PERMODELAN MATEMATIS MASALAH ARUS LALU LINTAS DAN PENYELESAIANNYA MENGGUNAKAN
METODE KARAKTERISTIK
Tugas Akhir
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Matematika Program Studi Matematika
Disusun Oleh:
Nikodemus Eufrian Krisna Putra NIM: 173114046
PROGRAM STUDI MATEMATIKA JURUSAN MATEMATIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2023
ii
MATHEMATICAL MODELING OF TRAFFIC FLOW PROBLEMS AND ITS SOLUTION USING
THE CHARACTERISTICS METHOD
Thesis
Presented as a Partial Fullfillment of the Requirements To Obtain the Degree of Mathematics
Written by:
Nikodemus Eufrian Krisna Putra Student ID: 173114046
MATHEMATICS STUDY PROGRAM DEPARTMENT OF MATHEMATICS FACULTY OF SCIENCE AND TECHNOLOGY
SANATA DHARMA UNIVERSITY YOGYAKARTA
2022
vi
MOTTO
Lakukan semua hal dengan senyuman dan selalu bersyukur.
(Demus)
viii
ABSTRAK
Transportasi menjadi sarana utama dalam banyak aktivitas untuk memenuhi kebutuhan. Semakin meningkat jumlah populasi di bumi ini semakin besar juga penggunaan transportasinya, dan semakin banyak transportasi berpengaruh juga terhadap arus lalu lintas di suatu ruas jalan. Masalah yang sering muncul pada lalu lintas ialah kemacetan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemacetan antara lain arus lalu lintas yang melebihi kapasitas jalan, ketidakteraturan dalam pengontrolan lampu lalu lintas, pembangunan infrastruktur, dan lain-lain. Salah satu faktor yang akan dipertimbangkan dalam makalah ini adalah arus lalu lintas.
Makalah ini membahas model matematika mengenai hubungan arus, kecepatan, dan kepadatan lalu lintas. Model tersebut berupa persamaan diferensial parsial yang ditulis dalam bentuk hukum konservasi terhadap mobil. Dari hukum konservasi mobil dapat diperoleh kecepatan sebagai fungsi dari kepadatan. Dengan membandingkan hasil model dengan data riil, menurut kurva MAPE (Mean Absolute Percentage Error) dapat disimpulkan bahwa model tersebut baik.
Dalam makalah ini dimodelkan pula arus lalu lintas sesaat setelah lampu merah berubah menjadi hijau. Model diselesaikan dengan menggunakan metode karakteristik. Penyelesaian model kepadatan lalu lintas sesaat setelah lampu merah berubah menjadi hijau akan semakin menurun seiring berjalannya waktu.
Kata kunci: arus lalu lintas, persamaan diferensial parsial, metode karakteristik, hukum konservasi.
ix
ABSTRACT
Transportation is the main means of many activities to meet needs. The more the population on this earth, the greater the use of transportation, and the more transportation also affects the flow of traffic on a road. The problem that often arises in traffic is congestion. Factors that affect congestion include traffic flow that exceeds road capacity, irregularities in controlling traffic lights, infrastructure development, and others. One of the factors that will be considered in this paper is traffic flow.
This paper discusses a mathematical model regarding the relationship between traffic flow, speed and density. The model is a partial differential equation written in the form of the conservation law for cars. From the law of the conservation of cars, we can obtain speed as a function of density. By comparing the model results with real data, according to the MAPE (Mean Absolute Percentage Error) curve it can be concluded that the model is good.
In this paper, traffic flow is also modeled immediately after the red light turns green. The model is solved using the characteristic method. The solution of the traffic density model immediately after the red light turns green will decrease over time.
Keywords: traffic flow, partial differential equation, characteristic method, conservation law.
x
KATA PENGANTAR
Ucapan Puji syukur kepada Tuhan Yesus yang memberikan segala kebaikan-Nya dengan murah hati melalui orang-orang yang saya kenal maupun tidak dan dari setiap penulis alami sehingga Tugas Akhir ini dapat selesai. Tugas Akhir ini dibuat dengan tujuan memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjarna Matematika pada Program Studi Matematika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Sanata Dharma.
Penulis menyadari bahwa penulis melibatkan banyak pihak yang bersedia membantu dalam menghadapi berbagai macam kesulitan, tantangan, dan hambatan.
Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Dr. Lusia Krismiyati Budiasih, S.Si., M.Si., selaku dosen pembimbing Tugas Akhir, dan selaku Wakil Kepala Prodi Matematika yang telah sabar membimbing saya selama mengerjakan Tugas Akhir ini.
2. Bapak YG. Hartono, S.si., Msc., Ph.D., selaku Dosen pembimbing Akademik.
3. Bapak Dr.rer.nat. Herry P. Suryawan, S.Si., M.Si., selaku Kepala Prodi Matematika
4. Bapak Ir. Drs, Haris Sriwindono, M.Kom., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi.
5. Romo Prof. Dr. Frans Susilo, SJ., Bapak Ir. Ig. Aris Dwiatmoko, M.Sc., Bapak Ricky Aditya, M.Sc. Ibu M. V Any Herawati, S.Si., M.Si., selaku dosen-dosen Prodi Matematika yang telah memberikan banyak pengetahuan kepada saya selama proses perkuliahan.
6. Bapak/Ibu dosen/Karyawan Fakultas Sains dan Teknologi yang telah berdinamika Bersama selama saya berkuliah.
7. Kedua orang tua saya Wiwik Ambarwati dan Martinus Kasworo, kakak saya Anastasia Eufrin Prima Santi, adik saya Ignatius Eufrian Dewandaru, dan keluarga besar yang telah membantu serta mendukung penulis selama proses pengerjaan Tugas Akhir.
xii
DAFTAR ISI
PERMODELAN MATEMATIS MASALAH ARUS LALU ... i
MATHEMATICAL MODELING OF TRAFFIC FLOW PROBLEMS AND ITS SOLUTION USING ... ii
THE CHARACTERISTICS METHOD ... ii
TUGAS AKHIR... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
MOTTO ... vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
BAB I ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 2
1.3 Batasan Masalah ... 2
1.4 Tujuan Penulisan ... 2
1.5 Manfaat Penulisan ... 2
1.6 Metode Penulisan ... 3
1.7 Sistematika Penulisan ... 3
BAB II ... 5
2.1 Turunan ... 5
2.2 Integral ... 9
2.3 Persamaan Diferensial... 11
BAB III ... 17
3.1 Variabel-variabel dalam Persamaan Konservasi Mobil ... 17
3.1.1 Kecepatan mobil ... 18
3.1.2 Laju Arus Lalu Lintas ... 19
3.1.3 Kepadatan lalu lintas ... 22
3.2 Hubungan Antara Kecepatan, Kepadatan dan Laju Arus Lalu Lintas ... 25
xiii
3.3 Penurunan Persamaan Konservasi Jumlah Mobil ... 27
3.4 Kecepatan Sebagai Fungsi dari Kepadatan Lalu Lintas ... 31
3.5 Persamaan Laju Arus Lalu Lintas ... 39
BAB IV ... 42
4.1 Metode Karakteristik untuk Persamaan Diferensial Parsial Tingkat Satu ... 42
4.2 Persamaan lalu lintas setelah lampu merah berubah menjadi lampu hijau ... 47
BAB V ... 61
5.1 Kesimpulan ... 61
5.2 Saran ... 61
DAFTAR PUSTAKA ... 62
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Data banyaknya mobil yang melintas pada titik tertentu
Tabel 2. Data jumlah mobil yang melintas dalam interval waktu 10 detik Tabel 3. Data pengukuran interval waktu
Tabel 4. Data pengukuran kepadatan dengan jarak tidak terlalu pendek Tabel 5. Data lalu lintas pada terowongan Lincoln dan jalan Merrit Tabel 6. Data perhitungan MAPE pada terowongan Lincoln
Tabel 7. Data perhitungan MAPE pada jalan Merrit
Tabel 8. Data perhitungan MAPE pada terowongan Lincoln Tabel 9. Data perhitungan MAPE pada jalan Merrit
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Posisi Mobil dijalan raya ditandai dengan 𝑥𝑖 Gambar 2. Laju arus lalu lintas sebagai fungsi waktu Gambar 3. Laju arus lalu lintas sebagai fungsi waktu Gambar 4. Kepadatan lalu lintas
Gambar 5. Jarak antara dua mobil dan panjang mobil
Gambar 6. Data pengukuran pada interval waktu yang pendek Gambar 7. Kepadatan lalu lintas sebagai fungsi posisi
Gambar 8. Contoh kepadatan sebagai fungsi kontinu Gambar 9. Jarak yang ditempuh setiap mobil dalam 𝜏 jam Gambar 10. Ruas jalan [𝑎, 𝑏]
Gambar 11. Kecepatan mobil berkurang saat kepadatan lalu lintas meningkat Gambar 12. Grafik hubungan antara kecepatan dan kepadatan pada terowongan Lincoln dan jalan Merrit
Gambar 13. Hubungan laju arus lalu lintas dan kepadatan
Gambar 14. Grafik persamaan laju arus lalu lintas menggunakan data terowongan Lincoln dan jalan Merrit
Gambar 15. Karakteristik
xvi
Gambar 16. Kondisi awal kepadatan lalu lintas saat lampu menyala merah Gambar 17. Karakteristik kepadatan lalu lintas
Gambar 18. Metode karakteristik sebelum dan sesudah lampu merah menjadi hijau Gambar 19. Kepadatan mobil saat lampu menyala merah
Gambar 20. Kepadatan lalu lintas yang awalnya diskontinu Gambar 21. Diagram ruang waktu posisi karakteristik
Gambar 22. Lalu lintas meluas setelah lampu merah berubah menjadi hijau Gambar 23. Karakteristik fanlike
Gambar 24. Diagram ruang waktu untuk masalah lalu lintas
Gambar 25. Grafik kepadatan lalu lintas saat lampu merah berubah menjadi hijau Gambar 26. Grafik kecepatan saat lampu merah berubah menjadi hijau
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemacetan adalah masalah utama dalam bidang lalu lintas. Banyak orang berpendapat bahwa kemacetan disebabkan oleh laju kendaraan yang tersendat akibat adanya hambatan. Bila hambatan itu terlalu lama terjadi, maka dapat mengakibatkan adanya antrian yang panjang. Antrian panjang dapat menjebak mobil, sehingga dapat menyebabkan kendaraan semakin menumpuk.
Masalah arus lalu lintas adalah masalah yang tidak dapat dihindari. Namun demikian, perlu ditemukan solusi untuk mengatasinya. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk memiliki suatu model yang dapat memprediksi hal-hal terkait masalah lalu lintas, seperti perilaku kemacetan dan dinamika antrian kendaraan.
Salah satu model yang dapat dikembangkan adalah model matematis.
Pada makalah ini, model matematika digunakan untuk memprediksi faktor- faktor terkait masalah lalu lintas, antara lain kecepatan, kepadatan, dan arus lalu lintas. Model berupa persamaan diferensial biasa maupun persamaan diferensial parsial. Untuk model berupa persamaan diferensial parsial dinyatakan dengan persamaan konservasi mobil dan akan diselesaikan dengan metode karakteristik.
Metode karakteristik adalah teknik menyelesaikan persamaan diferensial parsial dengan mengubah masalah menjadi menyelesaikan persamaan diferensial biasa sepanjang kurva karakteristik. Hal ini dapat dilakukan dengan membangun karakteristik persamaan diferensial parsial atas kondisi awal yang diketahui dan di sepanjang garis-garis ini untuk menentukan penyelesaian pada waktu yang akan datang atau daerah yang baru.
Dalam penyusunan model matematika, kecepatan mobil dapat dihubungkan dengan kepadatan mobil, dengan melibatkan konservasi mobil, sehingga didapatkan model dasar arus lalu lintas. Penyelesaian dari model yang akan dikembangkan merupakan fungsi dari kecepatan mobil dan kepadatan lalu lintas.
Sehingga diperoleh informasi yang dapat digunakan untuk menentukan metode dengan hasil yang baik, agar mengurangi volume kemacetan di jalan raya.
1.2 Rumusan Masalah
Perumusan masalah yang dibahas pada tugas akhir ini adalah:
1. Bagaimana model matematis untuk masalah arus lalu lintas?
2. Bagaimana metode karakteristik diterapkan untuk menyelesaikan masalah arus lalu lintas?
1.3 Batasan Masalah
Batasan masalah dalam tugas akhir ini adalah penggunaan metode karakteristik yang ditulis dalam bentuk konservasi mobil.
1.4 Tujuan Penulisan
Tugas akhir ini mempunyai tujuan untuk menyelesaikan masalah arus lalu lintas dengan menggunakan metode karakteristik yang melibatkan konservasi mobil.
1.5 Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini adalah dapat mempelajari masalah arus lalu lintas dan penyelesaiannya dengan metode karakteristik.
1.6 Metode Penulisan
Metode yang digunakan adalah metode studi pustaka, yaitu dengan membaca dan mempelajari buku-buku atau jurnal yang berkaitan dengan masalah arus lalu lintas dan metode karakteristik yang telah dipublikasikan.
1.7 Sistematika Penulisan
Tugas akhir ini disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang 1.2.Rumusan Masalah 1.3. Batasan Masalah 1.4. Tujuan Penulisan 1.5. Manfaat Penulisan 1.6. Metode Penulisan 1.7. Sistematika Penulisan
BAB II PERSAMAAN DIFERENSIAL 2.1. Turunan
2.2. Integral
2.3. Persamaan Diferensial
BAB III MODEL ARUS LALU LINTAS
3.1. Variabel-variabel Dalam Persamaan Konservasi Mobil
3.2. Hubungan antara Kecepatan dan Kepadatan, dan Laju Arus Lalu Lintas
3.3. Penurunan Persamaan Konservasi Mobil
3.4. Kecepatan Sebagai Fungsi dari Kepadatan Lalu Lintas 3.5. Persamaan Laju Arus Lalu Lintas
BAB IV PENYELESAIAN PERSAMAAN LALU LINTAS SAAT LAMPU MERAH BERUBAH MENJADI HIJAU
4.1. Metode Karakteristik untuk Persamaan Diferensial Parsial Tingkat Satu
4.2. Persamaan Lalu Lintas saat Lampu Merah Berubah Menjadi Hijau
BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan 5.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
BAB II
Persamaan Diferensial
Pada bab ini akan dipaparkan turunan, integral, dan persamaan diferensial 2.1 Turunan
Dalam subbab ini akan dijelaskan definisi dan contoh dari turunan, hubungan turunan dan fungsi kontinu.
Definisi 2.1.1 (Fungsi kontinu)
Suatu fungsi 𝑓 dikatakan kontinu di titik 𝑐 jika dan hanya jika memenuhi tiga syarat berikut
a. 𝑓(𝑐) terdefinisi b. lim
𝑥→𝑐𝑓(𝑥) ada c. lim
𝑥→𝑐𝑓(𝑥) = 𝑓(𝑐).
Sedangkan fungsi 𝑓 dikatakan kontinu pada interval buka (𝑎, 𝑏) jika dan hanya jika fungsi 𝑓 kontinu di setiap titik di dalam interval tersebut.
Contoh 2.1.1
Tentukan apakah fungsi 𝑓(𝑥) =1
𝑥 kontinu di 𝑥 ≠ 0 Penyelesaian:
Fungsi 𝑓 terdefinisi di {𝑥 ∈ ℝ: 𝑥 ≠ 0} sehingga nilai 𝑓(𝑐) ada di 𝑐 ≠ 0, yaitu 𝑓(𝑐) =1
𝑐. Karena 𝑓 adalah fungsi rasional, maka berdasarkan sifat pada limit fungsi diperoleh lim
𝑥→𝑐𝑓(𝑥) = 𝑓(𝑐) untuk 𝑐 ≠ 0.
Oleh karena itu, fungsi 𝑓 kontinu di 𝑥 ≠ 0.
Definisi 2.1.2 (Turunan fungsi)
Diberikan fungsi 𝑓: 𝐷𝑓⊆ ℝ → ℝ dan 𝑠 ∈ 𝐷𝑓
Turunan / derivatif dari fungsi 𝑓 di titik 𝑠 didefinisikan sebagai 𝑓′(𝑠) = lim
ℎ→0
𝑓(𝑠 + ℎ) − 𝑓(𝑠) ℎ
dengan syarat bahwa nilai limit tersebut ada. Definisi lain untuk turunan, jika diambil subtitusi 𝑥 = 𝑠 + ℎ dan ℎ = 𝑥 − 𝑠 maka ℎ → 0 jika dan hanya jika 𝑥 → 𝑠, sehingga
𝑓′(𝑠) = lim
ℎ→𝑠
𝑓(𝑥) − 𝑓(𝑠) 𝑥 − 𝑠
Jika nilai 𝑓′(𝑠) ada, maka fungsi 𝑓 dikatakan mempunyai turunan atau derivatif di titik 𝑠. Lambang turunan dapat juga dituliskan dengan notasi Leibniz yaitu 𝑑𝑦/𝑑𝑥.
Contoh 2.1.2
Tentukan turunan fungsi 𝑓(𝑥) = 𝑥2− 4𝑥 di 𝑥 = 4 Penyelesaian:
𝑓′(4) = lim
ℎ→0
𝑓(4 + ℎ) − 𝑓(4) ℎ
= lim
ℎ→0
(4 + ℎ)2− 4(4 + ℎ) − (42− 4 ∙ 4) ℎ
= lim
ℎ→0
16 + 8ℎ + ℎ2 − 16 − 4ℎ − 0 ℎ
= lim
ℎ→0
ℎ2+ 4ℎ ℎ
= lim
ℎ→0ℎ + 4 = 4.
Contoh 2.1.2
Tentukan turunan fungsi 𝑓′(𝑥) jika diketahui 𝑓(𝑥) = 𝑥3 Penyelesaian:
𝑓′(𝑥) = lim
ℎ→0
𝑓(𝑥 + ℎ) − 𝑓(𝑥) ℎ
= lim
ℎ→0
(𝑥 + ℎ)3− 𝑥3 ℎ
= lim
ℎ→0
𝑥3+ 3𝑥2ℎ + 3𝑥ℎ2+ ℎ3− 𝑥3 ℎ
= lim
ℎ→0
3𝑥2ℎ + 3𝑥ℎ2+ ℎ3 ℎ
= lim
ℎ→03𝑥2 + 3𝑥ℎ + ℎ2 = 3𝑥2
Definisi 2.1.3 (Turunan Parsial)
Misalkan 𝑓 fungsi dua varibel 𝑥 dan 𝑦. Jika 𝑦 dijaga agar tetap konstan, misal 𝑦 = 𝑦0, maka 𝑓(𝑥, 𝑦0) adalah fungsi satu variabel 𝑥. Turunannya di 𝑥 = 𝑥0 disebut turunan parsial 𝑓 terhadap 𝑥 di (𝑥0, 𝑦0) dan dinyatakan oleh 𝑓𝑥(𝑥0, 𝑦0), dengan notasi
𝑓𝑥(𝑥0, 𝑦0) = lim
∆𝑥→0
𝑓(𝑥0+ ∆𝑥, 𝑦0) − 𝑓(𝑥0, 𝑦0)
∆𝑥 .
Dengan cara yang sama, turunan parsial 𝑓 terhadap 𝑦 di (𝑥0, 𝑦0) dinyatakan oleh 𝑓𝑦(𝑥0, 𝑦0) dengan notasi
𝑓𝑦(𝑥0, 𝑦0) = lim
∆𝑦→0
𝑓(𝑥0, 𝑦0+ ∆𝑥) − 𝑓(𝑥0, 𝑦0)
∆𝑦 .
Contoh 2.1.3
Tentukan turunan parsial fungsi 𝑧 = 𝑔(𝑥, 𝑦) = 𝑥2+ 𝑦2
Penyelesaian:
𝜕
𝜕𝑥𝑔(𝑥, 𝑦) = lim
ℎ→0(𝑔(𝑥 + ℎ, 𝑦) − 𝑔(𝑥, 𝑦)
ℎ )
= lim
ℎ→0([(𝑥+ℎ)2+𝑦2]−[𝑥2+𝑦2]
ℎ )
= lim
ℎ→0(2𝑥ℎ+ℎ2
ℎ ) = lim
ℎ→0(2𝑥 + ℎ) = 2𝑥
Teorema 2.1.1
Jika 𝑓 dan 𝑔 kedua fungsi yang mempunyai turunan, maka fungsi komposisi 𝑓 ∘ 𝑔 juga mempunyai turunan yaitu
(𝑓 ∘ 𝑔)′(𝑥) = 𝑓′(𝑔(𝑥))𝑔′(𝑥)
Dengan menggunakan notasi Leibniz, rumus di atas dapat dibagi menjadi dua kasus yaitu:
Kasus 1. Jika 𝑦 = 𝑓(𝑢) fungsi terhadap 𝑢 dan 𝑢 = 𝑔(𝑥) fungsi terhadap 𝑥 yang keduanya terdiferensial, maka
𝑑𝑦 𝑑𝑥 =𝑑𝑦
𝑑𝑢⋅𝑑𝑢 𝑑𝑥.
Kasus 2. Jika 𝑧 = 𝑓(𝑥, 𝑦) fungsi terhadap 𝑥 dan 𝑦 yang terdiferensial dengan 𝑥 = 𝑔(𝑡) dan 𝑦 = ℎ(𝑡) fungsi terhadap 𝑡 yang juga terdiferensial maka
𝑑𝑧 𝑑𝑡 = 𝜕𝑧
𝜕𝑥∙𝑑𝑥 𝑑𝑡 +𝜕𝑧
𝜕𝑦∙𝑑𝑦 𝑑𝑡.
Bukti dapat dilihat pada buku karangan Hallet,H, Gleason, McCallum, dkk (2007) yang berjudul Calculus (Single and Multi Variabel).
Contoh 2.1.1
Tentukan turunan (𝑑𝑦
𝑑𝑥) jika diketahui 𝑦 = 𝑢2 + 2𝑢 dan 𝑢 = 3𝑥2 + 5𝑥 − 1 Penyelesaian:
Dipandang
𝑑𝑦
𝑑𝑥 = 𝑑(𝑢2+ 2𝑢)
𝑑𝑢 ∙𝑑(3𝑥2+ 5𝑥 − 1)
𝑑𝑥 ,
𝑑𝑦
𝑑𝑥 = (2𝑢 + 2) ∙ (6𝑥 + 5).
Karena 𝑢 = 3𝑥2+ 5𝑥 − 1, maka didapat 𝑑𝑦
𝑑𝑥= (4𝑥2 + 8𝑥 − 2) ∙ (6𝑥 + 5).
Contoh 2.1.2
Diketahui 𝑧 = 𝑥3+ 3𝑥𝑦, dengan 𝑥 = 5𝑡2 dan 𝑦 = 𝑡2 + 7𝑡. Tentukan 𝑑𝑧
𝑑𝑡. Penyelesaian:
𝑑𝑧
𝑑𝑡 =𝜕(𝑥3+ 3𝑥𝑦)
𝜕𝑥 ∙𝑑(5𝑡2)
𝑑𝑡 +𝜕(𝑥3+ 3𝑥𝑦)
𝜕𝑦 ∙𝑑(𝑡2+ 7𝑡)
𝑑𝑡 ,
𝑑𝑧
𝑑𝑡= (3𝑥2+ 3𝑦) ∙ 10𝑡 + 3𝑥 ∙ (2𝑡 + 7), 𝑑𝑧
𝑑𝑡 = 30𝑥2𝑡 + 30𝑦𝑡 + 6𝑥𝑡 + 21𝑥.
2.2 Integral
Dalam subbab ini akan dijelaskan definisi dan contoh dari integral tak tentu dan integral tentu.
Definisi 2.2.1 (Integral fungsi)
Integral suatu fungsi dapat didefinisikan sebagai anti turunan fungsi yang dinotasikan oleh ∫ 𝑓(𝑥)𝑑𝑥 = 𝐹(𝑥) + 𝑐, yang artinya integral fungsi 𝑓(𝑥) terhadap 𝑥, dengan 𝑐 adalah konstanta
Contoh 2.2.1
Andaikan 𝐹(𝑥) = 𝑥2 maka 𝐹′(𝑥) = 2𝑥 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑥 ∈ ℝ, sehingga anti turunan dari 𝑓(𝑥) = 2𝑥 adalah 𝐹(𝑥) = 𝑥2+ 𝑐.
Sifat-sifat integral 1. ∫ 𝑑𝑥 = 𝑥 + 𝑐
Contoh:
Tentukan integral dari fungsi 𝑓(𝑥) = 𝑥.
Penyelesaian:
∫ 𝑥 𝑑𝑥 =𝑥2
2 + 𝑐, 𝑐 ∈ ℝ.
2. ∫ 𝑘𝑓(𝑥)𝑑𝑥 = 𝑘 ∫ 𝑓(𝑥)𝑑𝑥 + 𝑐; 𝑘 ∈ ℝ Contoh:
Tentukan integral fungsi 𝑓(𝑥) = 3𝑥 Penyelesaian:
∫ 3𝑥 𝑑𝑥 = 3 ∫ 𝑥 𝑑𝑥 =3𝑥2 2 + 𝑐
Teorema 2.2.1
Misalkan 𝑓 yaitu sebuah fungsi bernilai real yang kontinu, terdefinisi pada interval tertutup [𝑎, 𝑏]. Misalkan juga 𝐹 yaitu antiturunan dari 𝑓, yakni salah satu dari fungsi-fungsi yang tak terhingga banyaknya yang bagi semua 𝑥 pada [𝑎, 𝑏],
𝑓(𝑥) = 𝐹′(𝑥).
Maka
∫ 𝑓(𝑥)𝑑𝑥 = 𝐹(𝑏) − 𝐹(𝑎)
𝑏 𝑎
.
Bukti dapat dilihat pada buku karangan Hallet,H, Gleason, McCallum, dkk (2007) yang berjudul Calculus (Single and Multi Variabel)
Contoh 2.2.1
Tentukan hasil dari fungsi
∫ 𝑥2𝑑𝑥.
5 2
Penyelesaian:
∫ 𝑥2𝑑𝑥 = (𝑥3 3) |25
5 2
Menggunakan teorema dasar kalkulus Teorema 2.2.1, sehingga
= 𝐹(5) − 𝐹(2)
= (53
3) − (23
3) =125 3 −8
3=117
3 = 39.
2.3 Persamaan Diferensial
Dalam subbab ini akan dijelaskan definisi dan contoh dari persamaan diferensial, persamaan diferensial biasa, dan persamaan diferensial parsial.
Definisi 2.3.1 (Persamaan diferensial)
Persamaan diferensial adalah suatu persamaan yang melibatkan turunan satu atau lebih variabel terikat yang berhubungan dengan satu atau lebih variabel bebas.
Contoh 2.3.1
Beberapa contoh di bawah ini merupakan persamaan diferensial:
𝑑𝑦
𝑑𝑡+ 𝑡 = 5 (2.1)
𝑑2𝑦
𝑑𝑡2 + 6𝑑𝑦
𝑑𝑡+ 𝑦 = 0 (2.2)
𝑑𝑦
𝑑𝑡+ 3𝑦 = 1 (2.3)
𝑑3𝑦
𝑑𝑡3 + (𝑑𝑦 𝑑𝑡)
2
+ 2𝑑𝑦
𝑑𝑡 = sin(𝑡) (2.4)
(𝑑2𝑦 𝑑𝑡2)
2
− 3 (𝑑𝑦 𝑑𝑡)
3
− 𝑦 = 𝑡 (2.5)
Penyelesaian Persamaan Diferensial
Penyelesaian dari persamaan diferensial adalah fungsi yang memenuhi persamaan diferensial tersebut.
Definisi 2.3.2 (Persamaan Diferensial Biasa)
Persamaan diferensial biasa adalah persamaan diferensial yang hanya melibatkan turunan biasa terhadap satu variabel bebas.
Contoh 2.3.2
Persamaan (2.1) sampai (2.5) merupakan contoh persamaan diferensial biasa. Dari kelima persamaan tersebut dinyatakan bahwa variabel terikatnya adalah 𝑦, sedangkan variabel bebasnya adalah 𝑡. Sehingga dapat dinotasikan dengan 𝑦(𝑡).
Definisi 2.3.3 (Orde Persamaan Diferensial Biasa)
Orde persamaan diferensial adalah orde tertinggi turunan fungsi yang ada dalam persamaan. Persamaan Diferensial Biasa orde satu dapat dinyatakan dalam bentuk
𝑑𝑦
𝑑𝑥= 𝑓(𝑥, 𝑦)
dimana 𝑓 adalah fungsi dalam dua variabel yang diberikan.
Dapat juga ditulis dalam bentuk
𝑀(𝑥, 𝑦)𝑑𝑥 + 𝑁(𝑥, 𝑦)𝑑𝑦 = 0
Contoh 2.3.3
𝑑𝑦
𝑑𝑥 = 3𝑥2 − 6𝑥 + 5 maka
𝑦 = ∫(3𝑥2− 6𝑥 + 5)𝑑𝑥 = 𝑥3 − 3𝑥2 + 5𝑥 + 𝑐
Definisi 2.3.4 (Linear dan nonlinear)
Suatu persamaan diferensial biasa orde ke-𝑛 dikatakan linear jika dapat dituliskan sebagai:
𝑦(𝑛)+ 𝑝𝑛−1(𝑥)𝑦(𝑛−1)+ ⋯ + 𝑝1(𝑥)𝑦′+ 𝑝0(𝑥)𝑦 = 𝑟(𝑥). (2.6)
dimana 𝑟 dan koefisien 𝑝0, 𝑝1, … , 𝑝𝑛−1 adalah fungsi-fungsi dari 𝑥 yang diketahui.
Persamaan (2.6) dikatakan nonlinear jika tidak dapat dituliskan dalam bentuk persamaan (2.6).
Contoh 2.3.4
Untuk 𝑛 = 2, bentuk linearnya dapat dituliskan sebagai
𝑦′′+ 𝑝(𝑥)𝑦′+ 𝑞(𝑥)𝑦 = 𝑟(𝑥) (2.7) dengan 𝑝, 𝑞, dan 𝑟 adalah fungsi-fungsi dari 𝑥 yang diketahui.
Definisi 2.3.5 (Homogen dan nonhomogen)
Jika suatu persamaan dikatakan linear dan 𝑟(𝑥) ≡ 0, maka dapat dituliskan sebagai:
𝑦(𝑛)+ 𝑝𝑛−1(𝑥)𝑦(𝑛−1)+ ⋯ + 𝑝1(𝑥)𝑦′+ 𝑝0(𝑥)𝑦 = 0. (2.8) dan disebut homogen. Bila 𝑟(𝑥) ≠ 0, persamaan tersebut dinamakan
nonhomogen.
Contoh 2.3.5
Dengan menggunakan persamaan (2.7). Jika 𝑟(𝑥) ≡ 0 (yaitu 𝑟(𝑥) = 0 untuk semua 𝑥), maka persamaan (2.7) menjadi:
𝑦′′+ 𝑝(𝑥)𝑦′+ 𝑞(𝑥)𝑦 = 0 (2.9) dan disebut homogen. Jika 𝑟(𝑥) ≠ 0, maka persamaan (2.7) disebut nonhomogen.
Berikut ini adalah beberapa contoh dari persamaan diferensial orde dua:
1. Linear nonhomogen: 𝑦′′+ 4𝑦 = 𝑒−𝑥. sin 𝑥.
2. Linear homogen: (1 − 𝑥2)𝑦′′− 2𝑥𝑦′+ 6𝑦 = 0.
3. Nonlinear: 𝑥(𝑦′′𝑦 + 𝑦′2) + 2𝑦′𝑦 = 0 dan 𝑦′′ = √𝑦′2+ 1
Penyelesaian dari persamaan diferensial biasa orde 𝑛 pada suatu interval 𝑙 adalah suatu fungsi 𝑦 = 𝑓(𝑥) yang memiliki paling sedikit turunan sampai ke 𝑛 pada 𝑙 dan memenuhi persamaan diferensial yang diberikan untuk semua 𝑥 di interval 𝑙. Secara umum, penyelesaian persamaan diferensial dibedakan menjadi 2 macam, yaitu penyelesaian umum dan penyelesaian khusus:
a. Penyelesaian umum adalah penyelesaian Persamaan Diferensial Biasa yang mengandung suatu konstanta, misal 𝐾 atau 𝐶.
Contoh: Persamaan Diferensial 𝑑𝑦
𝑑𝑥 = 3𝑥2 memiliki penyelesaian umum: 𝑦 = 𝑥3+ 𝐶.
b. Penyelesaian khusus adalah penyelesaian yang tidak mengandung konstanta karena terdapat syarat awal pada suatu Persamaan Diferensial Biasa.
Contoh: Persamaan Diferensial 𝑑𝑦
𝑑𝑥 = 3𝑥2, dengan syarat 𝑦(0) = 4, memiliki persamaan khusus: 𝑦 = 𝑥3+ 4.
Definisi 2.3.6 (Persamaan Diferensial Parsial)
Persamaan diferensial parsial adalah persamaan diferensial yang melibatkan turunan parsial terhadap lebih dari satu variabel bebas. Secara umum ditulis dalam bentuk
𝑓(𝑥, 𝑦, … , 𝑢, 𝑢𝑥, 𝑢𝑦, … , 𝑢𝑥𝑥, 𝑢𝑦𝑦, … ) = 0
yang melibatkan variabel bebas 𝑥, 𝑦, … sebuah fungsi yang tidak diketahui 𝑢 dari variabel ini, dan turunan parsial 𝑢, 𝑢𝑥, 𝑢𝑦, … , 𝑢𝑥𝑥, 𝑢𝑦𝑦, … dari fungsi. Subskrip pada variabel terikat dapat dinotasikan
𝑢𝑥 = 𝜕𝑢
𝜕𝑥 , 𝑢𝑥𝑦 = 𝜕2𝑢
𝜕𝑥𝜕𝑦
Contoh 2.3.6
Persamaan (2.10) dan (2.11) merupakan contoh persamaan diferensial parsial.
Dalam kedua persamaan terdapat variabel terikatnya adalah 𝑧, sedangkan memiliki dua variabel bebas yaitu 𝑥 dan 𝑦.
𝜕𝑧
𝜕𝑥− 𝜕𝑧
𝜕𝑦− 2𝑧 = 0 (2.10)
𝜕2𝑧
𝜕𝑥2 − 3𝜕2𝑧
𝜕𝑦2+ 𝑥 + cos(𝑧) = 0 (2.11)
Definisi 2.3.7 (Tingkat/orde untuk Persamaan Diferensial Parsial)
Tingkat atau orde dalam persamaan diferensial parsial didefinisikan sebagai tingkat dari turunan tertinggi yang muncul pada persamaan diferensial parsial.
Contoh 2.3.7
Pada Persamaan (2.10) dan (2.11) masing-masing ordenya adalah orde 1 dan orde 2.
Definisi 2.3.8 (Persamaan Diferensial Parsial linear dan non linear)
Persamaan diferensial parsial dapat diklasifikasikan menjadi linear dan non linear.
Bentuk umum PDP linear tingkat 2 dalam dua variabel bebas adalah 𝐴𝜕2𝑢
𝜕𝑥2 + 𝐵 𝜕2𝑢
𝜕𝑥𝜕𝑦+ 𝐶𝜕2𝑢
𝜕𝑦2+ 𝐷𝜕𝑢
𝜕𝑥+ 𝐸𝜕𝑢
𝜕𝑦 = 𝐺 (2.12) dengan A, B, C, D, E, F, dan G merupakan fungsi dalam 𝑥 dan 𝑦. Sedangkan suatu persamaan diferensial parsial dikatakan non linear jika variabel tak bebas 𝑢 dan turunan parsialnya muncul dalam persamaan dengan cara tidak linear (dipangkatkan atau dikalikan).
Contoh 2.3.8
a. 𝜕𝑢
𝜕𝑡 = 4𝜕2𝑢
𝜕𝑥2 (𝑃𝐷𝑃 𝑙𝑖𝑛𝑒𝑎𝑟) b. 𝜕
2𝑢
𝜕𝑥2+𝜕2𝑢
𝜕𝑦2+𝜕2𝑢
𝜕𝑧2 = 0 (𝑃𝐷𝑃 𝑙𝑖𝑛𝑒𝑎𝑟) c. 𝑌𝜕2𝑌
𝜕𝑦 = 𝑥𝑦𝑧 (𝑃𝐷𝑃 𝑛𝑜𝑛 𝑙𝑖𝑛𝑒𝑎𝑟) d. 𝜕
2𝑢
𝜕𝑥2+𝜕2𝑢
𝜕𝑦2 = 𝑢 (𝑃𝐷𝑃 𝑛𝑜𝑛 𝑙𝑖𝑛𝑒𝑎𝑟)
Definisi 2.3.9 (Persamaan Diferensial Parsial linear homogen)
Persamaan umum diferensial parsial linear (2.12) disebut homogen jika 𝐺 = 0 untuk semua 𝑥 dan 𝑦, sedangkan jika 𝐺 ≠ 0 disebut non homogen.
BAB III
MODEL ARUS LALU LINTAS
Dalam bab ini akan dibahas mengenai penurunan model arus lalu lintas.
Pembahasan meliputi persamaan konservasi mobil, hubungan antara kecepatan dan kepadatan lalu lintas, dan persamaan lalu lintas.
3.1 Variabel-variabel dalam Persamaan Konservasi Mobil
Secara umum konservasi berarti pengawetan atau kekekalan, contohnya ialah konservasi energi, yang berarti perpindahan atau perubahan energi dari satu sistem ke sistem lain dengan jumlah totalnya tetap sama (James Prescott Joule (1847)). Dengan kata lain, energi tidak dapat dihilangkan, dihancurkan, ataupun diciptakan. Oleh karena itu pengertian konservasi jumlah mobil, atau disingkat dengan konservasi mobil, dalam hal ini ialah perpindahan mobil pada ruas jalan tertentu yang jumlahnya sama, dan tidak ada penambahan ataupun pengurangan jumlah mobil dalam sistem. Konsep mengenai konservasi mobil digunakan salah satunya untuk memformulasikan model arus lalu lintas, yang berhubungan juga dengan kecepatan dan kepadatan arus lalu lintas.
Kecepatan mobil, laju arus lalu lintas dan kepadatan lalu lintas dipertimbangkan sebagai variabel dalam lalu lintas, yang masing-masing dinotasikan sebagai 𝑢, 𝑞 dan 𝜌, ketiganya bergantung terhadap posisi x dan waktu t. Ketiga variabel ini akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.
3.1.1 Kecepatan mobil
Kecepatan merupakan besarnya jarak yang ditempuh oleh sebuah mobil tiap satuan waktu. Misalkan sebuah mobil bergerak di sepanjang jalan raya. Jika posisi mobil saat t ditentukan sebagai 𝑥0(𝑡), maka kecepatannya dan percepatannya, masing-masing adalah 𝑢 =𝑑𝑥0(𝑡)
𝑑𝑡 dan 𝑑
2𝑥0(𝑡)
𝑑𝑡2 . Dalam hal ini, posisi mobil diasumsikan ditentukan dari titik tengah mobil tersebut. Pada kondisi jalan raya dengan beberapa mobil, posisi mobil ke-i ditentukan sebagai 𝑥𝑖(𝑡), seperti ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Posisi mobil di jalan raya ditandai dengan 𝑥𝑖
Terdapat dua cara untuk menghitung kecepatan. Secara umum, dalam menghitung kecepatan setiap mobil ditentukan dengan 𝑢𝑖 = 𝑑𝑥𝑖
𝑑𝑡, dengan 𝑖 = 1,2, … , 𝑁, dan 𝑁 banyaknya mobil. Maka terdapat 𝑁 kecepatan yang berbeda, 𝑢𝑖(𝑡), yang setiap kecepatannya bergantung pada waktu. Ada situasi dimana jumlah mobil pada suatu jalan sangat banyak sehingga bila ingin menentukan kecepatan mobil dengan cara tersebut, maka akan sangat sulit untuk mengikuti setiap mobil pada jalan tersebut. Oleh karena itu, diasumsikan setiap titik pada suatu bidang terdapat kecepatan tunggal, 𝑢(𝑥, 𝑡), yakni kecepatan yang diukur saat 𝑡 oleh pengamat yang berada pada posisi 𝑥. Dengan demikian, kecepatan 𝑢(𝑥, 𝑡) saat mobil berada pada posisi 𝑥𝑖(𝑡) haruslah kecepatan 𝑢𝑖(𝑡), yakni
𝑥0 𝑥1 𝑥2 𝑥3
𝑢(𝑥𝑖(𝑡), 𝑡) = 𝑢𝑖(𝑡) (3.1) Eksistensi/keberadaan kecepatan 𝑢(𝑥, 𝑡) menunjukkan bahwa pada setiap 𝑥 dan 𝑡 ada satu kecepatan, sehingga model ini mengasumsikan bahwa sebuah mobil tidak diperbolehkan melalui mobil yang lain. Karena jika demikian maka akan ada dua kecepatan yang berbeda yang diukur pada titik yang sama.
3.1.2 Laju Arus Lalu Lintas
Dalam penghitungan kecepatan mobil, pengamat tetap pada posisi tertentu di sepanjang ruas jalan, sehingga dapat menghitung jumlah mobil yang melewati posisi tersebut pada waktu tertentu, dan juga dapat menghitung rata-rata jumlah mobil yang lewat tiap satuan waktu. Rata-rata jumlah mobil yang lewat pada posisi tertentu tiap satuan waktu disebut juga sebagai laju arus lalu lintas, yang dilambangkan dengan 𝑞. Misalkan perhitungan banyaknya mobil yang melalui suatu titik tertentu dalam interval waktu 30 menit dituliskan dalam Tabel 1 berikut:
Tabel 1. Data banyaknya mobil yang melintas pada titik tertentu setiap 30 menit (Sumber: Richard Haberman, 1977)
Waktu
Laju arus lalu lintas (Jumlah mobil yang melintas per jam)
7:00-8:00 866
8:00-9:00 1.304
9:00-10:00 1.184
10:00-11:00 1.102
11:00-12:00 560
12:00-13:00 282
13:00-14:00 334
Pada Tabel 1, laju arus lalu lintas terbesar terjadi pada puklu 7:30-8:00 pagi hari, yakni 1.304 mobil/jam. Pada posisi yang berbeda sepanjang jalan, laju arus bisa berbeda. Jadi laju arus 𝑞 bergantung pada 𝑥 dan pada waktu 𝑡, sehingga dapat dilambangkan 𝑞(𝑥, 𝑡). Gambar 2 menunjukkan banyaknya mobil yang melintas per setengah jam. Kurva berwarna orange menghubungkan titik tengah dari setiap diagram batang, untuk menggambarkan pola laju arus lalu lintas terhadap waktu.
Gambar 2. Laju arus lalu lintas sebagai fungsi waktu
Dalam kasus di atas, tidak dapat diketahui apakah pada interval waktu 7:45- 8:00 memiliki lalu lintas yang lebih padat dari pada interval waktu 7:30-7:45. Maka, perhitungan laju arus lalu lintas dapat diambil dalam interval waktu yang lebih singkat. Jika perhitungan dibuat dalam interval yang sangat singkat, sebagai contoh dalam interval 10 detik, maka data yang dihasilkan seperti pada Tabel 2 berikut:
0 200 400 600 800 1000 1200 1400
0 200 400 600 800 1000 1200 1400
7:00-8:00 8:00-9:00 9:00-10:00 10:00-11:00 11:00-12:00 12:00-13:00 13:00-14:00
Laju Arus lalu lintas
Series 1 Series 2
Interval waktu Laju arus
lalu lintas
Tabel 2. Data jumlah mobil yang melintas dalam interval waktu 10 detik (Sumber: Richard Haberman, 1977)
Waktu (setelah 7:00) Laju arus lalu lintas (Jumlah mobil per jam)
0-9 0
10-19 720
20-29 360
30-39 1.440
40-49 360
50-59 1.440
Pada Tabel 2, dapat diperoleh bahwa laju arus yang dihitung berfluktuasi secara kasar, sebagai fungsi terhadap waktu, sehingga sulit untuk dipahami gambaran situasi lalu lintas yang terjadi. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, maka diasumsikan terdapat pengukuran interval yang memenuhi salah satu ketentuan berikut:
1. Interval waktu pengamatan cukup panjang sehingga banyak mobil yang melewati pengamat dalam interval pengukuran (Hal ini bertujuan untuk menghilangkan fluktuasi kasar).
2. Jika interval waktu pengamatan cukup singkat, maka penentuan laju arus lalu lintas tidak dalam satuan waktu yang panjang.
Jika pengukuran seperti di atas dipertimbangkan, maka kurva berwarna orange untuk laju arus lalu lintas yang ditunjukkan pada Gambar 2, dapat diaproksimasi sebagai fungsi kontinu terhadap waktu, yang diilustrasikan dalam Gambar 3.
Gambar 3. Laju arus lalu lintas sebagai fungsi dari waktu
3.1.3 Kepadatan lalu lintas
Pengukuran kepadatan lalu lintas ditentukan pada waktu yang tetap (bukan pada posisi yang tetap seperti saat mengukur laju arus lalu lintas). Jumlah mobil (pada waktu tertentu) yang berada di antara dua posisi pada suatu ruas jalan dapat dihitung, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 4. Perhitungan ini menghasilkan jumlah mobil pada suatu ruas jalan dengan panjang tertentu, misalkan dalam satuan km, yang disebut kepadatan lalu lintas dan dinotasikan 𝜌.
Gambar 4. Kepadatan lalu lintas
Misalkan diasumsikan bahwa semua kendaraan mempunyai panjang yang sama, dinotasikan 𝐿. Jika jarak antar mobil adalah 𝑑 (jarak 𝑑 + 𝐿 disebut ruang),
0 200 400 600 800 1000 1200 1400
7 7.5 8 8.5 9 9.5 10 10.5
1 𝑘𝑚
seperti yang diilustrasikan pada Gambar 5, maka kepadatan lalu lintas, yakni jumlah mobil per km adalah
𝜌 = 1
𝐿+𝑑 (3.2)
Gambar 5. Jarak antara dua mobil dan panjang mobil
Dalam menentukan kepadatan lalu lintas terdapat kesulitan jika pengukuran dibuat pada interval jarak yang terlalu pendek. Misalkan jarak yang digunakan untuk perhitungan kepadatan sangatlah pendek, yaitu 1
500= 0,002 km, maka situasi lalu lintas yang dimaksud dapat ditunjukkan pada Gambar 6.
Gambar 6. Data pengukuran pada interval jarak yang pendek
Jarak Kepadatan
(jumlah mobil per km)
0 – 0.002 0
0.002 – 0.004 83
0.004 – 0.006 333
𝐿 𝑑
0 0.002
0.004 0.006
0.008 0.010
0.012 0.014
0.016 0.018
0.020 0.022 jarak
0.006 – 0.008 83
0.008 – 0.010 0
0.010 – 0.012 0
0.012 – 0.014 0
0.014 – 0.016 0
0.016 – 0.018 333
0.018 – 0.020 83
0.020 – 0.022 0
Tabel 3 Data pengukuran interval waktu
Jika kepadatan lalu lintas 𝜌(𝑥, 𝑡) digambarkan sebagai fungsi posisi (pada waktu yang tetap), maka didapat hasil seperti yang ditunjukkan Gambar 7. Pengukuran kepadatan ini merupakan fungsi yang diskontinu. Di sisi lain, jika pengukuran kepadatan diambil hanya pada jarak yang besar (sebagai contoh 5 km), maka hanya rata-rata kepadatan yang dihitung.
Gambar 7. Kepadatan lalu lintas sebagai fungsi posisi (Sumber: Richard Haberman,1977)
Kepadatan yang dihitung dengan interval jarak tidak terlalu pendek akan menghasilkan kepadatan sebagai fungsi kontinu dari 𝑥. Misalkan dipertimbangkan jarak pengukuran 0,25 km, dengan data pengukuran ditunjukkan pada Tabel 4.
𝜌(𝑥, 𝑡) kepadatan lalu lintas, jumlah mobil per km saat 𝑡
Kepadatan lalu lintas dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 8, yang menunjukkan sebagai fungsi kontinu.
Tabel 4. Data pengukuran kepadatan dengan jarak tidak terlalu pendek Jarak sepanjang jalan
(dalam km)
Kepadatan lalu lintas (jumlah mobil per km)
0 92
1 4
74 2
4
81 3
4
56
1 59
11 4
39
Gambar 8. Contoh kepadatan sebagai fungsi kontinu
3.2 Hubungan Antara Kecepatan, Kepadatan dan Laju Arus Lalu Lintas
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4
Setelah menjelaskan tiga variabel dasar lalu lintas, yaitu kecepatan, kepadatan dan laju arus lalu lintas, selanjutnya akan ditunjukkan bahwa terdapat hubungan di antara ketiganya. Dimisalkan pada ruas jalan yang sama pada interval [𝑎, 𝑏], mobil bergerak dengan kecepatan konstan 𝑢0 dengan kepadatan lalu lintas konstan 𝜌0. Karena setiap mobil bergerak pada kecepatan yang sama, jarak antar mobil masih konstan. Misalkan waktu pengamatan dinyatakan dalam 𝜏 jam. Karena setiap mobil bergerak dengan kecepatan konstan, maka jarak yang ditempuh setiap mobil adalah
[𝑗𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑚𝑝𝑢ℎ] = [𝑘𝑒𝑐𝑒𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛]x[𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑎𝑚𝑎𝑡𝑎𝑛]
yakni
𝐿 = 𝑢0𝜏.
Hubungan ini ditunjukkan pada Gambar 9. Jadi, banyaknya mobil yang melalui pengamat dalam waktu 𝜏 jam adalah banyaknya mobil yang berada dalam jarak 𝑢0𝜏 tersebut.
Gambar 9. Jarak yang ditempuh setiap mobil dalam 𝜏 jam
Perhatikan bahwa 𝜌0 adalah kepadatan lalu lintas, yakni banyaknya mobil per kilometer, maka banyaknya mobil yang melalui pengamat dalam 𝜏 jam adalah 𝜌0𝑢0𝜏. Dengan demikian, banyaknya mobil per jam yang disebut laju arus lalu lintas (𝑞) dapat dinyatakan sebagai
pengamat
𝑢0𝜏
𝑞 = 𝜌0𝑢0. (3.3) Akan ditunjukkan bahwa Persamaan (3.3) merupakan hukum dasar dalam permasalahan lalu lintas.
Perhatikan bahwa hubungan laju arus lalu lintas, kepadatan lalu lintas, kecepatan mobil dapat dinyatakan sebagai
[𝐿𝑎𝑗𝑢 𝑎𝑟𝑢𝑠
𝑙𝑎𝑙𝑢 𝑙𝑖𝑛𝑡𝑎𝑠 ] = [𝐾𝑒𝑝𝑎𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛
𝑙𝑎𝑙𝑢 𝑙𝑖𝑛𝑡𝑎𝑠] × [𝑘𝑒𝑐𝑒𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛] (3.4) Jika variabel lalu lintas bergantung pada 𝑥 dan 𝑡, yakni 𝑞(𝑥, 𝑡), 𝜌(𝑥, 𝑡), 𝑢(𝑥, 𝑡), maka
𝑞(𝑥, 𝑡) = 𝜌(𝑥, 𝑡)𝑢(𝑥, 𝑡) (3.5) Untuk menunjukkan bahwa berlaku Persamaan (3.5), misalkan dipertimbangkan banyaknya mobil yang melalui 𝑥 = 𝑥0 dalam waktu ∆𝑡 yang sangat kecil (singkat), sebagai contoh antara 𝑡0 dan 𝑡0+ ∆𝑡. Dalam waktu yang singkat tersebut mobil tidak dapat berjalan jauh dan karenanya nilai 𝑢(𝑥, 𝑡) dan 𝜌(𝑥, 𝑡) pada saat 𝑥 = 𝑥0 dan 𝑡 = 𝑡0 diperkirakan konstan. Dalam waktu kecil ∆𝑡, dihasilkan kecepatan 𝑢(𝑥, 𝑡)∆𝑡, yang melalui pengamat. Banyaknya mobil yang melalui pengamat selama waktu ∆𝑡 adalah 𝑢(𝑥, 𝑡)∆𝑡𝜌(𝑥, 𝑡). Maka laju arus lalu lintas, yakni banyaknya mobil per satuan waktu dapat dinyatakan seperti pada Persamaan (3.5).
Jadi, Persamaan (3.5) menunjukkan hubungan antara kepadatan 𝜌(𝑥, 𝑡), kecepatan 𝑢(𝑥, 𝑡), dan laju arus 𝑞(𝑥, 𝑡).
3.3 Penurunan Persamaan Konservasi Jumlah Mobil
Variabel kepadatan lalu lintas, kecepatan, dan laju arus lalu lintas dapat digunakan dalam menentukan persamaan konservasi mobil. Misalkan pada di
sebuah jalan raya, dipertimbangkan suatu interval antara 𝑥 = 𝑎 dan 𝑥 = 𝑏, seperti ditunjukkan pada Gambar 10.
Gambar 10. Ruas jalan [𝑎, 𝑏]
Jumlah mobil pada ruas jalan dapat dinyatakan sebagai:
[ 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑚𝑜𝑏𝑖𝑙 𝑝𝑎𝑑𝑎
𝑟𝑢𝑎𝑠 𝑗𝑎𝑙𝑎𝑛 [𝑎, 𝑏] 𝑠𝑎𝑎𝑡 𝑡] = [𝑘𝑒𝑝𝑎𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛
𝑙𝑎𝑙𝑢 𝑙𝑖𝑛𝑡𝑎𝑠] × [ 𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔
𝑟𝑢𝑎𝑠 𝑗𝑎𝑙𝑎𝑛] (3.6) Karena diasumsikan kepadatan lalu lintas bersifat kontinu maka jumlah mobil pada ruas jalan [𝑎, 𝑏] dapat dinyatakan sebagai
𝑁(𝑡) = ∫ 𝜌
𝑏 𝑎
(𝑥, 𝑡)𝑑𝑥 (3.7)
Jumlah mobil pada ruas jalan [a,b], yakni antara 𝑥 = 𝑎 dan 𝑥 = 𝑏 akan berkurang jika terdapat mobil yang keluar dari titik 𝑥 = 𝑏, dan akan bertambah jika terdapat mobil yang masuk ke ruas jalan melalui titik 𝑥 = 𝑎. Dengan asumsi tidak ada mobil yang dibuat atau dihancurkan pada ruas jalan [a,b], maka perubahan jumlah mobil hanya disebabkan oleh mobil yang masuk melalui 𝑥 = 𝑎 dan keluar melalui 𝑥 = 𝑏.
Jika arus mobil mencapai 300 mobil per jam pada 𝑥 = 𝑎, sedangkan arus mencapai 275 mobil per jam pada 𝑥 = 𝑏, maka jumlah mobil antara 𝑥 = 𝑎 dan 𝑥 = 𝑏 bertambah 25 mobil per jam. Hasil ini dapat digeneralisasi ke situasi saat jumlah mobil yang melintasi setiap batas (laju arus lalu lintas 𝑞(𝑎, 𝑡) dan 𝑞(𝑏, 𝑡)) tidak konstan pada suatu waktu.
Perhatikan bahwa jumlah mobil saat 𝑡 + ∆𝑡 dapat dinyatakan sebagai:
𝑎 𝑏
[
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑚𝑜𝑏𝑖𝑙 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑟𝑢𝑎𝑠 𝑗𝑎𝑙𝑎𝑛 [𝑎, 𝑏]
𝑠𝑎𝑎𝑡 [𝑡 + ∆𝑡] ]
=
[
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑚𝑜𝑏𝑖𝑙 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑟𝑢𝑎𝑠
𝑗𝑎𝑙𝑎𝑛 [𝑎, 𝑏]
𝑠𝑎𝑎𝑡 𝑡 ] +
[[
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑚𝑜𝑏𝑖𝑙
𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑙𝑖𝑛𝑡𝑎𝑠𝑖
𝑥 = 𝑎 𝑝𝑒𝑟 𝑠𝑎𝑡𝑢𝑎𝑛
𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 ]
−
[
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑚𝑜𝑏𝑖𝑙
𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑙𝑖𝑛𝑡𝑎𝑠𝑖
𝑥 = 𝑏 𝑝𝑒𝑟 𝑠𝑎𝑡𝑢𝑎𝑛
𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 ]]
[𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎
∆𝑡 ] (3.8)
Atau dapat ditulis sebagai
𝑁(𝑡 + ∆𝑡) − 𝑁(𝑡) ≈ (𝑞(𝑎, 𝑡) − 𝑞(𝑏, 𝑡))∆𝑡 (3.9) sehingga
𝑁(𝑡+∆𝑡)−𝑁(𝑡)
∆𝑡 ≈ (𝑞(𝑎, 𝑡) − 𝑞(𝑏, 𝑡)) (3.10) Untuk ∆𝑡 kecil, limit ∆𝑡 → 0
𝑑𝑁
𝑑𝑡 = lim
∆𝑡→0
𝑁(𝑡 + ∆𝑡) − 𝑁(𝑡)
∆𝑡 Maka dari persamaan (3.10) akan dihasilkan
𝑑𝑁
𝑑𝑡 = 𝑞(𝑎, 𝑡) − 𝑞(𝑏, 𝑡) (3.11) yang menunjukkan tingkat perubahan jumlah mobil terhadap waktu.
Bila Persamaan (3.7) dan (3.11) digabungkan, akan dihasilkan 𝑑
𝑑𝑡∫ 𝜌(𝑥, 𝑡)𝑑𝑥 = 𝑞(𝑎, 𝑡) − 𝑞(𝑏, 𝑡) (3.12)𝑎𝑏 Persamaan ini menunjukkan bahwa perubahan jumlah mobil hanya disebabkan oleh aliran yang melintasi batas tersebut. Dengan kata lain, tidak ada mobil yang masuk maupun keluar dari ruas jalan [a,b] tanpa melalui batas, yakni jumlah mobil memenuhi sifat kekekalan/konservasi. Ini bukan berarti jumlah mobil antara 𝑥 = 𝑎 dan 𝑥 = 𝑏 adalah konstan. Jika berlaku hal tersebut maka
𝑑
𝑑𝑡∫ 𝜌(𝑥, 𝑡)𝑑𝑥 = 0𝑎𝑏 atau 𝑞(𝑎, 𝑡) = 𝑞(𝑏, 𝑡). Persamaan (3.12) dapat disebut juga hukum konservasi dalam bentuk integral atau lebih sederhananya disebut Hukum Konservasi Integral. Hukum ini menyatakan sifat lalu lintas di sepanjang ruas
jalan raya [a,b], bahwa perubahan jumlah mobil hanya disebabkan oleh aliran yang melintasi batas di 𝑥 = 𝑎 dan 𝑥 = 𝑏.
Hukum konservasi integral akan dinyatakan sebagai hukum konservasi lokal, yang berlaku di setiap posisi jalan raya. Ruas kanan Persamaan (3.12) dapat ditulis kembali dengan menggunakan turunan parsial karena fungsi 𝑞 memuat lebih dari satu variabel bebas, dengan batas interval 𝑥 = 𝑎 dan 𝑥 = 𝑏, yang akan menghasilkan
𝑑
𝑑𝑡∫ 𝜌(𝑥, 𝑡)𝑑𝑥 = ∫ 𝜕𝑞(𝑥,𝑡)
𝜕𝑥 𝑑𝑥
𝑎 𝑏 𝑏
𝑎 (3.13) Berdasarkan sifat integral, dengan menukar batas atas dan batas bawah, sehingga bentuk integral pada ruas kanan dan ruas kiri Persamaan (3.13) memliki batas pengintegralan yang sama, diperoleh
𝑑
𝑑𝑡∫ 𝜌(𝑥, 𝑡)𝑑𝑥 = ∫ −𝑎𝑏 𝑎𝑏 𝜕𝑞(𝑥,𝑡)𝜕𝑥 𝑑𝑥 (3.14) atau
𝑑
𝑑𝑡∫ 𝜌(𝑥, 𝑡)𝑑𝑥 + ∫ 𝜕𝑞(𝑥, 𝑡)
𝜕𝑥 𝑑𝑥
𝑏 𝑎
=
𝑏 𝑎
0
Variabel 𝜌 memuat lebih dari satu variabel bebas sehingga bentuk turunan pada ruas kiri berubah menjadi turunan parsial
∫ 𝜕
𝜕𝑡𝜌(𝑥, 𝑡)𝑑𝑥 + ∫ 𝜕𝑞(𝑥, 𝑡)
𝜕𝑥 𝑑𝑥
𝑏 𝑎
=
𝑏 𝑎
0
Dapat ditulis juga dengan
∫ [𝜕𝑡𝜕 𝜌(𝑥, 𝑡) +𝜕𝑞(𝑥,𝑡)
𝜕𝑥 ] 𝑑𝑥 =
𝑏
𝑎 0 (3.15) sehingga
𝜕
𝜕𝑡𝜌(𝑥, 𝑡)𝑑𝑥 +𝜕𝑞(𝑥,𝑡)
𝜕𝑥 = 0 (3.16)
Dari Persamaan (3.5) diketahui bahwa 𝑞 = 𝜌𝑢, maka 𝜕𝑞 𝜕𝑥⁄ dapat ditulis ulang yaitu
𝜕𝑞
𝜕𝑥= 𝜕
𝜕𝑥𝑞(𝜌, 𝑢) (3.17) Dengan menggunakan aturan rantai, maka didapat
𝜕𝑞
𝜕𝑥= 𝜕𝑞
𝜕𝜌
𝜕𝜌
𝜕𝑥+𝜕𝑞
𝜕𝑢
𝜕𝑢
𝜕𝑥 (3.18) Mensubstitusikan Persamaan (3.18) ke Persamaan (3.16) diperoleh
𝜕𝜌
𝜕𝑡 +𝜕𝑞
𝜕𝜌
𝜕𝜌
𝜕𝑥+𝜕𝑞
𝜕𝑢
𝜕𝑢
𝜕𝑥 = 0 (3.19) Asumsikan 𝑢 = 𝑢(𝜌), maka
𝜕𝑢
𝜕𝑥= 0 (3.20) Lalu mensubstitusikan Persamaan (3.20) ke Persamaan (3.19) didapatkan hasil persamaan konservasi mobil yaitu,
𝜕𝜌
𝜕𝑡 +𝜕𝑞
𝜕𝜌
𝜕𝜌
𝜕𝑥= 0 (3.21) Persamaan konservasi mobil ini menunjukkan hubungan antara kepadatan lalu lintas dan aliran lalu lintas yang diturunkan dengan menganggap bahwa jumlah mobil adalah tetap, dimana tidak ada mobil yang masuk ataupun keluar dari ruas jalan tanpa melalui batas tertentu. Dengan menyelesaikan persamaan konservasi mobil ini akan diperoleh fungsi arus lalu lintas yang akan dijelaskan lebih lanjut pada subbab berikutnya, khususnya dalam situasi jumlah mobil tetap, tidak ada yang masuk atau keluar tanpa melalui batas ruas jalan. Namun sebelumnya akan dipaparkan mengenai kecepatan mobil sebagai fungsi dari kepadatan lalu lintas.
3.4 Kecepatan Sebagai Fungsi dari Kepadatan Lalu Lintas
Hubungan antara kepadatan lalu lintas dan kecepatan mobil dinyatakan pada persamaan kekekalan mobil yang melibatkan fungsi 𝑢, yakni sesuai Persamaan (3.19). Jika kecepatan pada mobil diketahui, artinya nilai 𝑢 tertentu, Persamaan (3.19) direduksi menjadi persamaan untuk kepadatan lalu lintas yang tidak diketahui (𝜌), yakni
𝜕𝜌
𝜕𝑡+𝜕𝑞
𝜕𝜌
𝜕𝜌
𝜕𝑥 = 0
Sehingga, persamaan (3.22) dapat digunakan untuk memprediksi kepadatan lalu lintas yang akan datang jika kepadatan lalu lintas awal diketahui.
Jika lalu lintas cukup lengang, maka pengemudi dapat menentukan kecepatan yang tinggi sesuai keinginan. Sebaliknya, jika lalu lintas semakin padat maka pengemudi akan menurunkan kecepatannya, akibatnya kecepatan rata-rata lalu lintas berkurang. Berdasarkan pengamatan ini, dibuat sebuah asumsi sederhana bahwa kecepatan mobil di setiap titik di sepanjang jalan hanya bergantung pada kepadatan mobil, yakni
𝑢 = 𝑢(𝜌) (3.23) Jika tidak ada mobil lain di jalan raya (yang berarti bahwa kepadatan lalu lintas sangat rendah), maka mobil akan melaju dengan kecepatan maksimum 𝑢𝑚𝑎𝑥, yakni 𝑢(0) = 𝑢𝑚𝑎𝑥 (3.24) Namun, dengan meningkatnya kepadatan maka kehadiran mobil lain akan memperlambat mobil lainnya. Ketika kepadatan meningkat, kecepatan mobil akan terus berkurang, dengan kata lain terjadi perlambatan, yakni
𝑑𝑢
𝑑𝜌≡ 𝑢′(𝜌) ≤ 0 (3.25) (3.22)
Pada kepadatan tertentu, yang merupakan kepadatan maksimum, 𝜌𝑚𝑎𝑥, mobil akan berhenti, sehingga
𝑢(𝜌𝑚𝑎𝑥) = 0 Dari beberapa kondisi yang telah disebutkan, diasumsikan hubungan antara kepadatan dan kecepatan bersifat linear, seperti digambarkan dalam kurva yang ditunjukkan pada Gambar (11). Fungsi 𝑢 = 𝑢(𝜌) menghubungkan dua variabel lalu lintas, yakni kecepatan dan kepadatan. Seperti yang dinyatakan sebelumnya, kurva terus menurun, yaitu 𝑢′(𝜌) ≤ 0.
Misalkan hubungan sederhana antara kecepatan dan kepadatan bersifat linear, yang secara grafis diilustrasikan seperti pada Gambar 11. Grafik tersebut melalui titik (𝜌1, 𝑢1) = (0, 𝑢𝑚𝑎𝑘𝑠) dan (𝜌2, 𝑢2) = (𝜌𝑚𝑎𝑘𝑠, 0), sehingga kemiringannya adalah
𝑚 =𝑢2− 𝑢1
𝜌2− 𝜌1 =0 − 𝑢𝑚𝑎𝑘𝑠
𝜌𝑚𝑎𝑘𝑠− 0 = −𝑢𝑚𝑎𝑘𝑠 𝜌𝑚𝑎𝑘𝑠 𝑢 − 𝑢1 = 𝑚(𝜌 − 𝜌1)
𝑢 − 0 = 𝑚(𝜌 − 𝜌𝑚𝑎𝑘𝑠) Kecepatan
mobil
Kepadatan lalu lintas
Gambar 11. Kecepatan mobil berkurang saat kepadatan lalu lintas meningkat
𝑢𝑚𝑎𝑥
𝜌𝑚𝑎𝑥
𝜌 𝑢
𝑢 = −𝑢𝑚𝑎𝑘𝑠
𝜌𝑚𝑎𝑘𝑠(𝜌 − 𝜌𝑚𝑎𝑘𝑠)
= −𝑢𝑚𝑎𝑘𝑠
𝜌𝑚𝑎𝑘𝑠𝜌 + 𝑢𝑚𝑎𝑘𝑠 = 𝑢𝑚𝑎𝑘𝑠−𝑢𝑚𝑎𝑘𝑠
𝜌𝑚𝑎𝑘𝑠𝜌 (3.26) Dengan menggunakan Tabel 5 di bawah ini akan diaproksimasi hubungan antara kecepatan dan kepadatan.
Dalam membantu hasil grafik pada Gambar 12 akan digunakan MAPE (Mean Absolute Percentage Error). MAPE adalah pengukuran akurasi ramalan (Armstrong & Collopy, 1992; Goodwin & Lawton, 1999; Ren & Glasure, 2009).
MAPE dirumuskan dengan
𝑀𝐴𝑃𝐸 =1
𝑛∑|𝑦̂𝑡− 𝑦𝑡|
𝑦𝑡 × 100
𝑛
𝑡=1
dengan
𝑛 = jumlah data sampel
𝑦̂𝑡 = nilai yang diprediksi untuk titik saat waktu 𝑡 𝑦𝑡 = nilai pada sampel untuk titik saat waktu 𝑡 𝑡 = waktu
Dalam penggunaan MAPE terdapat kriteria hasil yang dihasilkan dalam perhitungan, kriterianya ialah
b) Untuk nilai MAPE < 10% interpretasinya sangat baik c) Untuk nilai MAPE 10 − 20% interpretasinya baik d) Untuk nilai MAPE 20 − 50% interpretasinya cukup baik e) Untuk nilai MAPE > 50% interpretasinya kurang baik
Tabel 5. Data Lalu Lintas pada terowongan Lincoln dan jalan Merrit
Terowongan Lincoln Jalan Merrit
Kecepatan Kepadatan Laju arus Kecepatan Kepadatan Laju Arus
32 34 1088 38,8 20,4 791,52
28 44 1232 31,5 27,4 863,1
25 53 1325 10,6 106,2 1125,72
23 60 1380 16,1 80,4 1294,44
20 74 1480 7,7 141,3 1088,01
19 82 1558 8,3 130,9 1086,47
17 88 1496 8,5 121,7 1034,45
16 94 1504 11,1 106,5 1182,15
15 94 1410 8,6 130,5 1122,3
14 96 1344 11,1 101,1 1122,21
13 103 1339 9,8 123,9 1214,22
12 112 1344 7,8 144,2 1124,76
11 108 1188 31,8 29,5 938,1
10 129 1290 31,6 30,8 973,28
9 132 1188 34 26,5 901
8 139 1112 28,9 35,7 1031,73
7 160 1120 28,8 30 864
6 165 990 10,5 106,2 1115,1
12,3 97 1193,1
13,2 90,1 1189,32
11,4 106,7 1216,38
11,2 99,3 1112,16
10,3 107,2 1104,16 11,4 109,1 1243,74
Data tersebut peroleh dari buku GREENBERG H., “An Analysis of Traffic Flow”, Operation Research 7, 79-85 (1959).
Gambar 12. Grafik hubungan antara kecepatan dan kepadatan pada Terowongan Lincoln dan jalan Merrit
Akan dibandingkan menggunakan MAPE, untuk mengetahui interpretasi model yang digunakan. Tabel 6 adalah data untuk perhitungan MAPE, berikut perhitungan MAPE pada Terowongan Lincoln
Tabel 6 Data perhitungan MAPE pada terowongan Lincoln 𝑦𝑡
(Data aktual kecepatan)
𝑦̂𝑡
(Data Penduga)
|𝑦̂𝑡− 𝑦𝑡| 𝑦𝑡
32 25,40606 0,206061
28 23,46667 0,161905
25 21,72121 0,131152
23 20,36364 0,114625
20 17,64848 0,117576
19 16,09697 0,152791
17 14,93333 0,121569
16 13,7697 0,139394
15 13,7697 0,08202
14 13,38182 0,044156
13 12,02424 0,075058
12 10,27879 0,143434
11 11,05455 -0,00496
10 6,981818 0,301818
9 6,4 0,288889
8 5,042424 0,369697
7 0,969697 0,861472
6 0 1
𝑀𝐴𝑃𝐸 = 1
𝑛∑|𝑦̂𝑡− 𝑦𝑡| 𝑦𝑡 × 100
𝑛
𝑡=1
= 1
18∑|𝑑𝑎𝑡𝑎 𝑎𝑘𝑡𝑢𝑎𝑙 − 𝑑𝑎𝑡𝑎 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑢𝑔𝑎𝑎𝑛|
𝑑𝑎𝑡𝑎 𝑎𝑘𝑡𝑢𝑎𝑙 × 100
18
𝑡=1
=4,306657
18 𝑥100
= 23,92587
Didapat hasil 23,92587%, sehingga dapat disimpulkan bahwa model yang digunakan cukup baik pada terowongan Lincoln. Sedangkan untuk jalan Merrit,