• Tidak ada hasil yang ditemukan

commit to user BAB V PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "commit to user BAB V PEMBAHASAN"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V PEMBAHASAN

Penelitian mengenai perbedaan kualitas tidur antara pasien asma dengan

pasien PPOK dilakukan pada bulan April sampai Mei 2013 di Poliklinik Paru RSUD

Dr. Moewardi, dengan subjek penelitian yang didapat sebanyak 60 pasien, terdiri dari

30 pasien asma dan 30 pasien PPOK. Subjek penelitian yang diambil harus

memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Sampel ditujukan pada pasien yang

berumur 40 tahun ke atas karena pada umumnya manifestasi penyakit paru kronis dan

progresif seperti PPOK, muncul setelah umur 40 tahun. Pengambilan data dilakukan

dengan wawancara langsung ke pasien untuk pengisian kuesioner KSPBJ-IRS

(2)

Distribusi frekuensi subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin (Tabel 4.1) didapatkan bahwa pasien asma lebih banyak berjenis kelamin perempuan daripada laki-laki, dengan persentase 56,67%. Hal ini dikarenakan jenis kelamin merupakan salah satu faktor predisposisi asma. Jenis kelamin laki-laki merupakan faktor risiko terjadinya asma pada anak. Asma di saat menjelang dewasa atau sekitar umur 20 tahun, rasio laki-laki dan perempuan kurang lebih sama. Sedangkan asma pada umur 40 tahun ke atas, perempuan lebih banyak yang mengalami daripada laki-laki (GINA, 2012).

Faktor yang berhubungan dengan kualitas tidur yang menjadi buruk atau terjadinya insomnia, salah satunya yaitu jenis kelamin. Studi epidemiologi sebelumnya melaporkan bahwa tingkat prevalensi insomnia lebih tinggi pada wanita (Ganguli et al., 1996; Su et al., 2004). Hal tersebut dikarenakan adanya perubahan perilaku dan hormonal (Jaussent et al., 2011). Pada penelitian ini, pasien asma banyak yang berjenis kelamin perempuan dan juga banyak yang mempunyai kualitas tidur buruk. Sehingga jenis kelamin merupakan faktor perancu yang tidak dapat dikendalikan.

Untuk pasien PPOK pada tabel 4.1, menunjukkan bahwa lebih banyak laki- laki yang mengalaminya daripada perempuan, dengan persentase 73,33%. Pada tahun 1964, penasihat Committee Surgeon General of the United States menyatakan bahwa merokok merupakan faktor risiko utama mortalitas bronkitis kronik dan emfisema.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dalam waktu satu detik setelah forced

expiratory maneuver (FEV

1

), terjadi penurunan mendadak dalam volume ekspirasi

yang bergantung pada intensitas merokok. Hubungan antara penurunan fungsi paru

dengan intensitas merokok ini berkaitan dengan peningkatan kadar prevalensi PPOK

seiring dengan pertambahan umur. Prevalansi merokok yang tinggi di kalangan laki-

laki menjelaskan penyebab tingginya prevalensi PPOK dikalangan laki-laki (Reilly et

al., 2010).

(3)

Distribusi frekuensi subjek penelitian berdasarkan umur (Tabel 4.2) didapatkan bahwa pada kelompok asma, sampel terbanyak yaitu pada rentang usia 51-60 tahun dengan persentase 40%. Umur bukan merupakan faktor predisposisi terjadinya asma. Menurut Barnes (2010), asma bisa terjadi pada usia berapa pun dengan puncaknya terjadi pada umur 3 tahun. Dari hasil studi epidemiologi, jumlah terbanyak individu yang mengalami asma dikarenakan faktor genetik. Asma bisa dialami sejak masa kanak-kanak ataupun bisa juga baru dialami pada saat dewasa.

Hal itu tergantung dari faktor pemicu asma di saluran pernapasan.

Untuk kelompok PPOK menurut tabel 4.2, didapatkan bahwa sampel terbanyak yaitu pada rentang usia 61-70 tahun dan 71-80 tahun dengan masing- masing persentase yaitu 30%. Usia lanjut merupakan suatu faktor risiko; risiko relatif bronkitis kronis, misalnya terentang mulai dari 1,2 sampai 2,3 pada pasien lanjut usia dibandingkan dengan pasien yang muda (Terry, 2013). Pada usia mulai terjadinya proses penuaan yaitu umur 40 tahun ke atas, terjadi proses degenerasi dan perusakan paru serta jaringan pendukungnya akibat paparan zat kimia seperti rokok dan faktor risiko lainnya (Nugroho, 2005).

Berdasarkan WHO (1989), seseorang dikatakan sudah berusia lanjut apabila ≥ 60 tahun. Dari hasil penelitian, dapat dikelompokkan pasien asma dengan usia ≥ 60 tahun maupun ≤ 60 tahun, keduanya mempunyai kualitas tidur buruk. Sedangkan pasien PPOK yang mempunyai kualitas tidur buruk, lebih banyak dialami pasien berusia ≥ 60 tahun daripada usia ≤ 60 tahun.

Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan kualitas tidur antara pasien asma dengan pasien PPOK. Tabel 4.3 menunjukkan hasil penelitian yaitu tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kualitas tidur pasien asma dengan pasien PPOK (p > 0,05). Kelompok pasien asma mempunyai kualitas tidur buruk sebanyak 46,67%. Dan kelompok pasien PPOK mempunyai kualitas tidur buruk sebanyak 60%.

Pasien pada kedua kelompok penyakit tersebut ternyata sama-sama mempunyai

(4)

Pada kelompok pasien asma mengalami kualitas tidur yang buruk, hasil penelitian tersebut sudah sesuai dengan penelitian Janson et al. (1996) yaitu ada hubungan antara asma dengan penurunan kualitas tidur dan peningkatan tidur pada siang hari bagi penderitanya. Kelompok pasien asma mempunyai prevalensi lebih tinggi secara signifikan terjadinya gangguan tidur seperti sulit memulai tidur, terbangun lebih awal, mendengkur, mengalami sleep apnea, merasa lelah di siang hari, mengantuk di siang hari, sering terbangun di malam hari saat tidur, dan efisiensi tidur lebih rendah dibandingkan dengan subjek yang tidak menderita asma. Kualitas tidur pasien asma dipengaruhi oleh aktivitas dari penyakitnya atau gejala yang dialami pasien, menurut penilitian lain dari Janson et al. (1990). Selain itu pada pasien asma, terdapat variasi sirkadian menonjol pada resistensi jalan napas, mungkin berhubungan dengan irama sirkadian pada level histamin dan katekolamin yang meningkatkan gejala asmatik pada malam hari (Czeisler et al., 2000).

Kelompok pasien PPOK juga mengalami kualitas tidur yang buruk, hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya dari the Tucson Epidemiological Study of Chronic Lung Diseases, menemukan bahwa subjek yang mengalami penyakit paru obstruktif lebih bermasalah pada tidurnya daripada subjek yang tidak mengalami (Fitzpatrick et al., 1991). Dilaporkan bahwa prevalensi terjadinya kesulitan mempertahankan tidur sehingga mengantuk di siang harinya, lebih tinggi pada pasien asma atau pasien bronkitis kronik pada subjek laki-laki berusia tua (Gislason dan Almqvist, 1987). Yang mempengaruhi kualitas tidur pasien PPOK menjadi buruk yaitu gejala batuk, sesak napas yang terjadi saat beraktivitas, dan tingkat keparahan PPOK (Omachi, 2012).

Subjek penelitian di kedua kelompok penyakit (asma dan PPOK) harus

memenuhi kriteria inklusi dan kriteria ekslusi, dimana faktor umur, kondisi pasien

(sedang eksaserbasi atau tidak), penyakit penyerta kronis, gangguan psikologis dan

konsumsi zat sebulan terakhir telah dikontrol. Namun variabel terkontrol tersebut

(5)

yang termasuk kriteria subjek penelitian, ada beberapa yang menjadi variabel perancu sehingga dapat mempengaruhi variabel terikat, yaitu umur dan gangguan psikologis.

Dalam sebuah penelitian objektif, subjek menunjukkan penurunan jumlah tidur dalam (stadium 3 dan 4) dan peningkatan tidur stadium 1 yang dimulai sekitar akhir usia 40 tahun dan awal usia 50 tahun. Tidur REM dipertahankan dengan baik pada proses penuaan, walaupun jumlah absolutnya menurun sebagai fungsi dari penurunan waktu tidur total. Efisiensi tidur (rasio waktu tertidur dibandingkan dengan waktu total berbaring di tempat tidur) menurun dari 95% pada dewasa muda, menjadi kurang dari 75% pada orang lanjut usia (Herrera, 2013). Oleh sebab itulah, sering terjadi masalah tidur pada kedua kelompok subjek penelitian, seperti sering bermimpi, tidur yang dangkal dan mudah terbangun pada malam hari, serta berkurangnya waktu tidur malam.

Subjek penelitian baik pasien asma dan PPOK sering mengeluh terbangun pada saat tidur di malam hari dikarenakan ingin berkemih. Hal ini berkaitan dengan faktor usia. Usia 40 tahun jika dilihat dari usia biologisnya, individu telah mengalami perubahan akibat proses menua, yaitu terjadinya penurunan secara anatomik dan fisiologis atas organ-organnya. Peneliti Andres dan Tobin mengenalkan “hukum 1%”

yang menyatakan bahwa fungsi organ akan menurun sebanyak satu persen setiap tahunnya setelah usia 30 tahun. Tetapi memang terdapat penurunan yang fungsional secara nyata setelah usia 70 tahun (Kane et al., 1994). Pada kasus berkemih di usia 40 tahun ke atas, terjadi penurunan fungsi pada otot destrusor kandung kemih serta kapasitas kandung kemih menurun (Reuben, 1996).

Secara luas, gangguan tidur yang dialami oleh usia lanjut yaitu kesulitan

masuk tidur (sleep onset problems), kesulitan mempertahankan tidur nyenyak (deep

maintenance problem), dan bangun terlalu pagi (early morning awakening/EMA)

(Feldman, 2000). Pada usia lanjut juga terjadi perubahan pada irama sirkadian tidur

normal, yaitu menjadi kurang sensitif dengan perubahan gelap dan terang. Normalnya

(6)

temperatur badan selama siklus 24 jam. Ekskresi kortisol dan growth hormoneI (GH) meningkat pada siang hari dan temperatur badan menurun di waktu malam. Pada usia lanjut ekskresi kortisol dan GH serta perubahan temperatur tubuh berfluktuasi dan kurang menonjol. Melatonin, hormon yang diekskresikan pada malam hari dan berhubungan dengan tidur, menurun dengan meningkatnya umur (Morgan, 2003).

Selain dipengaruhi faktor umur, gangguan tidur juga bisa dipengaruhi oleh faktor psikologis. Walaupun peneliti sudah mengontrol, mungkin masih ada sampel yang tidak terbuka atau tidak jujur ketika menjawab pertanyaan. Sehingga bisa berpengaruh terhadap kualitas tidur mereka.

Penelitian ini mempunyai beberapa kelemahan yaitu: (1) jumlah sampel yang kurang representatif, hal ini dikarenakan keterbatasan waktu dalam penelitian, (2) faktor subjektivitas pasien dalam memberikan jawaban yang merupakan variabel luar yang belum dapat dikendalikan oleh peneliti.

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan kualitas tidur antara pasien asma dengan pasien PPOK.

(p = 0,301).

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu hal yang harus diperhatikan guru untuk meningkatkan hasil belajar siswa matematika adalah dari faktor model pembelajaran dengan media pembelajaran

Kecepatan rencana (V R ) pada suatu ruas jalan adalah kecepatan yang dipilih sebagai dasar perencanaan geometrik jalan yang memungkinkan kendaraan- kendaraan bergerak dengan

Tapi sebagai kakek Saya ya mending tidak usah, takut nanti di sawer-sawer mbak, tapi kalau cucu Saya berminat tentunya nanti dalam pengawasan Saya karena Dolalak kan

Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara perubahan penggunaan lahan non industri ke industri dengan perubahan PDRB industri

Pemeriksaan otoskopi tampak membran timpani perforasi sentral, kering, mukosa kavum timpani baik (seperti pada gambar 7). Perforasi sentral kering, mukosa kavum timpani baik

Terbukti dari hasil perhitungan di atas apabila seluruh warga yang ada di pinggiran Kota Batam mau bekerja sama mengolah kotoran sapi mereka menjadi biogas, dengan

Gerakan gerak dasar passing bawah yaitu: dorongkan kedua lengan ke arah datangnya bola bersamaan kedua lutut dan pinggul naik serta tumit terangkat dari lantai, usahakan

Dalam suatu pasar ada begitu banyak usaha-usaha yang sejenis jadi setiap wirausahawan yang ingin membuka usaha harus memiliki kemampuan inovasi dan kreativitas agar