• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PERBEDAAN PENGOLAHAN LIMBAH IKAN SEBAGAI BAHAN PAKAN LARVA IKAN LELE (Clarias gariepinus) Hatta.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PERBEDAAN PENGOLAHAN LIMBAH IKAN SEBAGAI BAHAN PAKAN LARVA IKAN LELE (Clarias gariepinus) Hatta."

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PERBEDAAN PENGOLAHAN LIMBAH IKAN SEBAGAI BAHAN PAKAN LARVA IKAN LELE (Clarias gariepinus)

Wiki Teguh Saputra1), M. Amri2), Usman Bulanin2)

1)

Mahasiswa Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Bung Hatta

2)

Dosen Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Universitas Bung Hatta e-mail : ikieugit@gmail.com

Abstract

This research aims to know the difference in the processing of the manufacture of fish meal derived from fish waste as material feed larvae catfish (Clarias gariepinus). The methods used in this research is experimental and design method used was complete random design with 4 treatments and 3 replicates i.e's treatment A (waste Sun dried fish), treatment B (fish waste dried with an oven), treatment C (steamed fish waste is then Sun dried), treatment of D (fish waste is then dried with an oven). Catfish larvae used as many as 50 fish /container to the size of the initial length of 2.3 cm and weight early 0.11 g/fish. The food that given to the fish test is an artificial form feed flour. The result of the research show that feeding with treatment B is better toward the absolute length of survival, and the absolute weight of the larvae of catfish each (88%) (00, 32cm), and (0.07gr).

Keyword : waste fish, processing, Clarias gariepinus, feed

PENDAHULUAN

Ikan lele (Clarias gariepinus) merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang sangat populer di masyarakat, selain dagingnya yang enak, lunak, sedikit tulang juga mempunyai nilai jual yang tinggi. Di Kota Padang, lele merupakan ikan yang tingkat konsumsinya cukup tinggi, dari data laporan tahunan statistik penanggung jawaban Dinas Kelautan Dan Perikanan Kota Padang yaitu produksi ikan lele 988,35 (ton) pada tahun 2012 menjadi 1.321,12 (ton) pada tahun 2013.

Permasalahan yang kerap dihadapi oleh petani lele adalah tingginya konsumsi pakan, mengingat lele termasuk ke dalam kategori ikan yang “rakus”. Tingginya konsumsi ini akan berimbas pada besarnya pengeluaran pada operasional budidaya lele sehingga keuntungan yang diperoleh menjadi sedikit. Dalam budidaya ikan khususnya pembenihan ikan lele, masih tergantung dengan ketersediaan pakan alami terutama cacing tubifex. Apabila terjadi musim hujan atau musim kemarau ketersediaan cacing tubifex sangat sulit didapatkan. Keterbatasan tubifex tentu akan

(2)

mengakibatkan terkendalanya usaha pembudidaya lele. Untuk mengatasi hal hal tersebut perlu dicari pakan pengganti larva ikan lele seperti pakan buatan dalam bentuk tepung. Salah satu cara untuk mengatasi ketersediaan tubifex sebagai pakan larva adalah dengan memberikan tepung ikan yang berasal dari pengolahan limbah ikan. Limbah ikan merupakan sisa buangan dari usaha perikanan seperti kepala ikan, insang, ekor, sirip, tulang ikan, dan isi perut ikan. Jika limbah ini tidak ditangani ataupun dimanfaatkan dengan baik maka akan membawa dampak negatif bagi lingkungan sekitar, minimal dalam bentuk gangguan terhadap kebersihan, sanitasi dan kesehatan lingkungan. Padahal limbah ikan ini dapat diolah menjadi tepung ikan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan pengolahan pada pembuatan tepung ikan yang berasal dari limbah ikan terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan.

METODA DAN MATERI Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai bulan Februari 2014 di Laboratorium Terpadu Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Bung Hatta.

Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan selama penelitian ini adalah Limbah Ikan dari hasil penjualan padagang yang berasal dari Muara Pantai Purus Padang dan larva ikan lele yang telah berumur 10 hari.

Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdapat sebagai berikut :

a. Mistar (rol) dengan tingkat ketelitian 1mm yang digunakan untuk mengukur panjang.

b. Oven dan peralatan memasak lainnya. c. Kertas lakmus yang digunakan untuk

mengukur tingkat keasaman air.

d. DO meter yang digunakan untuk mengukur oksigen terlarut.

e. Thermometer air raksa untuk mengukur suhu air.

f. Perlengkapan aerasi, slang sipon, pisau, baskom.

g. Mesin penggiling.

Metode Penelitian

Metoda yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen menggunakan Rancangan Acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan.

Perlakuan A: Limbah ikan dikeringkan dengan sinar matahari. Perlakuan B: Limbah ikan dikeringkan

(3)

Perlakuan C: Limbah ikan yang di kukus dan dikeringkan dengan sinar matahari.

Perlakuan D:Limbah ikan yang di kukus dan dikeringkan dengan Oven.

Proses Pembuatan Tepung Ikan

Berikut adalah langkah-langkah pembuatan pakan ikan :

Prosedur I : Limbah

Ikan Penyortiran Pencacahan

Tepung Ikan Penggilingan Pengeringan (S.Matahari) Prosedur II : Limbah

Ikan Penyortiran Pencacahan

Pengukusan Tepung Ikan Penggilingan Pengeringan (Oven) Keterangan:

Penyortiran : Dilakukan untuk memisahkan

antara bahan-bahan yang dipakai atau yang tidak dipakai selama penelitian seperti : kepala ikan, insang, usus ikan, sirip ikan, kulit ikan dan ekor ikan.

Pencacahan : Dilakukan untuk memudahkan pada saat melakukan

pengukusan.

Pengukusan: Dilakukan selama 15 menit

pada suhu 100˚ C kemudian bahan baku diangkat.

Pengeringan : Dilakukan dibawah sinar

matahari pada suhu ± 28-350C selama 4 hari dan meggunakan ovendengan suhu 600C selama 10 jam untuk membuang kadar air dan mempermudah proses penggilingan pakan.

Penggilingan : Dilakukan untuk menghaluskan pakan agar mudah dicerna oleh larva.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Analisa Proksimat

Dari hasil pengolahan tepung ikan dari berbagai metode yang dilakukan didapatkan hasil kandungan proksimat yang dapat kita lihat pada tabel 1.

(4)

Tabel 1. Hasil Analisa Kandungan Proksimat

Perlakuan Air %

Hasil Analisa Didasarkan Persentase Berat Kering (%) Protein

Kasar Lemak Kasar Serat Kasar Abu Karbohidrat

A 5,84 40,26 11,97 5,29 26,16 16,32

B 7,42 53,38 9,67 3,99 25,77 7,19

C 7,48 34,27 10,52 5,96 29,40 19,85

D 6,85 45,78 9,60 5,84 33,00 5,78

Sumber : Laboratorium Nutrisi Unand Padang Keterangan:

Perlakuan A : Limbah ikan yang dikeringkan dengan sinar matahari Perlakuan B : Limbah ikan yang dikeringkan dengan oven

Perlakuan C : Limbah ikan yang di kukus dan dikeringkan dengan sinar matahari Perlakuan D : Limbah ikan yang di kukus dan dikeringkan dengan oven

Kadar Protein

Dilihat dari tabel 1 didapatkan hasil analisa proksimat kadar protein terendah terdapat pada perlakuan C (34,27) diduga karena lamanya pemanasan akibat dari pengukusan dan pengeringan, semakin tinggi suhu pengukusan yang digunakan mengakibatkan kadar protein pada limbah ikan semakin menurun, selain suhu pengukusan yang semakin tinggi, penurunan jumlah protein juga disebabkan karena lamanya suhu pengeringan. Menurut Tsaniyatul (2013), pengolahan bahan pangan berprotein yang tidak dikontrol dengan baik seperti sterilisasi, pemasakan dan pengeringan dapat menyebabkan terjadinya penurunan kandungan gizi. Sedangkan menurut Kurnia

(2013), protein akan mudah terdenaturasi

(rusaknya kondisi fisik protein) sehingga sifat alamiahnya berubah, jika pada kondisi panas yang digunakan pada proses pengeringan tidak sesuai.

Sedangkan protein tertinggi terdapat pada perlakuan B (53,38), diduga karena pengeringan yang dilakukan tidak terlalu lama dibandingkan dengan perlakuan lainnya, sehingga penurunan kadar protein pada tepung yang berasal dari limbah ikan tidak begitu tinggi. Pengeringan dengan menggunakan oven menyebabkan kadar protein lebih tinggi dibandingkan pengeringan sinar matahari karena suhu merata dan stabil sehingga membutuhkan waktu pengeringan lebih cepat dibandingkan dengan pengeringan sinar matahari dimana suhu nya tidak terkontrol (Veerman, 2011).

Kadar Lemak

Sedangkan dari hasil analisa proksimat kadar lemak dapat dilihat bahwa pada perlakuan D (9,60) dan perlakuan B (9,67) tidak jauh berbeda, hal ini diduga karena pengeringan yang dilakukan dengan menggunakan oven dengan suhu 600C yang konstan sehingga

(5)

membuat lemak pada tepung limbah ikan menjadi kecil.

Menurut Santoso (2008), Pengeringan dengan suhu tinggi akan menimbulkan panas yang tinggi dan memberi nilai kadar asam lemak bebas yang lebih kecil dibandingkan pengeringan dengan menggunakan sinar matahari. Variasi koposisi kimia antara kadar lemak dan protein saling merefleksikan antara satu dengan yang lainnya, dimana apabila kadar protein rendah maka kadar lemak akan tinggi begitu pula sebaliknya (Suparno, 2011).

Perlakuan C (10,52) dan A (11,97) memiliki kandungan lemak yang tertinggi dibanding perlakuan yang lainnya, ini dikarenakan pengeringan dilakukan dengan sinar matahari yang memiliki suhu (28-350C) yang dikeringkan selama 4 hari lebih rendah dari pada perlakuan dengan menggunakan oven dengan suhu 600C selama 10 jam, sehingga kadar lemak pada perlakuan A dan C lebih tinggi. Menurut Santoso (2011),

perlakuan pengeringan dengan menggunakan sinar matahari memberi kadar

asam lemak yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengeringan secara oven.

Kelangsungan Hidup

Persentase kelangsungan hidup larva ikan lele selama penelitian dapat dilihat pada tabel 2.

Dari hasil analisa varians terlihat masing-masing perlakuan menunjukan tidak berbeda nyata Hal ini terbukti dari hasil uji statistik terhadap tingkat kelangsungan hidup ikan uji antara perlakuan menunjukan F hitung (3,81) < F tabel (4,07), artinya tidak ada pengaruh pemberian pakan yang berasal dari limbah ikan terhadap tingkat kelangsungan hidup larva ikan lele selama penelitian. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa tingkat kelangsungan hidup pada larva ikan lele yang tertinggi adalah pada perlakuan B (88 %), perlakuan A (83,3 %) dan perlakuan C (74 %) serta perlakuan D (49,3 %

Tabel 2. Persentase Kelangsungan Hidup Ikan Lele pada Masing-masing Perlakuan dan Ulangan Selama Penelitian

Ulangan Perlakuan Jumlah

A B C D 1 86 82 84 66 2 74 86 56 60 3 90 96 82 22 Jumlah 250 264 222 148 884 Rata-Rata 83,3 88 74 49,3

(6)

Pertambahan Panjang Mutlak

Dari hasil penelitian yang dilakukan mengenai pengaruh perbedaan pengolahan

limbah ikan sebagai bahan pakan larva ikan lele dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Rata-rata Pertambahan Panjang Mutlak (cm/ekor) Larva Ikan Lele Pada Tiap-Tiap Perlakuan dan Ulangan Selama Penelitian

Ulangan Perlakuan Jumlah

A B C D 1 0,21 0,29 0,25 0,26 2 0,17 0,21 0,34 0,23 3 0,36 0,45 0,19 0,29 Jumlah 0,74 0,95 0,78 0,78 3,25 Rata-Rata 0,25 0,32 0,26 0,26

Hasil analisis varians pertambahan panjang mutlak larva ikan lele selama penelitian dapat dilihat pada lampiran 8. Hal ini terbukti dari hasil uji statistik terhadap pertumbuhan panjang mutlak F hitung (0,46) < F tabel (4,07), hal ini membuktikan tidak adanya pengaruh pemberian pakan terhadap pertumbuhan panjang mutlak larva ikan lele H0 diterima sedangkan H1 ditolak.

Dari tabel 3 terlihat bahwa pertambuhan panjang mutlak larva lele dengan perlakuan yang terbaik adalah pada perlakuan B (0,32) kemudian diikuti oleh perlakuan C (0,26)

dan perlakuan D (0,26), serta yang terendah pada perlakuan A (0,25). Perbedaan masing-masing perlakuan ini disebabkan oleh proses pengolahan limbah ikan yang berbeda.

Pertambahan Berat Mutlak

Pertambahan berat mutlak adalah berat akhir dikurangi berat awal. Berdasarkan hasil pengukuran selama penelitian didapat bahwa pengaruh perbedaan pengolahan limbah ikan sebagai bahan pakan larva ikan lele (Clarias

gariepinus) memberikan pertumbuhan berat

mutlak seperti pada tabel 4

Tabel 4. Rata-rata Pertambahan Berat Mutlak (gram/ekor) Larva Ikan Lele Pada Tiap-Tiap Perlakuan dan Ulangan Selama Penelitian

Ulangan Perlakuan Jumlah

A B C D 1 0,04 0,06 0,07 0,04 2 0,02 0,07 0,07 0,02 3 0,06 0,09 0,04 0,10 Jumlah 0,12 0,22 0,18 0,16 0,68 Rata-Rata 0,04 ns 0,07 ns 0,06 ns 0,05 ns

(7)

Dari tabel 4 dapat dilihat berat ikan pada awal penelitian untuk semua perlakuan adalah sama. Pada akhir penelitian berat ikan terlihat adanya perbedaan. Pertumbuhan mutlak tertinggi menunjukan pada perlakuan B (0,07), kemudian diikuti oleh perlakuan C (0,06) dan perlakuan D (0,05) serta perlakuan A (0,04).

Berdasarkan hasil analisis varian pertumbuhan berat mutlak larva ikan lele selama penelitian dapat terlihat pada lampiran 11. Hal ini terbukti dari uji statistik

terhadap pertumbuhan berat mutlak apabila F hitung (0,375) < F tabel (4,07), hal ini membuktikan tidak ada pengaruh perlakuan terhadap pertambahan berat mutlak, maka H0 diterima sedangkan H1 ditolak.

Kualitas Air

Pengamatan kualitas air media pemeliharaan ikan uji dilakukan 2 kali selama penelitian, yaitu kualitas air awal dan akhir penelitian. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Parameter Kualitas Air Media Pemeliharaan Larva Ikan Lele

Parameter Awal Penelitian Akhir Penelitian

A B C D A B C D

Suhu (0c) 27 27 27 27 26 26 26 26

pH 7 7 7 7 7 7 6 6

DO (ppm) 5 5 5 5 6,07 6,07 6,07 6,07

Air merupakan sebagai media hidup ikan harus memiliki syarat layak huni dan harus dengan kondisi yang optimum, baik dalam kualitas maupun kuantitas (Djajadireja,

1977). Kualtas air bagi budidaya intensif

ditentukan oleh faktor suhu, pH, oksigen terlarut, karbondioksida dan amoniak. Adapun kualitas air yang memenuhi syarat adalah secara fisik air memiliki suhu yang kandungan oksigen tidak terlalu tinggi, serta pH berkisar 5-7 ppm.

Nilai derajat keasaman air yang baik untuk kehidupan ikan berkisar 6-7 ppm. Secara biologi tidak mengandung plankton terlalu banyak karena akan mengurangi oksigen dalam air. Suhu secara keseluruhan dapat dikatakan layak untuk kehidupan ikan terlihat tidak terlalu berfluktuasi yaitu 27-29 O

C. Hal ini disebabkan wadah pemeliharaan ditempatkan dalam ruangan (Hickling,

(8)

Sebagai organisme air, larva lele memerlukan oksigen terlarut yang tersedia di dalam air. Kandungan oksigen terlarut yang optimal adalah 5 ppm dan yang lebih baik 7 ppm. Minimal untuk ikan lele 2 ppm masih dapat hidup. Keadaan suhu air optimal dalam pemeliharaan larva lele adalah 25 – 300 C. Suhu diluar batas tersebut tentu akan mengurangi selera makan ikan. pH yang cocok berkisar antara 7,5 – 8,5 (Soetomo,

1989).

Kesimpulan

Kadar protein tertinggi terdapat pada perlakuan B (53,38), kemudian perlakuan D (45,78) dan perlakuan A (40,26), serta kadar protein terendah terdapat pada perlakuan C (34,27).

Nilai terbaik untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan panjang, dan berat terdapat pada perlakuan B ( Limbah ikan yang dikeringkan dengan menggunakan oven ) masing-masing adalah (88%), (0,32), (0,07).

DAFTAR PUSTAKA

Djajadiredja, R. 1977. Pemeliharaan Ikan dalam Kolam. Lembaga Penelitian Perikanan Darat. Bogor.

Effendie, M. I. 1979. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantama. Yogyakarta.

Hickling, 1971. Fish Culture. Faber and Faber, London.

Kurnia, I. R. 2013. Desain Optimal Pengolahan Sludge Padat Biogas Sebagai Bahan Baku Pellet Pakan Ikan Lele. Jurnal Biproses Komoditas Tropis. Jurusan Keteknikan Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya.

Veerman, M. 2011. Pengaruh Metode Pengeringan dan Konsentrasi Bumbu Serta Lama Perendaman Dalam Larutan Bumbu Terhadap Kualitas Kimia Dendeng Babi. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Yogyakarta. Yogyakarta.

Santoso, H. 2008. Pengaruh Pemanasan Dan Pengeringan Daging Buah Kelapa Terhadap Asam Lemak Bebas Pada Pembuatan Tepung Kelapa. Jurnal Ilmu pertanian STTP. Magelang.

Soeparno. 2011. Ilmu Nutrisi dan Gizi Daging. Cetakan ke-1. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Soetomo. 1989. Teknik Budidaya Ikan Lele

Dumbo. Cv Sinar Baru, Bandung.

Tsaniyatul, M. S. 2013. Pengaruh Suhu Pengukusan Terhadap Kandungan Gizi Dan Organoleptrik Abon Ikan Gabus (Ophiocephalus striatus). The Student Journal, Vol 1 Universitas Brawijaya

Gambar

Tabel 1. Hasil Analisa Kandungan Proksimat

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa perlakuan penambahan myoinositol 50 mg/l tanpa arang aktif memberikan pertambahan jumlah daun terbanyak (Tabel 3). Peningkatan jumlah

◦ Larutan tanah (sifatnya tersedia untuk diserap oleh akar tanaman) ◦ Bahan organik (mengalami proses perombakan).. ◦ Organisme tanah (komponen

Sistem pakar merupakan program-program praktis yang menggunakan strategi heuristik yang dikembangkan oleh manusia untuk menyelesaikan permasalahan- permasalahan yang spesifik

tersebut menunjukan bahwa intervensi pada Kelompok Perlakuan (penambahan ankle exercise thera-band pada intervensi ultrasound) lebih efektif secara signifikan

cukup efektif terhadap program pengembangan simantri, dengan rata-rata pencapain skor mencapai 77,31 %. Walaupun pemahaman petani masih belum optimal dalam penerapan

Pada pengamatan histopatologi pankreas mencit kelompok perlakuan terapi ekstrak etanol daun sambiloto ( Andrographis paniculata Nees) dosis 2,2 mg/kg BB, tampak

Berdasar identifikasi pertanyaan-pertanyaan penelitian tersebut, sesungguhnya peneliti dapat dengan mudah untuk menentukan desain penelitian yang digunakan, sebab dari

penelitian produk (produc investigation). Secara umum inquiry merupakan proses yang bervariasi dan meliputi kegiatan- kegiatan mengobservasi, merumuskan pertanyaan