• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

PEDIKULISIDAL PADA Pediculus humanus var. capitis

SKRIPSI

Oleh :

TENGKU VIRA ANNISA 160100141

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)

EFEK EKSTRAK DAUN PEPAYA (Carica papaya L.) SEBAGAI PEDIKULISIDAL PADA Pediculus humanus var. capitis

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh :

TENGKU VIRA ANNISA 160100141

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(3)

Judul Penelitian :Efek Ekstrak Daun Pepaya (Carica papaya L.) sebagai Pedikulisidal pada Pediculus humanus var. capitis Nama Mahasiswa : Tengku Vira Annisa

Nomor Induk (NIM) : 160100141

Program Studi : Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Komisi Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran pada Program Studi

Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Pembimbing

Dr. dr. Imam Budi Putra, Sp.KK NIP. 196507252005011001

Ketua Penguji Anggota Penguji

dr. Dewi Masyithah Darlan, DAP&E, MPH, Sp.ParK dr. Mutiara Indah Sari, M.Kes NIP. 197407302001122003 NIP. 197310152001122002

Medan, 26 Desember 2019


Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K) NIP. 196605241992031002

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah swt. yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Skripsi ini berjudul “Efek Ekstrak Daun Pepaya (Carica papaya L.) sebagai Pedikulisidal pada Pediculus humanus var. capitis” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran.

Dalam penyusunan skripsi ini tentu tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 


2. Dr. dr. Imam Budi Putra, Sp.KK selaku Dosen Pembimbing dan Dosen Penasihat Akademik penulis yang telah banyak memberikan arahan, masukan, ilmu, dan motivasi kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

3. dr. Dewi Masyithah Darlan, DAP&E, MPH, Sp.ParK dan dr. Mutiara Indah Sari, M.Kes selaku Dosen Penguji yang telah memberikan kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

4. Bapak Imam Bagus Sumantri, S.Farm., M.Si., Apt dan kakak asisten laboratorium Obat Tradisional yang telah membantu penulis selama proses pengerjaan ekstrak di Laboratorium Obat Tradisional Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

5. Seluruh staf pengajar dan sivitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

6. Kedua orang tua yang penulis hormati dan sayangi H. T. Erry Nuradi dan Hj. Evi Diana yang selalu memberikan dukungan, semangat, kasih sayang, dan bantuan yang tidak pernah berhenti sampai penulis menyelesaikan skripsi ini. 


(5)

M. Rivi Riadhi yang telah memberikan dukungan dan semangat dalam menyusun skripsi ini.

8. Teman kelompok bimbingan skripsi yaitu Stevani Rumapea yang selalu memberikan dorongan dan saling membantu dalam penyusunan proposal dan hasil penelitian skripsi ini. 


9. Teman-teman saya, Muthiah Alfiah Anggi Siregar, Ananda Pratiwi, Aziizah Gita Budiarti, Prilly Tri Tania, Maghfirah Naziha Batubara, Siti Nadhila, dan Zhafira Raudah yang telah membantu dan memberikan dukungan dalam penyusunan skripsi ini. 


10. Saudara, kerabat, dan teman-teman angkatan 2016 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu. 


Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi struktur dan isi. Oleh karena itu, saran dan kritik dari pembaca sangat diharapkan sebagai masukan untuk penulisan selanjutnya. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat.

Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan mampu memberikan sumbangsih bagi bangsa dan Negara terutama dalam bidang pendidikan terkhususnya di bidang ilmu kedokteran.

Medan, 26 Desember 2019 Penulis,

Tengku Vira Annisa 160100141

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Pengesahan... i

Kata Pengantar ... ii

Daftar Isi ... iv

Daftar Gambar ... vi

Daftar Tabel... vii

Daftar Lampiran ... viii

Daftar Singkatan ... ix

Abstrak ... x

Abstract ... xi

BAB I Pendahuluan ... 1

1. Latar Belakang ... 1

2. Rumusan Masalah... 3

3. Tujuan Penelitian ... 4

3.1 Tujuan Umum ... 4

3.2 Tujuan Khusus ... 4

4 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II Tinjauan Pustaka ... 5

1. Tinjauan Pedikulosis Kapitis ... 5

1.1 Pedikulosis Kapitis... 5

1.2 Etiologi ... 5

1.3 Epidemiologi ... 5

1.4 Morfologi ... 6

1.5 Siklus Hidup... 8

1.6 Mekanisme Transmisi ... 9

1.7 Patogenesis ... 10

1.8 Gejala Klinis ... 10

1.9 Diagnosis... 12

1.10 Diagnosis Banding ... 13

1.11 Penatalaksanaan ... 14

2. Tinjauan Pengobatan Herbal ... 17

2.1 Pengobatan Herbal ... 17

2.2 Tanaman Obat ... 18

3. Tinjauan Tanaman Pepaya (Carica papaya L.) ... 20

3.1 Tanaman Pepaya ... 20

3.2 Taksonomi... 21

3.3 Morfologi ... 22

3.4 Bagian Tanaman Pepaya yang Digunakan ... 22

3.5 Kandungan Kimia Daun Pepaya ... 23

3.6 Manfaat Daun Pepaya ... 24

4. Kerangka Teori ... 25

5. Kerangka Konsep ... 26

(7)

6.2 Hipotesis Minor 26

BAB III Metode Penelitian ... 27

1. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 27

2. Tempat dan Waktu Penelitian... 27

3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 27

3.1 Populasi Penelitian 27 3.2 Sampel Penelitian 27 3.3 Estimasi Besar Sampel 28 4. Definisi Operasional ... 28

4.1 Variabel 28 4.2 Definisi Operasional Variabel 29 5. Alat dan Bahan Penelitian ... 30

5.1 Alat 30 5.2 Bahan 30 6. Prosedur Penelitian ... 30

7. Alur Penelitian ... 31

7.1 Alur Penelitian Efek Pedikulisidal Ekstrak Daun Pepaya 31 8. Metode Pengumpulan Data ... 32

9. Metode Analisis Data ... 32

10. Ethical Clearance ... 32

BAB IV Hasil dan Pembahasan ... 33

BAB V Kesimpulan dan Saran... 39

1. Kesimpulan ...39

2. Saran ...39

DAFTAR PUSTAKA ... 40

LAMPIRAN ... 45

(8)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1 Morfologi Pediculus humanus var. capitis ... 6

Gambar 2.2 Pediculus humanus var. capitis dewasa ... 7

Gambar 2.3 Telur kutu (nit) dengan nimfa yang mulai menetas ... 7

Gambar 2.4 Cangkang kosong nit dengan nimfa yang sudah menetas ... 7

Gambar 2.5 Siklus hidup Pediculus humanus var. capitis... 9

Gambar 2.6 Multiple nit ditemukan anak perempuan ... 11

Gambar 2.7 Gambaran klinis pedikulosis kapitis... 12

Gambar 2.8 Tanaman pepaya ... 20

Gambar 2.9 Daun pepaya ... 23

Gambar 2.10 Kerangka Teori ... 25

Gambar 2.11 Kerangka Konsep ... 26

Gambar 3.1 Alur penelitian efek pedikulisidal ekstrak daun pepaya ... 31

(9)

Nomor Judul Halaman Tabel 4.1 Pengamatan ekstrak daun pepaya (Carica papaya L.) pada

Pediculus humanus var. capitis ... 34

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran A. Daftar Riwayat Hidup ... 45

Lampiran B. Pernyataan Orisinalitas ... 47

Lampiran C. Ethical Clearance ... 48

Lampiran D. Surat Izin Penelitian ... 49

Lampiran E. Hasil Determinasi Tumbuhan ... 53

Lampiran F. Dokumentasi Penelitian ... 54

Lampiran G. Tabel Pengolahan Data SPSS ... 57

Lampiran H. Data Induk Penelitian ... 61

(11)

Badan POM FDA

OH PK WHO

: Badan Pengawas Obat dan Makanan : Food and Drug Administration : Obat herbal

: Pedikulosis kapitis

: World Health Organization

(12)

ABSTRAK

Latar Belakang. Pedikulosis kapitis adalah infeksi kulit kepala dan rambut pada manusia yang disebabkan oleh infestasi Pediculus humanus var. capitis. Secara tradisional, pedikulisidal yang berdasarkan insektisida neurotoksik seperti permethrin merupakan pilihan pertama untuk pengobatan, tetapi resistensi dan efek samping terhadap insektisida neurotoksik telah banyak terjadi dan dilaporkan. Saat ini, timbul kekhawatiran yang cukup besar tentang pedikulisidal kimia. Oleh karena itu pedikulisidal dari tanaman telah direkomendasikan sebagai pedikulisidal alternatif karena toksisitasnya terhadap saraf dan sistem pernapasan manusia rendah. Salah satu tanaman yang memiliki potensi sebagai insektisida nabati adalah daun pepaya dikarenakan adanya senyawa alkaloid, saponin, dan flavonoid yang dapat bertindak sebagai racun perut pada serangga. Tujuan. Untuk mengetahui efek ekstrak daun pepaya (Carica papaya L.) sebagai pedikulisidal pada Pediculus humanus var. capitis. Metode. Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorium dengan menggunakan 5 perlakuan, 2 kelompok kontrol dan 3 kelompok perlakuan dengan konsentrasi 2,5%, 5%, dan 7,5%. Dilakukan pengamatan dengan memasukkan kutu kepala ke dalam cawan petri, kemudian diamati selama 24 jam baik secara mikroskopis maupun mikroskopis. Hasil. Pada menit ke 15 sampai 60 konsentrasi dengan jumlah persentase kematian kutu yang paling banyak adalah konsentrasi 7,5% yaitu sebesar 1 ekor (20%), sementara konsentrasi 2,5% dan 5% belum ada dijumpai kutu yang mati. Di menit ke 1440 konsentrasi 5%

dan 7,5% memiliki jumlah persentase kematian kutu yang paling banyak sebesar 5 ekor (100%), sedangkan konsentrasi 2,5% memiliki jumlah persentase kematian kutu terendah sebesar 4 ekor (80%). Kesimpulan. Ekstrak daun pepaya memiliki efek sebagai pedikulisidal pada Pediculus humanus var. capitis dalam waktu 24 jam.

Kata Kunci : Pediculus humanus var. capitis, Carica papaya L., pedikulisidal

(13)

Background. Pediculosis capitis is an infection of the scalp and hair in humans caused by infestation of Pediculus humanus var. capitis. Traditionally, pediculicide based on neurotoxic insecticides such as permethrin is the first choice for treatment, but resistance and side effects to neurotoxic insecticides have been widely reported. In present, considerable concern arises about the chemical pediculicide. Therefore pediculicide from plants has been recommended as an alternative pediculicide because of its low toxicity to human nerves and respiratory system. One of the plants that have potential as an alternative insecticide is papaya leaves due to the presence of alkaloid, saponins, and flavonoids compounds that can act as stomach poisons in insects.

Objective. To find out the effect of papaya leaf extract (Carica papaya L.) as a pediculicide on Pediculus humanus var. capitis. Method. This research is an experimental laboratory using 5 treatments, 2 control groups and 3 treatment groups with concentrations of 2.5%, 5%, and 7.5%.

Observation was carried out by inserting head lice into a petri dish, then observed for 24 hours both microscopically and microscopically. Results. At 15 to 60 minutes, the concentration with the highest number of lice deaths was a concentration of 7.5% which is equal to 1 (20%), while concentrations of 2.5% and 5% were not found dead lice. At 1440 minute, the concentration of 5%

and 7.5% had the highest number of lice deaths at 5 (100%), while the 2.5% concentration had the lowest number of lice deaths at 4 (80%). Conclusion. Papaya leaf extract has an effect as a pediculisidal on Pediculus humanus var. capitis within 24 hours.

Keywords: Pediculus humanus var. capitis, Carica papaya L., pediculicide

(14)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Berdasarkan klasifikasinya, pedikulosis dibagi menjadi 3, yaitu Pediculus humanus var. capitis, Pediculus humanus var. corporis, dan Phthirus pubis (Pediculus pubis). Pediculus humanus var. capitis merupakan ektoparasit obligat pemakan darah yang suka berada di kulit kepala/rambut manusia (Handoko, 2015). Pedikulosis kapitis adalah infeksi kulit kepala dan rambut pada manusia yang disebabkan oleh infestasi Pediculus humanus var. capitis. Infestasi ini terutama mempengaruhi anak-anak dan akan berkembang pesat di lingkungan yang padat seperti di asrama dan panti asuhan (Handoko, 2016).

Data mengenai prevalensi pada anak-anak yang terinfestasi pedikulosis kapitis (PK) di Indonesia belum ada. Namun hasil penelitian dari Sumatera Barat menunjukkan bahwa dari 69 orang di Panti Asuhan Liga Dakwah terdapat angka kejadian PK sebesar 40 orang (58,0 %) (Anggraini et al., 2018). Prevalensi PK di Pondok Pesantren Tahfidzil Qur'an Yayasan Tijarotal Lan Tabur Palembang adalah 48,7% (Amelia et al., 2019). Penelitian lainnya yang dilakukan di sekolah dasar negeri di kecamatan Medan Selayang menunjukkan bahwa dari 328 orang terdapat 115 orang (35,1%) yang menderita pedikulosis kapitis (Monalisa, 2018).

Walaupun angka kejadian dari infestasi PK cukup tinggi, namun penyakit ini masih sering diabaikan karena dianggap ringan dan mortalitasnya rendah, terutama pada negara-negara yang memiliki prioritas kesehatan lain yang lebih serius. PK telah menyebabkan morbiditas yang signifikan pada anak-anak sekolah di berbagai negara (Stone et al., 2012).

PK dapat menyebar melalui transmisi langsung maupun tidak langsung.

Transmisi langsung yaitu dengan kontak langsung antara kepala orang yang terinfeksi dengan kepala orang yang sehat. Adapun transmisi tidak langsung yaitu dengan melalui sisir, topi, handuk, bantal, kasur, dan kerudung (Natadisastra dan Ridad, 2009).

(15)

PK memberikan gejala klinis gatal, yang membuat kelainan kulit kepala bertambah parah bila digaruk dan menyebabkan infeksi sekunder. PK pada anak sekolah dapat menyebabkan anemia yang akan mengakibatkan anak menjadi lesu, mengantuk di kelas, dan mempengaruhi kinerja belajar dan fungsi kognitif, selain itu anak-anak yang terinfestasi akan mengalami gangguan tidur di malam hari akibat rasa gatal dan sering menggaruk. Dari sisi psikologis, infestasi dari kutu kepala akan membuat anak merasa malu karena diisolasi dari anak lain (Stone et al., 2012).

Diagnosis pasti dari PK adalah ditemukannya Pediculus humanus var. capitis dewasa, nimfa, dan telur di kulit dan rambut kepala (Handoko, 2007). Adanya kutu dewasa merupakan tanda bahwa seseorang sedang mengalami infeksi aktif, tetapi kutu dewasa sangat sulit ditemukan karena dapat bergerak sekitar 6-30 cm permenit dan bersifat menghindari cahaya. Cara untuk menemukan kutu dewasa maupun nimfa dapat dilakukan dengan penyisiran serit yang merupakan metode yang lebih efektif dari pada inspeksi visual (Stone et al., 2012).

Pengendalian untuk kutu kepala dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara mekanis dan secara kimiawi. Secara mekanis yaitu dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan kepala dan secara kimiawi dapat dilakukan dengan penggunaan insektisida yang beredar di pasaran (Alatas, 2013). Secara tradisional, pedikulisidal yang berdasarkan insektisida neurotoksik seperti lindane, malathion, carbaryl, permethrin, dan phenotrhrin merupakan pilihan pertama untuk perawatan kutu kepala akan tetapi resistensi kutu kepala terhadap insektisida neurotoksik telah banyak terjadi dan dilaporkan. Selain itu, efek samping dari pedikulisidal kimia seperti iritasi dan sensasi terbakar pada kulit kepala, ataksia, tremor, dan kejang juga telah terjadi. Saat ini, timbul kekhawatiran yang cukup besar tentang pedikulisidal kimia terkait dengan kesehatan manusia, adanya paparan kimia yang lama di lingkungan, sediaan makanan, air, dan udara. Yang paling penting adalah resistensi kutu kepala terhadap pedikulisidal kimia yang telah berkembang. Oleh karena itu, diperlukan pedikulisidal yang baru untuk perawatan kutu kepala (Sittichok et al., 2018).

(16)

Pedikulisidal dari tanaman telah direkomendasikan sebagai pedikulisidal alternatif yang baik dan aman untuk perawatan kutu kepala karena toksisitasnya terhadap saraf dan sistem pernapasan manusia rendah. Selain itu, bahan alami efektif, mudah terurai, murah dan ramah lingkungan, serta tidak memiliki efek negatif pada organisme non-target (Sittichok et al., 2018). Salah satu tanaman yang memiliki potensi sebagai insektisida nabati adalah daun pepaya. Senyawa yang terdapat pada daun pepaya adalah alkaloid, saponin, flavonoid, dan polifenol (Asmaliyah et al., 2010). Menurut Yuliana et al. (2016) tentang ekstrak kulit duku terhadap mortalitas kutu kepala ditemukan bahwa senyawa metabolit sekunder yang ada pada ekstrak kulit duku yaitu flavonoid, saponin, dan triterpenoid dapat membuat kutu kepala mati. Senyawa sekunder metabolit yang ada pada ekstrak kulit duku merupakan racun kontak yang masuk ke dalam tubuh kutu kepala secara langsung (Darmadi et al., 2018).

Menurut Cahyadi (2009), cara kerja dari senyawa alkaloid, triterpenoid, saponin, dan flavonoid adalah dengan bertindak sebagai racun perut (stomach poisoning) sehingga bila senyawa ini masuk ke dalam tubuh serangga maka organ pencernaannya akan terganggu. Senyawa-senyawa ini juga akan menghambat reseptor perasa pada daerah mulut serangga yang menyebabkan serangga gagal mendapat stimulus rasa, sehingga serangga tidak mampu mengenali makanannya yang mengakibatkan serangga mati kelaparan.

Berdasarkan latar belakang yang dijelaskan di atas maka peneliti tertarik ingin melakukan penelitian tentang efek ekstrak daun pepaya (Carica papaya L.) sebagai pedikulisidal pada Pediculus humanus var. capitis.

2. Rumusan Masalah

Apakah ada efek ekstrak daun pepaya (Carica papaya L.) sebagai pedikulisidal pada Pediculus humanus var. capitis?

(17)

3. Tujuan Penelitian 3.1 Tujuan Umum

Mengetahui efek dari ekstrak daun pepaya (Carica papaya L.) sebagai pedikulisidal pada Pediculus humanus var. capitis.

3.2 Tujuan Khusus

Mengetahui pengaruh dari ekstrak daun pepaya (Carica papaya L.) dengan konsentrasi 2,5%, 5%, dan 7,5% sebagai pedikulisidal.

4. Manfaat Penelitian

4.1 Bagi Pendidikan Kedokteran/Kesehatan

Data dari penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat menjadi ilmu pengetahuan yang baru dan sebagai sumber acuan belajar.

4.2 Bagi Bidang Kesehatan

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan alternatif pengobatan untuk PK.

4.3 Bagi Masyarakat

Hasil dari penelitian ini diharapkan agar masyarakat mengetahui cara untuk memanfaatkan daun pepaya (Carica papaya L.) sebagai pengobatan PK.

4.4 Bagi Peneliti

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai data untuk penelitian selanjutnya dan dapat dihubungkan sebagai produk shampoo dan fitofarmaka.

(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Tinjauan Pedikulosis Kapitis 1.1 Pedikulosis Kapitis

PK merupakan infestasi rambut dan kulit kepala manusia yang disebabkan oleh kutu kepala, Pediculus capitis. Definisi yang tepat dari infestasi ini adalah bahwa kutu yang hidup dari setiap atau semua tahap perkembangan muncul bersama dengan telurnya, yang dikumpulkan ke rambut yang cukup dekat dengan kulit kepala sehingga kehangatan dari kulit bekerja sebagai inkubator untuk embrio yang sedang berkembang (Burgess, 2009).

1.2 Etiologi

Pediculus humanus var. capitis (kutu kepala) merupakan ektoparasit yang hanya dapat bertahan hidup pada manusia. Untuk mencukupi kebutuhan nutrisinya, kutu kepala menghisap darah manusia. Dalam satu hari kutu kepala dapat menghisap darah sebanyak 6 kali. Pada saat menghisap darah, kutu kepala akan mengeluarkan saliva dan masuk melalui kulit kepala. Selain itu kutu kepala akan mengeluarkan feses yang menimbulkan gatal dan memicu aktivitas menggaruk kepala. Kutu kepala dewasa yang menghisap darah manusia dapat bertahan hidup hingga 30 hari akan tetapi kutu kepala tidak dapat hidup lebih dari 48 jam tanpa makanan (Madke dan Khopkar, 2012; Veracx dan Raoult, 2012).

1.3 Epidemiologi

Di Amerika Serikat, infestasi kutu paling sering terjadi pada anak-anak yang berada di tempat penitipan anak dan sekolah dasar. Infestasi kutu kepala bukan merupakan tanda kebersihan yang buruk. Semua kelompok sosial ekonomi juga terpengaruh. Infestasi kutu kepala tidak dipengaruhi oleh panjang rambut atau frekuensi keramas atau menyikat. Kutu kepala bukan merupakan bahaya

(19)

kesehatan, karena mereka tidak bertanggung jawab atas penyebaran penyakit apa pun. Kutu hanya bisa merangkak, oleh karena itu penularan terjadi terutama melalui kontak langsung dengan rambut orang yang terinfeksi. Penularan melalui kontak dengan barang-barang pribadi, seperti sisir, sikat rambut, dan topi jarang terjadi. Jika jauh dari kulit kepala, kutu kepala dapat bertahan hidup kurang dari 2 hari pada suhu kamar, dan telur mereka umumnya tidak dapat hidup dalam waktu seminggu dan tidak dapat menetas pada suhu sekitar yang lebih rendah daripada yang dekat kulit kepala (American Academy of Pediatrics et al., 2010).

Infestasi kutu kepala sering terjadi pada anak-anak di sekolah maupun lembaga di mana-mana. Prevalensi tertinggi kutu kepala biasanya terjadi pada anak-anak antara usia 3 dan 11. Anak perempuan menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi daripada anak laki-laki (Heymann, 2008; van der Wouden et al., 2011).

Pada studi epidemiologis sebelumnya telah menunjukkan prevalensi PK yang berbeda, yaitu 4,1% di Inggris, 8,9% di Belgia, 3,3% di Prancis, 52% di Ukraina, 87% di Pakistan, 35% di Malaysia, 23,2% di Thailand, 4,1% di Korea, 42,7% di Brasil, 29,7% di Argentina, dan 9,1% di Peru (Saghafipour et al., 2017).

Infestasi kutu kepala terutama pada anak-anak sekolah dasar dilaporkan terjadi di berbagai negara setiap tahunnya, namun di Indonesia masih sangat jarang yang melaporkan tentang infestasi kutu kepala. Infestasi kutu kepala pada anak sekolah dasar di Yogyakarta adalah sebesar 19,6% di daerah rural (Munusamy et al., 2014).

1.4 Morfologi

Gambar 2.1 Pediculus humanus var. capitis

a. Jantan, b. Betina, c. Nimfa, d. Telur (Natadisastra dan Agoes, 2009).

(20)

Gambar 2.2 Pediculus humanus var. capitis dewasa (CDC, 2017).

Gambar 2.3 Telur kutu (nit) dengan nimfa yang mulai menetas (CDC, 2017).

Gambar 2.4 Cangkang kosong nit dengan nimfa yang sudah menetas (CDC, 2017).

Kutu tidak bersayap, panjang 2 mm sampai 4 mm (dewasa), merupakan serangga berkaki enam yang menghisap darah yang hidup di kulit kepala manusia.

Anak-anak yang terinfestasi biasanya membawa kurang dari 20 kutu dewasa (dan sering <10) pada satu waktu, yang hidup 3 hingga 4 minggu jika tidak diobati.

(21)

Kutu hidup dekat dengan permukaan kulit kepala, yang menyediakan makanan, kehangatan, perlindungan dan kelembaban. Kutu kepala makan setiap 3 hingga 6 jam dengan menghisap darah, dan menyuntikkan air liur secara bersamaan.

Setelah kawin, kutu betina dewasa dapat menghasilkan lima atau enam telur (nit) per hari selama 30 hari, masing-masing 'direkatkan' ke batang rambut dekat kulit kepala. Telur-telur itu menetas 9 hingga 10 hari kemudian menjadi nimfa yang berganti bulu beberapa kali selama 9 hingga 15 hari berikutnya untuk menjadi kutu kepala dewasa. Kulit telur yang menetas tetap ada di rambut tetapi bukan merupakan sumber infeksi ulang. Nimfa dan kutu kepala dewasa dapat bertahan hidup hanya 1 hingga 2 hari jauhnya dari inang manusia. Meskipun telur dapat bertahan jauh dari inang hingga 3 hari, mereka membutuhkan suhu yang lebih tinggi yang ditemukan di dekat kulit kepala untuk menetas (Cummings et al., 2018).

1.5 Siklus Hidup

Siklus hidup kutu kepala memiliki tiga tahap, yaitu telur, nimfa, dan dewasa.

Nit merupakan telur kutu kepala. Awalnya nit diletakkan oleh betina dewasa dan disemen di pangkal batang rambut terdekat kulit kepala. Mereka berukuran 0,8 mm x 0,3 mm, oval dan biasanya berwarna kuning ke putih. Nits membutuhkan waktu sekitar 1 minggu untuk menetas (sekitar 6 hingga 9 hari). Telur yang layak biasanya terletak dalam jarak 6 mm dari kulit kepala. Setelah itu, telur menetas untuk melepaskan nimfa. Kulit nit kemudian menjadi kuning kusam yang lebih terlihat dan tetap melekat pada batang rambut. Nimfa itu terlihat seperti kutu kepala dewasa. Nimfa matang setelah tiga mol dan menjadi dewasa sekitar 7 hari setelah menetas. Kutu dewasa kira-kira seukuran biji wijen, memiliki 6 kaki (masing-masing dengan cakar), dan berwarna kecoklatan sampai putih keabu- abuan. Pada orang dengan rambut gelap, kutu dewasa akan tampak lebih gelap.

Betina biasanya lebih besar dari jantan dan dapat berbaring hingga 8 nit per hari.

Kutu dewasa dapat hidup hingga 30 hari di atas kepala seseorang. Untuk hidup, kutu dewasa perlu makan darah beberapa kali sehari. Tanpa makan darah, kutu akan mati dalam 1 hingga 2 hari dari tuan rumah (CDC, 2017).

(22)

Gambar 2.5 Siklus hidup Pediculus humanus var. capitis (CDC, 2017).

1.6 Mekanisme Transmisi

Kutu kepala tidak meloncat atau melompat, mereka hanya bisa merangkak, dan hewan peliharaan tidak memiliki peran dalam transmisi kutu kepala. Namun, terdapat laporan bahwa menyisir rambut yang kering dapat membangun listrik statis yang cukup untuk mengeluarkan secara fisik kutu dewasa dari kulit kepala yang terinfestasi untuk jarak 1 m. Dalam kebanyakan kasus, penularan terjadi oleh kontak langsung. Penyebaran tidak langsung melalui kontak dengan barang- barang pribadi dari individu yang terinfestasi (sisir, sikat, topi) kecil kemungkinannya untuk terjadi. Kutu yang ditemukan pada sisir cenderung terluka atau mati, dan kutu tidak memiliki kemungkinan untuk meninggalkan kepala yang sehat kecuali jika ada infestasi berat. Dalam satu penelitian, kutu hidup hanya ditemukan pada 4% sarung bantal yang digunakan oleh sukarelawan yang

(23)

terinfestasi. Dengan demikian, fokus utama kegiatan kontrol adalah mengurangi jumlah kutu di kepala dan untuk mengurangi risiko kontak langsung (Meister dan Ochsendorf, 2015).

1.7 Patogenesis

Pediculus humanus var. capitis merupakan arthropoda khusus inang yang termasuk dalam ordo Anoplura. Kutu kepala kira-kira berukuran seperti biji wijen (2-3 mm) dan berwarna putih keabu-abuan. Kutu tidak bersayap, memiliki bagian mulut yang sempit dan tersembunyi di dalam kepala, antena pendek, dan tiga pasang kaki cakar untuk menjepit rambut. Kutu bergerak dengan memegang rambut dan tidak mampu terbang atau melompat. Kutu makan dengan cara menusuk kulit inang dengan bagian mulutnya dan mengisap darah setiap 4 sampai 6 jam. Kutu betina hidup sekitar 30 hari dan bertelur sekitar 5 hingga 10 butir sehari di batang rambut. Telur, juga dikenal sebagai nit, memiliki panjang 0,8 mm dan diletakkan dalam 1 sampai 2 mm dari permukaan kulit kepala untuk kehangatan. Telur kutu tersebut menempel kuat pada rambut masing-masing oleh matriks protein dan sulit untuk dihilangkan. Kutu dapat bertahan hidup hingga 3 hari di luar inang dan nit dapat hidup selama 10 hari dari tuan rumah mereka (Tajirian dan Schwartz, 2011).

Kontak antar perorangan dan berbagi tutup kepala merupakan mekanisme transmisi utama di antara kontak yang rentan. Kontak kepala ke kepala sejauh ini merupakan mekanisme yang paling umum dari penularan kutu. Kutu kepala tidak dapat terbang karena tidak memiliki sayap dan mereka tidak memiliki kaki yang kuat untuk melompat. Kutu kepala bergerak dari satu rambut ke yang lain dengan bantuan cakar di kaki mereka (Madke dan Khopkar, 2012).

1.8 Gejala Klinis

Kutu kepala dan nit ditemukan hampir secara khusus di kulit kepala, terutama di sekitar dan di belakang telinga, serta di dekat garis leher. Gejala infestasi yang paling umum adalah pruritus kulit kepala, walaupun reaksi ini disebabkan oleh

(24)

hipersensitivitas yang tertunda terhadap enzim dalam air liur kutu. Biasanya meningkat 3 sampai 4 minggu setelah infestasi awal. Pasien dengan infestasi berulang akan mengalami pruritus dalam 1 sampai 2 hari setelah terpapar.

Kebanyakan pasien akan datang dengan keluhan gatal-gatal dan iritasi kulit kepala yang paling umum mempengaruhi daerah oksipital dan postauricular, perasaan menggelitik dari sesuatu yang bergerak di rambut, atau lekas marah dan kesulitan tidur karena kutu kepala lebih aktif di malam hari. Reaksi gigitan dari kutu kepala sangat ringan dan jarang terlihat di antara rambut. Karena rasa gatal yang hebat, eritema sekunder, scaling, dan eksoriasi kulit dapat terjadi akibat garukan. Dengan infestasi yang berlangsung lama, kulit dapat menjadi lichenifikasi dan hiperpigmentasi. Pada anak-anak, kutu kepala biasanya pertama kali dicurigai ketika anak diamati menggaruk kepalanya dengan keras. Kelesuan atau prestasi sekolah yang buruk mungkin juga merupakan petunjuk yang menunjukkan tingkat gangguan anak yang tinggi. Dalam kasus yang jarang terjadi, siklus gatal awal dapat menyebabkan infeksi sekunder dengan impetigo, selulitis, dan pioderma (Connoly, 2011; CDC, 2016).

Gambar 2.6 Multiple nit ditemukan anak perempuan (Madke dan Khopkar, 2012).

(25)

Gambar 2.7 Gambaran klinis pedikulosis kapitis (Stone et al., 2012).

1.9 Diagnosis

Kesalahan diagnosis infestasi kutu kepala sering terjadi. Diagnosis infestasi kutu kepala yang paling baik adalah dengan menemukan nimfa yang hidup atau kutu dewasa pada kulit kepala atau rambut seseorang (CDC, 2013).

Karena kutu bergerak dengan cepat, deteksi mereka membutuhkan tingkat keahlian dan pengalaman. Satu penelitian dari Israel yang melibatkan parasitologis menemukan bahwa menggunakan sisir kutu bergigi empat kali lebih efektif dan dua kali lebih cepat dari pemeriksaan kulit kepala secara visual untuk mendeteksi kutu kepala hidup dan mendiagnosis kutu (Cummings et al., 2018).

Menemukan nits yang dekat dengan kulit kepala, paling tidak, merupakan prediktor sederhana dari kemungkinan serangan aktif. Sementara satu studi dari Georgia menemukan bahwa memiliki ≥5 nits dalam 0,6 cm dari kulit kepala merupakan faktor risiko infestasi pada anak-anak, <32% dari kasus tersebut secara aktif terinfestasi. Untuk anak-anak dengan kurang dari lima nits yang dekat dengan kulit kepala, hanya 7% yang terinfeksi secara aktif. Oleh karena itu, memiliki telur yang dekat dengan kulit kepala tidak selalu menunjukkan bahwa kutu hidup sedang berlangsung atau akan terjadi (Cummings et al., 2018).

Deteksi kutu hidup sering dilakukan dengan inspeksi visual langsung, sisir kering, atau sisir basah. Inspeksi visual melibatkan membelah rambut dengan

(26)

tongkat skrining atau benda linear sambil mencari kutu hidup. Pemeriksaan ini sering dilakukan dengan tergesa-gesa karena hal itu mendorong bagian rambut yang lebih besar untuk diputar, sehingga mengurangi jumlah area yang dicari.

Penggunaan metode ini membuat sulit secara sistematis untuk mencari seluruh kulit kepala. Deteksi kutu menggunakan sisir kutu bergigi telah terbukti secara signifikan lebih efektif dan dua kali lebih cepat dari deteksi menggunakan inspeksi visual (Mumcuoglu et al., 2001).

Biasanya, inspeksi terbatas pada lima situs predileksi: pelipis kiri dan kanan, di belakang telinga dan leher. Untuk alasan yang tidak diketahui, kutu lebih suka menempelkan telurnya ke batang rambut di area topografi ini (Feldmeier, 2012).

Menurut Devore dan Schutze (2015), cara melakukan pemeriksaan dengan menggunakan sisir bergigi halus, yaitu pertama basahi rambut, kemudian letakkan selembar kertas polos berwarna putih atau
handuk putih dibawah kepala. Lalu sisir rambut dengan sisir bergigi halus (jarak 0,2 mm). Kemudian amati kutu yang jatuh. Penggunaan kaca pembesar dapat membantu. Gunakan pencahayaan yang baik untuk mempermudah
melihat parasit dengan ukuran kecil ini.

1.10 Diagnosis Banding

Beberapa penyakit kulit lain yang memiliki gejala klinis yang hampir sama dengan PK adalah tinea kapitis, dermatitis seboroik, psoriasis, dan pityriasis kapitis (ketombe). Tinea kapitis merupakan infeksi yang disebabkan oleh jamur dan sering menyerang anak-anak. Gejala klinisnya berupa gatal, lesi bersisik dan kemerahan, rambut rontok hingga kebotakan (alopesia) (Hay, 2017).

Dermatitis seboroik dan pityriasis kapitis disebabkan oleh organisme yang sama yaitu spesies Malassezia. Pityriasis kapitis memiliki karakteristik kulit kepala kering dan terkelupas, berwarna putih atau abu-abu, dan timbul gatal (Elewski, 2005). Dermatitis seboroik memiliki karakteristik berupa skuama kuning berminyak dan kadang disertai gatal yang hebat. Predileksi penyakit ini yaitu di telinga, inguinal, glutea, kulit kepala rambut, dan wajah (Jacoeb, 2016).

(27)

Psoriasis umumnya berupa skuama putih dan plak eritema dengan batas yang tegas. Psoriasis dapat menyerang area kulit kepala, siku, dan lutut. Gejala klinis dari penyakit ini dapat disertai dengan gatal (Jacoeb, 2016).

1.11 Penatalaksanaan

Praktek saat ini adalah untuk mengobati dengan dua aplikasi terpisah 8-10 hari dan untuk memeriksa penyembuhan setelah 14 hari. Kemajuan terbaru dalam pengembangan kutu kepala dewasa dan telurnya secara ex vivo memungkinkan untuk menilai kemanjuran senyawa baru secara standar (Sonnberg et al., 2010).

Adapun pengobatan bertujuan untuk memusnahkan semua kutu dan telur serta mengobati infeksi sekunder. Menurut kepustakaan, pengobatan yang dianggap terbaik adalah secara topikal dengan malathion 0,5% atau 1% dalam bentuk lotion atau spray. Cara penggunaannya yaitu dengan mencuci rambut sebelum tidur, lalu kepala ditutup dengan kain. Besoknya rambut dicuci lagi dengan sabun lalu disisir dengan sisir serit. Pengobatan ini dapat diulang lagi seminggu kemudian, jika masih terdapat kutu atau telur (Handoko, 2013).

Di Indonesia, obat yang mudah didapat dan cukup efektif adalah krim gama benzen heksaklorida 1%. Cara penggunaanya yaitu dengan dioleskan kemudian didiamkan selama 12 jam, lalu dicuci dan disisir dengan sisir serit agar semua kutu dan telur terlepas. Jika masih terdapat telur, seminggu kemudian diulangi lagi dengan cara yang sama (Handoko, 2013).

Berikut adalah macam-macam obat yang dapat digunakan untuk terapi PK yaitu piretrin yang berasal dari ekstrak alami bunga Chryantheum cineraria efolium. Ekstrak piretrin alami digunakan pada tahun 1940 dan sangat mahal, sehingga Piperonyl Butoxide (PBO) ditambah sebagai zat sinergis. Pasien yang alergi terhadap tanaman chysanteums atau sari tanaman yang terkait akan mengalami sesak nafas dan dispnea. Di Amerika Serikat, piretrin adalah satu- satunya pedikulisida yang tersedia dipasaran dan dijual bebas yang diizinkan oleh Food and Drug Administration (FDA). Insektisida ini tersedia dalam bentuk lotion, shampoo, foam mousse dan krim. Penambahan PBO akan memperlambat biotransformasi piretrum dan mencegah resitensi melalui jalur mixed function

(28)

oxidase (MFO). Produk piretrin dioleskan pada kepala selama 10 menit lalu dibilas. Walaupun efektifitas pedikulisida mendekati 100% pada pertengahan tahun 1980, kegagalan pengobatan sebesar 88% karena resistensi yang baru-baru ini dilaporkan (Ohio Department of Health, 2014).

Permetrin adalah satu-satunya piretoid sintesis yang yang memiliki kegunaan untuk membunuh tungau diseluruh dunia. Diperkenalkan di Amerika Serikat tahun 1986, permetrin memiliki aktifitas residual selama 2 minggu setelah pengobatan tunggal selama 10 menit. Permetrin krim di aplikasikan selama 10 menit, namun pengobatan 8-12 jam dengan krim 5% untuk penyakit kudis atau scabies adalah pengobatan alternatif dan lebih efektif. Resistensi terhadap konsentrasi tinggi juga menjadi masalah, terutama di daerah dimana terdapat resistensi DDT atau piretroid (Meinking dan Buckhart, 2008).

Baik piretrin dan permetrin memiliki daya serap perkutan minimum dan profil keamanan yang baik. Untuk meminimalkan paparan di tempat lain pada tubuh terhadap insektisida topikal, jangan membiarkan anak di kamar mandi untuk membilas rambut. Sebagai gantinya, lindungi kulit dengan handuk dan bilas dengan baik, menggunakan air dingin (Cummings et al., 2018).

Lindane adalah Chlorinatedhydro carbon, seperti DDT, dan kelas ini adalah senyawa yang pada umumnya lambat membunuh. Tersedia dalam sediaan shampoo 1% yang diaplikasikan selama 4 menit. Lindane tidak lagi dianggap terapi yang dapat diterima untuk kutu kepala karena risiko potensial untuk neurotoksisitas dan penekanan sumsum tulang setelah penyerapan perkutan. FDA di AS telah mengeluarkan saran berkala mengenai penggunaan produk pengikat lindan untuk perawatan kutu dan kudis. Efek samping neurologis telah dilaporkan pada orang yang menggunakan lindane dengan benar, meskipun hasil yang paling serius, termasuk kematian dan rawat inap terjadi setelah beberapa aplikasi atau konsumsi oral. Interval yang aman untuk penerapan kembali lindane belum ditetapkan. Penggunaan lindane secara farmasi juga telah dilarang di California sejak tahun 2002 karena kekhawatiran tentang keberadaannya dalam air limbah.

Sebuah studi tindak lanjut yang diterbitkan pada 2008 menunjukkan penurunan kadar lindane yang nyata dibandingkan dengan tingkat sebelum larangan

(29)

California. WHO baru-baru ini mengkategorikan lindane sebagai kemungkinan karsinogen (Meinking dan Buckhart, 2008; Cummings et al., 2018).

Carbaril adalah inhibitor cholinesterase. Carbaril tersedia dalam lotion dan shampoo 0,5% di Inggris dan dinegara-negara lain. Produk ini tidak tersedia di Amerika Serikat dan mungkin tidak disetujui FDA karena toksisitasnya. Carbaril lebih beracun dan bersifat karsinogenik pada pasien dan kurang mematikan tungau (Stone et al., 2012).

Seperti Carbaril, Malathion adalah inhibitor cholinesterase dan telah digunakan selama 20 tahun untuk mengobati tungau. Pengobatan secara topikal diantaranya dengan pemberian malathion yang memberikan efek pedikulosid dengan cara pemberian sebanyak 0,5% atau 1% dalam bentuk lotion atau spray.

Lotion malathion digunakan malam hari sebelum tidur setelah rambut dicuci dengan sabun, kemudian kepala ditutup dengan kain. Keesokan harinya rambut dicuci lagi dengan sabun dan disisir menggunakan sisir rapat atau serit.

Pengobatan dapat diulangi satu minggu kemudian jika masih terdapat telur. Pada Infeksi sekunder terlebih dahulu diobati dengan antibiotik sistemik dan topikal seperti Eritromisin, Cloxacilin dan Cephalexin kemudian diikuti dengan obat diatas dalam bentuk shampoo (Handoko, 2007).

Selain pengobatan di atas terdapat juga penatalaksanaan secara mekanik, yaitu dengan menggunakan sisir serit (sisir kutu), akan tetapi karena tidak ada pedikulisida yang 100% ovisidal, penghilangan nit dengan menyisir basah (wet combing) direkomendasikan oleh beberapa penulis. Karena sisir basah kurang efektif daripada pedikulisida, sisir basah tidak boleh digunakan sebagai satu- satunya intervensi untuk pengobatan pedikulosis kapitis pada populasi umum.

Namun demikian, sisir basah adalah satu-satunya pengobatan yang direkomendasikan untuk anak di bawah 2 tahun. Sisir basah juga harus dipertimbangkan jika orang tua memilih untuk tidak menggunakan pedikulisida pada anak mereka (Leung et al., 2005).

Selain pengobatan di atas terdapat juga pengobatan dengan menggunakan pedikulisida nabati. Pedikulisida nabati mengandung campuran minyak esensial dengan atau tanpa asam lemak nabati. Secara in vitro, beberapa minyak atsiri

(30)

menunjukkan nilai LD50 lebih tinggi daripada δ-fenotrin atau piretrum.

Minyak atsiri juga terbukti efektif melawan kutu yang resisten terhadap permetrin.

Heukelbach et al. (2007) memberikan tinjauan umum tentang ekstrak tanaman yang dievaluasi dan mode penggunaan yang memungkinkan dari minyak atsiri.

Dua produk telah dinilai dalam uji coba terkontrol secara acak. Dalam sebuah penelitian di Inggris Raya, Paranix®, kombinasi kelapa, anis, dan minyak kenanga, menunjukkan khasiat 82%, Mosquito® Läuse-Shampoo, produk yang mengandung minyak kedelai dan minyak kelapa, memiliki khasiat 62%. Apakah pedikulisida nabati aman atau tidak, belum pernah diteliti secara menyeluruh (Feldmeier, 2012).

2. Tinjauan Pengobatan Herbal 2.1 Pengobatan Herbal

Istilah herbal biasanya dikaitkan dengan tumbuh-tumbuhan yang tidak berkayu atau tanaman yang bersifat perdu. Dalam dunia pengobatan, istilah herbal memiliki makna yang lebih luas, yaitu segala jenis tumbuhan dan seluruh bagian- bagiannya yang mengandung satu atau lebih bahan aktif yang dapat dipakai sebagai obat (terapeutik) (Cidadapi, 2016).

Pengobatan herbal merupakan pengobatan dengan menggunakan obat herbal yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, karena tidak mempunyai efek samping seperti pada obat-obatan kimia. Obat herbal (OH) memiliki kemampuan menyembuhkan berbagai penyakit, dari penyakit ringan seperti flu, sampai berbagai penyakit berat lainnya, seperti hipertensi, asma, gangguan kardiovaskular, kanker, dan lain sebagainya (Cidadapi, 2016).

Di Indonesia, OH selama ini dikenal dengan nama jamu dan izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) RI juga menggolongkannya dalam jamu. Jamu sendiri identik dengan serbuk yang harus diseduh dan terasa pahit, sehingga masyarakat sekarang merasa tidak nyaman dan berkesan kuno. Karena hal ini, produsen jamu mulai membuat inovasi dengan memproduksi jamu dalam bentuk kapsul atau tablet dan sekarang dikenal dengan OH (Subroto dan

(31)

Harmanto, 2013).

Berdasarkan keputusan Kepala Badan POM RI No.00.05.4.2411 Tahun 2004, berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat, obat bahan alam Indonesia dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka. Jamu merupakan obat tradisional warisan nenek moyang. Obat herbal terstandar adalah yang dikembangkan berdasarkan bukti-bukti ilmiah dan uji pra klinis serta standarisasi bahan baku. Fitofarmaka adalah yang dikembangkan berdasarkan uji klinis, standarisasi bahan baku dan sudah bisa diresepkan dokter (Subroto dan Harmanto, 2013).

2.2 Tanaman Obat

Tanaman obat dapat didefinisikan sebagai tanaman yang menghasilkan satu atau lebih komponen aktif yang digunakan untuk perawatan kesehatan atau pengobatan, karena dalam setiap tumbuhan mengandung senyawa-senyawa efektif dan menghasilkan khasiat yang berbeda sesuai dengan kegunaannya (Hernani dan Yuliani, 1990). Menurut Suhirman (1990), tanaman obat adalah tanaman yang bagian tanamannya (daun, batang, atau akar) mempunyai khasiat sebagai obat dan digunakan sebagai bahan mentah dalam pembuatan obat modern atau obat tradisional (Zuhud et al., 1991).

Tanaman obat merupakan spesies tanaman yang diketahui, dipercaya, dan benar-benar berkhasiat obat. Menurut Zuhud, Ekarelawan, dan Riswan, tanaman obat terbagi menjadi 3 jenis, yaitu tanaman obat tradisional, tanaman obat modern, dan tanaman obat potensial. Tanaman obat tradisional merupakan spesies tumbuhan yang diketahui atau dipercaya memiliki khasiat dan telah digunakan sebagai bahan baku obat tradisional. Tanaman obat modern merupakan spesies tumbuhan yang secara ilmiah telah dibuktikan mengandung senyawa atau bahan bioaktif yang berkhasiat obat dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis. Tanaman obat potensial merupakan spesies tumbuhan yang diduga mengandung senyawa atau bahan bioaktif yang berkhasiat obat, tetapi belum dibuktikan secara ilmiah medis atau penggunaannya sebagai bahan obat tradisional perlu ditelusuri (Utami dan Puspaningtyas, 2013).

(32)

Tanaman obat mempunyai hubungan yang erat dengan masyarakat, baik sebagai sumber mata pencaharian dan pendapatan petani sekitar hutan maupun sebagai peluang yang menjanjikan banyak pilihan usaha tani mulai dari pra sampai pasca budidaya. Keampuhan pengobatan dengan herbal telah banyak dibuktikan melalui berbagai pengalaman. Berbagai jenis penyakit yang sudah tidak dapat disembuhkan melalui pengobatan alopati (kedokteran), ternyata masih dapat diatasi dengan pengobatan herbal, misalnya penyakit kanker. Selain itu, ada juga pengalaman yang membuktikan bahwa pengobatan herbal lebih efektif memberikan solusi penyembuhan terhadap beberapa penyakit daripada pengobatan menggunakan bahan kimia (Sitepu dan Sutigno, 2001; Utami dan Puspaningtyas, 2013).

WHO merekomendasikan pemanfaatan obat tradisional dalam bidang kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit, terutama untuk penyakit kronis, penyakit degeneratif dan kanker. WHO juga membantu dalam upaya meningkatkan keamanan dan khasiat dari obat tradisional. Secara umum, pemakaian obat tradisional dinilai lebih aman daripada pemakaian obat modern karena obat tradisional memiliki efek samping yang relatif lebih sedikit dibanding obat modern (Bustanussalam, 2016).

Dalam UU No. 36 tahun 2009 bab VI pasal 59 menyatakan bahwa berdasarkan cara pengobatannya, pelayanan kesehatan tradisional terbagi menjadi pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan keterampilan dan pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan ramuan. Obat tradisional yang digunakan oleh masyarakat yang ada di beberapa daerah di Indonesia sangat beragam. Masyarakat di suatu daerah tertentu memiliki obat tradisional yang berbeda dengan masyarakat daerah lainnya, hal ini dikarenakan keanekaragaman hayati yang terdapat di lingkungan tempat mereka hidup serta kearifan lokal yang mereka miliki menjadi penyebab munculnya bermacam-macam produk budaya.

Keanekaragaman hayati yang terdapat di lingkungan sekitar mereka hidup menjadi sumber alam yang sangat potensial untuk membuat obat-obat tradisional yang mampu menyelesaikan permasalahan kesehatan mereka. Beberapa contoh obat tradisional yang digunakan di masyarakat tertentu seperti: masyarakat jawa

(33)

menggunakan tanaman tapak dara untuk mengobati penyakit diabetes, hipertensi, leukimia, mengobati luka baru, obat bengkak dan obat bisul. Di beberapa daerah, masyarakat menggunakan daun jambu yang ditumbuk dan dihancurkan, kemudian diambil airnya untuk mengobati diare (Darmastuti dan Sari, 2011).

3. Tinjauan Tanaman Pepaya (Carica papaya L.) 3.1 Tanaman Pepaya

Asal usul tanaman pepaya merupakan asli Amerika, lebih tepatnya Amerika Tengah dan Selatan. Tanaman ini tersebar di seluruh dunia oleh para pedagang, dan di India tanaman ini disebarkan oleh para pedagang Portugal. Sekarang tanaman ini ditemukan di seluruh dunia. Kondisi iklim terbaik untuk pertumbuhannya adalah di wilayah tropis yang sesuai dengan pertumbuhannya (Senthilkumaran Jagadeesh dan Shalini, 2014).

Gambar 2.8 Tanaman pepaya (Carica papaya L.).

Carica papaya termasuk ke dalam famili Caricaceae. Pepaya merupakan tanaman herbal karena batangnya tidak memiliki banyak kayu dan tetap lunak dan

(34)

hijau sampai mati. Batang tunggalnya tumbuh setinggi 5 hingga 10 m dengan semua daun di atasnya. Daunnya besar, sangat lobus, palatum, dengan tangkai daun yang panjang, lebar 50-70 cm. Secara umum, buahnya berbentuk oval hingga hampir bulat bilik tunggal, berbentuk silindris atau bulat dan dalam beberapa kasus seperti buah pir besar. Buahnya berukuran panjang 15-50 cm dan lebar 10-20 cm, dan beratnya mencapai 9 kg. Kulit buahnya tipis dan keras, kulitnya tidak dimakan karena terlalu pahit. Awalnya, kulit pepaya berwarna hijau tetapi berubah menjadi kuning pada buah-buahan yang sudah matang. Pada buah yang matang, ampasnya berwarna kuning, oranye, dan bahkan merah muda. Di dalam buahnya terdapat banyak biji hitam yang kecil (Senthilkumaran Jagadeesh dan Shalini, 2014).

Tanaman pepaya merupakan tanaman yang hidup di daerah tropis. Di Indonesia biasanya tanaman pepaya tumbuh menyebar dari dataran rendah sampai dataran tinggi, yaitu pada ketinggian 1000 m di atas permukaan air laut. Tanaman pepaya mudah tumbuh di lingkungan dengan suhu 24

o

C sampai 25

o

C, dengan pH ideal 6,0, pada tanah kering dan banyak sinar matahari (Nuraini, 2007).

3.2 Taksonomi

Berdasarkan taksonominya, tanaman pepaya dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Roshan et al., 2014):

Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Famili : Caricaceae

Genus : Carica L.

Spesies : Carica papaya L.

(35)

3.3 Morfologi

Berdasarkan morfologinya, bentuk dan susunan tubuh dari bagian luar tanaman pepaya termasuk tumbuhan yang umur sampai berbunganya dikelompokkan sebagai tanaman buah-buahan semusim, namun dapat tumbuh setahun lebih. Sistem perakarannya memiliki akar tunggang dan akar-akar cabang yang tumbuh mendatar ke semua arah pada kedalaman 1 meter atau lebih dan menyebar sekitar 60-150 cm atau lebih dari pusat batang tanaman (Suprapti, 2005).

Pepaya merupakan tanaman besar seperti pohon dengan batang tunggal yang tumbuh dengan daun yang tersusun secara spiral terbatas di bagian atas batang.

Batang bawahnya terlihat bekas di mana dedaunan dan buahnya terbawa.

Daunnya besar dan berdiameter 50–70 cm. Pohon ini biasanya tidak bercabang.

Bentuk bunganya mirip dengan bunga-bunga Plumeria, tetapi jauh lebih kecil dan seperti lilin. Buahnya matang ketika rasanya lunak dan kulitnya telah mencapai warna kuning ke oranye. Buah yang seperti melon ini bervariasi dalam ukuran dan bentuk (Roshan et al., 2014).

3.4 Bagian Tanaman Pepaya yang Digunakan

Salah satu tanaman yang dapat digunakan sebagai obat-obatan adalah tanaman pepaya. Tanaman pepaya dikatakan tanaman sejuta manfaat, baik untuk perindustrian, kecantikan, pengobatan maupun kesehatan. Semua bentuk tanaman pepaya memiliki manfaat dan berguna sebagai obat dimulai dari akar, batang, daun, bunga, buah dan biji (Sugito dan Suwandi, 2017).

Berdasarkan penelitian Suresh et al. (2008) tentang analisis fitokimia terhadap daun pepaya, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pada daun pepaya terkandung senyawa metabolit seperti alkaloid, antraquinon, flavonoid, saponin, steroid, dan triterpenoid (Anggrahini et al., 2011). Sedangkan Santi (2009), melakukan identifikasi pada ekstrak daun pepaya dengan menggunakan etanol 70% menunjukkan ekstrak daun pepaya mengandung flavonoid, saponin dan alkaloid (Astuti, 2009).

(36)

Senyawa-senyawa ini bersifat sebagai racun kontak yang masuk ke dalam tubuh kutu kepala secara langsung. Senyawa ini nantinya akan menghambat reseptor perasa pada daerah mulut serangga yang akan menyebabkan serangga gagal mendapat stimulus rasa, sehingga serangga tidak mampu mengenali makanannya yang mengakibatkan serangga mati kelaparan (Cahyadi, 2009)

Gambar 2.9 Daun Pepaya (Carica papaya L.).

3.5 Kandungan Kimia Daun Pepaya

Daun pepaya (Carica papaya L.) mengandung alkaloid karpainin, karpain, pseudokarpain, vitamin C dan E, kolin, dan karposid. Daun pepaya mengandung suatu glukosinolat yang disebut benzil isotiosianat. Daun pepaya juga mengandung mineral seperti kalium, kalsium, magnesium, tembaga, zat besi, zink, dan mangan. Selain itu, daun pepaya mengandung senyawa alkaloid karpain, karikaksantin, violaksantin, papain, saponin, flavonoid, dan tannin (Milind dan Gurditta, 2011).

Berdasarkan hasil analisis fitokimia pada daun pepaya (Carica papaya L.) yang telah dilakukan menunjukkan bahwa daun pepaya (Carica papaya L.) positif mengandung alkaloid, triterpenoid, steroid, flavonoid, saponin, dan tannin (A‟yun dan Laily, 2015).

(37)

3.6 Manfaat Daun Pepaya

Daun pepaya memiliki banyak manfaat. Di beberapa bagian negara Asia, daun muda pepaya dikukus dan dimakan seperti bayam. Beberapa manfaat dari daun pepaya adalah sebagai obat demam berdarah, inhibisi pertumbuhan sel kanker, aktivitas antimalaria dan antiplasmodia, serta untuk melancarkan pencernaan.

Dalam penelitian Dr. Sanath Hettige, yang melakukan penelitian pada 70 pasien demam berdarah, mengatakan jus daun pepaya membantu meningkatkan sel darah putih dan platelet, menormalkan pembekuan, dan memperbaiki hati. Selain itu pada penelitian terbaru tentang ekstrak teh daun pepaya telah memperlihatkan adanya penghambatan pertumbuhan sel kanker. Tampaknya meningkatkan produksi molekul pensinyalan kunci yang disebut sitokin tipe Th1, yang membantu mengatur sistem kekebalan tubuh. Kemudian, daun pepaya juga dapat dibuat menjadi teh sebagai pengobatan untuk malaria. Aktivitas antimalaria dan antiplasmodia telah dicatat dalam beberapa persiapan tanaman, tetapi mekanismenya beluhm dapat dipahami dan belum terbukti secara ilmiah. Daun tanaman pepaya juga mengandung senyawa kimia dari carpain, zat yang membunuh mikroorganisme yang sering mengganggu fungsi pencernaan (Aravind et al., 2013).

Manfaat tambahan dari daun pepaya yaitu sebagai obat jerawat, meningkatkan nafsu makan, meredakan nyeri haid, pelunak daging, dan meredakan mual (Aravind et al., 2013).

(38)

4. Kerangka Teori

Diagnosis banding:

Cara penularan:

1. Tinea kapitis

1. Kontak

2. Dermatitis

langsung seboroik

2. Melalui

3. Psoriasis

benda 4. Pityriasis kapitis

Diagnosis: Pedikulosis Kapitis

Alat yang digunakan:

(Pediculus humanus

dengan deteksi kutu menggunakan sisir

var. capitis)

hidup serit

Tatalaksana

Pedikulisida nabati Pengobatan secara

mekanik (mechanical Pengobatan topikal:

removal)  Piretrin

 Permetrin

Daun pepaya  Lindane

(Carica papaya L.)  Carbaril

Menggunakan  Malathion

sisir serit

Alkaloid, flavonoid, saponin

Memiliki efek

samping dan resistensi

Bersifat sebagai racun kontak

terhadap kutu kepala secara

langsung

Gambar 2.10 Kerangka Teori.

(39)

5. Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka teori di atas, maka kerangka konsep penelitian ini adalah:

Variabel Independen Variabel Dependen

Ekstrak daun pepaya (Carica Pengaruh terhadap kutu kepala (Pediculus papaya L.) humanus var. capitis) sebagai pedikulisidal

Gambar 2.11 Kerangka Konsep.

6. Hipotesis

6.1 Hipotesis Mayor

Hipotesis dari penelitian ini adalah ekstrak daun pepaya (Carica papaya L.) memiliki efek pedikulisidal pada Pediculus humanus var. capitis.

6.2 Hipotesis Minor

1. Hipotesis dari penelitian ini adalah ekstrak daun pepaya (Carica papaya L.) dengan konsentrasi 2,5% memiliki efek pedikulisidal pada Pediculus humanus var. capitis.

2. Hipotesis dari penelitian ini adalah ekstrak daun pepaya (Carica papaya L.) dengan konsentrasi 5% memiliki efek pedikulisidal pada Pediculus humanus var. capitis.

3. Hipotesis dari penelitian ini adalah ekstrak daun pepaya (Carica papaya L.) dengan konsentrasi 7,5% memiliki efek pedikulisidal pada Pediculus humanus var. capitis.

(40)

BAB III

METODE PENELITIAN

1. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorium. Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain eksperimen sederhana (Posttest only control group design).

2. Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat untuk pelaksanaan penelitian melibatkan beberapa tempat yang berbeda, untuk ekstrak daun pepaya (Carica papaya L.) sudah didapatkan di laboratorium obat tradisional Fakultas Farmasi USU. Tempat untuk menguji konsentrasi daun pepaya (Carica papaya L.) terhadap kutu kepala yaitu di laboratorium Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Waktu untuk penelitian dilakukan selama 3 bulan, yaitu pada bulan Juli hingga September 2019.

3. Populasi dan Sampel Penelitian 3.1 Populasi Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah semua penderita pedikulosis kapitis di daerah Marendal.

3.2 Sampel Penelitian

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pediculus humanus var.

capitis yang diambil dari penderita pedikulosis kapitis yang memenuhi kriteria inklusi.

Adapun kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini adalah:

1. Kriteria inklusi

a. Kutu kepala yang hidup

(41)

b. Kutu yang diambil belum pernah terpapar bahan pengobatan selama 1 minggu sebelumnya

2. Kriteria eksklusi

a. Kutu kepala mati sebelum diberi perlakuan 3.3 Estimasi Besar Sampel

Sampel penelitian ini ditentukan menurut rumus Federer, yaitu:

(t-1) (n-1) ≥ 15

dimana (t) adalah kelompok perlakuan, dan (n) adalah jumlah sampel per kelompok perlakuan.

(t-1) (n-1) ≥ 15 (5-1) (n-1) ≥ 15 4 (n-1) ≥ 15 4n-4 ≥ 15 4n ≥ 19

n ≥~ 4,75

n 5

Dalam penelitian ini terdapat 5 perlakuan yaitu 1 kelompok kontrol negatif dengan aquabides, 1 kelompok kontrol positif dengan permethrin 1%, dan 3 kelompok perlakuan yaitu 2,5%, 5%, 7,5%, sehingga besar sampel Pediculus humanus var. capitis yang dibutuhkan per kelompok sebesar 5 ekor kutu kepala.

Adapun total besar sampel yaitu sebesar 25 ekor untuk kutu kepala.

4. Definisi Operasional 4.1 Variabel

Variabel bebas/independen : ekstrak daun pepaya (Carica papaya L.) dengan konsentrasi yang berbeda

Variabel terikat/dependen : pengaruh terhadap kutu kepala (Pediculus humanus var. capitis) sebagai pedikulisidal

(42)

4.2 Definisi Operasional Variabel 1. Pedikulosis kapits

Didefinisikan sebagai infestasi pada kulit kepala atau rambut yang disebabkan oleh Pediculus humanus var. capitis.

Alat ukur: sisir serit (sisir kutu) Cara ukur: inspeksi kepala Hasil ukur:

 + bila ditemukan Pediculus humanus var. capitis dewasa atau nit

  - bila tidak ditemukan Pediculus humanus var. capitis dewasa atau nit

Skala ukur: nominal

2. Ekstrak daun pepaya (Carica papaya L.)

Didefinisikan sebagai ekstrak yang diperoleh dari daun pepaya (Carica papaya L.) yang diperoleh dari desa Tanjung Selamat jl. Perjuangan, yang kemudian di ekstrak dengan menggunakan metode maserasi di laboratorium obat tradisional Fakultas Farmasi USU.

Cara ukur: observasi daun Hasil ukur:

 Layak bila daun bebas hama dan penyakit

  Tidak layak bila daun berhama atau berpenyakit

Skala ukur: rasio

3. Pengaruh pada Pediculus humanus var. capitis sebagai pedikulisidal Didefinisikan sebagai banyaknya kutu kepala dewasa yang mati atau sudah tidak bergerak lagi pada saat disentuh setelah pemberian perlakuan. Pengamatan dilakukan selama 24 jam yaitu pada jam ke 1, 3, 6, dan 24.

Cara ukur: melihat ada atau tidaknya kutu kepala yang mati kemudian dicatat.

Hasil ukur:

  bila kutu kepala sudah tidak bergerak lagi

   bila kutu kepala masih dapat bergerak

Skala ukur: rasio

(43)

5. Alat dan Bahan Penelitian 5.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan petri, kertas Whatman No. 1, pinset, handscoon, masker, dan sisir serit.

5.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak daun pepaya (Carica papaya L.), kutu kepala (Pediculus humanus var. capitis), aquabides, dan permethrin 1%.

6. Prosedur Penelitian

1. Pembuatan ekstrak daun pepaya

Ekstrak daun pepaya telah didapat dari Laboratorium Obat Tradisional Fakultas Farmasi USU. Ekstrak daun pepaya dibuat dengan menggunakan metode maserasi. Daun pepaya yang diambil dari pohon yang sudah berumur 1 tahun.

2. Pengamatan

Dalam tahap ini peneliti melihat perlakuan yang dilakukan pada kutu kepala dan telur kutu kepala. Berdasarkan rumus Federer, jumlah sampel yang dibutuhkan adalah 5 ekor untuk kutu kepala.

Pada pengamatan efek pedikulisidal ekstrak daun pepaya peneliti menggunakan kertas saring Whatman No. 1 yang diimersikan dalam ekstrak daun pepaya ke dalam 2 kelompok kontrol perlakuan dan 3 kelompok perlakuan, yaitu permethrin 1% (positif), aquabides (negatif), 2,5%, 5%, dan 7,5%. Kemudian peneliti mengamati kondisi kutu pada masing-masing perlakuan, mengamati berapa jumlah kutu yang mati pada masing-masing perlakuan dengan waktu yang telah ditentukan yaitu dalam waktu 24 jam pada jam ke 1, 3, 6, dan 24. Kutu dianggap mati apabila jika disentuh sudah tidak bergerak lagi. Pengamatan ini dilakukan dengan tiap ulangan. Selanjutnya, peneliti menganalisis data yang diperoleh secara statistik.

Gambar

Gambar 2.1 Pediculus humanus var. capitis
Gambar 2.3 Telur kutu (nit) dengan nimfa yang mulai menetas (CDC, 2017).
Gambar 2.5 Siklus hidup Pediculus humanus var. capitis (CDC, 2017).
Gambar 2.6 Multiple nit ditemukan anak perempuan (Madke dan Khopkar, 2012).
+5

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil data yang telah dianalisis selama penelitian dengan menggunakan matriks IE dan SWOT, strategi pengembangan wisata berbasis edukasi di Kampung

Tabell 9-10 Netto driftseiendeler og netto driftskapital over budsjettperioden, fra 2016 til 2025, samt siste år i analyseperioden og første år i konstant vekst. Fri kontantstrøm

Simpulan dari pembahasan diatas, dihasilkanl analisis data mengenai kualitas layanan dan varian produk terhadap kepuasan konsumen pada rumah makan Juragan Sambal Surabaya,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) kerapatan empat tanaman perlubang tanam memiliki persentase intersepsi cahaya matahari tertinggi, (2) intersepsi cahaya matahari ketiga

Penurunan efek tersebut ditunjukkan dengan terjadinya penurunan persen proteksi geliat tiap interval waktu pada kelompok perlakuan parasetamol yang diberi pra-perlakuan

Penelitian yang menguji pengaruh aktivitas lindung nilai terhadap agresivitas pajak dimulai oleh Graham dan Smith (1999) yang menemukan bahwa perusahaan yang

Sasana Sewaka sebagai obyek penelitian merupakan inti dari kraton yang memiliki perjumpaan yang paling kental antara arsitektur Jawa dan arsitektur Eropa. Dari tinjauan

Moratorium Tenaga Kerja yang berlaku untuk sektor informal terhadap