• Tidak ada hasil yang ditemukan

pemanfaatan limbah cair industri pengolahan tahu untuk memproduksi spora bacillus thuringiensis dan aplikasinya sebagai biokontrol nyamuk.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "pemanfaatan limbah cair industri pengolahan tahu untuk memproduksi spora bacillus thuringiensis dan aplikasinya sebagai biokontrol nyamuk."

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

IKM yang diterbitkan oleh PSIKM bekerjasama dengan IAKMI cabang Bali. Jurnal versi elektronik dapat diakses melalui : h! p://www. uphj.org/

Jurnal Arc. Com. Health terbit dua kali setahun, yaitu bulan Juni dan bulan Desember. Jurnal Arc. Com. Health menerbitkan hasil penelitian berhubungan dengan kesehatan masyarakat seperti keb" akan kesehatan, kesehatan ibu dan anak, kesehatan lingkungan, gizi kesehatan masyarakat, kesehatan kerja, promosi kesehatan, ekonomi kesehatan serta ilmu ilmu dasar yang berkaitan seperti bioteknologi kesehatan, biologi molekuler, bioinformatik dan genetik, tanaman, hewan, serta sel yang terkait dengan kesehatan masyarakat. Arc. Com. Health juga menerbitkan review, komunikasi singkat, tinjauan kasus, tinjauan buku terkait kesehatan masyarakat.

Arc. Com. Health menerbitkan informasi terkait dalam bentuk promosi dan iklan mengenai kesehatan masyarakat dan teknologi terkait yang menarik minat peneliti kesehatan masyarakat.

Untuk Pemasangan iklan dan promosi, naskah harus sudah diterima 6 minggu sebelum penerbitan.

Segala bentuk komunikasi harus dialamatkan ke:

PS IKM Universitas Udayana JL PB Sudirman Denpasar Bali Tlp/ Fax :+62 361 744 8773

Email:

h! p://www.uphj.org/webapps/webmails atau [email protected]

Home page: h! p://www.uphj.org/

PENANGGUNGJAWAB dr. Putu Ayu Suwandewi Astuti, MPH

(Ketua PS IKM Unud)

Ni Made Utami Dwipayanti, ST., MBEnv) (sekretaris PS IKM Unud) dr. Partha Muliawan, M.SC (OM)

(Ketua IAKMI Bali)

PIMPINAN REDAKSI Ir. I Nengah Sujaya, M.Agr Sc., Ph.D

WAKIL PIMPINAN REDAKSI dr.Pande Putu Januraga, M.Kes

Sekretaris Redaksi

Ni Luh Putu Suariyani, SKM,MHlth&IntDev

DEWAN REDAKSI Prof. dr. Suryadhi, PhD

dr. T. Widarsa, MPH dr. Partha Muliawan, M.Sc(OM)

dr. Made Sutarga, M.Kes dr. K. Suarjana, MPH dr. I Made Ady Wirawan, MPH dr Putu Ayu Swandewi Astuti, MPH Ni Md Utami Dwipayanti, ST, MBEnv Made Pasek Kardiwinata, SKM, M.Kes

dr. LP Lila Wulandari, MPH

ADMINISTRASI Sang Gede Purnama, SKM, M.Sc

M.A. Hita Pretiwi S., S.Si I Made Kerta Duana, SKM, MPH

dr. Wayan Gede A.E.K, M. Epid

MITRA BEBESTARI PADA EDISI INI Prof. Dr. Ir. I Wayan Sandi Adnyana, MS Dr.dr. I Gede Ngurah Indraguna Pinatih, MSc, Akpt, SpGK

Dr.dr. Diah Pradnya Paramita Duarsa Dr. Ir. Yenni Ciawi

Dr. Yan Ramona, M.App.Sc. dr Putu Ayu Swandewi Astuti, MPH

(3)

DAFTAR ISI

ARCHIVE COMMUNITY HEALTH ... iv

PEDOMAN BAGI PENULIS ... vi

EDITORIAL

• Kampanye kondom, Kementerian Kesehatan, dan Determinan Sosial Kesehatan

Pande Putu Januraga ... ix

ARTIKEL PENELITIAN

• Pemanfaatan Limbah Cair Industri Pengolahan Tahu Untuk Memproduksi Spora Bacillus Thuringiensis Serovar Israelensis Dan Aplikasinya

Sebagai Biokontrol Larva Nyamuk

Sang Gede Purnama, Deny Silvina Pandy, I Gede. Sudiana ... 1

• Gambaran Faktor Yang Berhubungan Dengan Penderita Kusta Di Kecamatan Tamalate Kota Makassar Tahun 2012

Syamsuar Manyullei , Deddy Alif Utama, Agus Bintara Birawida ... 10

• Aplikasi Sistem Informasi Geogra! s Untuk Memetakan Distribusi Sasaran Pemantauan Kesehatan Ibu Di Wilayah Kerja Puskesmas I Denpasar Selatan

Ni Made Dian Kurniasari, Putu Ayu Swandewi Astuti, Ketut Tangking Widarsa,

Hari Mulyawan ... 18

• Efek Suplemen Besi Terhadap Peningkatan Hb Dan Indek Eritrosit Ibu Hamil

Kt. Tangking Widarsa, I Wayan Weta, Ida Ayu Alit Widhiartini ... 28

• Status Anemia Gizi Besi Dan Konsumsi Zat Gizi Pada Anak Usia Sekolah Di Lima Panti Asuhan Di Kota Denpasar

K. Melisa Listiana D, Ni Ketut Sutiari, Luh Putu Lila Wulandari ... 35

• Kecukupan Asupan Gizi Remaja Vegetarian Dan Nonvegetarian Di Yayasan Sri Sathya Sai Bali Tahun 2011

Hildagardis Meliyani Ersita Nai, Kadek Tresna Adhi, Ni Ketut Sutiari, S.KM ... 43

• Sistem Pemeliharaan Anjing Sebagai Salah Satu Hewan Penular Rabies Pada Penderita Rabies di Provinsi Bali Tahun 2011

Made Pasek Kardiwinata, I Made Sutarga, I Made Subrata,

Ni Luh Putu Suariyani ... 50

• Faktor Pengaruh Terhadap Ketersediaan Septictank Dan Sambungan Sewerage System Permukiman Pinggiran Kali, Kel. Dangin Puri, Denpasar

I Dewa Gede Suwastika dan Ni Made Utami Dwipayanti ... 55

• Tingkat Pengetahuan dan sikap Remaja Putri Tentang Kehamilan Usia Dini di Kota Denpasar

(4)

Cakupan Jurnal

Archive Community Health (Arc. Com. Health) adalah jurnal resmi PS IKM Universitas Udayana yang diterbitkan oleh PSIKM berkerjasama dengan IAKMI Cabang Bali yang mencakup topik yang luas terkait dengan isu kesehatan masyarakat. Jurnal ini didedikasikan untuk mensosialisasikan penemuan terkini di bidang kesehatan masyarakat serta meningkatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang kesehatan masyarakat seperti keb" akan kesehatan, kesehatan ibu dan anak, kesehatan lingkungan, gizi kesehatan masyarakat, kesehatan kerja, promosi kesehatan, ekonomi kesehatan serta ilmu ilmu dasar yang berkaitan seperti bioteknologi kesehatan, biologi molekuler, bioinformatik dan genetik, tanaman, hewan, serta sel yang terkait dengan kesehatan masyarakat. Hasil penelitian yang dipublikasikan dalam Arc. Com. Health harus merupakan laporan yang belum pernah dipublikasikan sebelumnya atau tidak sedang dalam proses penelaahan pada publikasi yang sedang diusulkan.

Jenis Artikel

Empat jenis artikel dapat dipublikasikan pada Arc. Com. Health yaitu: hasil penelitian, catatan penelitian, review, serta artikel lainnya yang meliputi komunikasi singkat, tinjauan kasus, tinjauan buku terkait kesehatan masyarakat.

Hasil Penelitian (regular paper): harus dalam bentuknya yang sesingkat mungkin yang diperlukan untuk mendeskripsikan secara detail dan interptretasi yang jelas dari penelitian.

Catatan penelitian (researh note) : merupakan laporan singkat penelitian yang mengandung materi tema khusus yang belum mencukupi kelengkapan

paper reguler sehingga ditulis kontinus dimana pendahuluan, metodologi, hasil dan pembahasan tidak terpisahkan. Jenis ini tidak melebihi empat halamam cetak.

Review: review mencakup seluruh aspek

kesehatan masyarakat, yang lebih menekankan pada pemikitan kritis tentang isu terkini dan isu khusus. Review ditulis dalam format bebas tetapi harus mengacu pada panduan umum penulisan Arc. Com. Health.

Artikel lainnya; artikel seperti

komunikasi singkat dengan editor, tinjauan kasus yang sedang terjadi di masyarakat, tinjauan buku terkini, informasi teknologi tentang kesmas yang menarik minat pembaca secara umum.

Persyaratan penulis

Semua peneliti, akademisi, pemerhati, pengambil keb" akan serta pihak-pihak yang terkait dapat berkontribusi dengan mengirimkan artikelnya ke Arc. Com. Health. Tidak ada persyaratan khusus, etnik dan gender yang ditentukan.

Instruksi Pengiriman Naskah

PS IKM Universitas Udayana JL PB Sudirman Denpasar Bali Tel Fax : +62 361 744 8773 Email :

h! p://www.uphj.org/webapps/webmails atau [email protected]

Home page; h! p://www.uphj.org/

Proses Review dan Revisi

Semua naskah yang masuk ke meja redaksi Arc. Com. Health akan direview oleh dua orang reviewer yang memiliki kompetensi dan keahlian sesuai dengan topik naskah. Penerimaan dan penolakan naskah untuk dipublikasikan pada Arc. Com. Health sepenuhnya didasarkan pada muatan ilmiah

(5)

dari naskah serta kesesuaian dengan cakupan jurnal. Artikel dapat diterima dalam bentuk yang dikirim saat ini atau harus melalui beberapa revisi sesuai dengan telaah reviewer. Hasil review oleh reviewer akan dikembalikan kepada penulsi tanpa menyebutkan/ menyebutkan nama reviewer dan apabila berdasarkan pertimbangan reviewer dan editor naskah harus direvisi maka revisi harus dilakukan tidak lebih dari 3 bulan. Apabila lebih dari 3 bulan maka naskah akan direview ulang.

Pengumpulan Naskah

Naskah dikumpulkan melalui email atau dalam bentuk CD yang memuat teks naskah, referensi, tabel, gambar, serta keterangan

gambar dan tabel yang dibuat dalam # le terpisah. Naskah dan tabel harus disampaikan dalam bentuknya yang dapat diedit dalam format yang lazim seperti MS words, Excel. Gambar dalam format jpeg dengan resolusi tinggi.

Biaya Cetak dan Cetak Lepas

(6)

PEDOMAN BAGI PENULIS

Untuk Publikasi Asli (original publication), naskah disusun seperti panduan di atas. Artikel yang besar sekali metodologi biasanmya dimuat dalam supplement (misal model PNAS). Untuk Review (hanya berdasarkan undangan oleh pihak editor) Asbstrak, isi, simpulan dan saran, ucapan terimakasih dan da$ ar pustaka (tanpa metodologi). Catatan penelitian

(research note); Abstrak, Pendahuluan,

Hasil dan Pembahasan, Simpulan dan Saran, ucapan terimakasih dan da$ ar pustaka (tanpa metodologi), halaman dibatasi maksimum 4 halaman.

6. Abstrak dibuat dalam bahasa Inggris jumlah maksimal 200 kata. Artikel penelitian harus berisi Tujuan Penelitian, Metode, Hasil Utama, dan Kesimpulan Utama. Kata kunci dibuat sesuai dengan

UNIFORM REQUIREMENTS yang

diterbitkan oleh International Commi! ee

of Medical Journal Editors di Vancouver,

British Columbia pada tahun 1997. Br Med J 1998; 296: 401-5. Pilih 3-5 buah kata yang dapat membantu penyusun indeks.

7. Tabel, gambar, atau gra# k dibuat terpisah dari pembahasan dan diberi nomor, judul serta keterangan yang cukup. Judul tabel dan gra# k diletakkan di atas tabel dan gra# k sedangkan judul gambar diletakkan di bawah gambar. Jika perlu cantumkan sumber data yang digunakan. Gambar dan tabel dibuat dalam halaman atau # le terpisah. Format table dalam excel/MS yang bisa diedit. Keterangan gambar dan tabel (legends) dibuat dalam # le terpisah. Kalau ada gambar, penulis harus memastikan huruf yang ada harus tampak dengan baik saat dicetak. Hidari menggunakan keterangan (lambang, font) yang tidak lazim pada gambar. Persamaan 1. Archive Community Health (Arc. Com.

Health) adalah jurnal ilmiah dengan sistem peer-review untuk seleksi naskah.

2. Naskah yang dikirim adalah naskah yang belum pernah dipublikasikan atau dipertimbangkan akan dimuat dalam media publikasi lain. Redaksi tidak mempunyai kewajiban untuk mengembalikan naskah kepada penulis.

3. Arc. Com. Health menerima artikel original yang relevan dengan bidang kesehatan masyarakat dan ilmu terkait dalam bentuk artikel penelitian, tinjauan pustaka, laporan kasus, tinjauan buku, atau hal lain yang berkaitan dengan perkembangan ilmu dan teknologi di bidang kesehatan masyarakat dan ilmu terkait

4. Naskah, termasuk tabel, da$ ar pustaka, dan keterangan gambar diketik 2 spasi dengan program MS Word, huruf Times New Roman 12 pada kertas A4. Jarak dari tepi minimal 2,5 cm dengan jumlah halaman maksimum 20, menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kirimkan sebuah naskah asli dan 2 buah fotokopi naskah termasuk foto serta CD yang memuat naskah. Tulis nama # le dan program yang digunakan pada label CD.

(7)

matematik harus dibuat dengan menggunakan lambang/font yang lazim dan bisa dicetak dengan baik dan terbaca.

8. Cantumkan ukuran dalam unit/satuan

System International (SI units). Jangan

menggunakan singkatan tidak baku. Buatlah singkatan sesuai anjuran Style

Manual for Biological Sciences misalnya

mm, kcal. Laporkan satuan panjang, tinggi, berat dan isi dalam satuan metrik (meter, kilogram, atau liter).

9. Jelaskan tentang metode statistik secara rinci pada bagian “Metode”. Metode yang tidak lazim, ditulis secara rinci berikut rujukan metode tersebut.

10. Rujukan ditulis sesuai aturan penulisan HARVARD

Pengacuan pada sumber informasi dapat merupakan bagian kalimat dengan mencantumkan nama penulis yang diacu, tahun serta halaman yang memuat informasi tersebut dalam tanda kurung. Sebagai contoh (Sampurno, 1992 : 15) atau Sampurno (1992 : 15) menyatakan bahwa “ ...” (dst).

Contoh:

Pencantuman da$ ar pustaka untuk buku:

Notoatmodjo, S. (1989). Dasar-dasar

Pendidikan dan Pelatihan. Badan

Penerbit Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta: 100-114.

Phoon, W.O & Chen,W.H, P.C.Y (eds), (1986). Textbook of Community

Medicine in South East Asia. John

Wiley & Sons, Chichester: 609-620.

Bila seorang penulis menerbitkan dua buku di tahun 2005, tahun dari buku pertama (dalam urutan abjad dari

urutan) dikutip sebagai 2005a, dan yang kedua sebagai 2005b.

Contoh:

Smith, J. (2005a). Harvard Referencing. London: Jolly Good Publishing. Smith, J. (2005b). Dutch Citing Practices.

The Hague: Holland Research Foundation.

Pencantuman da$ ar pustaka untuk buku yang ditulis oleh beberapa orang penulis atau sub bab buku:

Mercenier, A. (1999). Lactic acid bacteria as vaccines. In: Tannock, G.W. (Ed).Probiotics: A Critical Review. Horizon Scienti# c Press. Norfolkm UK:113-128.

Pencantuman da$ ar pustaka untuk jurnal ilmiah:

Sjaaf, A.C. (1991). Analisis Biaya Layanan Kesehatan Rumah Sakit. Medika,

17 (10): 819-824.

Smith, John Maynard. (1998). The Origin of Altruism. Nature 393: 639–640. Thomson, M. P., Kingree, J. B. & Windle, M.

(2008). Longitudinal Associations between Problem Alcohol Use and Violent Victimization in a National Sample of Adolescents. Journal of Adolescent Health, 42: 21-27.

Jamison, D.T & Mosley, W.H. (1991). Disease Control Priorities in Developing Countries. Health Policy Responses to Epidimeological Change. Am. J. Public Health, 81(1): 15-22.

Pencantuman da$ ar pustaka dari halaman web atau perpustakaan elektronik (eLibrary):

(8)

Contoh:

Dunn, J.T. (2001, August 23 – last update), “Iodine”, (Linus Pauling Institute), Available: h! p://www.orst.edu/ dept/Ipi/infocenter/minerals/ iodine/iodine.html (Accessed: 2002, September 16)

Catatan: Tidak diperlukan (eds) karena hanya terdapat penulis saja.

Bila tidak d" umpai nama penulis maupun editor, pakailah format berikut. Ingat, cara penulisan harus konsisten: “Judul halaman”, (tanggal last update atau copyright), (Judul site), Available: URL (Accessed: tanggal access)

Contoh:

“IQ linked with amount of grey ma! er”, (2001, November 5 – last update), (BBC News), Available: h! p:// news.bbc.co.uk/hi/english/sci/ tech/default.stml (Accessed: 2001, March 26).

Bila sumber informasi merupakan karya ilmiah yang dimuat dalam suatu kumpulan karya, maka acuan menuliskan nama penulis yang karyanya digunakan, disertai keterangan lengkap mengenai himpunan karya yang menjadi asal acuan tersebut.

Contoh:

Pratomo, H. (1991). Pengantar riset kualitatif vs kuantitatif. Dalam:

Jatipura, S & Yovsyah (eds). 1991. Prosiding Lokakarya dan Pelatihan Metodologi Penelitian Kesehatan, 22/3 - 12/4, 1991. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta: 54-61.

Catatan:

Penulisan kata “Dalam” digarisbawahi atau dicetak miring dan diikuti tanda baca titik dua dan nama editor mendahului judul karya.

Bila sumber informasi yang digunakan tidak mencantumkan nama penulis maupun editor, maka acuan menggunakan nama tim penyusun, atau lembaga yang bertanggung jawab atau yang menerbitkan karya tersebut.

11. Informasi biaya cetak ulang dapat diperoleh dari kantor editorial Arc. Com. Health, PS IKM Universitas Udayana

12. Naskah dikirimkan pada:

Pemimpin Redaksi ARCHIVE COMMUNITY HEALTH,

(9)

B

elakangan ini media sempat dihebohkan dengan pro dan kontra kampanye kondom. Menarik untuk membahas isu ini dari sudut pandang kesehatan masyarakat dan mengkaitkannya dengan topik yang sedang hangat: determinan sosial kesehatan.

Laporan UNAIDS menunjukkan dalam sepuluh tahun terakhir epidemi HIV di Indonesia berkembang pesat dari kategori low level di tahun 90an hingga menginjak epidemi terkonsentrasi pada kelompok beresiko tinggi seperti penasun, pekerja seks perempuan (PSP) dan lelaki seks dengan lelaki (LSL) (UNAIDS 2009). Penularan HIV yang pada awalnya didominasi melalui jarum suntik telah bergeser menjadi utamanya oleh hubungan heteroseksual, hal ini tidak lepas dari rendahnya pemakaian kondom pada perilaku seksual beresiko utamanya di kalangan PSP dan pelanggannya (NAC of Indonesia 2007; Riono & Jazant 2004; UNAIDS 2009).

Fakta bahwa PSP dan pelanggannya tersebar di seluruh pelosok negeri adalah sebuah realita yang sulit dipungkiri, sehingga upaya melindungi kelompok ini dari penularan HIV menjadi sangat penting. Mencegah penularan pada PSP berarti mencegah penularan ke kelompok masyarakat lebih umum, mesti diingat sebagian besar pelanggan pekerja seks dan bahkan pasangan waria atau LSL adalah pria beristri (Riono & Jazant 2004). Pendapat dari luar sektor kesehatan utamanya berputar pada pentingnya upaya menyadarkan kembali si pelaku seksual beresiko utamanya pekerja seks untuk kembali ke tengah-tengah masyarakat, 100% ini adalah opsi terbaik, tetapi apakah semudah itu? Jika ya maka sejak lama keberadaan pekerja seks hilang dari muka bumi Indonesia, disinilah kita perlu memamahi konteks sosial yang mempengaruhi keberadaan mereka serta perilaku seksualnya, ini dikenal sebagai determinan sosial (Baum 2008; Blankenship et al. 2006; D. & Knowlton

2005; De Zalduondo 1991).

Sederhananya faktor sosial yang mempengaruhi keberadaan pekerja seks dapat dilihat dari dua kerangka pikir (Gupta et al. 2008). Yang pertama dari “continuum of distance” sebuah faktor terhadap situasi yang dihasilkan dalam hal ini keberadaan pekerja seks, misalnya tidak memiliki uang untuk bertahan hidup adalah faktor sosial terdekat (proximal) sedangkan ketergantungan ekonomi kepada lelaki merupakan faktor yang lebih jauh, sementara ketidakadilan gender misalnya adalah faktor sosial yang paling jauh (distal) mempengaruhi keberadaan pekerja seks. Kerangka pikir kedua adalah pada level struktur mana sebuah faktor sosial berpengaruh; misalnya tidak memiliki uang untuk bertahan hidup adalah faktor yang berada pada level individu, ketergantungan pada pasangan berada pada level lingkungan, sistem waris ada pada level struktur dan ketidakadilan gender ada pada level superstruktur. Tentu saja ada banyak faktor sosial lain yang saling terkait dengan contoh diatas, sebut saja agama, suku, budaya, dan politik yang membentuk jejaring faktor yang luar biasa rumit mempengaruhi keberadaan pekerja seks.

Lebih jauh lagi terdapat 3 faktor konstektual yang mempengaruhi kemampuan seseorang atau kelompok mengakses layanan pencegahan atau kesehatan (Baum 2008; Blankenship, Bray & Merson 2000; Blankenship et al. 2006). Ketiga faktor kontekstual tersebut adalah availibility

atau ketersedian alat, sarana, prasarana, perilaku, atau kondisi yang memungkinkan seseorang atau kelompok masyarakat menggunakan layanan pencegahan, dalam konteks diskusi kita ketersediaan kondom di lokasi dimana perilaku seks beresiko terjadi adalah salah satu contohnya. Yang kedua adalah acceptability atau penerimaan terhadap sarana pencegahan, jika secara norma sosial kondom sudah dianggap sebagai barang

EDITORIAL

KAMPANYE KONDOM, KEMENTERIAN KESEHATAN,

DAN DETERMINAN SOSIAL KESEHATAN

Pande Putu Januraga

(10)

maksiat yang tidak boleh ada karena memicu perilaku “seks bebas” (stigmatisasi kondom) atau pemikiran kondom “tidak nikmat” maka jelas akan menimbulkan hambatan sosial dan psikologis yang secara langsung atau tidak langsung memicu rendahnya pemakaian kondom. Yang ketiga adalah accessibility atau kemampuan mengakses layanan pencegahan atau intervensi sosial, ini berbeda dengan

availability karena jika availability hanya terfokus pada apakah layanan pencegahan tersebut tersedia di “pasar” maka accessibility juga mempertimbangkan apakah “konsumen” memiliki sumber daya yang memadai untuk “membeli” layanan pencegahan tersebut. Contoh

accessibility adalah tindakan represif aparat

“menangkap” pekerja seks sehingga terpencar-pencar dan berpindah-pindah yang kemudian mengurangi kemampuan mereka mengakses kondom dan layanan pencegahan lainnya, atau posisi daya tawar pelanggan yang lebih kuat yang mengakibatkan pekerja seks sulit menolak jika pelanggan tidak menggunakan kondom. Tentu saja ketiga faktor tersebut dan posisinya dalam continuum of distance saling berinteraksi secara kompleks dan saling memperkuat faktor sosial yang mempengaruhi kerentanan kelompok beresiko di Indonesia.

Melihat kompleksitas determinan sosial yang ada, Kementerian Kesehatan RI sangat sulit diharapkan mampu bekerja maksimal pada isu seputar budaya, ekonomi, politik, masalah hak-hak perempuan atau masalah bias gender untuk mempengaruhi keberadaan kelompok perilaku beresiko tinggi di masyarakat, tetapi justru memiliki segala prasyarat untuk berbuat maksimal memodi# kasi faktor availibility,

acceptability dan accessibility terhadap layanan pencegahan seperti kondom dan pelayanan kesehatan reproduksi lainnya. Kemkes dapat mengeluarkan keb" akan, bekerjasama dengan sektor lain dan mengkoordinasikan banyak pemangku kepentingan untuk menjamin ketersediaan kondom di lokasi dimana perilaku seksual beresiko terjadi (availibility). Dengan pemasaran sosial yang tepat maka kondom dapat diterima sebagai alat kontrasepsi yang berfungsi ganda melindungi dari kehamilan tidak diinginkan dan juga melindungi dari penularan penyakit menular seksual (acceptability).

Ditambah dengan jejaring sampai ke tingkat Puskesmas, melalui mobilisasi, kerjasama dan pemberdayaan kelompok beresiko diharapkan mampu memodi# kasi faktor accessibility yang mempengaruhi kemampuan mereka mengakses layanan pencegahan. Jelas ada banyak contoh upaya berbasis bukti yang bisa dilakukan Kemkes RI untuk menjamin tersedianya layanan pencegahan yang bisa diakses kelompok beresiko dan tentu saja kelompok masyarakat lain yang membutuhkannya. Dibutuhkan kehati-hatian dan strategi komprehensif untuk memulai upaya ini, sebuah tantangan yang bukan baru tetapi mungkin kini baru disadari.

Salam hangat,

DAFTAR PUSTAKA

Baum, F 2008, The new public health, Oxford University Press.

Blankenship, KM, Bray, SJ & Merson, MH 2000, ‘Structural interventions in public health’,

Aids, vol. 14, p. S11.

Blankenship, KM, Friedman, SR, Dworkin, S & Mantell, JE 2006, ‘Structural interventions: concepts, challenges and opportunities for research’, Journal of Urban Health, vol. 83, no. 1, pp. 59-72.

D., CLP & Knowlton, A 2005, ‘Micro-social structural approaches to HIV prevention: a social ecological perspective’, AIDS care, vol. 17, no. S1, pp. 102-13.

De Zalduondo, BO 1991, ‘Prostitution viewed cross-culturally: Toward recontextualizing sex work in AIDS intervention research’,

Journal of Sex Research, vol. 28, no. 2, pp. 223-48.

Gupta, GR, Parkhurst, JO, Ogden, JA, Aggleton, P & Mahal, A 2008, ‘Structural approaches to HIV prevention’, The Lancet, vol. 372, no. 9640, pp. 764-75.

NAC of Indonesia 2007, Country report on the Follow up to the Declaration of Commitment

On HIV/AIDS, NAC of Indonesia, Jakarta.

Riono, P & Jazant, S 2004, ‘The Current Situation of the HIV/AIDS Epidemic in Indonesia’,

AIDS education and prevention, vol. 16, no. Supplement A, pp. 78--90.

(11)

PENDAHULUAN

P

enyakit demam berdarah dengue

(DBD) atau dengue hemorrhagic fever

(DHF) ialah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue, yang ditularkan melalui nyamuk

Aedes aegypti dan Aedes albopictus (Kristina, 2005; Ester, 1998). Penyakit DBD di Indonesia semakin meningkat pada tahun 2009 terdapat 158.912 kasus dengan jumlah kematian 1.420 orang. Dengan demikian, IR DBD pada tahun 2009 adalah 68,22 per 100.000 peduduk dan CFR sebesar 0,89%. Angka-angka tersebut mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2008 dengan IR sebesar 59,02 per 100.000 penduduk dan CFR sebesar 0,86% (Kemenkes,

2010). Hal tersebut menunjukkan bahwa DBD masih menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia sehingga saat ini.

Upaya pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada vektor penularannya, yaitu nyamuk Ae. aegypti. Pengendalian vektor nyamuk Ae. aegypti yang telah dilakukan adalah dengan cara penyemprotan dengan menggunakan insektisida, namun cara tersebut belum juga berhasil memberantas kasus DBD. Penggunaan insektisida kimia secara berulang-ulang dapat menimbulkan resistensi vektor, matinya hewan lain yang bukan sasaran dan pencemaran lingkungan. Karena itu perlu dicari cara alternatif lain yang lebih efektif untuk menanggulangi vektor DBD. Salah satu

PEMANFAATAN LIMBAH CAIR INDUSTRI PENGOLAHAN TAHU

UNTUK MEMPRODUKSI SPORA

BACILLUS THURINGIENSIS

SEROVAR ISRAELENSIS

DAN APLIKASINYA SEBAGAI

BIOKONTROL LARVA NYAMUK

Sang Gede Purnama, Deny Silvina Pandy, I Gd. Sudiana

Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Udayana Email : [email protected]

ABSTRACT

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) in Indonesia, was a public health problem that could not be handled properly until this. This ma! er was proven by always # nding the number of dengue cases continued to increase each year and o$ en cause death.

Based on some study found that the use of the bacterium Bacillus thuringiensis serovar israeliensis (BTI) as bioinsektisida that was proven to be more safe, e' ective and selective in kill mosquito larvae of Ae. aegypti. Barrier of the use of this bioinsektisida was its price that was expensive, because of being produced by synthesis media. Therefore, researchers was interested to be able to produce Bti with soybean liquid waste knew that during this o$ en coused water pollution. It is expected produced BTI with a relatively cheaper price compare than produced by BTI synthesis media.

To be able to prove the liquid soybean waste could be used as a medium BTI than conducted trials with Bti 4Q1 inoculated in wastewater soybean and Nutrient Broth (synthetic media), and then compare the number of spores produced from both media. This study was conducted in the Bioscience and Biotechnology laboratory, Udayana University, for two months.

The results of this study show the liquid soybean waste proved to be able to produce spores in greater numbers than NB. Apart from the pathogenicity test conducted BTI obtained results that was produced by the liquid soybean waste to have the power to kill a higher than NB. The advantages of this study include: media materials was cheap, reduce water pollution, and easy to get it.

(12)

cara yang mulai banyak diteliti dan potensial serta dipandang mempunyai prospek yang baik, karena memiliki banyak kelebihan adalah menggunakan bakteri Bacillus thuringiensis

serovar israeliensis (B.t.i) yang patogen bagi jentik nyamuk. Adapun kelebihannya adalah bersifat aman, efektif dan selektif dalam membunuh jentik nyamuk khususnya jentik nyamuk Ae. Aegypti (Soesanto, 1992).

Bacillus thuringiensis serovar israeliensis

memproduksi delta endotoksin yang bersifat patogen terhadap serangga dan sudah dikembangkan menjadi salah satu bioinsektisida untuk membunuh jentik nyamuk dan lalat hitam (WHO, 1979). Efek letal B.t.i terhadap jentik nyamuk disebabakan oleh akti# tas delta endotoksin yang terkandung dalam kristal protein toksin (Mardihusodo, 1991). Oleh karena itu untuk dapat menggunakan B.t.i sebagai bioinsektisida maka perlu diproduksi spora B.t.i dalam jumlah yang memadai. Untuk memproduksi spora B.t.i diperlukan medium pertumbuhan yang sampai saat ini masih menggunakan medium sintetis yang harganya relatif mahal. Oleh sebab itu perlu dicari suatu alternatif lain yang dapat d" adikan sebagai medium pertumbuhan B.t.i dengan harga yang lebih murah, dengan produksi spora B.t.i yang tinggi.

Seiring perkembangan teknologi, limbah pertanian dapat dimanfaatkan sebagai subtrat untuk menumbuhkan mikroba untuk memproduksi berbagai jenis bahan yang bermanfaat bagi industri, seperti enzim dan zat antibiotika. Salah satu limbah pertanian yang cukup berlimpah adalah limbah cair tahu yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik tahu. Limbah cair tahu ini penggunaannya masih sangat terbatas dan umumnya dibuang ke sungai, yang dapat mengakibatkan pencemaran sungai.

Limbah cair tahu mengandung protein, glukosa dan komponen lainnya dengan kadar yang relatif tinggi. Dengan kandungan nutrisi tersebut maka limbah cair tahu mempunyai potensi sebagai medium untuk memproduksi spora B.t.i. Mengingat bahwa limbah cair tahu

umumnya dibuang ke sungai, maka penelitian ini sekaligus akan memberikan manfaat dalam mengurangi pencemaran lingkungan. Berdasarkan hal tersebut maka peneliti tertarik menggunakan limbah cair tahu sebagai medium alternatif bagi pertumbuhan B.t.i dalam memproduksi spora, dan sekaligus kemungkinan alternatif penggunaan B.t.i sebagai biokontrol larva nyamuk.

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini antara lain mengetahui potensi limbah cair industri pengolahan tahu sebagai medium untuk memproduksi spora

Bacillus thuringiensis serovar israeliensis dan mencoba pemanfaatan B.t.i sebagai biokontrol terhadap larva nyamuk. Serta mengetahui patogenesis Bacillus thuringiensis serovar

israeliensis pada larva Ae. aegypti.

METODE

Variabel yang diamati pada penelitian ini ada dua yaitu: efekti# tas pembentukan spora dan uji patogenisitas

Rancangan penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola sederhana, dengan 3 kali ulangan. Adapun perlakuan yang dipakai adalah Limbah Cair Tahu (LT) dan medium sintetis Nutrient Broth

(NB).

Bahan-bahan yang dipergunakan pada penelitian ini antara lain : biakan murni Bacillus thuringiensis serovar israelensis 4Q1 (B.t.i 4Q1) yang diperoleh dari Bacillus Genetic Stock Center, Ohio State University, USA, limbah cair tahu yang diperoleh dari UD. Masmo, telur nyamuk Ae. aegypti diperoleh dari Department of National Education, Tropical Disease Centre,

Airlangga University, larutan NaOH 10%, agar

powder, NaCl0,85%, HCl, pewarna Gram set,

metanol, tissue, kapas, etanol 70%, dan media

Nutrient Broth (NB, Oxoid).

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : tabung Eppendorf 0,5 ml, pipet tips, kain kasa, baskom, jerigen, Erlenmeyer 500 ml, tabung reaksi, gelas piala,

(13)

mikroskop, timbangan analitik, inkubator (Memmert), aluminium foil, jarum ose,

cleanbench, sentrifuse, oven, ember, dan kain

kristik.

Adapun perincian kerja dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Persiapan kultur Bacillus thuringiensis

serovar israelensis 4Q1

Stock Bacillus thuringiensis serovar

israelensis dalam agar miring disegarkan

dengan cara memindahkan satu mata loop biakan B.t.i 4Q1 ke dalam 5 ml media Nutrient Broth steril kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 300C.

2. Persiapan medium untuk produksi spora.

Membuat media NB sebanyak 600 ml dan 200 ml masing-masing dimasukkan ke dalam 500 ml. Limbah cair tahu disaring sebanyak 600 ml, lalu pH nya diatur dengan cara menambahkan larutan NaOH 10% sampai pHnya 6,5-7,0. Kemudian sebanyak 200 ml ditempatkan pada 3 Erlenmeyer 500 ml. Selanjutnya NB dan limbah cair tahu tadi, disterilisasi dengan menggunakan autoclave pada suhu 1210C selama 15

menit. Pada tahap berikutnya, NB dan limbah cair tahu didinginkan sampai mencapai suhu 300C dengan cara

direndam dalam air dingin. Setelah dingin, baik NB maupun limbah cair tahu diinokulasi dengan 2 ml kultur B.t.i 4Q1 secara aseptis di dalam

cleanbench. Lalu keduanya dinkubasi

pada suhu kamar (sekitar 300C) sambil

digoyang (shake) dengan kecepatan 175 rpm selama 4 hari.

3. Persiapan bubuk spora kering

Kultur cair diambil sebanyak 1 ml kemudian dipanaskan 800C dalam air

panas selama 15 menit untuk membunuh sel vegetatif, lalu disentrifuse (pusing) pada kecepatan 5000 rpm selama 15 menit. Endapan massa sel dan spora yang terbentuk, kemudian dikeringkan dalam oven/pengering pada suhu 600C

sampai kering.

Data pada penelitian ini dikumpulkan dengan cara menghitung jumlah sel hidup dan spora B.t.i yang dibiakan pada medium limbah cair tahu yang dilakukan pengenceran:

1. Perhitungan jumlah sel hidup

Perhitungan jumlah sel hidup dilakukan dengan cara mengambil sebanyak 1 ml biakan B.t.i pada medium limbah cair tahu dan ditambahkan 9 ml akuades pada tabung reaksi, kemudian dikocok sampai homogen. Sesudah itu dibuat pengenceran seri 10-1-10-10 dalam

larutan NaCl 0,85% steril. Dari masing-masing pengenceran diambil 0,1 ml dan diinokulasi pada 20 ml medium Nutrient Agar dalam cawan petri. Selanjutnya diinkubasi selama 48 jam pada suhu 300C dan dilakukan penghitungan

jumlah koloni yang tumbuh pada cawan petri.

Dari formulasi bubuk B.t.i 4Q1 yang diperoleh diambil sebanyak 1 gr dan ditambahkan 99 ml akuades steril dalam labu Erlenmenyer bervolume 250 ml dan dikocok sampai homogen. Sesudah itu dibuat pengenceran seri 10 -2-10-10. Selanjutnya adalah sama seperti

perhitungan jumlah sel hidup formulasi cair B.t.i 4Q1 di atas.

2. Perhitungan jumlah spora

Untuk menghitung jumlah spora, maka kultur bakteri formulasi cair dan bubuk B.t.i 4Q1 yang berada pada masing-masing pengenceran 10-1-10 -10 dipanaskan pada suhu 600C selama

30 menit. Pemanasan dilakukan untuk mematikan kuman bentuk vegetatif. Langkah selanjutnya adalah dari masing-masing pengenceran formulasi cair dan bubuk B.t.i 4Q1 diambil 0,1 ml dan diinokulasi pada 20 ml medium Nutrient Agar dalam cawan petri, lalu diinkubasi selama 48 jam pada suhu 300C. Sesudah itu dihitung jumlah spora

B.t.i yang tumbuh pada cawan petri yang berisi agar nutrient.

(14)

Uji patogenisitas dari suspensi B.t.i 4Q1 dilakukan dengan cara mensuspensikan 0,1 ml biakan B.t.i 4Q1 dalam limbah cair tahu dengan akuades sebanyak 99,9 ml, kemudian dikocok sampai homogen. Selanjutnya dari larutan tersebut diambil berturut-turut sebanyak 1 ml, 3 ml, 5 ml, 7 ml, 10 ml, 30 ml dan 50 ml menggunakan pipet lalu dimasukan ke dalam gelas plastik yang berisi 20 ekor larva nyamuk Ae. aegypti dan berturut-turut ditambahkan dengan akuades sebanyak 99 ml, 97 ml, 95 ml, 93 ml, 90 ml, 70 ml, dan 50 ml untuk memperoleh konsentrasi akhir yang dibutuhkan yaitu 0,0001 ml/l, 0,0003 ml/l, 0,0005 ml/ l, 0,0007 ml/l, 0,001 ml/l, 0,003 ml/l dan 0,005 ml/l. Sebagai kontrol gelas plastik hanya diisi 100 ml akuades dan 20 ekor jentik Ae. aegypti, kemudian didiamkan selama 24 jam. Setelah 24 jam dilakukan pengamatan untuk menghitung berapa jumlah larva nyamuk yang telah mati dan setelah 48 jam akan diamati kembali untuk mengetahui hasil uji patogenesitas dari B.t.i 4Q1.

4. Uji patogenisitas fomulasi bubuk Bacillus thuringiensis 4Q1

a. Uji patogenisitas formulasi bubuk B.t.i 4Q1 secara in vitro

Uji patogenisitas formulasi bubuk B.t.i 4Q1 secara in vitro, dilakukan dengan cara membubuhkan formulasi bubuk B.t.i 4Q1 secara berturut-turut sebanyak 0,01 gr, 0,03 gr, 0,05 gr, 0,07 gr, 0,1 gr, 0,3 gr, dan 0,5 gr ke dalam gelas plastik . Selanjutnya masing-masing gelas plastik ditambahkan 100 ml akuades dan 20 ekor jentik nyamuk Ae. aegypti. Sebagai kontrol gelas plastik di isi 20 ekor jentik nyamuk Ae. aegypti lalu ditambahkan 100 ml akuades. Kemudian didiamkan selama 24 jam. Setelah 24 jam dilakukan pengamatan untuk menghitung berapa jumlah larva nyamuk

yang telah mati dan setelah 48 jam akan diamati kembali untuk mengetahui hasil uji patogenesitas dari formulasi bubuk B.t.i 4Q1. b. Uji patogenisitas formulasi bubuk

B.t.i 4Q1 dibandingkan dengan abate secara semi in vitro

Dalam uji patogenisitas ini, dilakukan dengan cara membuat tiga kelompok percobaan untuk membandingkan daya bunuh antara B.t.i yang diproduksi dengan limbah cair tahu dan

Nutrient Broth (NB) dengan abate

pada konsentrasi sama. Kelompok percobaan satu diberi bubuk abate dan kelompok percobaan dua diberi fomulasi bubuk B.t.i 4Q1 yang dihasilkan dari limbah cair tahu. Sedangkan kelompok percobaan tiga diberi bubuk B.t.i 4Q1 yang dihasilkan dari NB. Ketiga kelompok percobaan tersebut diberi perlakuan yang sama dengan penambahan kansentrasi berturut-turut antara lain: 0,01 gr/l, 0,03 gr/l, 0,05 gr/l, 0,07 gr/l. Setelah ditambahkan jentik nyamuk Ae. aegypti sebanyak 25 ekor. Langkah selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap kematian jentik setelah 24 jam dan 48 jam.

Data yang telah dimasukan kedalam tabel akan dianalisis dengan menggunakan uji statistik menggunakan komputer. Uji t digunakan untuk menguji apakah rata-rata jumlah sel dan spora pada limbah cair tahu berbeda dengan menggunakan media NB.

(15)

kemungkinan pemanfaatan B.t.i dalam mengontrol larva nyamuk dilakukan dengan membandingkan patogenisitas antara formulasi bubuk B.t.i 4Q1 dengan abate.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Setelah melakukan penelitian selama kurang lebih 2 bulan, data hasil perhitungan jumlah sel dan spora formulasi cair B.

thuringiensis 4Q1 pada media limbah cair

tahu dan Nutrient Broth (NB) selama tiga kali percobaan yang disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Perbandingan Jumlah Sel B. thuringiensis

pada Nutrient Broth dan Limbah Cair Tahu

Berdasarkan Gambar 1 dapat diketahui bahwa rata-rata jumlah sel pada media NB sebesar 8,43 x 109 cfu/ml. Sedangkan jumlah sel

pada media limbah cair tahu sebesar 8,96 x 109

cfu/ml. Analisa statistik sel hidup menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata (t > 0,05) antara media limbah cair tahu dan NB.

Gambar 2. Perbandingan Jumlah Spora B. thuringiensis pada Nutrient Broth dan Limbah Cair

Tahu

Pertumbuhan sel B.t.i pada media limbah cair tahu dan NB terbukti sama. Hal ini dapat disebabkan oleh karena media limbah tahu dan NB sama-sama baik dalam memicu pertumbuhan sel.

Gambar 2 menunjukan bahwa jumlah spora untuk NB sebanyak 4,43 x 109 spora/

ml dan jumlah spora pada media limbah cair tahu sebanyak 7,93 x 109 spora/ml. Dari

hasil perhitungan statistik didapatkan hasil jumlah spora pada kedua media tersebut berbeda nyata (t < 0,05), dimana jumlah spora pada media limbah cair tahu lebih banyak dibandingkan dengan NB. Faktor yang menyebabkan banyaknya jumlah spora B.t.i pada limbah cair tahu diduga disebabkan oleh adanya asam amino tertentu yang menstimulasi pertumbuhan spora. Banyaknya jumlah spora yang diproduksi sangat penting dibandingkan dengan jumlah sel vegetatif. Hal tersebut dikarenakan dinding luar spora yang mengandung prototoksin jika dimakan oleh larva nyamuk maka dapat merusak usus larva dan meyebabkan kematian larva.

Tabel 1. Patogenitas Formulasi Cair B.

thuringiensis 4Q1yang diproduksi

dengan Media Limbah cair tahu dan

Nutrient Broth (NB)*

Media Konsentrasi (ml/l)

0,025 0,05 0,075 0,1 NB 13,3 71,7 96,7 100 LT 76,7 98,3 100 100 Keterangan: *)Patogenitas persentase kematian jentik dari 20 ekor jentik Ae. Aegypti yang digunakan selama 24 jam pengamatan; NB: Nutrient Broth; LT: limbah cair tahu

Pada Tabel 1 diatas, hasil uji patogenitas

B. thuringiensis pada media limbah cair tahu

(16)

media NB yang bermanfaat sebagai larvasida pada jentik.

Uji patogenitas antara bubuk B.t.i yang diproduksi pada limbah cair tahu dan NB dibandingkan dengan abate diperoleh hasil bahwa pada konsentrasi 0,05 gr/l memiliki daya bunuh yang sama yaitu 100%. Sedangkan pada konsentrasi terendah yaitu 0,01 gr/l diketahui bahwa abate memiliki daya bunuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan bubuk B.t.i pada limbah cair tahu maupun NB. Hal ini dapat disebabkan karena abate merupakan larvasida yang mengandung bahan kimia sehingga memiliki daya bunuh yang lebih baik dibandingkan dengan B.t.i yang merupakan bioinsektisida alamiah.

Pada konsentrasi 0,01 gr/l diperoleh hasil bahwa B.t.i yang diproduksi dengan limbah cair tahu memiliki daya bunuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan NB, hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti: kebiasaan jentik, tersedianya toksin di daerah makan jentik, tingkat kerentanan jentik terhadap toksin yang dihasilkan dan kemampuan cairan usus untuk melarutkan kristal toksin.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGA-RUHI PATOGENITAS JENTIK

Ada beberapa faktor yang turut serta mempengaruhi kemampuan formulasi

Bacillus thuringiensis dalam membunuh jentik.

Adapun faktor-faktor tersebut adalah : 1. Kebiasan makan dari jentik

Jentik Aedes aegypti mempunyai kebiasaan mengambil makanan di dasar dan dinding tempat penampungan

air (bo! om feeders). Hal ini dapat

mempengaruhi daya bunuh spora B.t.i dimana kebiasaan makan jentik tersebut dengan keberadaan endapan dari spora

bacillus.

2. Tersedianya toksin di daerah makan jentik (larval feeding zone)

Keberadaan toksin dari B.t.i pada daerah makan jentik tersebut sangat

mempengaruhi daya bunuhnya. Jentik yang mengambil makan pada dasar penampungan akan lebih cepat mati dibandingkan yang makan di daerah permukaan saja. Dilaporkan bahwa jumlah spora bakteri B.t.i adalah sama banyak dipermukaan dan dasar air pada hari ke 3 dan ke 7 sesudah aplikasi (Blondine, 2004). Kemungkinan bahwa sebelum hari ke tujuh jumlah spora bakteri formulasi bubuk B.t.i sudah mulai mengendap di dasar perairan yang sepenuhnya mencapai sasaran makan jentik Aedes aegypti.

3. Tingkat kerentanan jentik terhadap toksin yang dihasilkan

Masing-masing jentik memiliki kerentanan yang berbeda-beda terhadap konsentrasi toksin dari B.t.i Tingkat instar jentik dari I, II, II dan IV memiliki daya tahan terhadap toksin juga berbeda. Hal ini juga menyebabkan perbedaan konsentrasi toksin yang harus diberikan terhadap jentik tersebut. Dilaporkan bahwa besar kecilnya konsentrasi B.t.i dalam mematikan jentik, tergantung pula pada tingkat kerentanan jentik sasaran terhadap toksin yang dihasilkan (J. Li, 1991). Kemampuan cairan usus untuk melarutkan kristal toksin

(17)

spora untuk berkembang, masuk kedalam sel dan menyerang larva sampai mati

Daya tahan usus perut jentik dalam melarutkan kristal protein toksin dapat mempengaruhi waktu yang dibutuhkan untuk membunuh jentik tersebut. Semakin kuat kondisi usus perut larva terhadap toksin yang dihasilkan bakteri B.t.i semakin lemah juga daya bunuhnya.

Keuntungan Penggunaan Media Limbah Cair Tahu

Biokontrol B.t.i merupakan biokontrol yang efektif untuk membunuh jentik nyamuk tetapi harganya cukup mahal untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia. Substansi aktif dari B.t.i adalah spora yang dibentuk oleh B.t.i dibuat dengan menggunkan media yang relatif mahal oleh karena itu penelitian ini digunakan untuk mencari media yang relatif murah, salah satunya dengan menggunakan media limbah cair tahu. Adapun keuntungan dari penggunaan media limbah cair tahu yakni :

1. Bahan Media yang Murah

Saat ini biokontrol B.t.i dibuat dengan menumbuhkan strain B.t.i pada media sintetis yang biayanya relatif mahal, sehingga untuk 10 tablet d" ual seharga 20 dollar. Sedangkan jika produksi B.t.i dengan menggunakan media Nutrient

Broth (NB), yang dalam satu liternya

mengandung 3 gr beef extract dan 5 gr

tryptone maka perincian biaya yang

dihabiskan sebesar Rp. 25.000 per liter. Sedangkan untuk membuat media NB sebanyak 100 liter maka biaya yang dibutuhkan sebesar Rp. 2.500.000. Penggunaan media limbah cair tahu adalah salah satu alternatif untuk memacu pertumbuhan toksin B.t.i yang lebih murah. Dengan menggunakan media limbah cair tahu ini biaya pembuatan toksin menjadi jauh lebih murah sebab tidak memerlukan media sintetis lagi. Sehingga dapat terjangkau oleh masyarakat.

2. Mengurangi Pencemaran Lingkungan Perairan

Pemerintah akhir-akhir ini sangat menekankan era “sadar lingkungan” dan mengharuskan semua industri membuat analisis masalah dampak lingkungan (AMDAL) sesuai dengan SK Menteri KLH No.52 Tahun 1986 dan SK Menteri KLH No.29 Tahun 1986 serta SK Menteri KLH No.03 Tahun 1991 Tentang Peraturan Pembuangan Limbah. Bagi industri yang sudah beroperasi dan yang akan dibangun serta yang air limbahnya dibuang ke perairan harus memenuhi standar baku mutu air limbah yang telah ditentukan.

Berdasarkan data dari statistik yang ada industri pengolahan tahu di Indonesia sebanyak 4.000 unit yang tersebar di Jawa Barat dan berbagai daerah lainnya. Ditinjau dari komposisi kimianya, ternyata air limbah cair tahu mengandung nutrien-nutrien (protein, karbihidrat, dan bahan-bahan lainnya) yang jika dibiarkan dibuang begitu saja ke sungai justru dapat menimbulkan pencemaran perairan. Selama ini limbah industri tahu dibuang begitu saja tanpa ada pengolahan lebih lanjut. Limbah cair tahu ternyata bisa digunakan sebagai media pertumbuhan B.t.i yang bermanfaat sebagai bioinsektisida larva nyamuk. Dengan ditemukannya manfaat limbah cair tahu tersebut maka diharapkan nantinya limbah tersebut dapat digunakan dan tidak lagi mencemari lingkungan sekitar.

3. Mudah untuk Mendapatkannya

(18)

SIMPULAN

Berdasarkan perhitungan sel diketahui perbedaan jumlah sel antara media limbah cair tahu dan NB tidak signi# kan namun pada perhitungan spora perbedaannya signi# kan. Hal ini disebabkan media tumbuh pada limbah cair tahu cukup baik untuk memacu pertumbuhan spora B.t.i. Uji patogenitas cair B.t.i didapatkan hasil dimana berdasarkan dosis media limbah cair tahu memiliki daya bunuh yang cukup baik dibandingkan media NB. Membunuh 100% jentik pada media limbah cair tahu hanya dibutuhkan dosis 0,025 ml/l sedangkan pada media NB dibutuhkan lebih banyak yakni 0,075 ml/l. Hasil uji patogenitas bubuk B.t.i membandingkan antara abate, penggunaan media NB dan Limbah cair tahu pada dosis 0,05 gr/l mempunyai daya bunuh 100%. Sedangkan pada dosis lebih rendah yakni 0,01 gr/l abate memiliki daya bunuh 85%, media NB mempunyai daya bunuh 30% dan media limbah cair tahu 55%.

Adapun keuntungan yang didapat dengan menggunakan media limbah cair tahu sebagai media pertumbuhan spora B.t.i yakni bahan media yang murah, mengurangi pencemaran perairan, mudah untuk mendapatkannya.

Penelitian ini akan dikembangkan lebih lanjut dengan menambahkan zat tertentu untuk meningkatkan jumlah spora

Bacillus thuringiensis Serovar israeliensis pada media limbah cair tahu. Untuk selanjutnya diaplikasikan secara in vivo pada tempat perindukan jentik Aedes aegypti di daerah endemis.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. (1998). Da$ ar Komposisi Bahan Makanan, Direktorat gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: Penerbit Bharata.

Anonimus. (2004). Mosquito control. Available at: h! p://www.comosquitocontrol.com/ Bti_Bs_MOA.htm. Akses: 27 Februari 2005.

Becker, N., (1991)The use of Bacillus thuringiensis israeliensis in Germany. Proceeding of the 3rd Paci# c Rim

Conference on Biotechnology of

Bacillus thuringiensis, held at Huazhong

Agricultural University, Wuhan, China, 5-9 October.

Blondine, C. (2004) Formulasi Bacillus thuringiensis H-14 galur lokal dalam media infus kedelai dan uji patogenitasnya terhadap jentik nyamuk vektor. Jurnal Kedokteran Yarsi. Januari-April; 12 (1): 22-28.

Deacon, J. (2005). “The Microbial World: Bacillus thuringiensis”, (Institute of Cell and Molecular Biology, The University of Edinburgh). Available at: h! p:// helios.bto.ed.ac.uk/bto/microbes/bt.htm . Akses: 27 Februari 2005.

Dep. Kes. RI, (1992). Petunjuk Teknis Pemberantasan Nyamuk Penular Demam Berdarah Dengue. Jakarta. Ditjen PPM dan PL.

Dep. Kes. RI (1995). Pokok-Pokok Kegiatan dan Pengelolaan Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue. Jakarta. Ditjen PPM dan PL. Ester, M., 1998. Demam Berdarah Dengue :

Diagnosis, Pengobatan, Pencegahan dan Pengendalian. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Gorich. By-001-Aqua Resigen. (2004). Available at: h! p://www.ghgroup.com.hk/gorich/ english/product.asp. Akses: 20 April 2005.

(19)

product.asp. Akses: 20 April 2005. Herman. (1985). Pengolahan Kedelai Menjadi

Berbagai Bahan Makanan, di dalam Somaatadja, S. Kedelai. Bogor. Pusat penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.

Imalusita. 1981. Studi pembuatan Kecap Ampas Tahu, di DaLam Laporan Seminar Akademik Pemanfaatan Limbah Industri Hasil Pertanian, Ikatan Mahasiswa THP, Fakultas Teknologi Hasil Pertanian. Bogor. IPB.

Iskandar. 1985. Pemberantasan Serangga dan Binatang Pengganggu, Jakarta Pusdiknaskes.

J. Li., Carroll, J., and Enlar. (1991). D. Image of the Toxin Strukture. Nature. 353 : 815-821.

Kemenkes. (2010). Pro# l Kesehatan Indonesia Tahun 2009. Kemenkes RI. Jakarta. Kristina, Isminah, dan Wulandari, L. (2005).

Kajian Masalah Kesehatan : Demam Berdarah Dengue. Available at: http://www.litbangkes.depkes.go.id/ meskes/5052004/demam berdarah1.htm. Akses : 20 April 2005.

Kuswardani, T. (1985). Mempelajari Kemungkinan Pemanfaatan Limbah Cair Tahu Sebagai Media Untuk Memproduksi Enzim Amiloglukosidase Dari Kapang Yang Diisolasi Dari Singkong (Manihot sp). Tesis Sarjana Jurusan TPG. Fakultas Teknologi Pertanian. Bogor. IPB.

Mardihusodo, SJ., (1991). Sensitivitas Larva Nyamuk Aedes aegypti L. Terhadap Bacillus thuringiensis H-14 dan Bacillus sphaericus 1953. Yogyakarta. Fakultas Kedokteran, UGM.

Soesanto. (1992). Initial Study of Production of Bacillus thuringiensis israelensis Using Locally Obtained Substrate. Berkala ilmu Kedokteran, 24 (3).

Thomas, W.E and Ellar, DJ., (1983). Mechanism of action of Bacillus thuringiensis var. israeliensis insecticidal d-endotoksin, FEBS le! . 154 : 362-368.

WHO, (1979). Data sheet on the biological control agent, Bacillus thuringiensis serotype H-14, WHO/VBC/79.750.1-13. WHO, (1995). Guidelines for dengue

(20)

GAMBARAN FAKTOR YANG BERHUBUNGAN

DENGAN PENDERITA KUSTA

DI KECAMATAN TAMALATE KOTA MAKASSAR

Syamsuar Manyullei*, Deddy Alif Utama, Agus Bintara Birawida

Bagian Kesehatan Lingkungan FKM Unhas, Makassar *Email: [email protected]

ABSTRACT

Leprosy is an infectious disease caused by Mycobacterium leprae. Based on data from Pemerintah Kota Makassar (2007), Tamalate sub district is an area in which new cases detection are quite high every year (Makassar as many as 15 cases per year). This research aims to explore the factors associated with lepers in the Tamalate District of Makassar. Determinants of lepers are knowledge, age, gender, physical contact and personal hygiene.

This research is driven by observational study with descriptive approach. Study population includes all lepers living in Tamalate District and registered since January 2008 - December 2011 from four health centers in the district. The sample is lepers currently on treatment or have completed treatment (RFT) aged = 15 years. Thus, sampling method uses exhaustive sampling with a sample size of 51 people and the data are analysed with univariate dan bivariate analysis. These results indicate that, 66.7% lepers have suX cient knowledge about leprosy, 78.4% lepers were 15 years old or older when they began to be diagnosed as lepers, 60.8% lepers are male, 84.3% lepers are at high risk of infected leprosy regarding to physical contact, and 49% lepers have good personal hygiene.

Lepers have suX cient of knowledge about leprosy, lepers were 15 years old or older when they began to be diagnosed as lepers. Most of lepers are male, lepers have good personal hygiene. Thus, this research recommends to increase health promotion on leprosy, minimize physical contact with lepers, and improve personal hygiene such as maintaining to wash hands.

Keyword: Lepers, Knowledge, Physical Contact, Personal Hygiene

PENDAHULUAN

K

usta adalah penyakit menular yang disebabkan Mycobacterium leprae. Penyakit ini dapat menyebabkan masalah yang kompleks, bukan hanya dari segi medis seperti cacat # sik tetapi juga sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional. Bila tidak ditangani dengan cermat, kusta dapat menyebabkan cacat dan keadaan ini menjadi penghalang bagi pasien kusta dalam menjalani kehidupan bermasyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonominya (Widoyono, 2008 : 95). Penyakit ini sendiri merupakan salah satu gambaran nyata kemiskinan di masyarakat Indonesia, karena kenyataannya sebagian besar penderita kusta berasal dari golongan ekonomi lemah.

Adanya hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan sebagai salah satu bagian dari perilaku dengan proses penularan dan penyembuhan pada penderita kusta. Orang yang memiliki pengetahuan yang tinggi tentang kusta tentunya akan berusaha menjauhkan dirinya dari faktor-faktor yang dapat menjadi sumber penularan penyakit ini (Mukhlis, 2010). Selain itu, pengetahuan tentang penyakit juga harus sejalan dengan perilaku hygiene seseorang dalam kesehariannya. Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa perilaku hygiene memiliki hubungan bermakna pada penularan penyakit kusta (Idris, 2008).

(21)

dengan penderita Multi Basiler(borderline dan

lepromatosa) mempunyai risiko lebih tinggi

daripada kontak serumah dengan penderita

Pausi Basiler (tuberculoid dan indeterminate),

yaitu antara empat sampai sepuluh kali pada kontak dengan penderita Multi Basiler

dibandingkan hanya dua kali pada kontak dengan penderita Pausi Basiler. Seorang anak yang tinggal lama di daerah endemik kusta juga mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk melakukan kontak dengan penderita kustabertipe menular. Faktor umur dalam penelitian ini sangat berkaitan dengan sistem imun yang belum berkembang dengan baik, kontak sekali saja atau beberapa kali kontak dengan penderita kustamenular yang banyak mengandung bakteri ini mungkin sudah cukup untuk tertular penyakit tersebut (Awaluddin, 2004). Selain itu, terdapat pula faktor jenis kelamin dalam penularan kusta. Pada penelitian lain, terdapat nilai kemaknaan 0,001 yang menandakan bahwa jenis kelamin berpengaruh pada penularan kusta (Winarsih, 2011).

Mycobacterium leprae sebagai kuman

penyebab penyakit ini sebenarnya sangat lambat dalam memperbanyak diri sehingga masa inkubasi penyakit ini sekitar lima tahun. Gejalanya dapat memakan waktu selama 20 tahun untuk muncul. Meskipun WHO telah mencanangkan program eliminasi kusta pada tahun 2000 dan melaporkan 118 dari 122 negara telah eliminasi, namun kenyataannya jumlah penderita kustamasih tinggi dan masih banyak temuan kasus baru yang dilaporkan setiap tahunnya. Situasi ini bahkan lebih serius jika mereka yang terkena dampak adalah anak-anak (Anonim, 2001).

Indonesia telah mencapai target eliminasi kustapada tahun 2001, dengan jumlah kasus tercatat pada akhir 2006 sebanyak 22.175. Angka prevalensi ini telah berhasil diturunkan dari 5,1 per 10.000 penduduk pada tahun 1991 menjadi 0,98 per 10.000 penduduk pada tahun 2005. Penurunan angka prevalensi kusta di Indonesia tidak disertai penurunan jumlah kasus baru terdeteksi (new case detection) yang merupakan proxy angka insidensi kusta.

Fakta ini menunjukkan adanya indikasi terus berlangsungnya transmisi kustapada kantong-kantong wilayah kusta dengan kecepatan pertumbuhan yang sama. Indikasi ini diperkuat dengan adanya kesenjangan antara jumlah kasus kusta tercatat (registered cases) yang menjadi proxy dari angka prevalensi kusta dengan angka prevalensi kusta berdasarkan survei (point prevalens). Angka prevalensi hasil survei ditemukan lebih tinggi dari angka kasus tercatat. Hal ini mengindikasikan adanya kasus tidak terdeteksi yang menjadi sumber penularan di masyarakat (Depkes RI, 2007).

Kecamatan Tamalate merupakan daerah dengan penemuan kasus baru yang cukup tinggi tiap tahunnya di Makassar yaitu sebanyak 15 kasus per tahun (Anonim, 2007). Berdasarkan uraian di atas, diantaranya tentang pentingnya upaya pencegahan penularan kusta, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang gambaran faktor yang berhubungan dengan penderitakustadi Kecamatan Tamalate Kota Makassar. Variabel yang diteliti yaitu pengetahuan, umur, jenis kelamin, kontak # sik dan hygiene perorangan.

METODE

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Tamalate Kota Makassar. Pemilihan lokasi didasarkan karena Kecamatan Tamalate merupakan salah satu daerah endemik kusta tertinggi di Makassar dengan penemuan kasus baru tiap tahunnya yaitu sebanyak 15 kasus, berdasarkan pada pro# l kesehatan Kota Makassar tahun 2007.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2012-Maret 2012.

Jenis penelitian adalah penelitian observasional dengan pendekatan deskriptif.

(22)

Basiler, yang sedang dalam masa pengobatan maupun yang telah selesai pengobatan (RFT) dan berumur 15 tahun atau lebih dengan total 51 orang.Sampel diambil dengan teknik

exhaustive sampling. Sampel dalam penelitian

ini adalah keseluruhan penderita kusta yang berjumlah 51 orang.

Data Primer diperoleh dengan melakukan wawancara langsung kepada responden yang terpilih dengan menggunakan kuesioner yang tersedia secara door to door. Data sekunder berupa identitas pasien, diagnosis awal pasien, lama pengobatan dan riwayat pengobatan pasien diperoleh dari rekam medik di empat puskesmas di wilayah kerja Kecamatan Tamalate Kota Makassar yaitu Puskesmas Tamalate, Puskesmas Jongaya, Puskesmas Barombong dan Puskesmas Mangasa.

Pengolahan data dilakukan secara elektronik dengan menggunakan program komputer SPSS (Statistical Package and Social

Siences) versi 17. Model analisis data yang

dilakukan adalah analisis univariat dan bivariat. Data yang telah dianalisis disajikan dalam bentuk tabel distribusi, gra# k dan narasi untuk mengetahui gambaran faktor yang berhubungan dengan penderitakustadi Kecamatan Tamalate Kota Makassar.

HASIL

Hasil analisis deskriptif variabel ditunjukkan pada Tabel 1, sedangkan hasil analisis antar variabel ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 1 terdiri atas tingkat pengetahuan, umur saat terdiagnosa, jenis kelamin, kontak # sik, hygiene perorangan sebelum terdiagnosa kustadan hygiene perorangan setelah terdiagnosa kusta. Tabel 2 terdiri atas hasil analisis antar variabel umur dengan tingkat pengetahuan, jenis kelamin dengan tingkat pengetahuan, tingkat pendidikan dengan tingkat pengetahuan, hygiene perorangan setelah terdiagnosa dengan tingkat pengetahuan dan jenis kelamin dengan kontak # sik.

Dari 51 orang responden terdapat 34 responden atau sebesar 66,7% yang memiliki

tingkat pengetahuan cukup. Walaupun demikian, masih terdapat beberapa pertanyaan seperti pengertian kusta, saluran masuk kuman kusta ke dalam tubuh manusia, masa inkubasi kuman kusta dan tipe kusta menurut Depkes RI, yang menunjukkan jumlah dan persentase jawaban “tidak tahu” yang cukup tinggi.

Sebagian besar yaitu sebanyak 40 responden (78,4%) yang berumur 15 tahun atau lebih saat pertama kali terdiagnosa menderita kusta. Sedangkan sisanya yaitu sebanyak 11 responden atau sebesar 21,6% adalah responden yang berumur kurang dari 15 tahun saat pertama kali terdiagnosa menderita kusta. Sebesar 60,8% atau 31 responden berjenis kelamin laki-laki.

Variabel kontak # sik menunjukkan bahwa sebagian besar responden yaitu 43 responden atau sebesar 84,3% yang berisiko tinggi tertular kusta melalui kontak # sik. Sedangkan sisanya yaitu sebanyak 8 responden atau sebesar 15,7% adalah responden yang berisiko rendah tertular kusta melalui kontak # sik. Kontak # sik yang paling sering dilakukan responden adalah kontak kulit dan berbicara dengan penderita.

Persentase responden berdasarkan kategori hygiene perorangan sebelum terdiagnosa kusta yang tertinggi berasal dari kategori sangat baik yaitu 18 responden (35,3%). Kategori hygiene perorangan setelah terdiagnosa kusta yang tertinggi berasal dari kategori baik yaitu 25 responden (49%). Praktik hygiene perorangan sebagian besar responden sebelum maupun setelah terdiagnosa kusta sudah tergolong baik. Walaupun demikian, masih terdapat beberapa praktik yang jumlah dan persentasenya sangat kurang. Praktik hygiene perorangan tersebut adalah tangan selalu dicuci bersih sebelum dan sesudah makan, bekerja dan setelah BAB serta membersihkan dan mencuci kasur/seprei tidur minimal seminggu sekali.

(23)

berhubungan dengan penderita kusta secara lebih jelas seperti pada tabel 1.

Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Analisis Deskriptif Variabel 2. Kurang dari 15 tahun

40

1. Berisiko tinggi 2. Berisiko rendah

43

Sumber: Data Primer, 2012

1) Kategori Umur Dengan Tingkat Pengetahuan

Dari 34 responden yang berpengetahuan cukup, persentase tertinggi berasal dari rentang umur 36-45 tahun yaitu 15 responden (44%). Sedangkan dari 17 responden yang berpengetahuan kurang, persentase tertinggi berasal dari rentang umur 36-45 tahun dan 46-55 tahun yaitu masing-masing 5 responden (29,4%).

2) Jenis Kelamin Dengan Tingkat Pengetahuan

Dari 34 responden yang berpengetahuan cukup, persentase tertinggi berasal dari jenis kelamin laki-laki yaitu 20 responden (58,8%). Sedangkan dari 17 responden yang berpengetahuan kurang, persentase tertinggi juga berasal dari jenis kelamin laki-laki yaitu 11 responden (64,7%).

3) Pendidikan Dengan Tingkat Pengetahuan

Dari 34 responden yang berpengetahuan cukup, persentase tertinggi berasal dari jenjang Tamat SD yaitu 13 responden (38,2%). Sedangkan dari 17 responden yang berpengetahuan kurang, persentase tertinggi berasal dari jenjang tidak tamat SD yaitu 9 responden (53%).

4) Hygiene Perorangan Setelah Terdiagnosa Kusta Dengan Tingkat Pengetahuan Dari 34 responden yang berpengetahuan cukup, persentase tertinggi berasal dari kategori hygiene perorangan baik yaitu 18 responden (52,9%). Sedangkan dari 17 responden yang berpengetahuan kurang, persentase tertinggi juga berasal dari dari kategori hygiene perorangan baik yaitu 7 responden (41,2%).

5) Jenis Kelamin Dengan Kontak Fisik

Dari 8 responden yang berisiko rendah tertular kusta karena kontak # sik, persentase antara laki-laki dan perempuan adalah sama yaitu masing-masing 4 responden (50%). Sedangkan dari 43 responden yang berisiko tinggi tertular kusta karena kontak # sik, persentase tertinggi berasal dari jenis kelamin laki-laki yaitu 27 responden (62,8%).

PEMBAHASAN

Kusta sangat erat kaitannya dengan faktor pengetahuan. Dimana kejadian kecacatan kusta lebih banyak terjadi pada penderita yang mempunyai pengetahuan yang rendah tentang kusta. Karena ketidaktahuan maka mereka tidak segera berobat atau memeriksakan diri. Masa sebelum pengobatan tersebut merupakan saat yang rawan untuk menularkan kusta kepada orang lain. Hal inilah yang biasanya memicu terjadinya ledakan penderita baru di suatu kawasan yang berakibat semakin sulitnya memberantas kusta di masyarakat (Susanto, 2006).

(24)

tidak langsung dapat menimbulkan stigma yang negatif terhadap penyakit kusta. Rendahnya pengetahuan tentang penyakit kusta, mengakibatkan penderita kusta tidak mengetahui akibat buruk yang ditimbulkan oleh penyakit kusta seperti cacat # sik. Stigma yang buruk disebabkan karena kecacatan # sik yang tampak jelas pada penderita kusta inilah yang menyebabkan para penderita d" auhi oleh masyarakat disekitarnya (Das, 2006).

Disisi lain, pengetahuan yang baik hendaknya ditunjang dengan praktik yang baik pula agar pemberantasan kusta dapat terlaksana secara maksimal. Peningkatan pengetahuan masyarakat tentang kusta bisa dilakukan dengan optimalisasi penyuluhan. Penyuluhan kesehatan sebagai salah satu konsep pendidikan kesehatan memiliki tujuan untuk menambah pengetahuan dan mengubah perilaku masyarakat yang tidak sehat menjadi sehat (Soemirat, 2011 : 98).

Umur pada penelitian ini sesuai dengan de# nisi operasional adalah umur responden pada saat pertama kali terdiagnosa menderita kusta. Umur manusia secara garis besar menurut WHO terbagi menjadi tiga tahap yaitu anak-anak (1-11 tahun), remaja (12-16 tahun) dan dewasa (di atas 16 tahun). Kelompok remaja dan dewasa sendiri masuk kedalam umur produktif. Pada umur ini, respon imun lebih aktif dan lebih sering terpapar faktor eksternal (lingkungan). Batasan umur yang dipakai pada penelitian ini yaitu 15 tahun atau lebih.

Penelitian ini menunjukkan bahwa responden sebagian besar terdiagnosa menderita kusta sejak berumur 15 tahun atau lebih (78,4%). Seperti yang telah d" elaskan sebelumnya bahwa umur produktif dalam hal ini yang di atas 15 tahun adalah masa dimana seseorang lebih sering terpapar faktor eksternal (lingkungan).

Umur saat didignosa kusta lebih dari 15 tahun merupakan faktor risiko terjadinya reaksi kusta, sedangkan umur kurang dari 15 tahun cenderung lebih sedikit mengalami reaksi kusta. Hal ini disebabkan karena dalam sistem imun anak, TH2 diduga

kuat mampu mengatasi terjadinya infeksi sehingga frekuensi reaksi kusta lebih kecil terjadi pada anak. Sedangkan pada orang dewasa ketersediaan sel T memori lebih banyak dan menyebabkan frekuensi terjadinya reaksi kusta lebih tinggi (Ranque, et.al, 2006). Berbeda dengan hal tersebut, didapatkan pula bahwa prevalensi kusta justru lebih tinggi terjadi pada umur 18 tahun ke bawah. Faktor umur dalam penelitian ini sangat berkaitan dengan sistem imun pada anak yang belum berkembang dengan baik. Kontak sekali saja atau beberapa kali kontak dengan penderita kusta menular yang banyak mengandung bakteri ini mungkin sudah cukup untuk tertular penyakit tersebut (Kumar, et.al, 2005).

Perspektif gender diakui sangat penting dalam peranannya dalam hubungan sosial serta pengembangan praktik kesehatan. Dimana pada praktik kesehatan, laki-laki dan wanita memiliki kebutuhan yang sangat berbeda satu sama lainnya. Kusta dalam hal ini menghasilkan manifestasi yang berbeda pula antara pria dan wanita. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan angka kejadian kusta lebih sering terjadi pada jenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 68,8%, hal ini berbeda jauh dengan perempuan yang hanya 39,2%.

Terdapat tiga hasil penelitian yang berbeda tentang jenis kelamin kaitannya dengan penularan kusta. Hasil penelitian pertama yang dilakukan oleh Prawoto (2008) menjelaskan bahwa jenis kelamin bukan merupakan faktor risiko yang berpengaruh terhadap terjadinya reaksi kusta karena tidak terdapat perbedaan yang signi# kan pada proporsi kasus yang ada dalam penelitiannya.

(25)

Penularan pada pria berkaitan dengan aktivitas yang dilakukan setiap hari.

Sebagai salah satu faktor penularan kusta, laki-laki cenderung lebih banyak yang bekerja dibandingkan dengan perempuan. Hal ini sangat berkaitan erat dengan adat istiadat, dimana lelaki sebagai kepala keluarga dituntut untuk bisa bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarganya. Namun, seiring perkembangan zaman hal tersebut sedikit demi sedikit telah berubah di karenakan sudah banyak wanita yang kini menjadi tulang punggung keluarganya.

Berbagai literatur tentang kusta memberikan de# nisi yang berbeda tentang “kontak” yang telah digunakan pada pertimbangan operasional. Hal ini dapat disimpulkan bahwa orang yang berisiko tertular kusta tidak terbatas pada kelompok anggota keluarga langsung hidup di bawah atap yang sama, yang merupakan grup kontak yang saat ini diperiksa selama survei kontak dalam banyak program kontrol kusta. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa peristiwa kontak cenderung lebih sering dan intens dalam kelompok ini dan risiko lebih tinggi telah ditunjukkan, tapi grup kontak tetangga dan kontak sosial tampaknya juga penting (Moet, et.al, 2006).

Penelitian ini menunjukkan bahwa dari 51 orang responden terdapat 43 responden atau sebesar 84,3% yang berisiko tinggi tertular kusta melalui kontak # sik sedangkan sisanya yaitu sebanyak 8 responden atau sebesar 15,7% adalah responden yang berisiko rendah tertular kusta melalui kontak # sik. Sebagian besar kontak # sik terjadi dikarenakan kontak langsung dengan kulit penderita walaupun pada penelitan di lapangan didapati pula bahwa menggunakan barang-barang dan berbicara dengan penderita sebelumnya merupakan salah satu kegiatan yang sering dilakukan responden.

Berkaitan dengan penjelasan di atas, sebagian besar penelitian juga mengungkapkan bahwa adanya kontak langsung dengan penderita baik berupa kontak kulit antar keluarga, tetangga maupun teman merupakan

sumber penularan utama antar manusia. Tidak hanya penderita dan orang disekitarnya, namun tenaga kesehatan juga rawan untuk kontak langsung dengan penderita bahkan mungkin lebih intensif jika bekerja di daerah endemik(WHO, 2001). Secara umum, baik dilihat dari segi umur maupun jenis kelamin, penderita dengan tipe kusta MB (MultiBasiler) memiliki risiko untuk menularkan kumannya melalui kontak # sik kepada orang lain sebesar lima sampai delapan kali dibanding dengan tipe PB (Pausi Basiler) yang hanya dua kali (Chisi, et.al, 2003).

Berbagai hal dapat dilakukan untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan pada penularan kusta, salah satunya dianjurkan untuk menghindari kontak langsung ke penderita kusta. Hal ini terbukti menurunkan angka kejadian kusta sekaligus mengurangi timbulnya kasus baru di berbagai daerah (Entjang, 2003).

Hygiene perorangan adalah perawatan

diri dimana individu mempertahankan kesehatannya dan dipengaruhi oleh nilai serta keterampilan. Di dalam dunia keperawatan,

hygiene perorangan merupakan kebutuhan

dasar manusia yang harus senantiasa terpenuhi. Hygiene perorangan termasuk kedalam tindakan pencegahan primer yang spesi# k. Hygiene perorangan menjadi penting karena hygiene perorangan yang baik akan meminimalkan pintu masuk (port of entry) mikroorganisme yang ada dimana-mana dan pada akhirnya mencegah seseorang terkena penyakit (Sari, 2007).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, kategori hygiene perorangan sebelum terdiagnosa kusta yang tertinggi berasal dari kategori sangat baik yaitu 18 responden (35,3%).

Hygiene perorangan setelah terdiagnosa kusta

yang tertinggi berasal dari kategori baik yaitu 25 responden (49%).

Gambar

Gambar 1. Perbandingan Jumlah Sel B. thuringiensis pada Nutrient Broth dan Limbah Cair Tahu
Tabel 1. Distribusi  Responden Berdasarkan Analisis Deskriptif Variabel
Tabel 1. Data PWS Kesehatan Ibu Januari – September 2010 di Puskesmas Densel
Gambar 1.  Peta Cakupan Ibu Hamil K1 di Wilayah Kerja Puskesmas I Denpasar Selatan Bulan November 2010
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil temuan dari penelitian ini bahwa petani Indramayu melakukan protes terhadap kewajiban serah pada pihak Jepang, karena petani Indramayu memiliki keyakinan

Hasil analisis regresi sederhana yang telah dilakukan maka dapat diketahui bahwa kualitas produk mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan konsumen Gee Eight Clothing

Ekstrusion moulding adalah suatu proses pembuatan plastik (termoplastik) yang berbentuk profil atau bentukan yang sama dengan ukuran panjangnya yang cukup

Berdasarkan pengamtan nilai PP tidak memiliki pola yang sama dengan konsentrasi oksigen terlarut yaitu konsentrasi oksigen terlarut tertinggi terdapat pada pemukaan

Menurut Watson (Munawaroh et al., 2018) terdapat 8 kategori kesalahan dalam menyelesaikan soal, yaitu: a.) Inappropriate Data/ID yaitu siswa keliru ketika memasukkan data;

Niat ikhlas,Penafsiran para ulama tafsir tentang Surat Hud ayat yang ke 29, menjelaskan bahwa dakwah Nabi Nuh kepada kaumnya memang didasarkan oleh

Dalam agenda agama Islam, setiap umat muslim mempunyai kewajiban dalam mengajak dan menyeru manusia untuk melaksanakan syari’at Islam melalui dakwah, yaitu

Metode yang digunakan dalam pemilihan calon Wirausaha Muda Pemula dan Penggerak Wirausaha Berprestasi tahun 2013 adalah metode kualitatif dengan pendekatan induktif,