• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN MALASSEZIA PADA DERMATITIS ATOPIK. dr. Nyoman Suryawati, M.Kes Sp.KK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERANAN MALASSEZIA PADA DERMATITIS ATOPIK. dr. Nyoman Suryawati, M.Kes Sp.KK"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

1

PERANAN MALASSEZIA PADA DERMATITIS ATOPIK

dr. Nyoman Suryawati, M.Kes Sp.KK

2015

(2)

2 BAB I

PENDAHULUAN

Dermatitis atopik (DA) merupakan suatu penyakit peradangan kulit yang bersifat kronis, sering mengalami kekambuhan dan gatal.Insiden DA mencapai 20% pada anak-anak dan 1-3% pada dewasa diseluruh dunia. Penyakit ini dapat menetap hingga dewasa. DA sering mempengaruhi kualitas hidup penderita dan keluarganya serta dapat menimbulkan masalah sosial dan ekonomi. Sampai saat ini mekanisme yang mendasari patogenesis DA masih belum diketahui dengan pasti. Kombinasi antara faktor genetik, rusaknya barier kulit, sistem imun dan faktor lingkungan seperti bakteri, jamur berperan dalam DA.1,2

Studi mengenai peran jamur genus Malassezia dalam patogenesis DA banyak ditemukan akhir-akhir ini. Beberapa hasil penelitian mendapatkan adanya IgE spesifik Malassezia pada penderita DA, dimana antibodi tersebut tidak ditemukan pada individu normal. IgE spesifikMalasseziajuga tidak dijumpai pada penyakit alergi/atopi lain selain DA.Prevalensi IgE spesifik Malassezia pada dewasa didapatkan 29-65%.Temuan ini didukung penelitian lain yang mendapatkan bahwa penggunaan obat anti jamur pada penderita DA menyebabkan perbaikan klinis yang cukup signifikan.Namun korelasi antara peningkatan kadar IgE spesifik Malassezia dengan derajat keparahan pada penderita DA masih kontroversial.3,4

Malassezia adalah genus jamur yang merupakan bagian dari flora normal kulit manusia. Kolonisasi Malassezia terutama pada daerah kaya lipid seperti kepala dan leher. Keberadaan lipid dibutuhkan Malassezia untuk pertumbuhannya. Produksi lipid pada usia 3 bulan pertama kehidupan cukup tinggi, kemudian menurun pada masa anak-anak dan meningkat lagi pada masa pubertas hingga usia 50 tahun.3,5

Gangguan fungsi barier kulit pada DA dapat diperburuk oleh aktivitas organisme komensal seperti Malassezia.Hal ini disebabkan oleh karena barier kulit yang rusak gagal memberikan perlindungan terhadap mikroba dan alergen.Kadar pH kulit yang meningkat serta defek sistem imun pada penderita

(3)

3 DA juga berperan dalam penetrasi alergen melalui kulit. Faktor-faktor ini memfasilitasi interaksi antaraMalassezia dengan sistem imun.6,7

Mengingat adanya sifat patogenik dari Malassezia terhadap penyakit kulit DA maka tinjauan pustaka ini membahas secara rinci mengenai peranan Malassezia pada patogenesis DA.

(4)

4 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dermatitis Atopik

2.1.1 Definisi Dermatitis Atopik

Dermatitis atopik merupakanpenyakit inflamasi kulit yang disertai rasa gatal dan bersifat kronis residif. Penyakit ini sering dikaitkan dengan riwayat atopi pada diri sendiri atau keluarga seperti rhinitis alergi, asma, DA. Ciri khas DA adalah suatu bentuk inflamasi kulit yang kronis dan mudah relaps disertai gangguan fungsi perlindungan pada epidermis yang mengakibatkan kulit menjadi kering.Selain itu terdapat sensitisasi yang dimediasi IgE terhadap makanan atau alergen lingkungan. DA dapat terjadi pada bayi, anak-anak dan dewasa dengan manifestasi klinis dan distribusi lesi yang khas seiring dengan usia.8,9

2.1.2 Epidemiologi Dermatitis Atopik

Prevalensi DA meningkat dua sampai tiga kali lipat pada negara industri selama tiga dekade terakhir. Prevalensi pada anak-anak sekitar 10-20% di Amerika Serikat, Eropa Utara dan Barat, Afrika, Jepang, Australia dan negara-negara industri sedangkan pada dewasa sekitar 1-3%. Negara agrikultur seperti Cina, Eropa Selatan, pinggiran Afrika dan Asia Tengah memiliki prevalensi DA yang lebih rendah. Menurut data terkini dari International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) mengkonfirmasi bahwa DA merupakan penyakit dengan prevalensi tinggi pada penderita di negara maju maupun negara berkembang.9,10

Dermatitis atopik sering dimulai pada bayi usia dini (disebut DA onset dini). Sebanyak 45% dari semua kasus DA dimulai 6 bulan pertama kehidupan, 60% dimulai pada tahun pertama dan 85% dimulai sebelum usia 5 tahun.Hingga 70% dari anak-anak ini memiliki remisi spontan sebelum masa remaja. Penyakit ini juga dapat dimulai pada orang dewasa (disebut DA onset lambat).9,11DA dilaporkan 2,6 kali lipat lebih banyak pada wanita daripada laki-laki.12

(5)

5 2.1.3 Patogenesis Dermatitis Atopik

Patogenesis DA masih belum diketahui secara jelas sampai saat ini. Beberapa studi menyatakan bahwa DA merupakan akibat dari interaksi kompleks antara kerentanan genetik yang mengakibatkan gangguan fungsi sawar kulit, gangguan sistem imun alamiah dan peningkatan respon imunologis baik terhadap alergen maupun antigen mikroorganisme. Saat ini mutasi genetik dan gangguan sistem imun baik alamiah (innate) maupun didapat (adaptive) dianggap sebagai kejadian primer DA.8,10

Dermatitis atopik dapat diturunkan secara familial dan dipengaruhi kuat oleh faktor maternal. Tingkat risiko terjadinya DA lebih tinggi pada kembar monozigot (77%) dibandingkan kembar dizigot 15%. Penelitian terkait genomik menyatakan kemungkinan adanya lokus yang terkait DA pada kromosom 1q21, 3q21, 16q, 17q25, 20p, dan 3p26. Kromosom 1q21 merupakan lokasi gen filagrin (FLG)yang diidentifikasi berperan dalam kompleks diferensiasi epidermis.2,9,13

Gen FLG akan mengkode filagrin, dimana filagrin merupakan protein utamadalam integritas barier kulit yang berperan dalam pembentukan korneosit, hidrasi sawar kulit dan pH kulit. Mutasi pada gen FLG menyebabkan penurunan regulasi dari protein filagrin yang mengakibatkan gangguan fungsi sawar kulit sehingga kulit akan kering, fisura dan risiko tinggi terjadi eksema. Sekitar 50%

penderita DA diidentifikasi mengalami mutasi pada gen FLG. Mutasi gen FLG terutama terjadi pada DA onset dini.10,14

Keterlibatan gen lain yaitu gen SPINK5 (serine protease inhibitor Kazal- type 5) yang diekspresikan pada epidermis bagian atas. Gen ini menghasilkan

produk LEKTI (lymphoepithelial Kazal-type trypsin inhibitor) yang berperan menghambat serine protease (enzim triptase dan kimotriptase stratum korneum).

Serin protease berperan dalam deskuamasi dan inflamasi. Peningkatan enzim triptase dan kimotriptase pada penderita DA menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara protease dan penghambat protease sehingga menyebabkan terjadinya inflamasi.10,14

Polimorfisme gen NOD (nucleotida binding oligomeriation domain)yang mengkode reseptor pengenalan patogen sitosol dan reseptor TLR(Toll-like

(6)

6 receptor) dapat menyebabkan gangguan pengenalan terhadap mikroba pada

penderita DA. Setiap mikroba akan dikenali oleh PAMPs (pathogen associated molecular pattern) melalui PRRs (pattern recognition receptors). PAMPs

terdapat pada lipopolisakarida bakteri gram negatif dan mannan pada jamur.

Reseptor TLR diekspresikan oleh keratinosit dan sel penyaji antigen atau APC (antigen presenting cells). Setiap TLR akan mengenali PRR tertentu. Reseptor TLR-2 berperan dalam pengenalan terhadap bakteri gram positif dan jamur.

Selanjutnya akan memicu pelepasan sitokin dan kemokin proinflamasi dan regulator termasuk IL-1β (interleukin-1β), TNF-α (tumor necrosis factor-α), IL-6 dan IL-12.10,15

Salah satu fungsi utama kulit adalah proteksi terhadap bahan patogen.

Sebagian besar patogen tidak dapat menembus kulit sehat. Adanya kerusakan sawar kulit akan mempermudah masuknya alergen dan kolonisasi mikroba pada kulit penderita DA. Mikroba akan memicu pelepasan sitokin proinflamasi sehingga menimbulkan reaksi inflamasi di kulit. Gangguan fungsi sawar kulit yang diperankan oleh stratum korneum berperan penting pada DA. Stratum korneum merupakan sel yang tersusun berlapis, terdiri atas korneosit yang dikelilingi oleh ruang antar sel/interselular berisi lipid yang dibentuk badan lamelar. Lipid tersebut mengandung seramid, kolesterol dan asam lemak bebas (free fatty acids) dan berfungsi menghambat penguapan air. Berbagai protease dan penghambat protease dapat ditemukan pada stratum korneum ini. Peningkatan kadar protease akan merusak enzim pembentuk lipid, termasuk seramid. Peptida antimikroba yang dikeluarkan oleh badan lamelar dapat ditemui di ruang interselular.13,14,16

Inflamasi yang dicetuskan olehIL-4, IL-10 danIL-13 akan menurunkan regulasi peptidaantimikrobapada kulitpenderita DA. Akibatnya terjadi gangguan pada mekanisme pertahanan tubuh terhadap invasi mikroba setelah barier kulit sebagai pertahanan lini pertama mengalami kerusakan. Beberapa jenis peptida antimikroba antara lain HBD-2(human β defensins-2), HBD-3(human β defensins- 3), cathelicidins dan dermcidins. Kombinasi antara gangguan fungsi sawar kulit,

(7)

7 pengenalan terhadap mikroba dan sistem respon kulit berperan terhadap peningkatan kejadian infeksi kulit pada penderita DA.9,10,15

Gambar 1. Defek sistem imun alamiah (dikutip dari kepustakaan nomor 1)

Mekanisme awal yang merangsang terjadinya inflamasi kulit pada penderita DA masih belum diketahui dengan pasti. Induksi neuropeptida, iritasi atau garukan yang dipicu rasa gatal akan mengeluarkan sitokin proinflamasi dari keratinosit. Gangguan sawar kulit pada DA jugaakan meningkatkan kerentanan terhadap sensitisasi alergen dan kolonisasi mikroba. Sel dendritik (SD) berperan mendeteksi alergen lingkungan atau patogen melalui pengenalan reseptor TLR.

Terdapat dua macam sel dendritik pada kulit yang berikatan dengan reseptor IgE afinitas tinggi (FcεRI) yaitu sel Langerhans (SL) dan sel dendritik inflamatori epidermal. Ikatan antara sel Langerhans dengan IgE akan mempresentasikan alergen kepada sel Th2 (T helper 2)yang selanjutnya menghasilkan IL-4. SL ini dapat bermigrasi ke kelenjar getah bening untuk mengaktivasi sel T naif menjadi

(8)

8 sel Th2 sistemik.Sel keratinosit, eosinofil dan basofil turut memicu respon terhadap sel Th2.9,10

Pada DA terjadi ketidakseimbangan antara sel Th1 dan Th2. Sel Th1 memproduksi IL-12 dan TNF-γ, sedangkan sel Th2 memproduksi IL-3, IL-4, IL- 5, IL-9 dan IL-13.Jumlah sel Th2pada fase akut lebih dominan dibandingkan dengan Th1. Hal ini menyebabkan produksi dari sitokin Th2 seperti IL-3, IL-4, IL-5, IL-9 dan IL-13 mengalami peningkatan. IL-4 dan IL-13 merangsang limfosit B untuk memproduksi IgE, menyebabkan ekspresi VCAM-1(vascular cell adhesion molecule-1) dan menghambat HBD-2 dan HBD-3. IL-4 juga akan menghambat produksi IFN-γ. Akibatnya pada fase akut terjadi peningkatan IgE sel plasma dan penurunan kadar IFN-γ.Sebaliknya pada fase kronisterjadi pergeseran dominasi dari Th2 menjadi dominasi Th1.Peningkatan IL-12 menginduksi diferensiasi sel Th2 ke arah Th1 sehingga turut mengakhiri pembentukan sitokin sel Th2 pada fase akut. Pada fase ini juga terjadi peningkatan produksi IFN-γ, IL-18, serta GM-CSF(granulocyte macrophage colony stimulating factor). GM-CSF yang diproduksi keratinosit berperan untuk kelangsungan hidup eosinofil dan makrofag pada lesi kronik.8,9,15

Gambar 2. Patogenesis Dermatitis Atopik (dikutip dari kepustakaan nomor 9)

(9)

9 2.1.4 Manifestasi Klinis Dermatitis Atopik

Gambaran klinis DA berupa distribusi dan morfologi lesi khas yang dapat membantu penegakan diagnosis. Gejala utama yang terpenting adalah gatal (pruritus) yang berat dan tidak tertahankan sehingga mengganggu tidur. Distribusi lesi pada DA bergantung pada usia awitan. Morfologi lesi sangat bervariasi berupa eritema, papul, likenifikasi, erosi, eksoriasi, eksudasi dan krusta bergantung pada stadium lesi.10,17

Lesi akut pada DA ditandai dengan eritema berbatas tidak tegas, papul, papulovesikel, erosi dan eksudat. Lesi subakut berupa plak eritema, berskuama, ekskoriasi dan papul, sedangkan lesi kronik didapatkan plak tebal/likenifikasi berwarna kehitaman dan papul fibrotik (prurigo). Bila telah berlangsung lama, morfologi lesi pada ketiga stadium tersebut dapat ditemukan baik secara bersamaan atau pada waktu yang berlainan.10,18,19

2.1.5 Klasifikasi Dermatitis Atopik

Hill dan Sulzberger membagi DA menjadi 3 fase klinis berdasarkan distribusi dan morfologi lesi sesuai dengan usia yaitu fase infantil (0-2 tahun), fase anak (2-12 tahun) dan fase dewasa (>12 tahun).

1) Fase infantil (0-2 tahun)

Dermatitis atopik paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan, biasanya setelah usia 2 bulan. Lesi dimulai pada daerah wajah yaitu pipi, dagu, dahi, telinga, leher, skalp dan badan. Seiring bertambahnya usia, lesi dapat mengenai bagian ekstensor ekstremitas dengan distribusi simetris.

Lesi biasanya cenderung akut berupa eritema, papul, vesikel, erosi, eksudat dan krusta.

2) Fase anak (2-12 tahun)

Fase ini merupakan kelanjutan dari fase infantil. Distribusi lesi bergeser dari daerah ekstensor ke fleksural. Daerah yang paling sering terkena adalah pergelangan tangan, pergelangan kaki, tangan, kaki, daerah antekubital dan popliteal, leher, lipatan intergluteal dengan distribusi simetris serta daerah wajah terutama periorbital. Pada fase ini, lesi

(10)

10 cenderung lebih kronik dan terdapat likenifikasi. Lesi berupa plak eritema, berskuama, batas tidak tegas, eksudat, krusta dan ekskoriasi. Kadang- kadang terjadi kelainan pada kuku berupa nail pitting atau distrofik.

3) Fase dewasa (>12 tahun)

Fase ini dimulai saat pubertas dan dapat berlangsung hingga dewasa.

Distribusilesi kurang khas, dimana daerah yang paling sering terkena adalah lipatan fleksural, muka, leher, lengan atas, punggung, serta bagian dorsal tangan, kaki, jari tangan dan jari kaki. Lesi berupa papul/plak eritema, kering, berskuama dan terdapat likenifikasi. Dapat ditemukan krusta dan eksudat, biasanya karena infeksi stafilokokus. Pada pubertas sering ditemui papul likenifikasi hiperpigmentasi (prurigo nodularis) di ekstremitas bawah. Pada kulit gelap dapat terjadi hiperpigmentasi paska inflamasi terutama di derah likenifikasi.11,19

2.1.6Kriteria Diagnosis Dermatitis Atopik

Diagnosis DA berdasarkan keluhan dan gambaran klinis.Diagnosis didasarkan pada riwayat penyakit (penderita/keluarganya) serta tanda dan gejala yang khas.

Pruritus kronik, morfologi dan distribusi lesi sesuai usia merupakan gambaran dermatitis atopik yang penting. Hanifin dan Rajka membuat kriteria diagnosis untuk DA yang didasarkan pada 4 kriteria mayor dan beberapa kriteria minor.DA ditegakkan apabila ditemukan paling sedikit 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor.10,12,19

Tabel 1. Kriteria Hanifin dan Rajka(dikutip dari kepustakaan nomor 10)

Kriteria mayor Kriteria minor

 Gatal

 Distribusi dan morfologi lesi khas (likenifikasi fleksural pada dewasa dan anak yang berusia tua, keterlibatan wajah dan ekstensor pada bayi dan anak usia dini)

 Dermatitis kronis atau kambuh- kambuhan

 Riwayat perorangan atau

 Kulit kering

 Iktiosis/keratosis

pilaris/hiperliniar palmaris

 Dermatitis non spesifik pada tangan dan kaki

 Dermatitis di papila mammae

 Keilitis

 Aksentuasi perifolikular

 Pitiriasis alba

 Gatal bila berkeringat

(11)

11 keluarga dengan penyakit atopi

(asma, rhinitis alergi, DA)

 Intolerans terhadap wol dan pelarut lemak

 Kadar IgE di dalam serum meningkat

 Tes kulit positif

 Intoleran terhadap makanan

 Infeksi kulit

 Wajah pucat atau eritema

 White dermographism/ delayed blanch

 Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan/emosi

 Konjungtivitis berulang

 Lipatan infraorbital Dennie Morgan

 Keratokonus

 Katarak subkapsular anterior

 Orbita menjadi gelap

2.1.7 Derajat Keparahan Dermatitis Atopik

Derajat keparahan DA dinilai dengan menggunakan indeks SCORAD (Score of Atopic Dermatitis) yang dibuat oleh ETFAD(European Task Force on Atopic Dermatitis) pada tahun 1993. Penilaian indeks SCORAD meliputi perkiraan luas permukaan kulit yang terlibat, intensitas lesi dan keluhan subyektif terhadap DA.

Sistem penilaian SCORAD yaitu:

1. Luas lesi kulit (A)

Luas lesi kulit yang dihitung adalah lesi inflamasi dan tidak mencakup kulit kering. Perhitungan luas lesi kulit menggunakan rule of nine dengan kisaran skor antara 0-100%.

2. Intensitas lesi (B)

Intensitas lesi yang dinilai adalah eritema, edema/papul, eksudasi/krusta, ekskoriasi, likenifikasi dan kulit kering dengan kisaran skor antara 0-18.

3. Keluhan subyektif (C)

Penilaian keluhan subyektif terhadap rasa gatal dan gangguan tidur selama 3 hari terakhir dengan menggunakan visual analog scale yang dinyatakan

(12)

12 dalam kisaran skor antara 0-10 untuk masing-masing kriteria. Skor maksimal adalah 20.

Indeks SCORAD dihitung dengan menggunakan rumus A/5+7B/2+C. Nilai maksimum adalah 103. Selanjutnya ditentukan derajat keparahan DA dimana DA derajat ringan apabila nilainya <25, derajat sedang apabila antara 25-50 dan derjat berat apabila >50.20,21

2.2. Malassezia

2.2.1 Spesies Malassezia

Jamur genus Malasseziadideskripsikan pertama kali padapertengahan abad 19. Spesies Malassezia diakui sebagai anggota dari flora normal mikrobiologi kulit manusia dan hewan.Malassezia spp. merupakan genus ragi lipofilik dimana sebagian besar spesies ini tidak memiliki gen untuk melakukan sintesis asam lemak. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan gizi sangat bergantung pada sumber asam lemak eksogen.Kebutuhannya terhadap lipid eksogen menjelaskan predileksi spesies Malassezia, yaitu pada daerah kulit seboroik seperti kepala dan leher.22,23

Anggota spesies genusMalasseziatelah berulang kalidirevisiselama dua dekadeterakhir. Padaawal tahun 1990genusMalasseziahanya terdiri dari tigaspesiesyaituMalasseziafurfur,

MalasseziapachydermatisdanMalasseziasympodialis.Pada tahun 1996diidentifikasi empat spesieslainnya yaitu Malasseziaglobosa, Malasseziaobtusa, Malassezia slooffiaedanMalasseziarestricta. Selanjutnya tahun 2002ditemukan tujuhspesies baruyaituMalassezia dermatis, Malasseziaequina, Malasseziajaponica, Malassezianana, Malasseziayamatoensis, MalasseziacapraedanMalasseziacuniculi.Secara keseluruhangenusMalassezia saat ini beranggotakan 14spesies, dimanasemua spesiesmerupakan lipid- dependenkecuali Malassezia pachydermatis.22,24

(13)

13 2.2.2 Distribusi Malasseziasp pada Kulit

SpesiesMalasseziayang paling sering diisolasi dan dianggap memiliki keterkaitan dengan DA adalah Malasseziasympodialis.Hampir setengah daripenderita DA dewasamemiliki sensitivitas terhadapMalassezia sympodialis.Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan IgEspesifikMalassezia.Kondisi ini jarang ditemuipada penyakitalergi lainnya.22,25

Studi Nakabayashi dkk (2000) di Jepang mendapatkan bahwa Malassezia sympodialismerupakan spesies terbanyak ketiga pada lesi kulit penderita DA (7%) setelahMalassezia furfur (21%) dan Malassezia globosa (14%). Penelitian oleh Gupta dkk (2001) di Kanadajuga mendapatkan bahwa Malassezia sympodialismendominasi pada penderita DA (51,5%). Spesies ini menduduki peringkat ketiga dalam jumlah keseluruhan antara spesies Malassezia yang mengkoloni kulit manusia normal dengan kadar bervariasi10%-40%. Sebaliknya penelitian lainmenunjukkan Malassezia globosa dan Malassezia restricta sebagai spesies yang dominan pada penderita DA antara 87,5%-100%, sedangkan Malassezia sympodialis sebesar 40,6%-58,3%.22,25

Penelitian Dharmaputra dkk (2010) di Surabaya didapatkan kadar IgE spesifik Malassezia furfurlebih tinggi pada pria dibanding wanita.Berdasarkan patogenesis DA tidak ada perbedaan respon imunologis antara pria dan wanita.

Sebaliknya berdasarkan keaktifan kelenjar sebasea dan produksi sebum terdapat perbedaan antara pria dan wanita. Pada pria sekresi sebum lebih banyak daripada wanita.Kadar IgE spesifik terhadap Malassezia bervariasi tergantung umur, dimana pada penderita DA dewasa lebih tinggi dibandingkan anak-anak.Hal ini berkaitan dengan aktivitas kelenjar sebasea yang mengalami peningkatan pada masa bayidan saat memasuki usia pubertas.Pada masa awal kehidupan ditemui pengaruh hormon androgen dari ibu. Sedangkan pada usia pubertas terjadi peningkatan produksi hormon androgen. Hal ini menyebabkan peningkatan aktivitas kelenjar sebasea, sehingga terjadi peningkatan kolonisasi Malassezia.4,26,27 Peningkatan jumlah koloni Malassezia dijumpai pada bagian tubuh yang kaya lemak seperti kepala dan leher.25,28Bayrou dkk (2004) di Paris

(14)

14 mendapatkan peningkatan kadar IgE spesifikMalassezia pada penderita DA dengan lesi di kepala dan leher 100%, sedangkan pada penderita DA tanpa lesi di kepala dan leher hanya 28%.29

2.2.3Peran Malassezia terhadap Dermatitis Atopik

Kombinasi antaradisfungsi barier kulit dan disfungsi imunologi dianggap sebagai kelainan utama yang mendasari DA. Beberapa faktor yang berpengaruh dalam memfasilitasi aktivitas Malassezia pada penderita DA adalah:

1. Gangguan barier kulit

Gangguan barierkulit merupakan faktor penting dalam inisiasi eksaserbasi DA.

Pada DA terjadi mutasi protein filagrin yang merupakan protein penting untuk pembentukan dan hidrasi sawar kulit serta memiliki kemampuan mengikat air.

Penurunan kadar lemak yang mengisi ruang interseluler di stratum korneum (seramid, kolesterol, asam lemak) pada DA menyebabkan peningkatan TEWL (trans epidermal water loss)sehingga kulit menjadi kering.30Interaksi antara alergen Malassezia dengan barier kulit yang rusak merangsang sistem imun bawaan seperti keratinosit, sel dendritik, sel NK(natural killer cell) dan sistem imun didapat yaitu sel T dan sel B.25,27Kerusakan barier kulit juga akan menyebabkan Malassezia berinteraksi dengan sel mast. Letak sel mast di dermis superfisial dekat dengan pembuluh darah akan memberikan keuntungan dalam berinteraksi dengan alergen yang menyebar melalui epidermis yang rusak. Oleh karena itu, sel mast dianggap sebagai sel efektor kunci selama respon imun IgE terkait tipe Th2. Sel mast juga berikatan dengan reseptor IgE berafinitas tinggi (FcεRI) yang menyebabkan pelepasan mediator inflamasi kuat seperti histamin, protease, faktor kemotaksis, sitokin dan metabolit asam arakidonat. Sel mast memiliki berbagai reseptor permukaan sel yang dapat berinteraksi langsung dengan patogen termasuk TLR yang terlibat dalam pengenalan terhadap invasi mikroorganisme. Baru-baru ini dilaporkan bahwa aktivasi sinergis antara TLR2 dan FcεRI dapat terjadi pada sel mast serta menyebabkan peningkatan produksi sitokin inflamasi.31,32

(15)

15 2. Perubahan pH kulit

Kadar pH kulit pada individu normal adalah 4,5-5,5. Pada DA terjadi peningkatan kadar pH kulit ~ 6. Kondisi ini menyebabkan peningkatan aktivitas enzim serine protease, penurunan permeabilitas sawar, penurunan integritas stratum korneum, penurunan peptida antimikroba dan peningkatan aktivitas sitokin.30 Pelepasan alergen Malasseziaakan meningkat pada kondisi pH ~ 6,1 dimana kondisi ini menyerupai pH pada penderita DA. Faktor-faktor ini secara signifikan berkontribusi dalam peningkatan alergen Malassezia yang akan dipresentasikan kepada sistem imun bawaan dan didapat.7,27,32

3. Disfungsi sistem imunitas

Sel dendrit akan mengenali dan menangkap alergen Malassezia untuk selanjutnya disajikan kepada sel T dan sel NK. Sel-sel ini meningkatkan kemampuan dari sel dendrit yang semula immature menjadi mature dan mempengaruhi keratinosit untuk memproduksi sitokin proinflamasi seperti IL-4, Il-5, IL-10, IL-13, IL-6, IL- 8, TNF-α. Pada penderita DA ditemukan peningkatan IL-8 dan kemokin dibandingkan dengan individu sehat. Sitokin-sitokin ini akan menarik sel-sel imun dari pembuluh darah ke kulit dan retensi pada kulit penderita DA setelah paparan alergen Malassezia.Saat ini ditemukan 13 alergen dari 2 spesies Malassezia yaitu Malassezia furfur dan Malassezia sympodialis.Berikut adalah alergen Malassezia yang telah teridentifikasi, dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Alergen Malassezia (dikutip dari kepustakaan nomor 31)

Alergen Fungsi Ukuran (kDa)

Mala s 1 Q4P4P8 dan Tri 14 36

Mala f 2 Protein peroksisomal 20

Mala f 3 Protein peroksisomal 21

Mala f 4 Mitokondrial malat dehidrogenase 35

Mala s 5 Protein peroksisomal 18

Mala s 6 Siklopilin 17

Mala s 7 Tidak diketahui 16

Mala s 8 Tidak diketahui 18

Mala s 9 Tidak diketahui 14

Mala s 10 Protein heat shock 70 86

Mala s 11 Mangan superoksida dismutase 22

(16)

16

Mala s 12 Glukosa metanol kolin 67

Mala s 13 Tioredoksin 12

Setelah sel dendritik mempresentasikan alergen Malassezia ke sel T, sel T akan merangsang sel B untuk memproduksi IgE spesifik Malassezia melalui peningkatan sitokin IL-4, IL-5, Il-13. Adanya peningkatan kadar IgE spesifik Malassezia merupakan salah satu pertanda adanya sensitisasi terhadap Malassezia.Sel NK berperan dalam meningkatkan regulasi dari sel dendritik.

Paparan alergen Malassezia memicu peningkatan aktivitas sel dendritik dalam merangsang sel T dan berinteraksi dengan sel NK.27,31

Gambar 3. Mekanisme Malassezia memicu inflamasi pada penderita DA (dikutip dari kepustakaan nomor 27)

2.3Head and Neck Atopic Dermatitis (HNAD)

Head and Neck Atopic Dermatitis (HNAD) merupakan varian dari DA yang terjadi setelah pubertas dan melibatkan kepala dan leher. DA yang muncul pada saat masa anak-anak dan remaja dapat berlanjut sampai dewasa. Hal ini melibatkan Mallasezia sebagai flora normal kulit yang mendominasi daerah kepala dan leher. Paparan Malassezia pada kepala dan leher secara terus menerus menjadi faktor pencetus DA, seiring dengan peningkatan aktivitas kelenjar

(17)

17 sebasea pada daerah tersebut. Hal ini telah diuji laboratorium yang menunjukkan bahwa penderita usia 12 tahun atau dewasa memiliki kadar IgE spesifik Malassezia yang tinggi dan tes tusuk kulit positif dibandingkan dengan penderita usia kurang dari 12 tahun.25,27Penelitian Dharmaputra dkk (2010) di Surabaya mendapatkan bahwa peningkatan IgE spesifik Malassezia tidak berkorelasi terhadap derajat keparahan DA.4 Hasil berbeda didapatkan dari studi Bayrou dkk (2004) di Paris menunjukkan korelasi yang signifikan antara peningkatan kadar IgE spesifik Malassezia dengan derajat keparahan DA. Sehingga korelasi antara peningkatan kadar IgE spesifik Malassezia dengan derajat keparahan DA masih kontroversial hingga saat ini.3

Malassezia merupakan organisme yang sulit dikultur. Dugaan adanya keterlibatan Malassezia pada penderita DA apabila (1) lesi melibatkan daerah kepala dan leher (2) eksaserbasi saat remaja atau dewasa karena peningkatan aktivitas kelenjar sebasea sehingga mendukung kolonisasi Malassezia (3) lesi tidak membaik dengan terapi konvensional (4) penyakit atopi lainnya.3Faktor- faktor seperti keringat berlebih, panas, paparan sinar matahari dan stres emosional juga memperburuk bentuk dari DA ini.Beberapa penderita diamati mengalami perbaikan dengan pengobatan antijamur sistemik. Respon terapi terhadap Malassezia merupakan bukti konfirmasi terbaik adanya keterlibatan Malassezia pada penderita DA.29,33

2.4 Strategi pengobatan

Berbagai obat anti jamur oral atau topikal efektif terhadap Malassezia.Ketokonazol dan itrakonazol merupakan agen terapi antijamuroral yang paling sering digunakan untuk DA terkait Malassezia. Keduanya memiliki sifat sebagai anti inflamasi.29 Bekerja dengan cara menghambat produksi IL-4 dan IL-5 sehingga menurunkan kadar IgE spesifik Malassezia.25Penggunaan obat ini memberikan perbaikan lesi klinis, penurunan kadar IgE spesifik Malassezia dan penurunan serum IgE total. Ikezawa dkk (2004) mendapatkan 100% dari 40 penderita HNAD yang diberikan terapi itrakonazol 100 mg/hari selama 8 minggu memberikan perbaikan lesi klinis, penurunan kadar IgE spesifik Malassezia,

(18)

18 penurunan serum IgE total.27 Hal ini disebabkan aktivitas antijamur dari itrakonazol memiliki spektrum yang luas dan mampu penetrasi ke kulit. Beberapa studi menyatakan pemberian ketokonazol 200 mg/hari atau itrakonazol 100-200 mg/hari selama minimal 1 bulan memberi perbaikan klinis.28,27,34 Efek samping ketokonazol berupa ginekomastia, perubahan endokrin dan gangguan fungsi hati.

Efek samping tersering itrakonazol adalah efek gastrointestinal.Pemantauan rutin terhadap fungsi hati harus dievaluasi mengingat kedua obat ini memberikan efek hepatotoksik.35

Penelitian yang mengevaluasi efikasi klinis terapi anti jamur topikal pada DA terkait Malassezia sangat sedikit. Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan krim bifonazol, sampo ketokonazol 2x/minggu serta kombinasi krim mikonazol dan hidrokortison 2x/hari selama 4 minggu, krim siklopiroksolamin 1% 2x/hari memberi perbaikan klinis pada pasien HNAD. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara penggunaan anti jamur oral dan topikal.34,36

Tabel 3. Penelitian efektivitas terapi anti jamur untuk DA (diambil dari kepustakaan nomor 34)

Peneliti Desain Jumlah (n)

Dosis/durasi Hasil

Clemmensen dan Hjorth (1983)

DB, PC, rand.

19 Ketokonazol 200 mg/hari selama 4 minggu (n=9) vs plasebo (n=10)

Perbaikan signifikan Black dkk

(1995)

open 20 Ketokonazol 200mg/hari selama 2 bulan dilanjutkan 200 mg 2x/minggu selama 3 bulan

Perbaikan klinis (p<0,01),

penurunan kadar IgE spesifik Malassezia Broberg dan

Faergemann (1995)

DB, rand.

53 Hidrokortison+Miconazol krim 2x/hari topikal dan sampo ketokonazol

2x/minggu vs

Hidrokortison

krim+sampo plasebo selama 4 minggu, flukloxasilin selama 2 minggu, follow-up 6 minggu

Perbaikan klinis pada kedua grup,

tidak ada

perbedaan

Back dan DB, 29 Ketokonazol 200 mg/hari Perbaikan pada

(19)

19 Bartosik

(2001)

PC, rand.

(n=15) vs plasebo (n=14) selama 3 bulan, steroid topikal bila dibutuhkan

kedua grup

Lintu dkk (2001)

DB, PC, rand

80 Ketokonazol 200 mg/hari vs plasebo selama 1 bulan

Perbaikan klinis

pada grup

ketokonazol Svejgaard

dkk (2004)

DB, PC, rand.

53 Itrakonazol 400 mg/hari

vs itrakonazol

200mg/hari vs plasebo selama 7 hari, 105 hari di follow-up

Perbaikan klinis

pada grup

itrakonazol setelah 14 hari DB = Double blind; PC = Placebo-controlled; rand. = randomized

Glatz dkk (2015) menyatakan bahwa beberapa penelitian yang dipublikasikan mengenai efektivitas terapi anti jamur pada penderita DA terkait Malasseziadinilai kurang berkualitas.28Walaupun terdapat perbaikan klinis, penurunan kadar IgE spesifik Malassezia, masih dibutuhkan studi lebih lanjut untuk menilai manfaat terapi anti jamur pada DA terkait Malasseziadan menentukan regimen pengobatan yang optimal. Hal yang terpenting pada DA adalah pemberian KIE (komunikasi edukasi informasi) untuk mencegah eksaserbasi DA terkait Malassezia. Penderita disarankan untuk menghindari faktor pencetus seperti paparan sinar matahari, segera membersihkan keringat berlebih, memakai pakaian yang menyerap keringat dan menjaga kelembaban kulit.25,28

(20)

20 BAB III

RINGKASAN

Malasseziamerupakan bagian dari flora normal pada kulit manusia yang dapat memicu DA. Beberapa contoh Malassezia yang mendominasi pada kulit manusia Malassezia sympodialis, Malassezia furfur, Malassezia globosa dan Malassezia restricta. Pada kondisi kulit normal pH ~ 4,5-5,5, Malassezia tidak akan menjadi patogen. Sebaliknya pada kondisi pH yang meningkat~ 6, Malassezia dapat berkembang menjadi patogen.

Malassezia sebagai jamur yang bersifat lipofilik, terdistribusi di daerah kaya produksi lipid seperti kepala dan leher. DA merupakan penyakit yang ditandai adanya inflamasi kulit, rasa gatal dan bersifat relaps kronis. Penyakit ini sering dijumpai terutama pada anak-anak dan dapat bertahan hingga dewasa.

Head and neck atopic dermatitismerupakan varian DA yang terjadi setelah pubertas dan terutama melibatkan daerah kepala dan leher.

Keterlibatan Malassezia pada DA dibuktikan melalui berbagai uji laboratorium yang menunjukkan peningkatan produksi IgE spesifik Malassezia.

Mekanisme yang mendasariperanMalassezia terhadap DA terjadi melalui disfungsi barier kulit, perubahan kadar pH kulit dan disfungsi sistem imunitas.

Faktor-faktor ini memudahkan penetrasi alergen Malasseziadan selanjutnya meningkatkan respon inflamasi. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara terapi anti jamur oral ataupun topikal. Namun dibutuhkan studi lebih lanjut untuk menilai efikasi dan menentukan regimen pengobatan yang optimal.

(21)

21 Lampiran 1. Lembar isian indeks SCORAD (dikutip dari kepustakaan nomor 20)

(22)

22 DAFTAR PUSTAKA

1. Benedetto A.D., Agnihothri R., McGirt L.Y., Bankova L.G., Beck L.A.

Atopic Dermatitis: A Disease Caused by Innate Immune Defects?. J Invest Dermatol 2009; 129: 14-30.

2. Wuthrich B., Cozzio A., Roll A., Senti G., Kundig T., Schmid-Grendelmeier P. Atopic eczema: genetics or environment. Ann Agric Environ Med 2007;

14: 195-201.

3. Brodska P., Panzner P., Pizinger K., Schmid-Grendelmeier P. IgE-Mediated Sensitization to Malassezia in Atopic Dermatitis: More Common in Male Patients and in Head and Neck Type. Dermatitis 2014; 25(3): 120-6.

4. Darmaputra I.G.N., Rahmadewi, Ervianti E., Zulkarnain I. Profil Kadar IgE Spesifik terhadap Malassezia Furfur pada Berbagai Derajat Keparahan Dermatitis Atopik Anak di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin 2010; 22(2): 114-20.

5. Saunders C.W., Scheynius A., Heitman J. Malassezia Fungi Are Specialized to Live on Skin and Associated with Dandruff, Eczema, and Other Skin Diseases. Plos Pathogens 2012; 8(6): 1-4.

6. Gaitanis G., Magiatis P., Hantschke M., Bassukas J.D., Velegrakid A. The Malassezia Genus in Skin and Systemic Diseases. Clin Microbiol 2012;

25(1): 106-41.

7. Selander C., Zargari A., Mollby R., Rasool O., Scheynius A. Higher pH level, corresponding to that on the skin of patients with atopic eczema, stimulates the release of Malassezia sympodialis allergens. Allergy 2006; 61: 1002-8.

8. Lipozenzic J., Pastar Z., Kulisic S.M., Pavic I. Immunologic aspect of atopic dermatitis. Acta Dermatovenereol Croat 2009; 17(3): 226-34.

9. Bieber T. Mechanisms of Disease Atopic Dermatitis. N Engl J Med 2008;

358: 1483-94.

10. Leung D.Y.M., Lawrence F.E., Boguniewicz M. Atopic Dermatitis. In:

Goldsmith L.A., Katz S.I., Gilchrest B.A., Paller A.S., Leffell D.J., Wolff K., editors. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 8thed. New York:

McGraw Hill; 2012.p.165-75.

11. Watson W. and Kapur S. Atopic Dermatitis. Allergy, Asthma and Clin Immunol 2011; 7(suppl 1): 1-7.

12. Carson C.G. Risk factors for developing atopic dermatitis. Dan Med J 2013;

60(7): 1-24.

13. Nutten S. Fifty percent of all those with atopic dermatitis develop other allergic symptoms within their first year of life and probably as many as 85%

of patients experience an onset below 5 years of age. Ann Nutr Metab 2015;

66(suppl 1): 8-16.

14. Elias P.M. and Schmuth M. Abnormal Skin Barrier in the Etiopathogenesis of Atopic Dermatitis. Curr Opin Allergy Clin Immunol 2009; 9(5): 437-46.

15. Hata T.R. and Galo R.L. Antimicrobial peptides, skin infections and atopic dermatitis. Semin Cutan Med Surg 2008; 27(2): 144-50.

(23)

23 16. Addor F.A.S and Aoki V. Skin barrier in atopic dermatitis. An Bras Dermatol

2010; 85(2):184-94

17. James W.D., Berger T.G., Elston D.M. Andrews’ diseases of the skin clinical dermatology. 11th ed. USA: Elsevier. 2011.p.62-70.

18. Berke R., Singh A., Guralnick M. Atopic Dermatitis: An Overview. American Family Physician 2012; 86(1): 35-42.

19. Jamal S.T. Atopic dermatitis: an update review of clinical manifestations and management strategies in general practice. Bull Kuwait Inst Med Spec 2007;

6: 55-62.

20. Oranje A.P., Glazenburg E.J., Wolkerstofer A., de Waard-van der Spek F.B.

Practical issues on interpretation of scoring atopic dermatitis: the SCORAD index, objective SCORAD and the three-item severity score. Brit J Derm 2007; 157: 645-8.

21. Motswaledi M.H. An approach to mild to moderate atopic eczema. South African family Practice 2012; 54: 411-412.

22. Jagielski T., Rup E., Ziolkowska A., Roeske K. Macura A.B., Bielecki J.

Distribution of Malassezia species on the skin of patients with atopic dermatitis, psoriasis, and healthy volunteers assessed by conventional and molecular identification methods. BMC Dermatol 2014; 14(3): 1-15.

23. Ashbee H.R. Update on the genus Malassezia. Medical Mycology 2007; 45:

287-303.

24. Zhang E., Tanaka T., Tajima M., Tsuboi R., Kato H., Nishikawa A., Sugita T.

Anti-Malassezia -Specific IgE Antibodies Production in Japanese Patients with Head and Neck Atopic Dermatitis: Relationship between the Level of Specific IgE Antibody and the Colonization Frequency of Cutaneous Malassezia Species and Clinical Severity. J Allergy 2011; 1-6.

25. Schmid-Grendelmeier P., Scheynius A., Crameri R. The Role of Sensitization to Malassezia sympodialisin Atopic Eczema. Chem Immunol Allergy 2006;

91: 98–109.

26. Aspres N. and Anderson C. Malassezia yeast in the pathogenesis of atopic dermatitis. Aus J Dermatol 2004; 45: 199-207.

27. Darabi K., Hostetler S.G., Bechtel M.A., Zirwas M. The role of Malassezia in atopic dermatitis affecting the head and neck of adults. J Am Acad Dermatol 2009; 60: 125-36.

28. Glatz M., Bosshard P.P., Hoetzenecker W., Schmid-Grendelmeier P. The Role of Malassezia spp. in Atopic Dermatitis. J Clin Med 2015; 4: 1217-28.

29. Bayrou O., Pecquet C., Flahaultb A., Artigoua C., Abuafa N., Leynadiera F.

Head and Neck Atopic Dermatitis and Malassezia-furfur-Specific IgE Antibodies. Dermatology 2005; 211:107-113.

30. Elias P.M. The Skin Barrier as an Innate Immune Element. Semin Immunopathol 2007; 29: 3-14.

31. Selander C. The role of Malassezia Allergens and Mast Cells in Atopic Eczema. Stockholm: Karolinska Institutet; 2009.p.1.28

32. Nakashima T. and Niwano Y. Fungus as an Exacerbating Factor of Atopic Dermatitis, and Control of Fungi for the Remission of the Disease. In:

(24)

24 Esparza-Gordilo J., editors. Atopic Dermatitis-Disease Etiology and Clinical management. Croatia: University Campus Step Ri; 2012.p.141-9.

33. Bieber T and Bussmann C. Atopic Dermatitis. In: Bolognia J.L., Jorizzo J.L., Schaffer J.V., editors. Dermatology. 3rded. China: Elsevier; 2009.p.203-17.

34. Mayser P., Kupfer J., Nemetz D., Schafer U., Nilles M., Hort W., Gieler U.

Treatment of Head and Neck Dermatitis with Ciclopiroxolamine Cream- Results of a Double-Blind, Placebo-Controlled Study. Skin Pharmacol Physiol 2006; 19: 153-8.

35. Widaty S. Obat antijamur. Dalam: Bramono K., Suyoso S., Indriatmi W., Ramali L.M., Widaty S., Ervianti E., editors. Dermatomikosis Superfisialis.

Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2013.

Hal.167-79.

36. Aspres N. and Anderson C. Malassezia yeast in the pathogenesis of atopic dermatitis. Aus J Dermatol 2004; 45: 199-207.s

Gambar

Gambar 1. Defek sistem imun alamiah (dikutip dari kepustakaan nomor 1)
Gambar 2. Patogenesis Dermatitis Atopik (dikutip dari kepustakaan nomor 9)
Tabel 1. Kriteria Hanifin dan Rajka(dikutip dari kepustakaan nomor 10)
Tabel 2. Alergen Malassezia (dikutip dari kepustakaan nomor 31)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu caranya adalah dengan mulai memilih, membeli, dan menggunakan produk-produk kayu dan turunannya seperti kertas dan tisu yang diproduksi secara lestari,

3) Beberapa studi juga memasukan kemungkinan terjadinya induced trip dan mode transfer trip. Misalnya, Colin Buchanan and Partners atas nama Direktorat Jendrak Purhubungan

Status demografi memberikan preferensi kehamilan tidak terencana terjadi pada usia perkawinan dengan usia muda (16 s/d 20 tahun) (51,7%), lama perkawinan yang kurang dari 10

[r]

Metode rata-rata bergerak merup akan metode peramalan menggunakan sejumlah data aktual dari permintaan yang lalu dengan kurun waktu jenjang periode tertentu (yang

Based on a worldwide survey of global freight forwarders and express carriers, the Logistics Performance Index is a benchmarking tool developed by the World Bank that

Analisis data dengan deskriptif dan Analisis Medan Kekuatan (Force Field Analysis/FFA). Hasil menunjukkan 1) potensi pertanian Kelompok Tani Sumber Klopo I yakni:

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Melnyk (2004) dalam penerapan COPE menunjukkan bahwa pengetahuan yang baik mengenai penyakit anak dan perilaku yang dialami anak