• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

HIV DALAM KEDOKTERAN GIGI

Oleh

Drg I Gusti Agung Dyah Ambarawati, M.Biomed

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2019

(2)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

BAB II TOPIK BAHASAN ... 3

2.1 Dampak sosial dan ekonomi terhadap HIV di Indonesia dan Negara Tetangga ... 3

2.2 HIV and Stigma : Bagaimana stigma HIV pada bidang kedokteran gigi? .... 4

2.3 Kesehatan Mulut dan HIV : yang harus diketahui oleh para mahasiswa kedokteran gigi ... 6

2.4 Ketidakmerataan infeksi HIV di dunia ... 7

2.5 Perubahan Pola Epidemiologi Manifestasi Oral pada HIV di dunia ... 8

BAB III PEMBAHASAN ... 11

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 16

DAFTAR PUSTAKA ... 17

(3)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Prevalensi manifestasi oral yang sering ditemukan pada pasien HIV ... 9 Tabel 2. Manifestasi oral pada pasien HIV ... 9 Tabel 3. Prevalensi rata-rata manifestasi oral di negara maju dan berkembang .... 10 Tabel 4. Prevalensi rata-rata manifestasi oral di negara maju dan berkembang dan

negara maju ... 10 Tabel 5. Manifestasi oral ada pasien dengan ART dan tidak dengan ART ... 10

(4)

BAB I PENDAHULUAN

Human Immunodeficiency Virus atau yang lebih sering dikenal dengan HIV telah mengenai seluruh bagian di dunia. Berbagai macam cara telah dilakukan untuk mengurangi tingkat penyebaran virus ini, namun data menunjukkan angka yang terus bertambah dari tahun ke tahun semenjak HIV pertama kali ditemukan. Menurut data WHO, jumlah penduduk yang menderita HIV sebanyak 37,9 juta jiwa per tahun 2018, dan sejumlah 1,7 juta jiwa merupakan kasus baru di tahun 2018. Diperkirakan sekitar 640.000 penduduk di Indonesia hidup dengan penyakit HIV, dan hanya setengahnya yang mengetahui bahwa mereka menderita penyakit HIV (UNIADS 2018).

Hingga saat ini, tindakan pencegahan dan perawatan kasus HIV masih menjadi tantangan bagi dunia kesehatan, terlebih dikarenakan stigma yang ada di masyarakat terhadap penderita HIV. Penderita HIV seharusnya lebih dilibatkan dalam program pencegahan yang berkelanjutan terutama untuk menjangkau populasi HIV itu sendiri dan untuk menghindari stigma serta diskriminasi. Global Health Sector Strategy untuk HIV, 2016-2021, bersama dengan pendekatan yang dilakukan UNAIDS “Fast Track” membuat target yang ditujukan untuk seluruh golongan usia. Target tersebut adalah menurunkan angka kejadian HIV baru pada orang dewasa hingga dibawah 500.000 pada tahun 2020 dan dibawah 200.000 ditahun 2030; dan mengurangi kematian akibat HIV hingga dibawah angka

500.000 pada tahun 2010 dan di bawah 400.000 di tahun 2030.

Orang dengan HIV biasanya memiliki tanda klinis yang muncul pada rongga mulut dan mungkin tidak mereka sadari. Makadari itu dokter gigi diharapkan mampu menjadi lini pertama dalam memeriksa dan mengajukan tindakan pengecekan status HIV. Sudah cukup banyak klinik dokter gigi diluar negeri yang akan merekomendasikan tindakan test HIV kepada pasiennya jika dirasa memiliki kecenderungan penyakit HIV, dan juga sudah ada klinik yang menyediakan self testing HIV sederhana dengan menggunakan saliva (tetapi self testing ini tidak menggantikan tes HIV sesungguhnya, hanya sebagai diagnostik awal).

(5)

Seluruh petugas kesehatan (termasuk yang masih menjadi murid tenaga kesehatan) harus memiliki pengetahuan yang cukup mengenai pencegahan dan perawatan kasus pasien dengan HIV. Pada negara Indonesia sendiri, orang dengan HIV masih mendapat stigma yang negatif dari masyarakat, tidak terkecuali oleh tenaga kesehatan. Hal ini mungkin terjadi karena kurangnya edukasi yang didapat.

Semua petugas kesehatan, khususnya dokter gigi memiliki tanggungjawab etik dan profesionalisme kepada semua pasien tidak terkecuali pasien dengan HIV yang hendak melakukan perawatan gigi. Jangan sampai pasien merasa didiskriminasi dan seperti tidak dirawat oleh dokter gigi. Dengan edukasi yang cukup, tentu seluruh dokter gigi dan juga tenaga kesehtan lainnya mampu menangani pasien dengan HIV dengan baik.

(6)

BAB II TOPIK BAHASAN

2.1 Dampak sosial dan ekonomi terhadap HIV di Indonesia dan Negara Tetangga

Estimasi penderita HIV di Indonesia mencapai angka 640.000 jiwa, dan sekitar 53% masyarakat yang menderita HIV mengetahu bahwa mereka menderita HIV. Berdasarkan data, sebanyak 17% (111.648 jiwa) masyarakat mengonsumsi obat ARV dan hanya 1% (3.541) yang diketahui telah mengalami penurunan kadar virus. Didapati beberapa tantangan dalam melakukan perawatan HIV antara lain diagnosa yang terlambat, resistensi terhadap obat HIV, koinfeksi HIV-TB, stigma dan diskriminasi masyarakat, kekerasan fisik dan seksual, status ekonomi penderita HIV/AIDS, kebijakan HIV/AIDS dan kesehatan global.

Tingkat insidensi HIV masih terus meningkat di Indonesia dan beberapa negara di Asia. Stigma dan diskriminasi masih menjadi penghalang terbesar dalam program preventif dan perwatan HIV di Indonesia. Diharapkan kedepannya para pekerja dibidang kesehatan termasuk dotker gigi harus siap dan mau untuk bersama-sama bergabung dalam tindakan preventif dan memberikan layanan kesehatan kepada orang-orang yang berisiko dan yang telah terkena HIV dan penyakit infeksius lainnya.

Indonesia dan beberapa negara tetangga lainnya berkomitmen untuk menghentikan wabah AIDS sebagai ancaman kesehatan dunia pada tahun 2030.

Seluruh negara perlu untuk menangani dengan cepat dan tepat pada penyakit HIV untuk mewujudkannya. Pada tahun 2018 diperkirakan ada 640.000 orang yang hidup dengan HIV di Indonesia, dimana 400.000 orang laki-laki dewasa (15 tahun keatas), 222.000 orang wanita dewasa dan 18.000 anak-anak. Program untuk memberantas HIV di Indonesia yang harus digalakkan adalah dalam hal pencegahan transmisi penyakit pada populasi yang rentan terkena risiko ini.

Program-program pencegahan yang sudah ada di Indonesia antara lain penggunaan kondom, akses untuk konseling dan pengecekan HIV pada populasi yang berisiko termasuk wanita hamil dan akses terapi obat antiretroviral untuk pasien dengan HIV positif. Pada tahun ini, Indonesia akan mencoba PrEP / pre-

(7)

exposure prophylaxis (pengobatan pencegahan sebelum didapati HIV positif) untuk diterapkan pada populasi yang berisiko tinggi.

Indonesia masih tertinggal dalam mencapai target 90-90-90 HIV treatment.

Kebanyakan negara di Asia masih buruk dalam hal kinerja mencapai target tersebut: kurang dari 50% populasi yang mengtahui status mereka, kurang dari 30% mendapatkan perawatan ARV, dan penurunan jumlah virus. Singapore, Thailand dan Kamboja menjadi negara yang dapat mencapai target. Indonesia seharusnya melakukan pembaruan nasional untuk mempercepat respon dalam penangan HIV dengan cara mengurangi stigma dan diskriminasi, pelayanan kesehatan publik yang baik, jadi populasi dengan risiko tinggi dapat mengkses perawatan dengan baik.

2.2 HIV and Stigma : Bagaimana stigma HIV pada bidang kedokteran gigi?

Panduan untuk memberikan perawatan gigi pada pasien dengan HIV antara lain :

- Seluruh praktik kedokteran gigi harus mampu untuk memberikan tindakan perawatan gigi rutin untuk pasien dewasa maupun anak-anak (American Dental Association)

- Hampir seluruh pasien HIV dapat melakukan prosedur perawatan rutin gigi, termasuk operasi mulut (American Dental Association)

- Merupakan sebuah tindakan yang tidak etis dan tidak benar jika menolak untuk melakukan perawatan gigi pada pasien dengan HIV, termasuk di praktek dokter gigi pribadi (British Dental Association)

- Standar prosedur tindakan pencegahan harus diterapakan kepada semua pasien, baik yang tidak terdiagnosa HIV sekalipun (American Dental Association)

- Standar prosedur pencegahan infeksi silang harus digunakan pada semua pasien (British Dental Association)

Stigma yang terjadi pada praktik kedokteran gigi antara lain pemakaian alat pelindung diri yang berlebihan, seperti memkai masker double atau handscoon double (19%), penundaan perawatan (15%) bahkan penolakan perawatan (10%) atau membuat rujukan yang sebenarnya tidak perlu, dan pelanggaran kerahasiaan

(8)

(19%). Persektif internasional mengenai sitgma HIV menunjukkan bhawa di Kanada sebanyak 45% merasa seperti dihakimi, 43% orang dengan HIV ragu- ragu untuk mendatangi dokter gigi, dan 73% mengganti dokter gigi setelah didiagnosa HIV positif. Sebanyak 43% orang di Afrika selatan yang hidup dengan HIV tidak membuka statusnya kepada masyarakat umum. Sebagian besar responden merasa mendapatkan pengalaman positif selama perawatan gigi.

Dampak secara tidak langsung mengenai sitgma HIV dalam hubungannya dengan kedokteran gigi antara lain merasa diri sendiri negatif / tercela, didiskriminasi, ketidakinginan untuk mendapatkan perawatan, ketidakinginan untuk memberitahukan status HIV dan sebagainya. Konsekuensi seperti perawatan yang terlambat, kesulitan mendapatkan jadwal perawatan, terbatasnya pilihan dokter gigi, disarankan untuk mencari perawatan lain, kualitas penanganan perawatan yang buruk akan diterima pasien yang mengungkapkan jika dirinya menderita HIV. Beberapa variabel yang mempengaruhi praktisi kedokteran gigi dalam kemauan menangani pasien HIV antara lain pengetahuan mengenai prosedur perawatan yang aman bagi pasien HIV, latar belakang jika pasien LGBT, pengalaman sebelumnya dalam menangani pasien HIV, norma dengan rekan sejawat, dan kewajiban etik dalam melayani pasien HIV.

Beberapa langkah yang dapat diambil dalam menangani stigma dalam praktik kedokteran gigi :

- Prosedur kontrol infeksi silang universal yang tepat

- Metode atau cara dalam menjamin kerahasiaan dalam area klinik - Pengalaman dalam menangani perawatan pasien dengan HIV

- Pemahaman akan pentingnya menjaga kepercayaan diri dalam seluruh tim praktisi kedokteran gigi

- Kurikulum yang terintegrasi mengenai etik dan prinsip profesionalisme - Pemahaman tentang dampak kerahasiaan pasienn terhadap kemauan

pasien untuk mengakses perawatan

(9)

2.3 Kesehatan Mulut dan HIV : yang harus diketahui oleh para mahasiswa kedokteran gigi

Populasi orang dengan HIV terus meningkat seiring bertambahnya harapan hidup dengan penggunaan ARV dan seiring dengan bertambahnya kasus baru di dunia. Tenaga kesehatan khususnya dibidang kedokteran gigi tidak hanya mampu meningkatan kualitas hidup populasi ini dengan cara mengobati infeksi yang ada di mulut dan juga menghilangkan rasa sakit tetapi juga memiliki peran dalam mengetahui infeksi awal HIV dan sangat berpotensial untuk pencegahan infeksi baru. Banyak dari orang yang hidup dengan HIV tidak mengunjungi dokter gigi dan juga enggan untuk mencari perawatan karena takut di diskriminasi dan merasa kurang percaya diri. Berdasarkan penelitian, praktisi kedokteran gigi memiliki kecemasan sosidal dan psikologis yang menyebabkan meraka tidak mau menangani pasien dengan HIV dan banyak disaranakan kurikulum kedokteran gigi harus memberikan dasar ilmiah yang kuat untuk meningkatkan sikap mahasiswa kedokteran gigi dan mengurangi perilaku berprasangka negatif terhadap pasien HIV.

Kurikulum mahasiswa kedokteran gigi harus mencapai target mampu menghasilkan tenaga kesehatan yang dapat memberikan perawatan yang berempati dan kompeten. Pelajaran yang diberikan harus mengandung modul HIV untuk meningkatkan pengetahuan dan kepercayaan diri dalam mendiagnosis dan perawatan lesi oral; mendiskusikan dan pelatihan prosedur kontrol infeksi;

mempertimbangkan maslah ini dengan berhadapan langsung dengan pasien HIV;

meningkatkan kepercayaan diri dalam berkomunikasi dengan pasien dan untuk mengatasi ketakutan dan kecemasan mahasiswa kedokteran gigi.

Sangat penting bagi dokter gigi untuk menjaga perilaku seperti tidak membatasi dan memberikan perwatan yang terbaik bagi pasien dengan HIV.

Selain itu, program edukasi kedokteran gigi pada semua tingkatan harus memberikan pertimbangkan dalam pengambilan langkah intervensi untuk mengatasi perilaku dan kemungkinan bias pada lulusan kedokteran gigi.

(10)

2.4 Ketidakmerataan infeksi HIV di dunia

Berdasarkan data yang ada pada tahun 2019 orang yang hidup dengan HIV di dunia mencapai 37,9 juta jiwa, mereka yang mengetahui dirinya terjangkit HIV sebanyak 29,8 juta jiwa, yang telah menggunakan antiretroviral (ARV) sebanyak 23,3 juta jiwa, dan yang telah mengalami penurunan virus sebanyak 20 juta jiwa.

Anak yatim piatu yang mengalami AIDS (usia 0-17 tahun) sebanyak 14,9 juta jiwa, dan hingga tahun 2019 jumlah kematian akibat wabah infeksi ini sejak wabah diketahui mencapai 74,9 juta jiwa. Pada tahun 2013, UNAIDS menetapkan suatu target pencapaian baru untuk perawatan HIV. Target yang ingin dicapai UNAIDS antara lain:

- Pada tahun 2020, 90% orang yang hidup dengan HIV mengetahui status mereka (sekarang 78%)

- Pada tahun 2020, 90% orng yang di diagnosa menderita HIV menerima perawatan ARV yang berkelanjutan (sekarang 78%)

- Pada tahun 2020, 90% orang yang telah mendapatkan ART (anti retroviral therapy) telah mengalami penurunan jumlah virus (sekarang 86%)

Trend yang terlihat dari tahun 1990 hingga tahun 2018 mendapatkan hasil bahwa orang dewasa dan anak-anak yang terjangkit infeksi baru HIV tetap di angka yang sama, meskipun ada sedikit peningkatan antara di tahun 1995 dan 2000. Terdapat sekitar 5000 kasus baru infeksi HIV (dewasa dan anak-anak) setiap harinya pada tahun 2018, 61% diantaranya berada di sub-Sahara, Afrika, mengenai sekitar 500 anak dibawah 15 tahun, dan sekitar 4400 mengenai dewasa diatas 15 tahun dimana hampir 47% diantaranya mengenai wanita, 32% orang muda (15-24 tahun) dan 20% wanita muda (15-24 tahun).

Estimasi untuk penderita anak-anak (dibawah 15 tahun) per tahun 2018 mendapatkan hasil sebanyak 1,7 juta anak-anak hidup dengan HIV, sebanyak 160.000 kasus HIV baru dan sebanyak 100.000 kasus meninggal akibat AIDS.

Tren dunia orang yang hidup dengan HIV selalu meningkat setiap tahunya sejak tahun 1990. Di sisi lain persentasi kematian akibat AIDS menurun 33% sejak tahun 2010. Jumlah orang yang terkena HIV dan memakai ART terus mingingkat sejak tahun 2010. Persentasi pemakaian ART masih belum merata di berbagai

(11)

negara, misalnya di Asia Pasifik sebanyak 54%, dibarat dan sentral Eropa telah mencapai 79%, namun di timur dan utara Afrika hanya 32%.

Estimasi jumlah orang yang baru terkena HIV pada tahun 2010 dan 2018 di Asia selatan dan Asia tenggara menunjukkan angka yang meningkat sedangkan negara lainnya berada pada angka yang sama bahkan beberapa mengalami penurunan. Tren infeksi HIV baru menurun 12% sejak tahun 2010. Orang yang hidup dengan HIV AIDS di Indonesia mencapai 640.000 jiwa dan termasuk kedua tertinggi di bagian Asia Pasifik.

Jadi dapat disimpulkan jika populasi orang yang hidup dengan HIV terus meningkat di dunia. Angka dari infeksi baru HIV secara dunia mengalami penurunan meskipun tidak pada semua negara. Penggunaan terapi ARV terus mengalami peningkatan meskipun masih terlihat ketidakmeratannya. Jumlah orang dengan HIV yang telah menjalani terapi ARV dan telah mengalami penurunan kadar virus terus mengalami peningkatan. Target baru telah ditetapkan oleh UNAIDS untuk mengefektifkan penanganan HIV di dunia.

2.5 Perubahan Pola Epidemiologi Manifestasi Oral pada HIV di dunia Pentingnya mengetahui manifestsai klinis pada rongga mulut sebagai indikator klinis memburuknya sistem imun telah dilakukan sejak awal mula HIV ditemukan. Manifestasi oral yang paling umum dijumpai pada pasien dengan HIV adalah candidiasis, oral hairy leukoplakia, periodontitis yang parah, oral osteosarcoma. Pada pasien yang dalam perawatan HAART ditemukan bahwa lesi oral leukoplakia menurun prevalensinya, namun oral candidiasis masih tetap sering ditemukan. Berdasarkan data yang telah dikumpulkan dari tahun 1980, 1990 dan 2000 prevalensi manifestasi oral yang umum ditemukan pada pasien HIV adalah sebagai berikut :

(12)

Tahun 1980 Tahun 1990 Tahun 2000

Tahun 1980 Tahun 1990 Tahun 2000 45%

40%

35%

30%

25%

20%

15%

10%

5%

0% OC OHL Periodontitis

Herpe s Simple

x

OC = oral candidiasis OHL : oral hairy leukoplakia

Tabel 1. Prevalensi manifestasi oral yang sering ditemukan pada pasien HIV

Prevalensi manifesasi oral yang biasanya ditemukan pada pasien HIV :

16%

14%

12%

10%

8%

6%

4%

2%

0% Oral

Melanoti c

SGO

Apht ous Ulcer

Non Spesific Ulceratio

n

KS ANUG Warts

Tabel 2. Manifestasi oral pada pasien HIV

Manifestasi Oral Negara Maju Negara Berkembang

M% N 23 M% N 47

Oral Candidiasis 31% 23 39% 47

Hairy Leukoplakia 16% 23 14% 44

Preiodontitis / Gingivitis 6,9% 21 9,5% 46

Necrotizing Ulcerative 2% 23 3% 44

(13)

Herpes Simplex 4% 16 5% 29

Aphtous Ulcer 7% 12 7% 22

Non-specific ulcers 5% 10 5% 26

Kaposi’s Sarcoma 3% 15 7% 21

Salivary Gland Disease 6% 8 10% 24

Warts 5% 11 2% 10

Hyperpigmentation 4% 6 14% 17

Tabel 3. Prevalensi rata-rata manifestasi oral di negara maju dan berkembang Perbandingan pasien HIV dengan ART pada negara berkembang dan negara maju:

90 80 70 60 50 40 30 20 10 0

1990 2000

Tabel 4. Perbandingan pasien HIV dengan ART pada negara berkembang dan negara maju

Manifestasi Oral Pasien tidak dengan ART Pasien dengan ART

M% N 29 M% N 28

Oral Candidiasis 39% 29 26% 26

Hairy Leukoplakia 18% 28 10% 26

Preiodontitis / Gingivitis 7% 23 9% 27

Necrotizing Ulcerative 3% 23 2% 27

Herpes Simplex 3% 16 4% 16

Aphtous Ulcer 5% 13 10% 14

Non-specific ulcers 4% 12 5% 12

Kaposi’s Sarcoma 4% 15 3% 14

Salivary Gland Disease 10% 14 8% 9

Warts 5% 3 4% 13

Hyperpigmentation 18% 6 10% 10

Tabel 5. Manifestasi oral ada pasien dengan ART dan tidak dengan ART

Negara Maju

Negara Berkemba ng

(14)

BAB III PEMBAHASAN

Sejak tahun 1990 sudah banyak penelitian yang dilakukan terkait dengan kasus HIV. Tingkat insidensi HIV masih terus meningkat di Indonesia dan beberapa negara di Asia. Stigma dan diskriminasi masih menjadi tantangan terbesar dalam program preventif dan perwatan HIV di Indonesia. Selain itu diagnosis yang terlambat, resistensi obat HIV, HIV-TB co-infection, kekerasan fisik maupun sexual, status sosioekonomi, serta dukungan dari pemerintah mengenai HIV dan kesehatan global masih menjadi tanangan di Indonesia.

Tenaga kesehatan, termasuk dokter gigi, seharusnya siap dan mampu untuk membantu tindakan pencegahan serta menyediakan perawatan kepada orang- orang yang berisiko terhadap penyakit HIV dan juga penyakit infeksi lainnya dengan baik.

Kesehatan rongga mulut penting untuk kondisi kesehatan umum seseorang, terutama mereka yang hidup dengan HIV. Orang yang hidup dengan HIV memiliki kesehatan rongga mulut yang buruk dan membutuhkan perawatan yang lebih dibandingkan populasi pada umumnya (Doughty et al, 2018). Dokter gigi dan petugas kesehatan lainnya mengambil peran untuk mendeteksi komplikasi di rongga mulut terkait HIV dan merujuknya ke bagian yang lebih tepat. Pada penelitian yag dilakukan di UK tahun 2015, orang dengan HIV merasa terdiskriminasi, merasa ditolak, dan diperlakukan beda saat mendatangi dokter gigi. Hal ini diketahui menjadi sumber utama kecemasan pasien dengan HIV jika hendak mendatangi dokter gigi dan dapat berdampak langsung kepada kesehatan rongga mulut dan kondisi umumnya (Doughty et al, 2018).

Pada penelitian yang dilakukan di tahun 2015 juga mendaptkan hasil beberapa partisipan merasa cemas akan mendapatkan perlakuan yang tidak wajar dari dokter gigi seperti memakai masker dan handscoon ganda, atau dokter gigi mungkin akan takut untuk merawatnya, atau akan mendiskriminasi mereka.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya juga mendatkan hasil bila sitgma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV di praktik kedokteran gigi akan berdampak signifikan terhadap kehidupannya.

(15)

Prevalensi dan insiden infeksi HIV yang berbeda terjadi di beberapa negara dan sering kali menunjukkan hasil yang diluar perkiraan. Pada akhir tahun 2014 estimasi infeksi HIV positif mecapai angka 35 juta jiwa (antara 33 juta – 37 juta jiwa). Dari data tersebut 2/3-nya berada di sub-Sahara Afrika (mencapai 25 juta jiwa), mendekati 4 juta jiwa di Asia selatan dan Asia Tenggara (merepresentassikan sebanyak 15% dari total) , sekitar 4% di Amerika Utara dan mendekati angka 5% di Amerika Selatan. Gambaran ini menunjukkan betapa besar dan tidak meratanya penyebaran infeksi HIV di seluruh dunia, terlebih ketika data tersebut diolah menjadi persentasi populasi yang HIV positif maka variasi yang luas lebih terlihat. Prevalensi rata-rata infeksi HIV di seluruh dunia adalah 0,2% dari populasi. Sementara di sub-Sahara Afrika sekitar 5,5% dan negara Carribean menempati posisi setelahnya yaitu sebanyak 1,1% dari populasi.

Amerika utara, Amerika latin dan Eropa barat memiliki prevalensi 0,5% atau lebih dari populasi. Negara lain mencapai 0,2 sampai 0,3% dari populasi yang terinfeksi. Gambaran ini menunjukkan ketidakmerataan yang mengejutkan bukan hanya di angka per daerah tetapi juga dari persentasi populasi yang terinfeksi.

Berdasarkan WHO dan UNAIDS, didapati 5,5% dari populasi negara sub- Sahara Afrika terinfeksi HIV menunjukkan ketidakmerataan pada setiap negara bagiannya. Sebanyak 20% dari populasi di Swaziland dan Botswana dan Lesotho didapati hasil HIV positif, sementara di Senegal dan Niger, Ethiopia dan negara bagian Afrika barat seperti DR Congo, Sierra Leone dan Liberia memiliki prevalensi rata-rata 2%; menunjukkan hasil 10x lebih rendah dibandingkan dengan negara utama yang terinfeksi. Perbedaan besar yang terjadi di negara sub- Sahara Afrika tidak terjadi di bagian Asia pasifik. Secara keseluruhan prevalensi negara-negara di bagian Asia pasifik hampir sama dengan prevelensi global yang ada yaitu 0,2% dari populasi, tetapi prevalensi lebih dari 0,5% didapati di Kamboja, Indonesia, Myanmar dan Papua New Guinea.

Estimasi infeksi HIV baru yang mengnai dewasa maupun anak-anak di sub- Sahara Afrika sebanyak 1,3 juta jiwa, masih melebihi dari seluruh daerah lain jika ditambahkan. Total infeksi baru HIV pada dewasa maupun anak-anak mengalami penurunan dari tahun 2010 ke tahun 2013, dan ini menggambarkan penurunan juga di sub-Sahara Afrika, Amerika latin dan Amerika utara namun tidak ada

(16)

penurunan signifikan ada Asia selatan / Eropa barat dan Asia tengah. Meskipun adanya penurunan angka infeksi baru HIV sejak tahun 2010, namun total angka orang yang hidup dengan HIV terus meningkat stabil pada tahun yang sama. Hal ini dapat terjadi karena adanya kasus baru dan fakta bahwa adanya ART meningkatkan ekspektasi hidup dari orang yang menderita HIV.

Secara umum prevalensi lesi oral yang dikarenakan infeksi HIV sebenarnya dipengaruhi oleh akses ART dan akses ke tenaga kesehatan. Beberapa penelitian sudah berusaha mengatasi ketidakmerataan prevalensi HIV. Secara umum, faktor sosial yang mempengaruhi antara lain : usia dan jenis kelamin, riwayat ada tidaknya transmisi infeksi sexual, status perkawinan, edukasi, akses ART, tinggal di daerah perkotaan atau desa dan faktor lingkungan, penggunaan obat, kondisi ada tidaknya penyakit kronis lainnya, dan faktor perilaku lainnya.

Prevalensi dan insidensi manifestasi oral pada pasien HIV dipengaruhi oleh faktor yang bisa berubah dan tidak berubah : jenis kelamin, perilaku transmisi, faktor lingkungan, status virus, penggunaan obat-obatan, penyakit kronis yang ada, dan faktor perilaku lainnya. Selama berpuluh-puluh tahun, oral candidiasis (OC) masih menjadi lesi oral yang paling banyak ditemukan pada penderita HIV dengan prevalensi 23,7%-94% pada tahun 1980, 7%-55% pada tahun 1990 dan 30%-80% pada tahun-tahun sekarang. Oral candidiasis banyak ditemui di Afrika (51%) dan Asia (39%) namun ditemukan rendah pada populasi di Eropa (28%) dan Amerika (30%) (EL Howati, Tappuni, 2018).

Pola prevalensi oral candidiasis tidak mengalami perubahan dari waktu ke waktu, tetapi ditemukan lebih rendah pada pasien HIV dengan perawatan ART (26,2%) dibandingkan dengan orang yang tidak dengan perawatan ART (39,5%).

ART memiliki efek yang besar terhadap OC, tetapi faktor lain seperti merokok, status sosioekonomi dan tingkat keparahan HIV yang diderita turut menjadi faktor penentu. Sebuah penelitian sistematk review mendapatkan hasil ahwa prevalensi OC menurun secara signifkan beberapa tahun terakhir, namun ditemukan tetap sama pada dareah miskin.

Prevalensi oral hairy leukoplakia (OHL) mengalami penurunan dari 26%

tahun 1980 menjadi 17,8% tahun 1990 dan menjadi 11,6% pada tahun 2000.

Prevalensi OHL pada pasien HIV yang menggunakan ART lebih rendah (10%)

(17)

dibandingkan dengan yang tidak menggunakan ART (18%). Secara umum, data enunjukkan terdapat penurunan angka OHL, namun prevalensi di negara maju melampaui negara berkembang, meskipun ART sudah banyak ditemukan (EL Howati, Tappuni, 2018).

Berdasarkan data yang ada, periodontitis dan gingivitis, termasuk liner gingival erythema (LGE), dilaporkan lebih banyak ditemukan beberapa tahun belakangan ini. Prevalensi periodontitis lebih tinggi di negara berkembang (9,6%) bila dibandingan dengan negara maju (6,9%). Review penelitian yang dilakukan mendapakan hasil bila acute necrotizing ulcerative gingivitis dan acute necrotizing periodontitis lebih dominan di Afrika, karena terkait oral hygiene yang rendah dan akses untuk perawatan gigi yang rendah. Hal berbeda yang ditemukan pada lesi periodontitis pada pengguna ART adalah prevalensi periodontitis ditemukan lebih tinggi pada penderita yang menggunakan ART (8,7%) dibandingkan dengan yang tidak menggunakan ART (6,5%) (EL Howati, Tappuni, 2018). Hal ini mungkin terjadi karena kondisi yang berkaitan dengan usia/penuaan dibandingkan dengan HIV itu sendiri.

Herpes simplex ditemukan dibeberapa penelitian teti pada prevlensi yang rendah. Herpes simplex itu sendiri didapati pada lesi herpes labialis, herpetic ulceration dan juga infeksi hrepes simplex. HSV dillaporkan memiliki persentase yang tinggi di Asia dibandingkan dengan negara lainnya. Penyakit kelenjar liur juga ditemukan di negara Asia (15%), Eropa (9,4%), Afrika (8%) dan merika (4,6%). Penyakit ini lebih banyak ditemukan di ngara berkembang dibandingkan dengan negara maju dengan revalensi 10% berbanding 6%. Prevalensi Kaposi Sarkoma (KS) secara umum mengalami peningkatan namun tidak anyak berubah dari waktu ke waktu: sebanyak 2,4% pada tahun 1980, 2,7% tahun 1990 dan 7,4%

pada tahun 2000. Tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi KS lebih rendah pada orang yang menggunakan ART (2,7) dibandingkan dengan yang tidak menggunakan ART (3,5%).

Evaluasi terkait dengan penelitian yang telah dilakukan hingga tahun 1990 banyak didapati di negara maju, namun review penelitian yang dilakukan antara tahun 2001-2015 mendapati 86% penelitian berasal dari negara berkembang. Hal ini dapat menjadi gambaran bahwa adanya peningkatan kesadaran akan

(18)

pentingnya pelayanan kesehtan pada kelompok HIV di negara berkembang dan telah banyak mendapat dukungan dari pendanaan internasional. Review yang telah dilakukan mendapatkan hasil bahwa penggunaan ART mengalami peningkatan sejak tahun 1990, lebih banyak di negara maju dibandingkan dengan negara berkembang. Sekitar pada tahun 2000, ART sudah mulai mudah diakses di negara berkembang, tetapi ketersediaannya tetap masih berada dibawah negara maju. Masalah ketidakmerataan ketentuan perawatan HIV telah dibahas berulang kali namun sayangnya belum juga terselesaikan.

(19)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

Tingkat insidensi HIV masih terus meningkat di Indonesia dan beberapa negara di Asia. Stigma dan diskriminasi masih menjadi tantangan terbesar dalam program preventif dan perwatan HIV di Indonesia. Ketidakmerataan HIV dan juga penggunaan ART masih menjadi pekerjaan yang harus diselesaikan bersama- sama. Padahal dengan akses ART dan kesehatan yang baik bagi para penderita HIV akan berdampak positif bagi mereka, antara lain meningkatkan kualitas dan angka harapan hidup dan menghindari penyakit-penyakit penyerta lainnya yang biasa timbul pada penderita HIV. Diharapkan seluruh tenaga kesehatan mampu memiliki tanggungjawab etik dan profesionalisme kepada semua pasien, terutama orang dengan HIV sehingga hal ini juga mengurangi stigma dan diskriminasi yang ada di masyarakat.

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Challacombe, S.J., Global oral inequalities in HIV infection, 2016, Oral Disease, 22 (1) hal. 35-41

Doughty J., Thorley L., Santella A.J., et al., The People Living with HIV STIGMA Survey UK 2015: Stigmatising experiences and dental care, 2018, British Dental Journal, 225 (2), hal. 143-150

El Howati, A., Tappuni A., Systematic review of the changing pattern of the oral manifestations of HIV, 2018, J invest Clin Dent, e12351

UNAIDS. Report on the Global AIDS Statistic. Geneva : UNAIDS , 2018,

available at :

https://www.unaids.org/en/regionscountries/countries/indonesia. Diakses tanggal 24 November 2019

WHO. HIV/AIDS. 2018. Available at :

https://www.who.int/gho/hiv/hiv_text/en/. Diakses tanggal 24 November 2019.

Gambar

Tabel 1. Prevalensi manifestasi oral yang sering ditemukan pada pasien  HIV
Tabel 4. Perbandingan pasien HIV dengan ART pada negara berkembang dan  negara maju

Referensi

Dokumen terkait

, dengan ini kami beritahukan bahwa hasil Peringkat Teknis File I meliputi Evaluasi kelengkapan dan keabsahan Administrasi serta penilaian Evaluasi Teknis (Makalah

pengawasan khusus, macet, kurang lancar, dan diragukan. Pada penelitian ini rasio yang digunakan untuk mengukur suatu risiko kredit yaitu. APB dan NPL.

Selain berharap dapat memperkuat jalur laut di Samudera Hindia, apabila Tiongkok mampu mengamankan jalur laut di Samudera Hindia, maka Tiongkok akan dipandang sebagai

Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah Nasional EXCESS 2017.

Hasil perhitungan korelasi menggunakan program perhitungan data satistik SPPS for windows vessi 21.0 sesuai dengan hipotesis yang ditetapkan peneliti sudah

identifikasi melalui suara echolokai juga dapat membedakan jenis kelamin dari jenis yang sama pada empat jenis yang diamati yaitu R..

Reaktivitas : Tidak ada data tes khusus yang berhubungan dengan reaktivitas tersedia untuk produk ini atau bahan

Pandan wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb) dan Pegagan (Centela asiatica (L). Urb) dengan dosis masing-masing 1,250 g/KgBB dapat meningkatkan aktivitas motorik mencit putih