka merasa mampu menyediakan makanan bagi anak dan mampu membuat anak mereka merasa kenyang. Mereka merasa tidak pernah mengalami kelaparan karena makanan selalu tersedia (Kolopaking, Bardosono, Fahmida, 2011). Lebih lanjut, dalam hal akses perawatan kesehatan orangtua dengan status sosial ekonomi bawah juga tidak mengalami kesulitan. Hal ini dikarenakan adanya program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang telah diberlakukan sejak tahun 2008 oleh Kementrian Kesehatan Indonesia, memberikan kemudahan bagi keluarga yang kurang mampu untuk tetap dapat bisa mendapatkan pelayanan kesehatan, salah satunya dengan tersedianya Puskesmas yang dapat memberikan pelayanan kesehatan serta pengobatan secara gratis. Didukung pula dengan hasil penelitian Firdaus dan Sunarti (2009) bahwa dalam aspek

(13)

kesehatan, ibu dengan status sosial ekonomi bawah lebih banyak yang memilih tempat berobat yang lebih murah serta mengganti obat dengan obat yang murah. Mereka memilih untuk menggunankan ‘obat warung’ ataupun obat tradisional yang lebih mudah untuk didapatkan. Kemudahan akses terhadap pengobatan dan perawatan kesehatan, serta kemampuan untuk memenuhi asupan makanan yang dibutuhkan oleh anak menyebabkan tingginya keyakinan ibu dengan status sosial ekonomi bawah terkait dengan kesehatan anak.

Sementara itu, pada ibu dengan status sosial ekonomi menengah ke atas tingginya skor pada domain health ini diasumsikan karena mereka lebih memahami informasi terkait aspek kesehatan anak. Orangtua melakukan kontrol atas makanan yang tersedia di rumah. Mereka akan menyediakan makanan sehat dan memberikan contoh kebiasaan untuk mengkonsumsi makanan bernutrisi (Brooks, 2008). Mereka juga membentuk kebiasaan sehat pada anak dengan membiasakan anak untuk melakukan olahraga secara rutin serta mengatur waktu tidur yang cukup bagi anak usia sekolah. Dengan membentuk kebiasaan hidup sehat pada anak, dapat berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis serta kondisi fisik yang baik pada anak (Brooks, 2008).

Dari hasil penelitian diketahui pula bahwa domain parenting self-efficacy dengan skor rata-rata terendah pada ibu dengan status sosial ekonomi bawah adalah domain discipline. Ketika anak memasuki tahap usia kanak madya, maka terjadi perubahan strategi untuk mengontrol dan memberikan pengaruh terhadap perilaku anak. Komponen penting dari keefektifan kontrol orang tua terhadap anak usia kanak-kanak madya adalah dengan melakukan pengawasan (parental monitoring), yang membutuhkan perhatian yang lebih. Pengawasan ini merupakan salah satu teknik kontrol yang sifatnya berfokus pada anak (child-centered) (Collins, Madsen, & Susman-Stillman, 2002). Sementara itu, berdasarkan (Brooks, 2008) orangtua dengan status sosial ekonomi lebih bawah memiliki kecenderungan untuk parent-centered. Kemungkinan hal ini yang menyebabkan rendahnya rata-rata skor domain discipline pada ibu dengan status sosial ekonomi bawah. Keyakinan ibu dengan status sosial ekonomi bawah yang rendah dalam mengenalkan struktur dan disiplin kepada anak ini juga dapat berkaitan dengan pengalaman masa kecilnya dengan model yang menampilkan parenting yang cenderung menerapkan disiplin yang tidak konsisten, menerapkan disiplin dengan cara memberi hukuman fisik pada anak, kurangnya respon emosional terhadap anak, dan memaksakan kehendak pada anak (McLoyd, 1998). Sehingga partisipan ibu dengan status sosial ekonomi bawah akan menerapkan parenting yang serupa sebagai hasil pembelajarannya dari orangtua atau model dalam menjalankan parenting, terutama

(14)

dalam menerapkan disiplin pada anak. Hal ini sesuai dengan pernyataan Coleman dan Karraker (dalam Saracho & Spodek, 2005) bahwa salah satu faktor pembentuk parenting self-efficacy adalah pengalaman masa kecil orangtua. Lebih lanjut, rendahnya skor domain discipline pada ibu dengan status sosial ekonomi bawah juga dapat disebabkan karena prevalensi yang lebih tinggi dalam masalah emosional dan perilaku di kalangan anak-anak status sosial ekonomi bawah. Masalah eksternal, seperti ketidakpatuhan, pada anak dengan status sosial ekonomi yang lebih bawah cenderung meningkat bertahap semenjak usia prasekolah dan usia sekolah awal (McLoyd, 1998).

Selanjutnya, skor rata-rata domain parenting self-efficacy terendah pada ibu dengan status sosial ekonomi menengah ke atas adalah domain achievement. Hal ini kemungkinan disebabkan karena kurangnya keterlibatan orang tua terhadap aktivitas terkait pendidikan anak, meliputi ekspektasi terhadap prestasi di sekolah, memberikan dorongan dalam bentuk verbal, penguatan (reinforcement) yang diberikan secara langsung terhadap perilaku anak yang berkaitan dengan sekolahnya, serta memberikan bimbingan atau dukungan akademis (Fehrmann, Keith & Reimers, 1987, dalam Collins, Madsen, & Susman-Stillman, 2002). Dapat diketahui, bahwa mayoritas partisipan ibu dengan status sosial menengah ke atas dalam penelitian ini adalah pekerja kantoran. Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia No 13 Tahun 2003 mengenai ketenagakerjaan, menyebutkan bahwa jam kerja dalam satu hari adalah delapan jam untuk lima hari kerja dalam satu minggu atau tujuh jam untuk enam hari kerja dalam satu minggu. Dengan begitu, sebagian waktu mereka digunakan untuk bekerja. Padahal, anak di usia kanak-kanak madya masih perlu bimbingan dari orangtua dalam kegiatan akademisnya, khususnya pada saat mengerjakan pekerjaan rumah. Orangtua perlu meluangkan waktu untuk membimbing anak belajar serta mengatur rumah dan rutinitas harian anak sehingga anak memiliki waktu dan tempat untuk mengerjakan tugas sekolahnya (Papalia, Old, & Feldman, 2009). Kurangnya keterlibatan dengan anak ini menyebabkan partisipan ibu dengan status sosial menengah ke atas memiliki keyakinan yang kurang dalam memberikan kebebasan anak untuk berekspolarasi, terlibat dalam interaksi yang dapat merangsang kognitif anak, memberi dorongan kepada anak untuk mengerjakan tugas sekolah, menunjukkan ketertarikan terhadap kegiatan sekolah, mendorong kemampuan anak dalam menyelesaikan masalah, mampu menjadi penasihat untuk anak, dan mendorong kreatifitas anak (Coleman & Karraker, 1997). Hal ini juga didukung oleh pernyataan Eccles dan Harold (dalam Hoover-Dempsey & Sandler, 1997) bahwa rendahnya keterlibatan orang tua, atau tidak adanya keterlibatan dalam kegiatan sekolah anak, dapat menurunkan parenting self-efficacy.

(15)

Berdasarkan analisis hasil tambahan, diketahui bahwa usia menikah memiliki pengaruh terhadap skor parenting self-efficacy. Ibu yang menikah pada usia dewasa muda memiliki skor rata-rata yang lebih tinggi daripada ibu yang menikah di usia remaja. Tingginya skor parenting self-efficacy dapat disebabkan karena adanya kesiapan untuk menjadi orangtua yang menurut Leen (2001) terdiri dari tiga elemen, yaitu kecenderungan sikap, pengetahuan mengenai perkembangan anak, dan pemahaman mengenai pola asuh yang sesuai. Sebaliknya, ibu yang menikah pada tahapan remaja, dianggap kurang sesuai dalam mengatasi tantangan-tantangan yang harus dihadapi sebagai orangtua. Hal ini berkaitan dengan tahap perkembangan Erikson (dalam Leen, 2001) bahwa pada usia remaja berada dalam periode identity vs role confusion, yaitu masa pencarian jati diri dengan menyesuaikan perilaku yang diharapkan dan tidak diharapkan oleh masyarakat. Menurut Schellenbach et al (dalam Leen, 2001) tugas perkembangan masa remaja adalah pencarian identitas, sehingga apabila seseorang harus memperhatikan hal lainnya, yaitu terkait perannya sebagai orangtua maka dapat menyebabkan adanya konflik. Oleh karena itu, ibu yang menikah pada usia remaja memiliki skor rata-rata parenting self-efficacy yang lebih rendah.

Hasil lainnya yang diperoleh berdasarkan analisis tambahan menunjukkan terdapat perbedaan skor rata-rata parenting self-efficacy yang signifikan berdasarkan pendidikan dan pekerjaan suami. Berdasarkan pendidikan suami, semakin tinggi tingkat pendidikan suami maka semakin tinggi pula skor rata-rata parenting self-efficacy pada ibu. Dengan pendidikan suami yang lebih tinggi maka partisipan ibu dalam penelitian ini akan merasakan dukungan yang berupa informasi seperti pengetahuan yang bermanfaat untuk menyelesaikan masalah, nasehat, atau pengarahan tertentu (Wills & Shinar, 2000). Sementara itu, berkaitan dengan pekerjaan suami, ibu dengan suami yang bekerja sebagai pegawai kantoran memiliki skor rata-rata parenting self-efficacy yang lebih tinggi. Pekerjaan sebagai pegawai kantoran tentunya memiliki penghasilan yang lebih tinggi daripada pekerjaan yang tidak tetap (seperti pedagang, pemulung, buruh, dan supir). Dengan adanya sumber finansial yang dapat mencukupi kebutuhan keluarga, ini tentunya dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga, khususnya pasangan. Suami dapat memberikan bantuan yang berwujud seperti jasa, bantuan keuangan, serta barang atau peralatan spesifik lain (Taylor, Sherman, Kim, Jarcho, Takagi, 2004). Dengan adanya bentuk dukungan sociomarital ini dapat mempengaruhi keyakinan ibu dalam menjalankan perannya sebagai orangtua (Coleman & Karraker, 2000).

(16)

Kesimpulan

Berdasarkan rumusan permasalahan utama, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan parenting self-efficacy yang signifikan pada ibu dengan status sosial ekonomi menengah ke atas dan ibu dengan status sosial ekonomi bawah yang memiliki anak usia kanak-kanak madya, dimana rata-rata skor parenting self-efficacy pada ibu dengan status sosial ekonomi menengah ke atas lebih tinggi dibandingkan dengan skor rata-rata ibu dengan status sosial ekonomi bawah.

Selain itu, terdapat perbedaan parenting self-efficacy yang signifikan pada ibu dengan status sosial ekonomi menengah ke atas dan ibu dengan status sosial ekonomi bawah yang memiliki anak usia kanak-kanak madya, ditinjau berdasarkan kelima domain parenting self-efficacy, yaitu domain discipline, achievement, recreation, nurturance, dan health. Pada kelima domain tersebut, rata-rata skor parenting self-efficacy pada ibu dengan status sosial ekonomi menengah ke atas lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata skor ibu dengan status sosial ekonomi bawah.

Pada kelompok ibu dengan status sosial ekonomi menengah ke atas domain yang skornya rata-ratanya paling tinggi pada partisipan penelitian ini adalah domain health dan domain yang skornya rata-ratanya paling rendah adalah domain achievement. Sementara itu, pada kelompok ibu dengan status sosial ekonomi bawah domain yang skornya rata-ratanya paling tinggi pada partisipan penelitian ini adalah domain health dan domain yang skornya rata-ratanya paling rendah adalah domain discipline.

Berdasarkan analisis tambahan, peneliti menemukan bahwa terdapat perbedaan parenting self-efficacy yang signifikan pada data demografis partisipan berdasarkan usia ibu saat menikah, pendidikan ibu, pendidikan ayah, pekerjaan ayah, dan pengeluaran rutin keluarga tiap bulan.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa parenting self-efficacy pada ibu dengan status sosial ekonomi bawah lebih rendah daripada parenting self-efficacy pada ibu dengan status sosial ekonomi menengah ke atas. Maka, perlu diberikannya intervensi, seperti penyuluhan untuk meningkatkan keyakinan serta kompetensi orang tua dalam menjalankan perannya sebagai orangtua. Selain itu dapat pula diberikan intervensi, seperti seminar mengenai teknik-teknik penerapan disiplin pada anak usia kanak-kanak madya untuk meningkatkan kompetensi orangtua dalam menerapkan stuktur dan disiplin. Dan, untuk mengatasi kesulitan dalam hal memfasilitasi

(17)

prestasi anak di sekolah yang disebabkan karena keterbatasan waktu, perlu adanya peningkatan keterlibatan suami untuk dapat terlibat secara aktif dalam kegiatan sekolah anak, mengingat sekolah adalah satu isu utama pada tahap perkembangan anak-anak usia madya.

Daftar Pustaka

Ahmed, Z. S. (2005). Poverty, family stress & parenting. 1-4. Diakses dari: http://www.humiliationstudies.org/documents/AhmedPovertyFamilyStressParenting.pdf Badan Pusat Statistik (2012). Perkembangan beberapa indikator utama sosial-ekonomi indonesia

Mei 2012. (No Publikasi 03230.1201). Diakses dari http://www.bps.go.id/booklet/Booklet_Mei_2012.pdf

Bradley, R. H., & Corwyn, R. F. (2002). Socioeconomic status and child development. Annual Reviews Psychology, 371-399. doi: 0.1146/annurev.psych.53.100901.135233

Brooks, J. B. (2008). The process of parenting (7th edition). New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Coleman, P. K., & Karraker, K. H. (1997). Self-efficacy and parenting quality: Findings and future applications. Developmental Review18, 47-85. doi: 10.1006/drev.1997.0448.

Coleman, P. K., & Karraker, K. H. (2000). Parenting self efficacy among mothers of school age children: Conceptualization, measurement, and correlates. FamilyRelations 49 (01), 13-24. doi: 10.1111/j.1741-3729.2000.00013.x.

Coleman, P. K., & Karraker, K. H. (2005). Parenting self efficacy, competence in parenting, and possible links to young children’s social and academic outcomes. In O.N. Saracho & Spodek, B. (Eds.). Contemporary perspectives on families, communities, and schools for

young children. Diakses dari

http://books.google.co.id/books?id=lkv5J3BpbrMC&pg=PA88&dq=parenting+self+efficac y&hl=id&sa=X&ei=kOLOT72cIoHQrQfl24SVDA&ved=0CC8Q6AEwAA#v=onepage&q =parenting%20self%20efficacy&f=false

Collins, R. (1987). Sociology of marriage and the family. Chicago: Nelson-Hall.

Direktorat Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak Bappenas (2010). Evaluasi Pelayanan Keluarga Berencana Bagi Masyarakat Miskin (Keluarga

(18)

Prasejahtera/KPS dan Keluarga Sejahtera-I/KS-I). Diakses dari: http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/10789/

Farkas, C., & Valdés, N. (2010). Maternal stress and perceptions of self-efficacy in socioeconomically disadvantaged mothers: an explicative model. Infant Behavior & Development 33 , 654-662. doi: 10.1016/j.infbeh.2010.09.001

Firdaus., & Sunarti, E. (2009). Hubungan antara tekanan ekonomi dan mekanisme koping dengan kesejahteraan keluarga wanita pemetik teh. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen Vol.2

No.1, 21-31. Diakses dari:

http://www.journal.ipb.ac.id/index.php/jikk/article/view/5160/3538

Gershoff, E. T., Aber, J. L., Raver, C., & Lennon, M. C. (2007). Income is not enough: Incorporating material hardship into models of income associations with parenting and child development. Child Development Vol. 78 No. 1, 70-95. doi: 10.1111/j.1467-8624.2007.00986.x

Hendra, Roy. (2010). Determinan kemiskinan absolut di kabupaten/kota Provinsi Sumatera Utara tahun 2005-2007. Tesis. (M.M). Universitas Indonesia, Depok.

Hoff, E., Laursen, B., & Tardif, T. (2002). Socioeconomic status and parenting. In M. H. Bornstein, Handbook of parenting vol.3 being and becoming a parent (pp. 231-252). New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

Holloway, S. D., Suzuki,S., Yamamoto, Y., Behrens, K. Y. (2002). Parenting self-efficacy among japanese mothers. Journal of Comparative Family , 61-76. doi: 10.1002/cd.42

Hoover-Dempsey, K. V., Sandler, H, M. (1997). Why Do Parents Become Involved in Their Children's Education? Review of Educational Research, Vol. 67, No. 1, 3-42. doi: 10.3102/00346543067001003

Jackson, A. P. (2000). Maternal self efficacy and children's influence on stress and parenting among single black mothers in poverty. Journal Of Family Issue 21:3 , 3-16. doi: 10.1177/019251300021001001

Jackson, A. P., Choi, J.-K., & Bentler, P. M. (2009). Parenting efficacy and the early school adjustment of poor and near-poor black children. Journal of Family Issues 30: 1339 , 1339-1355. doi: 10.1177/0192513X09334603

Leen, E. W. (2001). An examination of the role of cognitive readiness and self efficacy in parenting stress and coping. (M.A). Diakses dari ProQuest Dissertations & Theses.

(19)

Leyendecker, B., Harwood, R. L., Comparini, L., & Yalcinkaya, A. (2005). Socioeconomic status, etnicity,and parenting. In T. Luster, & L. Okagaki, Parenting: An Ecological Perspective 2nd Ed (pp. 319-341). New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.

Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. (nd).

Kemiskinan. Diakses dari:

http://menegpp.go.id/V2/index.php/datadaninformasi/ketenagakerjaan#

Kolopaking, R., Bardosono, S., & Fahmida, U. (2011). Maternal self-efficacy in the home food environment: a qualitative study among low-income mothers of nutritionally at-risk children in an urban area of Jakarta, Indonesia. Journal of Nutrition Education and Behavior Vol 43 No 3, 180-188. doi: 10.1016/j.jneb.2009.10.010

Martin, C. A., & Colbert, K. K. (1997). Parenting: a life span perspective. New York: McGraw-Hill Companies, Inc

Meliala, D. G. (2012). Parenting self-efficacy pada ibu dengan anak usia kanak-kanak madya ditinjau dari attachment yang dimiliki di masa lalu. Skripsi. Universitas Indonesia, Depok. McLoyd, V. C. (1998). Socioeconomic disadvantage and child development. American

Psychologist, Vol. 53, No. 2, 185-204. doi: 10.1037/0003-066X.53.2.185

Papalia, D. E., Olds, S. W., Feldman, R.D. (2009). Human development 11th ed. New York: McGraw-Hill.

______ (2003) Undang-undang Republik Indonesia nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.

Raver, C. C., & Leadbeater, B. J. (1999). Mothering under pressure: environmental, child,and dyadic correlates of maternal self-efficacy among low-income women. Journal of Family Psychology, Vol. 13, No. 4 , 523-534. doi: 10.1037/0893-3200.13.4.523

Schiffman, L. G., & Kanuk, L. L. (2010). Consumer behavior 10th Ed. New Jersey: Pearson Education, Inc

Taylor, S.E., Sherman, D.K., Kim, H.S., Jarcho. J., Takagi, K., Dunagan, M. S. (2004). Culture and Social support: who seeks it and why. Journal of Personality and Social Psychology, 87(3), 354-362. doi: 10.1037/0022-3514.87.3.354

Thomson, E., Hanson, T. L., & McLanahan, S. S. (1994). Family structure and child well-being: economic resources vs. parental behaviors. Social Forces, Vol. 73, No. 1 , 221-242. doi: 10.1093/sf/73.1.221

(20)

Wills, T.A. & Shinar, O. (2000). Measuring perceived and received social support. In S. Cohen, L. G. Underwood, & B. H. Gottlieb (Eds.), Social support measurement and intervention (pp. 86-135) New York: Oxford University Press.

Whitbeck, L.B., Simons, R.L., Conger, R.D., Wickrama, K. A. S., Ackley, K. A., Elder, G. H (1997). The effects of parents' working conditions and family economic hardship on parenting behaviors and children's self-efficacy. Social Psychology Quarterly, Vol. 60, No. 4, 291-303. doi: 10.2307/2787091

Yeung, J. W., Linver, R. M., & Brooks-Gunn, J. (2002). How money matters for young children's development: parental investment and family process. Child Development, Vol 73, Number 6 , 1861-1879. doi: 10.1111/1467-8624.t01-1-00511

Zevalkink, J., & Riksen-Walraven, J. M. (2001). Parenting in Indonesia: inter- and intracultural differences in mothers' interactions with their young children. International Journal of Behavioral Development 25:167 , 167-175. doi: 10.1080/01650250042000113

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahap ini yang dilakukan adalah melakukan implementasi dari desain protokol kriptografi untuk mengamankan proses kirim terima pesan antara user aplikasi Secure Chat,

Minat Beli (Y) melalui Brand Image (Z) yang dapat dilihat berdasarkan nilai koefisien pengaruh tidak langsung sebesar 0,445 yang menunjukkan lebih besar dari

Tugas Tugas pokok pokok seksi jaminan seksi jaminan mutu mutu adalah adalah untuk untuk menjamin menjamin mutu mutu incoming da incoming dan n outgoing sesuai standard

Gedung Perkantoran direncanakan di bangun di daerah Yoyakarta yang dimana daerah tersebut merupakan daerah dengan tingkat gempa yang tinggi, dan daerah Yogyakarta

Saham Hasil Pelaksanaan berarti saham baru yang dikeluarkan dari portepel Perseroan sebagai hasil Pelaksanaan Waran Seri I dan merupakan saham yang telah disetor penuh Perseroan,

Hasil penelitian terhadap kadar protein pada tape singkong dengan penambahan sari buah pepaya dan dosis ragi yang berbeda, menunjukkan bahwa ada perbedaan kadar

Hasil penilaian organoleptik yang telah dilakukan panelis terlatih pada uji kenampakan mata, insang, lendir, daging, bau, dan tekstur ikan bandeng yang telah diberi ekstrak