• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Pustaka

Pangan meliputi produk serealia, karena porsi utama dari kebutuhan kalori harian berasal dari sumber pangan karbohidrat, yaitu sekitar separuh dari kebutuhan energi per orang per hari. Maka yang digunakan dalam analisis kecukupan pangan yaitu karbohidrat yang bersumber dari produksi pangan pokok serealia yaitu padi, jagung, dan umbi-umbian (ubi kayu dan ubi jalar) yang digunakan untuk memahami tingkat kecukupan pangan pada tingkat provinsi maupun kabupaten (Peta Ketahanan Pangan Gorontalo, 2009).

Pangan yang digunakan dalam analisis kecukupan pangan yaitu karbohidrat yang bersumber dari produksi pangan pokok serealia :

1. Padi : Tanaman padi (Oryza sativa L.) termasuk famili tumbuhan gramineae atau rumput-rumputan dengan batang tersusun dari beberapa ruas. Tanaman padi memiliki sifat merumpun, yang dalam waktu singkat bibit padi yang ditanam hanya satu batang dapat membentuk rumpun sejumlah 20 sampai 30 anakan (Pithantomo, 2007).

2. Jagung : Jagung termasuk tanaman berumah satu dengan bunga betina terletak pada infloresen yang berbeda dengan bunga jantannya, tetapi masih berada dalam satu tanaman. Bunga jantan tersusun dalam bulir rapat yang terletak pada ujung batang dan dinamakan malai atau tassel. Bunga betinanya terletak pada ketiak daun dan berbentuk tongkol. Biasanya bunga betina terletak pada buku keenam atau kedelapan dari atas dan terus pada setiap buku dibawahnya.

Tanaman jagung bersifat protandri, yaitu bunga jantan umumnya tumbuh 1 – 2

(2)

hari sebelum munculnya rambut pada bunga betina. Bunga betinanya meliputi, tangkai, tunas, tongkol, klobot, calon biji, calon janggel, penutup klobot, dan rambut. Pertumbuhan tanaman jagung bersifat apikal dominan, yaitu titik dominasi pertumbuhan ada pada pucuk batang, mengakibatkan tongkol yang paling atas berkembang lebih besar daripada yang bawah dan terjadi kompetisi antar tongkol (Novik, 2013).

3. Ubi kayu : Batang tanaman singkong berkayu, beruas – ruas, dengan ketinggian mencapai lebih dari 3 m. Warna batang bervariasi, ketika masih muda umumnya berwarna hijau dan setelah tua menjadi keputih–putihan, kelabu, atau hijau kelabu. Batang berlubang, berisi empulur berwarna putih, lunak, dengan struktur seperti gabus. Susunan daun singkong berurat, menjari dengan cangap 5 – 9 helai. Daun singkong, terutama yang masih muda mengandung racun sianida, namun demikian dapat dimanfaatkan sebagai sayuran dan dapat menetralisir rasa pahit sayuran lain, misalnya daun papaya dan kenikir. Bunga tanaman singkong berumah satu dengan penyerbukan silang sehingga jarang berbuah. Umbi yang terbentuk merupakan akar yang menggelembung dan berfungsi sebagai tempat penampung makanan cadangan.

Bentuk umbi biasanya bulat memanjang, terdiri atas kulit luar tipis (ari) berwarna kecoklat – coklatan (kering), kulit dalam agak tebal berwarna keputih – putihan (basah), dan daging berwarna putih atau kuning (tergantung varietasnya) yang mengandung sianida dengan kadar yang berbeda.

(Suprapti Lies, 2005).

4. Ubi jalar : Ubi jalar atau ketela rambat (Ipomoea batatas L.) adalah sejenis tanaman budidaya. Bagian yang dimanfaatkan adalah akarnya yang

(3)

membentuk umbi dengan kadar gizi (karbohidrat) yang tinggi. Di Afrika, umbi ubi jalar menjadi salah satu sumber makanan pokok yang penting. Di Asia, selain dimanfaatkan umbinya, daun muda ubi jalar juga dibuat sayuran.

Terdapat pula ubi jalar yang dijadikan tanaman hias karena keindahan daunnya (

Kebijakan ketersediaan pangan adalah suatu hal yang ditetapkan dan diberlakukan sebagai arahan atau dasar tindakan melalui serangkaian pengambilan keputusan mengenai ketersediaan pangan untuk menjamin produksi dan perdagangan pada tingkat makro (Nasional) dalam hal undang-undang dan peraturan pemerintah (Institut Pertanian Bogor, 2009).

Hafsah MJ, 2004).

Karena ketersediaan pangan merupakan hal yang vital karena menyangkut kehidupan manusia yang paling asasi. Untuk mempertahankan eksistensinya, manusia berusaha untuk mencukupi kebutuhan pangan baik secara langsung maupun tidak langsung. Apa bila kebutuhan primer tesebut tidak dapat dipenuhi, maka kerentanan pangan akan berdampak luas pada berbagai aspek kehidupan.

Kejadian rentan pangan dan gizi buruk mempunyai arti politis yang negatif bagi penguasa. Sejarah membuktikan bahwa dibeberapa negara berkembang, krisis

pangan dapat menjatuhkan pemerintahan yang sedang berkuasa (Handewi P.S. Rachman, dkk 2008).

Ketahanan pangan pada suatu negara tidak mensyaratkan untuk melakukan swasembada produksi pangan karena tergantung pada sumberdaya yang dimiliki.

Suatu negara bisa menghasilkan dan mengekspor komoditas pertanian yang bernilai ekonomi tinggi dan barang-barang industri, kemudian membeli komoditas pangan di pasar internasional. Sebaliknya, negara yang melakukan swasembada

(4)

pangan pada level nasional, namun dijumpai masyarakatnya yang rentan pangan karena ada hambatan akses dan distribusi pangan (Hanani, 2012).

2.2. Landasan Teori

Di Indonesia, Undang - Undang No. 7 Tahun 1996 tentang pangan mengartikan ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi suatu wilayah yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.

USAID 1992 mendefinisikan ketahanan pangan sebagai suatu kondisi dimana masyarakat pada waktu yang bersamaan memiliki akses yang cukup baik secara fisik maupun ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dalam rangka untuk meningkatkan kesehatan dan hidup yang lebih produktif.

(Hariyanti dan Raharto, 2012).

Pada peluncuran peta kerawanan pangan (FIA) tahun 2005 tingkat nasional ternyata masih menyebabkan kesalah pahaman mengenai pengertian pemeringkatan kabupaten “rawan pangan”. Kata rawan pangan (food insecurity) diindikasikan secara langsung bahwa kabupaten – kabupaten peringkat bawah adalah kabupaten yang semua penduduknya rawan pangan. Oleh karena itu pada peta nasional tahun 2009 dirubah dari peta kerawanan pangan (FIA) tahun 2005 menjadi peta ketahanan dan kerentanan pangan (FSVA) pada tahun 2009.

Perubahanan nama tersebut dilakukan dengan pertimbangan untuk memperjelas konsep ketahanan pangan. Sehingga istilah rawan pangan diganti dengan kerentanan pangan (FSVA, 2009).

(5)

Kerentanan pangan adalah mengacu pada suatu kondisi yang membuat suatu wilayah beresiko mengalami ketidak cukupan pangan untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan para penduduknya.

Kerentanan pangan dapat bersifat kronis atau bersifat sementara. Tingkat kerentanan individu, rumah tangga atau kelompok masyarakat ditentukan oleh tingkat keterpaparan mereka terhadap faktor – faktor resiko / goncangan dan kemampuan mereka untuk mengatasi situasi tersebut baik dalam kondisi tertekan maupun tidak (FSVA Sumatera Utara, 2011).

Kerentanan pangan kronis merupakan kondisi kurang pangan yang terjadi sepanjang waktu di suatu wilayah. Sedangkan kerentanan pangan sementara mencakup rentan pangan musiman (seasonal), rentan pangan ini dapat terjadi karena adanya kejutan (shock

Ada tiga sub sistem utama yang mempengaruhi ketahanan dan kerentanan pangan yaitu ketersediaan (food availability), akses (food access), dan pemanfaatan pangan (food utilization), sedangkan status gizi (nutritional status ) merupakan outcome dari ketahanan pangan. Ketersediaan, akses, dan pemanfaatan pangan merupakan sub sistem yang harus dipenuhi secara utuh. Salah satu subsistem tersebut tidak dipenuhi maka suatu negara belum dapat dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang baik. Ketiga hal tersebut, pada kondisi rentan pangan yang akut atau kronis dapat muncul secara simultan dan bersifat relatif

) yang mendadak dan tak terduga seperti kekeringan dan ledakan serangan hama, yang sangat membatasi kepemilikan pangan, terutama masyarakat yang berada di pedesaan. Bagi masyarakat di perkotaan rentan pangan tersebut dapat disebabkan oleh pemutusan hubungan kerja dan pengangguran (Sri Sumarmi, 2012).

(6)

permanen. Sedangkan pada kasus rentan pangan yang musiman atau sementara (kerentanan terhadap pangan transien), faktor yang berpengaruh kemungkinan

hanya salah satu atau dua faktor saja dan sifatnya tidak permanen (Sri Sumarni, 2012).

Tabel 1. Indikator ketahanan dan kerentanan pangan yang telah mengacu pada Food Security and Vunerability Atlas (FSVA).

Indikator Definisi dan Perhitungan Sumber Data

Ketersediaan Pangan 1. Rasio konsumsi

normative per kapita terhadap ketersediaan bersih padi + jagung + ubi kayu + ubi jalar

1. Data rata – rata produksi bersih tiga tahun pada tingkat kecamatan dihitung dengan menggunakan konversi standar. Untuk rata – rata produksi bersih ubi jalar dibagi dengan 3 (factor konversi serelia) untuk mendapatkan nilai yang ekivalen dengan serielia. Kemudian dihitung total produksi serilia yang layak dikonsumsi.

2. Ketersediaan bersih serelia per kapita per hari di hitung dengan membagi total ketersediaan serelia kecamatan dengan jumlah populasinya.

3. Data bersih serelia dari perdagangan dan impor tidak diperhitungkan karena data tidak tersedia pada tingkat kecamatan.

4. Konsumsi normative serelia per hari perkapita adalah 300 gram/orang/hari.

5. Kemudian dihitung rasio konsumsi normative per kapita terhadap ketersediaan bersih serelia per kapita. Rasio lebih besar dari 1 menunjukkan daerah defisit pangan dan daerah dengan rasio yang lebih kecil dari 1 adalah surplus untuk produksi serelia.

Badan Ketahanan Pangan dan Pusat Statistik Provinsi dan Kabupaten,

Akses Pangan 2. Persentase

penduduk hidup di bawah garis kemiskinan

3. Persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai

1. Nilai rupiah pengeluaran per kapita setiap bulan untuk memenuhi standar minimum kebutuhan konsumsi pangan dan non pangan yang dibutuhkan oleh individu untuk hidup secara layak dihitung dengan metode small area estimation (SAE).

1. Lalulintas antar desa yang tidak bisa dilalui oleh kendaraan roda empat.

Susenas kor , susenas modul,PODES, BPS

PODES,BPS

(7)

Tabel 1. Lanjutan

Indikator Definisi dan Perhitungan Sumber Data

4. Persentase rumah tangga tanpa akses listrik

1. Persentase rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap listrik dari PLN dan/non PLN misalnya generator di hitung dengan metode SAE.

Susenas kor, PODES, BPS

Pemanfaatan Pangan 5. Persentase desa

yang tinggal lebih 5 km dari fasilitas kesehatan.

1. Persentase desa dengan jarak lebih dari 5 km dari fasilitas kesehatan (rumah sakit,

klinik,puskesmas, dokter, juru rawat, bidan yang terlatih, para medic dan sebagainya).

PODES, BPS

6. Persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih

7. Perempuan buta huruf

8. Berat badan balita dibawah standar

9. Angka harapan hidup pada saat lahir

1. Persentase rumah tangga yang tidak memiliki akses ke air minum yang berasal dari air leding /PAM, pompa air, sumur atau mata air yang terlindung. Dihitung dengan metode SAE.

1. Persentase perempuan di atas 15 tahun yang tidak dapat membaca , dihitung dengan metode SAE.

1. Anak yang berumur di bawah 5 tahun kurang dari - 2 standar deviasi (-2 SD) dari berat badan normal pada usia dan jenis kelamin tertentu (Standar WHO 2005).

1. Perkiraan lama hidup rata – rata bayi baru lahir dengan asumsi bahwa tidak ada perubahan pola mortalitas sepanjang hidupnya. Di hitung dengan metode SAE.

Susenas kor , PODES, BPS

Susenas kor , PODES, BPS Pemantauan status gizi (PSG) dinas kesehatan Susenas kor , PODES, BPS

Kerentanan pangan transien (sementara) 10. Bencana alam

11. Penyimpnagan curah hujan

12. Persentase daerah puso

13. Deforestasi hutan

1. Data bencana alam yang terjadi NTB dan kerusakannya selama periode tertentu.

1. Data rata – rata tahunan curah hujan pada musim hujan dan kemarau selama 10 tahun terhir.

2. Kenudian di hitung persentase rata – rata 10 tahun terhadap nilai normal rata – rata 30 tahun.

1. Persentase dari daerah yang ditanami padi dan jagung yang rusak akibat kekeringan, banjir dan organism penganggu tanaman (OPT).

1. Deforestasi adalah perubahan kondisi penutupan lahan dari hutan menjadi non hutan . Angka deforestasi hutan berdasarkan analisis citra satelit landsat.

Badan Nasional Penganggulangan Bencana (BNBP) Badan

Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Sensus pertanian (SP), BPS Penghitungan deeforestasi Indonesia, Departemen Kehutanan Sumber : Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (FSVA) Provinsi Sumatera Utara 2011

(8)

Indikator yang digunakan pada peta ketahanan dan kerentanan pangan (FSVA) dapat digolongkan ke dalam dua komponen. Kerentanan pangan kronis, yang dicerminkan melalui indikator ketersediaan pangan, indikator akses terhadap pangan serta pemanfaatan pangan (9 indikator). Kerentanan pangan sementara, dicerminkan melalui indikator kerentanan terhadap bencana alam dan bencana lainnya (4 indikator). Ke 13 Indikator yang digunakan pada FSVA merupakan indikator untuk mengetahui ketahanan dan kerentanan pangan pada suatu wilayah.

Faktor – faktor yang mempengaruhi ketahan dan kerentanan pangan antara lain:

2.2.1. Ketersediaan (Food Availability)

Ketersediaan (food availability) yaitu ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup aman dan bergizi untuk semua orang dalam suatu negara baik yang berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan maupun bantuan pangan.

Ketersediaan pangan ini diharapkan mampu mencukupi pangan yang didefinisikan sebagi jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat. Informasi data yang digunakan untuk mengetahui ketersedian pangan antara lain :

1. Produksi : peningkatan produksi pangan dan kualitas pangan dapat dilakukan dengan program intensifikasi budidaya dan diversifikasi pangan antara lain dengan usaha pengolahan bahan pangan menjadi produk pangan yang menpunyai nilai tambah.

2. Pasokan pangan dari luar (impor)

3. Cadangan pangan merupakan salah satu sumber penyediaan pangan penting bagi pemantapan ketahan pangan. Pengelolaan cadangan yang baik akan dapat menanggulangi masalah pangan seperti adanya gejolak harga yang tidak

(9)

wajar, atau keadaan darurat karena adanya bencana atau paceklik yang berkepanjangan, sehingga membatasi aksesibilitas pangan masyarakat.

4. Bantuan pangan 5. Jumlah penduduk (Hanani, 2009).

Laju peningkatan kebutuhan pangan lebih cepat dibandingkan dengan laju peningkatan kemampuan produksi. Disamping itu peningkatan produktivitas tanaman di tingkat petani relatif stagnan, karena terbatasnya kemampuan produksi, penurunan kapasitas kelembagaan petani, serta kualitas penyuluhan pertanian yang jauh dari memadai. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi di Indonesia menjadi tantangan lain yang perlu dihadapi dalam pemenuhan kebutuhunan pangan (FSVA, 2009).

Perhitungan rasio konsumsi terhadap ketersediaan bersih sereal dan umbi- umbian ini diasumsikan untuk mengukur tingkat konsumsi serealia penduduk dan tingkat kemampuan suatu daerah dalam menyediakan bahan pangan/sereal dalam mencukupi kebutuhan penduduknya. Rasio konsumsi normatif terhadap ketersediaan netto pangan serealia per kapita per hari adalah merupakan petunjuk kecukupan pangan pada satu wilayah.

Konsumsi Normatif (Cnorm) didefinisikan sebagai jumlah pangan serealia yang harus dikonsumsi oleh seseorang per hari untuk memperoleh kilo kalori energi dari serealia. Pola konsumsi pangan di Indonesia menunjukkan bahwa hampir 50% dari kebutuhan total kalori berasal dari serealia. Standar kebutuhan kalori per hari per kapita adalah 2,000 KKal, dan untuk mencapai 50% kebutuhan kalori dari serealia dan umbi-umbian (menurut angka pola pangan harapan), maka

(10)

seseorang harus mengkonsumsi kurang lebih 300 gram serealia per hari. Oleh sebab itu dalam analisis ini, kita memakai 300 gram sebagai nilai konsumsi normatif (konsumsi yang direkomendasikan).

(FSVA, 2009).

Perhitungan produksi pangan tingkat kabupaten dilakukan dengan menggunakan data rata-rata produksi tiga tahunan untuk komoditas padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar karena sumber energi utama dari asupan energi makanan berasal dari serealia dan umbi-umbian. Pola konsumsi pangan di Indonesia menunjukkan bahwa hampir 50% dari kebutuhan total kalori berasal dari tanaman serealia. Data rata-rata bersih dari komoditi padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar dihitung dengan menggunakan faktor konversi baku.

Untuk produksi bersih rata-rata ubi kayu dan ubi jalar agar setara dengan beras, maka harus dikalikan dengan 1/3 (1 kg beras atau jagung ekivalen dengan 3 kg ubi kayu dan ubi jalar dalam hal nilai kalori). Kemudian dihitung total produksi serealia yang layak dikonsumsi. Ketersediaan bersih serealia per kapita dihitung dengan membagi total ketersediaan serealia kabupaten dengan jumlah penduduk. Data bersih serealia dari perdagangan dan impor tidak diperhitungkan karena data tersebut tidak tersedia di tingkat kabupaten. Berdasarkan profil konsumsi Indonesia, konsumsi normatif serealia/hari/kapita adalah 300 gram.

Kemudian dihitung konsumsi normatif perkapita terhadap rasio produksi.

(World food Programe, 2009).

2.2.2. Akses Pangan (Food Acces)

Akses Pangan (Food Acces) yaitu kemampuan semua rumah tangga dan individu dengan sumberdaya yang dimiliki untuk memperoleh pangan yang cukup

(11)

untuk kebutuhan gizinya yang dapat diperoleh dari produksi pangannya sendiri, pembelian ataupun melalui bantuan pangan. Akses rumah tangga dari individu terdiri dari akses ekonomi, fisik dan sosial.

Adapun indikator untuk menjelaskan akses pangan dapat dikategorikan dalam indikator – indikator yang bersifat fisik antara lain kelancaran system distribusi, terpenuhinya sarana dan prasana transportasi sehingga tidak menimbulkan terjadinya isolasi daerah. Indikator yang bersifat ekonomi antara lain kemampuan atau peningkatan daya beli masyarakat atau individu dikarenakan adanya kesempatan kerja menyebabkan pendapatan tinggi sehingga harga pangan terjangkau. Indikator yang bersifat sosial antara lain tidak adanya konflik sosial yang disebabkan oleh buruknya adat atau kebiasaan, tinggi-rendahnya pengetahuan sehingga berpengaruh pada preferensi atau pemilihan jenis pangan.

Beberapa indikator yang digunakan untuk menjelaskan akses pangan : 1. Persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan .

Indikator ini menunjukkan ketidakmampuan dalam mengakses pangan sebagai kebutuhan dasar manusia secara baik karena rendahnya daya beli.

Kemiskinan sebenarnya secara teoritis merupakan indikator kunci yang berperan besar dalam menentukan tingkat ketahanan pangan suatu wilayah.

Dengan tingginya kemiskinan maka akses terhadap pekerjaan dan pengelolaan sumberdaya menjadi rendah dan itu akan menyebabkan rendahnya income masyarakat. Rendahnya income menyebabkan daya beli masyarakat menjadi rendah. Dan rendahnya daya beli menyebabkan pemenuhan kebutuhan dasar yaitu kebutuhan akan pangan yang memenuhi pola pangan harapan sebagai syarat asupan gizi yang cukup juga berpeluang besar tidak dapat dipenuhi

(12)

2. Persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai.

Jalan merupakan infrastruktur wilayah yang sangat mempengaruhi kinerja kegiatan ekonomi. Dalam perdagangan/ pemasaran produk pertanian ada fungsi pertukaran dan fungsi fisik. Proses pengangkutan dan handling product diperlancar infrastruktur jalan yang baik. Kondisi jalan tanah relatif kurang tahan dalam memfasilitasi sarana transportasi seperti truk pengangkut hasil pertanian maupun dalam mendistribusikan hasil pangan dari luar daerah ke daerah tersebut.

Sehingga indikator ini dipilih sebagai indikator yang memperlancar akses pangan 3. Persentase rumah tangga tanpa akses listrik.

Listrik merupakan faktor yang mendukung kegiatan ekonomi di suatu wilayah. Dinamika ekonomi akan semakin tinggi dengan adanya listrik yang dapat diakses masyarakat disuatu wilayah. Tersedianya fasilitas listrik di suatu wilayah akan membuka peluang yang lebih besar untuk meningkatkan volume pekerjaan yang telah dijalankan atau menambah peluang kerja baru yang lebih baik.

Indikator ini merupakan indikasi tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut.

(Hanani, 2009).

2.2.3. Pemanfaatan Pangan

Pemanfaatan pangan / penyerapan pangan (Food Utilazation) yaitu penggunaan pangan untuk kebutuhan hidup sehat yang meliputi kebutuhan energi dan gizi, air dan kesehatan lingkungan. Efektifitas dari penyerapan pangan tergantung pada pengetahuan rumah tangga / individu sanitasi dan ketersediaan air, fasilitas kesehatan, serta penyuluhan gizi dan pemeliharaan balita.

(13)

Pemanfaatan / penyerapan pangan erat kaitannya dengan mutu dan keamanan pangan. Mutu dan keamanan pangan tidak hanya berpengaruh terhadap kesehatan manusia, tetapi juga terhadap produktivitas ekonomi dan perkembangan sosial baik individu, masyarakat maupun negara. Selain itu mutu dan keamanan pangan terkait erat juga dengan kualitas pangan yang dikonsumsi, yang secara langsung berpengaruh terhadap kualitas kesehatan serta pertumbuhan fisik dan intelgensi manusia.

Indikator – indikator untuk menjelaskan tentang penyerapan pangan antara lain fasilitas dan layanan kesehatan dengan cara peningkatan fasilitas kesehatan yang memadai dan mempermudah layanan kesehatan, sanitasi dan ketersediaan air dengan kecukupan air bersih. Hal ini dikarenakan air yang kurang bersih rentan terhadap penyakit. Indikator lain yang digunakan terhadap penyerapan pangan yaitu pengetahuan ibu rumah tangga yang mana pola makan dan pola asuh kesehatan berdampak pada seberapa besar jumlah asupan gizi yang dikonsumsi.

Apabila indikator tersebut terpenuhi tidaklah mustahil bahwasannya hasil yang diharapkan seperti peluang harapan hidup dari terpenuhinya gizi balita akan meminimkan angka kematian bayi sebagi penerus generasi.

(Hanani, 2009).

Kerentanan pangan sementara adalah kerentanan terhadap ketidak mampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam jangka pendek atau sementara untuk memenuhi kebutuhan pangan minimum, hal ini disebabkan oleh bencana alam dan goncangan mendadak lainnya yang mempengaruhi ketahanan pangan di suatu wilayah. Kerentanan pangan dianalisis dari segi lingkungan hidup, yaitu faktor lingkungan dan kemampuan masyarakat untuk mengatasi

(14)

goncangan sangat menentukan suatu wilayah dapat mempertahankan ketahanan pangannya. Beberapa indikator yang digunakan untuk menjelaskan kerentanan pangan sementara adalah :

1. Bencana alam

Sebab – sebab utama kerentanan pangan sementara yang timbul akibat bencana alam karena Indonesia merupakan salah satu Negara yang paling rentan terhadap bencana alam di dunia, hal ini berdasarkan pada kejadian besar yang di dokumentasikan oleh center for research on the epidemiology of disasters (CRED).

2. Daerah puso

Daerah puso didefinisikan sebagai suatu daerah produksi pangan yang disebabkan oleh bencana alam (banjir,kekeringan, longsor) dan penularan hama oleh organisme penganggu tanaman (OPT).

3. Perubahan iklim

Produksi dan produktifitas tanaman pangan sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim dan cuaca. Kegiatan budidaya tanaman pangan sebaiknya mempertimbangkan kondisi tersebut dengan menggunakan informasi perubahan musim, iklim dan cuaca.

4. Deforestasi hutan

Deforestasi (kerusakan hutan) merupakan suatu kondisi saat tingkat luas areal hutan yang menunjukkan penurunan secara kualitas dan kuantitas. Sejalan dengan perkembangan pembangunan, berbagai aktivitas pembangunan telah menyebabkan perubahan penggunaan lahan dan mengakibatkan perubahan penutupan lahan pada kawasan hutan berjalan dengan cepat yang dapat

(15)

menyebabkan menurunnya kondisi hutan dan berkurangnya luas penutup hutan (FSVA Sumatera Utara, 2011).

2.3. Penelitian Terdahulu

Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini akan dicantumkan beberapa hasil penelitian terdahulu oleh beberapa peneliti yang pernah penulis baca diantaranya :

Penelitian yang dilakukan oleh Akhmad Munim (2011) dalam jurnalnya yang berjudul Analisis Pengaruh Faktor Ketersediaan, Akses, dan Penyerapan pangan terhadap ketahanan pangan di Kabupaten surplus pangan, dan menyimpulkan

Ibrahim, dkk (2008) dalam artikel yang berjudul Analisis Ketahanan Pangan di Jawa Timur, berdasarkan hasil faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan di Propinsi Jawa Timur, ada beberapa temuan yang dapat disimpulkan:

bahwa faktor ketersediaan pangan tidak memberikan pengaruh yang berarti terhadap ketahanan pangan di kabupaten surplus pangan. Sedangkan faktor akses serta penyerapan pangan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap ketahanan pengan di kabupaten surplus pangan.

1. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa produksi padi di Jawa Timur dipengaruhi secara signifikan oleh luas lahan padi, curah hujan, jumlah penduduk, dan harga beras.

2. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa produksi jagung di Jawa Timur dipengaruhi secara signifikan oleh luas lahan jagung dan nilai tukar petani.

(16)

Ikeu Tanziha dan Eka Herdiana (2009) dalam Jurnal yang berjudul Analisis Jalur Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Kabupaten Lebak, Propinsi Banten menyimpulkan bahwa pengaruh langsung terbesar terhadap ketahanan pangan rumah tangga adalah pengeluaran rumah tangga. Jalur tidak langsung yang paling berpengaruh terhadap ketahanan pangan rumah tangga adalah dimulai dari penurunan jumlah anggota rumah tangga, pengeluaran per kapita, dan ketahanan pangan rumah tangga.

2.4. Kerangka Pemikiran

Ketahanan pangan diartikan sebagai terpenuhinya pangan dengan ketersediaan yang cukup, tersedia setiap saat di semua daerah, mudah memperoleh, aman dikonsumsi dan harga yang terjangkau. Sedangkan kerentanan pangan adalah mengacu pada suatu kondisi yang membuat suatu wilayah yang beresiko mengalami ketidak cukupan pangan untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan para penduduknya. Sedangkan kerentanan pangan kronis merupakan kondisi ketidak mampuan jangka panjang atau terus menerus untuk memenuhi kebutuhan pangan minimum.

Pangan adalah karbohidrat yang bersumber dari produksi pangan pokok serealia, yaitu padi, jagung, dan umbi-umbian (ubi kayu dan ubi jalar) yang digunakan untuk memahami tingkat kecukupan pangan. Ketahanan dan kerentanan pangan dipengaruhi oleh tiga sub sistem utama dan terdiri dari 13 indikator yang digunakan untuk mengetahui ketahanan dan kerentanan pangan suatu daerah. Ketiga sub sitem utama ketahanan pangan tersebut adalah ketersediaan (Food Availability), akses (Food Access), dan penyerapan pangan (Food Utilization).

(17)

Indikator peta ketahanan dan kerentanan pangan dapat digolongkan ke dalam dua komponen yaitu bersifat kronis dan bersifat sementara. Ketahanan pangan dan kerentanan pangan kronis dicerminkan melalui indikator yang ada pada subsitem ketersediaan pangan, akses terhadap pangan serta indikator yang ada pada subsistem pemanfaatan pangan (9 indikator). Ke 9 indikator yang digunakan pada FSVA untuk mengetahui ketahanan dan kerentanan pangan kronis pada suatu wilayah.

Faktor – faktor yang mempengaruhi ketahanan dan kerentanan pangan kronis adalah ketersediaan pangan, akses pangan dan pemanfaatan pangan yang terdiri dari 9 indikator yaitu rasio konsumsi normative, persentase penduduk hidup dibawah garis kemiskinan, persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai, persentase rumah tangga tanpa akses listrik, persentase desa yang tinggal lebih 5 km dari fasilitas kesehatan, persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih, perempuan buta huruf, berat badan balita dibawah standar, dan angka harapan hidup pada saat lahir. Namun pada pemanfaatan pangan, indikator angka harapan hidup tidak dimasukkan karena data tidak tersedia berdasarkan kecamatan, sehingga hanya 8 indikator yang digunakan dalam penelitian ini.

Untuk lebih jelasnya konsep kerangka pemikiran dalam penelitian ini, secara skematis dapat dilihat pada Gambar 1.

(18)

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

Keterangan : Menyatakan pengaruh Menyatakan indikator Ketersediaan

Pangan

Akses Pangan

Pemanfaatan Pangan

Ketahanan dan Kerentanan Pangan

Kronis

Persentase desa yang tinggal lebih 5 km dari fasilitas kesehatan

Perempuan buta huruf Berat badan balita dibawah standar Rasio konsumsi normative

Persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan

Persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai

Persentase rumah tangga tanpa akses listrik

Persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih

(19)

2.5. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan teori – teori yang ada maka diperoleh hipotesis sebagai berikut : “Ada pengaruh ketersediaan pangan (X1), akses pangan (X2), dan pemanfaatan pangan (X3), terhadap ketahanan dan kerentanan pangan kronis di Kabupaten Asahan”.

Gambar

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi reaksi yang optimum pada reaksi konversi senyawa dalam tanaman selasih hijau dengan metode MAOS dengan pelarut etilen

Kos sewaan lori termasuk pemandu tidak termasuk bayaran tol pergi dan balik serta tiada perkhidmatan mengangkat barang... Sewaan lori bergantung kepada

merupakan suatu keharusan bagaimana cara untuk meformulasi hukum berorientai pada tipolog hukum responsif, dan otonom sehingga keberpihakan hukum determenan pada

tergantung pada latihan yang sering dilakukan untuk mengembangkan berpikir kritis (Fakhriyah, 2014) Kenyataan yang ditemui pada mahasiswa PGSD FKIP Universitas

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Idayu, 2012) di Rumah Sakit Umum Daerah Langsa tentang hubungan motivasi kerja dengan kinerja perawat dalam memberikan

Keterangan : Chromodoris lochi memiliki warna putih kebuan dengan garis hitam melingkar pada bagian tubuhnya dengan bagian tubuh terdiri dari rhinophore (a), mantel

Efektifitas Bakteri Pelarut Fosfat dalam Kompos Terhadap Peninkatan Serapan P dan Efisiensi Pemupukan P pada Tanaman Jagung.. Program

Interferensi tersebut dapat dikurangi dengan menggunakan kontrol daya, oleh karena itu penggunaan kontrol daya akan berpengaruh terhadap kapasitas sistem forward link