• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Sejarah Perkembangan Kuda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Sejarah Perkembangan Kuda"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Sejarah Perkembangan Kuda

Kuda (Equus caballus) termasuk dalam famili Equidae yang berkerabat erat dengan keledai (Equus asinus), zebra (Equus zebra) dan hemione (Equus heminus). Berdasarkan catatan sejarah dan pertimbangan arkeolog menunjukkan bahwa kuda telah terpisah dengan filum mamalia lainnya sejak dahulu kala (Gambar 2) dan didomestikasi di daerah Eurasian, negara bagian Ukrania pada tahun 4000 SM yaitu hewan ini dimanfaatkan untuk tunggangan dan sumber daging (Vila et al. 2001). Terdapat juga beberapa daerah lain yang diduga telah mendomestikasi kuda seperti di Cina, Mesopotamia, Turkistan dan wilayah bagian Utara pegunungan Persia (FAO 2000; Walker 2008). Filogeni kuda domestik di antara beberapa mamalia lainnya di gambarkan dalam Gambar 2.

Gambar 2 Filogeni kuda domestik Equus caballus diantara pyla mamalia lainnya (FAO- AAAS 1994)

Tempat dan waktu pertama kali kuda didomestikasi masih menjadi perdebatan di antara para arkeologis. Pengetahuan terkini tentang domestikasi kuda berdasarkan analisis material purbakala (metode radiokarbon) menunjukkan di bagian Selatan Ukrania yang berusia 4200- 3800 SM (Anthony et al. 1991), terdapat paling kurang dua subspesies dari kuda liar yaitu Equus ferus ferus atau kuda Tarpan dan Equus ferus przewalski yang dikenal sebagai kuda Mongolian (Gambar 3) (Bowling & Ruvinsky 2004). Kuda Tarpan terakhir dibunuh pada bulan Desember 1879, keturunan jenis ini masih dipelihara di kebun binatang Moskow sampai tahun 1880 dan di wilayah Poltava, Ukrania sampai tahun 1918 (Bannikov & Flint 1989), sedangkan kuda Przewalski keturunannya masih dapat dijumpai hidup liar di dataran Barat Daya Cina yang kemudian banyak berbaur dengan kuda domestik dari Barat.

(2)

Gambar 3 Kuda Przewalski (kiri) adalah cikal bakal nenek moyang kuda modern (kanan) Kuda Sumba/ Sandel pada abad ke-16 telah dimanfatkan sebagai hewan peliharaan para raja di pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Timur (FSI 2009). Di pulau Jawa kuda menjadi simbol kemegahan para raja dan dipergunakan dalam peperangan yang kemudian berkembang menjadii olahraga tontonan. Kuda di Indonesia selain untuk olahraga, juga berperan sebagai alat transportasi, bekerja untuk menarik bajak di sawah selain kerbau dan sapi (Gambar 4). Olahraga ketangkasan, pacuan dan berburu dengan menggunakan kuda masih banyak ditemukan di daerah Nusa Tenggara Barat dan Timur. Pada zaman Belanda, olahraga berkuda dikenal rakyat melalui pacuan kuda, yang dilakukan pada hari-hari pasar atau pada perayaan ulang tahun ratu. Berawal dari kegiatan tersebut peternakan tradisional yang melahirkan kuda pacu lokal seperti kuda Batak, kuda Padang Mangatas, kuda Priangan, kuda Sumba, kuda Minahasa dan kuda Sandel mulai tumbuh. Daerah-daerah yang pada awalnya dikenal memiliki ternak kuda tradisional adalah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara. Lomba ketangkasan berkuda dikenalkan kemudian hari oleh para tentara Belanda berupa lomba lompat rintangan (jumping) (FSI 2009).

Pada tahun 1953 suatu badan yang berusaha menyatukan semua perkumpulan olahraga berkuda di Indonesia didirikan dan diberi nama Pusat Organisasi PONI Seluruh Indonesia (POPSI). Organisasi ini dalam perkembangannya berganti nama menjadi federasi dan kemudian pada tahun 1966, didirikan satu organisasi berkuda yang merupakan satu-satunya organisasi berkuda yang diakui oleh KONI Pusat yang dikenal dengan Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia (PORDASI) yang masih berdiri sampai saat ini. Organisasi ini dibentuk atas prakarsa empat daerah yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan

(3)

Sulawesi Utara serta satu klub yang bernama SEKARDIU yang dibentuk dari korps Kavaleri Bandung dengan ketua umum pertama adalah Achmad Syam dari Bogor. Pada perkembangannya, PORDASI kemudian diakui oleh pemerintah sebagai satu-satunya organisasi induk berkuda di Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Olahraga nomor: 016 tertanggal 28 Oktober 1966. Sejak itu PORDASI selalu aktif menyelenggarakan perlombaan-perlombaan, baik dalam lomba pacuan kuda maupun lomba ketangkasan berkuda (Equestrian Indonesia 2008; FSI 2009).

Gambar 4 Berbagai bentuk pemanfaatan ternak kuda (seperti untuk tunggangan, menarik delman dan mengangkut beban).

Bangsa Kuda di Indonesia

Beberapa kelompok populasi kuda di Indonesia (Gambar 5) berasal dari bangsa kuda jenis Thoroughbred yang digunakan untuk pacuan atau disilangkan dengan kuda lokal, populasi kuda lokal silangan dan kuda asli Sumba yang dikenal dengan kuda Sandel (FSI 2009). Karakteristik beberapa kuda lokal Indonesia diperlihatkan pada Tabel 1.

Gambar 5 Bangsa kuda di Indonesia: (dari kiri ke kanan) Thoroughbred, Kuda Pony/Sandel dan Kuda Silangan. Sumber: koleksi pribadi.

Kuda Sandel atau sandalwood pony adalah kuda pacu asli Indonesia yang dikembangkan di pulau Sumba. Diduga kuda ini memiliki moyang kuda arab yang

(4)

disilangkan dengan kuda poni lokal (grading-up) dengan maksud untuk memperbaiki sejumlah penampilannya. Nama "sandalwood" sendiri dikaitkan dengan kayu cendana yang pada sebelumnya merupakan komoditas ekspor dari pulau Sumba dan pulau-pulau Nusa Tenggara lainnya (FSI 2009).

Tabel 1 Karakteristik Kuda Lokal Indonesia

Jenis Kuda

Tinggi Badan (cm)

Karakteristik

Kuda Sumba 127 Bentuk kepala lebih besar dibanding kaki, ukuran leher yang pendek, sifatnya jinak dan cerdas, konformasi badan kurang sempurna tetapi memiliki bagian punggung kuat.

Kuda Timor 122 Bentuk badan lurus dan leher pendek, bagian punggung lurus dengan bahu dan ekor yang tinggi, bagian tengkuk dan ekor penuh dengan bulu

Kuda Sandel 135 Tubuh kecil, bentuk kepala kecil dan bagus. Mata yang besar, bulu yang lembut dan berkilauan, mempunyai kecepitan yang baik dan sangat aktif dengan kuku kaki yang keras dan kuat.

Kuda Batak 132 Bentuk kepala bagus,bagian muka yang lurus, leher pendek dan lemah. Bagian punggung yang panjang dan sempit dengan kaki bagian belakang ramping, bagian rump tinggi, ekor dan tengkuk mempunvai rambut yang bagus, serta posisi ekor cukup tinggi sehingga sangat baik dalam pergerakan.

Kuda Jawa 127 Stamina yang baik dan tahan terhadap panas, ukuran tubuh lebih besar dibandingkan kuda poni lainnya dan jinak. Kaki dan persendiannya tidak berkembang dengan baik sehingga mempengaruhi kekuatannya.

Kuda Padang 127 Kuku kaki keras dan bentuknya bagus, bagian tumit lemah. Mempunyai konformasi yang baik, tetapi pertulangannya kecil.

Kuda Sulawesi 125 Daya tahan tubuh kuat, kaki tegap dan kuat dan bertemperamen stabil.

Kuda Flores 124 Bentuk badan kecil dan jinak.

Kuda Bima - Badan kecil, pinggang yang pendek dengan daya tahan tubuh baik dan memiliki langkah yang cepat.

Sumber: Edward (1994) dan FSI (2009)

(5)

Kuda Sandel memiliki postur tubuh lebih rendah bila dibandingkan kuda ras dari Australia atau Amerika. Tinggi punggung antara 130 - 142 cm, kaki dan kukunya yang kuat dengan leher besar, memiliki daya tahan (endurance) yang tinggi sehingga banyak dipakai sebagai kuda tarik, kuda tunggang dan bahkan kuda pacu. Memiliki warna bulu bervariasi dari hitam, putih, merah, dragem, hitam maid (brownish black), bopong (krem), abu-abu (dawuk), atau juga belang (plongko). Kuda ini sampai sekarang masih diternakkan di Pulau Sumba dan diperdagangkan ke pulau-pulau lain seperti Jawa, Madura dan Bali sebagai kuda tarik, kuda tunggang serta kuda pacu (Equestrian Indonesia 2008; FSI 2009).

Kuda Thoroughbred adalah bangsa kuda yang dibentuk dari induk-induk kuda bangsa lain yaitu: kuda darley arabian, kuda godolphin arabian dan kuda byerly turki (KHP 2008).

Nama-nama tersebut diambil dari nama para pemilik kuda galur murni tersebut yaitu Thomas Darley, Lord Godolphin dan kapten Robert Byerly, ketiga kuda jantan tersebut dibawa ke Inggris dari wilayah Mediteranian Timur Tengah sekitar abad ke-17 yang disilangkan dengan kuda asli Eropa (Edward 1994).

Persilangan tersebut menghasilkan kuda yang memiliki kemampuan mengangkut beban sekaligus memiliki kecepatan lebih untuk jarak tempuh yang jauh dan kemudian berkembang dalam ukuran yang lebih ramping, gagah dan menarik sebagai kuda pacuan. Melalui proses persilangan yang selektif selama lebih dari 250 tahun, tercipta kuda jantan dan betina terbaik dengan keunggulan yang super dan hebat sebagai kuda pacuan (FAO 2000).

Pelestarian Sumberdaya Genetik Bangsa Kuda Indonesia

Sedikitnya satu bangsa ternak asli punah setiap minggu dan lebih sepertiga bangsa- bangsa ternak asli di Eropa dalam keadaan terancam punah (FAO 2000). Lebih lanjut catatan dari FAO tahun 2001 menyatakan hilangnya bangsa-bangsa ternak ini lebih disebabkan oleh kecenderungan para peternak untuk mengembangkan bangsa ternak eksotik. Keadaan ini banyak terjadi pada petani peternak di negara-negara berkembang seperti di Indonesia dan India akibat adanya persilangan yang meluas (Sodhi et al. 2006). Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang pemuliaan ternak, bioteknologi, permintaan pasar yang berlebihan, penerapan mekanisasi pertanian yang tidak tepat dan diversifikasi produk ternak menyebabkan terjadinya eksploitasi sumberdaya genetik ternak lokal besar-besaran melalui persilangan dan penggantian bangsa baru, keadaan ini mengancam kelestarian keragaman genetik ternak yang sangat penting dipertahankan untuk menjaga dan melestarikan

(6)

sumberdaya genetik hewan demi kelangsungan ketersediaan sumber makanan asal hewan yang berkelanjutan (Subandriyo & Setiadi 2003; Sodhi et al. 2006).

Konservasi sumberdaya genetik hewan lokal memainkan peranan penting dalam kelangsungan ketersediaan pangan dunia berdasarkan kenyataan bahwa; pertama, terdapat lebih dari pada 60% bangsa-bangsa ternak dunia berada di negara-negara berkembang; kedua, mempertahankan potensi genetik ternak asli/ lokal bukan merupakan hal yang menguntungkan bagi peternak; ketiga, tidak adanya program pengawasan yang ketat dan ketersediaan informasi yang akurat terhadap sebagian besar bangsa ternak asli dan keempat, masih kurangnya pengembangan potensi genetik terhadap bangsa-bangsa ternak lokal (FAO 2001). Tiga metode yang dianjurkan untuk dilakukan demi melestarikan plasma nutfah ternak adalah: (1) mempertahankan populasi; (2) penyimpanan material genetik beku dengan teknologi cryopreservation, seperti semen dan ‘oocyt’ (haploid/n) atau embryo beku (diploid/2n); dan (3) penyimpanan material DNA (deoxyrybo nucleic acid) pada bank gen (Duryadi 2005; Allendorf & Luikart 2007).

Sifat Kuantitatif dan Kualitatif

Setiap sifat kuantitatif dan kualitatif yang diekspresikan seekor hewan atau ternak disebut fenotip. Fenotip (P) merupakan hasil keseluruhan pengaruh-pengaruh gen atau genotipe (G), lingkungan (E) dan adanya interaksi antara pengaruh genotipe dan lingkungan (GxE) (Martojo 1992; Hardjosubroto 1994). Fenotipe ternak dapat diketahui melalui ukuran- ukuran tubuh (Otsuka et al. 1980; Nozawa et al. 1981), pertumbuhan tanduk, tekstur dan panjang bulu (Wiley 1981; Warwick et al. 1995).

Sifat kuantitatif adalah sifat-sifat yang dapat diukur pada seekor ternak baik untuk sifat produksi seperti ukuran morfologi tubuh, kecepatan lari, daya tahan kerja dan tenaga tarik juga untuk sifat reproduksi seperti lama kebuntingan, lama birahi dan produksi susu (Martojo, 1992). Menurut Warwick et al. (1995), sifat kuantitatif dipengaruhi oleh beberapa atau oleh banyak pasang gen dan adanya pengaruh interaksi dengan lingkungan. Gen-gen tersebut terdapat dalam sel-sel jaringan dari berbagai bagian tubuh dan organ-organ vital yang saling berinteraksi dalam proses biokimia faali dalam tubuh, maka tidak sulit membayangkan bahwa jumlah gen yang berperanan dalam proses tumbuh kembang ini dapat mencapai ratusan bahkan ribuan (Martojo 1992). Setiap karakter ditentukan oleh banyak pasang gen atau poligenik dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan (Wiley 1981).

(7)

Sifat kualitatif seperti warna, pola warna, sifat bertanduk atau tidak bertanduk dapat dibedakan tanpa harus mengukurnya. Sifat kualitatif biasanya hanya dikontrol oleh satu atau beberapa pasang gen dan umumnya variasi sifatnya tidak kontinyu (Noor 2008). Warna tubuh ternak dianggap sebagai character displacement atau penciri sifat untuk membedakan satu bangsa dengan bangsa lainnya (Wiley 1981; Warwick et al. 1995; Noor 2008). Terdapat beberapa warna dasar pada kuda seperti black, bay dan chesnut (Hawcroft 1984; Bowling &

Rivinsky 2004) yang diekspresikan melalui interaksi sekurangnya tiga pasang gen. Searle (1978), telah mendeskripsikan beberapa genotip warna bulu seperti: A-/B-/dd (bay), aa/B-/dd atau aa/B-/Dd (black), --/bb/dd (chesnut), A-/B-/Dd (bay-cream), --/bb/Dd (chesnut-cream), DD (ivory white atau pseudo-albino), Rr (roan, RR bersifat letal) dan S- (spotted). Lebih lanjut Hawcroft (1984) menjelaskan, bahwa warna-warna seperti white, grey, cream, dun, roan dan pied (totol) adalah hasil modifikasi dari warna dasar kuda. Hal tersebut diperkuat oleh Bowling dan Rivinsky (2004) yang menjelaskan, bahwa terjadinya keragaman pola warna bulu pada kuda seperti adanya dilusi, bercak putih dan totol-totol disebabkan adanya mutasi jauh sebelum kuda di domestikasi.

Pola warna pada kuda dan hewan mamalia lainnya terjadi akibat mutasi yang disebabkan proses kehidupan individu hewan tersebut yang diatur secara genetik. Proses tersebut berupa spesialisasi dari sel-sel, jaringan-jaringan dan organ-organ tubuh hewan yang terjadi pada saat proses adaptasi hewan dengan lingkungan (Lamoreux et al. 2010). Lebih lanjut dinyatakan, terbentuknya pola warna bulu karena adanya pigmentasi pada kulit atau bagian rambut dan bulu yang disebabkan oleh pigmen melanin seperti warna merah atau kuning yang dibentuk oleh pheo-melanin, sedangkan warna hitam atau cokelat oleh eu- melanin. Bowling dan Ruvinsky (2004) menjelaskan, bahwa pembentukan warna-warna dasar pada kuda merupakan ekspresi dari alel-alel pada gen agouti (A), extension (E) dan grey (G).

Menurut Noor (2008), heritabilitas secara sederhana berhubungan dengan proporsi keragaman fenotipik yang dikontrol oleh gen. Ditambahkannya, bahwa heritabilitas dapat diperhitungkan dalam dua konteks yaitu (a) secara luas, rasio antara keragaman genetik dengan keragaman fenotip dan (b) secara sempit, hanya rasio bagian aditif dengan keragaman fenotip yang dilambangkan dengan h2 dan merupakan nilai dugaan yang paling berguna karena dapat menunjukkan laju perubahan yang dapat dicapai dengan seleksi untuk sifat tersebut dalam populasi. Nilai heritabilitas suatu sifat akan bervariasi antar populasi,

(8)

perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan faktor genetik (ragam genetik), perbedaan lingkungan (ragam lingkungan), metoda yang digunakan dan jumlah cuplikan data yang digunakan (Falconer & Mackay 1996) sedangkan repitabilitas (r) merupakan suatu pengukuran kesamaan antara pengukuran suatu sifat yang diukur berkali-kali pada ternak yang sama selama ternak tersebut hidup (Noor 2008). Nilai repitabilitas suatu sifat akan ditentukan oleh keragaman komponen-komponen penyusunnya, yaitu komponen genetik yang terdiri atas gen aditif, dominan dan epistasis serta komponen lingkungan, baik yang bersifat permanen maupun yang bersifat sementara. Pengaruh lingkungan permanen adalah semua pengaruh lingkungan yang bukan bersifat genetik, tetapi dapat mempengaruhi produktivitas seekor ternak selama hidupnya (Warwick et al. 1995). Ditambahkannya, bahwa adanya perbedaan nilai dugaan heritabilitas maupun repitabilitas disebabkan oleh (a) metoda analisis yang digunakan untuk menduga, (b) ekspresi genetik yang ada pada tiap bangsa hewan didalam populasi yang berbeda, (c) jumlah data yang digunakan dan (d) faktor koreksi untuk sifat non-genetik yang dibuat pada setiap data.

Besaran nilai heritabilitas dan repitabilitas berkisar antara nol sampai satu. Suatu sifat dengan nilai nol adalah sifat yang semua keragamannya disebabkan pengaruh lingkungan, sedang nilai satu menunjukkan sifat kuantitatif yang semua keragamannya disebabkan oleh faktor keturunan atau genetik (Warwick et al. 1995). Menurut Martojo (1992) nilai dugaan heritabilitas/ repitabilitas dapat dikelompokkan kedalam tiga kelompok, yaitu nilai heritabilitas 0.0 – 0.2 tergolong rendah, nilai heritabilitas 0.2 – 0.4 tergolong sedang dan nilai lebih dari pada 0.4 tergolong tinggi. Nilai heritabilitas untuk sifat kecepatan yang diukur berdasarkan catatan terbaik pada kuda jenis Thoroughbred dan Trotters dengan menggunakan analisis saudara tiri sebapak masing-masing adalah: 0.23 dan 0.25, sedangkan untuk daya tahan menarik beban pada kuda Jerman sebesar 0.29 (Hintz 1980).

Noor (2008) menyatakan, bahwa terdapat faktor lain yang mempengaruhi nilai repitabilitas yaitu variasi lingkungan yang tetap seperti penyakit dan asupan pakan kualitas rendah selama ternak masih muda akan dapat mengubah kondisi ternak dan akan berpengaruh selamanya. Dijelaskan lebih lanjut bahwa besar nilai repitabilitas suatu sifat dipengaruhi oleh besar nilai heritabilitas pada sifat yang sama yaitu semakin besar nilai repitabilitas, semakin besar pula nilai heritabilitasnya. Penggunaan rumus matematika, nilai repitabilitas suatu sifat adalah:

(9)

Keterangan: r = Nilai repitabilitas suatu sifat;

VA = variasi aditif;

VEt = variasi lingkungan tetap VP = variasi fenotipik (variasi total).

Macijauskiene (2002) menyatakan, bahwa repitabilitas adalah ukuran kekuatan (konsistensi, reliabiliti) hubungan antara ukuran yang berulang-ulang (nilai fenotipik yang berulang-ulang) suatu sifat dalam populasi. Warwick et al. (1995) menyatakan, bahwa repitabilitas suatu sifat berguna dalam memperkirakan produktivitas ternak pada masa yang akan datang berdasarkan satu atau lebih catatan produksi. Noor (2008) menyatakan, bahwa nilai repitabilitas yang tinggi menandakan ternak tersebut mampu berproduksi dengan ukuran yang hampir sama untuk setiap tahunnya, ternak dinilai cenderung mendekati ukuran tertinggi atau terendah secara konstan, tidak terpengaruh jumlah rataan ukuran yang mungkin berubah. Nilai repitabilitas yang tinggi adalah bukti dari determinasi sifat yang diamati (Macrejowski & Zieba 1982).

Karakter Morfologi, Penanda Biokimia dan Immunogenetik

Sumber utama karakter dari mahluk hidup ditandai dari bentuk struktur morfologis hewan tersebut, dari yang sifatnya relatif sederhana sampai yang sangat rumit dan kompleks (Karthickeyan et al. 2006). Oleh sebab itu, karakter morfologis dapat dijadikan faktor pembeda setiap taxa makhluk hidup mulai dari tingkat phyla sampai spesies (Kh al i l et al . 1 9 86 ). Sebagai penduga yang mewakili bentuk dan deskripsi khas dari bentuk tubuh, maka karakter morfologis sangat bermanfaat untuk menganalisis karakteristik banyak mahluk hidup (Wiley 1981). Pengukuran panjang tulang-tulang menurut Salako dan Ngere (2002), mempunyai ketelitian yang lebih baik dibandingkan dengan pengukuran bobot badan.

Mulliadi (1996) menambahkan, bahwa untuk ukuran-ukuran tubuh yang memiliki keragaman tinggi dapat memberikan petunjuk bahwa ukuran-ukuran tersebut dapat dijadikan kriteria untuk seleksi dalam upaya peningkatan sifat-sifat produksi.

Manfaat lain dari karakter morfologis adalah untuk menentukan asal-usul dan filogenitas setiap spesies, bangsa dan tipe ternak (Warwick et al. 1995; Ishii et al. 1996;

Mulliadi 1996; Martojo 2003). Selain karakter morfologis, secara molekuler, keragaman

(10)

suatu spesies dapat diperoleh dengan menggunakan penanda morfologis (Hill et al. 2002;

Ouragh 2004). Sumber informasi genetik hewan dapat diperoleh melalui penafsiran dan pencatatan performa produksi dan reproduksi hewan. Karakter genetik yang kelihatan nyata ataupun tertutup oleh suatu individu hewan adalah merupakan pencerminan karakter genetik yang dimiliki oleh hewan tersebut (Lewin 2000). Jadi dengan kata lain semua informasi yang dapat diperoleh dari pengamatan satu individu dapat disebut sebagai penanda genetik hewan itu (Muladno 2006).

Polimorfisme Protein Darah

Polimorfisme adalah kondisi dimana alel-alel dalam populasi jumlahnya berbeda satu dengan lainnya atau variasi terjadi pada sifat-sifat tertentu (Feldhamer et al. 1999). Apabila pada suatu gen atau lokus terdapat banyak kombinasi alel yang ditunjukkan dengan besarnya nilai frekuensi alelnya, maka populasi tersebut akan disebut polimorfik. Suatu lokus dikatakan polimorfik jika nilai frekuensi alel ≤ 0.99. Apabila nilai frekuensi alel adalah 1.00 maka alel tersebut bersifat monomorfik dan bisa dikatakan bahwa seluruh individu dalam populasi tersebut memiliki gen yang sama atau homosigot pada satu alel (Falconer & Mackay 1996). Polimorfisme protein darah merupakan salah satu metode yang sangat berguna dalam menentukan asal-usul dan menghitung jarak genetik antar spesies, bangsa atau kelompok suatu populasi hewan (Warwick et al. 1995; Duryadi 2005). Menggunakan teknik elektroforesis yang mampu memisahkan dan membedakan jenis protein atau jenis enzim tertentu dalam suatu media gel pati atau akrilamid akan menghasilkan bentuk pola atau pita- pita tertentu dimana apabila pola yang terbentuk dalam posisi sama pada semua individu yang diamati berarti gen tersebut sama atau tidak beragam (Freeland 2005). Menurut Nicholas (1996), apabila gel elektroforesis menghasilkan satu pita berarti homozigot, sedangkan heterozigot akan ditunjukkan dalam bentuk dua pita.

Teknik elektroforesis polimorfisme protein darah menurut Nei (1987) adalah merupakan pendugaan nilai heterogenitas gen secara minimum. Lebih lanjut dikatakan bahwa pendugaan akan semakin baik atau dapat lebih mengekspresikan populasi alami dari suatu individu apabila jumlah sampel darah dan lokus yang digunakan lebih banyak. Warwick et al.

(1995) menyatakan bahwa terdapat perbedaan genetik dalam globulin/ transferin (Tf), albumin (Alb), hemoglobin (Hb) dan enzim-enzim darah jika dianalisis melalui prosedur biokimia elektroforesis yang hasilnya menurut Nei dan Kumar (2000), sangat berguna untuk

(11)

membantu dalam penentuan asal-usul, penyusunan hubungan filogenetik antara spesies, bangsa atau kelompok dalam spesies.

Studi polimorfisme untuk menduga variasi genetik dengan menggunakan metode elektroforesis protein darah pada lokus post transferin-1 (Tf1), post transferin-2 (Tf2), albumin (Alb) dan hemoglobin (Hb) telah banyak dilakukan pada ternak unggas, sapi dan beberapa hewan liar lainnya (Nozawa 1981;Noor et al. 2000; Cervini et al. 2006). Analisis protein darah pada populasi kuda Batak, kuda Padang, Kuda Noa Bosi dan populasi kuda di pulau Jawa pernah dilakukan terhadap 15 lokus protein darah untuk melihat keragaman genetik antara populasi-populasi kuda di Indonesia dan Malaysia dengan populasi kuda di Jepang. Hasilnya menunjukkan adanya proporsi polimorfis sebesar 23-34% dengan rataan heterozigositas sebesar 8-11%. Walaupun nilai polimorfis dan heterozigositas relatif rendah akan tetapi menurut Nozawa et al. (1981) keragaman genetiknya masih dalam level yang sama.

Keragaman Genetik

Perubahan pada frekuensi dan distribusi gen-gen diakibatkan adanya mutasi, proses seleksi alam atau buatan, perkawinan silang, migrasi dan bencana alam sehingga menyebabkan hilangnya gen-gen tertentu atau penghanyutan genetik (random genetik drift) dapat menyebabkan terjadinya keragaman genetik dalam populasi (Liu 1998), kecuali pada populasi yang besar, frekuensi genotipik cenderung tidak berubah dari generasi ke generasi (Falconer & Mackay 1996). Bangsa ternak yang berkembang dalam berbagai sistem dan lingkungan yang ada saat ini telah menghasilkan berbagai kombinasi gen yang unik. Gen-gen ini tidak hanya menentukan kualitas sifat produksi dari masing-masing bangsa, tetapi juga kemampuan adaptasinya pada kondisi lokal termasuk makanan, ketersediaan air, iklim dan hama penyakit (FAO 2001).

Keanekaragaman genetik ternak, sedikitnya memiliki empat manfaat, yaitu (1) keberlanjutan dan peningkatan produksi pangan; (2) memaksimalkan produktivitas lahan dan sumberdaya pertanian; (3) pencapaian pertanian berkelanjutan untuk memberikan keuntungan masa kini dan generasi yang akan datang dan (4) pemenuhan keanekaragaman baik yang telah ada maupun yang belum diketahui manfaatnya bagi kehidupan sosial masyarakat (Solis et al. 2005). Ketersediaan keanekaragaman genetik ternak akan

(12)

mempengaruhi keberhasilan strategi pemuliaan untuk masa yang akan datang (FAO-AAAS 1994).

Keragaman genetik suatu populasi ternak menjadi modal dasar dalam mengaplikasikan teknologi pemuliaan untuk pemanfaatan atau produksi. Keragaman penampilan hewan merupakan refleksi informasi genetik yang dimilikinya seperti adanya perbedaan-perbedaan dalam kemampuan adaptasi, besar ukuran tubuh dan daya tahan terhadap penyakit.

Komponen ini sangat berpengaruh terhadap kemampuan menyesuaikan diri (adaptasi) terhadap perubahan lingkungan seperti degradasi kualitas lingkungan sebagai media tumbuh hewan. Perbedaan penampilan ini disebabkan selama proses domestifikasi, tipe-tipe atau bangsa-bangsa hewan terpisah secara genetik karena adanya penyesuaian (adaptasi) dengan masing-masing lingkungan lokal dan kebutuhan komunitas lokal sehingga dihasilkan bangsa berbeda (Muladno 2006). Adanya kemampuan adaptasi disebabkan hewan pada dasarnya memiliki kemampuan dalam menghasilkan lebih daripada satu alternatif bentuk morfologi, status fisiologi, dan atau tingkah laku sebagai reaksi terhadap perubahan lingkungan, yang oleh Noor (2008) disebut sebagai pengaturan ekspresi gen.

Pengukuran keragaman genetik diantara populasi dapat dilakukan dengan memanfaatkan data elektroforesis protein darah yaitu dengan mengamati nilai heterozigositas populasi (H) atau rataan persentase dari lokus heterosigot tiap individu (Avise 1994). Analisis data frekuensi alel dari sepuluh bangsa kuda dan lebih daripada 50 ribu ekor kuda domestik telah menggunakan 22 lokus golongan darah dan polimorfisme protein darah dalam menduga keragaman total gen (HT), koefisien diferensiasi gen (GST) dan rataan keragaman gen (HS) (Tabel 2). Nilai keragaman genetik (HT), yang tinggi akan menggambarkan terjadinya seleksi dalam taraf polimorfisme lokus sedang sampai tinggi yang baik untuk membantu pengujian parental. Pengukuran (HS) dan (GST) ditujukan untuk menduga bagian-bagian keragaman antar dan diantara bangsa, sehingga besar sumbangan masing-masing bangsa atau populasi dapat diketahui (Bowling & Ruvinsky 2004). Lokus-lokus yang bersumber dari kelompok darah, protein dan serum yang sering digunakan dalam penelitian untuk mencari keragaman dan perbedaan antar bangsa kuda dijelaskan pada Tabel 2.

(13)

Table 2 Lokus yang digunakan dalam analisis perbedaaan antar bangsa kuda, nilai total keragaman gen (HT), koefieien diferensiasi gen (GST) dan rataan keragaman gen (HS)

Sumber Lokus Kromosom Alel-alel HT GST HS

Kelompok Darah AA EAC EAD EAK EAP EAQ EAU

20 U U 2 U 8 24

12 2 25

2 3 6 2

0.74 0.47 0.89 0.12 0.51 0.67 0.43

0.14 0.10 0.08 0.12 0.04 0.15 0.16

0.64 0.42 0.82 0.10 0.49 0.57 0.36

Protein AP

CA CAT HbA PGD PGM GPI

U U U 13

2 5 10

2 6 3 5 3 3 5

0.08 0.14 0.36 0.53 0.29 0.20 0.09

0.02 0.07 0.16 0.12 0.11 0.03 0.13

0.07 0.13 0.30 0.47 0.26 0.20 0.08

Serum ALB

C3 ES GC PLG TF PI XK

3 7 3 3 31 16 24 10

3 5 12

2 2 15 25 4

0.45 0.45 0.50 0.16 0.33 0.77 0.88 0.17

0.09 0.06 0.12 0.06 0.12 0.10 0.09 0.10

0.41 0.42 0.44 0.15 0.29 0.69 0.80 0.16 Sumber: Tosaki et al. 1995; Bowling & Ruvinsky 2004.

Keterangan: EA(A,C,D,K,P,Q,U): erythrocyt antigen; AP: acid phosphatase; CA: carbonic anhydrase; CAT: catalase; HBA: haemoglobin alfa; PGD: phosphogluconat dehydrogenase; PGM: phosphoglucomutase; GPI: glucosephosphat isomerase; ALB:

albumin; C3: complement component 3; ES: carboxylesterase serum; GC: vit D-binding protein; PLG: plasminogen; TF: transferrin; PI: protease imhibitor; XK: A1B glycoprotein.

Gambar

Gambar 3 Kuda Przewalski (kiri) adalah cikal bakal nenek moyang  kuda modern (kanan)   Kuda  Sumba/  Sandel    pada  abad  ke-16  telah  dimanfatkan  sebagai  hewan  peliharaan  para raja di pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Timur (FSI 2009)
Gambar  4  Berbagai  bentuk  pemanfaatan    ternak  kuda  (seperti  untuk  tunggangan, menarik delman dan mengangkut beban)
Tabel 1 Karakteristik Kuda Lokal Indonesia
Table  2  Lokus  yang  digunakan  dalam  analisis  perbedaaan  antar  bangsa  kuda,  nilai  total  keragaman  gen  (H T ),  koefieien  diferensiasi  gen  (G ST )  dan  rataan  keragaman  gen  (H S )

Referensi

Dokumen terkait

Aspek visual dalam karya seni sangat membantu dalam penyampaian sebuah gagasan, dan lukisan merupakan salah satu media untuk menyampaikan ide atau

a. Mencegah dan mengurangi kecelakaan. Mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran. Mencegah dan mengurangi bahaya peledakan. Memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri

Istilah pembelajaran individual atau pembelajaran perseorangan (Individual Instruction) merupakan suatu siasat (strategi) untuk mengatur kegiatan belajar mengajar

diadakan di SMK-SMEA Nahdlatul 'Ulama (NU) Medan dengan jumlah sampel sebesar 30 orang. Adapun langkah-langkah pengolahan data hasil uji.. TABEL 3.1 KISI-KISI TES KEMAMPUAN KOGNITIF

Hasil dari penelitian pendahuluan akan dijadikan acuan untuk penelitian utama, pada penelitian pendahuluan didapatkan hasil bahwa pada perlakuan P2 dengan menggunakan

Melakukan perencanaan terhadap output yang diinginkan, dalam perancangan sistem informasi ini output yang ingin dihasilkan adalah lokasi pos polisi penertiban lalu lintas

Mengenai pengaruh kebudayaan terhadap budaya politik masyarakat Samin (Sedulur Sikep) dapat ditarik kesimpulan bahwa kebudayaan asli yang dipegang warga masyarakat Samin

Nah, dalam bahasa Arab, jika kita ingin bisa menyusun sebuah kalimat sempurna yang dimengerti oleh orang lain, maka kita harus belajar ilmu Nahwu dan ilmu Shorof terlebih dahulu..