• Tidak ada hasil yang ditemukan

BENTUK DAN KEKUATAN HUKUM PERDAMAIAN SEBAGAI HASIL MEDIASI DALAM PENERAPAN PERMA NO. 1/2008

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BENTUK DAN KEKUATAN HUKUM PERDAMAIAN SEBAGAI HASIL MEDIASI DALAM PENERAPAN PERMA NO. 1/2008"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PENELITIAN

BENTUK DAN KEKUATAN HUKUM PERDAMAIAN

SEBAGAI HASIL MEDIASI DALAM PENERAPAN

PERMA NO. 1/2008

NYOMAN A. MARTANA, S.H., M.H. NIP. 195505101986101001

BAGIAN HUKUM ACARA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(2)
(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan rahmatNya laporan hasil penelitian “Permohonan dalam Pemeriksaan di Pengadilan Agama“ dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Terima kasih yang sebesar–besarnya bagi semua saja yang terlibat atas bantuan, saran dan dorongan yang diberikan, sehingga saya mampu memahami materi dengan lebih baik dan pada akhirnya mapu merampungkan penelitian ini.

Penelitian ini masih jauh dari sempurna. Saran dan kritik yang membangun sangat saya harapkan demi sempurnanya penelitian ini. Akhir kata, semoga penelitian ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan secara khusus bagi hukum acara perdata dan lebih khusus lagi bagi hukum acara peradilan agama.

Denpasar, 2016

(4)

DAFTAR ISI

Halaman

Judul i

Lembar Pengesahan ... ii Kata Pengantar ... iii

Daftar Isi iv

Abstrak ... v

I. PENDAHULUAN 1

II. RUMUSAN MASALAH 3

III. TUJUAN PENELITIAN ... 4 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 5 V. SIMPULAN ... 15

(5)

ABSTRAK

Peradilan Agama adalah salah satu lingkungan peradilan dibawah Mahkamah Agung Republik Indonesia, yang dalam tingkat pertama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama. Peradilan agama mempunyai kekhususan dalam subyek, yaitu peradilan yang diperuntukkan bagi penduduk yang beragama islam. Kompetensi absolutnya adalah sengketa keperdataan tertentu yang ditentukan dalam undang – undang peradilan agama. Lex generalis untuk hukum acaranya adalah hukum acara perdata, yang mengenal adanya prosedure gugatan dan prosedure permohonan, dan lex specialisnya diatur menurut ketentuan dalam undang–undang peradilan agama. Dalam hukum acara perdata kedua prosedur ini sangat berbeda. Dalam lex spesialisnya juga ditentukan adanya permohonan.

Kalau dicermati lebih mendalam dalam lex specialisnya yang diatur dalam undang – undang peradilan agama dikenal adanya dua macam permohonan. Pertama, permohonan sebagaimana yang lazim dalam hukum acara perdata, dengan beracara secara sepihak tanpa adanya sengketa. Pembuktiannya juga sepihak tanpa memperhatikan asas kesempatan yang sama dan asas audi et alteram partem. Peradilan hanya satu tingkat, sehingga tidak ada upaya hukum banding terhadap Penetapan Pengadilan Agama. Kedua, permohonan dengan prosedure sebagaimana layaknya suatu gugatan. Ada dua pihak yang saling berhadapan karena adanya sengketa. Sehingga pemeriksaannya harus memperhatikan asas-asas sebagaimana layaknya pemeriksaan gugatan, yang dimulai dengan jawab menjawab, pembuktian, kesimpulan para pihak (kalau dikehendaki), dan diakhiri dengan Penetapan Pengadilan Agama.

(6)

BENTUK DAN KEKUATAN HUKUM PERDAMAIAN

SEBAGAI HASIL MEDIASI DALAM PENERAPAN

PERMA NO. 1/2008

I. PENDAHULUAN

Di awal persidangan, majelis hakim akan mengusahakan perdamaian, sebagaimana diatur dalam Pasal 154 RBG / Pasal 130 HIR, yang menentukan : (1). Bila pada hari yang telah ditentukan para pihak datang menghadap, maka

pengadilan negeri dengan perantaraan ketua berusaha mendamaikannya. (2). Bila dapat dicapai perdamaian, maka di dalam sidang itu juga dibuatkan

suatu akta dan para pihak dihukum untuk menaati perjanjian yang telah dibuat, dan akta itu mempunyai kekuatan serta dilaksanakan seperti suatu surat keputusan biasa.

(3). Terhadap suatu keputusan tetap semacam itu tidak dapat diajukan banding.

(4). Bila dalam usaha untuk mendamaikan para pihak diperlukan campur tangan seorang juru bahasa, maka digunakan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam pasal berikut.

Ketentuan Pasal 154 RBg / Pasal 130 HIR dipandang tidak cukup efektif untuk membawa para pihak mencapai kesepakatan perdamaian. Padahal, penyelesaiaqn sengketa secara damai dalam bentuk perdamaian merupakan penyelesaian yang “ideal”. Oleh karenanya, untuk mengefektifkan pasal 154 RBg / pasal 130 HIR Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA No. 1 / 2002, yang

(7)

selanjutnya disempurnakan dalam bentuk PERMA No. 2 / 2003, yang selanjutnya diubah lagi dengan PERMA No. 1 / 2008. Ketentuan – ketentuan, yang dikeluarkan Mahkamah Agung ini mengintegrasikan mediasi kedalam penyelesaian sengketa secara litigasi.

Sesungguhnya, mediasi adalah salah satu lembaga yang memberi cara penyelesaian sengketa atau beda pendapat di luar lembaga peradilan, sebagaimana diatur dalam UU No 30 / 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Alternatif penyelesaian sengketa pada umumnya, dan mediasi pada khususnya dapat diharapkan menjadi sarana penyelesaian sengketa yang lebih cepat, lebih murah, lebih memuaskan, lebih memberi rasa keadilan, karena para pihaklah yang berperan dominan dalam menentukan substansi atau isi hasil akhir berupa perdamaian. Hal ini sangat berbeda dengan litigasi dan arbitrase, yang kedua-duanya merupakan lembaga ajudikasi, dimanna sengketa diputus oleh pihak ketiga, yaitu oleh hakim dalam proses litigasi atau oleh arbiter dalam proses arbitrase. Hal ini menjadi alasan Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA No. 1/ 2008, yang dimuat dalam bagian menimbang , yaitu antara lain:

a. Bahwa, mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan.

b. Bahwa pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen effektif mengatasi masalah

(8)

memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif).

c. Bahwa, hukum acara yang berlaku , baik PASAL 130 hir MAUPUN Pasal

154 RBg, mendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur berperkara di pengadilan.

Untuk mencapai perdamaian melalui mediasi, hal yang paling penting adalah kesepakatan para pihak yang bersengketa untuk berdamai dan kesepakatan atas substansi perdamaian. Mediator berfungsi untuk membantu para pihak dalam proses perundingan untuk mencapai perdamaian tersebut. Perundingan tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang bersifat pemaksaan, karena pemaksaan bertentangan dengan asas kebebasan dan kesepakatan. Perdamaian itu keudian dituang kedalam akte perdamaian, yang memuat isi kesepakatan perdamaian dan putusan hakim yang menguatkan kesepakatan perdamaian tersebut.

II. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana bentuk perdamaian, bahkan juga apabila para pihak tidak bersedia menuangkan kesepakatan perdamaian tersebut dalam akta perdamaian yang tertuang putusan hakim ?

2. Bagaimana kekuatan hukum perdamaian dari kesepakatan perdamaian yang tertuang dalammasing-masing bentuk perdamaian ?

(9)

III. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian bentuk dan kekuatan hukum perdamaian sebagai hasil mediasi dalam penerapan PERMA No. 1/2008 ini adalah:

1. Untuk mengetahui secara mendalam tentang bentuk bentuk perdamaian yang dimungkinkan sebagai hasil mediasi terintegrasi dalam proses litigasi dalam penerapan PERMA No.1/2008.

2. Untuk mengetahui bagaimana kekuatan hukum masing masing

kesepakatan perdamaianyang tertuang dalam bentuk perdamaian yang berbeda.

(10)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Perma No. 1 / 2008 membagi proses mediasi ke dalam dua tahap, yaitu tahap pra mediasi ( Pasal 7 sampai dengan Pasal 12) dan tahap proses mediasi (Pasal 13 sampai dengan Pasal 19). Pasal 7 ayat (1), ayat (2), ayat (5) dan ayat (6) menentukan :

(1). Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan kedua pihak untuk menempuh mediasi.

(2). Ketidak hadiran pihak turut tergugat tidak menghalangi pelaksanaan mediasi.

(5). Hakim wajib menunda proses persidangan perkara untuk memberi kesempatan kepada para pihak menempuh proses mediasi.

(6). Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam Perma ini kepada para pihak yang bersengketa.

Yang sangat penting selanjutnya adalah pemilihan dan penunjukan mediator sebagaimana yang diatur dalam Pasal 11, yang ayat (1) , ayat (2) serta ayat (3) nya menentukan :

(1). Setelah para pihak hadir pada hari sidang pertama, hakim mewajibkan para pihak pada hari itu juga atau paling lama 2 (dua) hari kerja berikutnya untuk berunding guna memilih mediator termasuk biaya yang mungkin timbul akibat pilihan penggunaan mediator bukan hakim.

(2). Para pihak segera menyampaikan mediator pilihan mereka kepada ketua majelis hakim.

(11)

(3). Ketua majelis hakim segera memberitahu mediator terpilih untuk melaksanakan tugas.

Ada kemungkinan pula, para pihak gagal menyepakati dalam memilih dan menunjuk mediator. Dalam hal demikian, ketua majelis hakin menunjuk seorang hakim sebagai mediator, yaitu seorang hakim yang besersertfikat mediator yang bukan anggota majelis hakim yang menangani perkara. Apabila tidak ada hakim yang bersertifikat mediator, ketua mejelis dapat menunjuk seorang dari hakim pemeriksa perkara walaupun tidak bersertifikat mediator sebagai mediator, dan wajib melaksanakan tugas mediator.

Tahap mediasi dimulai dengan penyerahan resume perkara oleh masing masing pihak yang berperkara kepada mediator, dan para pihak saling menyerahkan resume perkara diantara mereka. Dalam proses mediasi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan :

a. Proses mediasi sifatnya tertutup, kecuali para pihak yang bersengketa menghendaki sebaliknya.

b. Para pihak wajib menempuh mediasi dengan itikad baik. Bila salah satu pihak menempuh mediasi dengan itikad tidak baik, maka pihak lawannya dapat menyatakan mundur atau menarik diri dari proses mediasi. Akibatnya adalah, mediasi dapat dinyatakan gagal.

c. Mengikat atau tidak mengikatnya keterangan ahli yang diundang untuk memberi pertimbangan atau penjelasan yang dapat membantu menyelesaikan perbedaan pendapat diantara para pihak ditentukan oleh

(12)

kesepakatan para pihak itu sendiri, yang ditentukan sebelum pertimbangan atau penjelasan ahli itu diberikan.

d. Dalam proses berjalan, mediator dapat melakukan kaukus.

e. Pembatasan lamanya jangka waktu proses mediasi, yaitu paling lama empat puluh (empat puluh) hari kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim.

f. Bila diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat dilakukan secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi.

g. Keterpisahan mediasi dari litigasi. Mediasi dan litigasi secara mendasar berbeda. Oleh karenanya, bila mediasi gagal, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan atau perkara lain. Demikian pula, catata-catatan mediator wajib dimusnahkan. Bahkan, mediator tidak dapat jadi saksi dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan.

Sasaran akhir suatu mediasi adalah kesepakatan perdamaian diantara para pihak. Untuk mencapai sasaran itu, peran para pihak, kuasa hukum dan mediator sangat menentukan. Kesepakatan perdamaian yang dikehendaki tidak mudah dicapai, kemungkinan gagalnya secara empiris sangat besar. Kegagalan itu disebabkan :

a. Salah satu pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai jadwal pertemuan mediasi yang telah disepakati atau telah dua kali berturut

(13)

turut tidak menghadiri pertemuan mediasi tanpa alasan setelah dipanggil secara patut.

b. Sengketa yang dimediasi melibatkan aset atau harta kekayaan atau kepentingan yang nyata nyata berkaitan dengan pihak lain yang tidak disebutkan dalam surat gugatan, sehingga pihak lain yang berkepentingan tidak dapat menjadi salah satu pihak dalam proses mediasi, sehingga perkara yang bersangkutan tidak layak untuk dimediasi dengan alasan para pihak tidak lengkap.

c. Setelah 40 (empat puluh) hari kerja, para pihak tidak mampu mencapai kesepakata.

Bila mediasi gagal, maka setelah kegagalan tersebut diberitahukan kepada hakim, perkara tersebut akan diperiksa sesuai dengan pemeriksaan perkara perdata di pengadilan negeri dengan hukum acara perdata yang berlaku.

Bila mediasi menghasilkan kesepakatan untuk berdamai, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditanda tangani oleh para pihak dan mediator. Para pihak diwajibkan menghadap kembali kepada hakim untuk menyampaikan kesepakatan perdamaian yang dimaksud, yang selanjutnya dapat dimintakan kepada hakim agar kesepakatan perdamaian itu dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian. Atau, bila para pihak tidak menghendaki kesepakatan perdamaian dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, kesepakatan perdamaian harus memuat klausula pencabutan gugatan dan atau klausula yang menyatakan perkara telah selesai. Pencabutan gugatan dan pernyataan bahwa perkara telah selesai, dalam satu aspek

(14)

mempunyai makna dan konsekwensi yang sama yaitu penggugat mencabut gugatannya.

Walaupun terjadi pencabutan gugatan, fakta bahwa telah terjadi kesepakatan perdamaian tertulis , tetap merupakan fakta yang mempunyai nilai hukum. Hal tersebut tetap merupakan perjanjian tertulis yang sah,yang telah memenuhi syarat-syarat perjanjian, dan karenanya mengikat seperti undang – undang bagi para pihak yang membuatnya. Perjanjian seperti itu sudah pasti telah memenuhi syarat untuk dapat dikatagorikan sebagai suatu akta. Terhadap akta yang telah dibuat oleh para pihak sebagai hasil mediasi yang tidak diangkat dalam bentuk putusan pengadilan, para pihak dapat bersikap membiarkannya begitu sebagai akta di bawah tangan, atau membawanya ke hadapan notaris dan menjadikannya substasi akta notariil, yang merupakan akta otentik.

Dengan mencermati kemungkinan-kemungkinan itu, bila perdamaian dalam proses mediasi berhasil mencapai kesepakatan, maka ada 3 (tiga) kemungkinan bentuk perdamaiannya:

(1). Akta perdamaian dalam bentuk akta otentik , yang menuangkan kesepatatan perdamaian para pihak dalam bentuk putusan pengadilan.

(2). Akta perdamaian dalam bentuk akta otentik, yang menuangkan

kesepakatan perdamaian dalam bentuk akta notariil. (3). Akta perdamaian dalam bentuk akta di bawah tangan.

Akta perdamaian dalam bentuk putusan pengadilan mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pasal 154 ayat (2) RBg / Pasal 130 ayat (2) dan ayat (3)HIR menentukan :

(15)

(2). Bila dapat dicapai perdamaian, maka di dalam sidang itu juga dibuatkan suatu akta dan para pihak dihukum untuk menaati perjanjian yang telah di buat, dan akta itu mempunyai kekuatan serta dilaksanakan seperti surat keputusan biasa.

(3). Terhadap suatu keputusan tetap semacam itu tidak dapat diajukan banding.

Ayat (2) menentukan akta perdamaian yang dibuat tersebut berkekuatan hukum dan dilaksanakan sama sebagaimana halnya petusan pengadilan. Oleh karena ayat (3) menentukan akta perdamaian itu tidak dapat diajukan ke tingkat banding, itu berarti tidak ada upaya hukum biasa terhadap akta perdamaian yang dipersamakan dengan putusan pengadilan tersebut. Dengan kata lain, akta perdamaian itu dipersamakan dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Ada tiga kekuatan yang melekat pada akta perdamaian dalam bentuk putusan pengadilan, sebagaimana kekuatan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, (Sudikno Mertokusumo, 1982: 170) , yaitu :

(1). Kekuatan mengikat. (2). Kekuatan pembuktian . (3). Kekuatan eksekutorial.

Akta perdamaian baik dalam bentuk akta di bawahntangan maupun dalam bentuk akta notariil, adalah suatu akta, yang memenuhi segala karakteristik sebagai akta, yang mempunyai kekuatan pembuktian baik kekutan pembuktian lahir, kekuatan pembuktian formil maupun kekuatan pembuktian materiil (Sudikno Mertokusumo, 1982 : 122). Tentu ada perbedaan yang sangat signifikan

(16)

antara kekuatan pembuktian pada akta otentik dan akta dibawah tangan. Menurut pasal 285 RBg / pasal 165 HIR / pasal 1870 dan pasal 1871 BW , akta otentik merupakan bukti sempurna bagi para pihak dan ahli warisnya serta mereka yang memperolaeh hak dari padanya, tentang apa yang termuat di dalamnya dan bahkan tentang yang terdapat dalam akta sebagai penuturan belaka, yang terakhir ini sepanjang yang dituturkan itu ada hubungannya langsung dengan pokok akta.

a. Kekuatan pembuktian lahir

Kekuatan pembuktian lahir dari akta otentik, berlakulah asas acta publica

probant sese ipsa, yaitu suatu akta yang lahirnya tampak sebagai suatu akta otentik serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, maka akta itu berlaku atau dapat dianggap sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya. Kekuatan pembuktian lahir ini berlaku bagi kepentingan siapa saja dan tidak hanya terbatas pada para pihak saja.Sedangkan kekuatan pembuktian lahir dari akta di bawah tangan dapat dicermati dari pasal 289 RBg / pasal 1876 BW, yang menentukan : Barang siapa yang dilawan dengan akta di bawah tangan, wajib secara tegas-tegas mengakui atau menyangkal tulisan atau tanda tangannya, tetapi ahli warisnya atau orang yang mendapat hak , cukup dengan menerangkan bahwa ia tidak mengakui tulisannya atau tanda tangan itu sebagai dari orang yang diwakilinya. Jadi, pihak terhadap siapa akta di bawah tangan itu dipakai mempunyai kewajiban untuk membenarkan dengan tegas atau menyangkal dengan tegas pula tanda tangannya. Khusus untuk ahli warisnya atau atau orang yang mendapat hak , cukuplah ia menyatakan tidak kenal dengan tanda tangan itu. Bila yang bersangkutan mengakui secara tegas kebenaran tanda tangan tersebut, maka akta dibawah tanga

(17)

tersebut mempunyai kekuatan sebagai bukti yang sempurna bagi yang bersangkutan. Terhadap pihak ketiga, akta dibawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas.

b. Kekuatan pembuktian formil.

Hal ini menyangkut mengenai kebenaran adanya pernyataan dalam akta tersebut. Kekuatan pembuktian formil didasarkan pada adanya kepastian fakta-fakta, peristiwa-peristiwa atau pernyataan-pernyataan yang tertuang dalam akta itu. Dalam akta otentik, telah dipastikan telah ada pernyataan yang tertuang dalam akta tersebut. Dalam akta dibawah tangan, masalahnya tergantung pada apakah tanda tangannya diakui atau tidak. Kalau diakui, maka kekuatan pembuktiannya sama dengan akta otentik . Artinya, pernyataan dalam akta tersebut adalah benar dan pasti.

c. Kekuatan pembuktian materiil.

Titik tolak pembuktian formil ini adalah : apakah benar isi pernyataan di dalamakta tersebut. Hal ini menyangkut kebenaran materi atau substansi yang tertuang dalam akta itu. Dalam akta otentik berupa ambtelijke acte kebenaran apa yang didengar , dilihat dan kemudian dituangkan dalam akta, secara hukum dipandang sudah pasti. Demikian juga telah pasti mengenai tempat dan tanggal akta itu dibuat. Dalam akte otentik berupa akte partai / partij acte, sudah ada kepastian dan kebenaran dalam akta itubagi para pihak dan mereka yang memperoleh hak dari padanya dan merupakan bukti sempurna.

Dengan adanya 3 (tiga) kemungkinan yang dapat terjadi setelah berhasilnya mediasi , maka ada 3 bentuk akta perdamaian yang terjadi, yang

(18)

mempunyai kekuatan hukum yang berbeda. Akta perdamaian yang tertuang sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Akta perdamaian ini mempunyai kekuatan mengikat, yaitu mengikat para pihak, ahli waris dan mereka yang mendapat hak dari padanya. Juga mempunyai kekuatan pembuktian, sebagimana halnya kekuatan pembuktian suatu akte otentik. Dan yang sangat penting adalah, kekuatan eksekutorial, sebagaimana suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dalam diktum putusan yang memuat akte perdamaian, para pihak dihukum untuk mentaati perdamaian. Bilamana pihak yang harus melakukan prestasi sesuai dengan akta perdamaian, ternyata tidak melaksanakannya, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi atas akta perdamaian tersebut kepada ketua pengadilan negeri setempat. Eksekusi atau pelaksanaan atas akta perdamaian itu dapat dilakukan dengan paksa dengan mengikuti tata cara eksekusi sebagaimana eksekusi terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Akta perdamaian dalam bentuk akta notariil, mempunyai kekuatan sebagaimana layaknya akta otentik, yaitu kekuatan mengikat dan kekuatan pembuktian. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian sempurna. Tetapi apabila akta itu tidak dilaksanakan , maka pihak yang dirugikan tidak dapat mengeksekusinya secara paksa. Bilamana ada perbedaan pendapat atau dispute di antara mereka mengenai akta atau pelaksanaan akta tersebut, pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri. Sengketa tersebut akan diperiksa dan diputus oleh pengadilan negeri sebagai suatu perkara perdata biasa, dengan prosedure berdasarkan hukum acara perdata.

(19)

Akta perdamaian dalam bentuk akta dibawah tangan mempunyai kekuatan seperti akta dibawah tangan biasa. Akta perdamaian ini tetap mempunyai kekuatan mengikat dan kekuatan pembuktian, namun nilalainya sebagai sebagaimana kekuatan akta di bawah tangan, yang dalam berbagai keadaan lebih lemah dari akta otentik. Apabila tanda tangan dalam akta itu disangkal, maka akta perdamaian itu mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas, dalam hal persengketaan itu di bawa kembali ke pengadilan dalam bentuk gugatan perdata. Sehingga, dalam tahap pembuktian di pengadilan diperlukan alat-alat bukti lain untuk membuktikan peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar gugatan penggugat.

(20)

V. SIMPULAN

1. Sebagai hasil mediasi para pihak diwajibkan menyusun secara tertulis kesepakatan perdamaian dalam akta perdamaian yang ditandatangani oleh para pihak. Akta perdamaian ini dituangkan dalam bentuk putusan pengadilan. Apabila para pihak tidak bersedia menuangkannya dalam bentuk putusan pengadilan, para pihak mencabut gugatannya, dan dapat menuangkan akta perdamaian itu dalam bentuk akta notariil sebagai akta otentik. Atau para pihak dapat tetap mempertahankannya sebagai akta di bawah tangan.

2. Akta perdamaian yang tertuang dalam bentuk putusan pengadilan, mempunyai kekuatan seperti putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yakni kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian dan kekuatan eksekutorial. Akta perdamaian yang tertuang dalam bentuk notariil, mempunyai kekuatan mengikat dan kekuatan pembuktian sebagai suatu akta otentik. Dan, akta perdamaian yang tertuang dalam bentuk akta di bawah tangan, mempunyai kekuatan mengikat dan kekuatan pembuktian sebagai suatu akta di bawah tangan.

Referensi

Dokumen terkait

terbakar waktu material yang sudah dipanaskan dimasukkan kedalam termos.Setelah proses oven dan suhu media pendingin telah sesuai, angkat spesimen dengan

Konstruksi interogatif polar dalam bahasa Jepang yang terwujud pada buku Minna No Nihongo Shokyuu I, Nameraka Nihongo Kaiwa, dan komik Oremonogatari Chapter 1 karangan

Bernadetta Diana Nugraheni, SE., M.Si., QIA selaku Dosen Wali serta segenap Dosen Fakultas Bisnis Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya yang telah memberikan ilmu pengetahuan

Bagi persepsi responden terhadap kemudahan sukan pula, didapati majoriti responden berpendapat bahawa kemudahan sukan untuk staf wanita di UTM adalah tidak mencukupi, kurang

Latar belakang skripsi yang berjudul ³ Partisipasi Masyarakat Pada Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2014 Di Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru ´ adalah mengetahui

Usaha-usaha memperkirakan kebutuhan investasi untuk mencapai sasaran laju pertumbuhan ekonomi tertentu dalam suatu perencanaan pembangunan dilakukan melalui konsep ineremental

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui spesies gulma pada pertanaman padi sawah yang berpotensi sebagai inang alternatif virus tungro RTBV dan/atau RTSV, menggunakan teknik

1.) Artikel yang akan diterbitkan dalam Jurnal diangkat dari tesis Program Magister atau disertasi Program Doktor, ataupun dari artikel ilmiah yang dibuat selama menjadi mahasiswa