• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Wilayah Pesisir 2.2. Pengertian Wilayah Pesisir

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Wilayah Pesisir 2.2. Pengertian Wilayah Pesisir"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir (coastal zone) merupakan daerah yang unik, karena pada daerah ini hanya bisa dijumpai daerah pasang surut, hutan bakau, terumbu karang, hempasan gelombang, perairan pantai, dan pulau-pulau penghalang pantai. Akibat dari keberagaman dan perubahan yang sering terjadi di wilayah pesisir, kebanyakan negara menyatakan bahwa daerah pesisir merupakan daerah yang memerlukan perhatian khusus. Lebih jauh disebutkan pula bahwa, sebagai daerah transisi antara daratan dan lautan, wilayah pesisir merupakan daerah yang memiliki beberapa habitat yang produktif dan berharga dari biosfer, seperti estuari, laguna, lahan basah pesisir, dan ekosistem terumbu karang. Daerah ini juga merupakan daerah yang memiliki dinamika sumberdaya alam yang besar dimana proses transfer energi alami banyak terjadi dan kelimpahan yang besar dari organisme alami juga dapat ditemukan di wilayah ini (Clark, 1996).

2.2. Pengertian Wilayah Pesisir

Pendefinisian wilayah pesisir dilakukan atas tiga pendekatan, yaitu pendekatan ekologis, pendekatan administratif, dan pendekatan perencanaan. Dilihat dari aspek ekologis, wilayah pesisir adalah wilayah yang masih dipengaruhi oleh proses-proses kelautan, dimana ke arah laut mencakup wilayah yang masih dipengaruhi oleh proses-proses daratan seperti sedimentasi. Ketchum, (1972) in Kay (1999) mendefinisikan wilayah pesisir sebagai sabuk daratan yang berbatasan dengan lautan dimana proses dan penggunaan lahan di darat secara langsung dipengaruhi oleh proses lautan dan sebaliknya. Dilihat dari aspek administratif, wilayah pesisir adalah wilayah yang secara administrasi pemerintahan mempunyai batas terluar sebelah hulu dari Kabupaten atau Kota yang mempunyai hulu, dan kearah laut sejauh 12 mil dari garis pantai untuk Provinsi atau 1/3 dari 12 mil untuk Kabupaten/Kota. Dilihat dari aspek perencanaan, wilayah pesisir adalah wilayah perencanaan pengelolaan dan difokuskan pada penanganan isu yang akan ditangani secara bertanggung jawab (Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir, 2001).

Berdasarkan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil bahwa Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan

(2)

laut dan Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya. Sedangkan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

2.2.1. Sumberdaya di Wilayah Pesisir

Potensi sumberdaya yang terdapat di pulau kecil akan tergantung pada proses terbentuknya pulau serta posisi atau letak pulau tersebut, sehingga secara geologis pulau-pulau tersebut memiliki formasi struktur yang berbeda, dan dalam proses selanjutnya pulau-pulau tersebut juga akan memiliki kondisi spesifik dan spesies endemik serta keanekaragaman yang tipikal (Bengen, 2002).

Secara umum, sumberdaya alam yang terdapat di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil terdiri atas sumberdaya dapat pulih (renewable resources), sumberdaya tidak dapat pulih (non-renewable resources). Sumberdaya dapat pulih terdiri dari berbagai jenis ikan, plankton, benthos, moluska, mamalia laut, rumput laut (seaweed), lamun (seagrass), mangrove, terumbu karang, krustasea atau udang, termasuk kegiatan budidaya pantai dan budidaya laut (mariculture). Sumberdaya tidak dapat pulih meliputi minyak bumi dan gas, mineral, bahan tambang/galian seperti biji besi, pasir, timah, bauksit, serta bahan tambang lainnya. Sedangkan yang termasuk jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut adalah pariwisata dan perhubungan laut.

Ekosistem Terumbu Karang

Sumberdaya ikan di kawasan pulau-pulau kecil terkenal sangat tinggi, hal ini didukung oleh ekosistem yang kompleks dan sangat beragam. Perairan karang merupakan ekosistem yang subur yang banyak dihuni oleh beranekaragam sumberdaya hayati. Selain itu ekosistem terumbu karang dengan keunikan dan keindahannya juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat wisata bahari (Bengen, 2002).

Ekosistem terumbu karang adalah suatu ekosistem di dalam laut tropis yang dibangun oleh biota laut penghasil kapur, khususnya karang batu (stony

(3)

coral) dan algae berkapur (calcareous algae), bersama dengan biota lainnya yang hidup di dasar. Algae yang dimaksud adalah algae koralin merah berbentuk hamparan (encrusting), dan berperan penting dalam memelihara keutuhan terumbu dengan cara melekatkan terus menerus berbagai potongan kalsium karbonat (CaCO3) menjadi satu, sehingga memperkuat kerangka kapur (Soekarno, 1993).

Dari perkembangannya terumbu karang dapat dikelompokan dalam dua kelompok karang yang berbeda, yaitu karang hermatipik yang dapat menghasilkan terumbu dan karang ahermatipik yang tidak dapat menghasilkan terumbu. Karang ahermatipik banyak ditemukan di seluruh dunia, sedangkan karang hermatipik hanya tersebar di sekitar wilayah tropik. Perbedaan mencolok dan kedua jenis karang ini adalah pada jaringan karang hermatipik terdapat sel-sel tumbuhan (zooxanthellae) yang bersimbiosis dengan hewan karang, sedangkan pada karang ahermatipik tidak ditemukan. Peranan zooxanthellae sangat penting bagi perairan di sekitar terumbu karang karena dapat menyediakan dan menyuplai oksigen ke dalam perairan dari hasil proses photosintesis algae monoseluler (Nybakken 1988).

Terumbu karang memiliki fungsi fisik sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus kuat yang berasal dari laut (Bengen, 2001). Ekosistem terumbu karang menjadi sangat penting karena banyak terdapat organisme yang hidup dan berasosiasi dengan karang sebagai tempat mencari makan (feeding gound), reproduksi (spawning gorund), pembesaran (nursery ground), dan sebagai tempat berlindung (space) dari serangan predator. Selain itu, ekosistem terumbu karang juga memiliki nilai komersial laut (marine commerciaf) dibidang pariwisata, karena terdiri dari keanekaragaman jenis, bentuk, tipe, dan keindahan karang serta kejernihan perairan mampu membentuk perpaduan yang harmonis, estetika sebagai tempat rekreasi bawah laut.

Ekosistem Lamun

Ekosistem padang lamun di pulau kecil memiliki fungsi ekologis yang cukup besar dan penting. Ekosistem padang lamun dihuni: oleh berbagai jenis ikan dan udang, baik yang menetap, maupun bermigrasi ke padang lamun tersebut untuk mencari makan atau berlindung. Oleh karena itu, keberadaan padang lamun ini dapat menjadi salah satu indikator potensi sumberdaya ikan di

(4)

kawasan tersebut.

Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang memiliki rhizoma, daun dan akar sejati yang hidup terendam di dalam laut. Lamun mengkolonisasi suatu daerah melalui penyebaran buah (propagule) yang dihasilkan secara seksual (dioecious) (Bengen, 2001).

Lamun umumnya membentuk hamparan yang luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai bagi pertumbuhannya. Lamun hidup di perairan yang dangkal dan jernih pada kedalaman berkisar antara 2 - 12 meter, dengan sirkulasi air yang baik (Bengen, 2001).

Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai dari substrat berlumpur sampai berbatu. Namun padang lamun yang luas lebih sering ditemukan di substrat lumpur berpasir yang tebal antara hutan rawa mangrove dan terumbu karang.

Ekosistem padang lamun bukan merupakan entitas yang terisolasi, tetapi berinteraksi dengan ekosistem lain di sekitarnya. Interaksi terpenting ekosistem padang lamun adalah dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang, dimana terdapat 5 (lima) tipe interaksi antara ketiga ekosistem tersebut, yakni: fisik, bahan organik terlarut, bahan organik partikel, migrasi fauna, dan dampak manusia (Bengen, 2001).

Ekosistem Mangrove

Ekosistem mangrove merupakan ekosistem utama pulau-pulau kecil yang sangat berperan bagi sumberdaya ikan di kawasan tersebut dan sekitarnya maupun bagi masyarakat sekitarnya. Ekosistem mangrove berfungsi sebagai tempat mencari makan bagi ikan, tempat memijah, tempat berkembang biak dan sebagai tempat pengasuhan. Ekosistem mangrove juga dapat berfungsi sebagai penahan abrasi yang disebabkan oleh ombak dan gelombang, disamping secara ekonomi dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar, alat tangkap ikan dan bahan pembuat rumah (Bengen, 2002).

Komposisi jenis tumbuhan penyusun ekosistem mangrove ditentukan oleh beberapa faktor lingkungan, terutama jenis tanah, genangan pasang surut dan salinitas (Bengen, 2001). Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang

(5)

mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat aliran air, dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Karena itu hutan mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk dangkal, estuari, delta dan daerah pantai yang terlindung (Bengen, 2001).

Hutan mangrove merupakan hutan tropis yang umumnya tumbuh di daerah pantai, merupakan jalur hijau, yang terdapat di teluk-teluk, delta-delta, muara sungai dan sampai menjorok kearah pedalaman garis pantai. Disamping itu hutan mangrove juga merupakan suatu tipe hutan yang dipengaruhi pasang surut air laut. Tipe hutan ini mempunyai fungsi ekonomis dan ekologis. Fungsi ekonomisnya adalah menghasilkan kayu dan hasil hutan ikutan, sedangkan fungsi ekologisnya yang sangat penting adalah sebagai interface antara ekosistem daratan dan lautan. Dengan demikian didalam ekosistem mangrove paling sedikit terdapat lima unsur ekosistem yang saling terkait yaitu flora, fauna, perairan daratan dan manusia (penduduk lokal) yang hidupnya tergantung pada ekosistem mangrove (Kusmana, 1995).

2.3. Pengelolaan Kawasan Konservasi

Suatu kawasan yang dilindungi harus dijamin keberadaan dari pemanfaatan sumberdaya secara tidak terbatas. Prinsip dasar untuk tujuan perlindungan adalah konservasi, dimana konservasi dapat didefinisikan sebagai pengelolaan dari penggunaan manusia terhadap "biosphere" untuk mendapatkan keuntungan yang berkelanjutan bagi generasi sekarang dengan tetap memelihara potensinya untuk kebutuhan dan cita-cita generasi yang akan datang (IUCN, 1980 dalam Salm, 1984).

2.3.1. Landasan Hukum

Penetapan dan pengelolaan suatu kawasan perlu adanya peraturan yang menguatkan dalam pengambilan keputusan. Hal ini dilakukan agar kegiatan tersebut mempunyai landasan hukum yang kuat. Peraturan yang menjadi landasan hukum bagi pengelolaan kawasan konservasi antara lain :

a. Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Pada Pasal 18 Ayat 3 menyatakan bahwa kewenangan bidang kelautan dan perikanan bagi daerah Kabupaten yaitu seluas 4 mil laut atau 1/3 dari wilayah

(6)

perairan propinsi (12 mil). Kewenangan-kewenangan dimaksud meliputi : eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut; pengaturan kepentingan administrasi; pengaturan tata ruang; penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.

b. Undang-Undang RI No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil

Pasal 1 menyatakan bahwa Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

c. Undang-Undang RI No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang

Klasifikasi penataan ruang dijelaskan pada Pasal 4 bahwa penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan,dan nilai strategis karyawan.

Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam penataan ruang dijelaskan pada Pasal 6 ayat (1) bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan memperhatikan:

1. kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang rentan terhadap bencana;

2. potensi sumberdaya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan; kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, pertahanan keamanan, lingkungan hidup, serta ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai satu kesatuan; dan

3. geostrategi, geopolitik, dan geoekonomi

d. Peraturan Pemerintah RI No. 60 Tahun 2007 Tentang Konservasi Sumber Daya Ikan

Kawasan Konservasi Perairan yang dinyatakan pada Pasal 1 ayat 1 adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Pembagian zonasi menurut pasal 17 ayat 4 terdiri dari zona inti; zona perikanan berkelanjutan; zona pemanfaatan; dan zona lainnya.

(7)

e. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. 17 Tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi Di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil

Kawasan konservasi yang dinyatakan pada Pasal 1 ayat 8 adalah bagian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang mempunyai ciri khas tertentu sebagai satu kesatuan ekosistem yang dilindungi, dilestarikan dan/atau dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan.

Kewenangan pengelolaan kawasan yang dimaksud pada Pasal 24 dapat dilaksanakan oleh :

1. pemerintah untuk kawasan konservasi nasional;

2. pemerintah daerah provinsi untuk kawasan konservasi provinsi; dan 3. pemerintah daerah kabupaten/kota untuk kawasan konservasi kabupaten/

kota.

f. Keputusan Bupati Buton No. 1578 Tahun 2005 Tentang Penetapan Pulau Liwutongkidi sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah.

Keputusan Bupati ini berisi antara lain :

1. Menetapkan Pulau Liwutongkidi sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Buton Berbasis Masyarakat.

2. Perlindungan dan pengelolaan Pulau Liwutongkidi sebagai Konservasi Laut Daerah (KKLD) dilaksanakan dengan pola berbasis masyarakat.

2.3.2. Sistem Zonasi Kawasan Konservasi Laut Daerah

Sistem zonasi kawasan konservasi laut adalah suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumberdaya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan ekosistem (DKP, 2007).

Mengakomodasi semua keinginan dan kebutuhan semuan pihak sebagai pengguna kawasan, seperti pengembangan pariwisata, perikanan dan nilai-nilai konservasi serta kebutuhan suatu KKLD adalah hal yang cukup sulit. Kegiatan pemanfaatan di suatu Kawasan Konservasi dapat sejalan dan selaras dengan konservasi, sepanjang adanya pengelolaan yang baik. Walaupun begitu, kerusakan dapat juga terjadi akibat pembangunan sarana fisik di KKLD.

(8)

Sampai saat ini penataan zonasi kawasan konservasi laut belum optimal karena kelengkapan data dan informasi dasar dari potensi sumberdaya pesisir yang ada belum optimal. Penataan zonasi kawasan konservasi laut merupakan pembagian kawasan atas berbagai zona yang mencerminkan adanya suatu perlakuan tertentu di masing-masing zona tersebut. Penataan zonasi bertujuan untuk optimalisasi fungsi dan peruntukkan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistem pada setiap bagian kawasan (Sriyanto, 1998).

Aspek negatif dari suatu perencanaan zonasi yaitu kelihatan sangat kaku dalam menyederhanakan kompleksnya masalah konservasi. Hal yang tidak mudah dalam perencanaan zonasi adalah menentukan batas-batas di laut tetapi hal ini dapat ditunjukkan oleh titik terluar dari setiap kegiatan yang diatur dan dibatasi secara jelas untuk menegaskan batasnya (Laffoley, 1995).

Sedangkan sistem zonasi yang dimaksud dalam PP NO.60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, terdiri dari zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan, dan zona lainnya sesuai dengan keperluan. Zonasi tersebut dapat didefinisikan sebagai berikut :

1. Zona Inti merupakan DPL yang dibentuk oleh masyarakat dan bila dianggap masih kecil, maka dapat ditambah jumlah dan luasnya. Zona ini diperuntukan bagi: (a) perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan, (b) penelitian, dan (c) pendidikan.

2. Zona Perikanan Berkelanjutan merupakan zona yang memiliki nilai konservasi, tetapi dapat bertoleransi dengan pemanfaatan oleh pengguna (nelayan dan pembudidaya), dan juga zona yang mempunyai potensi untuk berbagai pemanfaatan yang ramah lingkungan. Zona perikanan berkelanjutan diperuntukkan bagi : (a) perlindungan habitat dan populasi ikan, (b) penangkapan ikan dengan alat dan cara yang ramah lingkungan, (c) budidaya ramah lingkungan, (d) pariwisata dan rekreasi, (e) penelitian dan pengembangan, dan (f) pendidikan.

3. Zona Pemanfaatan akan ditentukan supaya selaras dengan berbagai pemanfaatan yang ada dalam kawasan dan sesuai dengan tujuan KKLD. Zona Pemanfaatan diperuntukkan bagi: (a) perlindungan habitat dan populasi ikan, (b) pariwisata dan rekreasi, (c) penelitian dan pengembangan, dan (d) pendidikan.

(9)

4. Zona lainnya merupakan zona di luar zona inti, zona perikanan berkelanjutan, dan zona pemanfaatan yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu antara lain: zona perlindungan, zona rehabilitasi dan sebagainya.

2.4. Penataan Ruang Kajian Marxan

Marxan (Marine Reserve Design using Spatially Explicit Anealling) dikembangkan sebagai sebuah produk pengembangan Spexan untuk memenuhi kebutuhan Great Barrier Reef Marine Park Authority (GBRMPA)( Ball, I. R. and H.P. Possingham, 2000). Ide yang mendasari pengembangan MARXAN ini adalah permasalahan perencana konservasi dalam menentukan daerah konservasi karena daerah perencanaan yang berpotensi cukup luas sehingga banyak kemungkinan daerah yang akan dipilih sebagai daerah konservasi.

Perangkat lunak Marxan adalah sebuah perangkat lunak yang dapat digunakan untuk membantu merancang sebuah kawasan perlindungan laut atau jejaring kawasan perlindungan laut. Hal ini karena Marxan dapat memberikan bantuan dalam menentukan daerah konservasi berdasarkan data dan skenario perencanaan yang telah disiapkan secara otomatis (Darmawan and Darmawan, 2007). Dengan perangkat lunak ini para perencana dapat mencoba berbagai skenario perencanaan kawasan yang berbeda dan melihat hasilnya. Dari hasil tersebut perencana dapat memilih skenario terbaik untuk perencanaan.

Penggunaan Marxan sangat mudah bagi pengguna pemula karena prosesnya didesain secara otomatis sehingga pengguna dapat mencoba berbagai scenario dan dapat melihat seperti apa hasilnya (Meerman, 2005). Perangkat lunak ini menggunakan algoritma simulated annealing, yang memiliki cara kerja terbagi menjadi 3 bagian, yaitu iterative improvement, random backward dan repetition. Ketiga langkah algoritma tersebut berfungsi mencari nilai cost yang paling rendah.

Penerapan Marxan telah digunakan untuk mendukung perancangan kawasan konservasi laut dan darat di seluruh dunia. Namun Marxan lebih dikenal untuk digunakan dalam merancang jaringan konservasi pada ekosistem terumbu karang di daerah tropis dan subtropis (Fernandes et. al., 2005). Beberapa zonasi kawasan konservasi di Indonesia telah menggunakan Marxan. Hal ini dilakukan karena Marxan mempunyai beberapa keunggulan antara lain :

(10)

1. Software MARXAN dapat dengan mudah terintegrasi dengan program Arcview, dengan tersedianya ekstensi-ekstensi yang memudahkan pembuatan planning unit, file-file yang diperlukan MARXAN serta otomatisasi pembuatan shapefile hasil perhitungannya.

2. Mempunyai skenario luas dan terbuka, berbagai skenario dapat dikembangkan agar tercipta sebuah bentuk kawasan konservasi yang sesuai dengan yang diinginkan.

3. Transparan, seluruh proses dilakukan secara algoritma matematis, sehingga alurnya dapat diikuti dalam kerangka ilmiah. Selain itu juga berbagai faktor, baik ekologi maupun sosial dapat menjadi input dalam perhitungan.

4. Bisa mengadopsi penataan zonasi menurut PP No. 60 Tahun 2007 dan Permen No. 17 Tahun 2008

Referensi

Dokumen terkait

Jika salah satu pemain mengatakan suatu angka, pemain lain harus mengatakan angka yang lebih besar 1 hingga 10 angka dari angka tersebut. Dan begitu seterusnya hingga

"Saya bersumpah,he4anji, bahwa saya akan melakukan pekeq'aan Ilmu Kedokteran, Ilmu Bedah dan Ilmu Kebidanan dengan pengetahuan dan tenaga saya yang

Jika dilakukan observasi di lokasi kejadian kecelakaan, pemasangan rambu rambu sementara yang dilakukan petugas layanan jalan tol belum sesuai dengan aturan SK DIREKSI

Dibanding metode pohon klasifikasi tunggal (CART), penerapan metode Bagging pada pohon klasifikasi CART mampu meningkatkan ketepatan klasifikasi total (akurasi)

Berdasarkan hasil penelitian tahap pertama dapat disimpulkan bahwa teknik pengairan sebagian daerah akar meningkatkan kandungan ABA daun dan tidak dapat meningkatkan kualitas

atas rahman dan rahim-Nya sehingga Panduan Bantuan Program Peningkatan Mutu Pengabdian Kepada Masyarakat Direktorat Pendidikan Tinggi Islam (DIKTIS) Direktorat

Berdasarkan Rencana Jangka Menengah Tahun 2010-2012 Kampung Totokaton Kecamatan Punggur pelaksanna pembangunan berdasarkan hasil identifikasi, pemetaan swadaya dan

Dalam netnografi ini, memanfaatkan beberapa analytical tools seperti Keyhole dan Social Blade untuk melakukan monitoring bentuk digital storytelling dan