PELESTARIAN KAWASAN KOTA TANJUNG PURA SEBAGAI ASET WISATA
DI KABUPATEN LANGKAT
Meyga Fitri Handayani Nasution1), Dharma Widya2) 1Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Medan
email: imychey@yahoo.com
2Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Medan email: widya65@gmail.com
Abstract
Tanjung Pura formerly was the capital Malay Sultanate of Langkat which stores a various objects cultural heritage of Malay Sultanate and colonial of Dutch. Diversity of objects of cultural heritage in Tanjung Pura as the building of historic buildings and relics of the colonial of Dutch and Sultanate Malay is potentially as a tourist asset in the town of Tanjung Pura, for it is need conservation efforts to Tanjung Pura will not only the course of history after all.
Specific target of the research is the preservation area of Tanjung Pura so it will be architecture tourism assets and culture at Malay land of Langkat. The results of research in the form of concept design, concept preservation, design of draft regional and documentation such as photograph and historic buildings pictures by using the design program will be proposed to the tourism agency that assists in the planning of preservation area Tanjung Pura.
The methods used in this study are to conduct a direct observation in Tanjung Pura, create zones of areas and take sample some of the historic buildings in every zones. The measurement is performed, making sketches and documentation for a sample of historical buildings in every zone of the region. Results of measurements and sketches in the field will be represented by using the design program, make analysis and design concept for the area that wish to become tourist attractions and make the draft nature conservation areas and historic buildings.
Keywords: City Of Tanjung Pura, Preservation, Tourism Architecture
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Isu tentang pelestarian kawasan bersejarah terutama kota-kota tua saat ini sudah banyak dilakukan oleh beberapa negara di dunia, seperti negara Jepang, Belanda, Singapore, dan negara-negara lainnya. Contohnya negara Singapore yang awalnya mengganti bangunan-bangunan dan kawasan bersejarah dengan wujud baru dengan masuknya modernisasi, tetapi kurangnya minat wisatawan datang ke Singapore
membuat pemerintah sadar untuk
mengembalikan wajah kota bersejarah
tersebut sehingga muncullah beberapa
kawasan seperti Kampung Melayu, Little
India, dan China Town di Singapore.
Sehingga saat ini obyek wisata di Singapore berupa bangunan kuno, pasca modern dan modern.
Di Indonesia sendiri beberapa kota sudah menerapkan pelestarian
kawasan-kawasan bersejarah maupun
bangunan-bangunan bersejarah yang dianggap sebagai cagar budaya arsitektur, seperti di kota Jakarta, Semarang, Bandung, Surabaya, dan saat ini di ikuti beberapa kota lainnya di Indonesia, seperti Samarinda, Donggala, Surakarta dan kota lainnya, bahkan sampai ke kota-kota kecil yang ada di Indonesia. Kawasan dan bangunan-bangunan bersejarah yang ada di Indonesia bukan saja bangunan-bangunan yang ditinggalkan oleh Belanda, tetapi ada pula yang merupakan peninggalan-peninggalan dari kerajaan-kerajaan yang
pernah ada di Indonesia, termasuk
didalamnya adalah rumah adat. Jadi cagar budaya arsitektur di Indonesia sangat beragam, dari peninggalan kolonial Belanda, peninggalan kerajaan berupa candi-candi, istana, tempat ibadah, bangunan tradisional seperti rumah adat tiap daerah di Indonesia, dan terdapat pula bangunan-bangunan yang bercirikan etnis tertentu seperti China, Arab dan India. Kawasan dan bangunan bersejarah di Indonesia tidak saja ditemui di kota-kota besar tetapi banyak juga ditemui di kota-kota
kecil seperti kabupaten dan kecamatan, salah satunya adalah kota Tanjung Pura.
Kota Tanjung Pura dahulunya
merupakan ibukota Kesultanan Melayu
Langkat. Sebagai ibukota Kesultanan Melayu
Langkat, Tanjung Pura tentunya dulu
memiliki sarana pra sarana pemerintahannya sendiri, seperti istana, balai pertemuan, balai peradilan, penjara, rumah raja, masjid, sekolah, dan lain-lain. Selain itu masuknya beberapa etnis di Tanjung Pura seperti Arab dan India yang bertujuan untuk berdagang dan menyebarkan agama Islam, muncul bangunan ibadah, lalu masuknya etnis China sehingga muncul pertokoan dan tempat ibadah, dan masuk juga Belanda ke kota Tanjung Pura sehingga muncul rumah-rumah Belanda dan kantor-kantor pemerintahan dan fasilitas umum seperti rumah sakit dan kantor pos. Saat ini kawasan dan
bangunan-bangunan bersejarah di Tanjung Pura
sebagian masih difungsikan seperti awalnya, tetapi sebagian telah beralih fungsi, bahkan sebagian bangunan-bangunan tersebut banyak yang rusak tidak terawat bahkan hilang. Semua kawasan dan bangunan-bangunan di masa Kesultanan Melayu dan Kolonial Belanda merupakan peninggalan bersejarah yang terdapat Tanjung Pura dan layak untuk dilestarikan.
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa pertumbuhan Kota Tanjung Pura selain dipengaruhi oleh Belanda juga banyak dipengaruhi oleh beberapa etnis pendatang, seperti China (Tionghoa), Arab, dan India. Hal ini dapat dilihat dari arsitektur yang terdapat di Kota Tanjung Pura, tidak hanya bercirikan Melayu tetapi banyak juga bangunan dengan ciri arsitektur China, Arab dan India, termasuk juga bercirikan kolonial Belanda, dalam berarsitektur Belanda sangat memperhatikan budaya dan kondisi setempat, jadi wujud bangunan yang ada selalu memasukan ciri budaya lokal, seperti penggunaan atap tajuk dan ornamen Melayu pada bangunannya. Jadi jika dilihat dari ciri-ciri bangunan dibeberapa kawasan Tanjung Pura diperkirakan bahwa adanya pembagian wilayah dari kota berdasarkan etnis tersebut, seperti adanya kawasan Melayu, kawasan China, dan kawasan kolonial Belanda. Keberagaman budaya yang terdapat di Kota Tanjung Pura menjadikan kota ini sebagai kota budaya. Selain itu Tanjung Pura juga
dijuluki dengan kota pendidikan, hal ini dikarenakan beberapa tokoh nasional seperti Tengku Amir Hamzah dan Adam Malik pernah menimba ilmu di bumi Melayu Langkat ini. Dan sampai saat ini pendidikan-pendidikan bernuansa Islam masih tumbuh berkembang di Tanjung Pura.
Kondisi saat ini bangunan-bangunan peninggalan Kesultanan Melayu Langkat perlahan-lahan mulai hilang. Satu per satu bangunan rusak dan dirobohkan untuk menghadirkan bangunan baru yang lebih modern. Kondisi ini sangat memprihatikan mengingat kota ini memiliki cagar budaya yang sangat berpotensi bila dikembangkan akan menjadi aset daerah.
Untuk itu perlu adanya perhatian khusus untuk cagar budaya yang terdapat di
Tanjung Pura ini seperti melakukan
pelestarian kawasan dan bangunan-bangunan
guna untuk melindungi, merawat,
mempertahankan dengan cara membuat konsep penataan dan perawatan yang baik sehingga nantinya Tanjung Pura dapat menjadi daya tarik wisatawan lokal maupun manca negara untuk datang ke kota ini.
Selain itu perlu melakukan pendataan
dan pendokumentasian dari tiap-tiap
bangunan bersejarah yang masih ada gunanya untuk refrensi bagi para wisatawan dan juga untuk pendidikan sejarah bagi generasi penerus bangsa agar tidak melupakan sejarah bangsanya. Selain itu diharapkan hasil penelitian ini nantinya dapat digunakan oleh pemerintah setempat sebagai acuaan dalam
melakukan pelestarian dan perawatan
kawasan dan bangunan cagar budaya yang ada di Tanjung Pura.
1.2 Rumusan Permasalahan
Pelestarian merupakan suatu upaya
perlindungan, pengembangan dan
pemanfaatan bangunan atau lingkungan konservasi yang mendayagunakan benda-benda cagar budaya untuk kepentingan
agama, sosial, ekonomi, pariwisata,
pendidikan, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan. Wilayah yang ditetapkan sebagai benda cagar budaya mutlak ditetapkan untuk kepentingan perlindungan dan pemanfaatan, yang terdiri dari mintakatkan inti, penyangga dan pengembangan. Jika berbicara tentang pelestarian suatu kawasan dan bangunan tidak terlepas dari pengguna bangunan yang
dilestarikan dan juga pemerintah daerah. Sehingga ada beberapa permasalahan yang akan dihadapi dalam pelestarian ini, yaitu :
a. Bagaimana memberi masukan kepada pemerintah daerah setempat tentang pentingnya dilakukan pelestarian
kawasan dan bangunan-bangunan
bersejarah di Tanjung Pura sebagai
cagar budaya yang mampu
mendatangkan income dengan
memberikan konsep pelestarian berupa desain rancangan pelestarian.
b.
Bagaimana merancang satu kawasan wisata arsitektur dan budaya di jalan utama Tanjung Pura yang merupakanjalan lintas Sumatera, perlu
perencanaan sirkulasi alternatif kendaraan untuk lintas Sumatera
.
2. KAJIAN LITERATUR 2.1 Citra Kota
Sebuah kota adalah gambaran bersama dari apa yang disajikan dari realitas fisik kota. Menurut analisis Lynch (1973) image atau citra kota dibagi menjadi lima elemen yaitu:
a. Pathways (jalur): merupakan
jalur-jalur sirkulasi yang digunakan oleh orang untuk melakukan pergerakan. b. Districts (kawasan): bagian kota yang
indah dikenal / sebuah kota yang terdiri dari lingkungan bagiannya. c. Edges (tepian): pengakhiran dari
sebuah distrik, juga merupakan peralihan dari suatu tempat dengan aktivitas yang berbeda. Apabila dua distrik dihubungkan pada edge maka terbentuklah sebuah seam sebuah area
hingga mungkin menjadi suatu
penghubung untuk dua buah
lingkungan.
d. Landmark (tengeran): elemen-elemen
yang menonjol dari elemen
disekitarnya yang mudah dilihat atau diingat oleh orang-orang.
e. Nodes (simpul): pusat aktivitas, nodes merupakan bagian dari landmark tetapi berbeda dari landmark karena fungsinya yang giat.
2.2 Karakter Fisik Kawasan
Menurut Trancik (1986) untuk
mengetahui bentuk arsitektural dari sebuah kawasan, dapat diketahui dari tiga teori dalam
perancangan kota yaitu figure ground,
linkage, dan place. Ketiga teori tersebut
sebagai alat yang berguna untuk menelusuri bangunan atau kawasan yang pernah eksis dalam cerita sejarah.
a. Figure Ground : merupakan poin awal dalam memahami suatu bentuk arsitektural kawasan. Analisis figure
ground ini merupakan alat yang kuat
untuk mengidentifikasi tekstur dan
pattern (pola) dari suatu urban fabric.
Pola kawasan secara tekstural dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok (Zahnd, 1999: 80) :
• Susunan kawasan yang bersifat
homogen dengan suatu pola
penataan
• Susunan kawasan yang bersifat
heterogen dengan dua atau lebih
pola berbenturan
• Susunan kawasan yang bersifat menyebar dengan kecenderungan kacau
b. Linkage
Menurut Shirvani (1985), linkage menggambarkan keterkaitan elemen bentuk dan tatanan massa bangunan, dimana pengertian bentuk dan tatanan
massa bangunan tersebut akan
meningkatkan fungsi kehidupan dan makna dari tempat tersebut.
2.3 Konservasi
Secara umum, konservasi dipahami
sebagai upaya untuk melestarikan,
melindungi, menjaga dan memelihara benda cagar budaya serta lingkungan binaan sehingga makna dari tempat tersebut dapat dipertahankan. Bahkan dalam arti yang luas konservasi mencakup secara kulturan dimana
objek tersebut berada. Undang-undang
tentang benda cagar budaya sendiri
menjelaskan bahwa benda yang berumur lebih dari 50 tahun yang memiliki tolak ukur
kelangkaan, kesejarahan, estetika,
superlativitas dan kejamaakan dapat
dikategorikan sebagai benda cagar budaya yang dapat di konservasi.
Konservasi sebagai sebuah disiplin ilmu dari arsitektur yang amat luas. Pengertian konservasi tidak terbatas pada pelestarian suatu bangunan atau lingkungan
binaan semata, konservasi memiliki
tindakan dan upaya berkaitan dengan penyelamatan bangunan bersejarah.
Menurut Catanese, J.C dan Synder dan (1979) dalam buku Konservasi Laporan KKL Singapura 2000 (Andreas Didik. S, dkk) ada 6 tolak ukur untuk mengkaji suatu bangunan atau lingkungan binaan (konservasi), yaitu :
a. Estetika (ditekankan pada nilai estetis dan aritektural yang tinggi dalam hal bentuk, struktur, tata ruang dan ornamenya).
b. Kejamakan (ditekankan pada
seberapa jauh karya arsitektur tersebut mewakili suatu ragam atau jenis spesifik khusus).
c. Kelangkaan (suatu benda yang sangat langka, tidak dimiliki oleh daerah lain),
d. Kesejarahan (tempat suatu peristiwa yang sangat penting).
e. Memperkuat kawasan didekatnya
(bangunan atau lingkungan perkotaan
yang mempunyai investasi
didalamnya akan meningkatkan citra dan kualitas kawasan didekatnya).
f. Keistimewaan (mempunyai
keistimewaan yang tidak dimiliki oleh bangunan atau bagian kota lain, misalnya terpanjang, tertua, yang
pertama, tertinggi dan lain
sebagainya).
Menurut James Semple Kerr (1983) dalam buku Konservasi Laporan KKL Singapura 2000 (Andreas Didik. S, dkk) menambahkan 3 tolak ukur lainnya, yaitu:
a. Nilai sosial (untuk bangunan-bangunan yang bermakna untuk masyarakat banyak).
b. Nilai komersial (sehubungan dengan peluangnya untuk dimanfaatkan bagi kegiatan ekonomis).
c. Nilai ilmiah (berkaitan dengan
peranan pendidikan dan
pengembangan ilmu). 2.4 Prinsip-Prinsip Konservasi
Tindakan konservasi memiliki
prinsip-prinsip dasar yang harus terlebih
dahulu dipahami agar nantinya akan
memberikan hasil yang baik dan dalam hal ini Feilden memberikan istilah coherence, atau hasil yang akan memiliki kontinuitas dengan lingkungan urban dimana obyek itu berada.
Prinsip dasar konservasi sebagaimana
diungkapkan oleh Feilden adalah:
a. Konservasi dilandasi atas penghargaan terhadap keadaan semula dari suatu
tempat dan sesedikit mungkin
melakukan intervensi fisik
bangunannya, supaya tidak mengubah bukti-bukti sejarah yang dimilikinya. b. Maksud konservasi adalah untuk
menangkap kembali makna kultural dari suatu tempat dan harus bisa
menjamin keamanan dan
pemeliharaannya di masa datang. c. Konservasi disuatu tempat harus
mempertimbangkan segenap aspek
yang berkaitan dengan makna
kulturalnya, tanpa menekankan pada
salah satu aspek saja dengan
mengorbankan aspek lainnya.
d. Suatu bangunan atau hasil karya bersejarah harus tetap berada pada
lokasi historisnya. Pemindahan
seluruh atau sebagian dari suatu bangunan tidak diperkenankan kecuali bila hal itu merupakan satu-satunya jalan untuk menjaga kelestariannya. e. Kebijakan konservasi yang sesuai
untuk suatu tempat harus didasarkan pada pemahaman terhadap makna kultural dan kondisi fisik bangunnya.
2.5 Nilai-Nilai Konservasi
Konservasi haruslah menekankan dan memberikan perhatian pada peningkatan nilai-nilai kultural masyarakatnya (cultural
property). Nilai-nilai kultural yang terdapat
dalam konservasi menurut Feilden adalah : a. Nilai Emosional
Nilai emosional mencakup
keindahan, kontinuitas, identitas, spritual dan simbolik serta hal-hal emosional yang menakjubkan.
b. Nilai Kultural
Nilai-nilai kultural berkaitan dengan
dokumentasi, kesejarahan,
arkeologikal, bagian dari kota, land scape atau ekologi, teknologi dan ilmu pengetahuan.
c. Nilai guna (use value)
Nilai guna meliputi kegunaan,
ekonomi, sosial, politik dan etnik.
Dalam tindakan konservasi.
memperoleh perhatian secara proporsional, tindakan konservasi haruslah meliputi baik nilai emosional, kultural dan juga nilai ekonomi (use
value) untuk mendapatkan totalitas
hasil bagi komunitas dimana obyek konservasi berada.
2.6 Sejarah Kota Tanjung Pura
Sejarah kota Tanjung Pura tidak terlepas dari sejarah Kesultanan Langkat yang berdiri pada tanggal 12 Rabiul Awal 1163 H (17 Agustus 1750). Pada tahun 1870 Raja Tengku Musa menjadi raja Kerajaan Langkat menggantikan ayahnya Raja Ahmad. Ketika itu, beliau memindahkan ibukota Kerajaan Langkat ke Kota Pati. Beliau memerintah di Istana pertama beliau di Istana Rumah Putih dengan wilayahnya dari Binjai sampai dengan
Tamiang. Di Kota Pati, Raja Musa
mempersiapkan penerusnya yaitu anak
bungsunya Pangeran Tengku Abdul Aziz. Pangeran Tengku Hamzah lalu memisahkan diri dari Istana Darul Aman dan membangun kediamannya sendiri dekat dengan Pekan Kota Pati. Kejadian ini sungguh menjadi perhatian rakyat sehingga Pangeran Tengku Hamzah disebut Pangeran Tanjung. Sebutan ini diberikan karena kediaman Pangeran ini berada di Tanjung Sungai, antara sungai Batang Durian (Sungai Mati) dengan sungai Batang Serangan. Kemudian didekat rumah Pangeran Hamzah terdapat Gapura (pintu Gerbang) ke kota ke Pekan Kota Pati, di tepiannya terdapat sungai Batang Durian tempat anak-anak bangsawan mandi di sungai. Selanjutnya kota Pati berubah nama menjadi Tanjung Pura diambil dari sebutan-sebutan itu tadi.
Menurut Laporan John Anderson selaku wakil Inggris di Penang pada masa Raja Tengku Musa, Kerajaan Langkat berkembang pesat dalam segi ekonominya yaitu dalam sektor perkebunan dan hasil hutan yang sangat menguntungkan seperti rotan, damar, rotan, lilin, buah-buahan hutan, gambir, emas (dari Bahorok), gading, tembakau dan beras. Bahkan ekspor Lada Langkat ke Penang dan Singapure mencapai 20.000 pikul (±800.000 kg). Sehingga rakyat hidup makmur dan yang bagi rakyat yang kurang mampu Raja memberi santunan serta hak dan pinjam pakai tanah perladangan. Raja Tengku Musa juga mendirikan Istana barunya
tak jauh dari Istana Kota Pati (Rumah Maktab) yang diberi nama Istana Darul Aman bergaya Arab dan Melayu.
Pada tahun 1875 Raja Tengku Musa mendatangkan Syekh Abdul Wahab dari Rokan, Siak-Riau. Syekh Abdul Wahab bersama Raja Tengku Musa kemudian mendirikan Pesantren di daerah Babusalam di seberang Kota Tanjung Pura. Pesantren
menjadi pusat Dakwah Tariqat
Naqsabandiyah dan daerahnya diberinama Babusalam. Pesantren ini menjadi pusat pendidikan dakwah Islam pertama di Sumatra Timur. Oleh Syekh Abdul Wahab, Raja Tengku Musa diberi gelar Khalifah karena jasanya terhadap penyebaran Islam di tanah Langkat dan Sumatra Timur.
Pada tahun 1877 dengan diakuinya kesultanan Langkat oleh Belanda dan Kesultanan Siak. Oleh karena itu, Kerajaan Langkat berubah menjadi Kesultanan Langkat dan Raja Tengku Musa diberi gelar Sultan Tengku Musa al Muazzamsyah.Di era pemerintahan kolonial Belanda, Kesultanan dibagi dalam dua bentuk pemerintahan yakni pemerintahan tradisional kesultanan yang dipimpin oleh Sultan di Tanjung Pura dan
pemerintahan Kolonial Belanda yang
dipimpin oleh Asissten Residen yang
berkedudukan di kota Binjai. Kedua
pemerintahan baik Sultan selaku pemilik wilayah yang sah dan pemerintahan kolonial Belanda sebagai wakil pemerintah Hindia-Belanda berjalan bersama dalam memimpin wilayah yang sama Diana pelaksanaanya terjadi dualisme. Tugas dan kekuasaan residen Belanda hanyalah mendampingi Sultan bagi orang-orang asing, sedangkan Sultan tetap berkuasa pada penduduk pribumi. Demi terlaksananya roda pemerintahan pada tahun 1881 Langkat dibagi menjadi dua roda Wonder afdeling yaitu Langkat Hulu dan Langkat Hilir. Sultan Musa menunjuk anak sulungnya yaitu Tengku Hamzah menjadi wakil sultan di Langkat Hulu.
Syekh Abdul Wahab Babussalam mengajurkan kepada Sultan Tengku Musa untuk mendirikan masjid di Tanjung Pura. Pada tahun 1899 mulailah dibangun masjid terbesar yang ada di kesultanan Langkat bahkan di Sumatra Timur yang kita kenal sekarang ini ialah Masjid Raya Azizi. Tak lama kemudian, Sultan Tengku Musa mangkat dan digantikan putra mahkotanya
yaitu Sultan Tengku Abdul Aziz. Sultan
Tengku Musa mewasiatkan untuk
melanjutkan pembangunan Masjid Raya Azizi. Karena belum adanya jalan raya, bahan bangunan Masjid Azizi di angkut melalui sungai. Sultan Tengku Abdul Aziz memangku jabatannya di Istananya yang ia bangun di depan Istana Ayahnya yaitu Darul Salam (Darussalam). Istana Darul Salam ini bercirikan arsitektur Melayu dan Cina. Pada tahun 1902, Masjid Raya Azizi selesai dibangun. Tidak hanya Masjid Raya Azizi, Sultan Tengku Abdul Aziz juga membangun
Madrasah Aziziah, Madrasah Jamaiyah
Mahmudiyah dan Madrasah Mashlurah di
belakang Masjid Raya Azizi. Masa
kepemimpinan Sultan Tengku Mahmud dibangun sarana kesehatan yakni Rumah Sakit Tanjung Pura dan Kantor Pos pada tahun 1930.
Pada tanggal 12 Maret 1942, tentara Jepang mengambil alih kepemerintahan Belanda di Tanjung Pura dan Langkat yang dipimpin oleh Kagiyama sebagai Gunseibu. Banyak rakyat di kota Tanjung Pura dipaksa untuk ikut ke dalam Romusha yakni Sistem
kerja paksa Jepang. Pada waktu itu
dibangunlah proyek lapangan terbang Jepang di Padang Cermin Kecamatan Selesai dan Tanjung Beringin kecamatan Hinai dekat kota Tanjung Pura. Pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamirkan kemerdekaan tetapi baru tanggal 6 September 1945 berita tersebut sampai ke Tanjung Pura dan Langkat melalui telegram berangkai. Tanjung Pura mengibarkan pertama kali bendera Merah Putih di Watertorren (Menara Air) di Jalan Langkat dan persimpangan Jalan Merdeka dan Jalan Pemuda.
Pada tanggal 22 Juli 1947, Belanda dan tentara NICA menguasai kota Stabat. Pada waktu itu terjadi pertempuran antara pemuda dan Belanda di pinggiran Sungai Wampu. Dikhawatirkan Tanjung Pura akan diduduki Belanda, para pemuda membumi hanguskan kota Tanjung Pura, terutama istana, gedung dan rumah-rumah yang tidak berpenghuni akibat revolusi sosial. Pada tanggal 30 Juli 1947, istana-istana dan gedung-gedung kesultanan dibom dan hancur terbakar. Terjadilah Tanjung Pura lautan api. Pada tanggal 3 Agustus 1947 pasukan Belanda berhasil masuk ke Tanjung Pura dan membuat markas di Tanjung Pura di
Madrasah Jamiyah Mahmudiyah. Di Tanjung Pura terjadi pertempuran selama 10 hari. Akhirnya para pemuda ditarik mundur ke Gebang. Selanjutnya Belanda masuk ke Pangkalan Brandan dan terjadi pertempuran.
3 METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi Pengambilan Data dan Alat yang digunakan
Penelitian dilakukan di Tanjung Pura Kabupaten Langkat. Dilakukan pengukuran pada kawasan dengan menggunakan alat GPS lalu digambarkan dengan menggunakan
software desain yaitu Autocad dan Ilustrator.
Tiap zona kawasan memiliki bangunan-bangunan bersejarah, maka diambil beberapa bangunan untuk mewakili tiap kawasan. Dilakukan pengukuran pada tiap bangunan dengan menggunakan meteran, lalu membuat sketsa tiap bangunan dengan menggunakan kertas milimeter, dan digambarkan dengan menggunakan software desain Autocad dan
Ilustrator. Selain itu dilakukan pendokumentasian setiap bangunan dengan menggunakan kamera digital.
3.2 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini yaitu survei data primer dan survei data skunder. Untuk data primer didapat dengan cara observasi langsung
dilapangan, dilakukan pengukuran,
pembuatan sketsa, pendokumentasian dengan kamera digital dan video. Sedangkan untuk data skunder didapatkan dengan cara studi literatur dari perpustakaan daerah di Medan, perpustakaan Melayu, Museum Tanjung Pura, dan wawancara dengan ahli sejarah di Tanjung Pura.
Untuk pengambilan sampel bangunan bersejarah di setiap kawasan dilakukan dengan melihat kriteria konservasi yaitu, usia
bangunan, estetika, landmark sebuah
kawasan, dan gaya arsitektural. 3.3 Prosedur Penelitian
Tahapan pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Tahap survei data skunder yaitu mengumpulkan data literatur yang di dapat dari perpustakaan daerah di Medan, perpustakaan Melayu di Medan, Museum Tanjung Pura
dan wawancara dengan ahli sejarah dari Tanjung Pura.
b. Tahap survei data primer,
observasi langsung di lapangan yaitu Tanjung Pura :
• melakukan pemetaan
bangunan-bangunan bersejarah
• membagi zona kawasan
berdasarkan ciri bangunan yang terdapat ditiap zonanya
• pendataan tiap-tiap bangunan bersejarah di setiap zona
kawasan, dilakukan
pengukuran, pembuatan sketsa dan pendokumentasian dengan
kamera digital untuk
mengambil detail-detail
arsitektur sehingga
memudahkan dalam
penggambaran
c. Tahap penggambaran yaitu data
primer yang didapatkan
dilapangan digambarkan dengan
menggunakan software desain
Autocad dan Ilustrator.
d. Tahap pembuatan konsep yaitu membuat konsep rancangan untuk kawasan perkotaan (zona Melayu dan zona Pecinan) yang akan dijadikan obyek wisata sejarah,
konsep rancangan dituangkan
dalam gambar desain, seperti desain pedestrian, desain parkir, desain sirkulasi, dan lain-lain.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pembagian Kawasan di Kota Tanjung Pura
Dari hasil survey dan pengamatan
langsung di lapangan dengan melihat
arsitektur (bangunan-bangunan) yang ada maka kota Tanjung Pura dapat dibagi menjadi 3 kawasan. Dan dari 3 kawasan tersebut, diambil masing-masing 1 (satu) bangunan yang bisa dijadikan vocal point mewakili tiap kawasan yaitu :
a. Mesjid Azizi untuk kawasan Melayu b. Klenteng untuk kawasan Pecinan c. Kantor Pos untuk kawasan Belanda
Gambar 4.1 Bangunan yang mewakili tiap kawasan sebagai Vocal Point Sumber : Hasil Survey, 2014
Setelah menentukan satu bangunan di tiap kawasan sebagai vocal point dan pemetaan bangunan bersejarah berdasarkan ciri-ciri fasadenya, maka didapatkan tiga kawasan di Tanjung Pura, sebagai berikut :
Gambar 4.2 Pembagi Kawasan berdasarkan Arsitektur yang dominan
Sumber : Hasil Survey, 2014
4.1.1 Pemetaan dan Pendataan
Gambar 4.3 Pemetaan di Kawasan Melayu Sumber : Hasil Survey, 2014
Dari hasil survey yang telah
dilakukan di Kota Tanjung Pura bahwa Sungai Mati yang saat ini tidak berfungsi akan difungsikan kembali dengan melakukan pengerukan sehingga Sungai Mati ini akan berfungsi kembali sebagai kanal pengendali banjir di kota Tanjung Pura ini. Selain itu dengan difungsikannya kembali Sungai Mati, secara ekonomis diharapkan akan dapat dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber pendapatan baru, dimana masyarakat dapat memanfaatkan aliran sungai ini sebagai objek wisata alternatif seperti memancing atau wisata air lainnya.
Langkah-langkah konservasi yang dapat dilakukan di kawasan Melayu ini yaitu dengan penataan kembali bangunan-bangunan di kawasan ini agar bangunan-bangunan lama yang masuk dalam kategori pelestarian lebih menonjol dari bangunan-bangunan baru. Untuk kawasan permukiman penduduk, perlu adanya penataan kembali agar menghilangkan kesan kumuh, dengan membuat jaringan drainase kota dan memfungsikan kembali kolam Raja yang berada di bagian belakang bangunan masjid sebagai area rekreasi dan sebagai folder yang berfungsi sebagai pengendali banjir di kawasan ini. Dan
penataan permukiman ini juga dapat
dikembangkan menjadi kawasan sentra
industri pengerajin makanan khas Melayu
Langkat yang akan berdampak pada
pelestarian makanan khas Melayu Langkat. Penataan permukiman masyarakat Melayu ini dapat dikembangkan sehingga fungsi rumah bukan hanya sebagai tempat tinggal namun dapat juga dimanfaatkan sebagai home stay (penginapan murah), perubahan fungsi ini akan memberikan nilai ekonomis bagi masyarakat dimana wisatawan yang berkunjung ke kawasan ini akan dapat
melihat kehidupan masyarakat Melayu
Langkat yang masih asli dengan menginap di rumah-rumah penduduk untuk menikmati budaya masyarakatnya.
4.1.2 Pemetaan dan Pendataan
Bangunan di Kawasan Pecinan
Gambar 4.4 Kawasan Pecinan Sumber : Hasil Survey, 2014
Kondisi eksisting pertokoan lama di kawasan pecinan di kota Tanjung Pura saat ini telah banyak mengalami perubahan secara visual fasade bangunannya. Perubahan terjadi pada fasade, struktur maupun jumlah lantai.
Dilihat dari kondisi tersebut, pelestarian yang dapat dilakukan ada 2 (dua) alternatif, yaitu :
a. Mengembalikan bentuk fasade
bangunan pertokoan yang telah berubah ke bentuk semula
b. Membiarkan bentuk-bentuk yang telah berubah, namun pertokoan-pertokoan yang belum mengalami perubahan harus dipertahankan dan mengusulkan kepada pemerintah
bangunan pertokoan hanya bisa dilakukan pada bagian belakang bangunan, sehingga fasade depan
bangunan pertokoan dapat
dipertahankan kelestariannya. Pelestarian yang dapat dilakukan pada pertokoan lama di Kawasan Pecinan ini adalah penataan lebih terhadap fungsi rumah bukan hanya sebagai tempat tinggal dan pertokoan biasa namun dapat dimanfaatkan sebagai penginapan murah (home stay) sehingga dapat memberikan nilai ekonomi bagi masyarakat dimana wisatawan yang berkunjung ke Kawasan Pecinaan ini akan
dapat menikmati budaya kehidupan
masyarakat Tionghua dan menjadikan
kawasan ini sebagai kawasan wisata kuliner. Kondisi lain yang harus dilakukan perbaikan adalah tinggi level muka jalan dan sistem drainase. Tinggi muka jalan saat ini telah mengalami perubahan ketinggian yang sangat besar menyebabkan muka lantai bangunan pertokoan semakin rendah dan hal ini menyebabkan bangunan pertokoan sering mengalami banjir. Untuk itu perlu adanya perencanaan drainase yang baik dikawasan ini dan folder yang pada masa lampau dijadikan
sebagai penampung air hujan akan
dikembalikan fungsinya seperti awal.
4.1.3 Pemetaan dan Pendataan
Bangunan di Kasawan Belanda
Gambar 4.5 Kawasan Belanda Sumber : Hasil Survey, 2014
Pada kawasan Belanda terdapat beberapa bangunan bergaya kolonial yang sekarang mengalami kerusakan-kerusakan pada fasade, lingkungan dan struktur bangunannya, hal ini disebabkan bangunan tersebut tidak dihuni (kosong) dan tidak jelas siapa pemiliknya.
Berdasarkan kondisi tersebut, dapat dilakukan perawatan dan pengikut sertakan masyarakat dalam tindakan pelestarian yang dilakukan. Tindakan pelestarian yang dapat dilakukan pada bangunan-bangunan tersebut adalah dengan cara rehabilitasi. Lingkungan dikawasan Belanda juga harus dilakukan
penataan untuk meningkatkan kualitas
lingkungannya dengan cara tindakan
konservasi tidak langsung (preservation of
deterioration).
Pada kawasan Belanda terdapat kolam penampung folder yang saat ini tidak terawat dan tidak berfungsi disebabkan oleh telah ditempati oleh permukiman masyarakat. Hal tersebut mengakibatkan terjadi banjir dikawasan Belanda dan kota Tanjung Pura umumnya akibat tidak dapat ditampungnya air dari sungai dan hujan. Melihat kondisi tersebut, kolam penampung folder tersebut harus dikembalikan ke kondisi awalnya sehingga dapat berfungsi seperti semestinya. Selain itu, kolam penampung folder ini harus dilakukan tindakan konservasi untuk menata lingkungannya yaitu dengan jalan konservasi
tidak langsung (preservation of
deterioration).
4.2 Rancangan Pelestarian
Dari hasil survey yang dilakukan data bangunan-bangunan bersejarah di ketiga kawasan tersebut adalah sebagai berikut :
a. Kawasan Melayu terdapat sekitar 10 bangunan bersejarah yang berkaitan dengan kesultanan Langkat
b. Kawasan Pecinan terdapat sekitar 200 ruko dan 1 kelenteng
c. Kawasan Belanda terdapat sekitar 16 bangunan yang terdata
Hasil pendataan bangunan-bangunan cagar budaya di 3 kawasan tersebut berupa dokumentasi foto-foto. Sedangkan untuk kawasan yang akan dijadikan obyek wisata adalah kawasan lintas Sumatera yaitu dari jalan Mesjid Raya hingga jalan Sudirman,
dapat dilihat pada gambar 5.6. Zona berwarna kuning adalah zona rencana pelestarian.
Gambar 4.6 Kawasan Pelestarian yang direncanakan
Sumber : Hasil survey, 2014
Zona ini diambil karena merupakan pusat Kota Tanjung Pura dan terdapat vocal
point yang sangat menarik yaitu keberadaan
Masjid Azizi. Pelestarian dilakukan pada
kawasan dan bangunan-bangunan yang
terdapat di zona ini.
Untuk pelestarian kawasan dilakukan: a. Kawasan Melayu sebagai pusat aktifitas kegiataan peribadatan islami, pendidikan dan wisata sejarah serta permukiman akan
mengalami penataan dengan
dilengkapi fasilitas pendukung. Dan Kawasan Pecinaan sebagai pusat aktifitas perdagangan dan perniagaan, wisata sejarah, wisata kuliner, peribadatan khonghucu dan Buddha serta permukiman juga dilakukan penataan.
b. Zona kuning tidak dapat dilalui oleh kendaraan bermotor, untuk jalur kendaraan (jalan lintas
Sumatera) dialihkan dengan
membuat jalan alternatif.
c. Membuat rancangan drainase
kota sehingga agar tidak terjadi
banjir¸ akan dilakukan
pembenahan dan perbaikan untuk disesuaikan dengan sistem folder
kota yang akan dihidupkan
kembali.
d. Merencanakan ruang terbuka
untuk umum, taman, kegiatan bazar, jalur hijau, dan lain-lain. e. Merancang pedestrian yang baik
di kawasan sehingga wisatawan akan nyaman menikmati wisata sejarah, arsitektur dan kuliner
f. Mengembalikan gapura lama
sebagai pintu masuk ke kawasan g. Merancang fasilitas pendukung
seperti sarana parkir kendararaan, tempat peminjaman sepeda, area kuliner dan suvenir.
h. Sungai Sei Batang Serangan dan Sungai Sei Batang Durian yang mengelilingi kota Tanjung Pura akan dibenahi dan ditata dengan baik dipersiapkan untuk jalur transportasi wisata air.
Gambar 4.7 Kawasan Pelestarian yang direncanakan
Sumber : Hasil survey, 2014
Gambar 4.8 Potensi Kawasan Pelestarian sebagai Obyek Wisata
Sumber : Hasil survey, 2014
Gambar 4.9 Konsep Pelestarian Kawasan Wisata Sumber : Hasil survey, 2014
Untuk pelestarian Bangunan di zona kuning, akan dilakukan :
a. Bentuk bangunan bersejarah akan dikembalikan ke wajah aslinya. b. Ketinggian pada bangunan baru
tidak boleh melebihi bangunan bersejarah yang dilestarikan.
c. Tidak diperbolehkan untuk
melakukan perubahan dan atau
penambahan yang
menghilangkan bentuk asli dari bangunan bersejarah.
d. Apabila diperlukan penambahan
fisik pada bangunan yang
dikonservasi tidak boleh terlihat
merubah bentuk asli dari
bangunan tersebut.
e. Pada bangunan bersejarah yang
tinggal puing-puing akan
dilakukan pemagaran dan
penataan lansekap disekitarnya. 5 KESIMPULAN
Kota Tanjung Pura merupakan kota yang memiliki kekayaan budaya dan sejarah yang sangat perlu dilestarikan. Perkembangan kota Tanjung Pura dapat dilihat dari keberadaan bangunan-bangunan tua yang menyimpan banyak sejarah dimasa lampau. Sayangnya saat ini satu persatu situs sejarah tersebut mulai hilang dan rusak. Untuk itu pelestarian kota Tanjung Pura saat ini sangatlah dianjurkan agar cagar budaya berupa bangunan-bangunan tidak menghilang satu persatu. Dengan mengembalikan wajah kawasan kota akan memunculkan karakter dari kota Tanjung Pura sehingga memiliki keunikan tersendiri yang menjadi daya tarik wisatawan untuk datang ke Tanjung Pura.
Zona pelestarian yang di ambil adalah jalan Masjid Raya sampai jalan Sudirman, untuk zona ini dijadikan kawasan bersejarah, kawasan budaya dan menjadikannya sebagai
kawasan wisata. Diharapkan dengan
pelestarian ini akan meningkatkan taraf perekonomian masyarakat setempat. Untuk perkembangan kota selanjutnya diselaraskan dengan kondisi sejarah kota Tanjung Pura. 6 REFERENSI
Budiharjo, Eko. Cetakan II 2011. Penataan
Ruang dan Pembangunan Perkotaan.
Bandung: PT. Alumni.
Daniel Perret, 2010, Kolonialisme dan
Etnisitas Batak dan Melayu di Sumatra Timur, Kepustakaan Populer Gramedia,
Jakarta.
Arifin, Zainal, 2009, Sekilas Tragedi
Bersejarah Brandan Bumi Hangus, Mitra,
Medan.
Arifin, Zainal, 2009, Langkat dalam Sejarah
dan Perjuangan Kemerdekaan, Mitra, Medan.
Dirjen Ciptakarya, 1998, Penataan Bangunan
dan Lingkungan. Departemen Pekerjaan
Umum, Jakarta.
Broadbend. 1994, New down Town : Ideas
City of Tomorow. URA &PMB.Singapore.
Aldo Rossi. 1991, The Architecture of The
City, MIT Press. Cambridge.
Lynch, Kevin, 1973, The Image of The City, London-England: The MIT Press.
Allan Dobby, 1978, Conservation and
Planning, Hutchinson, London
Kartika Yuliana K, 2013, Upaya Pelestarian
Kampung Kauman Semarang Sebagai Kawasan Wisata Budaya, Jurnal Teknik PWK
Volume 2 Nomor 2, 2013
Arie Setiana Putra (2013), Perencanaan Jalur
Interpretasi Wisata Warisan Sejarah Budaya di Pusat Kota Denpasar, E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika, Vol. 2, No. 2, April 2013
Yulita Titik S, 2011, Model Pengelolaan
Bangunan Cagar Budaya Berbasis Partisipasi Masyarakat Sebagai Upaya Pelestarian Warisan Budaya, SERI KAJIAN
ILMIAH, Volume 14, Nomor 11, Januari 2011
Novesty Noor Azizu, 2011, Pelestarian
Kawasan Bentteng Keraton Buton, Jurnal
Tata Kota dan Daerah Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
Fathurrahman Mansur, 2006, Konservasi Dan
Kota Donggala, Majalah Ilmiah “Mektek”
Tahun Viii No.2 Mei 2006
Tri Prasetyo Utomo, 2005, Tipologi dan
Pelestarian Bangunan Bersejarah; Sebuah
Pemahaman melalui Proses Komunikasi,
Ornamen Jurnal Seni Rupa STSI Surakarta, Vol 2, No. 1 Januaru 2005