• Tidak ada hasil yang ditemukan

KUALITAS HADIS-HADIS DALAM PENAFSIRAN SURAH AL-KAHFI (Studi Kritik Terhadap Hadis-Hadis Tafsîr al-marâghî)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KUALITAS HADIS-HADIS DALAM PENAFSIRAN SURAH AL-KAHFI (Studi Kritik Terhadap Hadis-Hadis Tafsîr al-marâghî)"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Kualitas Hadis-Hadis dalam Penafsiran Surah al-Kahfi (Jamilah) Page 55

KUALITAS HADIS-HADIS DALAM PENAFSIRAN

SURAH AL-KAHFI (Studi Kritik Terhadap Hadis-Hadis

Tafsîr al-Marâghî)

Jamilah

Fakultas Dakwah, UIN Sulthan Thaha Saifuddin, Jambi, Indonesia jamilah2020dra@gmail.com

Abstrak:

Selain dilatarbelakangi oleh beberapa faktor pentingnya penelitian hadis, antara lain terjadinya pemalsuan hadis sebagai sumber hukum islam kedua serta berkembangnya pemalsuan-pemalsuan hadis hingga saat ini, penelitian ini juga dilatarbelakangi oleh realitas yang memprihatinkan dan memerlukan perhatian, khususnya demi menjaga kualitas dan keaslian sebuah hadis, yaitu maraknya penggunaan hadis-hadis dalam kitab-kitab dan buku-buku di berbagai bidang keilmuan seperti kitab tafsir dan lain sebagainya, namun hanya mencantumkan penggalan-penggalan matan hadis saja, sehingga muncul keraguan terhadap kualitas dan keaslian hadis-hadis tersebut. Latar persoalan tersebut memicu penulis untuk ikut serta berperan memastikan kembali kualitas hadis-hadis Nabi dalam kitab-kitab tersebut, yang diharapkan dapat ikut serta menjaga keasliannya dan menghindarkannya dari bercampur dengan hadis-hadis palsu. Adapun kitab yang akan penulis teliti adalah kitab Tafsîr Marâghî karangan Ahmad Musthafâ al-Marâghî, karena didalamnya penulis temukan persoalan yang penulis ungkapkan di atas. Adapun metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hadis-hadis Nabi yang meliputi: Metode takhrîj al-hadîs, i’tibâr al-sanad,

al-jarh wa al-ta’dîl, dan metode penelitian matan. Hasilnya penulis menemukan

bahwa bahwa didalam kitab Tafsîr al-Marâghî khususnya dalam surah al-Kahfi, terdapat hadis-hadis dhaîf yang digunakan oleh Ahmad Musthafâ al-Marâghî sebagai pendukung dalam penafsirannya. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa al-Marâghî ternyata kurang selektif dalam memilih hadis-hadis yang menjadi pendukung penafsirannya.

Kata Kunci : Tafsîr al-Marâghî, Sûrah al-Kahfi, Takhrîj al-Hadîs, Kualitas Hadis. Abstract:

Besides being motivated by several important factors of hadith research, including the occurrence of falsification of hadith as a source of second Islamic law and the development of falsification of traditions to date, this research is also motivated by the reality of concern and need attention, especially to maintain the quality and authenticity of a hadith, namely the widespread use of traditions in books and books in various fields of science such as commentaries and so on, but only includes fragments of the traditions, so that doubts arise about the quality and authenticity of these traditions. The background of the problem triggers the writer to participate in the role of reassuring the quality of the Prophet's traditions in these books, which are expected to participate in maintaining its authenticity and prevent it from

(2)

Kualitas Hadis-Hadis dalam Penafsiran Surah al-Kahfi (Jamilah) Page 56

mixing with false traditions. The book that the writer will examine is the book of

Tafsîr al-Marâghî written by Ahmad Musthafâ al-Marâghî, because in it the writer

finds the problem that the writer revealed above. The method that I use in this research is the research methods of the Prophet's traditions which include: the method of takhrīj al-hadîs, i'tibâr al-sanad, al-jarh wa al-ta'dîl, and the method of research matan. The results of the authors find that that in the book of Tafsîr

al-Marâghî, especially in surah al-Kahf, there are dhaîf traditions that are used by

Ahmad Mustafa al-Marâghî as a support in its interpretation. Therefore, it can be concluded that al-Marâghî was less selective in choosing the traditions that support the interpretation.

Keywords: Tafsîr al-Marâghî, Sûrah al-Kahfi, Takhrīj al-Hadîs, Quality of Hadith

PENDAHULUAN

Dewasa ini banyak hadis-hadis yang tersebar melalui berbagai macam kitab-kitab maupun buku-buku, namun belum ditemukan kejelasan tentang status hadis-hadis tersebut, apakah hadis tersebut diterima sebagai hujah atau tidak. Sebuah hadis, baru bisa digunakan sebagai hujah apabila telah memenuhi syarat-syarat kesahihannya, baik ditinjau dari segi sanad maupun matannya. Adapun kriteria-kriteria hadis sahih ialah: sanad bersambung, seluruh periwayat dalam sanad bersifat ‘âdil, seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhâbith (kuat hapalan), sanad hadis itu terhindar dari syudzûdz (keganjilan), dan sanad hadis itu terhindar dari illat (penyakit).(Ismail, 1992, hlm. 130)

Pengertian hadis sahih yang disepakati oleh mayoritas ulama hadis di atas telah mencakup sanad dan matan hadis. Kriteria yang menyatakan bahwa rangkaian rawi dalam sanad harus bersambung dan seluruh periwayatnya harus ‘âdil dan dhâbith (kuat hapalan) adalah kriteria untuk kesahihan sanad, sedang keterhindaran dari syudzûdz (keganjilan) dan illat (penyakit), selain merupakan kriteria untuk kesahihan sanad, juga kriteria untuk kesahihan matan hadis. Karenanya, ulama hadis pada umumnya menyatakan bahwa hadis yang sanadnya sahih belum tentu matannya juga sahih. Demikian pula sebaliknya. Jadi, kesahihan hadis tidak hanya ditentukan oleh kesahihan sanad saja, melainkan juga ditentukan oleh kesahihan matannya.(Ismail, 1992, hlm. 130) Dengan demikian, hadis yang tidak memenuhi kriteria di atas bukanlah merupakan hadis sahih.

Dalam kaitannya dengan penentuan dan penjagaan kualitas sebuah hadis, banyak kitab-kitab yang memuat hadis-hadis Nabi Muhammad saw. belum ada kejelasan tentang status hadis-hadis tersebut, apakah bisa digunakan sebagai hujah atau tidak. Tidak jarang dalam sebuah kitab ditemukan hadis-hadis yang tidak disebutkan statusnya, bahkan hanya dicantumkan penggalan-penggalan matan hadis yang sama sekali tidak

(3)

Kualitas Hadis-Hadis dalam Penafsiran Surah al-Kahfi (Jamilah) Page 57

diketahui, apakah hadis tersebut maqbûl (diterima) atau mardûd (ditolak), hingga memunculkan kerancuan serta keraguan terhadap kehujahan hadis itu, sedang hadis-hadis itu digunakan sebagai pendukung terhadap pendapat-pendapat pengarang kitab tersebut.

Masalah ini bukan hanya terjadi dalam kitab-kitab atau buku-buku yang membahas berbagai macam disiplin ilmu seperti fiqh, tashawuf, dan sebagainya. Namun masalah serupa juga dapat ditemukan dalam kitab-kitab tafsir al-Qur’ân yang masyhur, padahal kitab tafsir adalah kitab yang menjelaskan maksud dari ayat-ayat Allâh, yang menjadi rujukan atau sumber hukum utama bagi ummat Islam seluruh dunia. Bagaimana jadinya jika kitab tafsir yang menjelaskan tentang maksud dari ayat-ayat al-Qur’ân memiliki hadis-hadis pendukung yang tidak jelas asalnya?, padahal hadis-hadis yang menjadi dalil tersebut sangat terkait dengan kebenaran pemahaman ayat-ayat al-Qur’ân.

Salah satu kitab tafsir yang disinyalir memiliki masalah seperti yang telah dijelaskan di atas adalah kitab Tafsîr al-Marâghî karya Imam Musthafâ al-Marâghî yang terdiri dari 30 juz. Ia banyak menggunakan hadis-hadis Nabi untuk memperkuat penafsirannya terhadap suatu ayat, namun banyak dari hadis yang ia gunakan dalam kitabnya mempunyai status yang tidak jelas sehingga kehujahan tentang hadis itu masih diragukan. Terlebih lagi kitab tafsir karyanya ini termasuk dari kitab-kitab tafsir yang masyhur baik dikalangan awam maupun akademisi.

Sangat dikhawatirkan jika hadis-hadis yang ada dalam tafsir ini ternyata bukan hadis yang dapat dijadikan sebagai hujah karena tidak diketahui status kehujahannya dan asal muasalnya. Hal ini akan berdampak pada kemungkinan kesalahan pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’ân. Demi menjaga benarnya pemahaman terhadap ayat-ayat Allâh dan menghilangkan keraguan terhadap hadis-hadis Nabi yang ada dalam kitab tafsir tersebut, penelitian terhadap hadis-hadis serupa yang terdapat dalam kitab tafsir tersebut untuk menentukan kehujahannya sangatlah diperlukan PEMBAHASAN

Hadis Tentang Hukum Sebab Akibat

Dalam Tafsîr al-Marâghî, (Al-Maraghy, 1946, vol. XV hlm. 132) Mufassir mengambil matan hadis tertulis sebagai berikut:

ْ ّكََوَتَو اَهْلِقْعِا

Dalam melakukan penelusuran hadis ini, penulis melakukan pencarian dengan menggunakan semua kata dalam matan hadis tersebut,

(4)

Kualitas Hadis-Hadis dalam Penafsiran Surah al-Kahfi (Jamilah) Page 58

yaitu: ( اهلقعا ) dan (لكوت). Matan hadis di atas berhasil penulis temukan dengan menggunakan dua kata tersebut dalam kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh al-Hadîs al-Nabawî, juz IV, halaman 300(Wensinck, 1926, vol. IV, hlm. 300) dan juz VII, halaman 305(Wensinck, 1926, vol. IV, hlm. 305) dengan redaksi yang sama.

Dari informasi di atas dapat diketahui bahwa hadis tersebut terdapat didalam kitab hadis Sunan al-Tirmidzi bab Qiyâmah halaman 60, Hadis No: 2517 dan hanya memiliki satu jalur. Oleh karena itu, penelitian sanad hadis hanya terfokus pada riwayat yang ada di dalam kitab Sunan al-Tirmidzi di samping mengikuti keterangan di dalam kitab Tafsîr al-Marâghî. Adapun teks hadisnya secara lengkap adalah:

ٍّديِع َس ُنْب َيَْ َيَ اَنَثّدَح : َلاَق ، ٍّي ِلَع ُنْب وُرْ َعَ اَنَثّدَح

ِبَِأ ُنْب ُةَيرِغُمْلا اَنَثّدَح : َلاَق ، ُناّطَقلا

اَهُلِقْعَأ ِالله َلو ُسَر َيَ : ٌلُجَر َلاَق : ُلوُقَي ، ٍّ ِلِاَم َنْب َسَنَأ ُتْعِ َسَ : َلاَق ، ُّ ِسِوُد ّسلا َةّرُق

ر( ْ ّكََوَتَو اَهْلِقْعا : َلاَق ؟ ُ ّكََوَتَأَو اَهُقِل ْطُأ ْوَأ ، ُ ّكََوَتَأَو

)يذمترلا هاو

Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin ‘Ali telah bercerita kepada kami Yahya bin Sa’îd al-Qaththân telah bercerita kepada kami al-Mughîrah bin Abû Qurrah al-Sadusi berkata: Aku mendengar Anas bin Mâlik berkata; Ada seorang lelaki yang bertanya: Wahai Rasulullah apakah aku harus mengikat untaku kemudian bertawakkal atau aku melepaskannya saja kemudian bertawakkal? beliau menjawab: Ikatlah untamu kemudian bertawakkallah. (H.R. al-Tirmidzi) (al-Tirmidzî, t.t., hlm. 567)

Sebelum penelitian lebih lanjut, penulis membuat skema sanad sebagai berikut:

(5)

Kualitas Hadis-Hadis dalam Penafsiran Surah al-Kahfi (Jamilah) Page 59

Selanjutnya penulis meneliti kualitas para perawi dalam hadis ini sebagai berikut:

1. al-Tirmidzi

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin ‘Îsa bin Saurah bin Mûsa bin al-Dhahhâk. Orang-orang menyebutnya dengan nama Muhammad bin ‘Îsa bin Yazîd bin Saurah bin al-Sakan al-Sulami, Abû ‘Îsa al-Tirmidzi al-Dharir al-Hafîzh.(al-Mizzi, 1983, vol. XXVI, hlm. 250) Ia dilahirkan pada tahun 210 H.(al-Dzahabî, 1981, vol. XIII, hlm. 271) Dan wafat pada malam senin tanggal 13 Rajab tahun 279 H.(al-Mizzi, 1983, vol. XXVI, hlm. 252) Ia mempunyai hubungan guru dan murid dengan 'Amru bin 'Ali al-Fallâs. Para ulama hadis juga menilainya dengan nilai positif seperti Tsiqah Mujma’ ‘Alâih oleh al-Dzahabî, Tsiqah Muttafaqun ‘Alâih oleh Imâm al-Kholîlî dan lain sebagainya, (al-Dzahabî, 1981, vol. XIII, hlm. 271–273) beliau juga menerima hadis dengan salah satu Shîghah dari metode Simâ‘(mendengar)(Sulaiman, 2009, hlm. 138) yaitu (انثدح). oleh karena itu, periwayatannya dapat diterima.

2. ‘Amru bin ‘Ali

Nama lengkapnya adalah ‘Amru bin ‘Ali bin Bahar bin Kunaiz Bâhili, sedangkan kunyahnya adalah Abû Hafash Bashri Shairafi al-Fallâs al-Hâfizh.(al-Mizzi, 1983, vol. XXII, hlm. 162) Ia dilahirkan pada tahun 160 H.(al-Dzahabî, 1981, vol. XI, hlm. 470) dan wafat pada akhir bulan Dzulqo‘dah tahun 249 di ‘Askar.(al-Mizzi, 1983, vol. XXII, hlm. 165) Ia mempunyai hubungan guru dan murid dengan Yahya bin Sa’îd al-Qaththân Para ulama hadis juga menilainya dengan nilai positif seperti Tsiqah Hafizh oleh al-Nasâ’i, Huffâzh dan Imâm Mutqin oleh Dâruqutni, Ibnu Hibbân menyebutnya dalam al-Tsiqât dan lain sebagainya,(al-Mizzi, 1983, vol. XXII, hlm. 164–165) beliau juga menerima hadis dengan salah satu Shîghah dari metode Simâ‘ ( yaitu (انثدح). oleh karena itu, periwayatannya dapat diterima.

3. Yahya bin Sa’îd al-Qaththân

Nama lengkapnya adalah Yahya bin Sa’îd bin Farrûkh al-Qaththân al-Tamimi, Kunyahnya adalah Abû Sa’îd al-Bashri al-Ahwal al-Hafîzh, ia disebut juga dengan Maula Bani Tamim.(al-Mizzi, 1983, vol. XXXI, hlm. 329–330) Ia dilahirkan pada awal tahun 120 H.(al-Dzahabî, 1981, vol. IX, hlm. 176) Ia mempunyai hubungan guru dan murid dengan Mughîrah bin Abî Qurrah al-Sadusi. Para ulama hadis juga menilainya dengan nilai positif seperti Tsiqah Hafizh oleh Abû Hâtim, Tsiqah Huffâzh oleh Abû Zur’ah, Tsiqah Ma’mûn oleh Ibnu Sa’ad dan lain sebagainya,(al-‘Asqalâni, 1982, vol. III, hlm. 358–359) beliau juga

(6)

Kualitas Hadis-Hadis dalam Penafsiran Surah al-Kahfi (Jamilah) Page 60

menerima hadis dengan salah satu Shîghah dari metode Simâ‘ yaitu (انثدح). oleh karena itu, periwayatannya juga dapat diterima.

4. Mughîrah bin Abî Qurrah al-Sadusi

Nama lengkapnya adalah Mughîrah bin Abî Qurrah Sadusi al-Bashri, al-Nasâ’i mengatakan bahwa nama sebenarnya dari Abî Qurrah adalah ‘Ubaid bin Qais.(al-Mizzi, 1983, vol. XXVIII, hlm. 394) Ia mempunyai hubungan guru dan murid dengan Anas bin Mâlik.(Abû Hâtim, 1952, vol. VIII, hlm. 228) Para ulama berbeda pendapat dalam mengkritiknya, terjadi pertentangan dalam Jarh dan Ta’dîl-nya,(al-‘Asqalâni, 1935, hlm. 966; al-Dzahabî, t.t., vol. II, hlm. 319, 1995, vol. VI, hlm. 495; Hibban, 1975, vol. V, hlm. 409) Ibnu Hibbân menyebutkannya dalam kitab al-Tsiqât, namun Yahya bin Sa’îd mengatakan bahwa ia Munkar al-Hâdis dan tidak diketahui keadaaannya. Abû Dâwud juga mengatakan bahwa hadisnya dikomentari, sedangkan Ibnu Hajar berpendapat bahwa ia Mastûr (orang yang lahirnya tampak ‘adil, namun tidak diketahui hakikat sebenarnya).(Abdurrahman & Sumarna, 2011, hlm. 189) Pada dasarnya al-jarh dari ulama mutasyaddid (berlebih-lebihan dan menyusahkan dalam jarh)(Mahdi, 2004, vol. I, hlm. 35)belum bisa diterima jika tidak bersesuaian dengan al-jarh dari ulama lain yang moderat.(Ali Fayyad, 1998, hlm. 88) Namun dalam hal ini, pendapat dari Yahya bin Sa’îd al-Qaththân yang termasuk dari golongan ulama mutasyaddid bersesuaian dengan pendapat dari ulama moderat seperti Abû Dâwud, walaupun tidak dengan lafal yang sama, ditambah lagi dengan pendapat Ibnu Hajar yang termasuk golongan Mu’tadîl/Mutawassith (orang-orang yang mempunyai sifat penyelidikan yang luas serta orang yang sangat wara’)(Mahdi, 2004, vol. I, hlm. 62– 63) men-jarh-nya dengan kata-kata mastûr, Lagi pula Yahya menjelaskan kritiknya dengan mengatakan bahwa keadaannya (Mughîrah) tidak diketahui. Selain itu, dari keterangan di atas, dapat diketahui bahwa hadis yang dikatakan munkar oleh Yahya adalah hadis tentang hukum sebab akibat ini. Oleh karena itu, penulis lebih mendahulukan al-jarh dari pada al-ta’dîl dan mendahulukan pendapat Yahya yang mengatakan bahwa ia (Mughîrah) dianggap Munkar al-Hadîs. Walaupun dalam lambang periwayatannya, ia menerima hadis dengan menggunakan salah satu tsîghat dari metode simâ‘ (تعمس), namun karena rawi (Mughîrah) yang menyatakan lambang itu tidak Tsiqah karena di anggap Munkar al-Hadis, maka informasi yang dikemukakannya itu tetap tidak dapat dipercaya. Hal ini membuat periwayatan dari Mughîrah bin Abî Qurrah al-Sadusi tidak dapat diterima dan informasi yang dikemukakannya tidak dapat dipercaya.

(7)

Kualitas Hadis-Hadis dalam Penafsiran Surah al-Kahfi (Jamilah) Page 61

5. Anas bin Mâlik

Nama lengkapnya adalah Anas bin Mâlik bin al-Nadhar bin Dhamdham bin Zaid bin Haram bin Jundab bin Amîr bin Ganam bin ‘Adi bin Najjar Anshâri Najjari, kunyahnya adalah Abû Hamzah al-Madani, sahabat dan pelayan Rasûlullâh saw. Ia tergolong sahabat dan ia mempunyai hubungan guru dan murid dengan Nabi Muhammad saw. (al-‘Asqalâni, 1982, vol. I, hlm. 190–191) Dalam hal ini penulis tidak menyebutkan al-jarh wa al-ta’dîl dari Anas bin Mâlik. Beliau bertemu langsung dengan Rasulullah dan beliau termasuk dari golongan sahabat yang menurut hemat penulis, para sahabat itu semuanya dihukumi ‘âdil.(Khatîb al-Baghdâdî, 2010, hlm. 46) oleh karena itu periwayatannya tidak diragukan lagi.

Dari penjelasan di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa sanad hadis riwayat al-Tirmidzi ini ditinjau dari sisi kualitasnya adalah dhaîf. Jika ditinjau dari sisi sebab-sebab ke-dhâif- annya, sanad hadis ini mempunyai cacat dalam ke-dhâbit-an salah seorang rawinya yaitu Mughîrah bin Abî Qurrah al-Sadusi yang dianggap Munkar al-Hadîs, oleh karena itu status hadis ini adalah Hadis Munkar.

Hadis Tentang Anjuran Bersabar Bersama Orang-Orang Fakir

Dalam Tafsîr al-Marâghî, (Al-Maraghy, 1946, vol. XV, hlm. 143) Mufassir mengambil matan hadis tertulis sebagai berikut:

ْمُهَعَم ِسِْفَن َ ِبِ ْصَأ ْنَأ ُتْرِمُأ ْنَم ِتِّمُأ ْنِم َلَعَج يِ ّلَّا ِلله ُدْمَحْلَا

Dalam melakukan penelusuran hadis ini, penulis melakukan pencarian dengan menggunakan kata )لعج(, ( (رما dan (برص), dan matan hadis di atas penulis temukan dalam kitab Mu’jam Mufahras li Alfâzh Hadîs al-Nabawî, juz III, halaman 240 dengan menggunakan kata (برص).(Wensinck, 1926, vol. III, hlm. 240)

Dari informasi ini dapat diketahui bahwa riwayat tersebut terdapat di dalam kitab hadis Sunan Abû Dâwud bab Ilmu no 13 dan hanya memiliki satu jalur. Oleh karena itu, penelitian sanad hadis hanya terfokus pada riwayat yang ada di dalam kitab Sunan Abû Dâwud di samping mengikuti keterangan di dalam kitab Tafsîr al-Marâghî. Adapun teks hadisnya secara lengkap dapat ditemukan pada Sunan Abû Dâwud Bab Ilmu, No 13 yaitu:

(8)

Kualitas Hadis-Hadis dalam Penafsiran Surah al-Kahfi (Jamilah) Page 62

ّلََّعُمْلا ْنَع َناَمْيَل ُس ُنْب ُرَفْعَج اَنَثّدَح ٌدّد َسُم اَنَثّدَح

ِي ِن َزُمْلا ٍّير ِشَب ِنْب ِء َلََعْلا ْنَع ٍّد َيَِز ِنْب

َلاَق ِييِر ْدُخْلا ٍّديِع َس ِبَِأ ْنَع ِي ِجاّنلا ِقيِيد ِيصلا ِبَِأ ْنَع

ِءاَفَع ُض ْنِم ٍّةَبا َصِع ِفِ ُت ْسَلَج

ُأَرْقَي ٌئِراَقَو ِيْرُعْلا ْنِم ٍّضْعَبِب ُ ِترَت ْ سَيَل ْمُه َضْعَب ّن

ِ

اَو َنيِرِجاَهُمْلا

ِ ّللَّا ُلو ُسَر َءاَج ْذ

ا اَنْيَلَع

ِ

ا َتَك َس َّلَّ َسَو ِهْيَلَع ُ ّللَّا ّلَّ َص ِ ّللَّا ُلو ُسَر َماَق اّمَلَف اَنْيَلَع َماَقَف َّلَّ َسَو ِهْيَلَع ُ ّللَّا ّلَّ َص

ُئِراَقْل

ُهّن

ِ

ا ِ ّللَّا َلو ُسَر َيَ اَنْلُق َنوُعَن ْصَت ْ ُتُْنُك اَم َلاَق ّ ُثُ َّلَّ َسَف

ُعِمَت ْ سَن اّنُكَف اَنْيَلَع ُأَرْقَي اَنَل ٌئِراَق َن َكَ

ُأ ْنِم َلَعَج يِ ّلَّا ِ ّ ِللَّ ُدْمَحْلا َّلَّ َسَو ِهْيَلَع ُ ّللَّا ّلَّ َص ِ ّللَّا ُلو ُسَر َلاَقَف َلاَق ِ ّللَّا ِباَتِك َلَ

ا

ِ

ِتِّم

ُسَر َسَلَجَف َلاَق ْمُهَعَم ِسِْفَن َ ِبِ ْصَأ ْنَأ ُتْرِمُأ ْنَم

اَن َط ْسَو َّلَّ َسَو ِهْيَلَع ُ ّللَّا ّلَّ َص ِ ّللَّا ُلو

ُسَر ُتْيَأَر اَمَف َلاَق ُ َلَ ْمُهُهوُجُو ْتَزَرَبَو اوُقّلَحَتَف اَذَكَه ِهِدَيِب َلاَق ّ ُثُ اَنيِف ِه ِسْفَنِب َلِدْعَيِل

َلو

ِْيرَغ اًدَحَأ ْمُ ْنِْم َفَرَع َّلَّ َسَو ِهْيَلَع ُ ّللَّا ّلَّ َص ِ ّللَّا

َّلَّ َسَو ِهْيَلَع ُ ّللَّا ّلَّ َص ِ ّللَّا ُلو ُسَر َلاَقَف ي

ْغَأ َلْبَق َةّنَجْلا َنوُلُخ ْدَت ِةَماَيِقْلا َمْوَي ِيماّتلا ِروُّنل ِبِ َنيِرِجاَهُمْلا ِكيِلاَع َص َ َشِْعَم َيَ اوُ ِشِْبَأ

ِءاَيِن

هاور( ٍّةَن َ س ِةَئاِم ُسْ َخَ َكاَذَو ٍّمْوَي ِف ْصِنِب ِساّنلا

)دواد وبا

Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Ja'far bin Sulaimân dari al-Mu'allim bin Ziyâd dari al-'Ala bin Basyîr al-Muznî dari Abû al-Shiddiq al-Nahi dari Abû Sa’îd al-Khudrî ia berkata, "Aku duduk di antara beberapa orang lemah dari kalangan orang-orang muhajirin, dan sebagian mereka menutupi sebagian aurat sementara sebagian yang lain membacakan al-Qur'an kepada kami, tiba-tiba Rasûlullâh saw. datang dan berdiri di sisi kami. Tatkala Rasûlullâh saw. berdiri orang-orang yang membaca al-Qur'an diam. Lalu beliau mengucapkan salam dan bertanya: "Apakah yang kalian lakukan?" Kami menjawab, "Wahai Rasulullah, dia adalah orang yang pandai membaca al-Qur'an di antara kami, ia membacakan kepada kami dan yang mendengarnya." Abû Sa’îd berkata, "Rasûlullâh saw. lalu bersabda: "Segala puji bagi Allâh yang telah menjadikan di antara umatku, seseorang yang aku diperintahkan untuk bersabar bersama mereka." Abû Sa’îd berkata, "Kemudian Rasûlullâh saw. duduk di tengah-tengah kami agar bisa bersama kami." Kemudian bersabda dengan isyarat tangannya seperti ini -mereka lalu melingkar dan wajah-wajah mereka nampak bagi beliau-." Abû Sa’îd berkata, "Aku tidak melihat Rasûlullâh saw. mengetahui seorangpun di antara mereka selain diriku. Kemudian beliau bersabda: "Bergembiralah kalian wahai orang-orang fakir muhajirin dengan mendapatkan cahaya sempurna pada Hari Kiamat, kalian akan masuk Surga setengah hari sebelum orang-orang kaya, dan setengah hari itu adalah lima ratus ribu tahun." (H.R. Abû Dâwud)(Abu Daud, 2003, hlm. 659)

(9)

Kualitas Hadis-Hadis dalam Penafsiran Surah al-Kahfi (Jamilah) Page 63

Sebelum penelitian lebih lanjut, penulis membuat skema sanad sebagai berikut:

Selanjutnya penulis meneliti kualitas para perawi dalam hadis ini sebagai berikut:

1. Abû Dâwud

Nama lengkapnya adalah Sulaimân bin al-Asy‘ats bin Syaddad bin ‘Amr bin Amîr, Abû Husain bin Jumai‘ Shaidawi dari Abd ‘Azîz al-Hâsyimi berkata: Sulaimân bin al-Asy‘ats bin Bisyr bin Syaddad, Abû Bakar bin Dasah dan Abû ‘Ubaid Ajuri berkata: Sulaimân bin al-Asy‘ats bin Ishaq bin Basyîr bin Syaddad, Abû Bakar al-Khatib dalam Tarîkh-nya menambahkan Ibnu ‘Amr bin ‘Imron Azdi Abû Dâwud al-Sijistani al-Hafîzh. Ia dilahirkan pada tahun 202 H. dan wafat pada tanggal 14 Syawal tahun 275.(al-Mizzi, 1983, vol. XI, hlm. 355–356) Ia mempunyai hubungan guru dan murid dengan Musaddad bin Musarhad.(al-Dzahabî, 1981, vol. XIII, hlm. 205) Para ulama hadis juga menilainya dengan nilai positif seperti Imâm Ahli Hadis oleh al-Hâkim Abû Abdillâh, Huffâzh Islâm oleh Ahmad bin Muhammad bin Yasin al-Harawi(al-Mizzi, 1983, vol. XI, hlm. 364–366), Tsiqah oleh Abû Hâtim(Abû Hâtim, 1952, vol. IV, hlm. 102) dan lain sebagainya, beliau

(10)

Kualitas Hadis-Hadis dalam Penafsiran Surah al-Kahfi (Jamilah) Page 64

juga menerima hadis dengan salah satu Shîghah dari metode Simâ‘ yaitu (انثدح). oleh karena itu, periwayatannya dapat diterima.

2. Musaddad bin Musarhad

Nama lengkapnya adalah Musaddad bin Musarhad bin Musarbal al-Bashri al-Asadi. Kunyahnya adalah Abû al-Hasan al-Hafîzh. Ia wafat pada tanggal tahun 228 H. Ia mempunyai hubungan guru dan murid dengan Ja’far bin Sulaimân.(al-‘Asqalâni, 1982, vol. IV, hlm. 57–58) Para ulama hadis juga menilainya dengan nilai positif seperti Tsiqah Tsiqah oleh Yahya bin Ma’în, Tsiqah oleh al-Nasâ’I dan al-‘Ijli, Shadûq oleh Ahmad bin Hanbal dan lain sebagainya,(Abû Hâtim, 1952, vol. VIII, hlm. 439) beliau juga menerima hadis dengan salah satu Shîghah dari metode Simâ‘ yaitu (انثدح). oleh karena itu, periwayatannya dapat diterima.

3. Ja’far bin Sulaimân

Nama lengkapnya adalah Ja’far bin Sulaimân al-Dhubâ’i. Kunyahnya adalah Abû Sulaimân Bashri. Ia adalah Maulâ Bani al-Hârisy, namun ia tinggal di Bani Dhubay’ah, oleh karenanya ia dinisbahkan kepada Bani Dhubay’ah.Ia wafat pada bulan rajab tahun 178 H. Ia mempunyai hubungan guru dan murid dengan Mu’alla bin Ziyâd. Para ulama berbeda pendapat dalam mengkritiknya, terjadi pertentangan dalam Jarh dan Ta’dîl-nya.(al-‘Asqalâni, 1982, vol. I, hlm. 307–308; al-Mizzi, 1983, vol. V, hlm. 44–49) Sebagian ulama menganggapnya Tsiqah seperti Yahya bin Ma’în, Ibnu Sa’ad, Ibnu Hibbân serta yang lainnya, namun sebagian lagi menganggapnya lemah seperti Ibnu ‘Ammâr, Yahya al-Qaththân, Abd al-Rahmân bin Mahdi serta yang lainnya. Apabila terjadi pertentangan antar jarh dan al-ta’dîl, maka yang dipilih adalah al-ta’dîl-nya kecuali jika al-jarh dijelaskan sebabnya. Dalam hal ini, al-jarh tidak dijelaskan sebabnya, diduga bahwa para rawi melemahkan Ja’far karena bid’ah yang ia lakukan yaitu bermadzhab Syî’ah, namun Ibnu Hibbân menjelaskan, walaupun seorang rawi itu bermadzhab Syî’ah, jika ia tidak mengajak orang lain untuk ikut kedalam madzhabnya, maka ia masih bisa dikatakan Shadûq Mutqin.(al-‘Asqalâni, 1982, vol. V, hlm. 308) Sekelompok ulama berpendapat bahwa riwayat ahli bid’ah dapat diterima apabila ia tidak menyeru pada bid’ahnya.(Itr, 2012, hlm. 75) Lagi pula salah seorang kritikus yang men-ta’dil-kannya adalah Yahya bin Ma’în, ia termasuk ulama dari golongan mutasyaddid dan ta’dilnya tidak diragukan lagi.(Ali Fayyad, 1998, hlm. 88) Adapun lambang periwayatannya adalah dengan ‘an’anah ( عن ). Walaupun begitu, sanadnya tetap dianggap bersambung karena ia tidak melakukan tadlîs

(11)

Kualitas Hadis-Hadis dalam Penafsiran Surah al-Kahfi (Jamilah) Page 65

(Menyembunyikan cacat dalam isnad dan menampakkan cara (periwayatan) yang baik),(Khon, 2013, hlm. 178) terjadi pertemuan antara ia dan gurunya, kemudian ia adalah orang yang Tsiqah. Dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa periwayatan dari Ja’far bin Sulaimân tetap dapat diterima dan dipercaya.

4. Mu’alla bin Ziyâd

Nama lengkapnya adalah Mu’alla bin Ziyâd al-Qurdusi. Kunyahnya adalah Abû al-Hasan al-Bashri. Ia mempunyai hubungan guru dan murid dengan al-‘Alâ’ bin Basyîr al-Muznî. Para ulama hadis juga menilainya dengan nilai positif seperti: Tsiqah oleh Abû Hâtim, Ibnu Hibbân, Abû Bakar al-Bazzâr dan lain sebagainya.(al-Mizzi, 1983, vol. XXVIII, hlm. 287–288) Ahmad bin Sa’îd bin Abî Maryam pernah bertanya kepada Ibnu Ma’în tentang Mu’alla bin Ziyâd, lalu ia menjawab bahwa hadisnya tidak ditulis, namun Ibnu ‘Adi membantah pernyataan itu dengan perkataan: “ia termasuk golongan orang-orang zuhud Ahli Bashrah, dan aku tidak melihat pada riwayatnya ba’san, aku tidak tau dari mana pendapat Ibnu Ma’în yang mengatakan bahwa hadisnya tidak ditulis.” Oleh karenanya al-jarh dari Ibnu Ma’în tidak dapat diterima. Di samping itu, Yahya bin Ma’în juga termasuk golongan mutasyaddid yang jarh nya belum bisa diterima jika tidak bersesuaian dengan golongan yang moderat.(Ali Fayyad, 1998, hlm. 88) Lagi pula disisi lain Yahya bin Ma’în juga men-tsiqah-kannya. Adapun lambang periwayatannya adalah dengan ‘an’anah (نع). Walaupun begitu, sanadnya tetap dianggap bersambung karena ia tidak melakukan tadlîs, terjadi pertemuan antara ia dan gurunya, kemudian ia adalah orang yang Tsiqah. Dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa periwayatan dari Mu‘alla bin Ziyâd tetap dapat diterima dan dipercaya. 5. al-’Alâ’ bin Basyîr al-Muznî

Namanya adalah ‘Alâ’ bin Basyîr al-Muznî al-Bashri. Ia mempunyai hubungan guru dan murid dengan Abî Shadîq al-Nâji. Dalam al-jarh wa ta’dîl, Terjadi pertentangan antara Ibnu Hibbân, Ali Madîni dan al-Mizzî dalam mengemukakan pendapat tentang ‘Alâ’ bin Basyîr.(al-‘Asqalâni, 1982, vol. III, hlm. 339) Ibnu Hibbân menyebutkannya dalam al-Tsiqât, al-Mizzî berpendapat bahwa hadisnya mempunyai kedudukan yang tinggi di sisinya, sedangkan Alî al-Madîni mengatakan bahwa ‘Alâ’ itu Majhûl (orang yang tidak dikenal identitasnya).(al-Qâsimî, 1979, hlm. 195) Kata-kata Majhûl menunjuk kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hapalannya, dan berada pada tingkatan kelima dalam tingkatan al-jarh. Adapun rawi-rawi yang di-tajrîh-kan pada tingkatan kelima ini hadisnya masih bisa dipakai sebagai ‘i’tibâr.

(12)

Kualitas Hadis-Hadis dalam Penafsiran Surah al-Kahfi (Jamilah) Page 66

(Solahuddin & Suyadi, 2008, hlm. 167–168) Maksud dari Majhûl disini adalah Majhûl al-‘Ayn, karena dalam hal ini nama dari rawinya disebutkan, namun hadisnya hanya diriwayatkan oleh seorang rawi saja yaitu Mu’alla bin Ziyâd.(Idri, 2010, hlm. 237) Rawi yang tidak diketahui identitasnya merupakan pantangan untuk diterima hadisnya, karena orang yang tidak dikenal namanya ataupun silsilahnya tentu sulit dinilai apakah ia seorang yang dipercaya atau tidak. Namun, apabila di kemudian hari ada orang yang mengenal identitasnya, maka penetapan terhadap rawi seperti ini harus didahulukan dari pada orang yang mengingkarinya. Hal ini, harus dilakukan karena orang tadi pasti lebih tau dibandingkan orang yang tidak tahu menahu tentang dia.(Abdurrahman & Sumarna, 2011, hlm. 93–94) Alî al-Madînî (w. 234 H) adalah kritikus yang hidup lebih dahulu dari pada Ibnu Hibbân (w. 354 H) dan al-Mizzî (w. 746 H), artinya Ibnu Hibbân dan al-Mizzî adalah tokoh kritikus yang datang kemudian. Dalam hal ini, pendapat Ibnu Hibbân dan al-Mizzî lebih didahulukan karena mereka dianggap lebih tau tentang al-’Alâ’ bin Basyîr al-Muznî dibandingkan Alî al-Madînî. Oleh karena itu dapat diketahui bahwa ‘Alâ’ bin Basyîr terlepas dari anggapan Majhûl dan dianggap Tsiqah karena berpegang dengan pendapat Ibnu Hibbân dan al-Mizzî. Adapun lambang periwayatannya adalah dengan ‘an’anah (نع). Walaupun begitu, sanadnya tetap dianggap bersambung karena ia tidak melakukan tadlîs, terjadi pertemuan antara ia dan gurunya, kemudian ia adalah orang yang Tsiqah. Dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa periwayatan dari al-’Alâ’ bin Basyîr al-Muznî tetap dapat diterima dan dipercaya.

6. Abî Shadîq al-Nâji

Namanya adalah Bakr bin ‘Amr bin Qois Abû Shadîq Nâji al-Bashri,ia wafat tahun 108 H. Ia mempunyai hubungan guru dan murid dengan Abû Sa’îd al-Khudrî.(Abû Hâtim, 1952, vol. II, hlm. 390) Para ulama hadis juga menilainya dengan nilai positif seperti, Tsiqah, dan lain sebagainya.(al-‘Asqalâni, 1982, vol. I, hlm. 245) Adapun lambang periwayatannya adalah dengan ‘an’anah (نع). Walaupun begitu, sanadnya tetap dianggap bersambung karena ia tidak melakukan tadlîs, terjadi pertemuan antara ia dan gurunya, kemudian ia adalah orang yang Tsiqah. Dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa periwayatan dari Abû Shadîq al-Nâji tetap dapat diterima dan dipercaya.

(13)

Kualitas Hadis-Hadis dalam Penafsiran Surah al-Kahfi (Jamilah) Page 67

7. Abû Sa’îd al-Khudrî

Namanya adalah Sa’ad bin Mâlik bin Sinan bin Tsa’labah bin ‘Ubaid bin al-Abjar bin ‘Auf bin al-Harits bin al-Khozraj al-Anshâri. Kunyahnya adalah Abû Sa’îd al-Khudrî. Ia wafat di Madinah pada tahun 74 H. Ia tergolong sahabat dan Ia mempunyai hubungan guru dan murid dengan Nabi Muhammad SAW.(al-Mizzi, 1983, vol. X, hlm. 295– 300) Dalam hal ini penulis tidak menyebutkan al-jarh wa al-ta’dîl dari Abû Sa‘îd al-Khudrî. Beliau adalah termasuk dari golongan sahabat yang menurut hemat penulis, para sahabat itu semuanya dihukumi ‘âdil.(Khatîb al-Baghdâdî, 2010, hlm. 46) oleh karena itu periwayatannya tidak diragukan lagi.

Seluruh rawi dalam sanad hadis riwayat Abû Dâwud melalui Musaddad bin Musarhad sampai Abû Sa’îd al-Khudrî dalam keadaan bersambung antara guru dan muridnya. Komentar-komentar para kritikus hadis pun menyatakan hampir semua rawi bersifat ‘âdil dan dhâbith. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa sanad hadis riwayat Abû Dâwud melalui Musaddad bin Musarhad sampai Abû Sa’îd al-Khudrî ini berkualitas shahîh li dzâtih (Hadis yang memenuhi kriteria-kriteria hadis sahih yang lima ) dan bisa digunakan sebagai hujah.

Hadis Tentang Ciri-ciri Setan dan Malaikat Serta Anjuran Untuk Berlindung Dari Godaan Setan dan Mengikuti Malaikat

Dalam Tafsîr al-Marâghî,(Al-Maraghy, 1946, vol. XV, hlm. 161) Mufassir mengambil matan hadis tertulis sebagai berikut:

ٌبيِذْكَتَو ِي ّشِل ِبِ ٌداَعي

اَف ِنا َطْي ّ شلا ُةّمَل اّمَأَف ًةّمَل ِ َلََمْلِلَو َمَد أ ِنْب ِبِ ًةّمَل ِنا َطْي ّ شلِل ّن

ِ

ا

ِ

ِيقَلح ِبِ

ٌقيِد ْصَتَو ِ ْيرَلخ ِبِ ٌداَعي

اَف ِ َلََمْلا ُةّمَل اّمَأَو ،

ِ

ِالله َنِم ُهّنَأ َْلَّْعَيْلَف َ ِلَِذ َدَجَو ْنَمَف ، ِيقَلح ِبِ

َطْي ّ شلا{ َأَرَق ّ ُثُ ، ِيمِجّرلا ِناَطْي ّ شلا َنِم ِ ّللَّ ِبِ ْذّوَعَتَيْلَف ىَرْخُلأا َدَجَو ْنَمَو َ ّللَّا ِدَمْحَيْلَف

ُنا

َرْقَفلا ُ ُكُُدِعَي

}ِءا َشْحَفل ِبِ ْ ُكُُرُمْأَيَو

Penulis melakukan penelusuran terhadap hadis ini dengan menggunakan seluruh kata dan matan hadis di atas penulis temukan dalam kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh al-Hadîs al-Nabawî, juz III, halaman 128 dengan menggunakan kata (ناطيشلا).(Wensinck, 1926, vol. III, hlm. 128)

Dari informasi ini, dapat diketahui bahwa hadis yang akan diteliti terdapat dalam kitab Sunan al-Tirmidzi dan hanya memiliki satu jalur. Oleh karena itu, penelitian sanad hadis hanya terfokus pada riwayat yang ada di

(14)

Kualitas Hadis-Hadis dalam Penafsiran Surah al-Kahfi (Jamilah) Page 68

dalam kitab Sunan al-Tirmidzi di samping mengikuti keterangan di dalam kitab Tafsîr al-Marâghî. Adapun teks hadisnya secara lengkap dapat ditemukan pada Sunan al-Tirmidzi Kitab Tafsir al-Qur’an Surah al-Baqarah, Bab 2, Hadis No: 2988 yaitu:

اَنَثّدَح : َلاَق ، ٌداّنَه اَنَثّدَح

ِءا َطَع ْنَع ، ِصَوْحَلأا وُبَأ

ِنْب

ّسلا

ْنَع ، ِبِئا

ُم

، ِي ِناَدْمَهلا َةّر

ا ّلَّ َص ِالله ُلو ُسَر َلاَق : َلاَق ، ٍّدوُع ْسَم ِنْب ِالله ِدْبَع ْنَع

ُّللَّ

َلَع

َّلَّ َسَو ِهْي

ِنا َطْي ّ شلِل ّن

ا :

ِ

ّمَل اّمَأَف ًةّمَل ِ َلََمْلِلَو َمَد أ ِنْب ِبِ ًةّمَل

ِنا َطْي ّ شلا ُة

َف

ٌداَعي

ا

ِ

ِي ّشِل ِبِ

َو

ّمَأَو ، ِيقَلح ِبِ ٌبيِذْكَت

ُةّمَل ا

َذ َدَجَو ْنَمَف ، ِيقَلح ِبِ ٌقيِد ْصَتَو ِ ْيرَلخ ِبِ ٌداَعي

ِ

اَف ِ َلََمْلا

َ ِ

لِ

َيْلَف

ّنَأ َْلَّْع

ا ِدَمْحَيْلَف ِالله َنِم ُه

َ ّللَّ

ِّللَّ ِبِ ْذّوَعَتَيْلَف ىَرْخُلأا َدَجَو ْنَمَو

ّرلا ِنا َطْي ّ شلا َنِم

ِج

ُّثُ ، ِيم

{ َأَرَق

َفلا ُ ُكُ ُدِعَي ُنا َطْي ّ شلا

َرْق

)يذمترلا هاور(}ِءا َشْحَفل ِبِ ْ ُكُُرُمْأَيَو

Telah menceritakan kepada kami Hannâd telah menceritakan kepada kami Abû al-Ahwas dari Athâ` bin As Sa`ib dari Murrah al-Hamdâni dari Abd Allâh bin Mas’ûd ia berkata; Rasûlullâh saw. bersabda: "Sesunguhnya setan memiliki bisikan was-was kepada anak cucu Adam, dan Malaikatpun memiliki bisikan, adapun bisikan setan selalu menjanjikan kejahatan dan mendustakan kebenaran, sedangkan bisikan para Malaikat selalu menjanjikan kebaikan dan membenarkan kebenaran, barangsiapa mendapatkan demikian (bisikan malaikat) maka ketahuilah, sesungguhnya itu dari Allâh dan memujilah kepada Allâh, namun barangsiapa mendapatkan yang lainnya (bisikan syetan), maka berlindunglah kepada Allâh dari setan yang terkutuk dan bacalah ayat: "Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir). (H.R. al-Tirmidzi) (al-Tirmidzî, t.t., hlm. 669)

(15)

Kualitas Hadis-Hadis dalam Penafsiran Surah al-Kahfi (Jamilah) Page 69

Sebelum penelitian lebih lanjut, penulis membuat skema sanad sebagai berikut:

Selanjutnya penulis meneliti kualitas para perawi dalam hadis ini sebagai berikut:

a. al-Tirmidzi

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin ‘Îsa bin Saurah bin Mûsa bin al-Dhahhâk. Orang-orang menyebutnya dengan nama Muhammad bin ‘Îsa bin Yazîd bin Saurah bin al-Sakan al-Sulami, Abû ‘Îsa al-Tirmidzi al-Dharir al-Hafîzh. Ia dilahirkan pada tahun 210 H dan wafat pada malam senin tanggal 13 Rajab tahun 279 H. Ia mempunyai hubungan guru dan murid dengan Hannâd.(al-Dzahabî, 1981, vol. XIII, hlm. 271; al-Mizzi, 1983, vol. XXVI, hlm. 250–252) Para ulama hadis juga menilainya dengan nilai positif seperti Tsiqah Mujma’ ‘Alâih oleh al-Dzahabî, Tsiqah Muttafaqun ‘Alâih oleh Imâm al-Kholîlî dan lain sebagainya,(al-‘Asqalâni, 1982, vol. III, hlm. 668) beliau juga menerima hadis dengan salah satu Shîghah dari metode Simâ‘ yaitu (انثدح). oleh karena itu, periwayatannya dapat diterima.

(16)

Kualitas Hadis-Hadis dalam Penafsiran Surah al-Kahfi (Jamilah) Page 70

b. Hannâd

Namanya adalah Hannâd bin al-Sari bin Mus’ab bin Abî Bakr bin Syabr bin Sha’fuq bin ‘Amr bin Zurarah bin ‘Adas bin Zaid Ibnu Abdillâh bin Dârim al-Tamîmi al-Sarimi, kunyahnya adalah Abû al-Sari al-Kûfi. Ia dilahirkan pada tahun 152 H, dan wafat pada hari rabu terakhir dari bulan Rabî’ al-Akhir tahun 243 H. Ia mempunyai hubungan guru dan murid dengan Abû al-Ahwash. Para ulama hadis juga menilainya dengan nilai positif seperti Tsiqah oleh al-Nasâ’I dan Ibnu Hibbân, Shadûq oleh Abû Hâtim dan lain sebagainya,(al-Mizzi, 1983, vol. XXX, hlm. 312–313) beliau juga menerima hadis dengan salah satu Shîghah dari metode Simâ‘ yaitu (انثدح). oleh karena itu, periwayatannya dapat diterima.

c. Abû al-Ahwash

Namanya adalah Sallam bin Sulaim al-Hanafi. Kunyahnya adalah Abû al-Ahwash al-Kûfi. Ia wafat pada tahun 179 H. Ia mempunyai hubungan guru dan murid dengan ‘Athâ’ bin Sâ’ib. Para ulama hadis juga menilainya dengan nilai positif seperti Tsiqah oleh al-‘Ijli, Abû Zur’ah, al-Nasâ’I, Ibnu Hibbân dan Ibnu Numair, Tsiqah Mutqin oleh Yahya bin Ma’în, dan lain sebagainya.(Abû Hâtim, 1952, vol. IV, hlm. 259–260; al-‘Asqalâni, 1982, vol. II, hlm. 138; al-Mizzi, 1983, vol. XII, hlm. 283–285) Adapun lambang periwayatannya adalah dengan ‘an’anah (نع). Walaupun begitu, sanadnya tetap dianggap bersambung karena ia tidak melakukan tadlîs, terjadi pertemuan antara ia dan gurunya, kemudian ia adalah orang yang Tsiqah. Dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa periwayatan dari Abû al-Ahwash tetap dapat diterima dan dipercaya.

d. ‘Athâ’ bin Sâ’ib

Namanya adalah ‘Athâ’ bin Sâlim bin Mâlik, ia dikatakan juga dengan Ibnu Zaid, Ibnu Yazîd al-Tsaqofi, Abû Sâ’ib, dikatakan juga dengan Abû Zaid, Abû Yazîd, dan Abû Muhammad al-Kûfi. Ia wafat pada tahun 136 H. Ia mempunyai hubungan guru dan murid dengan Murroh al-Hamdâni.(al-Mizzi, 1983, vol. XX, hlm. 86–88) ‘Athâ’ bin Sâ’ib mengalami Ikhtilâth (rusaknya akal dan tidak teraturnya ucapan dan perbuatan) pada akhir umurnya, hal inilah yang membuat para ulama kritikus berbeda pendapat.(al-‘Asqalâni, 1982, vol. III, hlm. 101–103) Sebagian ulama menganggapnya Tsiqah, Shadûq Tsiqah dan lain sebagainya, seperti Ahmad bin Hanbal, al-Nasâ’I dan al-Saji, namun hal itu terjadi sebelum dia melakukan Ikhtilâth, adapun setelah Ikhtilâth, para ulama kritikus menilainya munkar dan hadisnya tidak benar. Jadi rawi yang meriwayatkan hadis darinya sebelum terjadi Ikhtilâth seperti

(17)

Kualitas Hadis-Hadis dalam Penafsiran Surah al-Kahfi (Jamilah) Page 71

Sufyân al-Tsauri, Syu’bah dan Hammâd, maka hadisnya diterima, sedangkan rawi yang meriwayatkan hadis darinya setelah terjadi Ikhtilâth, seperti Jarîr, Ismâ’îl bin ‘Ulayyah, Khâlid bin Abd Allâh al-Wasithi, Ali bin ‘Âshim dan lain sebagainya, maka hadisnya tidak bisa diterima karena dianggap munkar. Pada hadis ini, rawi yang meriwayatkan hadis dari ‘Athâ’ bin Sâ’ib bukanlah termasuk dari tiga orang yang disebutkan di atas, melainkan Abû al-Ahwash al-Kûfi (Sallam bin Sulaim). Oleh karena itu, hadis ini juga dianggap sebagai hadis munkar karena periwayatan terjadi setelah terjadinya Ikhtilâth. Lagi pula lambang periwayatannya adalah dengan ‘an’anah (نع). Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa riwayat dari ‘Athâ’ bin Sâ’ib sanadnya dianggap terputus dan tidak dapat diterima.

e. Murroh al-Hamdâni

Namanya adalah Murroh bin Syarâhîl al-Hamdâni al-Bakîlî. Kunyahnya adalah Abû Ismâ’îl al-Kûfi, ia lebih dikenal dengan nama Murroh al-Thayyib dan Murroh al-Khoir, gelar ini ia dapatkan karena ibadahnya. Ia wafat pada tahun 76 H. ia mempunyai hubungan guru dan murid dengan Abd Allâh bin Mas’ûd. Para ulama hadis juga menilainya dengan nilai positif seperti Tsiqah oleh Yahya bin Ma’în, Muhammad bin Sa‘ad dan Ibnu Hibbân, Tâbî’i Tsiqah oleh al-‘Ijli dan lain sebagainya.(Abû Hâtim, 1952, vol. VIII, 366; al-‘Asqalâni, 1982, vol. IV, hlm. 48–49; al-Dzahabî, 1981, vol. IV, hlm. 75) Adapun lambang periwayatannya adalah dengan ‘an’anah (نع). Walaupun begitu, sanadnya tetap dianggap bersambung karena ia tidak melakukan tadlîs, terjadi pertemuan antara ia dan gurunya, kemudian ia adalah orang yang Tsiqah. Dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa periwayatan dari Murroh al-Hamdâni tetap dapat diterima dan dipercaya.

f. Abd Allâh bin Mas’ûd

Namanya adalah Abd Allâh bin Mas’ûd bin Ghâfil bin Habîb bin Syamkh bin Makhzûm. Ia dikatakan juga sebagai Ibnu Syamkh bin Far bin Makhzûm bin Shâhilah bin Kâhil bin al-Hârits bin Tamîm bin Sa’ad bin Hudzali bin Mudrikah bin Ilyâs bin Mudhar bin Nizâr bin Ma’add bin ‘Adnân. Kunyahnya adalah Abû Abd al-Rahmân al-Hudzali. Ia adalah salah seorang sahabat Rasûlullâh saw.(al-Mizzi, 1983, vol. XVI, hlm. 121) Ia wafat sebelum Utsmân bin Affân r.a. ia termasuk dari pada al-Sâbîqûna al-Awwalûn dan al-Nujabâ’ al-’Âlamîn, ia mengikuti perang badar dan telah hijrah sebanyak dua kali. Ia masuk Islam dikota mekkah dan ia adalah sahabat dekat Rasûlullâh saw. Ia mempunyai hubungan guru dan murid dengan Rasûlullah saw.(al-‘Asqalâni, 1982, vol. II, hlm.

(18)

Kualitas Hadis-Hadis dalam Penafsiran Surah al-Kahfi (Jamilah) Page 72

431) Dalam hal ini penulis tidak menyebutkan al-jarh wa al-ta’dîl dari Abd Allâh bin Mas’ûd. Beliau adalah termasuk dari golongan sahabat yang menurut hemat penulis, para sahabat itu semuanya dihukumi ‘âdil.(Khatîb al-Baghdâdî, 2010, hlm. 46) oleh karena itu periwayatannya tidak diragukan lagi.

Seluruh rawi pada sanad hadis riwayat al-Tirmidzi melalui Hannâd sampai Abd Allâh bin Mas’ûd dalam keadaan bersambung antara guru dan muridnya. Namun komentar-komentar para kritikus hadis menyatakan tidak semua rawi bersifat ‘âdil dan dhâbith. hal ini disebabkan terdapat seorang rawi yang dikatakan Munkar karena telah melakukan Ikhtilâth pada akhir umurnya, rawi itu adalah ‘Athâ’ bin Sâ’ib. Lagi pula lambang periwayatannya adalah (نع) yang dianggap terputus sanadnya karena ketidak-tsiqah-an ‘Athâ’ bin Sâ’ib. Oleh karena ada seorang rawi yang tidak memenuhi persyaratan keshahihan sanad hadis tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sanad hadis riwayat al-Tirmidzi ini berkualitas dhaîf. Jika ditinjau dari sisi sebab-sebab ke-dhâif- annya, sanad hadis ini mempunyai cacat dalam ke-dhâbit-an salah seorang rawinya yaitu ‘Athâ’ bin Sâ’ib yang dianggap Munkar al-Hadîs, oleh karena itu status hadis ini adalah Hadis Munkar.

PENUTUP

Tafsîr al-Marâghî adalah sebuah tafsir yang menyajikan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan metode tahlîlî/analisis dan bercorak adabî ijtimâ’î (sosial kemasyarakatan). Tafsir ini adalah buah karya dari Ahmad Musthafâ Ibn Musthafâ ibn Muhammad ibn Abd al-Mun‘im al-Qadhî al-Marâghî.

Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, al-Marâghî menggunakan hadis-hadis Nabi sebagai pendukung penafsirannya, karena ia menganggap bahwa kedudukan hadis-hadis Nabi sangat penting dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Namun menurut al-Dzahabî, al-Marâghî tidak terlalu memahami tentang riwayat-riwayat maudhû’ dan dhaîf, oleh karenanya, riwayat-riwayat seperti itu dapat ditemui dengan mudah dalam tafsirnya.

Adapun hadis-hadis yang digunakan oleh al-Maraghi sebagai pendukung dalam penafsirannya terhadap surah al-Kahfi antara lain: Hadis tentang Hukum sebab akibat, Anjuran untuk bersabar bersama orang-orang fakir dan Ciri-ciri setan dan Malaikat serta anjuran untuk berlindung dari godaan setan dan mengikuti Malaikat dan lain sebagainya.

Dari hasil penelitian penulis, dapat diketahui bahwa di dalam tafsir al-Marâghî ditemukan hadis-hadis dhaîf yang digunakan oleh al-al-Marâghî untuk mendukung penafsirannya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa

(19)

al-Kualitas Hadis-Hadis dalam Penafsiran Surah al-Kahfi (Jamilah) Page 73

Marâghi kurang selektif dalam memilih hadis-hadis untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an di dalam tafsirnya.

REFERENSI

Abdurrahman, M., & Sumarna, E. (2011). Metode kritik hadis. PT Remaja Rosdakarya.

Abu Daud, S. bin Asy’ats Sijistani. (2003). Sunan Abi Daud. Maktabah al-Ma’arif.

Abû Hâtim, A. M. A. (1952). Al-Jarh wa al-Ta’dîl. Dar al-Kutub al-Ilmiah. al-‘Asqalâni, A. bin A. bin H. S. (1935). Taqrîb al-Tahdzîb. Dar al-‘Ashimah. ‘Asqalâni, A. bin A. bin H. S. (1982). Tahdzîb Tahdzîb. Muassasah

al-Risâlah.

Dzahabî, S. M. bin A. bin U. (t.t.). Al-Mughnî fi Dhu’afâ. Ihyâ Turats al-Islâmî.

Dzahabî, S. M. bin A. bin U. (1981). Siyâru a’lâm Nubalâ’. Muassasah al-Risâlah.

al-Dzahabî, S. M. bin A. bin U. (1995). Mîzân al-I’tidâl. Dar al-Kutub al-Ilmiah. al-Mizzi, J. A. al-Hajjaj yusuf. (1983). Tahdzîb al-Kamâl fi Asmâ al-Rijâl.

Muassasah al-Risâlah.

al-Qâsimî, M. J. (1979). Qawâid al-Tahdîts. Dar al-Kutub al-‘Ilmiah. al-Tirmidzî, M. bin I. bin S. (t.t.). Sunan al-Tirmidzî. Maktabah al-Ma’ârif. Ali Fayyad, M. (1998). Metodologi Penetapan Kesahihan Hadis. Pustaka Setia. Al-Maraghy, A. M. (1946). Tafsîr al-Marâghî. Musthafâ al-Babî al-Halabî. Hibban, M. (1975). Al-Tsiqât. Dar al-Fikr.

Idri. (2010). Studi hadis. Kencana Prenada Media Group.

Ismail, S. (1992). Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Bulan Bintang. Itr, N. (2012). Ulumul Hadis. Remaja Rosdakarya.

Khatîb al-Baghdâdî, A. B. A. bin A. bin T. (2010). Al-Kifâyah fi ‘Ilmi al-Riwâyah. al-Ma’ârif al-‘Utsmaniyah.

Khon, A. M. (2013). Ulumul hadis.

Mahdi, A. M. (2004). A-Jarh wa al-Ta’dîl Baina al-Nazhariyah wa al-Tathbîq. Solahuddin, M. A., & Suyadi, A. (2008). Ulumul Hadis. Pustaka Setia.

Sulaiman, M. N. (2009). Antologi Ilmu Hadis. Gaung Persada Press.

Wensinck, A. J. (1926). Al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fâzh al-Hadîs al-Nabawî. Maktabah Breil.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan tidak melepas sekejap pun nikmat yang selalu Allah berikan kepada penulis sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan dengan baik walau harus melewati banyak tantangan

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat, perlindungan serta anugerah kasih dan karuniaNya sehingga penulis dapat

Berdasarkan observasi yang peneliti lakukan di kelas IV A, B, dan C kegiatan pembelajaran pada kegiatan pendahuluan yang sering dilakukan oleh ketiga guru

March dan Smith (2001) dan Parham (1970) mengemukakan bahwa jika pada temperatur rendah (25 0 C) akan menghasilkan produk para- hidroksiasetofenon sedangkan pada

ditemukan di stasiun 3 Waduk Cirata selama penelitian sebanyak 13 genera yang mewakili 3 kelas, yaitu Rotifera, Rhizopoda dan Malacostraca yang tersebar di seluruh

Harapan konsumen yang menggunakan paket data internet tidak hanya fokus terhadap fitur dan harga, akan tetapi pelanggan melihat dari kualitasnya juga, seperti apa

Dari definisi di atas, maka judul analisis preferensi konsumen terhadap penggunaan jasa transportasi Bus Rapid Transit (BRT) Trans Jateng (studi kasus BRT Trans Jateng

Dalam rangka memenuhi tugas skripsi saya, maka dengan segala kerendahan hati saya sangat mengharapkan tanggapan Bapak/ibu terhadap beberapa pernyataan yang tersedia